BAB III PENDAPAT TAQIYUDDIN AL-NABHANI TENTANG KOPERASI
A. Biografi Taqiyuddin al-Nabhani Taqiyuddin al-Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1909, wafat pada tahun 1977 M dan dimakamkan di Pemakaman al-Auza’i di Beirut. Ia mempunyai nama lengkap Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf al-Nabhani. Dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan, yang termasuk orang Arab penghuni padang sahara di Palestina. Semenjak kecil, ia mendapat didikan agama di rumahnya dalam tradisi ahl al-sunah dari ayahnya sendiri. Ayahnya adalah seorang yang alim, pengajar ilmu-ilmu syari’ah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibunya juga menguasai beberapa cabang ilmu syari’ah, yang diperolehnya dari Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf al-Nabhani, ayahnya sendiri.1 Pertumbuhan Taqiyuddin al-Nabhani dalam suasana religius yang kental, sangat mempengaruhi pembentukan kepribadian dan pandangan keagamaannya. Ia telah hafal al-Qur'an seluruhnya (30 juz) dalam usia di bawah 13 tahun. Di samping itu juga banyak mendapat pengaruh dari kakeknya, Yusuf al-Nabhani. Dari kakeknyalah ia mulai mengetahui persoalan-persoalan politik yang penting di mana kakeknya terlibat langsung
1
Taqiyuddin al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, terj. Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 359.
27
28
dalam dunia politik, karena mempunyai relasi yang erat dengan para petinggi Daulah Utsmaniyah saat itu.2 Memasuki usia remaja, al-Nabhani mulai aktif mengikuti diskusidiskusi fiqih dalam majelis yang diselenggarakan oleh kakeknya. Kecerdasan al-Nabhani yang nampak saat mengikuti diskusi-diskusi ilmiah telah menarik perhatian kakeknya, kemudian memberikan perhatian yang serius. Akhirnya ayahnya mengirim Taqiyuddin al-Nabhani ke al-Azhar untuk melanjutkan studynya dalam ilmu syari’ah.3 Jejang pendidikan yang ditempuhnya antara lain di Sekolah Dasar (Nidhamiyah Negeri) dan kampungnya, Ajzam. Tsanawiyahnya dilanjutkan di Akka dan sebelum selesai ia berangkat ke Kairo, masuk ke al-Azhar al-Syarif pada tahun 1928. Pada tahun itu juga, Taqiyuddin menyelesaikan pendidikannya dengan prestasi mengagumkan. Berikutnya, ia meneruskan ke Fakultas Daar al-Ulum, yang ketika itu masih menginduk ke al-Azhar. Taqiyuddin lulus dari Fakultas Daar al-Ulum tahun 1932, dan pada saat itu juga ia menyelesaikan studinya di al-Azhar versi lama.4 Setelah studinya selesai, Taqiyuddin pulang ke Palestina. Sejak tahun 1932-1938, ia bekerja di Departemen Ilmu Pengetahuan Palestina sebagai tenaga pengajar ilmu-ilmu syari’ah di Sekolah Tsanawiyah Nidhamiyah Haifa, di samping mengajar di Madrasah Islamiyah di kota yang sama. Pada tahun 1940 di Haifa, ia diangkat sebagai pembantu qadli (musyawir) hingga tahun 2 3 4
Ibid. Ibid. Ibid.
29
1945. Tahun 1948 ia diangkat sebagai qadli di Mahkamah Ramlah, dan pada tahun itu juga, 1948, Taqiyuddin al-Nabhani meninggalkan Ramlah menuju Syam, akibat jatuhnya negara Palestina ke tangan Yahudi. Tidak lama kemudian (1948), atas tawaran sahabatnya, Anwar al-Khatib, ia kembali ke Palestina dan menjabat qadli di Mahkamah Syar’iyah al-Quds. Selanjutnya, pada tahun 1951-1953, Taqiyuddin al-Nabhani mengajark di Fakultas Ilmu KeIslaman, Amman Yordania.5 Sejak muda, Taqiyuddin sudah mengawali aktivitas politik, karena pengaruh
kakeknya,
Yusuf
al-Nabhani.
