38
BAB III PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH A. Sekilas Tentang Imam Abu Hanifah 1. Beografi Imam Abu Hanifah Abu Hanifah adalah seorang imam yang terkemuka dalam bidang qiyas dan ihtisan. Beliau mempergunakan qiyas dan ihtisan apabila beliau tidak memperoleh nash dalam kitabullah, sunnah Rosul atau ijma’. Abu Hanifah sebagai pendiri dan pembangun mazhab Hanafi mempunyai nama asli Nu’man bin Tsabit bin Zauthi bin Mah,lahir di kota Kufah pada tahun 80 H (699 M). Ayah beliau keturunan dari bangsa Persia, akan tetapi sebelum beliau lahir ayahnya pindah ke Kufah. Dengan demikian jelas bahwa beliau bukan keturunan Arab asli melainkan bangsa Ajam (bangsa selain bangsa Arab), beliau dilahirkan ditengah-tengah keluarga persia. Pada masa beliau dilahirkan, pemerintah islam sedang berada di bawah kekuasaan Abdul Malik bin Marwah, yaitu khalifah ke-5 dari dinasti Bani Umayah.1 Menurut sebuah riwayat Abu Hanifah mempunyai beberapa putra yang salah satunya bernama Hanifah, oleh sebab itu beliau mendapat gelar Abu Hanifah yang berarti bapaknya Hanifah. Riwayat lain menyebutkan bahwa Imam Hanifah mendapat gelar Abu Hanifah karena ketaatannya dalam melakukan ibadah kepada Allah SWT dan kesungguhannya dalam menjalankan
1
hlm. 19.
Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Bulan Bintang : jakarta, 1992),
39
kewajibannya dalam agama. Lafadz hanif dalam bahasa Arab mengandung arti cendrung atau condong kepada agama yang benar. Adapula yang meriwayatkan bahwa beliau mendapat gelar Abu Hanifah, karena begitu erat bersahabat dengan tinta. Perkataan Hanifah menurut lughat Irak artinya tinta. Dimanapun Imam Hanafi berada, beliau selalu membawa tinta untuk mencatat ilmu pengetahuan yang diperolehnya, oleh karena itu beliau mendapat gelar Abu Hanifah.2 Adapun pendidikannya, pada mulanya beliau mempelajari ilmu membaca, hadits, nahwu, sastra, puisi, ilmu kalam dan ilmu-ilmu lain yang populer pada masa itu. Kemudian beliau memusatkannya pada ilmu kalam sehingga beliau menjadi pandai dan unggul dalam bidang itu. Setelah beliau terus menerus berkecimpung dalam perdebatan-perdebatan yang berkaitan dengan kalam, kemudian beliau memusatkan diri pada ilmu fiqh.3 Imam Abu Hanifah berguru pada Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman (pemuka ulama Fiqh di Irak) selama 18 tahun, pada masa itu beliaupun belajar pada ulama-ulama lain, baik di Mekkah maupun di Madinah. Menurut riwayat, kebanyakan guru-guru beliau dikala itu adalah para ulama tabiin, diantaranya adalah Imam Atha bin Abi Rabah, Imam Nafi’ Maula Ibnu Umar dan lain-lain. Para ahli sejarah meriwayatkan bahwa Imam Hanafi pernah bertemu dengan tujuh orang sahabat Nabi, mereka itu adalah Anas bin Malik, Abdullah bin Harits, Abdullah bin Abi Aufa, Watsilah bin Al Asqa, Ma’qil bin Yasar, Abdullah bin Anis dan Abu Thufail (Amir bin Watsilah). Adapun para ulama
2
Muhammad Said Ramadhan Al-Buuthi, Bahaya Bebas Bermazhab Dalam Keagungan Syari’at Islam, terj. Abdul Zakiy Al-Kaaf, (Pustaka Setia : Bandung, 2001), hlm. 163. 3 Abdul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Krajaan, terjmhn Muhammad Al Bqir, (Mizan : Bandung, 1988), hlm. 288.
