27
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN PERANAN WALI NIKAH MENURUT FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Pengertian Pernikahan 1.
Menurut Fiqih Islam Pernikahan merupakan cara paling mulia yang dipilih Pencipta alam semesta untuk mempertahankan proses regenerasi, perkembangbiakan dan keberlangsungan dinamika kehidupan. Fitrah diberikan Allah pada manusia meniscayakan pentingnya penyatuan antara laki-laki dan perempuan demi keutuhan jenis manusia agar mereka dapat memakmurkan bumi, mengeluarkan kekayaan alamnya, mengembangkan nikmat-nikmat yang dikandungnya, dan memanfaatkan kekuatan alami bumi selama waktu yang diinginkan Allah.61 Pernikahan adalah pelindung individu maupun masyarakat, khususnya kaum perempuan. Allah SWT berfirman: “Nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara yang sholeh dan telah pantas menikah. Jika mereka miskin, Allah akan membuat mereka kaya dengan karuniaNya. Allah Maha Luas pemberian-Nya. Dan Maha Mengetahui.” (Surah An-Nur: 32).62 Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat. Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dipandang sebagai jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum yang lain dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.63 Secara etimologi Perkawinan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan kata kawin adalah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami istri.64 61
Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, Almahira,2001, hal.6-7 Syaikh Fuad Shalih, Untukmu yang Akan Menikah Dan Telah Menikah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2005, hal.6 63 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam:Hukum Fiqh Lengkap, Sinar Baru Algesindo, Bandung 2012, hal.374 62
64
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal.453
27
Universitas Sumatera Utara
28
Tihami mengemukakan bahwa istilah “kawin” digunakan secara umum untuk tumbuhan, hewan dan manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari proses perempuan) dan kabul (pernyataan penerimaan dari pihak laki-laki). Selain itu nikah juga bisa diartikan sebagai bersetubuh.65 Dalam bahasa Melayu (terutama di Malaysia dan Brunai Darussalam), digunakan istilah kahwin. Kahwin ialah ”Perikatan yang sah antara lelaki dan perempuan menjadi suami istri, nikah.” Berkahwin maksudnya sudah mempunyai istri (suami).66 Nikah menurut bahasa berarti berkumpul menjadi satu. Menurut syara’, nikah berarti suatu aqad yang berisi pembolehan melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafaz inkahin (menikahkan) atau tazwajin (mengawinkan). Kata nikah itu sendiri secara hakiki, menurut Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibrary, berarti akad, dan secara majazi berarti bersenggamaan67. Seperti dinyatakan Abdur-Rahman Al-Juzairi, kata nikah (kawin) dapat didekati dari tiga aspek pengertian (makna), yakni makna lughawi (etimologi), makna ushuli (syar’i), dan makna fiqhi (hukum).68 Definisi pernikahan yang diberikan Wahbah al-Zuhaily sebagai berikut: “Akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wathi’ dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan.” Definisi lain yang diberikan oleh Wahbah al-Zuhaily adalah: 65
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat , Rajawali Press, Jakarta, 2009, hal.7 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT. RajaGrafindo Perkasa, Jakarta,2004, hal.42 67 Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibrary, Fatchul Mu’in Jilid 3, Diterjemahkan oleh Ally As’ad Menara Kudus, Kudus, 1979, hal.1 68 Muhammad Amin Suma, Op.Cit, hal.41 66
Universitas Sumatera Utara
29
“Akad yang telah ditetapkan oleh syar’i agar seseorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau sebaliknya.”69 Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya. 70 Menurut Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan disebut dengan an-nikh dan azziwaj/ az-zawj atau az-zijah. Secara harfiah, an-nikh berarti al-wath’u, adhdhammu dan al-jam’u. Al-wath’u berasal dari kata wathi’a- yatha’u- wath’an. Artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama.71 Adh-dhammu, secara harfiah berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan, menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan menjumlahkan, juga bersikap lunak dan ramah. Sedangkan aljam’u yang berasal dari kata jama’a-yajma’u-jam-an, yang artinya mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun.72 Adapun
sebab mengapa bersetubuh atau bersanggama dalam istilah fiqih
disebut dengan al-jima’ dikarenakan mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua aktivitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari al-jam’u’. Sebutan lain untuk pernikahan ialah az-zawaj/az-ziwaj, berasal dari kata zawwaja-yuzawwiju-tazwijan yang secara harfiah berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri.
69 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal.38-39 70 Ibid, hal.39 71 Muhammad Amin Suma, Op.Cit, hal.42 72 Ibid, hal.43.
Universitas Sumatera Utara
30
Secara arti kata nikah berarti “bergabung”, “hubungan kelamin” dan juga berarti “akad”. Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam Al-Qur’an memang mengandung dua arti kata tersebut. Kata nikah yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 230: “Maka jika suami mentalaknya (sesudah talak dua kali), maka perempuan itu tidak boleh dinikahinya hingga perempuan itu kawin dengan laki-laki lain”. Mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadist Nabi bahwa setelah akad nikah dengan lakilaki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah melakukan hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.73 Tetapi dalam Al’Quran terdapat pula kata nikah dengan arti akad seperti tersebut dalam firman Allah SWT dalam surah an-Nisa ayat 22: “Janganlah kamu menikahi perempuan yang telah pernah dinikahi oleh ayahmu kecuali apa yang sudah berlalu”. Ayat tersebut mengandung arti bahwa perempuan yang dinikahi oleh ayah itu haram dinikahi dengan semata ayah telah melangsungkan pernikahan dengan perempuan tersebut, meskipun di antara keduanya belum berlangsung hubungan kelamin.74 R.Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis yang menyatakan bahwa Perkawinan adalah “persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal”.75 Golongan Ulama Syafi’i berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki) dapat berarti pula untuk hubungan kelamin namun dalam arti tidak sebenarnya (majazi). Penggunaan untuk bukan arti sebenarnya itu
73
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.36 Ibid 75 R.Soetojo Prawirohamidjijo, hal 35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal.61 74
Universitas Sumatera Utara
31
memerlukan penjelasan di luar dari kata itu sendiri.76 Menurut mazhab Syafi’i, nikah dirumuskan sebagai “akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwij; atau turunan (makna) dari keduanya.77 Sebaliknya, ulama Hanafi berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin. Bila berarti juga untuk lainnya seperti akad adalah dalam arti majazi yang memerlukan penjelasan untuk maksud tersebut.78 Definsi nikah menurut ulama Hanafi : “Nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis.79 Menurut mazhab Maliki, nikah adalah: “sebuah ungkapan (sebutan) bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata.”80 Ulama Hambali mendefinisikan nikah dengan “akad (yang dilakukan dengan menggunakan) kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan (bersenang-senang).81 Definisi-definisi yang diberikan oleh ulama terdahulu sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab fiqih klasik tersebut di atas begitu pendek dan sederhana hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan yaitu kebolehan melakukan
76
Amir Syarifuddin, Op.Cit , hal. 37 Muhammad Amin Suma, Op.Cit, hal.45 78 Amir Syarifuddin,Op.Cit, hal.37 79 Muhammad Amin Suma, Op.Cit, hal.45. 80 Ibid 81 Ibid 77
Universitas Sumatera Utara
32
hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan itu. 82 Nikah hanya dilihat sebagai akad yang menyebabkan kehalalan melakukan persetubuhan. Hal ini semakin tegas sebab menurut al-Azhari makna asal kata nikah bagi orang arab adalah al-wat’ (persetubuhan).83 Beberapa definisi dari pakar Indonesia tentang pernikahan juga akan dikutip di sini. Menurut Sayuti Thalib, pernikahan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.84 Sedangkan Ibrahim Hosen mendefinisikan pernikahan sebagai akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita. Secara lebih tegas perkawinan juga dapat didefinisikan sebagai hubungan seksual (bersetubuh).85 Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki. Sehingga dapat diperoleh bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah: “suatu akad atau perikatan laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih
82
Muhammad Amin Suma,Op.Cit,hal.39 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit, hal. 40 84 Ibid 85 Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan dalam Masalah Nikah-Thalaq-Rujuk dan Hukum Kewarisan, jilid 1, Balai Penerbitan dan Perpustakaan Islam Yayasan Ihya ‘Ulumiddin Indonesia, Jakarta,1971, hal.65 83
Universitas Sumatera Utara
33
sayang dengan cara yang diridhai Allah”. Apabila pengertian tersebut dibandingkan dalam Pasal 1 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam maka pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut undang-undang tidak terdapat perbedaan prinsipil, sebab pengertian perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (pasal 2). Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab seorang perempuan apabila ia sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya) wajib ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (keturunan), sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak jelas siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang akan bertanggung jawab. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab bila tidak ada pernikahan, tentu manusia akan menurunkan sifat kebinatangan, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana dan permusuhan antara sesamanya. Secara ringkas faedah pernikahan adalah sebagai berikut:86 a. Menjaga kehormatan dan pandangan mata, melindungi agama dan akhlak. 86
Syaikh Fuad Shalih, Op.Cit, hal.8-9
Universitas Sumatera Utara
34
