BAB III PERJANJIAN PERKAWINAN ADAT DAYAK NGAJU Perjanjian kawin merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan perkawinan menurut adat Dayak Ngaju, yang dalam pelaksanaanya tidak lepas dari organisasi kemasyarakatan yaitu Lembaga Kedamangan. Sebab itu, untuk mendapat gambaran yang lebih jelas,
maka bagian ini terlebih dahulu akan membahas tentang
gambaran umum kehidupan Suku Dayak Ngaju di kota Palangka Raya, Kelembagaan Adat Dayak Ngaju sebagai lembaga yang terkait, Perkawinan dan Perjanjian Perkawinan menurut adat Dayak Ngaju. Penelitian ini dilakukan di kota Palangka Raya.
1.
Gambaran Umum Kota Palangka Raya
1.1.
Kondisi Geografis Palangka Raya adalah ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Provinsi ini
secara geografis berbatasan di bagian utara, yaitu Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, Sebelah Selatan dengan Laut Jawa, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Timur di sebelah Timur. 87 Luas Provinsi Kalimantan Tengah secara keseluruhan sekitar 153.828 km2, 88 terdiri dari hutan belantara, rawa-rawa, sungai, danau, sawah dan ladang. Dari Kekayaan hutan belantara itu, Kalimantan Tengah menghasilkan kayu meranti, kayu agatis, rotan, damar dan kayu hutan lainnya. Sedangkan dibidang pertambangan menghasilkan:
87
Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun; Alam dan Kebudayaan, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,1993), 60 88 Ibid., 55
minyak bumi, emas, tembaga, kecubung dan intan. Kesemuanya ini merupakan sumber pendapatan bagi daerah maupun sumber pemasukan devisa bagi negara.89 Palangka Raya ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah dengan Undang-undang no. 27 tahun 1959 L.N. No. 72 tahun 1959, dan diresmikan sebagai Kotamadya Otonom pada tanggal 17 Juni 1965 oleh Menteri Dalam Negeri berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1959. 90 Palangka Raya artinya tempat yang Suci, yang Mulia dan Besar.91 Secara administratif kota Palangka Raya terdiri dari lima daerah kecamatan yaitu: Kecamatan Pahandut, Kecamatan Sebangau,
Kecamatan Jekan Raya,
Kecamatan Bukit Batu dan Kecamatan Rakumpit. 92 Selanjutnya, kota Palangka Raya berbatasan sebelah utara dengan Kabupaten Gunung Mas, sebelah Timur dengan Kabupaten Pulang Pisau, sebelah selatan dengan Kabupaten Pulang Pisau dan sebelah Barat Kabupaten Katingan. Penduduk asli kota Palangka Raya adalah suku Dayak yang menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Namun, selain suku Dayak ada pula suku -suku lain yang mendiami kota Palangka Raya, seperti suku Jawa, suku Batak, suku Banjar, suku Bugis dan suku-suku lainnya. Suku Dayak Ngaju umumnya peramah, mau bergaul dengan siapa saja. Mereka saling percaya satu sama lain. Orang Dayak selalu bersikap apa adanya dan sulit untuk berpura-pura. Sikap yang selalu waspada, tegas, spontan, cekatan dan tidak mudah terpengaruh tercermin dalam gaya hidup masyarakat Dayak. Karakter ini turut dipengaruhi oleh situasi alam yang harus dihadapi oleh orang Dayak sehari-hari. Hidup di sungai-sungai yang besar dan 89
Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun..., 57-62 Tjilik Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang, Menyelami Kekayaan Leluhur, penyunting Nila Riwut, (Palangka Raya: PUSAKALIMA, 2003), 36 91 Ibid., 37 92 Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah dalam buku Seksi Desiminasi dan Pelayanan Statistik, Kalimantan Tengah Dalam Angka 2008 (BPS Provinsi Kalimantan Tengah), 5 90
berarus deras, serta riam-riam yang tersebar di sana-sini, menuntut mereka untuk bertindak gesit dan cekatan menghadapinya. Belum lagi ketika harus berjalan di hutan belantara yang dihuni oleh binatang-binatang buas, mereka harus waspada dan harus berusaha melawan serangan dari binatang buas bila ingin bertahan hidup. Dalam berinteraksi dengan orang lain, masyarakat Dayak tetap memegang teguh kebiasaan dan hukum yang berlaku di lingkungannya. Mereka sulit menyimpang dari keadaan dan hukum yang berlaku dalam masyarakat adatnya. Hal ini dikarenakan adanya peranan dan pengaruh dari Kepala Adat.93 1.2. Sistem Kepercayaan Pada umumnya, orang Dayak percaya bahwa manusia memiliki hubungan yang erat dengan kosmos. Setiap perubahan yang terjadi dalam kosmos, menunjukkan suatu tanda bahwa telah terjadi ketidakseimbangan kosmos. Terganggunya keseimbangan kosmos disebabkan adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap adat istiadat. Sebagai contoh, ketika orang Dayak yang tinggal di daerah pedalaman masuk hutan rimba yang lebat dan berbahaya, ada perasaan “takut” kepada sesuatu yang dianggap sebagai pemilik atau penjaga hutan tersebut. Sejalan dengan kepercayaan tersebut, maka ada hutan yang dianggap angker, yang tidak boleh dijadikan tempat untuk berladang atau ditebang. Jika pohon-pohon di daerah tersebut ditebang atau dirusak, maka orang yang melakukannya akan mendapat malapetaka. Kepercayaan akan adanya penjaga
atau penunggu suatu tempat, membuat manusia tidak
sembarangan menebang pohon. Dan jika mereka membutuhkan pohon tertentu dari hutan itu, maka biasanya mereka memberikan sesaji sebagai tanda “permisi”. Sikap orang Dayak ini sering dianggap oleh orang luar sebagai sikap „menyembah kepada pohon atau mahluk‟ tertentu, padahal sebenarnya sikap ini merupakan wujud dari 93
Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak di Kota Palangka Raya, 21 Mei 2011
belom bahadat, yaitu norma kesopanan dan saling menghargai sebagai sesama ciptaan. Karena bagi orang Dayak hanya Raying Hatalla Langit yang patut disembah. Begitu pula dengan hewan-hewan di hutan tertentu tidak boleh diburu atau dibunuh sekehendak hati. Hewan-hewan tersebut dianggap ada yang memiliki. Kalau mau diambil atau diburu harus meminta ijin dahulu kepada yang punya dengan cara memberikan sesajian kepadanya dan harus mengutarakan hewan apa yang ingin diburu, dan berapa banyak yang diinginkan. Sistem kepercayaan yang demikian telah memungkinkan daerah hutan di Kalimantan tetap utuh/lestari. Alam maupun hewanhewan terlindungi dari kemusnahan dan keseimbangan ekologis tidak terganggu.94 Dalam kehidupan masyarakat Dayak sehari-hari, ada juga larangan-larangan tertentu yang harus ditaati yang disebut pali (tabu). Peranan pali atau tabu sangat penting, karena pali membatasi keinginan dan kepentingan pribadi seseorang. Pali sebenarnya larangan yang ditaati oleh setiap orang, karena jika dilanggar akan membuat diri sendiri, keluarga bahkan masyarakat celaka. Pelanggaran terhadap pali hanya dapat diperbaiki atau dinetralisir dengan cara-cara tertentu sesuai dengan petunjuk/ketentuan dan keputusan para orang tua yang ahli dalam kepercayaan asli suku Dayak. Dalam kehidupan sehari-hari, penerapan pengertian pali terdapat pada pantang memakan jenis hewan, ikan dan tumbuh-tumbuhan tertentu. Biasanya jenis pali semacam ini kalau dilanggar hanya berakibat pada pribadi yang bersangkutan. Jenis pali yang berat adalah jenis pali yang kalau dilanggar mengakibatkan malapetaka bagi banyak orang.
Malapetaka yang dimaksud adalah banjir besar yang
mengakibatkan panen gagal, penyakit menular yang menyebabkan banyak kematian. Sebab itu pali harus ditaati untuk menjaga keseimbangan dan keserasian kosmos.
94
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Tengah, (Palangka Raya: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/1979), 14-15
Adat istiadat maupun sistem kepercayaan orang Dayak ini, sangat dipengaruhi oleh kepercayaan agama helo (agama jaman dulu) atau yang kemudian disebut agama Kaharingan. Sebagaimana agama asli yang terdapat pada daerahdaerah lain yang ada di Indonesia, demikian juga kaharingan merupakan salah satu agama asli nusantara yang sampai sekarang masih bertahan dan dipelihara oleh pemeluk-pemeluknya. Kepercayaan Kaharingan disebut agama asli suku Dayak, karena memang sebelum masuknya agama-agama dunia, kepercayaan ini sudah ada terlebih dahulu di Kalimantan. Ia lahir dan tumbuh dari tempat atau daerahnya sendiri di pulau Kalimantan. Menurut Hermogenes Ugang, secara etimologi istilah Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak Kuno), yaitu dari akar kata haringyang artinya ada dari diri sendiri, tanpa ada orang yang mengadakannya, hidup dengan sendirinya tanpa ditanam dan dipelihara.95 Agama Kaharingan percaya kepada Raying Hattala Langit,
Raja Tuntung
Matan Andau, Tuhan Tambing Kabunteran Bulan, Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan, artinya: Tuhan yang berkuasa di Langit, yang menciptakan matahari, bulan (alam semesta), Zat yang Maha Suci di tempat yang Maha Mulia. 96
Raying
diyakini mempunyai otoritas tertinggi karena Dialah yang menciptakan alam semesta, yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam kehidupan manusia. Dalam perjalanannya, agama Kaharingan terus bertahan ditengah-tengah keberadaan agama-agama resmi yang ada di Indonesia. Keberadaannya yang tidak diakui sebagai agama resmi pada masa orde baru ini terpaksa bernaung di salah satu agama besar di Indonesia yaitu agama Hindu Dharma. Setelah berintegrasi dengan Hindu Dharma, maka dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Agama Republik 95
Hermogenes Ugang, Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran, 10 Wawancara dengan Parada L. KDR (Bp. Ria), Basir di kota Palangka Raya, tanggal 01 Juli 2011
96
Indonesia Nomor H/37/SK/1990 tertanggal 19 April 1980.97 Dengan integrasi tersebut maka, agama Kaharingan menjadi Hindu Kaharingan. Walau pun Kaharingan telah berintegrasi dengan Hindu dharma, namun dalam pelaksanaanya Kaharingan tetap menjalankan apa yang sudah menjadi kepercayaan yang telah berakar dalam suku Dayak Ngaju. Hindu Dharma merupakan payung bagi Kaharingan,
98
sehingga sesuai dengan arti namanya (haring=hidup dengan
sendirinya), Kaharingan betul-betul tetap hidup dan berkembang ditengah-tengah arus globalisasi yang terus melanda kota Palangka Raya.
Selain agama asli suku Dayak, di kota Palangka Raya terdapat juga agamaagama dunia, antara lain: agama Islam yang masuk di Kalimantan melalui para pedagang Melayu pada abad 17. Sambil berdagang mereka menyebarkan agama Islam. Sebagian suku Dayak yang menerima ajaran Islam, memeluk agama Islam. Orang Dayak yang telah memeluk agama Islam disebut orang Melayu atau orang Banjar.
Tempat-tempat dimana agama Islam berkembang sekarang adalah
Kotawaringin di Kalimantan Tengah, pesisir sungai Barito (suku Bakumpai) dan wilayah Kalimantan Selatan. Sementara itu, Agama Kristen pertama kali masuk di Banjarmasin sekitar tahun 1835 oleh misionaris/zending. Mulanya keberadaan mereka tidak diterima dengan baik, bahkan banyak para pendeta dan misionaris yang dibunuh, karena mereka diidentikkan dengan pemerintah kolonial Belanda sebelumnya, yang samasama berkulit putih. Namun kemudian para misionaris dapat meyakinkan orang Dayak bahwa mereka tidak sama dengan orang-orang Belanda yang menjajah 97
Y. Nathan Ilon, “Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tingang: Sebuah Konsepsi Memanusiakan Manusia dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah,” (Palangka Raya: PBP DATI I Kalimantan Tengah, 1991), 7 98 Wawancara dengan Parada L. KDR., KDR (Bp. Ria), Basir di kota Palangka Raya, tanggal 01 Juli 2011
mereka dulu. Mereka mendekati orang Dayak dengan menghargai adat istiadat mereka. Para zending mendirikan sekolah guru (seminari) di Banjarmasin, balaibalai pengobatan dan mendidik pendeta-pendeta penyebaran Injil.
Dayak untuk mengadakan
Tahun 1926 berdirilah “Pakat Guru Kristen Dayak,” yang
merupakan salah satu faktor pendorong lahirnya Gereja Dayak.
