BAB III SIKAP SRI SULTAN HB IX TERHADAP PROKLAMASI RI
A. Proklamasi Kemerdekaan RI Berita menyerahnya Jepang tanpa syarat kepada pihak Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 selalu ditutupi oleh pemerintah militer Jepang. Meskipun demikian kalangan pemuda yang berjuang secara illegal mendengar berita ini lewat radio siaran luar negeri yang didengar secara sembunyi-sembunyi. Kekalahan Jepang dari pihak Sekutu memberikan kesempatan bagi bangsa Indonesia
umumnya,
dan
kalangan
pemuda
khususnya
untuk
segera
membebaskan diri dari penjajahan Jepang. Pada hari itu juga yakni tanggal 14 Agustus 1945, Sutan Syahrir yang telah mendengar berita kekalahan Jepang, memberi tahu Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta, serta mendesak agar segera memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Soekarno meragukan berita tersebut karena beliau baru tiba dari Dalath menghadap Jenderal Terauchi (komando militer Jepang untuk wilayah Asia Tenggara). Soekarno dan Hatta juga mengkhawatirkan akan terjadi pertumpahan darah yang akan sangat merugikan. Pada tanggal 15 Agustus 1945, Soekarno, Hatta dan Soebardjo mengunjungi pejabat Jepang untuk menanyakan ketegasan berita situasi perang, akan tetapi ternyata pejabat Jepang sedang rapat di Markas Besar Angkatan Perang Jepang. Atas usul Soebardjo, rombongan itu mencoba memperoleh informasi tentang situasi perang yang sebenarnya ke kantor Laksamana Maeda. Menurut Maeda, dengan air muka yang sedih menyampaikan berita kekalahan
42
43
Jepang yang disiarkan radio. Setelah mendapatkan penjelasan yang demikian kemudian ketiga tokoh tersebut berinisiatif untuk mengadakan rapat dengan seluruh anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).1 Di tempat yang lain pada saat yang sama 15 Agustus 1945, kelompok pemuda revolusioner sekitar pukul 20.00 mengadakan rapat, bertempat di ruang belakang gedung Bakteriologi Laboratorium Pegangsaan Timur (sekarang FKUI bagian Mikrobiologi dan Ilmu Kedokteran Komunitas).2 Rapat ini bertujuan meninjau keadaan kritis dan mencari kemungkinan untuk memperoleh manfaat dari kesempatan yang istimewa itu. Rapat memutuskan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sendiri, tanpa campur tangan asing. Pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30, Ir. Soekarno beserta keluarga dan Drs. Moh. Hatta dibawa oleh golongan pemuda ke Rengasdengklok, yaitu sebuah kecamatan di daerah Kerawang (Markas PETA). Tujuan dari hal ini adalah untuk menghindarkan mereka dari pengaruh Jepang serta untuk mengamankan apabila terjadi bentrokan antara rakyat dengan pendudukan militer Jepang. Rombongan Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta dibawa dari Jakarta dengan menggunakan dua buah mobil, sebuah mobil yang dikemudikan oleh Winoto Danuasmoro membawa Ir. Soekarno beserta keluarga (Ibu Fatmawati dan Guntur). Sedangkan mobil lainnya membawa Drs. Moh. Hatta, Sukarni dan Yusuf Kunto. Disamping itu ada mobil lain berisi beberapa anggota PETA yang
1
Tim Penyusun, Sejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Jakarta : Direktorat Permuseuman Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1992, hlm. 38. 2
Rini Yuniarti, BPUPKI PPKI Proklamasi Kemerdekaan RI. Jakarta : Kompas, 2003, hlm. 38.
