BAB III PERKEMBANGAN KOTA DAN KARAKTERISTIK SARANA ANGKUTAN UMUM KOTA BANDUNG
Bab ini menguraikan perkembangan fisik Kota Bandung, perkembangan dan pertumbuhan penduduk, sistem penyediaan dan pengelolaan angkutan umum dan perkembangannya dan kebijakan pemerintah kota dalam menangani transportsai perkotaan III.1. Gambaran Umum Kota Bandung
III.1.1. Pertumbuhan Penduduk dan Luas Wilayah Kota Bandung sebagai ibukota Propinsi Jawa Barat mengalami perkembangan yang pesat baik dari sisi fisik maupun aktifitas yang tumbuh dan berkembang di dalamnya. Selain fungsi sebagai ibukota propinsi, Kota Bandung juga merupakan pusat dari beberapa kegiatan yang berskala regional maupun nasional. Sebagai kota yang oleh pemerintah kolonial Belanda pernah direncanakan sebagai ibukota negara, infrastruktur yang dibangun pada saat itu pun diproyeksikan untuk dapat mewadahi kegiatan dengan skala nasional. Tumbuh dan berkembangnya beragam kegiatan membutuhkan ruang yang secara fisiknya adalah kebutuhan akan lahan. Sejak dibentuk sebagai daerah otonom pada tahun 1906, Kota Bandung telah mengalami perluasan wilayah administratif sebanyak 5 kali yaitu sebagaimana pada Tabel III.1 di bawah. Tabel III.1 Perkembangan Luas Wilayah Kota Bandung Luas, Ha
Tahun - 1917 1917 – 1935 1935 – 1943 1943 – 1949 1949 – 1987 1987 -
1.992 3.876 4.177 5.413 8.101,48 16.729,5
Sumber: Bappeda Kota Bandung, 2005
38
Gambar III.1 Peta Jawa Barat dan Wilayah Kota Bandung
Sumber : BMA (2005)
Selain perkembangan fisik luas wilayah, pertumbuhan penduduk juga merupakan ciri dari perkembangan suatu wilayah perkotaan. Mulai dari terbentuk dan berkembangnya Kota Bandung pada lokasinya sekarang, sebagai hasil dari keputusan Bupati Aria Wiranatakusuma memindahkan ibukota dari Karapyak, pertumbuhan penduduk Kota Bandung memberi ciri dari sebuah proses urbanisasi terutama sejak pasca kemerdekaan. Ketika ditetapkan sebagai ibukota Karesidenan Priangan pada tahun 1846, penduduk Bandung tercatat sebanyak 11.054 orang. Pada saat pemerintahan kolonial Belanda berakhir pada tahun 1940-an, penduduk Bandung telah mencapai 224.717 orang. Pada tahun 1970 penduduk Bandung menembus angka 1 juta yaitu sebanyak 1.176.000 orang. Hasil Survei Sosial Ekonomi Daerah 2006 menunjukkan bahwa penduduk Kota Bandung pada tahun 2005 sebanyak 2.296.848 orang (BPS Kota Bandung, 2006). 39
Dibanding dengan jumlah penduduk tahun 2001 sebesar 2.146.360 maka sampai tahun 2005 telah terjadi pertumbuhan penduduk sebesar 3,01%. Gambar III.2 Pertumbuhan Penduduk Kota Bandung 2000 – 2005 Pertumbuhan Penduduk Kota Bandung 2.350.000
Jumlah
2.300.000
2.296.848
2.250.000 2.228.268
2.232.624
2.200.000 2.150.000
2.146.360
2.136.260
2.142.194
2.100.000 2.050.000 2000
2001
2002
2003
2004
2005
Sumber : BPS Kota Bandung, 2006 (diolah)
Dengan jumlah penduduk (2005) 2,296,848 orang dan luas 167.29 ha, kepadatan Kota Bandung adalah 13.729,74 jiwa/km2 atau 137.297 jiwa/ha. Kecamatan dengan kepadatan tertinggi adalah Bojongloa Kaler yaitu 387,6 jw/ha sementara kecamatan dengan kepadatan terendah adalah Rancasari dengan 53,53 jw/ha. Gambar III.3 Sebaran Kepadatan Penduduk Kota Bandung Legend Kepadatan
Kpadatan 5353 - 9388 9389 - 15019 15020 - 20841 20842 - 27558
Cidadap Sukasari
27559 - 38761
Coblong Sukajadi
Cibeunying Kaler Cibeunying Kidul
Cicendo Bandung Wetan
Cicadas Ujung Berung
Andir
Sumur Bandung
Arcamanik Cibiru Batununggal Kiara Condong
Bandung Kulon
Bojongloa Kaler Astana Anyar
Lengkong Regol
Babakan Ciparay Margacinta Bojongloa Kidul
Bandung Kidul
40
Rancasari
Tabel III.2 Jumlah Penduduk, Luas dan Kepadatan Kota Bandung No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kecamatan
Penduduk, jiwa
Luas, km2
Bandung Kulon Babakan Ciparay Bojongloa Kaler Bojongloa Kidul Astanaanyar Regol Lengkong Kiaracondong Batununggal Bandung Kidul Margacinta Rancasari Cibiru Ujungberung Arcamanik Cicadas Sumur Bandung Bandung Wetan Cibeunying Kidul Cibeunying Kaler Coblong Cidadap Andir Cicendo Sukajadi Sukasari