40
terkenal yang pernah beliau ambil ilmunya pada waktu itu, kira-kira ada 200 orang ulama.4 Mazhab Hanafi yang merupakan mazhab fiqh yang pertama dari empat mazhab fiqh besar mulai tumbuh di Irak, yang juga sekaligus merupakan tempat tinggal Imam Hanafi. Saat itu Irak adalah tempat perkembangan fiqh aliran ra’yu yang berakar dari masa sahabat. Ibn Mas’ud merupakan seorang sahabat yang dikirim Umar bin Khattab untuk menjadi guru dan qadhi di kufah, Irak, dengan membawa faham fiqh Umar. Umar bin Khattab sendiri, terkenal sebagai ahli dalam hukum Islam, yang hasil ijtihadnya banyak berorientasi pada tujuan hukum dengan memahami ayat atau hadits secara rasional. Di daerah Irak, permasalahan mengenai hukum lebih beragam dari pada di Madinah. Untuk itu Ibnu Mas’ud didesak supaya berijtihad mengembangkan prinsip-prinsip hukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Ibnu Mas’ud terkenal banyak melakukan qiyas dalam memecahkan berbagai masalah, karena itu pemahaman qiyas menjadi cikal bakal dari aliran ra’yu di Irak.5 Di negeri atau kota yang ada ulama terkenal dan besar, beliau segera mendatanginya dan berguru padanya sekalipun dalam waktu yang singkat. Guru-guru beliau terdiri atas berbagai golongan, ada dari golongan jamaah serta golongan Zaidiyyah dan Imamiyyah.6 Cara-cara yang ditempuh Abu Hanifah untuk beristimbath dalam mazhab fiqhnya dengan menggunakan dasar-dasar sebagai berikut : 1) Al- Kitab 4
Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab….hlm, 23. Abdu Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, hlm. 51 6 Said Ramadhan,Bahaya Bebas Bermazhab dalam Keagungan Syari’at Islam……hlm. 170 5
41
2) As-Sunnah 3) Al-Ijma’ 4) Al-Qiyas 5) Al-Istihsan7 Secara etimologi, istihsan berarti memperhitungkan sesuatu lebih baik, atau adanya sesuatu itu lebih baik, atau mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih baik untuk diikuti. Dengan demikian secara etimologi dapat dikatakan memilih yang terbaik diantara yang baik-baik.8 Dalam mazhab Hanafi, istihsan dibagi menjadi lima macam, yaitu : 1. Istihsan nash, yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash Al-qur’an dan sunnah. 2. Istihsan ijma’ yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan kerena ada ijma’. 3. Istihsan darurot, yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan memberlakukan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi darurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan
untuk
memenuhi
hajat
atau
menolak
terjadinya
kemudaratan. 4. Istihsan u’rf, yaitu penyimpangan atau pemalingan penetapan hukum yang berlainan (berlawanan) dengan ketentuan qiyas, karna adanya ‘urf yang sudah biasa diperaktekan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat. 7
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Pustaka Rizki Putra : Semarang, 1999), hlm. 117 8 Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqh, (STAIN Press : 2006), hlm. 146
42
5. Istihsan qiyas khafy, yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan hukum qiyas yang samarsamar dan tidak jelas, tetapi keberedaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan.9 2. Wali Nikah Menurut Mazhab Hanafi Mazhab Hanafi berpendapat : Akad boleh dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafal altamlik (pemilikan), al-hibah (penyerahan), al-bay’ (penjualan), al-‘atha’ (pemberian), al-ibahah (pembolehan), dan al-ihlal (penghalalan), sepanjang akad tersebut desertai dengan qarinah (kaitan) yang menunjukan arti nikah. Akan tetapi akad tidak sah jika dilakukan dengan lafal al-ijarah (upah) atau alariyah (pinjaman), sebab kedua kata tersebut tidak