44
dipimpin oleh Shodanco Singgih yang bertugas mengawal rombongan. Peristiwa ini dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok. Dengan adanya insiden di Rengasdengklok ini rupanya membawa perubahan pikiran dalam diri Soekarno. Pada tanggal 16 Agustus 1945, sekitar pukul 22.00 Soekarno dan Hatta tiba kembali di Jakarta. Mereka bersama-sama menuju kediaman Laksamana Maeda untuk merumuskan apa yang disebut dengan Proklamasi Kemerdekaan. Soekarno mengucapkan terimakasih atas kesediaan Laksamana Maeda yang telah menyediakan tempat untuk perumusan proklamasi kemerdekaan. Laksamana Maeda pun menjawab “itu kewajiban saya yang mencintai Indonesia Merdeka”. Sekitar pukul 04.00 dini hari Soekarno menulis di atas secarik kertas, sobekan dari sebuah buku catatan yang disodorkan seseorang kepadanya, katakata yang akan mengubah bangsa Indonesia itu adalah : “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang yang sesingkat-singkatnya”. Naskah tersebut dibacakan di kediaman Soekarno sekaligus sebagai pernyataan kemerdekaan Indonesia. Sesudah itu dikibarkan Bendera Merah Putih jahitan tangan Fatmawati pada tiang bendera darurat yang baru saja dibuat. Berikutnya lagu Indonesia Raya dinyanyikan secara spontan, meskipun hal tersebut tidak tercantum dalam susunan acara.3 Para hadirin bersorak gembira,
3
Sudiro, Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945. Jakarta : Haji Masagung, 1994, hlm. 39.
45
lalu saling berjabat tangan mengucapkan salam dan duduk-duduk sekitar setengah jam, akhirnya pukul 11.00 mereka bubar.4 Seluruh bangsa Indonesia yang ada di Jakarta khususnya, gegap gempita menyambut kemerdekaan Indonesia. Mereka kini mulai berhadapan dengan sebuah jalan yang panjang untuk mengisi kemerdekaan itu yang tentunya tidaklah mudah. Keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengadakan sidang dan menghasilkan tiga agenda penting yaitu :5 1. Mengesahkan Undang-Undang Dasar 2. Soekarno dan Hatta secara aklamasi dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 3. Membentuk Komite Nasional untuk membantu Presiden selama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)/ Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum dibentuk. Sidang kedua tanggal 19 Agustus 1945, mendengarkan hasil dari panitia kecil yang diketuai oleh Oto Iskandardinata dan menghasilkan keputusan sebagai berikut.
1. Penetapan 12 Departemen Kementrian dan menunjuk para Menterinya a. Menteri Dalam Negeri : R.A.A. Wiranatakusumah
4
Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 1945. Jakarta : Tinta Mas, 1969,
hlm. 55. 5
Soedarisman Poerwokoesoemo, Dari Proklamasi sampai Yogya Kembali. Yogyakrta : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1987/1988, hlm. 20.
46
b. Menteri Luar Negeri
: Mr. Ahmad Subardjo
c. Menteri Kehakiman
: Prof. Mr. Dr. Supomo
d. Menteri Keuangan
: Mr. A.A. Maramis
e. Menteri Kemakmuran : Ir. Surachman Tjokroadisurjo f. Menteri Kesehatan
: Dr. Buntaran Martoatmodjo
g. Menteri Pengajaran
: Ki Hajar Dewantara
h. Menteri Sosial
: Mr. Iwa Kusumasumantri
i. Menteri Keamanan
: Supriyadi
j. Menteri Penerangan
: Mr. Amir Syarifuddin
k. Menteri Perhubungan : Abikusumo Cokrosujoso l. Menteri PU
: Abikusumo Cokrosujoso
2. Penetapan pembagian daerah RI kedalam 8 provinsi dan 2 Daerah Istimewa a. Provinsi Sumatera
: Mr. Tengku Moh. Hasan
b. Provinsi Jawa Barat
: Sutarjo Kartohadikusumo
c. Provinsi Jawa Tengah : R. Panji Soeroso d. Provinsi Jawa Timur