Pengalaman
itulah
yang
menghantarkannya mendirikan partai politik dengan asas Islam, Partai Hizb al-Tahrir di Quds, tahun 1953.6 Sebagai seorang penulis yang produktif, Taqiyuddin al-Nabhani banyak meninggalkan karya-karya penting. Karya-karya ini menunjukkan bahwa ia merupakan seorang yang mempunyai pemikiran brilian dan analisis cermat. Dialah yang menulis seluruh pemikiran dan pemahaman Hizb alTahrir, baik yang berkenaan dengan hukum-hukum syara’, masalah ideologi, politik, ekonomi, dan sosial, dll. Bahkan dapat dikatakan, dialah Hizb alTahrir itu sendiri.7 Kebanyakan karya-karya Taqiyuddin berupa kitab-kitab tanzhiriyah (penetapan pemahaman/pandangan) dan tanzhimiyah (penetapan peraturan),
5 6 7
Ibid., hlm. 360. Ibid. Biografi Taqiyuddin al- Nabhani, www.Yahoo.com.
30
yang dimaksudkan untuk mengajak umat Islam melanjutkan kehidupan Islam dengan mendirikan Daulah Islamiyah. Oleh karena itu, kitab-kitabnya mencakup berbagai aspek kehidupan dan problembatika manusia, seperti politik, kenegaraan, sosial, dan ekonomi.8 Karena beranekaragamanya bidang kajian dalam kitab-kitab yang ditulis oleh Taqiyuddin, maka tidak aneh bila karya-karyanya mencapai lebih dari 30 kitab. Ini belum termasuk memorandum-memorandum politik untuk memecahkan problematika-problematika politik dan selebaran-selebaran mengenai masalah-masalah pemikiran dan politik yang penting. Karya-karya al-Nabhani baik yang berkenaan dengan politik maupun pemikiran, dicirikan dengan adanya kesadaran, kecermatan dan kejelasan, serta sangat sistematis, sehingga dapat menampilkan Islam sebagai ideologi yang sempurna dan komprehensif yang diistinbathi dari dalil-dalil syar’i. Di antara kitab-kitab yang paling terkenal yang memuat pemikirannya antara lain Nidham al-Islam, al-Taikat al-Hizb, Mafahim Hizb al-Tahrir, al-Nidham alIqtishad fi al-Islam, al-Nidham Ijtima’ fi al-Islam, Nidham al-Hukm fi alIslam, al-Dustur, Muqadimah Dustur, al-Daulah al-Islamiyah, al-Syakhshiyah al-Islamiyah (3 jilid), Mafahim Siyasah li Hizb al-Tahrir, Nadharat Siyasah li Hizb al-Tahrir, Nida’ Haar, al-Khilafah, al-Tafiki, al-Dusiyah, Surat alBadihah, Nuqthath al-Inthilaq, Dukhul al-Mujtama’, Iqadzu fi Listhin, Risalah al-Arab, Tasaluh Mishr, al-Ittifaqiyah al-Tsanai’yyah al-Mishriyyah alSuriyyah wa al-Yamaniyah, Hallu Qadiyah fi Listhin ‘Ala al-Thariqah al-
8
Ibid.