125,936 133,224 117,445 78,280 71,060 81,370 72,450 127,190 121,836 48,528 112,032 70,500 87,285 82,593 66,980 104,760 38,911 31,825 109,416 67,584 122,368 50,760 102,240 95,950 99,864 76,461
6.46 7.45 3.03 6.26 2.89 4.3 5.9 6.12 5.03 6.06 10.87 13.17 10.81 10.34 8.8 8.66 3.4 3.39 5.25 4.5 7.35 6.11 3.71 6.86 4.3 6.27
Jumlah
2,296,848
167.29
Kepadatan, jw/km2 19,495 17,882 38,761 12,505 24,588 18,923 12,280 20,783 24,222 8,008 10,307 5,353 8,074 7,988 7,611 12,097 11,444 9,388 20,841 15,019 16,649 8,308 27,558 13,987 23,224 12,195
Sumber : BPS Kota Bandung (2006)
Gambar III.3 dan Tabel III.2 di atas menunjukkan bahwa penduduk Kota Bandung relatif terkonsentrasi di bagian barat kota. Keadaan ini wajar mengingat bagian barat tersebut merupakan wilayah awal-awal terbentuknya Kota Bandung sementara bagian timur kota yang berpenduduk relatif masih jarang merupakan potensi bagi pengembangan kota sebagaimana tertuang dalam RTRK yang menskenariokan tumbuhnya pusat primer baru di Kawasan Gedebage di bagian timur wilayah Kota Bandung.
41
III.1.2. Gambaran Sosial Ekonomi Kota Bandung Sesuai dengan perannya sebagai ibukota propinsi, Kota Bandung merupakan salah Pusat Kegiatan Nasional (PKN) di wilayah Jawa Barat. Kedekatan lokasinya dengan ibukota negara memberi keuntungan terhadap pertumbuhan ekonomi kota dengan sektor yang dominan adalah sektor perdagangan dan sektor pengolahan. Berdasarkan data PDRB, aktifitas perekonomian Kota Bandung menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. Perhitungan dengan harga berlaku maupun dengan harga konstan menunjukkan bahwa sektor perdagangan memberi sumbangan terbesar terhadap PDRB Kota Bandung yaitu mencapai 30% disusul oleh sektor industri pengolahan 28% dan sektor angkutan dan jasa masingmasing 12%. Gambar III.4 PDRB Kota Bandung 2001 – 2003 PDRB Kota Bandung
Rp, Jutaan 30,000,000
27,422,417
25,000,000
23,420,126 20,690,499
20,000,000 17,435,720
Harga Berlaku
15,000,000
Harga Konstan
10,000,000 5,000,000
6,266,628
6,694,331
7,704,646
7,173,857
2001
2002
2003
2004
Tahun
Sumber : Bandung dalam Angka 2004/2005, diolah Dominasi sektor perdagangan, pengolahan, angkutan dan jasa dalam kegiatan ekonomi Kota Bandung merupakan daya tarik yang besar bagi urbanisasi. Pada satu sisi urbanisasi berarti penambahan besar pasar karena proses aglomerasi yang menjadi salah satu variabel penting bagi investor dalam pengambilan keputusan untuk investasi. Data dari Dinas Perindag Bandung menunjukkan kecenderungan meningkatnya usaha perdagangan di Kota Bandung kecuali tahun 2004 yang
42
sempat terjadi penurunan namun tahun 2005 kembali naik. Rata-rata investasi di Kota Bandung meningkat 15% per tahun. Tabel III.3 Usaha Perdagangan di Kota Bandung Tahun
Unit Usaha
Tenaga Kerja (orang)
Investasi (Rp milyar)
2002
1823
11958
678,10
2003
2755
12557
966,17
2004
2599
9657
980,79
2005
2716
10623
995,39
Sumber : Dinas Perindag Kota Bandung (2006)
Adanya kegiatan dalam ruang menghasilkan kebutuhan akan pergerakan baik barang maupun manusia. Pergerakan tersebut memerlukan sarana dan prasarana dalam jumlah maupun kualitas tertentu sesuai dengan karakteristik perjalanan yang dibangkitkannya. Peningkatan besaran indikator ekonomi Kota Bandung di atas diikuti oleh peningkatan jumlah kendaraan untuk semua kategori dengan pertumbuhan terbesar adalah sepeda motor yang mencapai 9,29% sebagaimana diberikan pada Tabel III.4 di bawah. Tabel III.4 Pertumbuhan Jumlah Kendaraan di Kota Bandung Tahun
Mobil penumpang
Mobil Barang
1996 108,500 40,032 1997 110,329 42,042 1998 120,032 42,109 1999 124,397 43,590 2000 131,325 49,392 2001 115,729 43,212 2002 113,204 45,755 2003 109,248 45,967 2004 136,020 49,901 2005 146,405 63,655 Sumber : DLLAJ & Dispenda Prop Jabar, 2006
III.1.3. Pola Guna Lahan
43
Bus 17,025 19,467 33,367 34,605 35,709 35,811 30,270 38,210 32,795 43,079
Spd mtr 183,594 189,634 227,847 233,366 247,201 257,612 259,994 262,996 436,263 562,468
