BAB III TENTANG EVOLUSI AGAMA MENURUT E.B TYLOR A. Biografi E.B. Tylor dan Karya-Karyanya E.B.Tylor termasuk tokoh yang beraliran klasik. Dia mendapatkan pendidikan secara privat dan tidak pernah memasuki dunia Perguruan Tinggi. Pada tahun 1856 dia pergi bersama Henry Christy seorang ahli prasejarah ke Meksiko, dan kemudian pada tahun 1861 dia menerbitkan bukunya yang merupakan karya pertamanya yaitu Anahuac, Or Mexico And Mexicants, Ancient And Modern. Karyanya yang sangat terkenal adalah yang berjudul” Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language. Art and Custom yang terbit pada tahun 1871. Dalam karyanya ini, salah satu lembaga yang ditelitinya dalam perkembangan evolusi adalah evolusi religi. Dalam uraiannya, E.B.Tylor mendahului analisisnya dengan suatu statemen bahwa tidak ada satu bangsa di dunia ini yang tidak mengneanl agama. Minimum adalah animisme yaitu kepercayaan akan adanya spiritual being.1 Karena pembahasan utamanya mengenai animisme, maka yang merupakan hal paling pokok adalah jiwa (soul) di mana orang-orang primitif sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pertama, apakah yang menyebabkan manusia hidup dan mati, demikian juga yang menyebabkan manusia tidak sadar, bangun atau terjaga, sakit dan mati. Kedua, apa yang muncul pada
1
Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama, Jilid I, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 81-83
34
35
waktu orang sedang tidur atau mimpi. Dari sini kemudian dia menyimpulkan adanya dua hal yang ada pada manusia yaitu kehidupannya dan bayangannya. Kemudian pendapatnya meningkat pada uraiannya tentang soul. Menurut E.B. Tylor, “soul” adalah gambaran, bayangan dari manusia yang sangat lembut dan halus, seolah-olah uap. Soul tidak tergatung pada pemiliknya baik dahulu maupun sekarang. Soul ini mempunyai kesadaran pribadi yang dapat meninggalkan jasad atau badan dan dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Soul ini tidak dapat dilihat, namun dapat menyebabkan daya kekuatan fisik dan dapat muncul pada saat manusia, dalam keadaan bangun atau terjaga (tidak tidur), maupun dalam keadaan tidur, dalam bentuk seolah-olah seperti hantu atau setan. Soul ini sekalipun sudah meninggalkan jasad atau badan lain baik manusia, hewan, maupun bendabenda, dan mampu menggerakkan yang ditempatinya. Definisi atau batasan soul ini dapat digunakan untuk meneliti fenomena animisme pada semua bangsa. Mengenai “spirit”, diuraikannya bahwa setelah manusia meninggalkan, maka soulnya pergi ke dunia atau alam spirit dan menjadi makhluk-makhluk halus. Spirit dapat merasuk dan menempati benda-benda, kita harus mengingat bahwa kepercayaan tentang fetish, ‘fetishisme’ memberi pengertian adanya spirit dan soul tersebut menimbulkan kepercayaan dan pemujaan serta penyembahan terhadap arwah para leluhur, pemujaan terhadap patung-patung dan benda-benda yang mempunyai jiwa.