Dalam
perkembangan selanjutnya, nama Gereja Dayak berubah menjadi Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) yang pengelolaannya dilakukan oleh orang Dayak sendiri.99 Pada masa sekarang, masyarakat Dayak Ngaju memeluk berbagai agama. Baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu maupun Katolik. Adanya kemudahan dalam hal sarana dan prasarana dibidang transportasi maupun komunikasi menyebabkan masyarakat kota Palangka Raya semakin heterogen.
Sekalipun masyarakat Dayak telah memeluk berbagai agama, bukan berarti pengaruh tradisi lama dari kepercayaan agama helo sudah hilang. Kepercayaan itu tetap mempengaruhi perilaku orang Dayak secara umum di Kalimantan Tengah. 100 1.3. Sistem Sosial kemasyarakatan Nilai-nilai kehidupan masyarakat Dayak Ngaju yang hingga saat ini masih nampak dan tetap dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari adalah solidaritas sosial dalam kelompok. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aktivitas sosial seperti: mendirikan rumah (mampendeng huma), menanam padi (manugal), menuai padi
99
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Sejarah Daerah, 137-141 100 Lihat Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun...133-135; Fridolin Ukur, Tantang Djawab Suku Dayak, ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 52.
(manggetem parei), pesta perkawinan atau peristiwa kematian.
Semua dilakukan
secara bergotong royong (sama hakadohop, handep).101 Bentuk kerjasama yang diberikan bervarisai, sesuai dengan kemampuan masingmasing. Ada yang memberikan bantuan berupa tenaga, material maupun perhatian
dalam bentuk lainnya. Kesemuanya dilakukan secara bersama-sama berdasarkan falsafah “budaya betang” (rumah besar, yang dapat ditempati oleh 100-200 orang). Hal yang mendasar dalam budaya betang adalah norma kehidupan masyarakat berdasarkan prinsip kebersamaan, kekeluargaan, kesetaraan dalam masyarakat. 1.4.
Stratifikasi Sosial Stratifikasi sosial masyarakat Dayak Ngaju sudah tidak seketat jaman dulu,
dan sudah mengalami banyak perubahan di dalamnya.
Budaya jipen hajipen
(perbudakan) dan hajual hapili jipen (jual-beli budak) mulai dihapuskan sejak Rapat Besar Perdamaian di Tumbang Anoi tahun 1894.102 Semua pihak yang hadir dalam pertemuan ini sepakat untuk berdamai dan menempatkan sesama manusia sebagai mahluk Tuhan yang memiliki kesamaan hak dan kedudukan. Secara umum, masyarakat Dayak mengenal sistem stratifikasi sosial antara lain:103 1.
Golongan atas (utus gantung) adalah kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan finansial yang baik (oloh tatau). Kelebihan yang mereka miliki dibandingkan kelompok yang lain adalah harta pusaka dan barang-barang berharga berupa mandau, tombak, gong, kangkanong, guci dan sebagainya. Kelompok ini menempati posisi yang paling tinggi dalam kehidupan masyarakat, dan mempunyai pengaruh yang cukup besar bahkan menentukan
101
Wawancara dengan Marli G. Matan (Bapa Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai Kota Palangka Raya, 16 Juni 2011 102 Y. Nathan Ilon, Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing...54 103 Tim Peneliti dan Pencatat Kebudayaan Daerah Kalimantan Tengah, Adat Istiadat Kalimantan Tengah. (Palangka Raya: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978), 196-198
dalam berbagai aktivitas sosial. Dari segi keturunan, yang termasuk dalam golongan ini adalah keturunan langsung dari Tamanggung, 104 Dambung (orang yang dihormati dalam masyarakat), Pangkalima (Panglima), Damang 105 , dan Mantir Adat (membantu Damang dalam menyelesaikan tugasnya). 2.
Golongan bawah
(utus randah) adalah orang-orang biasa yang hidup
sederhana, mencukupi kebutuhan sehari-hari dari usahanya sendiri. Ukuran untuk menyatakan bahwa seseorang itu termasuk utus randah adalah terletak pada harta benda yang dimiliki. Mereka tidak memiliki barang-barang berharga seperti yang dimiliki oleh utus gantung. 3.
Golongan budak (utus jipen). Para jipen, sama sekali tidak memiliki harta benda. Mereka dipelihara oleh majikannya dan wajib bekerja untuk kepentingan majikannya itu. Biasanya yang menjadi jipen adalah orang-orang yang kalah dalam peperangan atau perkelahian dan tidak sanggup membayar utang, bisa juga karena melanggar hukum adat dan tidak mampu membayar denda (sanksi).
Mereka akan menjadi orang bebas, jika mereka mampu
melunasi hutang. Tetapi jika mereka tidak dapat melunasi hutang, maka seumur hidup anak keturunannya akan tetap menjadi jipen dan dikenal sebagai utus jipen. Yang juga termasuk dalam golongan ini adalah: jipen kabalik yaitu budak tawanan perang.
Mereka dipandang lebih hina dan
dianggap dia barega atau tidak memiliki nilai sama sekali dibanding jipen
104
Orang yang memiliki kekayaan, karisma sebagai pemimpin sehingga sangat dihormati oleh masyarakat. 105 Kepala adat yang mempunyai fungsi elit lokal yang menentukan hukum-hukum adat dan peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan hidup bermasyarakat.
karena utang. Mereka juga tidak memiliki kesempatan untuk hidup bebas, bahkan bisa dibunuh kapan saja oleh majikannya.106 1.5. Sistem Kekerabatan Suku Dayak yang tinggal di pulau Kalimantan umumnya menganut sistem kekerabatan bilateral yaitu, sistem keturunan atau kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari dua sisi, yaitu dari pihak ayah dan pihak ibu. 107
Setelah
perkawinan, si suami dianggap sebagai anggota keluarga istri, sebaliknya si istri dianggap sebagai anggota keluarga suaminya. Sebab itu, biasanya setelah perkawinan si istri maupun suami bebas untuk memilih bertempat tinggal di lingkungan keluarga suami atau di lingkungan keluarga istri, sampai mereka memiliki tempat tinggal sendiri. Dalam hal hak dan kedudukan, suami dan istri dalam masyarakat Dayak Ngaju memiliki derajat yang seimbang. Tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah, masing-masing saling mengisi dan saling bekerja sama. Istri menghormati suami, demikian juga suami menghargai istri.
Anak laki-laki maupun anak
perempuan juga memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dalam keluarga maupun masyarakat. Masing-masing mempunyai hak untuk mewarisi warisan dari orang tua mereka. Dalam sistem kekerabatan pada suku Dayak Ngaju, yang masih dianggap sebagai keluarga dekat adalah sampai kepada keturunan ketiga (hanjenan), sepupu dua kali.
Sedangkan keturunan keempat sudah dikatakan diluar keluarga inti.
Itulah sebabnya, para orang tua umumnya cenderung menganjurkan anaknya untuk
106
Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir danTokoh Masyarakat Adat Dayak di kota Palangka Raya, 21 Mei 2011 107 Lihat, Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1980), 125
menikah dengan keturunan keempat agar hubungan keluarga kembali dekat. 108 Selain itu, diharapkan warisan keluarga berupa tanah, kebun rotan, kebun karet maupun benda-benda pusaka yang berharga dapat dipertahankan. Perkawinan yang demikian dianggap sebagai perkawinan yang ideal. 2.
Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah Perkawinan memiliki kedudukan yang sedemikian penting dalam kehidupan
masyarakat Dayak Ngaju. Karena itu, adat perkawinan tersebut diatur dengan baik agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap terpelihara. Sehubungan dengan itu maka pemerintah daerah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor: 16 Tahun 2008 tentang “Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah”. Peraturan Daerah ini merupakan penyempurnaan dari Peraturan Daerah Provinsi Tingkat I Kalimantan Tengah Nomor: 14 tahun 1998 tentang “Kedamangan di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah” yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan Otonomi Daerah.109 Kelembagaan Adat Dayak adalah organisasi kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan sejarah Masyarakat Adat Dayak dengan wilayah hukum adatnya.
Lembaga ini memiliki hak dan wewenang untuk
mengatur, mengurus dan menyelesaikan masalah yang terjadi dalam masyarakat dengan mengacu kepada adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat Dayak. 110 Pengaturan Kelembagaan Adat Dayak merupakan upaya pemerintah agar lembaga ini dapat diberdayakan sebagai wadah untuk membentuk karakter
108
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Sejarah Daerah Kalimantan Tengah, (Palangka Raya: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978), 85-86 109 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Sekretariat Daerah Biro Hukum, 2008, 1 110 Ibid, 4
masyarakat adat Dayak melalui pelestarian, pengembangan, pemberdayaan adat istiadat
dan penegakkan hukum dalam masyarakat, demi peningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat serta menunjang kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.111 2.1. Hirarki Kelembangaan Adat Dayak Kalimantan Tengah Hirarki Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah, sesuai Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor: 16 Tahun 2008 Pasal 4, sebagai berikut:112 -
Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) adalah Lembaga Adat tingkat Nasional
yang
bertugas
sebagai
lembaga
koordinasi,
sinkronisasi,
komunikasi, pelayanan, pengkajian, wadah menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan semua tingkat Lembaga Adat Dayak; -
Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalimantan Tengah merupakan Lembaga Adat Dayak tingkat Provinsi, bertugas melaksanakan program kerja dari MADN, menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap seluruh Dewan Adat Dayak tingkat Kabupaten/Kota di wilayah Kalimantan Tengah;
-
Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten/Kota adalah Lembaga Adat Dayak tingkat Kabupaten/Kota, bertugas melaksanakan program kerja dari Dewan Adat Dayak Provinsi, menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap seluruh Dewan Adat Dayak tingkat Kecamatan dam Lembaga Kedamangan di wilayahnya.
-
Dewan Adat Dayak (DAD) Kecamatan adalah Lembaga Adat Dayak tingkat kecamatan, bertugas melaksanakan program kerja Dewan Adat Dayak
111 112
Ibid, 6 Ibid, 7-8
Kabupaten/Kota , menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap seluruh Dewan Adat Dayak tingkat Desa/Kelurahan; Kedamangan dipimpin oleh Damang Kepala Adat sekaligus sebagai Ketua Kerapatan Mantir/Let Pwerdamaian Adat tingkat Kecamatan. -
Dewan Adat Dayak (DAD) Desa/Kelurahan adalah Lembaga Adat Dayak tingkat Desa/Kelurahan, bertugas melaksanakan program kerja DAD tingkat Kecamatan; Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat Desa/Kelurahan.