: R. A Soerojo
e. Provinsi Sunda Kecil
: Mr. I Gusti Ketut Pudja
f. Maluku
: Mr. J Latuharhary
g. Provinsi Sulawesi
: Dr. G.S.S. J. Ratulangi
h. Provinsi Kalimantan
: Ir. Pangeran Mohammad Noor
i. Daerah Istimewa (Yogyakarta dan Aceh) Sebagai negara yang baru lahir maka tentunya harus segera dibentuk badanbadan atau lembaga yang menopang berdirinya negara itu. Salah satu lembaga itu
47
adalah ketentaraan yang kelak akan menjadi hal vital bagi upaya mempertahankan kemerdekaan yang telah diicapai. Maka dari itu pada tanggal 5 Oktober 1945 sesuai dengan Maklumat Pemerintah dibentuklah Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Selanjutnya bekas Mayor KNIL Urip Sumoharjo ditugaskan untuk membentuk Markas Besar Tertinggi TKR (MBT TKR) berdasarkan organisasi ketentaraan yang wajar, ada Divisi, Brigade, Resimen, Batalyon dan lain-lain.6 Sebulan setelah TKR berdiri diadakan musyawarah yang pertama di Markas Tertinggi TKR di Yogyakarta. Pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan saat itu mengarah pada pemilihan pucuk pimpinan TKR. Akhirnya Kolonel Soedirman, panglima Divisi V/TKR diangkat sebagai Panglima Besar. Panglima Besar Soedirman dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 18 Desember 1945 di Alun-Alun Utara Yogyakarta. Setelah mengalami berbagai penyempurnaan, kelak TKR diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada tanggal 3 Juni 1947. Sementara itu pasukan Sekutu mulai melakukan pendaratan di Indonesia untuk melucuti persenjataan Jepang yang telah kalah dalam Perang Dunia II. Salah satu pasukan Sekutu yang ditugaskan di Indonesia adalah pasukan Inggris. Tugas pasukan Inggris yang baru datang sangatlah berat. Instruksi-instruksi Kepala Staf Sekutu yang dijabarkan oleh Lord Mounbatten, panglima Sekutu untuk wilayah Asia Tenggara, menyuruhnya menerima penyerahan kekuatan bersenjata Jepang, membebaskan tawanan perang Sekutu dan tahanan sipil, serta
6
A.H. Nasution, Tentara Nasional Indonesia Jilid I. Bandung : Ganaco, 1963, hlm. 120.
48
melucuti dan mengumpulkan orang Jepang yang bersedia dikirim kembali ke Jepang.7 Kedatangan tentara Sekutu ke Indonesia ternyata diboncengi oleh NICA (pemerintah sipil Hindia Belanda) yang menginginkan kembali kekuasaan atas Indonesia yang telah ditinggalkannya sejak kekalahannya dari Jepang. Dengan keadaan yang seperti ini maka membuat situasi tidak aman karena terdapat unsurunsur yang saling berlawanan. Disatu pihak masih ada pasukan Jepang yang memegang status quo, dipihak lain terdapat pasukan Sekutu yang diboncengi NICA. Dengan adanya situasi ini gesekan-gesekan pihak Republik dengan Sekutu maupun NICA tak dapat dielakkan. Sebenarnya pihak Inggris hanya bertugas melucuti tentara Jepang, namun Inggris yang bersama-sama dengan Belanda ini membuat rakyat Indonesia menjadi curiga, terlebih semangat revolusioner telah tertanam kuat sejak proklamasi kemerdekaan. Akibatnya selama bulan November dan Desember pertempuran yang luas dan terus menerus berkobar di hampir seluruh Jawa dan banyak wilayah Sumatera dan Bali. Sebenarnya pertempuran antara pasukan Sekutu dan Republik ini dapat dihindari. Hal ini terjadi karena Sekutu selalu diikuti pasukan Belanda, dimana provokasi terus ditebar oleh
7
G.M. Kahin, Nationalism and Revolution In Indonesia, a.b. Nin Bakdi Soemanto, Refleksi Pergmulan Lahirnya Republik : Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Jakarta : UNS Press dan Pustaka Harapan, 1995, hlm. 179.