36
Dalam tahapan kedua mengenai evolusi religi, manusia percaya bahwa semua fenomena alam yang bergerak adalah disebabkan oleh spirit, dan kemudian dipersonifikasikan sebagai makhluk-makhluk atau pribadi-pribadi yang mempunyai kemauan, pikiran dan kehendak. Dalam perkembangan selanjutnya, makhluk-makhluk yang ada dibalik fenomena alam ini disebut sebagai “dewa-dewa alam”. Kemudian dalam tahapan ketiga evolusi Religi, ternyata bertautan dan berjalan dengan perkembangan suatu masyarakat yang terwujud dalam susunan dan tata pemerintahan, yaitu muncul kepercayaan bahwa tokoh-tokoh leluhur atau ‘dewa-dewa’ tadi juga hidup dalam suatu susunan lapisan-lapisan tata pemerintahan yang serupa dengan dunia manusia yang masih hidup. Tokoh-tokoh
leluhur
atau
‘dewa-dewa’
mempunyai
pangkat-pangkat
kedudukan tertentu, berlapis-lapis, bertingkat-tingkat, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi, sehingga dalam perkembangannya kemudian muncullah satu tokoh atau satu “dewa” yang tertinggi saja dan ini sangat berpengaruh serta menentukan baik terhadap alamnya maupun terhadap manusia yang masih di dunia ini. Pendapat-pendapat dan konsep maupun teori E.B. Tylor ini kemudian ternyata tidak dapat bertahan, karena ternyata evolusi klasik dihadapkan pada suatu suasana sosial di mana di Barat sendiri, perkembangan masyarakat secara mekanis bergerak ke arah kemajuan yang menyeluruh. Demikian juga timbulnya pengaruh dari filsafat tentang ‘Relatifisme Kultur’. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa dalam perkembangannya kemudian teori
37
evolusi klasik ini digoyahkan oleh perubahan pandangan dan filsafat masyarakat sendiri. Dalam bidang antropologi sendiri, teori evolusi mendapat kritik yang santer juga sehingga pada sekitar abad kedua puluh banyak ahliahli antropologi yang meninggalkannya.2 Edward Burnett Tylor yang sering disingkat dengan nama E.B. Tylor (1832-1917) adalah orang Inggris yang mula-mula mendapatkan pendidikan dalam kesusastraan dan peradaban Yunani serta Rum klasik dan baru kemudian tertarik akan ilmu arkeologi.3 Karena ia mendapat kesempatan untuk turut dengan keluarganya berkelana ke Afrika dan Asia, ia menjadi tertarik untuk membaca etnografi.4 E.B Tylor sebagai orang yang dianggap memiliki kemahiran dalam ilmu arkeologi, maka dalam tahun 1856 ia turut dengan suatu ekspedisi Inggris untuk menggali benda-benda arkeologi di Mexico. Walaupun ia hanya turut sebagai asisten saja, namun ia dapat menghasilkan sebuah buku sendiri mengenai kebudayaan Mexico kuno dibandingkan dengan kebudayaan Mexico masa kini, berjudul Anahuac, or Mexico and the Mexicans, Ancient and Modern (1861). Buku ini merupakan hasil karya Tylor yang pertama, dan beratus-ratus buku serta karangan yang lain terbit kemudian, baik dari waktu sebelum ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Oxford dalam tahun
2
Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama Bagian I, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 81-
83. 3
Arkeologi adalah ilmu tentang kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan benda peningglannya, seperti patung dan perkaks rumah tangga (ilmu purbakala). Lihat Tim Penyusuhn Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, hlm. 63. 4 Etnografi adalah deskripsi tentang kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup; atau ilmu tentang pelukisan kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup tersebar dimuka bumi. Lihat Sutan Muhammad Zaen, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Yayasan Darma, tt, hlm. 309.
38
1883, maupun setelah itu merupakan sumbangannya terhadap perkembangan antropologi.5 Dari karangan-karangan itu, terutama dari buku yang tebalnya dua jilid berjudul Researches into the Early History of Mankind (1871), tampak pendiriannya sebagai penganut cara berpikir evolusionisme. Menurut uraiannya sendiri, seorang ahli antropologi bertujuan mempelajari sebanyak mungkin kebudayaan yang beranekaragam di dunia, mencari unsur-unsur persamaan
dalam
kebudayaan-kebudayaan
itu,
dan
kemudian
mengkelaskannya berdasarkan unsur-unsur persamaan itu sedemikian rupa, sehingga tampak sejarah evolusi kebudayaan manusia itu dari satu tingkat ketingkat yang lain. Suatu penelitian serupa itu dilakukan sendiri dengan mengambil sebagai pokok, unsur-unsur kebudayaan seperti sistem religi, kepercayaan, kesusastraan, adat istiadat, upacara, dan kesenian. Penelitian itu menghasilkan karyanya yang terpenting, yaitu dua jilid Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language. Art and Custom (1874). Dalam buku itu ia juga mengajukan teorinya tentang asal mula religi yang berbunyi sebagai berikut: asal mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran akaan paham jiwa itu karena dua hal, yaitu 1. perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dsan halhal yang mati.satu organisma pada satu saat bergerak-gerak, artinya hidup, tetapi tak lama kemudian organisma itu tak bergerak lagi, artinya 5
Kuntjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta, 1987, hlm. 46-48.