b. Mengais pahala yang besar akibat melaksanakan perintah Allah dan RasulNya dalam hal pernikahan. c. Mewujudkan kemitraan dan persahabatan antara suami istri yang menepis rasa sepi dan menjauhkan penyakit psikis dan fisik akibat kesendirian, keterasingan dan perselibatan. d. Menghasilkan keturunan yang saleh yang sangat penting dalam memperbanyak kuantitas kaum muslimin dan mendatangkan pahala yang besar bagi orang tua dalam mendidik dan bersabar atas kematian anak-anak mereka. e. Merajut relasi sosial, mengukuhkan ikatan cinta, kesepahaman dan keakraban antar anggota masyarakat, sehingga dapat membawa kemajuan bagi mereka dalam aspek ekonomi. f. Saling bersinergi dalam perkara agama dan dunia. Betapa banyak istri salehah yang menjadi penyebab suaminya mendapatkan hidayah dan demikian sebaliknya. 2.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam
pandangan
Islam,
pernikahan
merupakan
ketentraman,
cinta,
kelembutan kasih, perpaduan, pengertian dan penyatuan antara laki-laki dan perempuan dengan menggunakan fisik, roh dan kalbu. Allah berfirman sebagai berikut: “ Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan untuk kalian istriistri dari jenismu sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir .”(QS ar-Ruum ayat 21)”87 Perkawinan selain sebagai perbuatan ibadah juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul.Sunnah Allah berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam menciptakan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.88
87 88
Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Op.Cit, hal.7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.41
Universitas Sumatera Utara
35
Sifatnya sebagai sunnah Allah dapat dilihat dari rangkaian ayat-ayat sebagai berikut:89 a. Allah menciptakan mahluk ini dalam bentuk berpasang-pasangan sebagaimana fiman Allah dalam surah adz-Dzaariyat (51) ayat 49 yang artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. b. Secara khusus pasangan itu disebut laki-laki dan perempuan dalam surah anNajm ayat 45 yang artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan.” c. Laki-laki dan perempuan itu dijadikan berhubungan dan saling melengkapi dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak. Hal ini disebutkan Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 1 yang artinya: “Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” d. Perkawinan itu dijadikan sebagai salah satu ayat-ayat atau tanda-tanda dari kebesaran Allah dalam surah al-ar-Rum ayat 21 yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” Perkawinan
itu juga merupakan sunnah Rasul yang pernah dilakukannya
selama hidupnya dan menghendaki umatnya berbuat yang sama. Hal ini terdapat dalam Hadist yang berasal dari Anas bin Malik, sabda Rasulullah artinya : “Tetapi aku sendiri melakukan sholat, tidur, aku berpuasa dan juga aku berbuka, aku mengawini perempuan. Siapa yang tidak senang dengan sunnahku, maka ia bukanlah dari kelompokku.”90
89 90
Ibid, hal.41-42 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit , hal.43
Universitas Sumatera Utara
36
Hadist Nabi riwayat al-Bayhaqi mengajarkan: “Apabila seseorang telah melakukan perkawinan berarti telah menyempurnakan separuh agamanya (karena telah sanggup menjaga kehormatannya), maka bertakwalah kepada Allah dalam mencapai kesempurnaan pada separuh yang masih tinggal.”91 Nabi Muhammad SAW menganggap bahwa menikah bagi seorang muslim sebagai “Separuh dari Agamanya” karena hal itu akan melindunginya dari kekacauan, perbuatan akibat perzinahan, dan kehidupan yang pada akhirnya akan menjerumuskannya ke dalam berbagai tindak kriminal lainnya seperti timbul fitnah,pertikaian, pembunuhan, perampasan hak milik dan akhirnya mengakibatkan rusaknya tatanan kekeluargaan ideal yang sangat ditekankan oleh Nabi Muhammad SAW.92
Para ahli dari berbagai golongan dan bangsa menetapkan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan persahabatan yang erat antara laki-laki dan perempuan, memperlihatkan suatu kerjasama yang baik dan teratur dalam rumah tangga yang bahagia.93 Pada dasarnya apa yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam yang berhubungan dengan penikahan semuanya telah dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan jo.Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang. Hanya di dalam Kompilasi Hukum Islam muatannya lebih terperinci, larangan lebih dipertegas dan menambah beberapa poin sebagai aplikasi dari peraturan perundang-undangan yang telah ada.
91
A.Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Pena, Banda Aceh, 2010, hal.31 Hasballah Thaib dan Marahalim, Op.Cit,hal.20 93 T.Jafizham, Op.Cit, hal.255
92
Universitas Sumatera Utara
37
Disamping definisi yang diberikan oleh Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 memberikan definisi
yang tidak
mengurangi arti-arti definisi undang-undang perkawinan tersebut, namun bersifat menambah penjelasan dengan rumusan sebagai berikut yaitu perkawinan menurut Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan Undangundang yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Kata miitsaqan ghalizhan diambil dari firman Allah SWT yang terdapat dalam surah an-Nisa ayat (21) yang artinya: “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal sebagain kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (miitsaqan ghalizhan).”94 Al Qur’an menjuluki pernikahan dengan miitsaqan ghalizhan, janji yang sangat kuat. Mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan perjanjian serius antara mempelai pria (suami) dengan mempelai wanita (istri), oleh karena itu pernikahan yang sudah dilakukan itu harus dipertahankan kelangsungannya. Perceraian itu dimungkinkan (dibolehkan) dalam Islam, tetapi Rasulullah SAW menjulukinya 94
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit,hal.44
Universitas Sumatera Utara
38
sebagai perbuatan halal yang dibenci Allah SWT. Hal itu yang mendasari mengapa dalam akad nikah harus ada saksi minimal dua orang, di samping wali nikah dari pihak mempelai wanita. Ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Undang-undang, artinya perkawinan itu tidak terjadi begitu saja menurut pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai mahluk beradab. Karena itu perkawinan dilakukan secara beradab pula, sesuai dengan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia95. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.96 Ada beberapa tujuan perkawinan dari disyariatkannya perkawinan atas umat Islam, antara lain: 1. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi yang akan datang. Keinginan untuk melanjutkan keturunan merupakan naluri bagi umat manusia bahkan juga naluri bagi mahluk hidup yang diciptakan Allah SWT. Untuk itu Allah SWT menciptakan bagi manusia nafsu syahwat yang dapat mendorongnya untuk mencari pasangan hidup untuk menyalurkan nafsu syahwat tersebut. Untuk memberi saluran yang sah dan legal bagi nafsu syahwat tersebut adalah melalui lembaga perkawinan.
95 96
Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian,UNS,Semarang, 2005, hal.74 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.41
Universitas Sumatera Utara
39
Fitrah yang sudah ada dalam diri manusia ini diungkapkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang artinya: “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan bagimu dari istriistri kamu itu, anak-anak dan cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik……” (Surah an-Nahl: 72)97 2. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Apabila dalam suatu rumah tangga tidak terwujud rasa saling kasih dan menyayangi antara suami istri, berarti tujuan rumah tangga itu tidak sempurna. Sebagai akibatnya bisa saja masing-masing suami istri mendambakan kasih sayang dari pihak luar yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam suatu rumah tangga. Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”(Surah ar-Ruum: 21)98 Diantara hikmah yang dapat ditemukan dalam perkawinan adalah menghalangi mata dari melihat kepada hal-hal yang tidak diizinkan syara’ dan menjaga kehormatan diri dari terjatuh pada kerusakan seksual. Sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh Nabi dalam Hadistnya : 97 98
M.Ali Hasan, Op.Cit, hal.15 Ibid, hal.14
Universitas Sumatera Utara
40
“Wahai para pemuda, siapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan untuk kawin, maka kawinlah karena perkawinan itu lebih menghalangi penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari kerusakan seksual). Siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa; karena puasa itu baginya akan mengekang syahwat.”99 Selain yang disebutkan di atas, perkawinan juga bertujuan untuk:100 a. Menentramkan jiwa. Bila telah terjadi akad, istri merasa jiwanya tentram karena ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam rumah tangga. Suami pun merasa tentram karena ada pendampingnya untuk mengurus rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka serta teman bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan. b. Memenuhi kebutuhan biologis. Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan seksual sudah ada tertanam dalam diri manusia dan kehendak Allah. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan biologis harus diatur melalui lembaga perkawinan agar tidak terjadi penyimpangan sehingga norma-norma agama dan adat istiadat tidak dilanggar. c. Latihan memikul tanggung jawab. Perkawinan merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikulan tanggung jawab dan pelaksanaan segala kewajiban yang timbul dari pertanggungjawaban tersebut. Maksud dan tujuan akad nikah adalah untuk membentuk kehidupan yang penuh kasih sayang dan saling menyantuni satu sama lain (keluarga sakinah). Adapun tujuan pernikahan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 yang berbunyi: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (tentram cinta dan kasih sayang).” Tujuan ini juga dirumuskan melalui firman Allah SWT yang terdapat dalam surah ar-Ruum ayat (21) yang artinya:
99
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,Op.Cit, hal.48 Ibid, hal.13-21
100
Universitas Sumatera Utara
41
“Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berpikir.101 Selain merupakan sunnah kehidupan dan sendi daya tahan¸ pernikahan juga merupakan pelindung dari penyimpangan dan keterjerumusan dalam pelanggaran etika moral maupun sosial kemasyarakatan. Perkawinan dapat memelihara pandangan mata dan kemaluan, memadamkan api syahwat, menenangkan jiwa dan menjaga kesehatan. Menurut hukum Islam, perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan: 102 a. Perkawinan diihat dari segi hukum Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian. Al Qur’an dalam surat an-Nisa’ menyatakan “……perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “miitsaqan ghalizhan”. Hal ini juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan merupakan suatu perjanjian karena adanya: 1. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu. 2. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya. b. Perkawinan dilihat dari segi sosial Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang belum/ tidak menikah. c. Pandangan dari segi agama Dalam agama, perkawinan dianggap sebagai suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, dimana kedua belah pihak dihubungkan 101 102
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit, hal. 44 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,UI Press, Jakarta, 1986, hal.47-48
Universitas Sumatera Utara
42
menjadi pasangan suami istri atau saling meminta untuk menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah sebagaimana diingatkan oleh AlQur’an surat an-Nisa ayat (1). B. Hukum-Hukum Dalam Pernikahan Pernikahan merupakan dasar dan asas peradaban dari umat manusia. Nikah pada hakikatnya merupakan suatu perikatan (akad) yang suci antara calon suami dan calon istri, yang harus dilaksanakan oleh setiap kaum muslim kecuali bila ada sebabsebab penting untuk tidak melaksanakannya. Pernikahan membuka kesempatan berkasih sayang antara suami dan istri lalu meneruskan kasih sayang tersebut kepada anak dan cucu, kaum keluarga, tetangga, kawan-kawan dan kepada umat manusia. Dengan demikian pernikahan adalah tempat latihan dari umat manusia untuk mengabdikan diri satu sama lain dan menghormati perasaan satu sama lain. Pernikahan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh oleh Nabi. Banyak suruhan-suruhan Allah dalam Al-Qur’an untuk melaksanakan pernikahan. Adapun ayat- ayat tersebut: Al Qur’an surah an-Nur ayat 32: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (untuk kawin) di antara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”103
103
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.43
Universitas Sumatera Utara
43
Al Qur’an surah ar-Ra’d ayat 38: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.”104 Membujang sesungguhnya merupakan suatu pelanggaran atas naluri manusia. Inilah sebabnya mengapa Islam tak mengizinkan membujang atau paham kebiaraan sebagai suatu jalan hidup. Al-Qur’an mengatakan: “Dan mereka mengadakan rahbaniyyah (kerahiban), padahal kami tidak mewajibkan kepada mereka (melainkan merekalah yang mengada-adakannya) sebagai jalan untuk memperoleh keridhaan Allah”.(QS 52:27).105 Di dalam Al-Qur’an, Surat Ash-Shaffat ayat (20), disampaikan kepada kita bahwa tidak sepatutnya kita hanya memburu kesenangan dunia dan menumpuknumpukkan harta mengejar kehidupan, lalu ayat ini mengingatkan kita pun tak sepatutnya menuju dunia ekstrim yang lain dengan meninggalkan semua usaha duniawi dan mengambil jalan sebagai rahib. Membujang dilarang dengan tegas dalam Islam (HR Bukhari). Asal hukum melakukan pernikahan menurut pendapat sebagian sarjana hukum Islam adalah ibahah atau kebolehan atau halal.106 Dasar dari pendapat ini adalah Q.S.an-Nissa (4):1,3,4 dan 24 juga dari Hadist Rasul. Hadist-hadist Rasul itu antara lain: 1. Hadist riwayat Bukhari-Muslim “Hai golongan pemuda, barangsiapa diantara kamu telah sanggup kawin, maka kawinlah, karena kawin itu lebih menundukkan mata dan lebih
104
Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, Kado Pernikahan, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2003, hal.1 Abdul Rahman I.Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal 12 106 Sayuti Thalib, Op.Cit, hal.49 105
Universitas Sumatera Utara
44
memelihara faraj/kehormatan dan barangsiapa yang belum sanggup maka berpuasa itu melemahkan syahwat.”107 2. Hadist Riyawat Bukhari dan Muslim. “Tetapi aku sembahyang, tidur, puasa, berbuka dan kawin. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku maka ia bukan umatku.108” Sebagai hasil usaha mempelajari Al’Qur’an dan Sunnah Rasulullah dalam kitab-kitab hadist, para ahli hukum Islam telah menyusun suatu teori yang merupakan penilaian mengenai perbuatan manusia. Jumlahnya lima, karena itu disebut al –ahkamal-khamsah. Artinya lima kaidah, lima ukuran untuk menilai perbuatan manusia dan benda. Nikah adalah suatu perbuatan (manusia) ia juga adalah dapat dinilai menurut ukuran tersebut.109 Kalau perbuatan nikah ditautkan dengan kaidah atau hukum yang lima itu, maka kaidah asalnya adalah ja’iz atau mubah atau ibahah, diindonesiakan menjadi kebolehan.110 Berdasarkan kepada perubahan illahnya, maka dari ibahah atau kebolehan hukum melakukan perkawinan dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh, mubah dan haram.111 1. Hukumnya yang Sunnah. Apabila seseorang dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada, maka menjadi sunnahlah baginya untuk melakukan perkawinan. Kalau dia nikah maka dia mendapat
107
Ibrahim Hosen,Op.Cit, hal.76 Ibid, hal.77 109 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal.3. 110 Ibid, hal.4 111 Sayuti Thalib, Op.Cit, hal.49-50 108
Universitas Sumatera Utara
45
pahala dan kalau dia tidak atau belum nikah, dia tidak mendapat dosa dan tidak mendapat pahala. Rasulullah SAW bersabda: “Kaliankah yang mengatakan begini-begini? Demi Allah, aku lebih takut dan lebih bertakwa kepada Allah SWT daripada kalian. Tapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat malam dan tidur, serta aku juga kawin dengan perempuan. Barangsiapa yang membenci Sunahku maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari)112 2. Hukumnya yang Wajib. Apabila seseorang dipandang dari segi biaya kehidupan telah mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniahnya sudah sangat mendesak untuk nikah, sehingga apabila dia tidak menikah maka dia akan terjerumus kepada penyelewengan, sehingga menjadi wajiblah kalau dia menikah dan akan mendapat pahala baik dia seorang laki-laki atau seorang perempuan. Kaidah fiqih mengatakan : Sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menjalankan suatu kewajiban, hukumnya adalah wajib; atau dengan kata lain: ”apabila suatu kewajiban tidak akan terpenuhi tanpa adanya suatu hal, maka hal itu wajib pula hukumnya.”113 Penetapan kaidah tersebut apabila seseorang hanya dapat menjaga diri dari perbuatan zina dengan jalan perkawinan, sehingga perkawinan itu hukumnya wajib bagi dirinya.
112 113
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.Cit, hal.11 A.Hamid Sarong ,Op.Cit, hal.34
Universitas Sumatera Utara
46
Firman Allah SWT : “ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orangorang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hambahamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Mahaluas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur:32)114 3. Hukumnya yang Makruh. Apabila seseorang yang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk menikah walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada biaya untuk hidup bagi istri dan anak-anaknya, maka makruh
baginya untuk
menikah. Kalau dia menikah dia tidak berdosa dan tidak pula dapat pahala. Sedangkan kalau dia tidak menikah dengan pertimbangan yang telah dikemukakan itu maka dia akan mendapat pahala. Imam Ghazali berpendapat bahwa apabila suatu perkawinan dikhawatirkan akan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah dan semangat bekerja dalam bidang ilmiah, hukumnya lebih makruh daripada apa yang telah disebutkan di atas.115 Mazhab Hanafi membagi makruh ada dua macam yaitu makruh tahrimi (mendekati haram) dan tanzihi (mendekati halal), sesuai dengan kuat dan lemahnya kekhawatirannya.116
114
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.Cit, hal.12 A.Hamid Sarong, Op.Cit, hal.36 116 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, Gema Insani, Jakarta, 2007, hal.42 115
Universitas Sumatera Utara
47
4. Hukumnya yang Mubah Apabila seseorang yang memiliki harta, tetapi apabila tidak menikah tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikan menikah tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajiban kepada istrinya. Al Qur’an menyebutkan pernikahan dengan lafal halal dan kata tersebut menandakan bahwa perbuatan itu diperbolehkan. Firman Allah SWT: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (An-Nisa’:24)117 Pada umumnya pernikahan anak-anak di bawah umur yang dilakukan oleh walinya juga digolongkan sebagai pernikahan yang mubah. Sebab tidak ada nash AlQur’an atau sunnah Rasul yang melarangnya. Meskipun demikian para fuqaha memberikan hak kepada anak-anak yang bersangkutan apabila telah dewasa nanti, untuk melangsungkan pernikahan yang pernah dilaksanakan oleh walinya atau memutuskannya dengan jalan fasakh. Hak ini disebut juga dengan hak khiyar. 5. Hukumnya yang Haram. Apabila seorang laki-laki hendak menikahi seorang perempuan dengan maksud untuk menganiaya atau memperolok-olokannya maka haram bagi laki-laki tersebut
117
Abdul Majid Mahmud Mathlub Op.Cit, hal.13
Universitas Sumatera Utara
48
menikah dengan perempuan bersangkutan. Bila dia menikah juga untuk maksud terlarang itu, dia berdosa walaupun pernikahan itu tetap sah asal dan telah memenuhi ketentuan-ketentuan formil yang telah digariskan. Sedangkan kalau dia tidak jadikan perkawinan itu sehingga tidak langsung perkawinannya dengan maksud yang tidak diiziinkan Al-Qur’an itu maka dia akan mendapat pahala. Imam al-Qurthubi, salah seorang ulama terkemuka dalam mazhab Maliki berpendapat bahwa apabila calon suami tidak akan mampu memenuhi kewajiban nafkah dan membayar mahar (mas kawin) untuk istrinya, atau kewajiban lain yang menjadi hak istri, tidak halal menikahi seseorang kecuali apabila ia menjelaskan keadaannya kepada calon istri; atau ia bersabar sampai merasa dapat memenuhi hak-hak istrinya, barulah boleh dilangsungkan pernikahan. Ditambahkan pula bahwa orang yang mengetahui ada penyakit pada dirinya yang dapat menghalangi kemungkinan melakukan hubungan dengan calon istri, maka harus menjelaskan kepada calon istri, sehingga pihak istri tidak merasa tertipu. 118 Pendapat Imam al-Qurthubi ini sangat penting bagi kelangsungan pernikahan. Dalam bentuk apapun, penipuan harus dihindari. Bukan hanya mengenai cacat atau penyakit yang dialami oleh calon suami, tetapi juga mengenai nasib keturunan, kekayaan, kedudukan atau pekerjaan jangan sampai tidak dijelaskan, sehingga pihak istri tidak merasa tertipu. Hal yang disebutkan untuk calon suami juga berlaku bagi calon istri. Dalam hal menetapkan hukum asal suatu pernikahan terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum perkawinan itu adalah sunnah. Dasar hukum dari pendapat jumhur ulama ini adalah begitu