Berikut ini merupakan Hubungan hirarki dan Bagan Kelembagaan Adat Dayak Kalimantan Tengah:
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 16 TAHUN 2008, TANGGAL 18 DESEMBER 2008
BAGAN KELEMBAGAAN ADAT DAYAK DI KALIMANTAN TENGAH MAJELIS ADAT DAYAK NASIONAL (MADN)
DEWAN ADAT DAYAK (DAD) Povinsi Kalimantan Tengah
DEWAN ADAT DAYAK (DAD) Kabupaten/Kota
DEWAN ADAT DAYAK (DAD) Kecamatan
Kedamangan dan Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Kecamatan
DEWAN ADAT DAYAK (DAD) Desa/Kelurahan
Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Desa/Kelurahan
Keterangan: Hubungan Hirarki Hubungan Koordinasi
2.2. Lembaga Kedamangan Salah satu Lembaga Adat Dayak yang diberdayakan oleh pemerintah adalah Lembaga Kedamangan yang dipimpin oleh seorang Damang Kepala Adat yang berkedudukan di tingkat kecamatan. Damang merupakan mitra Camat dan mitra DAD Kecamatan yang bertugas dalam bidang pelestarian, pengembangan dan pemberdayaan, adat istiadat dan berfungsi sebagai penegak hukum adat Dayak dalam wilayah Kedamangan bersangkutan. Dalam menjalankan tugasnya, Damang Kepala Adat dibantu oleh Mantir Adat selaku DAD tingkat Desa/Kelurahan.113 Sebelum adanya rapat besar Perdamaian Tumbang Anoi114, peranan Damang Kepala Adat sangat penting dalam masyarakat. Ia berkewajiban untuk memberikan petunjuk serta pemecahannya jika terjadi masalah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam pelaksanaan penyelesaian suatu perkara selalu mengedepankan cara-cara damai. Keputusan-keputusan yang diambil oleh Damang sangat dihargai
113
Ibid, 8-9 Rapat Besar Perdamaian Tumbang Anoi dilaksanakan selama 60 hari, pada tanggal 22 Mei-24 Juli 1894. Rapat besar ini dilaksanakan di Tumbang Anoi yang terletak di Kahayan Hulu Utara Kalimantan Tengah. Para utusan yang hadir berasal dari seluruh suku Dayak di Kalimantan, para pejabat pemerintahan Hindia Belanda, dan tokoh-tokoh pribumi. Peristiwa ini sebagai suatu prestasi dari generasi pendahulu dalam merintis semangat persatuan dan kesatuan, maupun pembaharuan dibidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan keamanan. Butir-butir kesepakatan Rapat Besar Perdamaian ini antara lain: pengakuan pemerintah atas lembaga kedemangan (istilah waktu itu), penyempurnaan dan penyeragaman 96 pasal Hukum Adat warisan leluhur, penghapusan sistem perbudakan, menghentikan kegiatan asang maasang (perang antar suku) dan bunu habunu (bunuh membunuh sebagai balas dendam) serta kayau mengayau (kebiasaan berburu kepala manusia), dan penyelesaian sengketa antar perorangan maupun kelompok melalui pengadilan yang tuntas, sampai pada perdamaian. Peristiwa ini merupakan tonggak sejarah bagi Kalimantan dan persiapan mendasar untuk tahap perjuangan selanjutnya. Lihat: Y. Nathan Ilon, “Sekitar Perdamaian Tumbang Anoi”, dalam Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing... (Palangka Raya: PBP DATI I Kalimantan Tengah, 1991), 50-56. 114
dan dihormati oleh masyarakat adat, karena tiap keputusannya dianggap sebagai keputusan yang mencerminkan kehendak masyarakat serta menunjukkan keadilan bagi semua.115 Demikian juga, sebelum adanya pasal-pasal tertulis tentang hukum Adat Dayak, secara alami Damang Kepala Adat telah menjalankan hukum-hukum itu. Keputusan yang diambil sangat bijaksana dan hati-hati sekali, mempertimbangkan kebenaran berdasarkan fakta yang terjadi,
dan juga berdasarkan pengalaman-
pengalaman sebelumnya. Semua masalah dibahas dalam kerapatan adat Dayak, yang dihadiri oleh tua-tua adat dan para mantir adat.116 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga adat atau lembaga kedamangan yang ada di Kalimantan Tengah maupun yang ada di seluruh Kalimantan merupakan lembaga warisan asli daerah. Artinya, lembaga ini tidak hanya sebagai lembaga adat biasa, melainkan sebagai persekutuan masyarakat hukum adat Dayak, yang sudah ada jauh sebelum kehadiran pemerintah kolonial Belanda ada di daerah ini.117 2.3. Tugas Damang Kepala Adat Seorang Damang Kepala Adat yang bertugas di Lembaga Kedamangan memiliki tugas antara lain: menegakkan hukum adat dan menjaga wibawa lembaga adat kedamangan, menyelesaikan perselisihan atau pelanggaran adat, membantu pemerintah daerah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan pembangunan di 115
Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak di Kota Palangka Raya, 03 Agustus 2011 116 Ibid. 117 Sejak meletusnya perang Banjar tahun 1859, semangat melawan penjajah berkobar di mana-mana, termasuk di Kalimantan Tengah. Suasana perang Belanda dengan Barandar (pasukan prajurit yang didukung oleh para Damang, Pahlawan Banjar dan tokoh-tokoh masyarakat) menjadi keprihatinan para tokoh tua, sehingga mereka memutuskan untuk menandaskan gagasan “damai” yang diajukan pihak Belanda, dengan syarat Lembaga Kademangan tetap tegak, lembaga adat harus tetap dihargai. Lihat Y. Nathan Ilon, Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tingang,...52, 108
segala bidang, terutama bidang adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat, menetapkan besarnya uang sidang, uang meja, uang komisi, uang jalan, dan lap tunggal dalam rangka pelayanan /penyelesaian kasus dan atau sengketa oleh Kerapatan Mantir Perdamaian Adat, baik tingkat kecamatan maupun tingkat desa/kelurahan.118 Dalam menyelesaikan suatu perkara, khususnya di kota Palangkaraya terdapat suatu mekanisme tertentu untuk mencegah timbulnya konflik-konflik terbuka yang diketahui publik. Suatu perkara yang diajukan kepada Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat,119 baik tingkat Desa/Kelurahan maupun pada tingkat Kecamatan, wajib diterima, diproses sesuai dengan asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan yang berlaku dalam masyarakat. Tata cara penyelesaian perkara dan tata cara menjatuhkan sanksi adat oleh Damang Kepala Adat melalui Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat, dilakukan sesuai dengan hukum adat Dayak yang berlaku di wilayah kedamangan masing-masing. Sehubungan dengan perkawinan, seorang Damang Kepala Adat ataupun Mantir adat berperan sebagai mediator atau pemandu dalam melaksanakan perkawinan secara adat, membantu untuk merumuskan perjanjian-perjanjian menurut adat, menerbitkan dan mengesahkan surat keterangan perkawinan secara adat, mengeluarkan surat keterangan perceraian secara adat dan surat-surat lainnya
118
Perda No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah, pasal 8 Istilah Let berarti wadah, tempat atau forum. Yang dimaksud Let Perdamaian Adat adalah suatu wadah bagi tetua adat, mantir adat yang biasanya diikut sertakan oleh Damang Kepala Adat dalam persidangan-persidangan adat, guna menegakan norma-norma adat dalam menyelesaikan suatu perkara. Mereka ini disebut sebagai Let Adat, karena mereka adalah tokoh masyarakat yang dianggap banyak mengetahui soal adat dan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat. Peranan lain dari Let adat adalah sebagai pembantu Damang Kepala Adat dalam bidang penegakan, penuntutan, dan peradilan adat. Lihat Arma Diansyah, “Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat pada Masyakarat Suku Dayak di Palangka Raya.” (Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, 2011); lihat Perda, 4.
119
yang berkaitan dengan hukum adat sepanjang diminta oleh pihak-pihak yang berkepentingan.120 3.
Perkawinan Adat Dayak Ngaju Sistem perkawinan yang berlaku pada masyarakat Dayak Ngaju adalah
sistem perkawinan Eleutherogami,121 yaitu sistem perkawinan yang memberikan kebebasan kepada seorang laki-laki maupun seorang perempuan untuk memilih pasangan hidupnya, baik dari dalam suku sendiri atau di luar suku. Bagi masyarakat Dayak Ngaju, perkawinan adalah sesuatu yang luhur dan suci, yang mempunyai arti, makna serta kedudukan yang sama pentingnya dengan peristiwa kelahiran dan kematian. Perkawinan merupakan salah satu bagian hidup masyarakat Dayak Ngaju yang dianggap sakral karena berhubungan dengan kepercayaan mereka terhadap leluhur, yaitu Raja Bunu.122 Perkawinan juga merupakan suatu peristiwa yang berlangsung seumur hidup, sampai maut yang memisahkan.
Hal ini terlihat jelas dalam ungkapan
“hakambelom sampai hentang tulang”
artinya: “hidup bersama sampai
menggendong tulang”.123 Dari ungkapan ini terlihat jelas bahwa bagi orang Dayak Ngaju perkawinan harus dihormati, dan harus tetap dipertahankan sampai salah satu pihak meninggal. Penghormatan dan kesetiaaan terhadap perkawinan merupakan sesuatu yang harus selalu dijunjung tinggi oleh orang Dayak. Jika salah satu suami/istri meninggal terlebih dahulu, maka kewajiban bagi pasangan yang ditinggal itu adalah menggendong tulang yang meninggal untuk dibawa masuk ke
120
Lihat Perda Pasal 10 ayat 1e. Bdk. Abdurrahman, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,..., 70 122 Wawancara dengan Bajik R. Simpei Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak di Kota Palangka Raya, 21 Mei 2011 123 Ibid. 121
sandung,124
pada waktu upacara tiwah125 . Karena itu, jika terjadi pencemaran
terhadap hakekat perkawinan, berarti telah mengotori keluhuran dan kesuciannya, maka adat akan memberikan sanksi atau hukuman tertentu bagi yang telah mencemarkannya.126 3.1. Tujuan perkawinan dalam Masyarakat Dayak Ngaju. Dalam masyarakat Dayak Ngaju, istilah perkawinan adalah “mangarangka pambelom” artinya merencanakan kehidupan atau mendirikan rumah tangga sendiri. Perkawinan secara adat bertujuan untuk mengatur hidup dan perilaku belom bahadat, mengatur hubungan manusia berlainan jenis kelamin guna terpeliharanya ketertiban masyarakat agar melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan tidak tercela. Hubungan seks di luar pernikahan merupakan sikap yang tidak terpuji karena dapat mengganggu keseimbangan kosmos. Jika hal itu terjadi, maka yang bersangkutan dikenakan sanksi adat. Perkawinan juga bertujuan untuk mendapatkan keturunan, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu. Tujuan ini terlihat sejak upacara Hakumbang auh (penjajakan), maja misek (meminang) sampai pelaksanaan perkawinan adat, selalu dikatakan: “ikei toh dumah handak manggau petak ayun keton hetoh dan amun aton angat ikei tau mimbul hong hete.” Artinya, “kami datang hendak mencari tanah kepunyaan kalian dan kalau ada supaya kami boleh menanam disitu.” Dari ungkapan ini tersirat bahwa laki-laki diibaratkan bibit tanaman yang mencari tanah tempat menanam. Sedangkan wanita diibaratkan tanah tempat menanam bibit itu. Diharapkan bibit yang ditanam itu dapat tumbuh dan menghasilkan buah. Buah 124
Sandung adalah sebuah bangunan kecil, khusus dibangun sebagai tempat menyimpan tulang mereka yang telah ditiwah. 125 Tiwah adalah upacara mengantar arwah ke Lewu Tataw yaitu dunia yang penuh dengan kesenangan, kekayaan dan kemakmuran. 126 Wawancara dengan Basel Abangkan, Kepala Adat Kedamangan Sabangau di kota Palangka Raya, 06 Juni 2011.
dari perkawinan adalah anak-anak. Jadi, salah tujuan perkawinan adalah mendapatkan
keturunan yang sehat jasmani dan rohani serta menata garis
keturunan yang teratur guna menjamin kelangsungan hidup suku. Seseorang yang telah kawin biasanya memiliki hak dan kesempatan untuk jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat, dibandingkan mereka yang belum kawin. Dengan demikian perkawinan juga mempunyai tujuan untuk mendapatkan status sosial dalam masyarakat.127 3.2. Bentuk-bentuk Perkawinan dalam Masyarakat Dayak Ngaju 3.2.1. Perkawinan yang tidak lazim Bentuk perkawinan ini merupakan bentuk yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan tatanan Adat Dayak. Umumnya bentuk perkawinan ini sangat dihindari oleh masyarakat Dayak Ngaju, karena sangat memalukan bagi keluarga, kerabat dan juga masyarakat setempat. Dan akibat perkawinan ini, pihak yang bersalah akan mendapatkan sanksi adat (singer tekap bau mata = denda penutup muka dan mata), sebagai penutup malu atau penutup aib pihak keluarga korban. -
127
Kawin hatamput128 Kawin Hatamput artinya kawin lari. Perkawinan ini terjadi atas kesepakatan bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk melarikan diri dan hidup bersama sebagai suami isteri. Perkawinan ini dilakukan tanpa sepengetahuan orangtua mereka. Biasanya hal ini terjadi karena orangtua salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak menyetujui rencana perkawinan mereka. Bisa juga karena pihak laki-laki tidak mampu memenuhi tuntutan adat terutama palaku (mas kawin) yang diminta oleh orangtua perempuan atau pihak laki-laki tidak mampu membiayai pelaksanaan upacara perkawinan yang terlalu mahal.
Ibid. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek Pengajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Kalimantan Tengah, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan Tengah, 1994/1995, 61-62 128
-
Kawin Pahinje Arep129 Pahinje Arep artinya menyatukan diri, dalam hal ini pihak laki-laki maupun pihak perempuan bersatu/hidup bersama atas kemauan sendiri. Perkawinan ini biasanya terjadi karena pihak laki-laki tidak mampu memenuhi syarat-syarat adat dan membiayai pesta perkawinan. Cara ini juga sering dilakukan untuk memaksa orangtua agar merestui perkawinan mereka.
-
Kawin Manyakei130 Kata Manyakei berarti memanjat; menaiki, dalam hal ini pihak laki-laki atau perempuan nekat pergi dari rumah orang tuanya, ke rumah pemuda atau gadis yang dicintainya, dan tidak akan pulang ke rumah orangtuanya sampai mereka dinikahkan secara resmi menurut adat. Kawin manyakei umumnya terjadi karena beberapa faktor antara lain: orangtua tidak menyetujui pilihan hati anaknya, janji yang pernah diucapkan kepada orang yang manyakei tetapi tidak segera ditepati.
3.2.2. Perkawinan Tulah: Mandai Balai Sumbang Pelaksanaan upacara perkawinan ini dilakukan jika telah terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang lazim berlaku di dalam masyarakat.