31
Amrikiyyah wa al-Inkliliziyyah, Nazhariyah al-Firagh al-Siyasi Haula Masyru’ al-Zanhawar.9 Semua itu belum termasuk yang dikeluarkan atas nama anggota Hizb al-Tahrir dengan maksud agar kitab-kitab itu mudah disebarluaskan setelah adanya undang-undang di berbagai negara Arab yang melarang peredaran kitab karyanya. Di antara kitab itu adalah: al-Siyasah al-Iqthishadiyah alMustla, Naqd al-Isytirakiyyah al-Marksiyah, Kaifa Hudimat al-Khilafah, Ahkam al-Bayyinat, Nidham al-Uqubat, Ahkam al-Shalat, al-Fikr al-Islam.10 Apabila karya-karya Taqiyuddin tersebut ditelaah dengan seksama, terutama yang berkenaan dengan aspek hukum dan ilmu ushul, akan nampak bahwa sesungguhnya ia adalah seorang mujtahid yang mengikuti metode para fuqaha dan mujtahidin terdahulu. Hanya saja, ia tidak terikat dengan salah satu aliran dalam ijtihad yang dikenal di kalangan Ahl al-Sunnah. Artinya, tidak mengikuti suatu madzhab tertentu di antara madzhab-madzhab fiqih, akan tetapi lebih memilih dan menetapkan ushul fiqh tersendiri yang khusus baginya, lalu atas dasar itu ia mengistimbathkan hukum-hukum syara’, tetapi al-Nabhani tidaklah keluar dari metode fiqh sunni, yang membatasi dalil-dalil pada al-Qur'an, al-Hadits, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas Syar’i, yakni Qiyas yang illat-nya terdapat dalam nash-nash syara’ semata.11
9
Hizb al-Tahrir, Mengenal Hizb al-Tahrir: Partai Politik Islam Ideologis, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, cet. II, 2000, hlm. 29. 10 11
Ibid.
John L. Esposito,(ed), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995, hlm 127.
32
B. Pendapat Taqiyuddin al-Nabhani tentang Koperasi Ketika
membahas
masalah
koperasi,
Taqiyuddin
al-Nabhani
mengawalinya dengan mengatakan bahwa koperasi merupakan salah satu jenis perseroan kapitalis. Koperasi merupakan bentuk perseroan, meskipun namanya koperasi.
ﻓﻬﻲ ﻣﺴﺎهﻤﺔ ﺑﻴﻦ ﻣﺠﻤﻮﻋﺔ أﺷﺨﺎص اﺗﻔﻘﻮا ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻘﻴﺎم .ﻣﺸﺮآﻴﻦ ﺑﻤﻘﻀﻰ ﻓﻌﺎﻟﻴﺘﻬﻢ اﻟﺨﺎﺻﺔ Artinya: “Koperasi adalah bentuk penanaman saham antara sekelompok orang yang melakukan kesepakatan antar sesama mereka, untuk mengadakan kerjasama sesuai dengan kondisi tertentu”.12 Koperasi dalam model perdagangan umum, biasanya didirikan dengan tujuan untuk membantu anggota-anggota, atau menjamin kepentingankepentingan ekonomi mereka yang serba terbatas. Koperasi biasanya merekrut “orang abstrak” untuk melakukan perseroan. Karenanya, koperasi berbeda dengan organisasi-organisasi lain, sebab pada dasarnya organisasi-organisasi tersebut terlepas dari tujuan-tujuan ekonomi. Koperasi juga berusaha meningkatkan keuntungan anggota-anggotanya, bukan keuntungan pihak lain. Inilah yang menimbulkan adanya ikatan yang kuat antara aktivitas perekonomian koperasi dengan perekonomian anggota-anggotanya.13 Anggota koperasi juga biasanya terdiri atas beberapa orang, tidak mungkin hanya beranggotakan hanya dua orang. Menurut Taqiyuddin,
12 Taqiyuddin al-Nabhani, al-Nidham al-Iqtishad fi al-Islam, Beirut: Shadir An Daar alUmat Lithiba’at wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1990, hlm. 176. 13
Taqiyuddin al-nabhani, Op. Cit. hlm.187.