39
mati.maka manusia mulai sadar akan adanya suatu kekuatan yang menyebabkan gerak itu, yaitu jiwa. 2. Peristiwa mimpi dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempattempat lain (bukan di tempat di mana ia sedang tidur). Maka manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat lain. Bagian lain itulah yang disebut jiwa B. Pendapat E.B. Tylor Tentang Evolusi Agama Sebagaimana telah diterangkan dalam biografinya, bahwa dalam penelitiannya yang dilakukan sendiri dengan mengambil sebagai pokok penelitian, dengan unsur-unsur kebudayaan seperti sistem religi, kepercayaan, kesusastraan, adat istiadat, upacara, dan kesenian. Penelitian itu menghasilkan karyanya yang terpenting, yaitu dua jilid Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language. Art and Custom (1874). Dalam buku itu E.B. Tylor mengajukan teori tentang asal mula agama, yang berbunyi sebagai berikut: asal mula agama adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran akan paham jiwa itu disebabkan karena dua hal, yaitu: 1. Perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan halhal yang mati. Satu organisma pada suatu saat bergerak-gerak, artinya hidup, tetapi tak lama kemudian organisma itu tak bergerak lagi, artinya mati. Dalam kondisi seperti ini, manusia mulai sadar akan adanya suatu kekuatan yang menyebabkan gerak itu, yaitu jiwa.
40
2. Peristiwa mimpi dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempattempat lain (bukan di tempat di mana ia sedang tidur). Maka manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat lain. Bagian lain itulah yang disebut jiwa.6 Dalam Ensiklopedi Agama dan Filsafat dijelaskan bahwa animisme berasal dari kata anima artinya nyawa atau ruh. Di dalam artian teknis artinya kepercayaan terhadap adanya ruh dan nyawa pada setiap isi alam ini. Manusia, pohon, sungai, gunung atau lautan mempunyai nyawa atau roh. Inilah animisme yang pertama kali diperkenalkan pertama kali oleh E.B.Tylor Tahun 1807. oleh karena itu kadang-kadang sukar dibedakanantara animisme dengan politheisme. Animisme itu meliputi berbagai kepercayaan.7 (1) Di dunia ini tidak ada benda yang tidak berjiwa; (2) Yang terpenting adalah jiwa dan bukan benda (materi) karena tanpa jiwa maka semuanya akan mati; (3) Matahari, bulan, bintang bergerak dan bercahaya karena mempunyai jiwa. Itulah sebabnya ia menganggap animisme adalah paham, semua benda mempunyai roh.8 Sifat abstrak dari jiwa itu menimbulkan keyakinan pada manusia bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmaninya. Pada hidup, jiwa itu masih tersangkut kepada tubuh jasmani, dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu manusia tidur atau pingsan. Karena pada saat-saat 6
Kuntjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, 1977, hlm. 220. Mochtar Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Entri A-B, Universitas Sriwijaya, Palembang, 2000, hlm.256. 8 Ibid 7
41
serupa itu kekuatan hidup pergi melayang, maka tubuh dalam keadaan lemah. Tetapi E.B. Tylor berpendirian bahwa walaupun sudah melayang, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat tidur atau pingsan tetap ada. Hanya apabila manusia mati, jiwa maleyang terlepas, dan terputuslah hubungan dengan tubuh jasmani untuk selama-lamanya. Hal itu jelas terlihat apabila tubuh jasmani sudah hancur, berubah menjadi debu di dalam tanah atau hilang berganti menjadi abu di dalam api upacara pembakaran mayat. Jiwa yang telah merdeka terlepas dari jasmaninya itu dapat berbuat sekehendaknya. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka itu, yang oleh E.B. Tylor tidak disebut soul atau jiwa lagi, tetapi disebut spirit (makhluk halus atau roh). Dengan demikian pikiran manusia telah mentransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa menjadi keyakinan kepada makhluk-makhluk halus.9 Pada tingkat tertua dalam evolusi agamanya, manusia percaya bahwa makhluk-makhluk halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya. Makhluk-makhluk halus yang tinggal dekat tempat tinggal manusia itu, yang bertubuh halus sehingga tidak dapat tertangkap oleh panca indera manusia, mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sehingga menjadi obyek penghormatan dan penyembahannya, yang disertai berbagai upacara berupa doa, sajian atau korban. Agama serupa itulah yang oleh E.B. Tylor disebut animism.10
9
Hilman Hadi Kusuma, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya Terhadap Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Kong Hukum Cu, di Indonesia), PT Citra aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 31. 10 Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama, Jilid I, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 8183.