Bentuk
pelanggaran ini berupa kesalahan dalam silsilah keluarga (sala hurui), misalnya antara paman dengan keponakan atau bibi dengan keponakan dan juga antara kakek dengan cucu atau nenek dengan cucu, walaupun dari segi usia mereka dari generasi yang sama. Hal ini merupakan aib bagi seluruh keluarga. Menurut adat, pasangan yang telah melakukan pelanggaran tersebut harus dikawinkan dengan upacara Mandai Balai Sumbang atau kawin tulah dimana mereka harus makan di tempat dulang bawui (tempat makanan babi). Perkawinan ini sangat memalukan karena martabat keduanya direndahkan menjadi setingkat dengan binatang.
131
Upacara kawin tulah dilakukan untuk menghindari
ketidakseimbangan kosmos yang dapat mengakibatkan malapetaka bagi manusia, binatang juga alam sekitar. 129
Adat Istiadat Dayak Ngaju, (Kalimantan Tengah: LSM Pusat Budaya Betang, 2003), 48 Ibid. 131 Pranata, “Sarana dan Pelaksanaan Upacara Ritual Perkawinan Agama Hindu Kaharibgan di Kabupaten Barito Selatan,” Jurnal Agama Hindu Tampung Penyang Vol. III, No. 2, (Agustus 2006), 22-23. 130
3.2.3. Perkawinan yang lazim:kawin hisek Perkawinan yang sesuai dengan ketentuan adat Dayak Ngaju adalah kawin Hisek. Perkawinan ini memiliki tahap-tahap sebagai berikut: 1.)
Pra Perkawinan Tahap ini merupakan tahap awal menuju kepada perkawinan. Beberapa tahap yang harus dilalui adalah: a.
Bisik kurik, Hakumbang Auh (Penjajakan) Bisik kurik (bisikan kecil) merupakan bisikan yang ada dalam hati
seorang laki-laki untuk melamar perempuan yang menjadi kekasih hatinya. Maksud hati itu disampaikan kepada orang tuanya untuk kemudian ditindak lanjuti. Untuk menyampaikan bisikan hati itu kepada pihak perempuan, maka pihak laki-laki meminta bantuan salah seorang kerabat dekat, yang dalam tatanan adat dayak disebut
Luang, artinya “juru runding” atau “kurir”.
Melalui kurir inilah pihak laki-laki menyerahkan selembar uang sebagai tanda kesungguhan hati.132 Penyerahan selembar uang ini dinamakan Hakumbang auh. Besarnya jumlah uang yang disampaikan dalam rangka Hakumbang Auh tidak ditentukan. Biasanya uang yang disampaikan hanya selembar, misalnya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah), Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah), Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah), Rp. 50.000,0 (lima puluh ribu rupiah) atau Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah). Uang yang telah diberikan tersebut menjadi pegangan bagi pihak perempuan untuk mengadakan perundingan dengan sanak keluarga. Dalam perundingan itu, diperhatikan pula tentang larangan-larangan perkawinan,
132
Wawancara dengan Basel Abangkan, Damang Kepala Adat Kecamatan Sabangau di Kota Palangka Raya, tanggal 06 Juni 2011
jangan sampai diantara mereka terjadi sala hurui atau kekerabatan yang tidak sederajat menurut adat.133 Apabila ada keluarga yang keberatan, maka uang itu akan dikembalikan melalui luang yang menyampaikan duit kumbang tersebut. Namun, jika tidak ada yang berkeberatan, maka duit kumbang diterima. Dan melalui luang pula disampaikan pesan kepada pihak laki-laki bahwa maksud hati mereka telah diterima. Selanjutnya orang tua pihak lakilaki diminta datang ke tempat keluarga perempuan untuk membicarakan tentang pelaksanaan acara Mamanggul. b.
Meminang: Mamanggul (Kajan Hatue) Tahap ini merupakan kelanjutan dari Hakumbang Auh yaitu cara
meminta si gadis secara resmi setelah pihak keluarga laki-laki mengetahui bahwa keinginan hati mereka diterima oleh pihak perempuan.
Acara
Mamanggul merupakan pertemuan yang tidak hanya melibatkan keluarga kedua belah pihak, namun juga masyarakat sekitar. Acara ini dilakukan jika waktu pelaksanaan perkawinan lebih dari setahun. Dalam acara ini, pihak laki-laki memberikan Tanda Panggul kepada sang gadis berupa kain, seperangkat alat mandi, minyak wangi dan sejumlah uang. Dan sebagai pengikat janji, kedua belah pihak memberikan duit turus berupa duit receh yang dibagi-bagikan kepada orang-orang yang hadir.
Duit receh ini
dinamakan Turus Panggul maksudnya orang-orang yang telah menerima duit receh tersebut sebagi saksi dari ikatan itu.134
133
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek Pengajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Kalimantan Tengah, Adat dan Upacara Perkawinan, 68 134 Wawancara dengan Basel Abangkan, Kepala Adat Kedamangan Sabangau di kota Palangka Raya, 06 Juni 2011.
Hal-hal yang dibahas dalam acara Mamanggul adalah Jalan Hadat, yaitu barang-barang adat yang harus diberikan oleh pihak laki-laki pada saat pelaksanaan perkawinan kepada pihak perempuan sesuai dengan ketentuan adat perkawinan.
Adapun barang-barang adat tersebut adalah: 135 Palaku,
Saput, Pakaian Sinde Mendeng, Garantung Kolok Pelek, Lamiang Turus Pelek, Bulau Singah Pelek, Lapik Luang, Sinjang Entang, Tutup Uwan, Lapik Ruji, Timbuk Tangga, Pinggan Pananan Pahinjean Kuman, Rapin Tuak, Bulau Ngandung/Panginan Jandau, Jangkut Amak, Turus Kawin dan Batu Kaja. Selanjutnya dibicarakan pula masalah besarnya denda yang harus dibayar oleh pihak yang melanggar perjanjian mamanggul tersebut. Semua perjanjian yang telah disepakati bersama, dituang dalam Surat Perjanjian Mamanggul yang ditanda tangani oleh keluarga dekat dan saksi-saksi dari kedua belah pihak. Acara ini diakhiri dengan makan bersama. c.
Pertunangan: Maja Misek (Kajan Bawi)136 Acara
Maja
Misek
tidak
jauh
berbeda
dengan
Mamanggul.
Berdasarkan kesepakatan bersama, kedua belah pihak menetapkan hari, bulan dan tanggal Maja Misek (pertunangan). Disebarlah undangan kepada seluruh kerabat dan masyarakat sekitar untuk bersama-sama menyaksikan peresmian pertunangan anak-anak mereka. Maja dalam bahasa Dayak Ngaju adalah “bertamu atau bertandang”, sedangkan Misek artinya “bertanya”. Jadi, dalam tatanan adat perkawinan 135
Mengenai barang-barang hadat ini, terdapat dalam Surat Perjanjian Perkawinan Menurut Adat dayak Ngaju, dan makna dari barang-barang tersebut akan dibahas dalam Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju. 136 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek Pengajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Kalimantan Tengah, Adat dan Upacara Perkawinan, 69
Dayak Ngaju, acara Maja Misek berarti suatu tahap dimana pihak laki-laki bertamu untuk menanyakan kepada pihak perempuan tentang kelanjutan dari perjanjian yang telah dibuat bersama pada acara Mamanggul. Pada acara Maja Misek ini, rombongan keluarga pihak laki-laki datang dengan membawa Ramun Paisek (barang-barang syarat pertunangan) berupa Pakaian Sinde Mendeng (satu stel pakaian lengkap), seperangkat alat untuk mandi dan seperangkat barang untuk merias diri serta dua buah cincin pertunangan. Barang-barang ini dibawa dalam Sangku yang digendong dengan menggunakan bahalai (kain panjang) oleh bibi atau nenek calon mempelai laki-laki. Acara dimulai dengan dialog tentang maksud kunjungan rombongan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, dilanjutkan pembahasan mengenai penetapan hari, bulan dan tahun pelaksanaan perkawinan. Dalam menentukan waktu pelaksanaan perkawinan, biasanya sedapat mungkin dihindari: bulan tapas (bulan yang tidak genap 30 hari), bulan mahutus (saatsaat pergantian bulan), bulan kakalah (kira-kira satu minggu setelah purnama), bulan awan (gerhana bulan). Waktu pelaksanaan yang dianggap baik adalah bulan lembut (bulan baru timbul) atau sering disebut juga bulan belum (bulan hidup) sampai bulan bunter (bulan penuh, bulat).
137
Masyarakat Dayak Ngaju memahami bahwa waktu pelaksanaan perkawinan yang baik akan mempengaruhi perkawinan, antara lain: membawa kebahagiaan, kelanggengan, kemakmuran dalam hidup, jauh dari segala sakit penyakit dan kesialan. Sebaliknya jika waktu pelaksanaan dianggap tidak
137
Wawancara dengan Helmina, salah satu masyarakat di kota Palangka Raya yang sering mengikuti acara perkawinan Adat Dayak Ngaju, tanggal 20 Juni 2011.
baik, maka perkawinan itu akan dirundung kesedihan, kekecewaan, kesialan dan hal-hal negatif lainnya.138 Hal-hal lain yang tidak kalah penting untuk dimusyawarahkan dalam acara ini adalah: syarat-syarat perkawinan atau Jalan Hadat yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut adat maupun tradisi yang berlaku dalam keluarga pihak perempuan; besarnya pembayaran Palaku yang harus diserahkan, Bulau Ngandung/Panginan Jandau (biaya pesta perkawinan) dan Danda Adat
(sanksi adat) apabila
terjadi pelanggaran perjanjian pertunangan yang menyebabkan batalnya perkawinan. Semua hal yang telah dimusyawarahkan dan disepakati tersebut, ditulis dalam Surat Janji Hisek (Surat Perjanjian Pertunangan), yang ditanda tangani oleh orang tua kedua belah pihak, dua orang saksi masing-masing pihak dan juga oleh Damang Kepala Adat setempat, 139 untuk menguatkan ikatan janji pertunangan tersebut. Selanjutnya penyerahan Ramun Paisek kepada pihak perempuan. Acara dilanjutkan dengan Meteng Manas. 140 Pelaksanaan acara ini dilakukan sesuai dengan agama yang dianut oleh kedua calon mempelai. Pada agama Kaharingan, acara ini dipimpin oleh Basir atau tokoh adat Kaharingan (tua-tua adat), dimana yang memimpin acara ini memasang gelang manik kepada pasangan yang bertunangan, kemudian dilanjutkan dengan Tampung Tawar (memercikan air yang diisi bunga segar dan harum, atau bisa juga air diberi bunga dan parfum) oleh orang tua, kerabat dekat juga 138
Ibid Format Surat Janji Hisek hampir sama dengan Surat Perjanjian Mamanggul, yang berbeda hanyalah kop suratnya, Wawancara dengan Bajik R. Simpei, 21 Mei 2011 140 Acara Meteng Manas adalah acara mengikat tali kayu yang terbuat dari serat kayu Tengang, yang telah dipasang Manas (manik) oleh Basir atau tokoh adat Kaharingan. 139
tokoh masyarakat yang hadir.
Sedangkan dalam agama Kristen, setelah
penyerahan ramun pisek, acara dilanjutkan dengan ibadah yang dipimpin oleh Pendeta.
Dalam acara ini dilaksanakan acara tukar cincin pertunangan.
Kemudian, acara diakhiri dengan makan bersama. Pada masa sekarang, acara mamanggul bisa langsung menjadi acara maja misek, jika jarak pelaksanaan perkawinan tidak lebih dari satu tahun. Mengingat waktu dan juga biaya yang dikeluarkan tidak sedikit untuk kedua acara tersebut. Manas
2.)
Pelaksanaan Perkawinan Sesuai dengan kesepakatan waktu yang telah ditetapkan, maka
dilaksanakanlah upacara perkawinan, yang dimulai dengan acara: a.
Panganten Haguet/Mandai Acara Panganten Haguet/Mandai adalah acara dimana pihak calon
pengantin laki-laki beserta seluruh keluarga haguet (berangkat) menuju ke rumah calon pengantin perempuan. Biasanya dirumah calon pengantin laki-
laki diadakan jamuan sederhana dan juga telah disiapkan sangku yang berisi beras, ramun pisek berupa handuk, sabun, bedak dan sebagainya. Keberangkatan rombongan calon pengantin laki-laki diiringi dengan bunyi-bunyian dari gendang dan gong.
Setiba di halaman rumah calon
pengantin perempuan, rombongan tidak dapat masuk karena dihalangi oleh Pantar Lawai141 atau Lawang Sakepeng142 yaitu semacam pintu gerbang yang dibuat dari pelepah kelapa yang dihiasi dengan benang bersusun tiga yang dibentangkan menghalangi jalan masuk. Agar rombongan dapat masuk maka benang yang merintangi tersebut harus diputuskan. Untuk itu masing-masing pesilat dari kedua belah pihak saling berhadapan dan saling berjabat tangan sebagai suatu bentuk pernyataan bahwa mereka hanya melakukan pertunjukkan, untuk memeriahkan kedatangan calon pengantin laki-laki. Kedua pemain itu akan mempertunjukkan kebolehannya. Pesilat dari pihak pengantin perempuan berusaha bertahan agar pesilat dari pihak laki-laki tidak dapat menerobos masuk, tetapi pesilat dari pihak laki-laki terus mendesak masuk, sehingga satu persatu tali perintang putus. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mudah bagi seorang laki-laki untuk mendapatkan seorang wanita menjadi istrinya.