33
koperasi secara umum ada dua macam; pertama, berbentuk perseroan yang mempunyai founder shares, yang memungkinkan tiap orang untuk menjadi pesero (anggota koperasi) karena ikut andil dalam founder shares tersebut. Kedua, berbentuk perseroan yang tidak mempunyai founder shares, di mana untuk menjadi anggotanya adalah dengan membayar iuran tahunan yang diterapkan oleh koperasi secara umum tiap tahun. Syarat-syarat dalam koperasi menurut Taqiyuddin biasanya sebagai berikut: 1. Kebebasan untuk bergabung dengan koperasi, sehingga pintu pendaftaran tetap terbuka, bagi siapa saja dengan syarat-syarat yang berlaku untuk anggota sebelumnya. 2. Anggota koperasi mempunyai hak yang sama dan di antara hak yang paling penting adalah hak bersuara, sehingga tiap anggota diberi satu suara. 3. Membatasi bagian tertentu untuk founder shares; beberapa koperasi biasanya memberikan bagian tertentu untuk para penanam saham tetap, apabila keuntungan koperasi tersebut tidak bisa diberikan. 4. Mengembalikan kelebihan laba produktif, sisa hasil usaha biasanya dibagikan kepada para anggota, berkaitan dengan aktivitas yang mereka kontrakan kepada koperasi tersebut, baik dari pembelian, maupun dari pemanfaatan jasa atau peralatan koperasi. 5. Harus mengumpulkan kekayaan koperasi, dengan cara membuat cadangan.14
14
Ibid., hlm. 188.
34
Koperasi biasanya juga dipimpin oleh pengurus yang dipilih dari anggota koperasi yang terdiri atas para penanam saham, dengan ketentuan tiap penanam saham memiliki satu suara, tanpa memperhatikan jumlah sahamnya. Orang yang mempunyai seratus saham, dengan orang yang hanya mempunyai satu saham, sama-sama mempunyai satu suara dalam pemilihan pengurus.15 Koperasi juga terbagi pada bebarapa macam yang di ataranya adalah koperasi simpan pinjam, koperasi konsumsi, koperasi pertanian dan koperasi produksi. Secara keseluruhan, koperasi tersebut adakalanya berupa koperasi konsumsi, di mana keuntungannya dibagi berdasarkan laba pembelian, atau adakalanya koperasi produksi, di mana keuntungannya dibagi berdasarkan laba produknya. Model koperasi seperti di atas menurut Taqiyuddin merupakan organisasi yang batil dan bertentengan dengan hukum Islam. Secara tegas Taqiyuddin menyatakan:
.اﻟﺠﻤﻌﻴﺎت اﻟﺘﻌﺎوﻧﻴﺔ وهﻲ ﺟﻤﻌﻴﺎت ﺑﺎﻃﻠﺔ ﺗﻨﺎﻗﺾ أﺣﻜﺎم اﻻﺳﻼم Artinya: “Koperasi merupakan organisasi yang batil dan bertentangan dengan hukum-hukum Islam”.16 Untuk mendukung pendapatnya, Taqiyuddin memberikan beberapa argumentasi sebagai berikut: Pertama, koperasi adalah perseroan. Seharusnya syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’ harus terpenuhi dalam koperasi. Taqiyuddin menyatakan: 15
Ibid. hlm. 188.
16
Taqiyuddin al-Nabhani, hlm.178.
35
واﻟﺸﺮآﺔ ﻓﻲ اﻻﺳﻼم هﻲ ﻋﻘﺪ ﺑﻴﻦ اﺛﻨﻴﻦ أوأآﺜﺮ ﻳﺘﻔﻘﺎن ﻓﻴﻪ ﻋﻠﻰ .اﻟﻘﻴﺎم ﺑﻌﻤﻞ ﻣﺎﻟﻲ ﺑﻘﺼﺪ اﻟﺮﺑﺢ Artinya: “Perseroan dalam Islam adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang sama-sama sepakat untuk transaksi melakukan kegiatan yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan”.17 Atas dasar itulah dalam perseroan tersebut harus ada suatu badan hingga para pesero yang menjadi anggota koperasi tersebut bisa melaksanakan kegiatan. Artinya, perseroan tersebut harus ada badan yang mempunyai andil, sehingga menurut syara’ bisa disebut sebagai sebuah perseroan. Apabila dalam perseroan tadi tidak ada orang yang memiliki dan mengelola, maka kegiatan yang dilakukan sesuai dengan tujuan diadakannya perseroan tersebut sebenarnya justru tidak pernah terwujud. Apabila diapalikasikan ke dalam koperasi, maka akan diketahui, justru dengan adanya koperasi tersebut perseroan menurut syara’ tadi tidak pernah terwujud sama sekali. Sebab, koperasi merupakan perseroan yang didirikan berdasarkan modal saja, di mana di dalamnya tidak terdapat satu badan pesero (anggota koperasi). Sebaliknya, modallah yang telah melakukan perseroan, sehingga di dalamnya tidak pernah terjadi kesepakatan untuk melakukan kegiatan sama sekali. Yang terjadi hanyalah kesepakatan untuk menyerahkan modal tertentu dengan tujuan agar mereka bisa membentuk kepengurusan yang membahas siapa yang akan melakukan kegiatan tersebut. Sedangkan orang-orang yang menanamkan sahamnya dalam perseroan tersebut sebenarnya hanya menggabungkan modal-modalnya saja. Dengan 17
Ibid.