42
Kemudian E.B. Tylor melanjutkan teorinya tentang asal mula agama dengan suatu uraian tentang evolusi agama, yang berdasarkan cara berpikir evolusionisme. Katanya, animisme yang pada dasarnya merupakan keyakinan kepada roh-roh yang mendiami alam semesta sekeliling tempat tinggal manusia merupakan bentuk religi yang tertua. Pada tingkat kedua dalam evolusi religi, manusia yakin bahwa gerak alam yang hidup itu juga disebabkan adanya jiwa dibelakang peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala alam itu. Sungai-sungai yang mengalir dan terjun ke laut, gunung-gunung yang meletus, gempa bumi, angin topan, gerak matahari, tumbuhnya tumbuhan; pokoknya seluruh gerak alam disebabkan oleh makhluk-makhluk halus yang menempati alam.11 Jiwa alam itu kemudian dipersonifikasikan dan dianggap seperti makhluk-makhluk yang memiliki suatu kepribadian dengan kemauan dan pikiran, yang disebut dewa-dewa alam. Pada tingkat ketiga dalam evolusi religi, bersama dengan timbulnya susunan kenegaraan dalam masyarakat manusia, timbul pula keyakinan bahwa dewa-dewa alam itu juga hidup dalam suatu susunan kenegaraan, serupa dalam dunia makhluk manusia. Maka terdapat pula suatu susunan pangkat dewa-dewa, mulai dari raja dewa-dewa sebagai dewa tertinggi, sampai pada dewa-dewa yang terendah pangkatnya. Susunan serupa itu lambat laun menimbulkan kesadaran bahwa semua dewa itu pada hakekatnya hanya merupakan penjelmaan dari satu dewa saja, yaitu dewa yang tertinggi. Akibat dari keyakina itu adalah berkembangnya 11
E.E Evan Pritchard, Teori-Teori Tentang Agama Primitif, PLP2M, Pusat Latihan Penelitian dan Pengembangan Masyarakat, Yogyakarta, 1984, hlm. 32.
43
keyakinan kepada satu Tuhan dan timbulnya agama-agama yang bersifat monoteisme sebagai tingkat yang terakhir dalam evolusi religi manusia.12 Penelitian E.B. Tylor mengenai tingkat-tingkat evolusi kebudayaan manusia telah menimbulkan padanya konsep survivals. Para sarjana penganut teori tentang tingkat-tingkat evolusi kebudayaan tentu mempunyai suatu konsepsi tentang bentuk kebudayaan bagi tiap-tiap tingkat. Dengan demikian tiap tingkat mempunyai kebudayaan teladan masing-masing.13 Walaupun demikian di antara kebudayaan-kebudayaan yang ditelitinya tidak ada satu pun yang seratus persen cocok atau memenuhi syarat-syarat dari contoh-contoh kebudayaan yang dikonstruksikan secara teoritis oleh para ahli evolusionisme sendiri. Dalam kenyataan, pada semua kebudayaan itu ada beberapa unsur yang tidak terdapat dalam kebudayaan teladan, sehingga secara teori tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu tingkat evolusi tertentu. E.B. Tylor memecahkan persoalan itu dengan suatu pendirian bahwa unsur-unsur itu adalah unsur-unsur sisa-sisa dari kebudayaan-kebudayaan yang berasal dari suatu tingkat evolusi sebelumnya. Unsur-unsur itu merupakan survivals. Dengan demikian, paham suvivals itu menjadi alat yang penting sekali bagi
12
Robert Brow, Asal Mula Agama (Religion, Original, Ideas), terj. Stanley Heath, Ruth Rahmat, Iskandri K. Iskandar, Tonis, Bandung, 1986, hlm. 14. 13 Kebudayaan menurut Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya rasa dan cipta masyarakat. Lihat Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, edisi Pertama, Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1964, hlm. 113. lihat juga Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, CV Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 167.