Banyak tantangan dan rintangan yang harus dihadapi,
namun semua itu dapat diatasi.
141
Tim Khusus Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, “Perkawinan Menurut Adat Dayak Kalimantan Tengah” ..., 6 142 Adat Istiadat Dayak Ngaju…, 33-34
Lawang Sakepeng
b.
Haluang143 Acara haluang dilakukan oleh juru bicara dari kedua belah pihak, terdiri
dari tiga, lima atau tujuh orang, sesuai dengan kesepakatan.
Acara ini
dipandu oleh seorang luang yang duduk diantara kedua belah pihak. Kedua belah pihak saling berdialog.
Pihak pengantin perempuan menanyakan
maksud dan tujuan kedatangan rombongan pengantin laki-laki, dengan menggunakan bahasa humor dan bahasa kiasan. Pihak pengantin laki-laki pun akan menjawab dengan bahasa yang sama, sehingga suasana menjadi ramai dan menarik. Dalam acara ini ada aturannya, yaitu: barang siapa dalam dialog melakukan kesalahan bicara, maka yang bersangkutan dikenakan "denda" yaitu minum satu seloki tuak atau sejenis minuman beralkohol yang khusus disediakan untuk acara tersebut, sehingga acara berlangsung hangat dan gembira. Setelah acara dialog selesai, dilanjutkan dengan penyerahan barang barang perkawinan adat. Sebelumnya dilakukan persiapan-persiapan antara lain ibu kandung mempelai perempuan beserta seorang kerabat dekat 143
Wawancara dengan Marli G. Matan, Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka Raya, 16 Juni 2011.
menyiapkan sebuah sangku yang diisi dengan beras sekitar setengah dan diberi alas dengan lipatan kain batik panjang.
Selanjutnya ibu kandung
mempelai laki-laki dan mempelai perempuan saling memberi sedikit beras dari sangku masing-masing sebagai perlambang niat untuk mengikat kesatuan dan persatuan kedua keluarga. Sebelum
penyerahan
syarat-syarat
perkawinan,
pihak
keluarga
mempelai laki-laki meminta agar mempelai perempuan dihadirkan ditengahtengah keluarga kedua belah pihak dan para undangan yang hadir. Selanjutnya, pembawa acara membacakan satu persatu persyaratan adat tersebut, sementara ibu kandung mempelai laki-laki menyerahkan persyaratan adat dimaksud kepada ibu kandung mempelai perempuan. Setelah diperiksa dan diperlihatkan kepada yang hadir, lalu dimasukkan didalam sangku. Selanjutnya, Damang Kepala Adat mengangkat sangku, mengucapkan doa dengan menggunakan Bahasa Dayak Ngaju, sebagai berikut144: “Inggatangku ikau toh sangku uka rahian andau hagatang kea sewut saritan ewen toh, mangat mambelom arep ewen, tatau, sanang, pintar-harati tuntang baumur panjang.”
(kuangkat engkau sangku agar kelak terangkat pula nama dan kemasyhuran mereka, hidup senang, kaya, pandai dan bijaksana serta memperoleh umur panjang). “i-ayunku ikau toh sangku akan hila pambelep, uka belep kea kare dahiang baya, nupi kampa ije papa, belep kea kare kapaut kabantah, palus lembut kapakat kabulat atei uka belum untung batuah.”
(kuayunkan engkau sangku kearah barat agar ikut terbenam pula firasat dan mimpi buruk, terbenam pula segala bentuk perselisihan dan silang sengketa sehingga muncullah rasa kebersamaan/kesehatian agar hidup beruntung). “i-ayunku lnganjungku ikau toh sangku akan hila pambelum, maka kilau toh belom aseng nyaman ewen belom kea tiruk itung, pikir-akal dan belom kea isi daha.”
144
Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak di Palangka Raya, 03 Agustus 2011
(kuayunkan engkau sangku kearah timur agar dengan demikian selalu sehat segar-bugar serta hidup pula cara berpikir mereka menuju kebahagiaan). “Inggatangkuh ikau toh sangku akan ngambu. Uka panju-panjung kea sewut saritan ewen belom bauntung dan tuah bahambit.”
(kuangkat engkau sangku keatas agar dengan demikian masyhur pula nama dan perbuatan baik mereka, penuh keberuntungan dan hidup bertuah serta berezeki). Setelah itu sangku dan semua Syarat Perkawinan Adat dibawa masuk dan disimpan di dalam kamar pengantin. Acara Haluang dipimpin oleh Damang Kepala Adat
c.
Pelaksanaan Perkawinan Setelah serangkaian tahapan adat dilaksanakan, maka pelaksanaan
perkawinan selanjutnya bagi yang beragama Kaharingan, diserahkan kepada basir untuk memimpin acara Manyaki yaitu, mengoleskan darah hewan korban yang telah di taruh pada sebuah piring atau mangkok kecil, ke beberapa bagian tubuh kedua mempelai.
Jadi, istilah Penganten Hasaki
berarti kedua mempelai dipoles dengan darah hewan.
Upacara Manyaki
Panganten merupakan inti upacara pengukuhan perkawinan bagi agama Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju.145 Pada acara ini kedua mempelai duduk di atas sebuah gong sambil memegang sebatang pohon sawang146 (Ponjon Andong/hanjuan) yang diikat bersamaan dengan Dereh Uwei (sepotong rotan) dan Rabayang (tombak bersayap/sejenis tri sula). Jari telunjuk mereka menunjuk ke atas sebagai tanda bahwa mereka berdua bersaksi kepada Ranying Hatalla Langit. Kaki mereka menginjak jala dan batu asah sebagai tanda bahwa mereka berdua juga bersaksi kepada penguasa alam bawah.
Basir melakukan upacara
manyaki mamalas (mengoleskan darah hewan korban ke beberapa bagian tubuh kedua mempelai), serta tampung tawar. Behas hambaruan diletakkan di atas ubun-ubun kedua mempelai. Upacara itu bermakna bahwa kedua mempelai disucikan, sehingga dalam menjalani kehidupan berumah tangga mereka senantiasa sehat, selamat dan memperoleh rejeki. Selanjutnya, kedua mempelai berjalan menuju ambang pintu rumah, dan sambil memegang ambang pintu mereka berdua Manukie (pekikan): “kuiy....kuiy..kuiy...” sebanyak tujuh kali, diiringi dengan pukulan gong.
Maksud pekikan itu
adalah untuk membuka pintu langit dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan
bahwa mereka akan memelihara perkawinan itu untuk selama-
lamanya sampai akhir hayat. Yang dilanjutkan dengan prosesi penanaman pohon Sawang (hanjuan). 147
145
Beberapa urutan acara tersebut, (manyaki
Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka Raya, 16 Juni 2011. 146 Tanaman ini sangat penting dalam ritual-ritual masyarakat Dayak Ngaju. 147 Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak, tanggal 03 Agustus 2011
pangenten dan penanaman pohon sawang) tidak dilakukan oleh yang masyarakat Dayak non Hindu Kaharingan.148 Sementara bagi yang beragama kristen, acara selanjutnya diserahkan kepada pendeta untuk memimpin acara ibadah singkat sebelum rombongan diberangkatkan ke gereja. Setiba di gereja, barulah acara ibadah pemberkatan nikah dilaksanakan.
Biasanya setelah acara pemberkatan ini, acara
dilanjutkan dengan Pencatatan Perkawinan oleh petugas Kantor Pencacatan Sipil. Acara resepsi (pemberian ucapan selamat oleh para undangan kepada kedua mempelai keluarga, disertai dengan makan bersama) dilaksanakan di rumah mempelai wanita. 3.)
Pasca Perkawinan Beberapa hari setelah acara pesta perkawinan selesai, maka mempelai laki-laki memboyong istrinya ke rumah orang tuanya. Untuk menyambut kehadiran menantunya, maka pihak mempelai laki-laki mengadakan pesta Pakaja Manantu.
Pada acara inilah orang tua
memberikan batu kaja
mempelai laki-laki
bagi menantunya sebagai wujud kebahagiaannya
menerima menantunya menjadi bagian dari keluarga.149 Dalam pesta itu orang tua mempelai laki-laki menyerahkan pakaian sinde mendeng dan sebuah garantung (gong) sebagai batu kaja, atau bisa juga diganti dengan uang atau perhiasan berupa emas murni yang memiliki nilai yang sama dengan barang adat tersebut.150
148
Ibid. Wawancara dengan Suhardi Monong Stepanus, Damang Kepala Adat Kecamatan Pahandut Kota Palangka Raya, tanggal 08 Juli 2011 150 Ibid. 149
Demikianlah tahapan adat yang telah diajarkan secara turun temurun oleh leluhur masyarakat Dayak Ngaju. Tahapan-tahapan adat ini masih dilaksanakan dan pelihara sampai sekarang. Sekalipun mungkin jumlah, urutan dan sebutannya tidak sama, namun pada intinya hal itu menunjukkan bahwa perkawinan telah memenuhi hukum adat dan mereka siap menjalani kehidupan bersama.
4.
Perjanjian Perkawinan menurut Adat Dayak Ngaju Perjanjian perkawinan dalam masyarakat Dayak Ngaju lahir dari kebiasaan,
yaitu suatu perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang oleh masyarakat, dipatuhi sebagai nilai-nilai hidup yang positif. Pola kebiasaan itu diterima sebagai sesuatu yang mengikat dan ditaati oleh masyarakat, dan dirasakan sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan. Sehingga kebiasaan itu menjadi adat yang berlaku bagi masyarakat. Perjanjian perkawinan adat merupakan ikrar hidup bersama dihadapan Tuhan, keluarga dan masyarakat.
Perjanjian perkawinan ini, dibuat dengan maksud agar
ikatan perkawinan kedua belah pihak tetap kuat dan utuh.151 Perjanjian perkawinan dalam masyarakat Dayak Ngaju bukanlah semata-mata memperjanjikan harta benda yang dimiliki, tetapi lebih kepada perjanjian untuk hidup bersama dalam hal saling mencintai dan tolong menolong dalam membina rumah tangga yang rukun dan bahagia, dan yang paling penting adalah kesetiaan masing-masing pihak.152 Perjanjian perkawinan berfungsi sebagai pedoman bagi pasangan suami istri agar tidak melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan adat, dan tidak mudah 151
Wawancara dengan Juli Norman, Basir di kota Palangka Raya, 12 Juli 2011 Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak, tanggal 03 Agustus 2011. 152
bercerai tege kikeh (ada rasa takut), karena di dalamnya memuat aturan-aturan yang harus ditaati beserta sanksi-sanksinya.
Bagi masyarakat Dayak Ngaju,
perjanjian perkawinan masih terus dipelihara dan dilaksanakan untuk menjaga keseimbangan kosmos dan mempertahankan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Perjanjian perkawinan juga merupakan lambang indentitas diri sebagai orang Dayak.153 4.1. Asal Mula Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju Seorang informan yang ketika peneliti temui, baru saja membantu istrinya mengadakan ritual manatamba oloh haban (mengobati orang sakit) menuturkan: Buhen itah malalus pelek rujin pangawin bara bihin sampai wayah toh, jete awi puna bara Tatu Hiang itah helo, muhun akan utus itah oloh Dayak. Dia itah tau malihi jete, awi jite je nenga Raying Hatalla langit akan itah kalunen. Palaku je hapan itah wayah toh asalah bara Palaku ayun indu Sanguman (Nyai Endas Bulau Lisan Tingang).154
(Kenapa kita melaksanakan pelek rujin pangawin dari dulu sampai sekarang, itu karena sudah dari nenek moyang/leluhur kita dulu, turun kepada kita orang Dayak. Itu tidak bisa kita tinggalkan, karena hal itu diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk kita manusia. Palaku yang kita pakai sekarang berasal dari Palaku kepunyaan Indu Sanguman (panggilan untuk Nyai Endas Bulau Lisan Tingang). Pelek rujin pangawin artinya “pedoman dasar perkawinan” merupakan tata cara dan persyaratan yang ditempuh dalam beberapa kegiatan ritual perkawinan,
153
baik
sebelum
pelaksanaan maupun disaat
pelaksanaan
Ibid, Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka Raya, 16 Juni 2011
154
perkawinan, termasuk jalan hadat yang harus dipenuhi oleh seorang calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya.155 Menurut Panaturan (Kitab suci agama Hindu Kaharingan) Jalan Hadat perkawinan ini merupakan contoh atau teladan yang diberikan oleh Raying Hatalla Langit kepada manusia, sebagai berikut : Pelek Rujin Pangawin ije manjadi suntu awi RANYING HATALLA hajamban Raja Uju Hakanduang intu lewu Bukit Batu Nindan Tarung, akan uluh kalunen panakan Maharaja Bunu dapit jeha, tuntang jetuh kea ije manjadi tampara bukun uluh bawi tege Palaku tuntang Jalan Hadat.156
Artinya : Pelek Rujin Pangawin ini yang menjadi contoh dari RANYING HATALLA, melalui Raja Uju Hakanduang di Lewu Bukit Nindan Tarung untuk manusia turunan raja Bunu dan ini juga yang menjadi awal bagi perempuan ada mas kawinnya atau Jalan Adat.