118
A.Hamid Sarong, Op.Cit,hal.35
Universitas Sumatera Utara
49
banyaknya suruhan Allah dalam Al-Qur’an dan suruhan Nabi dalam sunnahnya untuk melangsungkan pernikahan. Golongan ulama yang berbeda pendapat dengan jumhur ulama adalah golongan Zhahiriyah yang mengatakan hukum pernikahan bagi orang yang mampu melakukan hubungan kelamin dan biaya perkawinan adalah wajib atau fardhu. Dasar dari pendapat ulama Zhahariyah ini adalah perintah Allah dan Rasul yang begitu banyak untuk melangsungkan pernikahan. Hukum asal menurut dua golongan tersebut berlaku secara umum dengan tidak memperhatikan keadaan tertentu dan orang tertentu. Dalam merinci hukum menurut perbedaan keadaan dan orang tertentu itu berbeda pula pandangan ulama. Ulama Syafi’i secara rinci menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu adalah sebagai berikut:119 1. Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk nikah, telah pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan pernikahan. 2. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk nikah, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk pernikahan, namun fisiknya mengalami cacat, seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka dan kekurangan fisik lainnya. Ulama Hanafi menambahkan hukum secara khusus bagi keadaan dan orang tertentu sebagai berikut: 1. Wajib apabila berdasarkan empat persyaratan120 a. Bila seorang laki-laki yakin akan berbuat zina jika tidak menikah
119 120
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.45-46 Abdul Rahman I.Doi,Op.Cit, hal.9
Universitas Sumatera Utara
50
b. Bila dia tidak mampu berpuasa atau sekalipun dia dapat berpuasa namun tetap tidak dapat membantunya untuk mengendalikan hawa nafsu syahwatnya. Tetapi bila puasa itu dapat membantunya, maka dia diharuskan lebih baik wanita untuk digauli. c. Bila dia tidak mendapatkan budak wanita untuk digaulinya. d. Bila dia mampu membayar mahar dan mampu memperoleh nafkah hidup yang halal. Namun bila dia tidak mampu mendapatkan biaya hidupnya dengan halal, maka tidak wajib baginya untuk menikah. 2. Makruh, bagi seorang laki-laki yang tidak memiliki keinginan seksual sama sekali atau memiliki rasa cinta kepada anak-anak atau diyakininya akan mengakibatkan lalai dalam berbagai kewajiban agamanya karena menikah itu.121 Ulama lain menambahkan hukum pernikahan secara khusus untuk keadaan dan orang tertentu sebagai berikut:122 a. Haram bagi orang-orang yang tidak akan memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan pernikahan atau ia yakin pernikahan itu tidak akan mencapai tujuan syara’, sedangkan dia meyakini pernikahan itu akan merusak kehidupan pasangannya. b. Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk nikah dan pernikahan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapa pun. Terlepas dari hukum pernikahan yang beraneka ragam ini, yang pasti pada satu sisi Nabi Muhammad SAW menganjurkan para pemuda yang memiliki kemampuan biaya hidup supaya melakukan pernikahan. Sementara pada sisi lain Nabi Muhammad SAW melarang keras umat Islam melakukan tabattul (membujang selamanya). Khusus bagi pemuda karena satu dan lain hal, terutama alasan ekonomi sehingga belum mampu melakukan pernikahan, maka dianjurkan supaya melakukan saum (puasa). Saum itu dalam pengertiannya yang harfiah yakni sekedar menahan, 121 122
Abdul Rahman I.Doi, Op.Cit, hal.10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.45-46
Universitas Sumatera Utara
51
maupun dalam konteks kesyariahan yakni benar-benar melakukan ibadah shiyam (puasa). Hadist Rasulullah SAW : “Dari Abdillah bin Mas’ud, dia berkata: “(Suatu ketika) Rasulullah SAW pernah menyeru kami: “Hai para pemuda! Siapa saja di antara kalian yang telah sanggup kawin, maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih memejamkan pandangan (mata) dan lebih (dapat) memelihara kemaluan: dan siapa yang belum (tidak) mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu adalah obat (pengekang) baginya.” (HR Muttafaq’alaih)123 C. Prinsip dan Asas Dalam Pernikahan Suatu perkawinan dapat mencapai tujuan sebagaimana yang ditetapkan dalam syariat, yaitu kebahagiaan akhirat, maka Islam menggariskan beberapa prinsip yang harus dipedomani sebagai berikut:124 1.
Prinsip Kebebasan dalam Memilih Jodoh. Memilih jodoh merupakan hak pilih yang bebas bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan dengan yang digariskan syari’ah. Sebelum Islam, anak perempuan sama sekali tidak memiliki hak pilih, bahkan dirinya sepenuhnya dimiliki oleh ayahnya atau walinya. Ayah atau walinya dapat menentukan siapa yang menjadi jodohnya. Kemudian tradisi ini diubah oleh Nabi Muhammad SAW. Meskipun Islam memberikan hak pilih yang bebas dalam mencari pasangan, namun terdapat rambu-rambu yang diberikan agar tidak salah dalam memilih suami ataupun istri,misal dilarang menikahi orang musyrik, dilarang menikahi orang yang termasuk dalam kategori mahram (yang tidak boleh dinikahi menurut syar’i) ,dan dilarang menikahi pezina dan orang-orang yang berperilaku keji (QS An-Nisa’/4:23-24,An-Nur/24:3 dan 26).
2.
Prinsip Mawaddah wa Rahmah (Cinta dan Kasih Sayang). Mawaddah dan rahmah ini hanya dikhususkan kepada manusia, bukan kepada mahluk lainnya. Perkawinan pada mahluk lain, seperti pada tumbuh-tumbuhan dan binatang, tujuannya adalah semata-mata untuk menjamin kelangsungan perkembangbiakan mereka jadi penekanannya untuk berkembangbiak. 123 124
Muhammad Amin Suma, Op.Cit, hal.93-94 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal 11-15
Universitas Sumatera Utara
52
Perkawinan manusia, meskipun mengandung tujuan untuk berkembang biak, namun yang hakiki adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. 3.
Prinsip Saling Melengkapi dan Melindungi. Prinsip ini ditemui dalam QS Al-Baqarah ayat 187: “..Istri-istri kamu (para suami) adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka.” Mengisyaratkan bahwa sebagai laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki kelemahan dan keunggulan. Tidak ada yang sempurna dalam segala hal, sebaliknya tidak ada pula yang serba kekurangan. Karena itu dalam kehidupan suami istri, manusia saling membutuhkan. Masing-masing harus dapat berfungsi memenuhi kebutuhan pasangannya ibarat pakaian menutupi tubuh.
4.
Prinsip Mu’asyarah bil-Ma’ruf (Memperlakukan Istri dengan Sopan) Setiap suami dalam kehidupan rumah tangga harus menetapkan satu pilihan diantara dua pilihan: pertama memenuhi semua hak istrinya dan melaksanakan segala kewajiban dengan sopan santun dan kedua, memutuskan ikatan perkawinan dan membebaskan istrinya secara ma’ruf (dengan cara-cara yang patut dan sopan). Perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian yang suci antara seorang
pria dan seorang wanita yang memiliki segi-segi hukum perdata. Asas-asas hukum perkawinan Islam adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kebebasan memilih pasangan, kemitraan suami istri, untuk selama-lamanya dan monogami terbuka:125 a. Asas kesukarelaan Asas kesukarelaan merupakan azas terpenting dalam perkawinan Islam. Kesukarelaan tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami istri tetapi juga
125
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Radja Grafindo Persada, Jakarta,2004, hal 139-141
Universitas Sumatera Utara
53
antara kedua orang tua calon mempelai. Kesukarelaan orang tua adalah sendi asasi perkawinan Islam.126 b. Asas Persetujuan Kedua Belah Pihak Persetujuan perkawinan itu pada dasarnya tidaklah sama dengan persetujuanpersetujuan yang lain, misal: persetujuan jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain-lain. Perbedaan antara persetujuan perkawinan dan persetujuan-persetujuan yang lainnya adalah bahwa dalam persetujuan biasa para pihak pada pokoknya menentukan sendiri isi dari persetujuannya itu, asal persetujuan itu tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum. Sebaliknya dalam suatu perkawinan sudah sejak semula ditentukan oleh hukum, isi dari persetujuan antara suami istri itu. Apabila seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama kain berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hakhak masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai kedudukannya dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya. Juga dalam menghentikan perkawinan, suami istri tidak leluasa penuh untuk menghentikan sendiri syarat-syarat untuk penghentian itu, melainkan terikat juga pada peraturan hukum tentang itu127. c. Asas Kebebasan Memilih Pasangan Perkawinan itu tidak boleh dipaksakan. Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang perempuan perawan datang kepada Nabi Muhammad SAW dan menceritakan bahwa bapaknya telah mengawinkannya dengan seorang laki-laki, sedangkan ia tidak mau 126
Sylvana Amelia Fauzi, Tesis Penyelesaian Sengketa Wali Adhal dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, 2012, hal.66-67 127 Prodjodikoro R. Wirjono, Op.Cit, hal.8
Universitas Sumatera Utara
54
(tidak suka), sehingga Rasulullah menyerahkan keputusan itu kepada gadis itu, apakah ia mau meneruskan perkawinan itu atau minta cerai. Menurut hukum Islam, pernikahan merupakan akad (perjanjian) yang didasarkan pada kesukarelaan kedua belah pihak calon istri dan suami. Karena pihak wanita tidak langsung melaksanakan ijab, diisyaratkan izin atau persetujuannya sebelum pernikahan dilaksanakan. Adanya syarat ini berarti tidak boleh pihak ketiga (yang melaksanakan ijab) memaksakan kemauannya tanpa persetujuan calon istri. d. Asas Kemitraan Suami Istri Dengan terlaksananya akad nikah maka seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak dan kewajiban, demikian juga seorang perempuan yang menjadi istri dalam suatu perkawinan memperoleh berbagai-bagai hak pula. Disamping itu mereka pun memikul pula kewajiban-kewajiban sebagai akibat dari mengikatkan diri dalam perkawinan. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri. e. Asas Untuk Selama-Lamanya Pernikahan bukanlah untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat namun untuk seumur hidup. Oleh karena itu seseorang harus menentukan pilihan pasangan hidupnya secara hati-hati dan dilihat dari berbagai segi. Pernikahan dilaksanakan untuk selama-lamanya tanpa ada jangka waktu.