36
cara semacam ini, perseroan tersebut tidak ada unsur badannya. Karenanya, koperasi tidak bisa mewujudkan perseroan yang sah menurut syara’, karena tidak memiliki unsur badan. Dari segi asasnya, koperasi tidak pernah dianggap terbentuk. Padahal perseroan merupakan transaksi untuk mengelola modal, sementara pengelolaan tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan adanya badan. Taqiyuddin menyatakan:
, ﻓﺎذا ﺧﻠﺖ ﻣﻨﻪ ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﺷﺮآﺔ ﺷﺮﻋﺎ,وﻻ ﻳﺘﺄﺗﻲ اﻟﺘﺼﺮف اﻻ ﻣﻦ ﺑﺪن .وآﺎﻧﺖ ﺷﺮآﺔ ﺑﺎﻃﻠﺔ Artinya: “Apabila koperasi tersebut tidak ada unsur badannya, maka menurut syara’ perseroan tersebut tidak dianggap sebagai sebuah perseroan, sehingga tetap dinilai sebagai perseroan yang batil”.18 Kedua, pembagian laba menurut hasil pembelian atau produksi, bukan menurut modal, atau kerja, tidak diperbolehkan syara’. Karena perseroan tersebut terjadi pada modal, maka labanya harus mengikuti modal dan apabila perseroan itu terjadi pada pekerjaan, maka labanya harus mengikuti pekerjaannya. Syarat pembagian laba menurut hasil penjualan atau produksi, tidak diperbolehkan sebab bertentangan dengan transaksi yang sah menurut syara’. Karenanya, setiap persyaratan yang bertentangan dengan keadaan transaksi, atau tidak termasuk kepentingan transaksi, juga tidak seiring dengan transaksi, maka persyaratan tersebut fasid (rusak).19 Sekali lagi Taqiyuddin menyatakan bahwa pembagian laba menurut hasil pembelian dan produksi itu jelas bertentangan dengan kondisi transaksi. 18
Ibid., hlm. 179.
19
Taqiyuddin al-Nabhani. Terj. hlm. 190.
37
Sebab, transaksi tersebut terjadi pada modal atau pekerjaan-pekerjaan, yang labanya harus mengikuti modal atau pekerjaannya. Taqiyuddin menyatakan:
.ﻓﺎذ ﺷﺮط اﻟﺮﺑﺢ ﺑﻨﺴﺒﺔ اﻟﻤﺸﺘﺮﻳﺎت واﻻﻧﺘﺎج آﺎن اﻟﺸﺮط ﻓﺎﺳﺪا Artinya: “Apabila laba tersebut ditetapkan menurut hasil pembelian dan produksinya, maka ketetapan (syarat) tersebut adalah fasid (rusak)”.20 Dari uraian di atas dapat ditegaskan lagi bahwa menurut Taqiyuddin al-Nabhani, bahwa koperasi merupakan jenis perseroan yang batil dilihat dari unsur-unsur yang seharusnya dipenuhi dalam perseroan (syirkah) yang dibenarkan oleh syara’ tidak terpenuhi. Kemudian dari sisi pembagian laba yang didasarkan pada hasil produksi dan penjualan, bukan mengikuti modal atau pekerjaan sebagaimana yang ditentukan oleh perseroan yang dibenarkan oleh Islam.