Dari Panuturan pula dapat diketahui bahwa latar belakang munculnya Jalan Hadat yaitu berpedoman pada perkawinan Raja Garing Hatungku dan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang, yang mana diriwayatkan bahwa: 157 “Tuhan semesta alam (Ranying Hatalla) sebelum menurunkan manusia ke muka bumi, di alam atas telah terjadi perkawinan antara Nyai Endas Bulau Lisan Tingang/Indu Sangumang dengan Raja Garing Hatungku. Namun setelah menikah, Nyai Endas Bulau Lisan Tingang tidak mau berkumpul dengan suaminya sebab dia merasa kurang persyaratan perkawinannya. Raja
155
Ibid, Lihat Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI), Panaturan Tamparan Taluh Handiai –Awal Segala Kejadian 30.33, (Palangka Raya: CV. Litho Multi Warna, 1996). 157 Dituturkan oleh Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka Raya, 16 Juni 2011. 156
Garing Hatungku bertanya apakah yang kurang? Nyai Endas Bulau Lisan Tingang meminta Palaku atau Jalan Hadat sebagai bukti bahwa dia sudah kawin dan sebagai modal hidup yang dapat diperlihatkan kepada anak cucunya. Nyai Endas Bulau Lisan Tingang meminta Palaku berupa: 1.
Bukit lampayung Nyahu (Sandong/tempat tulang). Pada saat upacara
Tiwah (upacara kematian tingkat terakhir untuk mengantarkan roh umat Kaharingan yang meninggal ke Lewu Tatau (alam keabadian), maka tulang belulang almarhum yang ditiwahkan akan disimpan dalam sebuah tempat berbentuk rumah yang lazim disebut dengan Sandong oleh masyarakat Dayak. 2.
Banama Bulau Pahalendang Tanjung Anjung Rabia Pahalingei Lunuk
merupakan istilah dalam bahasa Sangiang yang berarti sebuah peti mati, yang merupakan simbol kesetiaan sehidup semati antara suami istri. Jadi maksud dari permintaan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang yang terdapat dalam simbol peti mati ini adalah dia menginginkan sebuah kesetiaan sehidup semati dalam membangun rumahtangga. 3.
Bukit Tampung Karuhei adalah sebuah tempat kumpulan rejeki dan
kekayaan.
Bukit Tampung Karuhei ini menyimbolkan bahwa dalam
membentuk sebuah rumahtangga tidak hanya bermodalkan cinta namun juga didukung oleh pemenuhan materi. Setelah syarat Palaku yang diminta oleh Nyai Endas Bulau Lisan Tingang terpenuhi barulah Nyai Endas mau berkumpul dengan suaminya.” Tata cara perkawinan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang dan Raja Garing Hatungku merupakan asal mula ritus perkawinan yang dilaksanakan
oleh suku Dayak Ngaju dan juga yang menjadi awal adanya Palaku bagi perempuan, seperti yang terdapat dalam Jalan Hadat perkawinan.158 Informasi di atas menunjukkan bahwa perjanjian perkawinan pada suku Dayak Ngaju berawal dari mitologi yang berkembang di kalangan masyarakat Dayak Ngaju. Mitologi ini mengandung nilai moral menyangkut sikap dan tanggung jawab terhadap perkawinan.
Itulah sebabnya masyarakat Dayak
sangat menghormati perkawinan, bahkan membuat perjanjian perkawinan sebagai pedoman dan pengikat bagi pasangan yang menikah. 159 4.2. Surat Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju Sebelum masyarakat Dayak mengenal huruf (baca tulis), perjanjian perkawinan hanya dilakukan secara lisan saja.
Masing-masing kedua
mempelai berjanji sambil duduk di atas sebuah gong sambil memegang sebatang pohon sawang yang diikat dengan Dereh Uwei (sepotong rotan) dan Rabayang (tombak bersayap/sejenis tri sula). Jari telunjuk mereka menunjuk ke atas sebagai tanda bahwa mereka berdua bersaksi di hadapan Ranying Hatalla Langit, bahwa mereka akan hidup bersama dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Sejak jaman dahulu masyarakat Dayak Ngaju
memegang teguh janji yang telah diucapkan di hadapan Raying, dan berjuang keras untuk melaksanakannya.160 Seorang informan menjelaskan bahwa pada jaman dahulu, hubungan perkawinan dalam masyarakat didasari oleh rasa saling percaya, saling setia, jujur, taat dan tunduk terhadap aturan-aturan adat.
158
Namun, sekarang
Ibid. Wawancara dengan Juli Norman, Basir di kota Palangka Raya, tanggal 12 Juli 2011 160 Wawancara dengan Basel Abangkan, Kepala Adat Kedamangan Sabangau di kota Palangka Raya, 06 Juni 2011. 159
perasaan-perasaan semacam itu sudah berkurang, bahkan kasus perceraian sering terjadi di kalangan masyarakat. Perjanjian perkawinan yang semula hanya diucapkan secara lisan, di hadapan Raying Hatalla Langit dan didepan para saksi yang hadir, ternyata sekarang janji itu sudah sering dilanggar. Perceraian yang dulunya dianggap sebagai sesuatu yang tabu, kini sudah dianggap biasa. Sehingga sekarang perjanjian perkawinan dibuat secara tertulis dalam Surat Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju.
Hal ini
dimaksudkan agar kedua mempelai tetap mempertahankan kebenaran dan kejujuran
dalam perkawinan serta dapat mengingat apa yang sudah
diperjanjikan dalam perkawinan. 161
Sebab itu, biasanya setelah acara
penyerahan jalan hadat, surat perjanjian perkawinan tersebut dibacakan dihadapan seluruh yang hadir bahwa semua sudah dilaksanakan secara adat, barulah setelah itu kedua mempelai beserta para saksi dari kedua belah pihak menandatangani surat perjanjian itu. Adapun, Surat perjanjian perkawinan menurut adat Dayak adalah bukti tertulis yang dikeluarkan oleh Damang Kepala Adat menjadi pegangan kedua belah pihak mempelai yang memiliki tujuan dan manfaat.162 Tujuan dari surat perjanjian perkawinan tersebut adalah :
161 162
1.
Menetapkan status kedua belah pihak
2.
Melidungi mereka dari prasangka buruk pihak ketiga.
3.
Melindungi masing-masing dari hak dan kewajiban.
4.
Menetapkan status anak dan melindungi hak-hak anak bila ada.
Ibid. Ibid.
Manfaat surat perjanjian perkawinan adalah : 1.
Bukti otentik sebagai tanda telah memenuhi hukum adat setempat.
2.
Mengikat orang lain agar tunduk kepada hukum adat Dayak Kalimantan Tengah.
3.
Mengatur hak dan kewajiban serta pembagian harta milik bersama (harta rupa tangan).
4.
Melindungi hak dalam menghadapi permasalahan yang berhadapan dengan hukum formal.
5.
Tanda bukti status dalam masyarakat. Dengan demikian, tujuan dan maksud surat perjanjian perkawinan yang
diurai di atas, dapat menjelaskan bahwa perkawinan menurut Adat Dayak Ngaju
dilaksanakan
berdasarkan
aturan-aturan
yang berlaku
dalam
masyarakat, karena ikatan perkawinan beserta tatanan hukum adat yang menyertainya sangat dihargai dan dijunjung tinggi. 4.3.
Isi Surat Perjanjian Perkawinan Surat perjanjian perkawinan memuat mengenai pernyataan dari kedua
pihak, pemenuhan jalan hadat yang menjadi tanggung jawab pihak calon mempelai laki-laki, serta hak dan kewajiban masing-masing. Dicantumkan pula sanksi hukum bagi yang melakukan kesalahan serta pengaturan pembagian harta rupa tangan, termasuk hak anak dan hak ahli waris yang akan menerima pembagian jika mereka tidak mempunyai keturunan. Untuk lebih memahami surat perjanjian perkawinan adat Dayak Ngaju, berikut ini merupakan isi dari surat perjanjian tersebut; 4.3.1.
Biodata
Bagian ini memuat tentang biodata atau identitas kedua calon mempelai. Selanjutnya, pihak laki-laki disebut sebagai pihak pertama, dan pihak perempuan selaku pihak kedua. 4.3.2.
Jalan Hadat163 Bagian ini berisi tentang kesepakatan dari kedua calon mempelai dan
persetujuan orang tua untuk melaksanakan perkawinan menurut tata cara Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah. Dan juga pemenuhan Jalan hadat perkawinan oleh pihak pertama kepada pihak kedua. Jalan Hadat perkawinan atau yang lazimnya dikenal oleh masyarakat umum sebagai jujuran, adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya pada saat
upacara perkawinan adat.
Jalan hadat dilaksanakan berdasarkan
ketentuan hukum Adat Dayak Ngaju yang berlaku, serta tradisi dalam keluarga mempelai perempuan, yang disebut: manyalurui pelek rujin pangawin oloh bakas.164
Artinya, persyaratan jalan hadat yang ditempuh
harus sesuai dengan jalan hadat yang dimiliki oleh orang tuanya dulu (palaku indu=mas kawin ibu), sebagai standar untuk menentukan persyaratan jalan hadat selanjutnya (keturunannya).
Banyaknya persyaratan jalan hadat
berlaku umum, mencakup 16-17 butir. Tetapi berat dan besarnya nilai materi barang masing-masing orang berbeda, sesuai dengan kesepakatan dalam acara hakumbang auh dan maja misek, perkembangan jaman dan kemampuan pihak
163
Diolah dari hasil wawancara dengan Damang Basel Abangkan, di Palangka Raya 06 Juni 20011, hasil wawancara dengan Damang Suhardi Monong Stepanus, di Palangka Raya 08Juli 2011,Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka Raya 16 Juni 2011. 164 Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak, 03 Agustus 2011
laki-laki.
Sampai saat ini, belum pernah ada keluhan mengenai jalan
hadat.165 Jalan Hadat sudah dikenal luas dalam masyarakat Dayak Ngaju, tetapi apa makna yang terkandung dibalik simbol-simbol Jalan Hadat tersebut secara keseluruhan belum banyak diketahui orang, sehingga pemahaman masyarakat terhadap Jalan Hadat hanya terfokus pada upacara saja. Orang Dayak tidak mempunyai aksara seperti suku-suku lain. Pengganti aksara bagi orang Dayak Ngaju adalah simbol-simbol yang disebut Totok Bakaka (sandi/kode umum yang dimengerti oleh suku Dayak Ngaju). Tidak mudah untuk memahami budaya Dayak, karena ada hal-hal yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, namun dirasakan dan dilihat pantas untuk dilakukan. Sebab itu dalam bagian ini akan menjelaskan makna yang tersirat dari benda-benda adat perkawinan tersebut, berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Dayak Ngaju;166 1. Palaku Palaku berasal dari kata laku artinya: minta, permintaan. Orang Dayak selalu menempatkan perempuan pada posisi utama. Hal ini dapat terlihat dari kehidupan masyarakat sehari-hari yang selalu mengedepankan perempuan misalnya dalam menyebutkan orang yang lebih tua dengan sebutan: tambibue (nenek-kakek) , indu-bapa (ibu-ayah), mina-mama (tante-om), sindah-
165
Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka Raya 16 Juni 2011. 166 Diolah dari hasil wawancara dengan Damang Basel Abangkan, di Palangka Raya 06 Juni 20011, hasil wawancara dengan Damang Suhardi Monong Stepanus, di Palangka Raya 08 Juli 2011,Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka Raya 16 Juni 2011.
ayup (ipar perempuan- ipar lelaki).
