BAB III TINJAUAN UMUM
3.1
Badan Pertanahan Nasional Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dipimpin oleh Kepala (Sesuai dengan Perpres No. 10 Tahun 2006). Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral.
3.1.1 Sejarah Pada
masa
penjajahan
maupun
pada
masa
kemerdekaan
sampai
diterbitkannya/diberlakukannya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 urusan pertanahan diselenggarakan mengikuti system yang diterapkan pada jaman penjajahan/colonial Belanda yang menganut sistem dualisme, yaitu dua sitem yang berbeda dilaksanakan pada waktu yang bersamaan dalam penyelenggaraan urusan pertanahan, yaitu system untuk orang Belanda dan Timur asing, yang berbeda dengan system untuk pribumi. UUPA yang salah satu tujuannya adalah menerapkan unifikasi hukum pertanahan di Republik Indonesia, telah mengakhiri dualisme tersebut. Namun kedudukan organisai yang menangani pertanahan/agrarian dalam susunan kabinet/pemerintahan berbeda-beda mengalami pasang surut sesuai dengan nuansa politik yang mempengaruhi penentu kebijakan nasional di
32
33
jamannya, meskipun tingkat urgensi pertanahan/agrarian dalam masyarakat sepanjang sejarah kemerdekaan selalu meningkat, selalu semakin strategis, mulai dari awal samapain dengan sekarang.
3.1.1.1 Jaman Penjajahan Masa Kolonial Belanda (1870-1942). Sejak berlakunya Agrarische Wet (1870) pemerintah kolonial Belanda menerbitkan ordonansi (Staatblad 1823 No. 164) yang menetapkan penyelenggaraan kadastral ditugaskan kepada Kadastral Dients yang pejabatnya diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal. Pada masa ini bagi orang Belanda dan timur asing urusan pertanahannya yang meliputi surat keputusan hak atas tanah diterbitkan oleh Bupati, Residen, dan/atau Gubernur, dan kadaster yang bersifat peta dan informasi dikerjakan oleh Kehakiman, serta balik nama oleh pengadilan, sedangkan bagi pribumi urusan pertanahannya cukup dilaksanakan oleh administrasi desa/kelurahan. Masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Kadastral Dients diganti namanya menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah dan tetap di bawah Departemen Kehakiman. Pada masa ini berlaku pelarangan pemindahan hak atas benda tetap/tanah (Osamu Sierei No. 2 Tahun 1942), dan penguasaan tanah-tanah partikelir oleh Pemerintahan Dai Nippon dihapus. Pada prinsipnya, urusan pertanahan dilaksanakan seperti jaman kolonial Belanda.
34
3.1.1.2 Jaman Kemerdekaan Selama masa Kemerdekaan (1945-2004) urusan pertanahan/agrarian diselenggarakan oleh Kementerian/Departemen Dalam Negeri selama 25 tahun, dan diselenggarakan oleh lembaga pertanahan/agrarian tersendiri selama 34 tahun yang meliputi Kementerian/Kantor Menteri Negara Agraria selama 22 tahun, dan BPN (LPND) selama 12 tahun. Baik pemerintahan Presiden Soekarno maupun pemerintahan Presiden Soeharto pada awalnya menganggap bahwa urusan pertanahan/agrarian belum merupakan urusan strategis sehingga cukup diselenggarakn oleh suatu lembaga di bawah Kementerian/Departemen, namun pada akhirnya kedua pemerintahan tersebut sama-sama menyadari banwa pertanahan/agraria merupakan urusan strategis sehingga ditangani oleh satu Kementerian/Departemen, bahkan pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto pertanahan/agrarian ditangani oleh dua unit organisasi yang tangguh yaitu BPN untuk urusan pelayanan kepada masyarakat dan Kantor Kementerian Negara Agraria untuk urusan yang bersifat arahan. Pemerintahan Presiden Habibie melanjutkan kebijakan pertanahan/agrarian yang telah diselenggarakan oleh Presiden Soeharto. Meskipun urusan pertanahan/agrarian semakin hari semakin strategs dan selalu
meningkat
kompleksitasnya,
namun
baik
pemerintahan
Presiden
Abdurachman Wahid maupun pemerintahan Presiden Megawati sampai sekarang menganggap urusan pertanahan/agrarian cukup ditangani oleh LPND BPN, semacam organisasi pertanahan/agrarian pada Kbinet Pembangunan IV dan Kabinet Pembangunan IV pada pemerintahan Presiden Soeharto.
35
Selain itu, dengan diberalakukannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi) mengakibatkan timbulnya friksi antara kekuatan politik yang menghendaki penerapan otonomi daerah sekaligus (drastis) dengan kekuatan politik yang menghendaki penerapan otonomi daerah secara bertahap. Hal ini berdampak pada tarik ulurnya pembagian wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah dan pemerintah daerah, terytama pemerintah daerah kabupaten dan kota, dan berdampak pada gunjang-ganjingnya bentuk organisasi
pemerintah
terutama
LPND,
termasuk
BPN.