49
Belanda dan memunculkan insiden-insiden, dimana salah satu insiden yang terbesar adalah pertempuran di Surabaya.8 B. Bergabung dengan Republik Indonesia Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta segera sampai Yogyakarta setengah jam kemudian melalui kantor Domei (radio pemerintah Jepang) di Malioboro Yogyakarta. Pimpinan militer Jepang di Jakarta memerintahkan agar berita itu ditarik kembali dan dinyatakan sebagai berita yang keliru. Namun, usaha ini tidak berhasil karena berita itu telah diketahui oleh beberapa orang Republik di daerah dan dalam waktu singkat telah menyebar ke khalayak umum.9 Berita proklamasi kemerdekaan RI segera diketahui oleh masyarakat di Yogyakarta. Terlebih lagi pada sore harinya, Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh sekaligus pendiri Tamansiswa, memimpin sejumlah muridnya melakukan pawai bersepeda keliling kota sambil menyebarkan berita proklamasi, sehingga berita proklamasi dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok kota melalui khotbah di Masjid Alun-Alun Utara dan Masjid Paku Alaman.10 Sri Sultan dan Paku Alam VIII belum bereaksi atas berita proklamasi itu. Sebenarnya masyarakat masih ragu antara proklamasi kemerdekaan di satu pihak 8
Adam Malik, “Krisis-krisis Pertama”, dalam Colin Wild dan Peter Carey (Peny), Gelora Api Revolusi Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta : Gramedia, 1986, hlm.125. 9
Atim Supomo dkk, Brimob Polri Jateng dan DIY dalam Lintasan Sejarah. Semarang : BRIMOB Polri Polda Jateng, 1996, hlm.39 10
Badan Musyawarah Musea DIY Perwakilan Jakarta, Sejarah Yogya Benteng Proklamasi. Jakarta : Barahmus, 1985, hlm. 48.
50
dan masih berkibarnya bendera Jepang. Akhirnya keraguan masyarakat hilang setelah berita Proklamasi dan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan oleh PPKI dimuat dalam surat kabar Sinar Matahari yang terbit pada tanggal 19 Agustus 1945.11 Dalam sebuah diskusi pribadi, Paku Alam menyampaikan usul kepada Sri Sultan : “Saenipun kito bergabung mawon kaliyan Republik” (Sebaiknya kita bergabung saja dengan Republik). Usul tersebut segera dijawab oleh Sri Sultan : “Yes, aku setuju!”.12 Kesepakatan tersebut segera ditindaklanjuti dengan pengiriman telegram ucapan selamat serta dukungan terhadap proklamasi kepada Soekarno. Sikap Sri Sultan dan Paku Alam VIII ini menunjukkan bahwa mereka mendukung berdirinya Republik Indonesia. Pada hari Minggu tanggal 19 Agustus 1945 Sri Sultan kemudian mengumpulkan para pemuda di Kepatihan Yogyakarta. Sri Sultan berpesan agar para pemuda menjaga keamanan masyarakat. Berikut merupakan petikan pesan Sri Sultan pada saat berkumpul di Kepatihan bersama para pemuda. Kita sudah beratus tahun dijajah bangsa lain. Maka selama itu perasaan kita tertekan dan sekarang sudah merdeka. Tentu perasaan yang lepas dari tekanan akan melonjak setinggi-tingginya. Akan tetapi jangan menyrempetnyerempet yang tidak perlu, yang bisa menimbulkan kerugian...saya minta menjaga keamanan masyarakat, baik di kampung-kampung, perusahaanperusahaan, di toko-toko dan lain-lain jangan sampai terjadi kerusuhan.13
11
Suhartono W. Pranoto, Yogyakarta Ibukota Republik Indonesia 19461949. Yogyakarta : Kanisius, 2002, hlm. 27. 12
Haryadi Baskoro & Sudomo Sunaryo, Catatan Keistimewaan Yogya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 18. 13
Perjalanan
Sutrisno Kutoyo, Sri Sultan Hamengku Buwono IX : Riwayat Hidup dan Perjuangan. Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1996, hlm. 134.