44
para penganut evolusionisme dalam menganalisa kebudayaan-kebudayaan dan dalam menentukan tingkat-tingkat evolusi dari tiap kebudayaan itu.14 Kecuali sebagai survivals, E.B. Tylor sering juga menerangkan adanya unsur-unsur kebudayaan yang tidak termasuk kebudayaan teladan sebagai akibat persebaran dan pengaruh kebudayaan lainnya. Terutama dalam bukunya mengenai perkembangan agama tersebut di atas dan juga dalam beberapa karangan kecil lainnya, E.B. Tylor menerangkan adanya unsur-unsur kebudayaan seperti motif dengan mitologi, permainan, bentuk bajak, bentuk tiang keramat (tiang totem), motif perhiasan, alat pertanian dan sebagainya, sebagai akibat dari persebaran pengaruh kebudayaan-kebudayaan tetangga.15 Di antara beratus-ratus karangan E.B. Tylor, maka salah satunya menjadi pangkal dari suatu metode penelitian baru, yang kurang lebih empat puluh
tahun
kemudian
berkembang
dalam
ilmu
antropologi,
yaitu
karangannya On a Method of Investigating the Development of Institutions; Applied to the Laws of Marriage and Decent (1889). Dalam karangan itu antara lain mencoba menunjukkan dengan bukti angka-angka statistika bagaimana tingkat matriarchate berevolusi ke tingkat patriarchate (suatu pendirian yang mula-mula berasal dari J.J. Bachofen). Ia mengambil tiga ratus masyarakat yang tersebar di berbagai tempat di dunia, dan khusus memperhatikan adat istiadat yang bersangkutan dengan perkawinan, lalu mencoba menghitung berapa kali sesuatu unsur dalam adat istiadat 14
Francisco Jose Moreno, Agama dan Akal Fikiran Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi, terj. M. Amin Abdullah, CV Rajawali, Jakarta, 1989, hlm. 129. 15 Koenjtaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Universitas Indonesia (UI Perss), Jakarta, 1987, hlm. 51.
45
perkawinan berdampingan dengan unsur yang lain dalam ketiga ratus masyarakat itu. Mengenai adat couvade misalnya ia mendapatkan bahwa adat itu tidak pernah berdampingan dengan sistem matriarchate, sedangkan ada delapan masyarakat di mana couvade berdampingan dengan patriarchate, dan ada duapuluh masyarakat di mana couvade berdampingan dengan sistem patriarchate yang masih mengandung ciri-ciri matriarchate. Oleh E.B. Tylor angka-angka serupa itu dianggap sebagai bukti bahwa adat couvade dimaksudkan untuk memperkuat hubungan antara ayah dengan si anak di dalam masa perubahan dari tingkat matriarchate ke tingkat patrirchate. Demikian juga ia memperhitungkan hubungan-hubungan korelasi lain yang disebutnya adhesions antara unsur kebudayaan yang bersangkutan dengan sistem kekerabatan dengan menggunakan metode-metode statistik. Lepas dari kesimpulan-kesimpulan dari tiap perhitungan yang selalu dihubungkan oleh E.B. Tylor dengan perkembangan evolusi masyarakat, metode untuk membandingkan unsur-unsur kebudayaan dalam jumlah kebudayaan yang besar (misalnya tiga ratus buah), diterapkan secara luas oleh para sarjana antropologi yang melakukan penelitian-penelitian cross-culttural..16 Dalam uraiannya, E.B. Tylor mendahului analisisnya dengan suatu statemen bahwa tidak ada satu bangsa di dunia ini yang tidak mengenal agama. Minimum adalah animisme yaitu kepercayaan akan adanya Spiritual Being.