Total 349,151 361,472 423,355 435,958 463,627 452,364 449,223 456,421 654,979 815,607
Karakteristik kependudukan tersebut tercermin dalam pola penggunaan lahan. Berdasarkan proporsi terhadap luas kota, penggunaan tertinggi adalah untuk perumahan, disusul pertanian, perkantoran dan jasa, industri, perdagangan dan penggunaan lain. Kawasan perumahan umumnya tersebar di seluruh bagian kota dengan luas terbesar terdapat di wilayah Arcamanik dan Cibeunying. Kepadatan kawasan perumahan ini meningkat ke arah pusat kota sementara pada daerah pinggiran kota masih terdapat lahan-lahan kosong berupa sawah dan tegalan. Kawasan dan sekitar pusat kota ke arah selatan merupakan perumahan golongan menengah sementara ke arah sebelah utara terdapat kawasan perumahan golongan atas. Gambar III.5 Sebaran kawasan Perumahan Kota Bandung
Guna lahan untuk industri terbesar terdapat di wilayah Arcamanik dan Karees, terutama di Kecamatan Cibiru dan Kiaracondong. Di bagian selatan, kawasan ini terletak antara lain di Jalan Soekarno-Hatta dan terutama di Kecamatan Bandung Kulon.
44
Kegiatan komersial dan jasa terpusat di wilayah pusat kota (sekitar alun-alun) dan melebar di sepanjang jalan-jalan utama dari pusat kota yaitu Jalan Sudirman, Kopo, Otto Iskandardinata, Pungkur, Asia Afrika, Ahmabd Yani, Kiaracondong dan Jalan Sukajadi. Kegiatan komersil dan jasa juga kemudian menyebar di sepanjang Jalan Merdeka, Jalan Ir H Djuanda, Jalan Setiabudi, Jalan Sunda dan Jalan Pasirkaliki. Kawasan perkantoran baik yang berskala lokal maupun regional umumnya terkonsentrasi di wilayah pusat kota dan wilayah Cibeunying terutama di Jalan Diponegoro, Jalan Supratman dan Jalan Surapati. Kawasan pendidikan dan kesehatan terutama berlokasi di bagian utara kota, yaitu di wilayah Bojonegara dan Cibeunying sementara kawasan lahan kosong berupa sawah dan tegalan yang terbesar di wilayah Arcamanik, Cibeunying bagian utara dan Tegallega bagian selatan.
Gambar III.6 Sebaran titik-titik perkantoran di Kota Bandung
45
Kota Bandung merupakan salah satu tujuan pendidikan di Indonesia. Sejumlah lembaga pendidikan berada di kota ini sehingga lokasi-lokasi tersebut juga merupakan pembangkit pergerakan penduduk. Lokasi pendidikan terutama terletak pada kawasan sub pusat dan pinggiran. Gambar III.7 Sebaran lokasi lembaga pendidikan di Kota Bandung
Dari sebaran-sebaran tersebut di atas, terlihat bahwa kegiatan-kegiatan utama kota berkembang dan mengelompok secara sektoral mulai dari pusat kota mengikuti pola jaringan jalan utama. Selain pola tersebut, kegiatan jasa komersil juga kemudian berkembang di kawasan pemukiman. Menurut Warlina dalam Koestoer (2001), organisasi keruangan Kota Bandung cenderung mengikuti Model Konsentrik (Burgess) walaupun tidak dalam bentuk ideal. Sebagai zona 1 atau Central Bussiness District, CBD (Kawasan Pusat Bisnis, KPB) adalah pusat kota atau alun-alun Bandung yang meliputi Jalan Asia Afrika, Jalan Dalem Kaum, Jalan Otto Iskandardinata, Jalan Braga dan sekitarnya. Zona ini merupakan kawasan perdagangan berbagai jenis barang, kawasan perkantoran (swasta dan pemerintah), kawasan hiburan dan perbankan.
46
Zona 2 yang merupakan zona transisi, awalnya merupakan lahan pemukiman yang kemudian berkembang sebagai daerah komersial. Zona ini meliputi Jalan Ir H Djuanda, Jalan Cihampelas, Jalan Sukajadi, Jalan Kopo, Jalan Moh Toha dan Jalan Buahbatu. Dalam model konsentrik dari Burgess, zona 3 merupkan wilayah pemukiman bagi warga berpenghasilan rendah sementara zona 4 merupakan wilayah pemukiman penduduk berpenghasilan tinggi. Pada kasus Kota Bandung, pemisahan kedua zona ini tidak terlihat jelas karena batasnya kabur yaitu dengan terdapatnya warga berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi dalam satu zona. Zona terakhir adalah zona 5 yaitu zona yang didiami oleh penglaju. Wilayah ini meliputi Soreang, Banjaran, Rancaekek, Cicalengka dan sekitarnya.