Universitas Sumatera Utara
55
Adapun karena prinsip pernikahan dalam Islam untuk selamanya dan bukan untuk masa tertentu, maka Islam tidak membenarkan: 1. Akad nikah yang mengandung ketentuan pembatasan waktu pernikahan, misal: tiga bulan atau satu tahun. 2. Nikah Mut’ah. Nikah Mut’ah yang disebut juga Ziwaj Muaqqat dan Ziwaj Munqathi hukumnya adalah haram, artinya nikah yang ditentukan untuk sesuatu waktu tertentu, atau perkawinan yang terputuskan. Nikah Mut’ah (nikah sementara) merupakan bentuk perkawinan terlarang yang dijalin dalam tempo tertentu bagi seseorang
agar
dapat
bersenang-senang
untuk
melepaskan
keperluan
syahwatnya. Diriwayatkan pula oleh Ali bin Abi Thalib : “Aku telah menjelaskan kepada Ibnu Abbas pada waktu perang Khaibar: “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang Mut’ah (kawin sementara) dan makan daging keledai.”128 3. Nikah Muhallil Nikah Muhallil ialah nikah yang dilakukan oleh seseorang terhadap seorang wanita yang telah dicerai oleh suaminya yang pertama setelah selesai masa iddahnya. Wanita tersebut dikumpuli dan diceraikan oleh suami keduanya agar dapat menikah kembali dengan suami pertamanya. Terlaksananya nikah
128
Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadist-Hadist Muttafaq’Alaih, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal.63
Universitas Sumatera Utara
56
Muhallil itu ada unsur perencanaan dan bukan untuk niat selamanya. Hukum pernikahan itu haram dan akibatnya tidak sah, tidaklah batal wanita yang telah dicerai oleh Muhallil (orang yang melangsungkan pernikahan kedua tersebut) untuk menikah dengan suami pertamanya. Hadist Nabi Muhammad SAW riwayat Ahmad dari Abu Hurairah artinya: “Allah melaknati orang yang menghalalkan (muhallil) dan orang yang dihalalkan baginya (muhallalah).”129 4. Nikah Syighar Nikah syighar ialah seorang wali menikahkan putrinya dengan seorang laki-laki dengan syarat agar laki-laki tersebut menikahkan putrinya dengan si wali tanpa membayar mahar. Rasulullah SAW melarang pernikahan seperti itu sebagaimana sabdanya: Dari Ibnu Umar, katanya: Rasulullah SAW melarang kawin syighar. Kawin syighar yaitu seorang laki-laki berkata kepada laki-laki (lain): Kawinkanlah putrimu atau saudara perempuanmu dengan saya, nanti saya kawinkan kamu dengan putriku atau saudara perempuanku dan (perkawinan) keduanya tanpa mahar .(HR.Ibnu Majah)130 f. Asas Monogami Terbuka Monogami bermakna perkawinan dengan seorang perempuan saja pada satu waktu.131Monogami merupakan asas perkawinan dalam hukum Islam. Asas ini terdapat dalam Q.S.4:3 yang berbunyi:
129
Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Prenada Media, Jakarta, 2003, hal.40 Ibid,hal.42 131 Osman Raliby, Kamus Internasional, Bulan Bintang, Jakarta, hal.360 130
Universitas Sumatera Utara
57
“…..jika kamu takut tidak dapat berlaku adil di antara istri-istri kamu itu, seyogyanya kamu mengawini seorang wanita saja, sebab kawin dengan seorang wanita saja lebih baik bagimu agar kamu tidak berbuat aniaya.”132 Maksud anjuran Allah SWT untuk beristri satu saja adalah untuk menghindari perbuatan sewenang-wenang dan membuat orang lain menderita apabila beristri lebih dari satu. Laki-laki boleh memiliki istri maksimal empat orang apabila bisa berlaku adil diantara istri-istrinya. Poligami hanyalah untuk keadaan darurat dan terhindar dari dosa. Pernikahan seorang suami dengan lebih dari dari seorang istri, walaupun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Menurut M.Yahya Harahap asas-asas yang dipandang cukup prinsip dalam UU Perkawinan adalah:133 1. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini. Undang-undang Perkawinan menampung di dalamnya segala unsur-unsur ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. 2. Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Maksud dari perkembangan zaman adalah terpenuhinya aspirasi wanita yang menuntut adanya emansipasi, disamping perkembangan sosial ekonomi, ilmu pengetahuan tekhnologi yang telah membawa implikasi di segala lapangan hidup dan pemikiran. 3. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal. Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama, suami istri saling bantu membantu serta saling lengkap melengkapi. Kedua, masing-masung dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan kepribadian itu suami istri itu harus saling membantu. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material. 132 Neng Djubaidah, Sulaikin Lubis, Farida Prihartini, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, PT.Hecca Mitra Utama, Jakarta, 2005, hal.97 133 Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, (Mimbar Hukum No.4 Tahun II), Yayasan al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Departemen Agama, Jakarta, 1991, hal.27-29
Universitas Sumatera Utara
58
4. Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga Negara bangsa Indonesia yaitu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Hal ini merupakan crusial point yang hampir menenggelamkan undang-undang ini. Di samping itu perkawinan harus memenuhi administratif pemerintahan dalam bentuk pencatatan (akta nikah). 5. Undang-undang perkawinan menganut asas monogami akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya mengizinkannya. 6. Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya. 7. Kedudukan suami istri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Menurut Asaf A.A. Pyzee tiga aspek yang dikandung dalam sebuah pernikahan: a.
Sisi hukum, bahwa pernikahan bukan hanya sekedar untuk keabsahan melakukan persetubuhan, tetapi lebih jauh dari itu bertujuan untuk mencapai sesuatu yang lebih luhur karena sutu pernikahan itu dipandang sebagai sebuah perikatan atau kontrak.
b.
Secara sosial, bahwa pernikahan itu sendiri berhasil untuk mengangkat derajat seorang wanita ke tingkat yang lebih tinggi di masyarakat dengan kondisinya sebelum melangsungkan pernikahan.
c.
Dilihat dari sudut pandang agama bahwa pernikahan itu merupakan sesuatu yang suci dan sakral, untuk itu pernikahan harus dilakukan oleh orangorang yang suci agar tujuan pernikahan yang luhur dapat tercapai. Lebih penting dari itu, dalam kacamata agama bahwa pernikahan merupakan langkah awal untuk membentuk keluarga sebagai asas masyarakat.
Adapun dari sisi ini sehingga dapat dipahami bahwa pernikahan sebagai langkah awal untuk membentuk keluarga yang selanjutnya kumpulan keluarga inilah yang akan membentuk warga masyarakat yang pada akhirnya menjadi sebuah negara.