51
Selanjutnya Sri Sultan dan Paku Alam VIII tetap konsisten dan berkomitmen untuk berdiri di belakang naungan Republik Indonesia. Memang, Sri Sultan dan Sri Paku Alam VIII yang keduanya merupakan pemimpin Yogyakarta tidak pernah berhubungan sama sekali dengan proses proklamasi RI, terlebih ikut menyusun naskah proklamasi, namun kelak dikemudian hari, Sri Sultan dan tentu saja bersama-sama dengan Paku Alam VIII merupakan benteng yang tangguh bagi jiwa proklamasi kemerdekaan itu. Pada tanggal 23 Agustus 1945 Presiden Soekarno mengucapkan pidato yang memerintahkan kepada rakyat untuk membentuk KNI, PNI dan BKR.14 Oleh karena pembentukan PNI ditentang oleh Syahrir, dengan persetujuan Hatta maka yang dibentuk hanya KNI (Komite Nasional Indonesia) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat). KNI juga dibentuk di masing-masing daerah dengan istilah KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah). KNID Yogyakarta dibentuk dengan anggota yang semula berjumlah 84 orang dan kemudian bertambah menjadi 105 orang. Untuk menjalankan tugasnya maka ditetapkan suatu Badan Pekerja yang terdiri dari 19 orang anggota diketahui oleh Mohammad Saleh, S. Yosodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo.15 Pada tanggal 5 September 1945 kedua pemimpin ini (Sri Sultan dan Paku Alam) mengeluarkan amanat agar masyarakat Yogyakarta menyambut baik
14
P.J. Soewarno, Hamengku Buwana IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1947. Yogyakarta : Kanisius, 1994, hlm. 167. 15
Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, Profil Propinsi Republik Indonesia : DIY. Jakarta : PT. Intermasa, 1992, hlm. 2.
52
kemerdekaan RI.16 Amanat ini juga menegaskan bahwa Yogyakarta adalah daerah yang bersifat istimewa di bawah naungan RI. Amanat 5 September 1945 ini dapat disebut sebagai suatu “proklamasi kemerdekaan” Yogyakarta dari penjajahan Jepang. “Proklamasi kemerdekaan” Yogyakarta ini kata-katanya lebih radikal daripada Proklamasi 17 Agustus, sebab kekuasaan dan pemerintahan langsung dinyatakan diambil secara penuh oleh Sultan dan Paku Alam VIII pada saat Amanat itu dinyatakan.17 Sri Sultan tidak begitu saja dalam mengeluarkan amanat tersebut tetapi sebelumnya dibicarakan dengan pihak-pihak lain, terutama kerabat keluarga. Keputusan untuk bergabung dengan RI tentu saja juga memerlukan pengorbanan harga diri. Sri Sultan yang sejatinya adalah raja yang berkuasa atas negara merdeka memutuskan untuk bergabung dibelakang negara yang baru merdeka.18 Meski demikian Sri Sultan tentunya sudah mempertimbangkan segala kemungkinan mengenai amanat tersebut. Sri Sultan justru mengkhawatirkan kemungkinan kedatangan Belanda kembali lagi ke Yogyakarta dan melaksanakan apa yang disebut dengan penjajahan. Keluarnya Amanat 5 September 1945 juga diikuti dengan pengibaran bendera merah putih di rumah-rumah penduduk dan bangunan-bangunan milik pemerintah Kasultanan. Rakyat juga berusaha merebut kekuasaan-kekuasaan penjajah Jepang dan menyerahkannya kepada Sri Sultan dan Paku Alam VIII. 16
Amanat ini dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi amanat ini terlampir pada bagian Lampiran. 17
18
P.J. Soewarno, op.cit., hlm. 171. Wawancara dengan GBPH. H. Joyokusumo, Rabo 12 Januari 2011.