III.1.4 Pola Pergerakan Penduduk Menurut Angkeara (1997) terdapat 2 (dua) jenis pergerakan di Kota Bandung yaitu : 1. Pergerakan sehari-hari yang dilakukan oleh penduduk dalam Kota Bandung ke pusat kegiatan kota 2. Pergerakan sehari-hari yang dilakukan oleh penduduk kawasan pinggiran kota dalam bentuk perjalanan ulang-alik ke kawasan pusat Kota Bandung Sebagian besar tujuan pergerakan tersebut adalah untuk bekerja, belanja dan sekolah. Pergerakan untuk tujuan bekerja pada umumnya terjadi antara jam 07.00 – 09.00, jam 12.00 – 14.00 dan jam 16.00 – 17.00. Pergerakan dengan tujuan belanja umumnya dilakukan antara jam 09.00 sampai jam 11.00 dan pergerakan untuk tujuan sekolah pada umumnya dilakukan antara jam 07.00 – 08.00 dan jam 12.00 – 14.00 (Muchsan, 1989 dikutip oleh Angkeara, ibid). Pergerakan dengan tujuan bekerja hampir bersamaan dengan pergerakan tujuan sekolah sehingga periode tersebut merupakan jam-jam sibuk di Kota Bandung. Pola tersebut di atas merupakan pola yang terjadi pada hari-hari kerja (Senin – Jum’at). Pada akhir pekan (Sabtu dan Minggu), Kota Bandung merupakan tujuan
47
tujuan perjalanan wisata regional sehingga kepadatan jalan di Kota Bandung tidak berkurang dengan adanya hari libur.
III.2. Jaringan Jalan
III.2.1. Pola Jaringan Jalan Kota Bandung Jaringan jalan di Kota Bandung terdiri dari jaringan jalan arteri primer, arteri sekunder, klektor primer, kolektor sekudner dan jalan lokal. Dalam prakteknya jaringan jalan yang ada seringkali mengalami pembauran fungsi terutama antara jalan arteri dan jalan kolektor. Hirarki jaringan jalan di Kota Bandung dibagi sebagai berikut: 1. Jalan Arteri Primer, merupakan jalan dengan peran sebagai pelayanan jasa distribusi antar kota dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan ratarata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. Termasuk dalam kategori ini adlah Jalan Asia Afrika, Jalan PHH Mustafa, Jalan Lingkar Selatan, Jalan Soekarno-Hatta, Jalan Jend. Sudirman, Jalan A Yani dan Jalan Tol Padaleunyi 2. Jalan Arteri Sekunder, merupakan jalan dengan pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat kota dengan ciri-ciri kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk juga dibatasi. Jaringan jalan ini adalah Jalan Supratman, Jalan Diponegoro, Jalan Surapati, Jalan Gatot Subroto, Jalan RE Martadinata, Jalan Cihampelas dan Jalan Pajajaran 3. Jalan Kolektor Sekunder, merupakan jalan dengan pelayanan jasa distribusi unuk masyarakat dalam kota dengan ciri-ciri kecepatan rata-rata sedang dan jalan masuk dibatasi secara efisien. Jaringan jalan kategori ini adalah Jalan Cipaganti, Jalan K. Tendean, Jalan Siliwangi, Jalan Supratman, Jalan M Ramdan-Karapitan, Jalan Situ Aksaan, Jalan Martanegara dan Jalan Pagarsih
48
4. Jalan Lokal, adalah jalan yang melayani pergerakan angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan arata-rata rendah dan jalan masuk tidak dibatasi. Termasuk kategori ini adalah semua jaringan jalan di Kota Bandung selain yang disebut di atas.
Pola jaringan jalan di Kota Bandung cenderung radial yang ditandai dengan adanya jaringan jalan yang melayani pergerakan keluar-masuk pusat Kota Bandung secara radial dan 3 (tiga) jaringan jalan yang melingkar yang mempertegas pola konsentrik. Namun pada kawasan pusat kota pola yang dominan adalah grid. Ruas jalan yang termasuk kategori lingkar dan radial adalah: 1. Jaringan jalan lingkar lapisan dalam, yaitu Jalan Kebonjati, Jalan Sunda, Jalan Kepatihan, Jalan Abdul Muis dan Jalan Astananyar 2. Jalan lingkar lapisan tengah, yaitu Jalan Soekarno-Hatta, Jalan Dr Junjunan, Jalan PHH Mustafa, Jalan Pajajaran dan Jalan RE Martadinata 3. Jalan lingkar lapisan luar, adalah Jalan Tol Panci 4. Jaringan jalan radial yang menuju ke arah Utara, yaitu Jalan Ir H Juanda, Jalan Cipaganti, Jalan Sukajadi dan Jalan Setiabudi 5. Jaringan jalan radial menuju ke arah Timur, yaitu Jalan A Yani, Jalan Gatot Subroto dan Jalan PHH Mustafa 6. Jaringan jalan radial yang menuju ke arah Barat, yaitu Jalan Sudirman dan Jalan Rajawali 7. Jaringan jalan radial yang menuju ke arah Selatan adalah Jalan M. Thoha 8. Jaringan jalan radial yang menuju ke arah Tenggara yaitu Jalan Buah Batu 9. Jaringan jalan radial yang menuju ke arah Barat Daya, yaitu Jalan Kopo dan Jalan Kebonjati Terbentuknya pola jaringan jalan tersebut didasarkan pada kondisi-kondisi pertama daerah inti kota, yang merupakan pusat kegiatan yang berlokasi di kawasan alun-alun Bandung, kedua pola kegiatan penduduk menyebar secara 49
radial dari pusat kota yang mengarah ke luar kota dan ditandai dengan adanya pusat-pusat kegiatan dengan hirarki lebih rendah dan ketiga jaringan jalan regional yang melintas atau bertemu di daerah inti kota (Angkeara, 1997).