Universitas Sumatera Utara
59
Dapatlah disimpulkan apabila suatu pernikahan itu dilangsungkan
sesuai
dengan peraturan agama dan perundang-undangan, maka bisa dipastikan akan terbentuk keluarga-keluarga yang baik, sehingga negara pun akan menjadi baik. D. Pengertian Wali Nikah Pengertian wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya ia bertindak terhadap dan atas nama orang lain itu adalah karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau atas dirinya. Secara etimologis, perwalian (al-wilayah) adalah pertolongan dan kemampuan. Menurut etomologi, wali mengandung dua makna; penolong atau orang yang mewakilkan urusan seseorang.134 Perwalian (al-wilayah) menurut para fuqaha adalah kekuatan syariah yang membuat pemiliknya dapat melaksanakan sebuah akad dan segala tindak lanjutnya, tanpa harus mendapatkan izin dari pihak lain, baik akad itu untuk dirinya sendiri atau orang lain, baik apakah hal itu tentang urusan umum seperti tanggungan hakim, atau tentang urusan khusus seperti orang tua pada anaknya atau orang waras terhadap orang gila. Secara terminologi (istilah) yang dimaksud perwalian ialah kekuasaan melakukan akad dan transaksi, baik akad maupun akad lainnya tanpa ketergantungan kepada orang lain. Para Fuqaha (ahli hukum Islam) membagi perwalian atas diri 134
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.Cit, hal 177
Universitas Sumatera Utara
60
pribadi dan atas harta (kekayaan). Perwalian atas diri pribadi dimaksud adalah kekuasaan melakukan akad (perkawinan) tanpa ketergantungan kepada pihak lain, dan atas harta kekayaan ialah kekuasaan/kewenangan mengurusi akad yang berkaitan dengan harta/kekayaan yang dimiliki oleh yang dibawah perwalian tanpa ketergantungan kepada orang lain135. Sayid Sabiq mengemukakan bahwa secara umum yang dimaksud dengan wali adalah ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya136. Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf h perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua. Perwalian yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan wali. Wali mempunyai banyak arti, antara lain:137 1. Orang yang menurut hukum (agama dan adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak tersebut dewasa. 2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki). 3. Orang saleh (suci), penyebar agama. 4. Kepala pemerintah dan sebagainya. Dalam pernikahan, wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu
135 Marahalim, Tesis Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Program Studi Magister Hukum USU, Medan, 2007, hal.8 136 Sayid Sabiq, Fiqhus Sunah, terjemahan Moh.Thalib, PT.Al Maarif, Jilid 728, Bandung ,1994, hal.1 137 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Prenada Media Jakarta, 2003, hal.165
Universitas Sumatera Utara
61
pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya138. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah yang dimaksud wali dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi kemaslahatannya sendiri.139 Sementara Zahri Hamid menjelaskan bahwa wali nikah adalah seorang laki-laki yang dalam suatu akad nikah berwenang mengijabkan pernikahan calon mempelai perempuan, adanya wali nikah itu merupakan rukun yang dipenuhi dalam suatu akad perkawinan.140 1.
Pembagian Wali Nikah Ada beberapa pembagian wali Nikah yang didasarkan atas: a. Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 ayat (2) menyebutkan hanya dua
macam wali nikah yang terbagi atas : 1.
Wali Nasab Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, dimana kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai urutan kekerabatan dengan calon mempelai perempuan.
138
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ,Op.Cit, hal.69 Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqhu Madzahibil al-Khamasah, terjemahan Afif Muhammad,cetakan kesatu,Basrie Press,Jakarta,1994, hal 35 140 Zahri Hamid, Beberapa Masalah tentang Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Secara Sosiologi Hukum, PT.Pradnya Paramita, Cetakan kesatu , Jakarta, 1987, hal.29 139
Universitas Sumatera Utara
62
2.
Wali Hakim yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.
b. Menurut Kekuasaannya Wali-wali ini apabila dipandang dari kekuasaannya dapat dibagi yaitu: 141 1. Wali Mujbir yaitu wali yang terdiri dari ayah atok hingga ke atas. 2. Wali Ghairu Mujbir yaitu wali yang terdiri selain yang disebut di atas tadi yaitu: a. Saudara laki-laki seibu sebapak. b. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapak. c. Saudara laki-laki seibu. d. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak. e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu. 3. Wali Hakim yaitu kepala Negara Islam atau pejabat yang ditunjukkan olehnya, dan yang ketiga ini (hakim) apabila betul-betul tidak ada wali yang yang tadi, ataupun ashabah-ashabah tidak ada, maka berpindahlah wali itu kepada Hakim (qadhi) sesuai menurut Hadistt Rasulullah SAW yang berbunyi: Tidak nikah seseorang kecuali dengan adanya wali dan Hakim yang menjadi Wali apabila tidak ada wali untuknya, dikeluarkan oleh Tabrani. Dalam menetapkan wali nasab terdapat beda pendapat diantara kalangan ulama. Beda pendapat ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari Nabi, sedangkan Al-Qur’an tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yang berhak menjadi wali.142 c. Menurut izin Perwalian dalam nikah adalah kekuatan untuk melangsungkan akad nikah yang terlaksana tanpa tergantung pada izin seseorang. Perwalian ini ada dua macam:143 1. Perwalian terbatas dalam akad nikah 141
Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap, Op.Cit, hal.74 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.75-76 143 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.Cit, hal.177 142
Universitas Sumatera Utara
63
Perwalian terbatas adalah kekuatan seseorang untuk menikahi dirinya sendiri tanpa tergantung pada izin seseorang. Para fuqaha bersepakat bahwa hal itu berlaku bagi seorang laki-laki dewasa yang berakal. Apabila ia menikahkan dirinya kepada yang ia kehendaki maka nikahnya sah dan orang lain tidak berhak menolak, baik ia menikah dengan mas kawin matsal atau lebih dari itu. Baik ia menikah dengan orang yang setara dengannya ataupun tidak. 2. Perwalian yang tidak terbatas dalam pernikahan Adapun perwalian yang tidak terbatas adalah seseorang yang berhak menikahkan orang lain secara paksa. Perwalian seperti ini dinamakan juga dengan perwalian paksa (wilayah ijbar). Menurut Mazhab Hanafi, ada jenis lain dari perwalian ini yang disebut sebagai perwalian sunah, yaitu perwalian terhadap perempuan dewasa yang berakal, perawan atau janda. Menurut mazhab ini perempuan berhak mewalikan dirinya sendiri untuk menikah. Namun dianjurkan akad tersebut diwakilkan oleh walinya. Para fuqaha lain menamakan perwalian ini dengan sebutan perwalian bersama (wilayah syirkah). Hal ini dikarenakan apabila si perempuan janda, ia turut serta dengan walinya untuk memilih suami, kemudian sang walilah yang berhak untuk melangsungkan akad nikah, karena menurut mereka janda tidak boleh melangsungkan akad nikah sendiri.144 Penyebab perwalian tidak terbatas yaitu:145 1. 2.
3.
4.
144 145
Kepemilikan, yaitu hamba yang dimiliki, baik laki-laki atau perempuan. Kerabat kandung, yaitu hubungan yang mengikat seseorang dengan kerabat kandung. Misal perwalian bapak atas anaknya dan perwalian saudara laki-laki atas keponakannya. Kerabat secara hukum, terdiri atas dua macam yaitu: a. Hubungan antara seorang majikan dengan orang yang dimerdekakannya. b. Kesepakatan antara dua orang sahabat yang bukan kerabat untuk saling menolong. Kepemimpinan, yaitu tanggungan seorang pemimpin masyarakat atau wakilnya untuk menikahkan anak kecil. Pemimpin tersebut juga bisa mewakilkannya kepada siapa saja dari wakilnya yang dikendaki, seperti hakim atau wakilnya dapat menikahkan seorang perempuan kepada orang yang setara dengannya ketika para walinya enggan untuk menikahkannya, atau terbukti telah berselisih dengannya.
Ibid, hal.184 Ibid, hal.185
Universitas Sumatera Utara
64
d. Menurut Jumhur Ulama Jumhur ulama yang terdiri dari Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah membagi wali itu atas dua kelompok:146 1.
2.
Wali dekat atau wali qarib atau wali aqrab yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Ia dapat mengawinkan anaknya yang masih berada dalam usia muda tanpa minta persetujuan dari anaknya tersebut. Wali dalam kedudukan seperti ini disebut wali Mujbir. Wali jauh atau wali ab’ad yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu, karena anak menurut jumhur ulama tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari segi dia adalah anak, bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh dia mengawinkan ibunya sebagai wali hakim. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:147 a. Saudara laki-laki kandung b. Saudara laki-laki seayah c. Anak saudara laki-laki kandung d. Anak saudara laki-laki seayah e. Paman kandung f. Paman seayah g. Anak paman kandung h. Anak paman seayah i. Ahli waris kerabat lainnya kalau ada
Ulama Hanafi menempatkan seluruh kerabat nasab baik sebagai ashabah dalam kewarisan atau tidak sebagai wali nasab, termasuk zaul arham. Menurut mereka yang mempunyai hak ijbar bukan hanya ayah dan kakek tetapi semua mempunyai hak ijbar, selama yang dikawinkan itu adalah perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya. Berbeda dengan pendapat jumhur ulama, anak dapat menjadi wali terhadap ibunya yang akan nikah.148
146
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.75-76 Ibid, hal.76 148 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia , Op.Cit, hal.76 147
Universitas Sumatera Utara
65
Ulama Maliki menempatkan seluruh kerabat nasab yang ashabah sebagai wali nasab dan membolehkan anak mengawinkan ibunya, bahkan kedudukannya lebih utama dari ayah atau kakek. Berbeda dengan ulama Hanafi golongan ini memberikan ijbar hanya kepada ayah saja dan menempatkannya dalam kategori wali aqrab.149 2.