memberi arti kelestarian atau kontinuitas.10 Hanafi tidak mensyaratkan kesegaran. Menurut fiqh ini, kalau ada seorang laki-laki mengirim surat lamaran kepada seorang wanita lalu si wanita tersebut menghadirkan para saksi dan membacakan surat itu kepada mereka, kemudian mengatakan, “Saya nikahkan diri saya kepadanya”, padahal lelaki yang melamarnya itu tidak ada di tempat, maka akad tersebut sah. Berdasarkan hukum asalnya, ijab itu datangnya dari pengantin wanita, sedagkan qobul dari pengantin laki-laki. Pengantin wanita mengatakan “saya nikahkan diriku kepadamu” lalu laki-laki menjawab, “Saya terima nikah denganmu”.11
9
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqh………hlm. 147-148. Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Mazhab, (PT. Lentera Basritama : Jakarta, 2003),
10
hlm, 309. 11
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Mazhab…….hlm 312-313
43
Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa keberadaan wali dalam pernikahan bukan menjadi syarat sahnya suatu perkawinan, tetapi hanya bersifat penyempurnaan dan anjuran, maka pernikahan yang tidak ada wali nikahnya tetap sah, hanya kurang sempurna. Menurut mereka, seorang wanita baligh dan berakal boleh menikahkan dirinya sendiri, baik dia gadis maupun janda. Bahkan dia boleh mengakadnikahkan anak perempuannya ataupun menjadi wali dalam pernikahan. Jika wanita itu telah mengakadkan dirinya, maka wali tidak boleh menentang atau menggugatnya kecuali wali melihat bahwa dalam perkawinan tersebut telah terjadi suatu kecurangan, misalnya mahar yang diterima wanita lebih kecil dari mahar mitsil atau wali melihat bahwa antara wanita dan laki-laki itu tidak sekufu (sejajar).12 Abu Hanifah dan abu Yusuf berpendapat : “Sesungguhnya wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat berhak mengurus aqad pernikahannya, baik ia gadis maupun janda. Walinya tidak berhak menghalanginya jika perempuan itu menikah dengan orang yang sekufu, jika tidak dengan orang yang sekufu maka wali berhak membatalkan pernikahannya.13 Perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri dan boleh pula mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan dirinya jika ia telah dibolehkan menggunakan hartanya. Juga tidak boleh ia dihalang-halangi kecuali jika menikah dengan orang yang tidak sekufu dengannya.14 Menurut ulama Hanafi hadits-hadits yang menerangkan wali menjadi syarat dalam perkawinan, boleh jadi, karna pihak wanita belum sempurna persyaratan seperti : karena masih kecil atau gila. Sebab sebagian ahli ushul 12
Fiqh ‘ala Mazhab Hanafi, Tuhfatul Fuqaha (Juz II), hlm. 120. Fiqh ‘ala Mazhab Hanafi, Jamiussahaqir(Juj II), hlm. 170. 14 As-Sarkhasi, Al-Mabsuth (Juz VI), hlm. 52. 13
44
mengkhususkan dalil yang umum dan membatasi berlakunya pada bagianbagiannya dengan jalan qiyas adalah dibolehkan.15 Dalam buku Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan karangan Ibrohim Hosen Abu Hanifah berpendapat : seorang perempuan yang menikahkan dirinya baik dia perawan atau janda, jika suaminya sekufu maka nikahnya sah, kecuali jika dengan laki-laki yang tidak sekufu maka walinya berhak menggugurkan perkawinannya16 Pendapat mazhab Hanafi bahwa pernikahan tidak harus menggunakan wali. Pendapat ini berdasarkan analisis dari Al-Qur’an dan hadits Rasullulah yang berbunyi :
Artinya : Kemudian jika si suami menlalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Q.S Al-Baqarah : 230).17
Artinya: Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, (Q.S Al-Baqarah : 232).18
15