III.2.2. Perkembangan Jalan Panjang jalan yang ada di Kota Bandung saat ini
adalah 1.168,8 km yang
meliputi jalan nasional 42,114 km, jalan propinsi 22,99 km dan jalan kota 1.103,71 km (Bina Marga Kota Bandung, 2002). Apabila jalan lingkungan juga diperhitungkan maka panjang total jalan di Kota Bandung adalah 1.221.69 km. Panjang jalan di Kota Bandung relatif tidak mengalami penambahan yang berarti pada tahun-tahun terakhir ini. Gambar III.8 Status Jalan di Kota Bandung
Sumber : Dishub Kota Bandung, 2007
50
III.3. Angkutan Umum di Kota Bandung
III.3.1. Kebijakan Pemerintah Kota Penetapan rute dan trayek angkutan umum didasarkan pada Keputusan Walikota Bandung No. 551.2/Kep.1575-Huk/2002 mengenai penetapan trayek dan jumlah kendaraan umum. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa jumlah trayek untuk angkot di Kota Bandung sebanyak 38 trayek dengan wilayah layanan antar pusat kawasan/pusat terminal, antar pusat perdagangan dengan kawasan perumahan dan melingkar antara kawasan campuran. Jumlah kendaraan ditetapkan sebanyak 5.521 buah. Untuk moda bis kota yang melayani rute antar bagian wilayah kota dan sekitar wilayah kota yang diatur berdasarkan koridor Utara-Selatan, Barat-Timur serta dari pusat kota ke berbagai arah di luar kota. Jumlah izin trayek yang dikeluarkan untuk bis kota sebanyak 15 namun yang efektif beroperasi hanya sebanyak 11 trayek. Gambar III.9 Peta Rute Angkutan Umum Kota Bandung
Sumber : Dishub Kota Bandung, 2006 Dewasa ini di Kota Bandung tidak ada penambahan rute angkutan kota. Hal ini didasarkan pada kebijakan pemerintah yang mengharuskan investor melakukan 51
sendiri kajian rute yang ingin diusulkan. Keadaan status quo ini diperkuat juga dengan adanya perlawanan dari angkutan lokal seperti ojeg dan becak yang berusaha mempertahankan wilayah layanannya.
III.3.2. Pengelolaan Angkutan Umum Pengelolaan angkutan umum di Kota Bandung ditangani oleh beberapa instansi dengan tugas dan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur dengan Peraturan Daerah. Instansi yang terlibat antara lain Dinas Perhubungan, Kepolisian, Dinas Pendapatan, dan koperasi angkutan yang mewakili operator. Untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi penanganan masalah transportasi Walikota Bandung menerbitkan keputusan No. 620/Kep.115-Bag.Huk/2001 tanggal 9 Maret 2001 untuk membentuk badan koordinasi dimaksud yang fungsinya menangani permasalahan transportasi jalan termasuk di dalamnya angkutan umum. Angkutan umum di Kota Bandung didominasi oleh moda angkutan darat, kereta api mewakili sekitar 4% dari jumlah perjalanan angkutan. Angkutan umum ini sebagian besar berupa angkot mikrobus. Moda angkutan umum yang beroperasi di Kota Bandung adalah angkot, bis kota, taxi, ojeg, becak dan delman. Angkot yang beroperasi terdiri dari 38 trayek dengan jumlah armada tercatat 5521 buah. Angkot yang tercatat ini sekaligus pula merupakan jumlah izin trayek yang dikeluarkan oleh pemerintah kota. Hal ini menunjukkan bahwa lisensi layanan angkutan umum melekat pada kendaraan bukan langsung pada bentuk jasa atau kegiatan yang dilakukan. Kebijakan yang diterapkan oleh Pemkot Bandung untuk membatasi pertumbuhan angkot adalah zero growth namun hal ini tidak banyak memberi sumbangan terhadap pengurangan tingkat kemacetan dikarenakan kendaraan yang terdaftar di luar Kota Bandung dan melakukan perjalanan atau beroperasi di Kota Bandung berada di luar kewenangan Dinas Perhubungan Kota.