Hal
tersebut
mengakibatkan pada tahun-tahun terakhir ini BPN kurang dapat mengembangkan kreativitasnya secara maksimal dalam mencapai visi dan melaksanakan misi yang diembannya. Dengan dibentuknya Kabinet Presiden Abdurachman Wahid pada tahun 1999, maka dengan serta merta Lembaga Menteri Negara Agraria dibubarkan yang
dapat
diartikan
sebagai
memperlemah
kemampuan
institusi
pertanahan/agrarian, dan yang kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati dengan menerbitkan berbagai Keputusan Presiden (Keppres) dan keputusan lainnya mengenai dan/atau yang berengaruh pada penyelenggaraan pertanahan/agrarian, yang tujuannya untuk penyempurnaan melalui perubahan tugas pokok dan misi, serta susunan organisasi LPND dan/atau BPN. Di
samping
organisasi
pertanahan/agrarian
diciutkan,
juga
pada
pemerintahan dua presiden terakhir ini terjadi tarik ulur antara dua kekuatan politik dalam hal penerapan otonomi pertanahan/agrarian yang satu menghendaki dialkukan sekaligus dan lainnya dilakukan bertahap, yang berdampak pada
36
gunjang-ganjingnya dan perubahan Keppres terytama yang berkaitan dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab, serta organisasi pertanahan/agrarian. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan pada tahun-tahun terakhir ini, BPN selaku pengemban tugas di bidang pertanahan/agrarian, tidak dapat mengembangkan kreasinya secara penuh dalam rangka mencapai visi dan melaksanakan misinya.
3.1.2 Visi dan Misi Badan Pertanahan Nasional 3.1.2.1 Visi Badan Pertanahan Nasional Rencana Strategis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Tahun 2010-2014 menggambarkan kelanjutan, peningkatan, pengembangan, dan pemantapan pengelolaan pertanahan yang selama ini telah dilaksankan dengan memperhatikan kondisi factual yang terjadi saat ini, maupun refleksi obyektif ke depan. Rencana Strategis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tersebut diperlukan sebagai arah pngelolaan pertanahan di Indonesia, sebagaimana arahan Presiden Republik Indonesia dalam Sidang Paripurna Pertama Kabinet Indonesia Bersatu II pada tanggal 23 Oktober 2009. Dalam rangka melaksanakan visi Pembangunan Jangka Panjang yang telah dicanangkan, selanjutnya disusun RPJM ke-2 (2010-2014) yang ditujukan untuk lebih memantapkan penatan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian.
37
Berkenaan dengan upaya untuk memberikan dukungan dalam mewujudkan visi dan pelaksanaan agenda pembangunana nasional, maka dalam rangka pembangunan pertanahan telah ditetapkan visi pebangunan pertanahan 2010-2014 yang merupakan cita-cita yang ingin diwujudkan Badan Pertanahan Nasional, yaitu: “Menjadi lembaga yang mampu mewujudakan tanah dan pertanahan umtuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, serta keadilan dan keberlanjutan system kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia”.
3.1.2.2 Misi Badan Pertanahan Nasional Berdasarkan arah kebijakan pembangunan nasional dan visi serta kondisi yang ingin dicapai dalam lima tahun kedepan dalamdalam rangka peningkatan pengeloalaan pertanahan dan pengembangan administrasi petanahan, ditetapkan misi pembangunan pertanahan yang diemban/dilaksanakan BN dalam tahun 20102014 yang mengacu pada 4 (empat) prinsip bahwa Pengelolaan Pertanahan berkontribusi pada terwujudnya: Prosperity, Equity, Social Welfare, dan Sustainability bagi Rakyat. Beranjak dari visi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, ditetapkan misi pembangunan pertanahan yang akan diemban/dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yaitu: 1. Peningkatan
kesejahteraan
rakyat,
penciptaan
sumber-sumber
baru
kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan ketahanan pangan;
38
2. Peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T); 3. Perwujudan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air dan penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa, konfik dan perkara di kemudian hari; 4. Keberlanjutan system kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasai yang akan dating terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan rakayat, dan 5. Penguatan lembaga pertanahan sesuai dengan jiwa, semangat, prinsip, dan aturan yang tertuang dalam UUPA dan aspirasi rakyat secara luas untuk mencapai tujuan pembangunan di bidang pertanahan yaitu, “Mengelola tanah seoptimal mungkin untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat
3.1.3 Struktur Organisasi Secara umum struktur organisai Kantor Pertanahan dapat dilihat pada gambar 3.1 berikut:
39
Kantor Pertanahan Kabupaten/kota
Sub Bagian tata Usaha
Urusan Perencanaan dan Keuangan
Urusan Umum dan Kepegawaian
Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan
Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah
Seksi Survei, Pengukuran, dan Pemetaan
Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan
Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara
Sub Seksi Pengendalian Pertanahan
Sub Seksi Pendaftaran Hak
Sub Seksi Pengukuran dan Pemetaan
Sub Seksi Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu
Sub Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara
Sub Seksi Pemberdayaan Masyarakat