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah……,hlm. 89 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan masalah Pernikahan,Jilid 1, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003), hlm.160-161. 17 Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Depag RI : Jakarta, 1971), hlm.56. 18 Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Depag RI : Jakarta, 1971), hlm. 56. 16
45
Menurut mazhab Hanafi Asbabun Nuzul atau sebab-sebab turunnya surat Al-baqarah 230 dan 232) adalah contoh yang mengemukakan kasus ma’qil bin yasar, yang menikahkan saudara perempuannya kepada seorang laki-laki muslim. Beberapa lama kemudian laki-laki itu menceraikan perempuan tersebut. Setelah habis tenggang waktu menunggu waktu masa iddah, maka kedua bekas suami istri itu ingin kembali lagi bersatu sebagai suami istri dengan jalan menikah lagi, tetapi ma’qil bin yasar tidak membolehkan kembali menjadi suami dari saudara perempuannya. Setelah disampaikan orang berita ini kepada Rasulullah saw maka turunlah surat Al-Baqarah ayat 232 yang mengatur dan melarang bekas suami tadi19 Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 230 dan 232 terdpat kata-kata yankihna dan kata kerja tankihna yang terjemahannya menikah disini pelakunya adalah wanita bekas istri itu tadi. Pekerjaan mana dalam isnad haqiqi (riwayat) semestinya dikerjakan orang lain sebagaimana halnya pada isnad majazi (kiasan).20 Fiqh
Hanafi berpendirian bahwa sahnya akad nikah tanpa wali
berdasarkan hadits Ibn Abbas yang berbunyi :
ب ا َ َح ُّق بنَ ْفس َها م ْن َولي َها َو ْالب ْك ُر ت ُ ْستَاذَ ُن في نَ ْفس َها َوا ْذنُ َها ص َمات ُ َها ُ اَلثَّي Artinya : Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan gadis diminta izin mengenai dirinya dan izinnya adalah diamnya.21
19
Ibrohim Hosen Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan….154-157 Moh Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara PA dan Zakat Menurut Hukum Islam….hlm 6 21 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan masalah Pernikahan,Jilid 1, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 161. 20
46
Mantuq hadits ini menegaskan bahwa janda mempunyai hak terhadap dirinya; dan gadis juga mempunyai hak seperti janda tersebut. Hak gadis terhadap dirinya itu bukanlah dari mantuq hadits, tetapi diketahui dengan jalan qiyas, karena manakala gadis itu dewasa serta cerdik., hukumnya dalam bidang mu’amalat sama dengan hukum yang berlaku terhadap janda yang baligh serta cerdik. Atas dasar inilah, Mazhab Hanafi memandang sah akad nikah tanpa wali secara mutlak, baik mengenai wanita janda maupun gadis.22 Dan juga Hanafi berpendirian kepada hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Nasa’i dan Ahmad :
ُ ي صلي هللا عليه وسلم يَ ْخ ْ َطبُ َها قَال َ سلَ َمةَ اَنَّ َها لَ َّما بَ َع :ت َ َع ْن أُم ُّ ث اَلنب : س ْو ُل هللا صلي هللا عليه وسلم ُ فَقَا َل َر.ْس أ َ َحدٌ م ْن أ َ ْول َيائ ْي ثَاهدًا َ لَي .ب يَ ْك َرهُ ذَل َك ٌ ْس أ َ َحدٌ م ْن أ َ ْوليَائك شَاهدٌ َو ََل غَائ َ لَي Artinya : Ummu Salamah meriwayatkan, tatkala Rosulullah meminangnya ia berkata: ‘Tidak seorangpun dari wali-waliku hadir’ Maka sabda Rosulullah saw: ‘Tidak seorangpun dari walimu, yang hadir atau ghoib (musafir), menolak perkawinan kita.23 Hadits Ummu Salamah ini menunjukan bahwa dalam perkawinan Rasulullah dengan Ummu Salamah tidak dihadiri oleh walinya dan bahwa wali tidak berhak membantah atau menyanggah terhadap perkawinan yang sekufu
22
Ibrohim Hosen Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, Jilid 1, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003),hlm. 174-175. 23 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan masalah Pernikahan,Jilid 1, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 157.