C. Dasar Hukum yang Digunakan Taqiyuddin al-Nabhani Dasar hukum yang digunakan Taqiyuddin al-Nabhani dalam menghukumi koperasi adalah dengan merujuk pada hadits-hadits Nabi dan praktek sahabat Nabi yang secara teori mapun praktis mengatur perseroan (syirkah) yang dibenarkan oleh Islam. Sebagai contoh, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Aba Manhal pernah mengatakan: “aku dan peseroku telah membeli sesuatu dengan cara tunai dan kredit. Kemudian kami didatangi oleh al-Barra’ bin 20
Taqiyuddin al-Nabhani. Op. Cit., hlm. 179.
38
Azib. Kami lalu bertanya keapdanya. Dia menjawab: “aku dan peseroku, Zaid bin Arqam, telah mengadakan (perseroan). Kemudian kami bertanya kepada Nabi s.a.w. tentang tindakan kami”. Nabi s.a.w. menjawab:
.ﻣﺎآﺎن ﻳﺪا ﺑﻴﺪ ﻓﺨﺬوﻩ وﻣﺎ آﺎن ﻧﺴﻴﺌﺔ ﻓﺮدوﻩ Artinya: “Barang yang (diperoleh) dengan cara tunai silahkan kalian ambil. Sedangkan yang (diperoleh) dengan cara kredit, silahkan kalian kembalikan”. (H.R. Bukhari).21 Selanjutnya Imam al-Daruquthni meriwayatakan dari Abu Hurairah dari Nabi s.a.w. yang bersabda:
ﻳﻌﻨﻲ ﻳﻘﻮل اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ أﻧﺎ ﺛﻠﺚ اﻟﺸﺮﻳﻜﻴﻦ ﻣﺎﻟﻢ ﻳﺨﻦ أﺣﺪهﻤﺎ ﺻﺎﺣﺒﻪ .ﻓﺎذا ﺧﺎن ﺧﺮﺟﺖ ﻣﻦ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ Artinya: “Yang maksudnya, Allah S.W.T. berfirman: “Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang di antara mereka tidak berkhianat kepada perseroan. Apabila di antara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi)”. (H.R. al-Daruquthni).22 Abu Dawud dan al-Atsram dengan sanad dari Ubaidillah dari bapaknya, Abullah bin Mas’ud yang mengatakan; “Aku Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqashah melakukan syirkah (perseroan) terhadap apa yang kami dapatkan pada perang Badar, kemudian Sa’ad membada dua orang tawanan perang, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa-apa”. Tindakan mereka itu dibiarkan oleh Rasulullah s.a.w. Imam Ahmad bin 21
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Juz V, Beirut: Daar Fikr, t.th., hlm. 143.
22
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Beirut: Daar al-Kitab al-Ilmiah, 1996, hlm. 162.
39
Hambal berkata: “Nabi s.a.w. melakukan syirkah (perseroan) dengan mereka. Hadits ini dengan tegas menjelaskan tentang perseroan sekelompok sahabat dengan badan-badan mereka untuk melakukan pekerjaan, yaitu memerangi musuh, kemudian membagi ghanimah yang mereka peroleh, apabila mereka memperoleh keuntungan dengan perang.23 Abd al-Razak menceritakan bahwa Ali r.a. pernah berkata; “pengutan itu tergantung pada kekayaan. Sedangkan laba tergantung pada apa yang mereka sepakati bersama”. Karenanya, badan tidak bisa menanggung kerugian harta, selain menanggung kerugian tenaga yang dikeluarkannya, sehingga kerugian hanya dibebankan kepada harta.24 Abu Abbas bin Abdul Muthalib pernah memberikan modal mudharabah, dan dia memberikan syarat-syarat tertentu kepada pengelola, kemudian hal ini sampai kepada Nabi s.a.w. Dan beliau membenarkannya”.25 Selain itu, ijma’ sahabat juga dirujuk oleh Taqiyuddin, seperti kesepakatan sahabat bahwa Islam telah memperbolehkan perseroan (syirkah) sepanjang sesuai dengan yang ditentukan oleh syara’. Riwayat yang diceritakan oleh Ibnu Syibah dari Abdullah bin Humaid dari bapaknya dari kakeknya; “Bahwa Umar bin Khaththab pernah memberikan harta anak yatim dengan cara mudharabah. Kemudian Umar meminta bagian dari harta tersebut, lalu dia mendapatkan (bagian). Kemudian bagian tadi dibagikan kepadanya oleh al-Fadlal”. Demikian pula yang dilakukan oleh sahabat 23
Taqiyuddin al-Nabhani, Terj. op.cit., hlm. 160.