52
III.3.3. Jenis dan Kapasitas Moda Angkutan Umum III.3.3.1 Armada Angkot Layanan angkutan umum yang dilakukan oleh angkot dilakukan melalui pengusaha yang berhimpun dalam koperasi. Terdapat 3 koperasi angkutan kota di Kota Bandung yaitu: 1. KOBANTER BARU (Koperasi Bandung Tertib Baru) 2. KOBUTRI (Koperasi Bina Usaha Transportasi Republik Indonesia) 3. KOPAMAS (Koperasi Angkutan Masyarakat) KOBANTER BARU merupakan koperasi angkot yang terbesar di Kota Bandung dengan jumlah trayek yang 28 dan armada 4.702 kendaraan. KOBUTRI mengontrol 6 trayek dengan armada 599 kendaraan sementara KOPAMAS menguasai 4 trayek dengan armada 220 kendaraan. Ketiga koperasi ini merupakan wadah bagi pemilik kendaraan atau pengemudi dan memberi forum komunikasi antara pemilik-pengemudi dengan pemerintah. Dalam prakteknya koperasi ini juga mengatur dan mengkoordinir trayek dan sebagai fasilitator dalam hubungan dengan pihak bank dalam pembelian kendaraan dan pembiayaan kendaraan baru. Setiap pemilik angkot yang beroperasi di Kota Bandung harus merupakan anggota dari salah satu koperasi tersebut di atas dan koperasi akan menjaga efektifitas hak dan pengawasan terhadap trayek-trayek yang berada dalam wilayahnya masing-masing. Studi Masterplan Angkutan Umum tahun 2004 mengutarakan bahwa peran koperasi angkutan yang sangat besar cenderung dominan baik terhadap anggota maupun dalam bernegosiasi dengan pemerintah kota. Kekuatan yang dimiliki oleh koperasi angkutan cenderung mempertahankan status quo dimana apabila ada upaya pembangunan transportasi perkotaan yang dicurigai akan merugikan kepentingan koperasi, dan anggota, mereka dapat menghimpun massa yang besar untuk menghambatnya.
53
54
Tabel III.5 Distribusi Trayek dan Jumlah Armada Koperasi Angkutan No
Nama Trayek
1 2 3 4
Abdul Muis - Cicaheum via Aceh Abdul Muis - Cicaheum via Binong Abdul Muis - Dago Abdul Muis - Elang
5 6 7 8 9
Panjang, km
Jumlah
Koperasi
22 32 22 20
100 369 273 101
Kobanter Baru Kobanter Baru Kobanter Baru Kobanter Baru
Abdul Muis - Ledeng Abdul Muis - Mengger Antapani - Ciroyom Cibaduyut - Karang Setra Cicadas - Cibiru - Panyileukan
26 14,89 25,06 31,08 29,38
245 25 160 201 200
Kobanter Baru Kobanter Baru Kobanter Baru Kobanter Baru Kobanter Baru
10 11 12 14 15
Cicaheum - Ciroyom Cicaheum - Ledeng Cijerah - Ciwastra - Derwati Ciroyom - Cikudapateuh Cisitu – Tegallega
30 30 34,11 30 16,19
206 214 200 125 82
Kobanter Baru Kobanter Baru Kobanter Baru Kobanter Baru Kobanter Baru
16 17 18 19
Ciwastra - Ujung Berung Dago - Riung Bandung Elang - Cicadas Elang - Gedebage - Ujung Berung
22,8 42 31,42 37,49
32 201 300 115
Kobanter Baru Kobanter Baru Kobanter Baru Kobanter Baru
20 21 22 23 24
Margahayu Raya - Ledeng Panghegar P - Dipati Ukur Panyileukan - Sekemirung Pasar Induk Caringin - Dago Sadang Serang - Caringin
46 37,8 43,9 44 34,24
125 155 125 140 200
Kobanter Baru Kobanter Baru Kobanter Baru Kobanter Baru Kobanter Baru
25 26 27 28 29
Sadang Serang - Ciroyom Sederhana - Cijerah Sederhana - Cipagalo Stasiun Hall - Gedebage Cicaheum - Cibaduyut
18 14,36 27,8 42 36,8
150 67 276 200 150
Kobanter Baru Kobanter Baru Kobanter Baru Kobanter Baru Kobutri
30 31 32 33 34
Cicaheum - Ciwastra - Derwati Ciroyom - Sarijadi Stasiun Hall - Ciumbeluit via Cihampelas Stasiun Hall - Ciumbuleuit via Eyckam Stasiun Hall - Dago
34 24 16 18 22
200 97 40 60 52
Kobutri Kobutri Kobutri Kobutri Kobutri
35 36 37
Halteu Andir - Cibogo Atas Sederhana - Cimindi Stasiun Hall - Gunung Batu
8,84 16,51 16
35 55 55
Kopamas Kopamas Kopamas
38
Stasiun Hall - Sarijadi
15,4
75
Kopamas
55
1,030.07
5,521
Sumber : Dishub Kota Bandung (2007)
Untuk mengawasi dan melindungi kepentingan operator, setiap koperasi menunjuk kepala kelompok atau kordinator pengawas trayek. Kelompokkelompok ini memiliki kepedulian terutama untuk memastikan pendapatan supir dari trayek tetap terjaga dan tidak mendorong upaya perbaikan layanan. Ketua kelompok dapat menjadi koordonator dalam melakukan perlawanan terhadap perubahan kebijakan, operasi dan trayek angkutan umum yang mungkin dapat merugikan kepentingan anggota mereka. Sikap protektif tersebut ditengarai sebagai salah satu alasan transportasi perkotaan di Kota Bandung berada pada keseimbangan biaya-rendah dan kualitas-rendah (low-cost low-quality equilibrium). Pemerintah tidak dapat memaksakan perubahan yang lebih mengutamakan pengguna angkutan umum dan harus bernegosiasi dengan koperasi. Berdasarkan Studi Masterplan Angkutan Umum Kota Bandung 2004 diperoleh gambaran bahwa jumlah armada angkot yang beroperasi di Kota Bandung melebihi kebutuhan ideal sebesar 247 unit atau 4,5% dari total jumlah armada yang beroperasi. Perbandingan antara supply armada angkot dan kebutuhan ideal menurut studi tersebut adalah sebagaimana diberikan pada Tabel III.6. Kondisi di atas dapat menguntungkan bagi pengguna angkutan dari sisi ketersediaan layanan namun dari sisi operator menimbulkan persaingan ketat antar angkot. Dampak yang terlihat dari kelebihan supply ini adalah fenomena ngetem pada jam-jam off peak.