47
dan bahwasannya akad nikah tidak bergantung pada wali. Demikian riwayat mengenai Ummu Salamah yang disepakati oleh para perawi hadits.24 Oleh sebab itu Imam Hanafi menetapkan bahwa nikah itu sah dengan tanpa adanya wali, baik wanita itu gadis maupun janda. Beliau berpegang pada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. 3. Kedudukan Wali Nikah Menurut Mazhab Hanafi Pendapat yang memandang bahwa sighat akad nikah yang diucapkan wanita yang cerdik dan dewasa adalah sah secara mutlak. Pendapat ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Zufar, Auza’I, dan Muhammad Ibnu AlQosim. Hal ini di dasarkan pada dalil naqli yaitu Qur’an surat Al-Baqarah ayat 230, 232, dan ayat 234 dengan penafsiran yang mengarah pada pendapat tersebut. Begitupun dari dalil sunnah Rosul di antaranya hadits Abu Abbas yang diriwayatkan oleh jam’ah kecuali Bukhari yang berbunyi :
ب ا َ َح ُّق بنَ ْفس َها ُ اَلثَّي: رسوهللا صلي هللا عليه وسلم:عن ابي عباس قال م ْن َولي َها َو ْالب ْك ُر ت ُ ْستَاذَ ُن في نَ ْفس َها َوا ْذنُ َها ص َمات ُ َها Artinya : Dari Ibnu Abbas, ia berkata, Nabi SAW bersabda “Perempuan yang janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya. Sedangkan anak gadis diminta izinnya mengenai dirinya dan diamnya adalah izinya.”25
24
Ibrohim Hosen Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, Jilid 1, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003),hlm. 157-158. 25 Ibrohim Hosen Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, Jilid 1, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003),hlm 156.
48
Dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Nasa’I dan Ahmad yang berbunyi :
ُ ي صلي هللا عليه وسلم َي ْخ ْ َطبُ َها قَال َ سلَ َمةَ اَنَّ َها لَ َّما بَ َع :ت َ َع ْن أُم ُّ ث اَلنب : س ْو ُل هللا صلي هللا عليه وسلم ُ فَقَا َل َر.ْس أ َ َحدٌ م ْن أ َ ْول َيائ ْي ثَاهدًا َ لَي .ب يَ ْك َرهُ ذَل َك ٌ ْس أ َ َحدٌ م ْن أ َ ْوليَائك شَاهدٌ َو ََل غَائ َ لَي Artinya : “Ummu Salamah meriwayatkan , tatkala Rosulullah meminangnya ia berkata : “Tidak seorangpun dari wali-waliku hadir, maka sabda Rasulullah SAW : “Tidak seorangpun dari walimu, yang hadir atau yang ghoib (musafir) menolak perkawinan kita”.26 Menurut mazhab Hanafi wali tidak menjadi salah satu rukun nikah, maka sah nikah tanpa wali, hanya kurang sempurna saja, baik wanita itu gadis atau janda, sekufu atau tidak ada izin atau tidak, diucapkan langsung oleh si wanita atau walinya. B. Sekilas Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia 1. Sejarah Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia mengalami perjalanan yang sangat alot. Keberhasilannya dimulai dengan goalnya UU No. 1 tahun 1974 yang telah mengalami proses 24 tahun sejak mulai perancangan. disusul dengan UU No. 7 tahun 1989 yang secara resmi mengakui eksistensi Peradilan Agama
26
Ibrohim Hosen Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, Jilid 1, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003),hlm 157.