16
Ibid, hlm. 51-53.
46
Karena pembahasan utamanya mengenai animisme, maka yang merupakan hal pokok adalah pada jiwa (soul) di mana orang-orang primitif sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pertama, apakah yang menyebabkan manusia hidup dan mati, demikian juga yang menyebabkan manusia tidak sadar, bangun atau terjaga, sakit dan mati. Kedua, apa yang muncul pada waktu orang sedang tidur atau mimpi. Dari sini kemudian dia menyimpulkan adanya dua hal yang ada pada manusia yaitu kehidupannya dan bayangannya. Kemudian pendapatnya meningkat pada uraiannya tentang soul. Menurut E.B. Tylor, “soul” adalah gambaran, bayangan dari manusia yang sangat lembut dan halus, seolah-olah uap. Soul tidak tergatung pada pemiliknya baik dahulu maupun sekarang. Soul ini mempunyai kesadaran pribadi yang dapat meninggalkan jasad atau badan dan dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Soul ini tidak dapat dilihat, namun dapat menyebabkan daya kekuatan fisik dan dapat muncul pada saat manusia, dalam keadaan bangun atau terjaga (tidak tidur), maupun dalam keadaan tidur, dalam bentuk seolah-olah seperti hantu atau setan. Soul ini sekalipun sudah meninggalkan jasad atau badan lain baik manusia, hewan, maupun bendabenda, dan mampu menggerakkan yang ditempatinya. Definisi atau batasan soul ini dapat digunakan untuk meneliti fenomena animisme pada semua bangsa. Mengenai “spirit”, diuraikannya bahwa setelah manusia meninggalkan, maka soulnya pergi ke dunia atau alam spirit dan menjadi makhluk-makhluk halus. Spirit dapat merasuk dan menempati benda-benda, kita harus mengingat
47
bahwa kepercayaan tentang fetish, ‘fetishisme’ memberi pengertian adanya spirit dan soul tersebut menimbulkan keprcayaan dan pemujaan serta penyembahan terhadap arwah para leluhur, pemujaan terhadap patung-patung dan benda-benda yang mempunyai jiwa, dan syamanisme. Dalam tahapan kedua mengenai evolusi religi, manusia percaya bahwa semua fenomena alam yang bergerak adalah disebabkan oleh spirit, dan kemudian dipersonifikasikan sebagai makhluk-makhluk atau pribadi-pribadi yang mempunyai kemauan, pikiran dan kehendak. Dalam perkembangan selanjutnya, makhluk-makhluk yang ada dibalik fenomena alam ini disebut sebagai “dewa-dewa alam”. Kemudian dalam tahapan ketiga evolusi Religi, ternyata bertautan dan berjalan dengan perkembangan suatu masyarakat yang terwujud dalam susunan dan tata pemerintahan, yaitu muncul kepercayaan bahwa tokoh-tokoh leluhur atau ‘dewa-dewa’ tadi juga hidup dalam suatu susunan lapisan-lapisan tata pemerintahan yang serupa dengan dunia manusia yang masih hidup. Tokoh-tokoh
leluhur
atau
‘dewa-dewa’
mempunyai
pangkat-pangkat
kedudukan tertentu, berlapis-lapis, bertingkat-tingkat, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi, sehingga dalam perkembangannya kemudian muncullah satu tokoh atau satu “dewa” yang tertinggi saja dan ini sangat berpengaruh serta menentukan baik terhadap alamnya maupun terhadap manusia yang masih di dunia ini. Pendapat-pendapat dan konsep maupun teori E.B. Tylor ini kemudian ternyata tidak dapat bertahan, karena ternyata evolusi klasik dihadapkan pada
48