Sub Seksi Penetapan Hak Tanah
Sub Seksi Tematik dan Potensi Tanah
Sb Seksi Landreform dan Konsolidasi Tanah
Sub Seksi Perkara Pertanahan
Sub Seksi Pengaaturan Tanah Pemerintah
Sub Seksi Peralihan
Gambar 3.1 Struktur organisasi (BPN-RI, 2010)
3.1.4 Deskripsi Kerja Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengatasi pertanahan sudah mendapatkan legitimasi yang sangat kuat yaitu dengan disahkannya Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang menetapakn prinsip dan arah kebijakan pembaruan agrarian dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkeadilan dan berkelanjutan. Ketetapan tersebut
40
memberikan mandat kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan berbagai hal baik menyangkut penataan peraturan dan perundang-undangan maupun penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang kesemuanya diletakkan dalam kerangka membangun kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan, serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman disintegrasi bangsa baik ancaman dari dalam mauapun dari luar. Dalam upaya mengatasi masalah yang dihadapi saat ini, Pemerintah Indonesia memandang perlu membangun suatu Kerangka Kebijkan Pertanahan Nasional yang mampu memberikan rujukan (pedoman/acuan) untuk pengelolaan pertanahan/agrarian bagi semua pihak (pemerintah, pengusaha, masyarkat), yang berkepentingan dengan masalah penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Kerangka kebijakan yang berperan sebagai arah kebijakan pembangunan pertanahan tersebut adalah Reforma Agraria. Dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan Pemerintah Indonesia dapat secara konsisten mengembalikan dan menjalankan kebijkan pertanahan sebagaimana yang diharapkan oleh amanat UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Kerangka kebijakan tersebut sangat penting untuk dimiliki mengingat tanah merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional. Dengan memperhatikan permasalahn pertanahan yang dihadapi dewasa ini, pemerintah mengambil langkah-langkah berupa rumusan arah kebijakan dan
41
rencana tindak. Arah kebijakan dan rencana tindak tersebut dilakukan untuk mewujudkan kondisi yang ingin dicapai dalam tahun 2010-2014, sbagai berikut: 1. Mewujudkan kondisi yang mampu menstimulasi, mendinamisasi dan memfasilitasi terselenggaranya survei dan pemetaan tanah secara cepat, modern dan lengkap serta tetap menjamin akurasi di seluruh wilayah Indonesia khususnya wilyah yang memiliki potensi ekonomi tinggi serta rawan masalah pertanian; 2. Melaksanakan percepatan pendaftaran tanah dan penguatan hak atas tanah melalui berbagai program sertipikasi tanah dengan biaya murah, dengan tetap mendorong, menyediakan fasilitas serta infrastruktur bagi inisiatif, swadaya dan partisipasi masyarakat; 3. Menata,
mengendalikan
P4T
dan
mengokohkan
keadilan
agraria,
mengurangi kemiskinan serta membuka lapangan kerja melalui Program Pembaruan Agraria Nasional; 4. Melakukan
harmonisasi
kebijakan
penataan
ruang
di
daerah,
pulau/kepulauan, kawasan-kawasan strategis dan penataan ruang nasional serta perbaikan sistem dan pelaksanaan perizinan di bidang pertanahan melalui pendataan perizinan yang dilakukan dengan menghormati prinsipprinsip keadilan bagi semua pihak; 5. Melakukan pengendalian dan penertiban terhadap penguasaan dan pemilikan tanah-tanah yang tidak digunakan (terlantar) sebagaimana maksud dan tujuan penguasaan dan pemilikannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
42
6. Mengurangi secara signifikan jumlah konflik, sengketa dan perkara pertanahan baru melalui pembenahan kegiatan/pelayan pertanahan; 7. Meningkatkan mutu pelayanan public di bidang pertanahan agar lebih berkualitas, cepat, akurat, tepat, transparan dan akuntabel, dengan tetap emnjaga kepastian hokum, serta mendekatkan pusat-pusat layanan pertanahan kepada masyarakat termasuk pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan; 8. Melakukan harmonisasi beberapa peraturan perundangan di bisang pertanahan sebagiamana tertuang dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 yang mengamanatkan untuk melakukan pengkajian peraturan di bidang pertanahan; 9. Melakukan upaya pembenahan, baik melalui penguatan kelembagaan maupun pengelolaan pegawai, di samping melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia pertanahan; 10. Mengembangkan infrastruktur pertanahan dalam rangka meningkatkan kinerja pengelolaan pertanahan, mengingta pertumbuhan jumlah kantor pertanahan kabupaten/kota semakin bertambah akibat pemekaran wilayah administrasi kabupaten/kota yang masih terus berlangsung, dan hal ini tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah pegawai. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, arah kebijakan yang ditempuh melalui strategi sebagai berikut: 1. Peningkatan infrastruktur peta pertanahan dalam rangka legalisasi asset dan kepastian hokum hak atas tanah serta mengurangi potensi sengketa tanah;
43
2. Pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T); 3. Peningkatan kinerja layanan pertanahan; 4. Pengakan hokum terkait pertanahan serta mengurangi jumlah tanah-tanah terlantar.