Orang-Orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah Masa sebelum agama Islam datang, semua wanita yang belum bersuami pada
umumnya berada di bawah kekuasaan dan pengaruh kaum kerabat laki-laki dari pihak ayah, yang pada waktu itu mempunyai kekuasaan, menetapkan wanita yang dikuasainya dan menyerahkan kepada seorang pria untuk dijadikan istri meski sang wanita tidak setuju namun tak berdaya untuk melakukan penolakan. Agama Islam membawa ketentuan-ketentuan baru, dimana seorang wanita dimintai izin dan persetujuannya untuk dinikahkan dengan seorang pria tertentu, meski yang menikahkannya adalah wali yang terdiri dari keluarga laki-laki dari pihak ayah. Hanya ayah dan kakeklah (ayah dari ayah) yang mempunyai kekuasaan untuk memberikan penekanan tentang persyaratan-persyaratan tertentu. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa orang-orang yang berhak menjadi wali adalah :150 1. Ayah, kakek dan seterusnya keatas dari garis laki-laki. 2. Saudara laki-laki kandung (seayah seibu) atau seayah 3. Kemanakan laki-laki kandung atau seayah (anak laki-laki saudara laki-laki kandung atau seayah) 4. Paman kandung atau seayah (saudara laki-laki paman kandung atau seayah) 5. Sultan (penguasa tertinggi) yang disebut juga hakim (bukan Qadli, hakim pengadilan) 6. Wali yang diangkat oleh mempelai bersangkutan, yang disebut wali muhakkam. 149 150
Ibid A.Hamid Sarong, Op.Cit, hal.75
Universitas Sumatera Utara
66
Diantara wali nasab tersebut ada yang berhak memaksa (ijbar) gadis dibawah perwaliannya untuk dinikahkan dengan laki-laki tanpa izin gadis yang bersangkutan. Wali yang mempunya hak memaksa tersebut disebut wali mujbir. Wali mujbir hanya terdiri dari ayah dan kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang paling besar kasih sayangnya kepada perempuan dibawah perwaliannya. Selain mereka tidak berhak ijbar. Wali mujbir yang akan menikahkan perempuan gadis di bawah perwaliannya tanpa izin gadis bersangkutan diisyaratkan:151 a. b. c. d. e.
Laki-laki pilihan wali harus kufu (seimbang) dengan gadis yang dinikahkan. Antara wali mujbir dan gadis tidak ada permusuhan. Calon istri dan calon suami tidak ada permusuhan. Calon suami harus sanggup membayar mas kawin dengan tunai. Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap istri dengan baik, dan tidak terbayang akan berbuat sesuatu yang mengakibatkan kesengsaraan istri. Agama memang mengakui wali mujbir memiliki kewenangan memaksakan
memaksakan ijab akad nikah anak perempuannya yang belum dewasa selagi masih Islam. Dalam hal ini fuqaha sependapat. Menurut Mazhab Maliki, pemilihan pasangan oleh wanita muslim tergantung pada daya kuasa ijbar yang diberikan ayahnya atau walinya. Apabila ayah atau wali si wanita mendapatkan bahwa dalam usianya yang belum matang itu si wanita sudah sangat ingin menikah dengan seorang laki-laki yang memiliki sifat buruk, atau memiliki harta yang memadai untuk nafkah hidupnya, maka wali tersebut boleh menghalanginya untuk menikah dengan laki-laki tersebut dan dapat mencarikan orang yang cocok untuk menjadi suaminya lalu menikahkannya dengan laki-laki tersebut.152
151 152
Ibid, hal.77 Abdul Rahman I.Doi, Op.Cit, hal.16-17
Universitas Sumatera Utara
67
Wali yang lebih jauh hanya berhak menjadi wali apabila wali yang lebih dekat tidak ada atau tidak memenuhi persyaratan wali. Apabila wali yang lebih dekat sedang bepergian atau tidak ada ditempat, wali yang lebih jauh hanya dapat menjadi wali bila mendapat kuasa dari wali yang lebih dekat. Apabila pemberian kuasa tersebut tidak ada maka perwalian pindah kepada sultan (Kepala Negara) ataupun yang diberi kuasa oleh Kepala Negara. Di Indonesia, Kepala Negara adalah Presiden yang telah memberi kuasa kepada para Pegawai Pencatat Nikah untuk bertindak sebagai wali hakim. Satu hal yang harus diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan wali hakim bukan wali pengadilan. Meskipun demikian hakim pengadilan (Pengadilan Agama) dimungkinkan juga bertindak menjadi wali hakim apabila memang memperoleh kuasa dari Kepala Negara cq Menteri Agama.153 Dalam keadaan tertentu, apabila wali nasab tidak dapat bertindak sebagai wali karena tidak memenuhi persyaratan atau menolak menjadi wali sementara wali hakim tidak dapat bertindak sebagai pengganti wali nasab karena adanya berbagai sebab, maka untuk memenuhi sahnya nikah, mempelai yang bersangkutan dapat mengangkat seseorang menjadi walinya. Wali yang diangkat oleh mempelai yang bersangkutan disebut Wali Muhakkam. F. Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam 1.
Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam Adapun yang dimaksud dengan perwalian seperti yang dikemukakan dalam
terminologi para pakar hukum Islam seperti Wahbah Al-Zuhayli ialah :
153
A.Hamid Sarong, Op.Cit, hal.78
Universitas Sumatera Utara
68
“Kekuasaan/otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas seizin orang lain.” Orang yang mengurusi/menguasai sesuatu (akad/transaksi) disebut wali seperti dalam penggalan ayat; fal-yumlil waliyyuhu bil-adli. Kata al-waiyy muannatsnya al waliyyah dan jamaknya al-awliya, berasal dari kata wala- yali-walyan-wa-walayatan, secara harfiah berarti yang mencintai, teman dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh dan orang yang mengurus perkara (urusan seseorang).154 Berdasarkan pengertian kata wali di atas, dapatlah dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam menetapkan bahwa orang yang paling berhak untuk menjadi wali bagi kepentingan anaknya adalah ayah. Alasannya, karena ayah adalah orang yang paling dekat, siap menolong, bahkan selama itu mengasuh dan membiayai anakanaknya. Apabila tidak ada ayah, maka hak perwaliannya digantikan oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah. Islam telah menjelaskan kewajiban orang tua serta anak dan keturunannya. Orang tua bertanggung jawab atas pendidikan dan perawatan anak-anaknya. Sehingga pada gilirannya kelak bertanggung jawab melindungi dan membantu orang tuanya bila mereka membutuhkannya pada saat usia mereka senja. Islam juga mengajarkan agar anak berbuat baik kepada orang tuanya yang menjadi perantaraan lahirnya didunia yang telah mengasuh sejak kecil dengan pengorbanan dan rasa kasih sayang. Tidak ada orang tua yang tidak merindukan kebahagiaan anaknya. Apabila terjadi ketegangan suami istri yang tidak mudah diselesaikan sendiri, keluarga masing-masing dapat bertindak sebagai penengah untuk 154
Muhammad Amin Suma, Op.Cit,hal 135
Universitas Sumatera Utara
69
mendamaikan ketegangan tersebut. Hal ini hanya dapat terlaksana apabila pihak masing-masing orang tua menyetujui pernikahan anak-anak mereka. Keberadaan wali dalam akad nikah tidak lebih dari sekedar penguat transaksi tersebut dan bertanggung jawab penuh terhadap pernikahan sebelum dan sesudahnya.155 Wali harus merupakan laki-laki karena laki-laki memikul beban dan tanggung jawab dalam rumah tangga. Bila pasangan suami istri tidak mampu melanjutkan rumah tangganya dan terpaksa harus bercerai dengan suaminya, maka perempuan tersebut akan kembali kepada perlindungan ayahnya (wali). Menurut fiqih Islam, perkawinan itu sah apabila sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Adapun yang dimaksud dengan syarat yaitu: sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut.156 Rukun yaitu: sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,157 Adapun yang menjadi syarat perkawinan ialah adanya kata sepakat diantara pihak-pihaknya, calon istri sudah baligh atau dewasa dan tidak ada hubungan atau halangan yang dapat merintangi perkawinannya. Sedangkan yang menjadi rukun perkawinan ialah adanya calon pengantin, adanya wali nikah, adanya dua orang saksi dan adanya ijab qabul. Jadi wali nikah merupakan salah satu rukun perkawinan.