Penempatan demikian bukan berarti
perempuan lebih berharga, lebih berkuasa atau lebih dominan dibandingkan dengan laki-laki. Tetapi orang Dayak berbuat demikian karena menganggap bahwa kaum perempuan adalah kaum yang lemah, patut dijaga, dipelihara dan patut diperhatikan. Dalam mitologi Dayak Ngaju, palaku muncul dari permintaan Nyai Endas Bulau ketika menikah dengan Raja Garing Hatungku. Nyai Endas ingin membuktikan kesungguhan hati Raja Garing Hatungku dengan meminta jaminan kehidupan berupa tanah atau kebun. Permintaan ini cukup lumrah karena manusia bisa mempertahankan hidupnya dari hasil pengolahan tanah atau kebun. Palaku merupakan simbol dari harkat dan martabat perempuan Dayak. Perempuan adalah penatalaksana dalam rumah tangga, sebagai ibu dari anak-anak, ia patut meminta jaminan yang pasti dari calon suaminya sebagai awal baginya untuk mulai menata rumah tangganya. Palaku adalah hak mutlak seorang istri. Seorang suami tidak berhak menjual maupun menggadaikannya kepada pihak lain. Nilai palaku ditetapkan menurut nilai berat dalam satuan kilogram/pikul atau kati. Misalnya: 300 kg (3 pikul) gong, atau 500 kg (5 pikul) gong. Pada masa sekarang barang ini sudah sulit ditemukan, sebab itu biasanya Palaku dapat diganti dengan emas atau perhiasan lainnya. Ada juga yang memberi dalam bentuk sejumlah uang, dan umumnya tanah atau kebun. Biasanya, palaku adalah bagian dari harta kekayaan orang tua mempelai laki-laki yang di dalamnya terkandung nilai magis yang disebut galang pambelom atau dasar hidup bagi rumah tangga baru serta wujud penyertaan doa restu orang tua.
Pada dasarnya orang Dayak dapat menerima istilah mas kawin sehakekat dengan Palaku,
namun jika dilihat dari makna simboliknya;
serupa tetapi tidak sama. Sebab itu, dalam Surat Perjanjian Kawin menurut Adat
Dayak
Ngaju,
istilah
Palaku
tetap
ditulis
demikian,
tidak
diterjemahkan.167 2.
Saput Dalam tatanan kekeluargaan suku Dayak Ngaju, lelaki adalah pelindung bagi keluarga. Seorang lelaki dianggap cakap dan tangkas dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Ia bertanggung jawab untuk mengayomi seluruh anggota keluarga dan melindungi dari gangguan ataupun pelecehan dari pihak lain. Saput merupakan pemberian dari calon mempelai laki-laki kepada saudara-saudara
lelaki
calon
mempelai
perempuan.
Pemberian
ini
mengandung makna penghormatan, mengikat rasa persaudaraan yang tulus sebagai bagian dari keluarga calon mempelai perempuan. Pemberian ini dapat berupa barang atau uang. 3.
Pakaian Sinde Mendeng Diberikan kepada ayah kandung calon mempelai perempuan, sebagai tanda penghormatan atas kasih sayang dan perlindungan yang diberikan. Bingkisan ini berupa seperangkat pakaian laki-laki.
4.
Garantung Kolok Pelek: Biasanya diberikan berupa sebuah gong sebagai bukti ikatan/perjanjian perkawinan. Pada masa sekarang barang ini sudah sulit ditemukan, sehingga dapat diganti dengan uang atau emas, sejumlah nilai gong itu.
167
Wawancara dengan Basir Bajik, tanggal 25 Mei 2011
Secara harafiah memang kata-kata ini berarti “gong kepala patah.” Namun dalam konteks ini, Garantung kolok pelek tidak bisa diterjemahkan demikian. Garantung Kolok Pelek terbentuk dari dua kata yaitu: garantung, alat yang mengeluarkan bunyi ketika dipukul (gong). Garantung berfungsi sebagai alat musik, yang oleh orang Dayak, alat ini sering digunakan sebagai alat komunikasi yang berfungsi sebagai tanda undangan rapat, undangan kawin, tanda untuk memanggil orang yang sedang tersesat di hutan. Kolok Pelek, merupakan tanda yang dibuat oleh seseorang ketika ia tersesat di hutan. Tanda itu dibuat dengan cara mamelek (mematahkan) anak pohon kayu. Pelekan (patahan) pertama disebut kolok pelek sebagai tanda seseorang memulai kegiatannya di hutan tersebut. Masyarakat Dayak Ngaju telah belajar dari pengalaman para pendahulu bahwa sebelum memasuki hutan, apalagi kalau hutan itu baru pertama kali dijelajahinya, maka ia akan membuat tanda dengan cara mematahkan pokok kayu kecil sebagai tanda arah jalan ketika memulai memasuki hutan. Sebelum ia memasuki hutan lebih jauh, ia akan memperhatikan pepohonan dan berusaha mengenal dan mengingat jenis pohon yang ada di situ. Selanjutnya ia memotong kayu dan menancapkannya di tanah yang sudah dibersihkan agar lebih jelas dan tidak keliru dengan tonggak orang lain. Barulah ia mulai masuk hutan. Dalam jarak tertentu ia mematahkan lagi anak pohon kecil. Apabila orang yang masuk ke dalam hutan itu belum pulang hingga larut malam, maka pihak keluarga akan membawa gong serta mencari kolok pelek di sekitar hutan itu. Jika sudah ditemukan, maka gong dibunyikan sebagai alat komunikasi untuk memanggilnya pulang.
Makna simbolik dari garantung kolok pelek adalah bahwa perkawinan dimulai dari kesepakatan bersama kedua pihak.
Dan barang hadat ini
mengingatkan mereka supaya memelihara ikatan perkawinan, jangan merusaknya. Mereka harus meluruskan arah hidupnya, sehingga jika ada hal yang dapat menyesatkan mereka harus kembali kepada kesepakatan awal, janji setia di hadapan Raying Hatalla Langit.168 5.
Lamiang Turus Pelek169 Lamiang adalah perhiasan sejenis manik-manik yang terbuat dari bahan batu Lamiang berwarna merah. Panjangnya berkisar antara 6-10 cm, kurang lebih sebesar jari manis. Turus adalah kayu yang ditancapkan ke dalam tanah. Adapun kegunaan turus antara lain: sebagai tanda batas tanah, tonggak untuk mengikat binatang peliharaan (kerbau atau sapi), dan umumnya tonggak sering digunakan oleh masyarakat untuk mengikat tali perahu dan juga batang 170 agar tidak hanyut oleh derasnya arus sungai, terutama pada musim penghujan.
Sedangkan Pelek adalah patahan kayu sebagai tanda
untuk mengarahkan seseorang ketika berada di hutan. Pada zaman dahulu Lamiang ini digunakan untuk acara-acara ritual seperti upacara kelahiran, perkawinan maupun kematian. Lamiang diikat pada pergelangan tangan. Dalam perkawinan, Lamiang Turus Pelek menjadi tonggak peringatan awal dimulainya suatu rumah tangga yang baru. Selain itu, lamiang sebagai simbol kejujuran dan keteguhan ikrar kedua calon
168
Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak, 03 Agustus 2011 169 Ibid 170 Batang adalah kumpulan dari beberapa pohon besar yang dirakit menjadi satu, diletakkan di tepi sungai sebagai tempat masyarakat Dayak Ngaju melakukan aktivitas sehari-hari seperti mengambil air, mencuci pakaian, mandi. Untuk bisa sampai ke batang maka dibuatlah tangga.
mempelai; sebagai tonggak janji setia sejalan dengan kesepakatan yang telah mereka buat. Lamiang
6.
Bulau Singah Pelek171 Pemberian berupa emas minimal 1 kiping (2,7 gram). Bulau artinya emas, terbuat dari logam mulia, cahayanya tidak akan pudar/luntur dan mempunyai nilai jual yang tinggi. Singah artinya penerang atau penerangan. Bulau Singah Pelek adalah cincin kawin yang dipasang pada jari manis calon suami dan calon istri.
Cincin emas ini melambangkan cinta suci dan
ketulusan hati kedua calon mempelai untuk menjalani kehidupan rumah tangga bersama. Cincin kawin mengingatkan mereka akan janji yang pernah diucapkan. 7.
Lapik Luang Lapik artinya alas, dasar atau tempat duduk. Luang artinya perantara, juru runding atau kurir. Luang dipercayakan untuk mewakili keluarga calon mempelai dalam membicarakan janji-janji terdahulu (persyaratan adat), sebelum pelaksanaan perkawinan tersebut. Lapik Luang diberikan dalam
171
Diolah dari hasil wawancara dengan Damang Basel Abangkan, di Palangka Raya 06 Juni 20011, Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka Raya 16 Juni 2011.
bentuk bahalai yaitu selembar kain panjang, sebagai perwujudan rasa terima kasih atas jasa luang. Sinjang Entang172
8.
Sinjang entang berasal dari kata Sinjang artinya kain penutup tubuh, dikenal dengan istilah tapih (sarung), sedangkan entang adalah kain panjang untuk menggendong bayi/balita (bahalai). Sinjang entang ini mengingatkan akan kasih sayang sang ibu dalam memelihara anak gadisnya sejak kecil hingga dewasa. Ada puluhan kain sinjang dan kain entang yang telah hancur dimakan waktu, selama mengasihi dan memelihara anak gadisnya. Sebab itu, adalah kepatutan bagi seorang calon menantu untuk menghargai pengorbanan calon ibu mertuanya dengan memberikan selembar tapih dan bahalai pada acara jalan hadat, sebagai lambang rasa syukur dan terima kasih serta permohonan doa restu dari calon ibu mertua. 9.
Tutup Uwan Tutup Uwan secara harafiah berarti penutup uban; merupakan bingkisan penghormatan berupa 2 meter kain hitam yang diberikan kepada tambi (nenek) sebagai tanda terimakasih karena telah turut menjaga dan membesarkan cucunya (calon mempelai perempuan).
Dalam masyarakat
Dayak Ngaju, peranan orang-orang tua sangat diperlukan dalam pembinaan rumah tangga yang baru. Rambut boleh memutih tetapi nasehat, petunjuk, saran serta doanya sangat diperlukan oleh anak cucunya. 10.
Lapik Ruji Lapik Ruji atau lapik panatau diberikan dalam bentuk uang logam perak Belanda senilai satu ringgit, maksudnya bahwa dalam membangun
172
Ibid
rumah tangga di perlukan modal dasar. Uang Lapik Ruji tidak dibelanjakan karena uang itu dianggap sebagai alas kehidupan.
Uang Ringgit Tampak Belakang
11.
Uang Ringgit Tampak Depan
Timbuk Tangga Secara harafiah berarti
timbun tangga.
Pekerjaan ini tidak bisa
dikerjakan sendiri, tetapi membutuhkan bantuan dari orang lain. Menjelang hari perkawinan, biasanya sanak saudara dari berbagai tempat akan datang membantu (mandep).
Ada yang menyediakan kayu untuk memasak,
menyiapkan laladang (tenda), memperbaiki titian tangga (hejan), menimbun halaman di depan tangga (manimbuk tangga).
Jadi, Timbuk Tangga
merupakan bantuan yang diberikan dari pihak calon mempelai laki-laki dan perempuan, pekerjaan yang dilakukan bersama-sama (gotong-royong) dalam suasana kekeluargaan. Timbuk Tangga diberikan dalam bentuk sebuah piring yang diisi dengan beras atau ada juga yang menggantinya sejumlah uang. 12
. Pinggan Pananan Pahinjean Kuman
Berupa satu buah piring, satu buah gelas, satu buah mangkok, satu sendok dan peralatan makan lainnya. Mereka makan sepiring berdua, minum dengan gelas yang sama, semangkok berdua dan makan dengan sendok yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal mereka masuk kehidupan rumah tangga, mereka belajar hidup dalam persatuan dan kesatuan. 13.
Rapin Tuak Tuak adalah minuman khas Dayak yang dibuat dari beras ketan yang dimasak dan diproses dengan ragi. Hasil fermentasi ini menjadi minuman beralkohol yang disebut tuak. Dalam acara Haluang, pihak calon mempelai laki-laki memberikan tuak ini untuk memperlancar para luang berbicara, sehingga acara ini menjadi semarak dan penuh senda gurau dalam keakraban.
14.
Bulau Ngandung/Panginan Jandau Merupakan biaya pesta dalam pesta perkawinan.
Biaya pesta ini
biasanya ditanggung bersama-sama sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak pada waktu maja misek. Namun, ada juga yang disanggupi oleh pihak laki-laki. Ketentuan mengenai jumlah panginan jandau yang harus dibayar, tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Apakah dibayar sepenuhya oleh pihak calon mempelai laki-laki atau ditanggung bersama.
Jumlah nilai
materi untuk biaya pesta ditentukan berdasarkan berapa jumlah para undangan, tempat pelaksanaan (gedung atau rumah mempelai perempuan), kemudian dibuatlah perincian.
Umumnya biaya pesta yang diadakan di
rumah lebih ringan, mencapai Rp. 35.000.000,- sampai Rp. 50.000.000,dibandingkan dilaksanakan di gedung yang bisa mencapai Rp. 50.000.000,ke atas.
15.
Jangkut Amak Jangkut berarti kelambu, amak artinya tikar. Merupakan seperangkat perlengkapan tidur. Melambangkan kelengkapan sarana kesejahteraan keluarga. Pembayaran dilakukan sebelum pelaksanaan pesta perkawinan berlangsung.
16.