24
Ibid., hlm. 161.
25
Ibid., hlm. 162.
40
Utsman; “bahwa Utsman telah melakukan qiradh (mudharabah) dengannya”. Juga disebutkan dari Ibnu Mas’ud dan Hakim bin Hazzam; “Bahwa mereka berdua telah melakukan qiradh (mudharabah)”. Semuanya tadi menurut Taqiyuddin didengarkan dan dilihat oleh sahabat Nabi, sementara tidak ada satu orang pun yang mengingkari dan menolaknya, maka hal itu merupakan ijma’ mereka tentang kemubahan perseroan (syirkah).26 Atas dasar hadits-hadits dan praktek sahabat tersebut, Taqiyuddin menyepakati beberapa perseroan (syirkah) yang dibenarkan oleh Islam. Taqiyuddin membagi perseroan (syirkah ) yang dibenarkan oleh Islam pada lima macam; pertama, perseroan inan, yaitu perseroan antara dua badan dengan harta masing-masing. Dengan kata lain, ada dua orang melakukan perseroan dengan masing-masing harta mereka untuk bersama-sama mengelola dengan badan-badan (tenaga) mereka, kemudian keuntungan dibagi di antara mereka.27 Kedua, perseroan abdan, yaitu perseroan antara dua orang atau lebih dengan badan masing-masing pihak, tanpa harat dari mereka. Dengan kata lain, mereka melakukan perseroan dalam pekerjaan yang mereka lakukan dengan tenaga-tenaga mereka, baik secara fisik maupun pemikiran.28 Ketiga, perseroan mudlarabah atau qiradh, yaitu apabila ada badan dengan harta melebur untuk melakukan suatu perseroan. Dengan kata lain, ada
26
Ibid.
27
Ibid., hlm. 155.
28
Ibid., hlm. 158.
41
seseorang memberikan hartanya kepada pihak lain yang dipergunakan untuk berbisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan.29 Keempat, perseroan wujuh, yaitu perseroan antara dua badan dengan modal dari pihak luar kedua badan tersebut. Artinya, salah seorang memberikan modalnya kepada dua orang atau lebih, yang bertindak sebagai mudharib, sehingga kedua pengelola tersebut menjadi pesero yang sama-sama bisa mendapatkan keuntungan dari modal pihak lain.30 Kelima, perseroan mufawadhah, yaitu perseroan antara dua pesero sebagai gabungan bentuk semua bentuk perseroan yang telah disebutkan di atas. Misalnya, dua pesero menggabungkan antara perseroan model inan, abdan, mudharabah dan wujuh. Contohnya, seseorang memberikan modalnya kepada dua orang Insinyur untuk mengadakan perseroan agar modalnya dikelola dengan harta mereka, dengan tujuan membangun beberapa rumah untuk dijual dan diperdagangkan.31 Selain model perseroan di atas, atau unsur-unsurnya tidak terpenuhi sebagaimana lima perseroan tersebut, maka menurut Taqiyudin perseroan tersebut tidak dapat dibernarkan, termasuk perseroan produk-produk Kapitalis seperti koperasi.
29
Ibid. hlm. 160.
30
Ibid., hlm. 162.
31
Ibid., h1m. 165.
42
Jadi, Taqiyuddin dalam memberikan hukum batil terhadap koperasi adalah hadits-hadits Rasulullah dan praktek Sahabat yang pernah melakukan perseroan (syirkah) yang diperbolehkan oleh syara’ karena terpenuhinya unsur-unsur yang dibenarkan. Argumentasi yang dibangun Taqiyuddin alNabhani dalam menghukumi koperasi tersebut dengan nash atau dalil syara’.