53
Semua jawatan-jawatan dan perusahaan-perusahaan Jepang direbut kembali dan diduduki oleh rakyat. Pimpinannya diambil oleh rakyat Indonesia dan bendera Jepang diturunkan diganti dengan bendera Indonesia. Amanat Sri Sultan maupun Sri Paku Alam mendapat sambutan positif dari Jakarta. Soekarno kemudian mengutus Mr. Sartono dan Mr. Maramis ke Yogyakarta pada tanggal 6 September 1945 yang membawa Piagam Penetapan. Piagam Penetapan inilah embrio dari keistimewaan Yogyakarta. Hal ini sebenarnya merupakan pengakuan, penghargaan, dan perjanjian antara RI dan pihak Kraton yang sampai saat itu berkuasa atas wilayah dan rakyat Yogyakarta.19 Selanjutnya kedua daerah ini (Kasultanan dan Paku Alaman) disatukan dengan kesadaran demokrasi yang dalam dari Sri Sultan dan Paku Alam. Integrasi Kasultanan Yogyakarta dengan Republik Indonesia adalah sebuah fenomena yang sangat luar biasa, sebuah kerajaan yang semula berdiri dan mempunyai kekuasaan penuh dengan sukarela menyerahkan dan memilih untuk menjadi bagian dari sebuah negara. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari peran raja yang memerintah pada saat itu, yaitu Sri Sultan yang dengan pemikiran politiknya telah mengubah Kasultanan Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta.20
19
Haryadi Baskoro. Kasultanan Yogya Mewarisi Kejayaan Membangun Peradaban. Tersedia pada http://kasultananyogya.wordpress.com. Diakses pada tanggal 13 November 2010. 20
Eni Lestari, “Kebijakan Politik dan Perjuangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX Pada Zaman Pendudukan Jepang”. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta, 2006, hlm. 204.
54
Saat itu Sri Sultan telah selesai memindahkan birokrasi pemerintahan dari tangan Pepatih Dalem ke tangannya sendiri pada saat Jepang masih berkuasa. Hal ini dilakukan agar dapat langsung berkomunikasi dengan rakyat tanpa melalui perantara dan hal ini pula yang akan mempermudah birokrasi ditangan Sri Sultan. Lembaga Pepatih Dalem ini ada sejak HB I dan dihapus pada tanggal 14 Juli 1945.21 Pada tanggal 30 Oktober 1945 Sri Sultan dan Paku Alam VIII mengeluarkan amanat bersama yang isinya sebagai berikut. 1. Kedua Kepala Daerah merupakan Dwitunggal. 2. Kedua pemerintah DIY bekerja bersama rakyat yang diwakili oleh Badan Pekerja (BP) KNID Yogyakarta. 3. Menghilangkan dualisme dalam pemerintahan DIY.22 Sebagai tindak lanjut dari Amanat 30 Oktober 1945, maka Sri Sultan, Paku Alam VIII mengeluarkan Maklumat No. 18 Tahun 1946 tertanggal 18 Mei 1946. Secara garis besar isi Maklumat tersebut adalah sebagai berikut. 1. Dibentuk DPR untuk daerah Yogyakarta. 2. Dibentuk DPR untuk Kota Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten di daerah Yogyakarta. 3. Dibentuk DPR di tiap kelurahan di daerah Yogyakarta.