suatu suasana sosial di mana di Barat sendiri, perkembangan masyarakat secara mekanis bergerak ke arah kemajuan yang menyeluruh. Demikian juga timbulnya pengaruh dari filsafat tentang ‘Relatifisme Kultur’. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa dalam perkembangannya kemudian teori evolusi klasik ini digoyahkan oleh perubahan pandangan dan filsafat masyarakat sendiri. Dalam bidang antropologi sendiri, teori evolusi mendapat kritik yang santer juga sehingga pada sekitar abad kedua puluh banyak ahliahli antropologi yang meninggalkannya.17 C. Latar Belakang dan Alasan E.B. Tylor Mengemukakan Evolusi Agama Sarjana yang dianggap pertama kali mengemukakan pendapat bahwa asal mula dari agama yaitu animisme (paham tentang jiwa atau roh) adalah sarjana Antropologi Inggris E. B. Tylor dalam bukunya “Primitive Culture”, Researches Into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom (1873). Ia berpendapat asal mula agama adalah kepercayaan manusia tentang adanya jiwa. Mengapa manusia sederhana itu menyadari tentang adanya jiwa atau roh, maka dalam hal ini E.B.Tylor membuat alasan bahwa dikarenakan yang nampak dan dialaminya sebagai berikut: 1. Peristwa hidup dan mati Bahwa adanya hidup karena adanya gerak, dan gerak itu terjadi karena adanya jiwa. Selama jiwa itu ada dalam tubuh maka nampak tubuh
17
81-83.
Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama Bagian I, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm.
49
itu bergerak, apabila jiwa itu lepas dari tubuh berarti mati dan tubuh tidak bergerak lagi. 2. Peristiwa mimpi Bahwa ketika manusia itu tidur atau pingsan ia mengalami mimpi di mana tubuh itu diam dan masih ada gerak (nafas), tetapi ia tidak sadar karena sebagian dari jiwanya terlepas dan gentayangan ke tempat lain, sehingga jiwa yang terlepas itu bertemu dengan jiwa yang lain, baik jiwa manusia yang masih hidup atau yang sudah mati, mungkin juga dengan jiwa makhluk yang lain. Kemudian setelah jiwa itu kembali ke dalam tubuh maka ia menjadi sadar, ingat dan bergerak kembali.18 Dalam konteksnya dengan pendapat E. B. Tylor di atas yang pembahasan utamanya mengenai animisme, maka yang paling merupakan hal yang pokok adalah pada jiwa (soul) di mana orang-orang primitif sangat di pengaruhi oleh dua hal yaitu pertama apakah yang menyebabkan manusia hidup dan mati, demikian juga yang menyebabkan manusia tidak sadar bangun atau terjaga, sakit dan mati. Kedua, apa yang muncul pada orang sedang tidur atau mimpi. Dari sini kemudian dia menyimpulkan adanya dua hal yang ada pada manusia yaitu kehidupannya dan bayangannya.19 Sebagai fenomena religius, animisme tampaknya bersifat universal, terdapat dalam semua agama, bukan pada orang-orang primitif saja, meskipun penggunaan populer dari istilah itu sering dikaitkan dengan agama-agama 18
H. Hilman Hadi Kusuma, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya terhadap Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, di Indonesia), PT. Citra Adtya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 29. 19 Zakiah Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 81.
50
“primitif” atau masyarakat kesukuan. Animisme dapat kita definisikan sebagai
kepercayaan
pada
makhluk-makhluk
adikodrati
yang
dipersonalisasikan. Manifestasinya adalah dari Roh yang Mahatinggi hingga pada roh halus yang tak terhitung banyaknya, roh leluhur, roh dalam obyekobyek alam.20 Jika dikaji teori E. B. Tylor, bahwa pada intinya ia menganggap asal mula dari agama adalah animisme (paham tentang jiwa atau roh). Alasannya: (1) Di dunia ini tidak ada benda yang tidak berjiwa; (2) Yang terpenting adalah jiwa dan bukan benda (materi) karena tanpa jiwa maka semuanya akan mati; (3) Matahari, bulan, bintang bergerak dan bercahaya karena mempunyai jiwa. Itulah sebabnya ia menganggap animisme adalah paham, semua benda mempunyai roh.
20
Mariasusai Dhavamony, terj. A. Sudiarja et.al, Fenomenologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 67.