56
Tabel III.6 Perbandingan Jumlah Armada dan Kebutuhan Ideal Angkot No
Nama Trayek
Jumlah Kendaraan
Kebutuhan Ideal
Kelebihan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Abdul Muis - Cicaheum via Binong Abdul Muis - Cicaheum via Aceh Abdul Muis - Dago Abdul Muis - Ledeng Abdul Muis - Elang Cicaheum - Ledeng Cicaheum - Ciroyom Cicaheum - Ciwastra - Derwati Cicaheum - Cibaduyut Sadang Serang - Ciroyom Stasiun Hall - Ciumbuleuit via Eyckam Stasiun Hall - Ciumbeluit via Cihampelas Stasiun Hall - Gedebage Stasiun Hall - Sarijadi Stasiun Hall - Gunung Batu Margahayu Raya - Ledeng Dago - Riung Bandung Pasar Induk Caringin - Dago Panhegar P - Dipati Ukur Ciroyom - Sarijadi Ciroyom - Bumi Asri Ciroyom - Cikudapateuh Sederhana - Cipagalo Sederhana - Cijerah Sederhana - Cimindi Ciwastra - Ujung Berung Cisitu - Tegallega Cijerah - Ciwastra - Derwati Elang - Gedebage - Ujung Berung Abdul Muis - Mengger Elang - Cicadas Antapani - Ciroyom Cicadas - Cibiru - Panyileukan Panyileukan - Sekemirung Sadang Serang - Caringin Cibaduyut - Karang Setra Halteu Andir - Cibogo Atas
369 100 273 245 101 214 206 200 150 150 60 40 200 75 55 125 201 140 155 97 115 125 276 67 55 32 82 200 115 25 300 160 200 125 200 201 35
358 95 263 235 95 204 197 193 143 135 54 28 199 62 47 117 198 129 149 85 107 121 271 63 55 29 81 195 113 23 294 152 194 117 196 195 35
11 5 10 10 6 10 9 7 7 15 6 12 1 13 8 8 3 11 6 12 8 4 5 4 0 3 1 5 2 2 6 8 6 8 4 6 0
Jumlah
5,521
57
5,274
247
Sumber : Studi Masterplan Angkutan Umum (2004)
III.3.3.2. Armada Bis Kota Armada bis kota di Kota Bandung hampir sebagian besar dikelola oleh Perum Damri. Armada ini beroperasi pada 11 trayek dengan jumlah kendaraan 214 buah. Bis kota memiliki kapasitas 40 - 62 penumpang. Jaringan trayek yang dilayani oleh bis kota Damri adalah sebagaimana diberikan pada Tabel III.7 berikut :
Tabel III.7 Jaringan Trayek DAMRI No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jumlah Armada Beroperasi Cicaheum - Cibeureum 30 Ledeng - Leuwipanjang 12 Dipati Ukur - Leuwipanjang 12 Elang - Jatinangor 12 Kebon Kalapa - Tanjung Sari 15 Cicaheum - Leuwipanjang 30 Cibiru - Kebon Kalapa - Leuwipanjang 16 Alun-alun - Ciburuy 21 Elang - Jatinangor 12 Dipati Ukur via Tol 14 Cicaheum - Cibeureum (AC) 12 Dipati Ukur - Jatinangor (AC) 8 Cicaheum - Leuwipanjang (AC) 12 Cibiru - Leuwipanjang (AC) 8 Jumlah 214 Trayek
Sumber : Perum DAMRI, 2004
Berdasarkan Studi Masterplan Angkutan Umum Kota Bandung 2004 diperoleh gambaran bahwa jumlah armada bis kota yang beroperasi di Kota Bandung masih kurang dibanding kebutuhan ideal sebesar 25 unit atau sekitar 12% dari total jumlah armada yang beroperasi sebesar 214 unit. Perbandingan antara supply
58
armada bis kota dan kebutuhan ideal menurut studi tersebut adalah sebagaimana diberikan pada Tabel III.8 berikut:
Tabel III.8 Perbandingan Jumlah Armada dan Kebutuhan Ideal Bis Kota No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Nama Trayek Cicaheum - Cibeureum Ledeng - Leuwipanjang Dipatiukur - Leuwipanjang Elang - Jatinangor Kebon Kelapa - Tanjung Sari Cicaheum - Leuwipanjang Cibiru - Kebon Kelapan - Leuwipanjang Alun-alun - Ciburuy Elang - Jatinangor via tol Dipatiukur via tol Cicaheum - Cibeureum (AC) Dipatiukur - Jatinangor (AC) Cicaheum Leuwipanjang (AC) Cibiru - Leuwipanjang (AC)