21
Bambang Sigap Sumantri, “Bung Sultan yang Demokratis”, Kompas. Rabo, 1 Desember 2010, hlm. 4. 22
G. Moedjanto, “Amanat Sri Sultan dan Sri Paku Alam Tanggal 30 Oktober 1945”, Suara Karya. Edisi Jum’at, 30 Oktober 1992, hlm. 5.
55
4. Pada setiap jenjang pemerintahan dibentuk Dewan Pemerintahan, sementara perangkat kelurahan yang dipimpin Lurah difungsikan sesuai kondisi yang baru.23 Berdasarkan maklumat ini dibentuk DPRD DIY sebagai badan legislatif dan Dewan Pemerintahan Yogyakarta sebagai badan eksekutif. Secara historis DIY sebagai bekas gabungan Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman sudah memiliki kekuasaan yang riil. Tidak perlu menunggu lebih dahulu kekuasaan-kekuasaan otonom yang akan diberikan oleh Pemerintah Jakarta. Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kesultanan dan Pakualaman menjadi Kota Praja yang bersifat otonom sejak keluarnya UU. No. 17 Tahun 1947.24 Pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini menimbulkan kekecewaan dalam masyarakat karena dengan demikian Kota Yogyakarta terlepas dari DIY. Lobi-lobi pun dilakukan untuk menyelamatkan keutuhan DIY. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh elemen Yogyakarta dengan kesadaran historis bertekad mempertahankan bekas wilayah Kasultanan Yogyakarta sebagai DIY. Hal tersebut dipenuhi oleh pemerintah dengan mengeluarkan UU No. 22 tahun 1948. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1948 tersebut pemerintah menetapkan Kota
23
Soedarisman Poerwokoesoemo, Daerah Istimewa Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1984, hlm. 33. 24
Yogyakarta.
Riyadi Goenawan dan Darto Harnoko, Sejarah Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta : Depdibud, 1993, hlm. 27.
56
Yogyakarta sebagai daerah tingkat II yang menjadi bagian dari DIY, sehingga selamatlah keutuhan DIY.25 Sementara itu, Sri Sultan menghapus praktik-praktik Belanda dan mengurangi peran para elit istana. Sri Sultan kini lebih merupakan pengawal tradisi kerajaan di dalam istana daripada pemberi perintah di pedesaan. Feodalisme dan tingkat hierarki sosial di Jawa di kalangan pemerintahan pun mulai dikurangi. Sri Sultan juga membentuk Laskar Rakyat Mataram dan ia sendiri bertindak sebagai perwira dari laskar tersebut (Senopati ing Alaga, seperti yang dilakukan para raja sebelum penjajahan).26 C. Yogyakarta Sebagai Ibukota RI Seperti yang telah dijelaskan bahwa kedatangan kembali pasukan Belanda yang membonceng Sekutu membuat keadaan menjadi tidak aman. Terlebih di Jakarta sebagai Ibukota RI yang sering terjadi teror-teror oleh pihak NICA. Bahkan terjadi insiden yang sangat mengkhawatirkan, dimana Perdana Menteri Syahrir pada tanggal 26 Desember 1945 terancam dalam upaya pembunuhan oleh serdadu Belanda. Menanggapi kejadian tersebut, Sri Sultan, Paku Alam dan KNID Yogyakarta mengirimkan kawat kepada Sutan Syahrir atas terhindarnya beliau dari percobaan pembunuhan. Kemudian pada tanggal 2 Januari 1946 Sri Sultan mengirimkan kurir ke Jakarta meminta agar pemerintah pusat menyingkir ke 25
26
Haryadi Baskoro & Sudomo Sunaryo, op.cit., hlm. 50.
Pranoedjoe Poespaningrat, Kisah Para Leluhur dan yang Diluhurkan dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru. Jakarta : PB. Kedaulatan Rakyat, hlm. 206.