155
Abu Yasid, Fiqh Today:Fatwa Tradisionalis untuk Orang Modern, Erlangga, Jakarta, 2007,
hal.99 156 157
Tihami dan Sohari Sahrani, Op.Cit, hal.12 Ibid
Universitas Sumatera Utara
70
Imam Maliki dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wali adalah salah satu rukun perkawinan dan tidak ada perkawinan kalau tidak ada wali.158 Mahzab Hanafi dan Hambali menganggap izin wali hanya sebagai suatu syarat saja. Kedua mazhab ini justru lebih menekankan pentingnya ijab dan qabul.159 Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut. Dalam kedudukannya sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam melakukan akad terdapat beda pendapat di kalangan ulama. Terhadap mempelai yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan para ulama sepakat untuk mendudukkannya sebagai rukun atau syarat dalam akad perkawinan. Alasannya ialah bahwa mempelai yang masih kecil tidak dapat melakukan akad dengan sendirinya dan oleh karenanya akad tersebut dilakukan oleh walinya. Menurut Mazhab Hanafi, pernikahan seorang anak perempuan atau laki-laki yang masih di bawah umur adalah sah, baik apakah anak perempuan itu gadis atau Thayyibah, asalkan walinya adalah salah seorang dari ashabah (keluarga dari pihak ayah). Imam Maliki hanya mengakui pernikahan itu apabila walinya adalah ayahnya. Sedangkan Imam Syafi’i hanya menerima pernikahan semacam itu apabila walinya ayah atau kakek. Menurut pendapat Hanafi adalah apabila anak dinikahkan oleh seorang wali yang bukan ayah atau kakeknya, maka setelah dewasa berhak untuk menolak pernikahan tersebut.160 Nabi Muhammad SAW telah bersabda :
158
Mahmud Junus, Perkawinan Dalam Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1994, hal.53 Abdul Rahman I. Doi, Op.Cit,hal.43 160 Abdul Rahman I. Doi, Op.Cit,hal.45 159
Universitas Sumatera Utara
71
“Janda dan wanita yang dicerai tidak boleh dinikahkan sampai izinnya diperoleh, dan anak gadis tidak boleh pula dinikahkan sampai perkenannya didapatkan”. (H.R. Bukhari).161 Selain itu Hadist artinya: “Bila seseorang lelaki menikahkan anak gadisnya sedangkan si anak tak menyukainya, maka pernikahan itu harus dibatalkan”. (H.R. Bukhari).162 Diriwayatkan dari Aisyah radhiayallahu’anha, dia telah berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang seorang Jariah yang akan dikawinkan oleh keluarganya. Apakah dia perlu dimintai persetujuannya atau tidak? Lalu Rasulullah SAW memberitahu kepada Aisyah: “Ya! Hendaklah diminta persetujuannya.” Lalu Aisyah menyambung lagi: “Aku memberitahu lagi kepada beliau bahwa Jariah itu seorang pemalu.” Rasulullah SAW menjawab: “Persetujuannya ialah apabila ia diam.”163 Namun terhadap perempuan yang telah dewasa baik ia sudah janda atau masih perawan, ulama berbeda pendapat. Beda pendapat itu disebabkan oleh karena tidak adanya dalil yang pasti yang dapat dijadikan rujukan. Hadist Rasulullah SAW yang disampaikan oleh Abu Musa bahwa tidak ada nikah dengan tidak adanya wali dari pihak perempuan baik wali Mujbir, wali Ab’ad atau wali Hakim. Hal ini membuktikan bahwa perkawinan baru dianggap sah apabila adanya wali-wali tersebut di atas, justru karena itu tergantung sah atau tidaknya adalah pada wali dan saksi. Zakaria al Bari menyebutkan dalam kitabnya yang berbunyi sebagai berikut :
161
Ibid Ibid 163 Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Op.Cit, hal.40 162
Universitas Sumatera Utara
72
“Kemudian sesudah mereka mengambil dalil-dalil yang menunjukkan atas syarat sahnya perkawinan yaitu wali, oleh karena itu Nabi mengatakannya: Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi dan Rasul mengatakan pula bagaimanapun perempuan yang mau menikah, ia dengan tanpa adanya wali maka nikahnya itu batal dan berkata pula Rasullulah SAW, tidak boleh perempuan mengawinkan dirinya sendiri.”164 Dalam beberapa ayat Al’Quran tertentu tidak ada disebutkan sama sekali tentang wali. Sebagai contoh “Apakah kamu mentalak istrimu lalu habis masa Iddahnya, maka janganlah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya bila terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf (QS al–Baqarah: 232). Namun ada ayat lain membicarakan tentang perlunya wali dan keputusannya yang seksama. Misalnya seorang Thayyibah (seorang wanita yang telah mendambakan suami), Al Qur’an menyebutkan: “Dan janganlah wanita Mukmin menikah dengan seorang Musyrik sampai mereka beriman.” (QS al Baqarah:221) Ayat ini tak diragukan lagi ditujukan kepada para wali yang karenanya tidak berhak memberikan izin dalam kasus sedemikian itu.165 Ulama Hanafi berpendapat sah pernikahan yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz dan safih (belum dapat mengendalikan urusannya) jika dibenarkan oleh walinya. Pernikahan tidak sah kecuali ada wali laki-laki. Oleh karena itu jika seorang perempuan mengakadkan dirinya sendiri untuk menikah maka pernikahannya tidak sah. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri dan boleh pula mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan dirinya jika ia telah diperbolehkan menggunakan hartanya. Juga tidak boleh ia dihalang-halangi kecuali jika menikah dengan orang yang tidak sekufu dengannya. Jika demikian maka walinya boleh menghalanginya. Maliki berpendapat jika perempuan itu mempunyai kemuliaan (bangsawan) dan cantik serta digemari orang maka pernikahannya tidak sah kecuali ada wali. Sedangkan jika keadaannya tidak demikian maka ia boleh dinikahi orang lain yang bukan kerabat dengan kerelaan dirinya.166
164
Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap, Op.Cit, hal.79-80 Ibid, hal.87 166 Syaikh al’Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, Hasyimi Press, Bandung, 2010, hal.339 165
Universitas Sumatera Utara
73
Imam Abu Hanifah memberikan kebebasan kepada anak gadis yang telah mencapai usia baligh untuk menikah berdasarkan pilihannya, namun izin wali tetap merupakan salah satu syarat pernikahan. Imam Abu Hanifah membantah bahwa wanita yang telah mencapai usia dewasa dapat mengatur hak miliknya tanpa merujuk pada seorang wali sehingga berhak untuk menentukan pilihannya, meskipun tidak dapat disangkal bahwa ada rasa segan pada anak gadis tersebut karena tidak memiliki pengalaman dengan lelaki dan perkara seperti yang dimiliki oleh janda atau wanita yang dicerai. Pemilihan suami yang cocok sepatutnya diserahkan pada persetujuan ayah atau wali lainnya yang akan menyelesaikan serta melindunginya dari penyesatan yang dilakukan oleh orangorang yang hanya memperturutkan hawa nafsunya. Berpulang itu semua karena pernikahan itu tergantung pada persetujuan si gadis, bukan pada izin walinya walau pada akhirnya dalam kenyataannya berkewajiban melindunginya, sehingga keinginan si gadislah yang harus didahulukan. 167 2.
Peranan Wali Nikah Menurut Kompilasi Hukum Islam Pernikahan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, sehingga
ketentuan hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan mengharuskan agar para pihak memenuhi berbagai persyaratan dalam penyelengaraannya. Adanya partisipasi keluarga untuk merestui pernikahan tersenut melalui adanya wali dalam pernikahan. Wali adalah kerabat terdekat laki-laki, dalam urutan ashabah, diikuti oleh orang yang memerdekakan hamba dan ashabah-nya. Jika mereka tidak ada, maka qadhi dapat bertindak sebagai wali.168 Wali mempelai wanita dapat mewakili keinginan orang yang berada di bawah perwaliannya apabila wanita tersebut belum cukup dewasa. Namun bila wanita itu sudah cukup dewasa, ia memiliki hak pembatalan. Adanya wali dalam pernikahan adalah syarat sahnya pernikahan, maka pernikahan tidak sah tanpa adanya wali. Beberapa Hadist Rasulullah artinya : 167 168
Abdul Rahman I.Doi,Op.Cit, hal.44 Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Nuansa, Bandung, 2010, hal.231
Universitas Sumatera Utara
74
“ Siapapun yang menikah tanpa ijin walinya, maka pernikahannya batal.” “Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lain, dan janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri”.169 Para ahli hukum Islam dikalangan mazhab Syafi’i, Malaki dan Hambali mengemukakan bahwa jika wanita yang telah baligh, berakal sehat dan dia masih gadis maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, tetapi bila ia janda maka hak itu ada pada keduanya, wali tidak boleh mengawinkan janda tersebut tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita itu tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu walinya. Pengucapan akad perkawinan adalah hak wali, jika akad itu diucapkan oleh wanita tersebut, akad itu tidak berlaku meskipun akad tersebut memerlukan persetujuannya.170 Adapun didalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan adalah seorang laki-laki nyang memenuhi syarat Islam yaitu muslim, aqil dan baligh. Di dalam pelaksanaan perkawinan, ijab (penyerahan) selalu dilaksanakan oleh wali mempelai perempuan sedangkan qabul (penerimaan) dilaksanakan oleh mempelai laki-laki. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang wali nikah secara eksplisit. Hanya dalam pasal 26 ayat (1) dinyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan dimuka Pegawai Catatan Nikah yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau perkawinan tidak dihadiri boleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh pihak keluarga dalam garis lurus keatas dari suami istri, jaksa. Secara implisit bunyi Pasal 26 Undang-undang Nomor 1 tahun
169
Muhammad Washfi, Mencapai Keluarga Barokah, Mitra Pustaka,Yogyakarta, 2005, hal.314 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal.60 170
Universitas Sumatera Utara
75
1974 ini mengisyaratkan bahwa perkawinan yang tidak dilaksanakan oleh wali, maka perkawinan itu dapat dibatalkan. Sehingga ketentuan ini harus dikembalikan kepada Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana ditegaskan bahwa ketentuan hukum agama adalah menjadi penentu dalam sah atau tidaknya suatu akad perkawinan. Ketentuan ini dipertegas lagi oleh Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa wali dalam suatu akad perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai perempuan yang bertindak untuk menikahkannya. Apabila ketentuan terakhir ini tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut tidak sah karena cacat hukum dalam pelaksanaannya. Sehingga perkawinan tersebut dapat dimintakan pembatalannya oleh Pengadilan Agama di tempat perkawinan tersebut dilaksanakan. Hikmah dari keharusan adanya wali bagi calon pengantin adalah kenyataan bahwa sebelum menikah, seorang anak diasuh, dididik dan dibiayai oleh orang tuanya. Atas dasar ini, maka ketika seorang perempuan hendak beralih ke pangkuan suami, sudah pada tempatnya jika yang menikahkannya adalah walinya. Selain untuk kebaikan diri pengantin perempuan itu sendiri, keberadaan perwalian juga merupakan salah satu sarana bagi pemeliharaan hubungan baik dengan keluarganya. Khususnya terhadap ayah yang selama ini bertanggung jawab terhadapnya.
Universitas Sumatera Utara