49
serta disusul oleh perundang-undangan lainnya. Namun, secara keseluruhan, peraturan-peraturan yang diraih hukum Islam itu belum bisa memuaskan kebutuhan umat. Pun dengan Peradilan Agama pasca lahirnya UU Nomor 7 tahun 1989, dalam hukum materil belum mempunyai panduan tetap yang dapat dijadikan sumber hukum bagi para hakim Peradilan Agama. Hal menimbulkan tidak adanya kepastian hukum di lingkungan peradilan ini. Kenyataan-kenyataan ini mengharuskan dibentuknya sebuah unifikasi hukum Islam yang akhirnya berhasil disahkan pada tahun 1991, yakni Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan oleh Inpres No. 1 tahun 1991.27 Hal itu dimulai dengan pembinaan oleh Mahkamah Agung tehadap bidang tekhnis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan dimaksud, didasari oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 11 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dilakukan oleh departemen masing-masing,
sedangkan
pembinaan
teknis
yustisial
dilakukan
oleh
mahkamah Agung. Meskipun undang-undang tersebut ditetapkan tahun 1970, tetapi pelaksanaannya di lingkungan peradilan agama pada tahun 1983, yaitu sesudah pendatangan Suras Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dengan menteri Agama RI No. 01, 02, 03, dan 04/SK/1-1983 dan No.1,2,3, dan 4 tahun 1983.28 Keempat SKB dimaksud, adalah jalan pintas sambil menunggu keluarnya Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara pada Peradilan Agama yang menjadi peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 14 27
Lihat: Abdul Halim, Peradilam Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, cet. II, 2002), hlm. 9 28 Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional (jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 249-250.
50
tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan Agama yang pada saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang intensif (sekarang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004). Sehinga sesuai dengan fungsi Mahkamah Agung RI terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan agama perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadikan hukum positif di Pengadilan Agama.29 2. Tujuan Kompilasi Hukum Islam Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan penyusunan KHI adalah untuk membenahi dan menyempurnakan kekurangan yang dialami oleh lingkungan Peradilan Agama. Tentang hal ini ada yang berpandangan bahwa sebaiknya ditempuh dengan jalur formal perundang-undangan yang sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 UUD 1945. Dengan jalan ini maka yang akan dihasilkan adalah Undang-Undang Hukum Perdata Islam sehingga keabsahannya benar-benar bersifat legalistik. Akan tetapi untuk menempuh jalan ini dapat dibayangkan betapa banyak proses yang harus dilalui. Berbagai tahapan harus dinaiki, mulai dari penyusunan racangan UU sampai pembahasan DPR. Belum lagi faktor-faktor non-teknis, seperti iklim politik dan psikologis. Satu segi, secara konstitusional kehadiran dan keberadaan PA telah diakui semua pihak. Namun di segi lain, barangkalai belum terpupus sikap alergi dan emosional yang sangat reaktif terhadap keharusan adanya kitab hukum perdata Islam.30
29
Zainuddin Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 77. 30 http://jurnalpamel.wordpress.com/politik-islam/dinamika-kompilasi-hukum-islam/.16:48 WIB, 25/2/2011.
51
3. Isi Kandungan Kompilasi Hukum Islam KHI terdiri dari tiga buku, 30 Bab dan 229 pasal yang mengatur tentang Hukum Keluarga Islam seperti yang tersusun secara sistematis dibawah ini:
BUKU I HUKUM PERKAWINAN 1) BAB I Ketentuan Umum (Pasal 1) 2) BAB II Dasar-Dasar Perkawinan (Pasal 2-10) 3) BAB III Peminangan (Pasal 11-13) 4) BAB IV Rukun dan Syarat Perkawinan (Pasal 14-29) 5) BAB V Mahar (Pasal 30-38) 6) BAB VI Larangan Perkawinan (Pasal 39-44) 7) BAB VII Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-52) 8) BAB VIII Kawin Hamil (Pasal 53-54) 9) BAB XI Beristeri Lebih dari Satu Orang (Pasal 55-59) 10) BAB X Pencegahan Perkawinan (Pasal 60-69) 11) BAB XI Batalnya Perkawinan (70-76) 12) BAB XII Hak dan Kewajiban Suami Isteri (77-84) 13) BAB XIII Harta Kekayaan dalam Perkawinan (Pasal 85-97) 14) BAB XIV Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106) 15) BAB XV Perwalian (Pasal 107-112) 16) BAB XVI Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148) 17) BAB XVII Akibant Putusnya Perkawinan (Pasal 149-162) 18) BAB XVIII Rujuk (Pasal 163-169) 19) BAB XIX Masa Berkabung (Pasal 170) BUKU II HUKUM KEWARISAN 1) BAB I Ketentuan Umum (Pasal 171)
52
2) BAB II Ahli Waris (Pasal 172-175) 3) BAB III Besarnya Bahagian (Pasal 176-191) 4) BAB IV Aul dan Rad (Pasal 192-193) 5) BAB V Wasiat (Pasal 194-209) 6) BAB VI Hibah (Pasal 210-214) BUKU III HUKUM PERWAKAFAN 1) BAB I Ketentuan Umum (Pasal 215) 2) BAB II Fungsi, Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf (Pasal 216-222) 3) BAB III Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran 4) BAB IV Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf (Pasal 225-227) 5) BAB V Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup (Pasal 228-229)31
4. Wali Nikah Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Kompilasi hukum Islam di indonesia berdasarkan instruksi presiden RI nomor 1 tahun 1991, yang diterbitkan oleh direktorat jendral pembinaan kelembagaan agama Islam, persoalan wali dalam pernikahan akan lebih terfokuskan dengan pemaparan sebagai berikut: Pasal 19 Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya Pasal 20 1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. 2) Wali nikah terdiri dari : a. Wali nasab; 31
http/Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam « Catatan Afandi.htm 16 :48 WIB, 25/2/2011.