Sumber:
Jumlah Studi Masterplan Angkutan Umum (2004)
Jumlah Armada
Kebutuhan Ideal
Kekurangan /kelebihan
30 12 12 12 15 30 16 21 12 14 12 8 12 8
33 14 13 12 12 40 23 15 18 12 14 8 16 9
-3 -2 -1 0 3 -10 -7 6 -6 2 -2 0 -4 -1
214
239
-25
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah armada bis kota di Kota Bandung masih kurang dibanding dengan kebutuhan ideal. Perbandingan kebutuhan dan jumlah armada antara bis kota dengan angkot di atas menunjukkan bahwa tersebut berbeda dengan angkot yang menunjukkan bahwa pada umumnya jumlah armada biskota yang dikelola DAMRI masih kurang.
III.3.3.3. Taksi, Becak, Ojeg dan Delman Selain layanan bis kota dan angkot, terdapat angkutan umum dengan rute tidak tetap di Kota Bandung yaitu berupa taxi, becak, ojeg dan delman. Di Kota Bandung terdapat 1.182 taxi yang dioperasikan oleh enam perusahaan yaitu Centris, PuskopAU, Kota Kembang, Gemah Ripah, 4848 dan Kuat (Dishub Kota Bandung, 2006).
59
Pada daerah sekitar pasar dan pusat perbelanjaan, untuk pergerakan jarak pendek biasanya dilayani oleh becak dengan jumlah diperkirakan 4000 buah. Jenis angkutan ojeg dan delman juga merupakan angkutan yang banyak beroperasi terutama pada daerah pinggiran kota. Fenomena ini diduga disebabkan oleh keterbatasan jangkauan jalur angkutan umum pada daerah pemukimanpemukiman. Studi Masterplan Angkutan Umum (2004) mencatat terdapat 60 titik lokasi becak beroperasi dan 53 pangkalan ojeg di Kota Bandung. III.4. Kondisi Lalu Lintas di Kota Bandung Sebagai kota yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, Kota Bandung mengalami fenomena peningkatan kemacetan lalu lintas. Pertumbuhan jumlah kendaraan, terutama kendaraan pribadi baik sepeda motor maupun mobil, yang tidak seimbang dengan penambahan jaringan jalan memberi andil terhadap keadaan tersebut. Salah satu kriteria untuk menilai keseimbangan, atau ketidakseimbangan, antara supply dan demand adalah dengan melihat nisbah (ratio) volume kendaraan yang melintas dengan kapasitas jalan, yaitu v/c ratio. Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Kota Bandung, nisbah v/c untuk beberapa jalan di Kota Bandung yang menjadi bagian dari penelitian ini adalah sebagaimana pada Tabel III.9 berikut. Tabel III.9 Kinerja Jaringan Jalan di Kota Bandung No
Ruas / Jalan
Panjang
v/c, rata-rata
m
(Th. 2002)
1
PHH Mustafa
2,370
2
Surapati
1,650
3
Dipati Ukur
1,750
4
Siliwangi
1,025
5
Cihampelas
1,570
6
Eyckman
730
7
Pasirkaliki
670
8
A R Saleh
1,000
9
Garuda
10
Pajajaran
620 1,960
60
1.0 0.9 1.0 0.8 0.8 0.9 0.8 1.0 0.6 0.7
11
Jalan Ciroyom
1,280
1.0
Sumber : Dishub Kota Bandung, 2006 (diolah)
Dengan nisbah v/c yang rata-rata mendekati angka 1,0 tersebut menunjukkan bahwa kapasitas jalan yang ada sudah tidak akan mampu lagi menampung penambahan volume kendaraan tanpa terjadinya penurunan kecepatan yang berarti juga penurunan kualitas layanan. Ukuran kualitas layanan jaringan jalan, dan sistem transportasi pada umumnya, adalah waktu yang dibutuhkan untuk melintas pada ruas tertentu atau pada keseluruhan rangkaian ruas jalan yang membentuk jaringan perjalanan dari titik asal sampai titik tujuan.
61