57
Yogyakarta.27 Oleh karena itu pada tanggal 4 Januari 1946 Ibukota RI dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Semula Sutan Syahrir meragukan keamanan kota Yogya, namun akhirnya setuju setelah menimbang beberapa kelebihannya sebagai berikut.28 1. Yogya terletak di Jawa bagian tengah selatan sehingga agak sulit dijangkau musuh. 2. Hubungan dengan luar cukup tersedia lewat darat, udara dan radio. 3. Mabes Tentara terletak di Yogyakarta, di samping markas-markas berbagai laskar perjuangan yang dibentuk selama revolusi. 4. Suasana Yogyakarta sangat revolusioner dan sangat republiken. Pada tanggal 6 Januari 1946, Ibukota RI secara resmi dinyatakan dan diumumkan oleh para pemimpin RI yang berkedudukan di Gedung Agung. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta serta kabinet memimpin revolusi Indonesia di gedung ini dan inilah pertama kalinya pemerintah Indonesia memiliki gedung pemerintahan. Yogyakarta sebagai ibukota yang baru terus didatangi oleh penduduk dari berbagai daerah terutama setelah Belanda melancarkan teror-teror terhadap penduduk sipil. Mereka mencari tempat yang aman untuk menyelamatkan diri dari serangan Belanda. Kehidupan Yogyakarta pada saat itu menjadi penuh sesak disebabkan banyaknya pendatang ke Yogyakarta. Keadaan demikian berlanjut
27 28
Suhartono W. Pranoto, op.cit., hlm. 60.
G. Moedjanto, “Raja yang Republiken”, Suara Merdeka. Edisi Jum’at 9 November 1990, hlm.5.
58
hingga terjadi Clash pertama (Agresi Militer Belanda I) dan politik blokade oleh pihak Belanda. Masa-masa kritis mempertahankan kemerdekaan RI diperjuangkan dari dan di Yogyakarta. Maka dari itu Kota Yogyakarta sangat penting peranannya dalam pembentukkan kedaulatan Indonesia. Berbagai peristiwa seperti Agresi Belanda I dan
II, perudingan-perundingan dengan
Belanda dan detik-detik
yang
menentukkan penyerahan kedaulatan RI dari Belanda dikontrol dari pusat pemerintahan Yogyakarta. Yogyakarta seolah merupakan tempat utama berjuang bagi RI untuk benar-benar mengusir Belanda. Agresi Militer Belanda I merupakan bentuk pengingkaran Belanda atas perundingan yang telah disepakati bersama (Perjanjian Linggarjati). Serangan militer ini bukanlah suatu gerakan mendadak, Belanda mempersiapkan terlebih dahulu sebelum mengajukan syarat-syarat berat yang tidak mungkin disetujui RI. Hal ini merupakan taktik agar Belanda mempunyai alasan untuk menyerang Indonesia. Sejak Maret 1947, Belanda menyiagakan staf brigade dan divisi untuk melaksanakan operasi dengan nama sandi “operasi produk”.29 Menanggapi hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dan mendesak agar disepakati gencatan senjata. Akhirnya permasalahan ini berusaha diselesaikan melalui meja diplomasi yang dikenal dengan nama Perundingan Renville. Perundingan ini dilaksanakan dengan bantuan dari pihak ketiga, yakni Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari wakil-wakil AS, Australia dan Belgia. Perundingan ini menghasilkan persetujuan yang memuat ketentuan 29
Pierre Heijboer, Agresi Militer Belanda Memperebutkan Pending Zamrud Sepanjang Khatulistiwa 1945/1949. Jakarta : Grasindo, 1998, hlm. 28.
59
mengenai jaminan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Jawa, Sumatera dan Madura yang berkaitan dengan pendirian negara dengan bentuk federasi. Sebagai gantinya, Indonesia harus mengakui garis Van Mook sebagai garis gencatan senjata. Garis Van Mook sangat merugikan RI, karena wilayah RI menjadi sangat sempit, dimana wilayah yang berada di belakang garis tersebut harus dilepaskan oleh RI.