53
b. Wali hakim. Pasal 21 1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. 2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang samasama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. 3) Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah. 4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Pasal 22 Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. Pasal 23 1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. 2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.32
32
hlm.20-22
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Dirjen Binbaga Islam,1991/1992.
54
Amiur nuruddin mengatakan bahwa dalam persyaratan perkawinan wali memiliki peranan yang begitu mutlak, akan tetapi dalam undang-undang perkawinan tidak begitu selaras dan cukup berbeda dengan fiqh Islam baik secara skema maupun materi, Undang-undang perkawinan tetap memfokuskan pada kedua calon mempelai, jadi sahnya sebuah perkawinan terletak pada mereka berdua. Adapun rukun lain seperti mesti adanya wali dalam prosesi pernikahan,
KHI kembali kapada aturan-aturan fiqh. Bahkan nampak ada
kecendrungan kuat bahwa tidak ada yang baru dalam KHI mengenai penjelasan rukun mengenai wali tersebut.33 5. Kedudukan Wali Nikah Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Di Indonesia persoalan yang membicarakan posisi dan kedudukan wali dalam pernikahan telah di rumuskan dalam UU perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Bab XI pada pasal 19-23 yang kesemuanya itu sudah di paparkan di atas. Pada pemaparan kedudukan wali yang memuat dalam kompilasi hukum islam di indonesia, yaitu UU perkawinan No.1 Tahun 1974 pada bab XI dan dikuatkan oleh kompilasi hukum islam (KHI) pada bagian ketiga pasal 19 sampai 23, bila di analisis secara mendalam terdapat suatu konsep pemikiran bahwa kedudukan wali begitu penting dan di perlukan pada anak yang di bawah umur atau belum dewasa ataupun yang penanggungannya diluar tanggung jawab kedua orang tuanya, ini adalah terobosan dari konseptorkonseptor hukum di Indonesia dengan mengedepankan tradisi yang 33
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqh,UU No. 1/1974 sampai KHI,(Jakarta : Kencana, Cet-II,2004), hlm 74-75.
55
berkembang di wilayahnya yang secara umum belum terkafer dalam produk fiqh.34 Sekiranya kedudukan wali dalam pernikahan yang diuraikan dalam kompilasi hukum islam di Indoenesia tersebut menjadi acuan masyarakat muslim di Indonesia dalam pelaksanaan prosesing pernikahan, dimana sumber dari UU perkawinan dan KHI tak lepas dari kombinasi perkembangan fiqh secara luas yang dinahkodai para mujtahid-mujtahid Islam yang benar-benar meletakan nilai maslahat bagi ummat, dan juga tidak terlepas dari dasar sumber hukum islam aslinya yaitu Al-Qur’an Al-Hadits. Jadi wali dalam pernikahan merupakan suatu yang harus dipenuhi. Sesuai dengan pasal 19 KHI yaitu:”Wali Nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.
34
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional,(Medan :Zahir Trading,1957),hlm. 36.