Turus Kawin Turus Kawin diberikan dalam bentuk uang logam recehan yang disediakan oleh kedua belah pihak. Karena jaman dahulu perjanjian kawin dilakukan secara lisan, maka turus kawin ini dibagi-bagikan kepada yang hadir saat itu, terutama kepada para orangtua dengan maksud bahwa mereka adalah saksi-saksi secara umum dari perkawinan itu. Mereka telah menyaksikan pemenuhan hukum adat perkawinan, sehingga jika dikemudian hari terjadi perselisihan yang mengarah kepada perceraian, maka para orang tua
yang
pernah
menerima
duit
turus
dipanggil
untuk
turut
menyelesaikannya. 17.
Batu Kaja Merupakan pemberian dari orang tua mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan.
Pemberian ini dapat berupa perhiasan emas atau
barang adat lainnya, sesuai dengan kemampuan. Ini akan diberikan saat sang suami memboyong istrinya ke rumah orangtuanya pada acara Pakaja Manantu. Barang-barang berupa tutup uwan, sinjang entang, pakaian sinde mendeng, saput, lapik luang, bulau ngandung/panginan jandau dan duit turus merupakan sikap penghargaan yang diberikan kepada keluarga dekat, keluarga jauh serta masyarakat sekitar. Sedangkan palaku, garantung kolok
pelek, laming turus pelek, bulau singah pelek, lapik ruji, pinggan pananan pahinjean kuman dan jangkut amak merupakan sikap, tekad dan ikrar mempelai terhadap perkawinan. 4.3.3. Perjanjian Kawin Bagian ini merupakan perjanjian antara kedua belah pihak bahwa mereka masing-masing, baik pihak pertama dan pihak kedua berjanji untuk mencintai, menolong dan memelihara kerukunan rumah tangga dalam suka maupun duka serta tidak menceraikan pasangannya sampai akhir hidup. 173 Dibuat pula perjanjian tentang pengaturan harta benda, bahwa harta benda yang diperoleh selama berumah tangga menjadi milik bersama. Dan jika salah satu dari pasangan itu meninggal dunia, maka seluruh harta benda menjadi hak milik yang hidup dan hak milik anakanak mereka. Jika mereka tidak mempunyai anak, maka seluruh harta benda yang diperoleh selama berumah tangga menjadi hak milik yang masih hidup, dan sebagiannya diserahkan kepada ahli waris, orang tua yang meninggal. Selanjutnya diperjanjikan juga bahwa jika dikemudian hari ada permasalahan dalam rumah tangga yang tidak mampu diselesaikan oleh pasangan suami istri itu, maka mereka sepakat untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan. Jika belum dapat diselesaikan juga, maka perkara itu akan diselesaikan melalui Lembaga Adat Dayak
Desa/Kelurahan
(Kerapatan
Mantir/Let
Adat
Perdamaian
Adat
Desa/Kelurahan). Dan seandainya permasalahan itu tidak dapat diselesaikan secara adat, sehingga menyebabkan perceraian, maka kepada pihak yang bersalah dikenakan sanksi adat dengan membayar kepada pihak yang tidak bersalah. Sementara Palaku, tetap menjadi hak pihak kedua. Hal ini merupakan keputusan yang sudah berjalan sejak dahulu kala. Palaku akan tetap menjadi hak milik wanita 173
Lihat Surat Perjanjian Kawin Menurut Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah
dan anak-anaknya karena Palaku merupakan tanda kehormatan seorang wanita, dan ketika ia bercerai dia sudah tidak gadis lagi. Ini menunjukkan bahwa seorang wanita memiliki harkat dan martabat yang tinggi.174 5.
Penanganan Kasus pelanggaran Perjanjian Perkawinan Secara hukum adat Dayak Ngaju, ikatan pertalian antara seorang laki-laki dan
perempuan ini, membawa akibat hukum dalam perikatan adat, seperti tentang kedudukan suami dan kedudukan seorang isteri, hak dan kewajiban masing-masing, begitu pula tentang kedudukan anak, harta perkawinan, yaitu harta yang timbul akibat terjadinya perkawinan dan juga tentang sanksi adat apabila terjadi pelanggaran terhadap ikatan perkawinan. Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan merupakan hal yang dianggap memalukan dan sebisa mungkin harus dihindari, apalagi sampai terjadi perceraian. Sebab itu, ketika kasus pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan terjadi, maka ada beberapa tahap yang harus dilakukan oleh Dewan Adat Dayak Desa dan Dewan Adat Dayak Kecamatan; 1.
Apabila terjadi pelanggaran perjanjian, misalnya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sehingga menimbulkan kerugian pada pihak yang lain, maka pihak yang dirugikan itu dapat menuntut pemenuhan haknya yang dilanggar. Dalam perjanjian perkawinan, seorang laki-laki telah berjanji untuk mengambil seorang wanita untuk dijadikan sebagai istri satu-satunya yang sah, setia kepadanya seumur hidupnya. Sebaliknya, istri juga telah berjanji untuk menerima laki-laki itu sebagai satu-satunya suami yang sah, setia kepadanya sampai maut memisahkan. Jika ternyata salah satu dari
174
Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak, tanggal 03 Agustus 2011.
mereka melanggar perjanjian itu, misalnya ada dari mereka telah berselingkuh, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut haknya kepada pihak yang telah melakukan pelanggaran sesuai dengan hukum yang berlaku 2.
Peristiwa pelanggaran itu dilaporkan kepada Mantir Adat selaku Dewan Adat Dayak Desa. Laporan yang disampaikan tersebut diterima, diproses dan diputuskan berdasarkan prinsip musyawarah perdamaian adat. Apabila kasus tersebut tidak dapat diselesaikan melalui Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat tingkat Desa, maka kasus itu dibawa pada Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat di tingkat Kecamatan, untuk diproses lebih lanjut.
3.
Proses penyelesaian perkara dilaksanakan oleh Damang Kepala Adat dengan cara memanggil kedua belah pihak untuk menanyakan kasus yang sebenarnya. Setelah itu, pihak keluarga yang bersangkutan juga dipanggil untuk dimintai keterangan. Damang mengarahkan para pihak supaya mau saling mengerti, saling memberi dan menerima, saling memahami dan menjaga perasaan satu sama lain, mau berkorban dan saling memaafkan, diusahakan agar keduanya bisa berdamai. Namun, jika ternyata oleh sesuatu dan lain hal mereka tetap ingin berpisah, maka Damang akan menyelesaikan sengketa itu melalui Kerapatan Mantir Perdamaian Adat/Let Adat, dengan memperhatikan perjanjian perkawinan yang pernah mereka buat, keterangan para saksi perkawinan mereka, mempelajari kasus kejadian, pihak mana yang telah melanggar perjanjian dan mempertimbangkan alasan-alasannya, apakah sengaja atau tidak sengaja, alasan tersebut masuk akal atau dibuat-buat. Semua itu dibahas dalam sidang peradilan adat. Tata cara penyelesaian sengketa dan tata cara menjatuhkan sanksi adat dilakukan sesuai dengan hukum adat Dayak yang berlaku di wilayah kedamangan.
Menurut seorang Damang, pelaksanaan penyelesaian suatu perkara umumnya dilakukan berdasarkan asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan, sedangkan dalam pengambilan keputusan diupayakan dengan musyawarah dan mufakat. Tujuan utama dalam pengadilan adat tidak hanya menyelesaikan masalah secara damai, tetapi juga memulihkan suasana damai diantara kedua belah pihak, sehingga mereka dapat hidup rukun, dalam pengertian tidak ada dendam dihati keduanya.
Bahkan, tidak jarang kedua belah pihak yang
berperkara akhirnya malah menjadi seperti saudara (angkat pahari). Tetapi, jika keputusan yang diupayakan dengan musyawarah dan mufakat itu tidak diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, maka penyelesaian perkara selanjutnya akan diserahkan kepada pengadilan negara. Namun, biasanya penyelesaian perkara melalui pengadilan negara tidak ada toleransi, artinya harus ada uang sidang. Biasanya yang kalah harus menerima kekalahan, sementara yang menang akan menikmati kemenangannya. Keadaan ini akan menimbulkan dendam dan permusuhan diantara kedua belah pihak. Situasi seperti ini sangat dihindari dalam hukum adat.175
Masyarakat Dayak umumnya menyadari bahwa ada perbedaan ketika mereka menempuh pengadilan negara ataupun pengadilan adat. Pengadilan adat sifatnya fleksibel, artinya biaya sidang dan uang meja tetap ada, uang komisi, uang jalan diberikan sesuai dengan kemampuan pihak yang bersengketa. Namun jika mereka tidak mampu secara finansial, maka Damang dan para Mantir adat tidak berhak menolak sidang, dan penyelesaian kasus selalu diakhiri dengan
175
Wawancara dengan Basel Abangkan, Kepala Adat Kedamangan Sabangau di kota Palangka Raya, 06 Juni 2011. Lihat “Hukum Adat Dayak Ngaju dan Tata Cara Penerapannya”, tahun 2010.
rekonsiliasi. 176
Sementara itu, pada pengadilan negara, biasanya biaya yang
dikeluarkan tidak sedikit. Sekalipun kasus bisa diselesaikan secara damai, namun belum tentu bisa memulihkan suasana damai diantara keduanya.177 6.
Sanksi Adat (Singer) dalam Suku Dayak Ngaju Di dalam suku Dayak Ngaju, hukum adat dianggap sebagai sumber berbagai
ketentuan dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakat, yang mengandung nilai, norma, kaidah dan kearifan lokal yang dianut. Hukum adat merupakan cermin dari jiwa masyarakat, yang dihormati dan ditaati karena hukum itu terbentuk dari kesepakatan masyarakat untuk mematuhinya. Sanksi Adat (singer) sudah ada sejak masyarakat mengenal adat dan hukum adat. Namun, tidak dapat dikatakan secara tepat kapan sanksi adat mulai ada dan berlaku dalam masyarakat Dayak Ngaju. Dari cerita yang disampaikan secara turun temurun diketahui bahwa, berbagai aturan yang berlaku sebagai adat istiadat itu menjamin
keamanan
dan
kesejahteraan
sehingga
jika
dilanggar
akan
mengakibatkan ketidakseimbangan dalam pola hubungan dan pergaulan dalam masyarakat. Karena itu, tiap pelanggaran baik secara individu maupun kelompok akan mendapat sanksi adat (singer). Fungsi sanksi adalah: membuat pelaku pelanggaran mikeh (takut berbuat salah, takut terhadap ancaman hukuman), mengembalikan ketidakseimbangan, dan menghindari terjadinya masalah-masalah yang dapat mengganggu keamanan dan keselamatan masyarakat Dayak. 178 Jenis-jenis sanksi adat yang diberikan antara lain: nasihat/teguran secara lisan atau tertulis; pernyataan permohonan maaf secara lisan/tertulis, singer berupa denda 176
Ibid. Wawancara dengan Endang (bukan nama sebenarnya), seorang informan yang kasusnya pernah ditangani di pengadilan adat, yang akhirnya diserahkan kepada pengadilan negara oleh lawan sengketanya. 178 Wawancara dengan Basel Abangkan, Kepala Adat Kedamangan Sabangau di kota Palangka Raya, 06 Juni 2011. 177
maupun ganti rugi, dikucilkan dari masyarakat adat, tidak diperbolehkan ikut dalam kegiatan adat; dikeluarkan dari masyarakat, memutuskan hubungan sosial dan adat dengan masyarakat adat dalam jangka waktu tidak terbatas (bila tidak mengindahkan adat dan tidak mematuhi sanksi adat).179 Penyelesaian secara adat tidak hanya membayar sanksi adat, tetapi lebih kepada perdamaian. Artinya, sekalipun keduanya berpisah, mereka harus saling memaafkan. Jika seorang suami meninggalkan istri dan anak-anaknya, maka ia perlu mengadakan pesta patei bawui (menyembelih seekor babi) akan saki palas anak. Dalam acara ini ia memberikan batu saki palas berupa barang adat (gong) atau cincin atau sejumlah uang.180 Makna saki palas bagi anak-anak adalah sebagai wujud kasih sayang sang ayah.
Sekalipun mereka ditinggalkan, tetapi
sesungguhnya hubungan ayah dan anak tidak bisa diputuskan hanya karena perceraian antara ayah dan ibunya. Setidaknya mereka merasa tidak ditinggal begitu saja. Memang hal ini jarang terjadi, karena umumnya jika orang berpisah maka sulit bagi keduanya untuk bisa bertemu dan mengadakan saki palas ini. Tetapi jika memikirkan dampak negatif dari perceraian bagi anak-anak mereka, saki palas pasti dilakukan untuk memulihkan suasana hati damai, tidak ada dendam atau pembalasan di kemudian hari.181
179
Perda pasal 32 Wawancara dengan Basel Abangkan, Kepala Adat Kedamangan Sabangau di kota Palangka Raya, 06 Juni 2011. 181 Ibid. 180