BAB III Stereotip Gender Unger & Crowford (1992) menyatakan teori atribusi merupakan bagian dari Psikologi Sosial yang bersibuk diri dengan cara seseorang menerangkan penyebab dari perilaku diri sendiri dan orang lain. Selanjutnya akan diuraikan bagian dari teori atribusi yang relevan dengan studi tentang stereotip gender sebagai bagian dari pembahasan gender pada tulisan ini. Atribusi merupakan asumsi-asumsi mengenai mengapa orang berperilaku tertentu. Belief tentang perbedaan penyebab ini mengarah pada perbedaan harapan terhadap laki-
19
Universitas Sumatera Utara
laki dan perempuan. Melalui atribusi inilah stereotip berperan sebagai mekanisme control social. Perbedaan atribusi terhadap laki-laki dan perempuan ini hadir pada area perilaku yang luas dan bervariasi, yang membantu membentuk dasar dari diskriminasi terhadap laki-laki dan perempuan (Unger & Crowford, 1992). Penyebab perbedaan ini, salah satunya adalah adanya perbedaan jumlah akses informasi yang berbeda dari diri si actor dan orang lain. Mereka memiliki informasi yang sedikit mengenai perubahan perilaku orang lain sebagai fungsi dari perbedaan peran atau konteks social (Unger & Crowford, 1992). Selanjutnya mereka menyatakan, menggunakan gender sebagai basis dalam membuat atribusi berarti mengubah pandanagan kita tentang penyebab perbedaan gender. Berdasarkan pandangan ini, pertama orang-orang menjadi dokter atau perawat, dan kekmudian membentuk sifat-sifat kepribadian yang ‘sesuai’ dengan pekerjaan ini. Karena kita memiliki pengalaman yang terbatas terhadap laki-laki dan perempuan pada peran yang sama, kita cenderung menerangkan perbedaan gender sebagai hal yang disposisional meskipun hal itu bisa jadi suatu respons terhadap batasan social. Menurut Unger dan Crowford hal inilah yang menyebabkan orang-orang tercengang bila perempuan eksekutif atau atlit berperilaku seperti laki-laki yang memiliki peran yang sama. Perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki selalu dianggap menimbulkan dampak adanya perbedaan terhadap perilaku apa yang cocok dan tidak cocok (peran gender) terhadap laki-laki dan perempuan. Namun penelitian-penelitian 20
Universitas Sumatera Utara
secara biologis terhadap laki-laki dan perempuan menunjukkan kurangnya data untuk menyatakan perbedaan biologis sebagai dasar timbulnya perbedaan peran gender (Frieze, 1978). Penelitian-penelitian lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Myers (1994). Menunjukkan bahwa budaya membentuk adanya perbedaan peran gender. Hal ini sesuai dengan pendapat Mead (1978), bahwa kebudayaan memegang peranan penting dalam pembentukan peran gender seseorang. Kebudayaan mempengaruhi proses belajar peran gender dan identitas gender dengan membentuk stereotip peran gender. Menurut Wrightdmrn (1981) steretip merupakan konsep yang relative kaku dan luas di mana setiap individu di dalam suatu kelompok dicap dengan karakter dari kelompok tersebut. Stereotip peran gender menurut Jenkins dan McDonald (1971) merupakan generalisasi pengharapan mengenai aktivigtas, kemampuan, atribut dan pilihan apa yang sesuai dengan jenis kelamin seseorang. Menurut Hoyenga dan Hoyenga (1992) stereotip peran gender dihasilkan dari pengkategorisasian perempuan dan laki-laki, yang merupakan suatu representasi social yang ada dalam sturktur kognisi kita. Stereotip gender digunakan untuk menggambarkan aspek-aspek sosiologis/antropologis/kultural dari ciri atau sifat maskulin dan feminine. Namun, menurut Vob Baeyer, Sherk dan Zanna (dalam Hoyenga& Hoyenga, 1992) stereotip gender pribadi yang dimiliki seseorang, dapat berbeda dari apa yang dimiliki atau diterapkan oleh kebanyakan orang di budayanya. Mungkin saja ada ketidaksesuaian antara perilaku seseorang dan peran-peran stereotip yang digambarkan oleh 21
Universitas Sumatera Utara
budayanya tentang gender. Pemahaman seseorang akan perbedaan ini dapat mempengaruhi bagaimana ia menampilkan dan mengevaluasi dirinya. Menurut Baron dan Byrne (1997) stereotip gender merupakan sifat-sifat yang dianggap benar-benar dimiliki oleh perempuan dan laki-laki, yang memisahkan ke dua gender. Dari berbagai hasil penelitian Baron dan Byrne lebih lanjut menyimpulkan : (1) Memang ada beberapa perbedaan perilaku social di antara perempuan dan laki-laki, seperti kemampuan memberi dan menerima pesan-pesan nonverbal serta agresivitas, tetapi (2) Besar dan keluasan perbedaan ini jauh lebih kecil dari apa yang diungkapkan oleh stereotip. Sayangnya, demikian dinyatakan oleh Baron dan Byrne (1997), meskipun pada kenyataannya kebanyakan dari stereotip tersebut tidak akutat, namun tetap memberikan efek yang negative, antara lain : mencegah perempuan mendapatkan pekerjaan-pekerjaan tertentu, mencegah promosi tertentuk untuk perempuan serta menghambat perempuan mendapatkan upah yang sama dalam pekerjaannya. Stereotip atau belief tentang peran laki-laki dan perempuan bukanlah merupakan prasangka. Stereotip ini bisa jadi akurat, tidak akurat atau generalisasi yang berlebihan, namun menurut Myers didasarkan atas setitik kebenaran. Studi lintas budaya tentang stereotip gender berdasar penelitian William & Best (1982) di 30 negara yang berbeda, menemukan laki-laki cenderung dilihat lebih mandiri, lebih ekshibisionistik, lebih agresif, lebih dominan, lebih berorientasi sukses dan lebih
22
Universitas Sumatera Utara
tekun sedangkan perempuan dianggap lebih besar kebutuhannya untuk menghargai orang lain, perasaan bersalah, mendengarkan orang lain dan berhubungan dengan lawan jenis. Teori-teori tentang stereotip ini telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir. Bila tadinya stereotip dianggap suatu bentuk patologi, kini dianggap sebagai konsekuensi inheren dari kecenderungan manusia untuk mengelompokkan sesuatu, melalui proses kategorisasi. Stereotip ini meringkas dan mengorganisasikan apa yang telah dipelajari seseorang tentang kelompok-kelompok social. Stereotip dapat bermuatan positif, negative atau netral. Stereotip yang negative dapat berubah menjadi prasangka. Banyak dari penemuan-penemuan teoritis maupun praktis mengenai stereotip, diperoleh dari kenyataan bahwa kebanyakan dari kelompok yang menjadi target stereotip negative tertentu, juga menjadi target prasangka dan perilaku diskriminasi, yang berkaitan dengan stereotip itu. Dapat dikatakan pada kasuskasus seperti ini, stereotip negative diekspresikan melalui prasangka dan perilaku diskriminasi (Snyder & Miene, 1994). Prasangka terhadap kelompok ras tertentu disebut sebagai rasisme, sedangkan prasangka terhadap jenis kelamin tertentu disebut seksisme.
23
Universitas Sumatera Utara