32
BAB III OBYEK KAJIAN TENTANG TALAK TERHADAP ISTRI DALAM KEADAAN HAIDL A. Pandangan Imam Madzhab Empat tentang Talak terhadap Istri dalam Keadaan Haidl 1. Imam Abu Hanifah Imam Abu Hanifah adalah pendiri madzhab Hanafi, Nama asli beliau adalah Abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi, beliau lebih terkenal dengann sebutan Abu Hanifah, Beliau masih mempunyai pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra.1 Imam Abu Hanifah di lahirkan di Kufah Pada tahun 80 H / 699M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Malik, kemudian Abu Hanifah menghabiskan masa kecil dan tumbuh menjadi dewasa di Kufah, sejak masih kanak-kanak beliau telah mengkaji dan menghafal Al-Qur’an. Beliau dengan tekun senantiasa menggulang-ulang bacaannya, sehingga ayat-ayat suci tersebut tetap terjaga dengan baik di dalam ingatannya, sekaligus menjadikan beliau lebih mendalami makna yang dikandung ayat-ayat tersebut, dalam hal memperdalam pengetahuannya tentang AlQur’an beliau sempat berguru kepada Asin, seorang ulama’ terkenal pada masa itu. Selain memperdalam Al-Qur’an beliau juga aktif mempelajari ilmu fiqh, dalam hal ini di kalangan sahabat rasul,di antaranya kepada
1
.Ahmad Djazuli, Ilmu Fiqh, ( Jakarta: Kencana, 2010 ), hlm 125
32
33
Anas bin Malik, Abdulloh bin Aufa dan Abu Tufail Amir, dan lain sebagainya. Dari mereka , beliau juga mendalami ilmu hadits.2 Keluaraga Imam Abu Hanifah sebenarnya adalah
keluarga
pedagang, beliau sendiri sempat terlibat dalam usaha perdagangan, namun hanya sebentar sebelum beliau memusatkan perhatian pada soal keilmuan.3 Beliau juga di kenal sebagai
orang yang sangat tekun dalam
mempelajari ilmu, sebagaimana gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama’ yang paling terpandang pada masa itu yaitu Humad bin Abu Sulaiman, tidak kurang selama 18 tahun lamanya, setelah gurunya wafat imam Abu Hanifah mulai mengajar di majlis ilmu di Kufah. Sepuluh tahun sepeniggal gurunya , yakni pada tahun 130H, Imam Abu Hanifah pergi meninggalkan Kufah menuju Makkah, beliau tinggal beberapa tahun lamanya di sana, dan di tempat itu pula beliau bertemu dengan seorang murid Abdulloh bin Abbas Ra. Selama hidupnya Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu’, dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim oleh Al-Mansur, karena beliau menolak tawaran itu beliau kemudian di penjara sampai meninggal. Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/ 767 M, Pada usia 70 tahun, beliau di makamkan di perkuburan khizra. Pada tahun 450 H/ 1066 2
Ibid. Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, ( Jakarta: Amza, 2011 ) hlm 15 3
34
M, kemudian didirikanlah sebuah sekolah yang di namakan Jami’ Abu Hanifah. Sepeniggalan beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak, Adapun murid-murid Abu Hanifah yang terkenal di antaranya adalah Abu Yusuf , Abdullah bin Mubarak, Waki’ bin Jarah Ibn Hasan Al-Syaibani, sedangkan kitab-kitab Abu Hanifah adalah sebagai berikut Al-Musuam (kitab-kitab hadits, di kumpulkan oleh muridnya), Al-Makharij (buku ini dinisbahkan kepada imam Abu Hanifah, diriwayatkan oleh abu yusuf), dan Fiqh Akbar ( kitab fiqh yang lengkap ) . Mengenai hukum talak ketika istri dalam keadaan haidl, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa talak tersebut sama halnya dengan mentalak istri dengan talak tiga pada satu masa suci. Bertambahnya talak dari satu adalah tindakan pemborosan, dan merupakan tindakan bid’ah. Jika suami melakukan hal semacam ini, maka jatuh talak, dan istri menjadi haram untuk suami dan merupakan orang yang berdosa dan bermaksiat. Sedangkan talak ini adalah sesuatu yang makruh tahrim karena larangan pada makna yang selain talak adalah hilangnya maslahah. Dengan demikian, talak yang dijatuhkan ketika istri dalam keadaan haidl adalah haram dan pelakunya dianggap berdosa dan bermaksiat, oleh karenanya harus dirujuk untuk menghindari kemaksiatan. 2. Imam Malik Bin Annas Imam Malik bin Annas adalah pendiri Madzhab Malik, beliau di lahirkan di Madinah, pada tahun 93 H, beliau berasal dari kabilah
35
yamaniah, sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majlis-majlis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Qur’an, tak kurang dari itu ibunya sendiri yang mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu, pada mulanya beliau belajar dari Rabi’ah, seorang ulama’ yang sangat terkenal pada waktu itu, selain itu beliau juga memperdalam hadits kepada Ibn Syihab, di samping itu juga mempelajari ilmu fiqh dari para sahabat. Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imam malik tumbuh sebagai seorang ulama’ yang terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadis dan fiqh. Bukti atas hal itu adalah ucapan Al-Dahlami ketika dia berkata: “ Malik adalah orang yang paling ahli dalam bidang hadis di Madinah, yang paling mengetahui keputusan-keputusan Umar, yang paling mengerti pendapat-pendapat Abdulloah bin Umar, Aisyah Ra, dan sahabat-sahabat mereka atas dasar itulah dia memberi fatwa. Apabila diajukan kepada suatu masalah, dia menjelaskan dan memberi fatwa”. Setelah mencapai tingkat yang tinggi dalam bidang ilmu, Imam Malik mulai mengajar, karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuannya, kepada orang yang lain membutuhkan, meski begitu beliau di kenal sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, beliau tak lupa untuk terlebih dahulu meneliti hadits-hadits Rasullulloh Saw, dan bermusyawaroh dengan ulama’ lain, sebelum memberikan fatwa atas suatu masalah.
36
Imam Malik di kenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat, beliau
mendengar tiga puluh satu hadits dari Ibn Syihab tanpa
menulisnya, ketika di minta mengulangi seluruh hadits tersebut tak satupun dilupakannya. Beliau benar-benar mengasah ketajaman daya ingatannya, terlebih karena pada masa itu masih belum terdapat suatu kumpulan hadits secara tertulis, karenanya karunia tersebut sangat menunjang beliau dalam menuntut ilmu. Selain itu beliau dikenal sangat ikhlas di dalam melakukan sesuatu, sifat inilah yang memberi kemudahan kepada beliau di dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Beliau sendiri pernah berkata: “ Ilmu adalah cahaya ia akan mudah dicapai dengan hati yang takwa dan khusyu”. Beliau juga menasehatkan untuk menghindari keraguan, ketika beliau berkata:” sebaik-baik pekerjaan adalah yang jelas. Jika engkau menghadapi dua hal, dan yang satunya meragukan, maka kerjakan yang lebih menyakinkan menurutmu”. Karena sifat ikhlasnya yang besar itulah, maka Imam Malik tampak enggan memberi fatwa yang berhubungan dengan soal hukuman, seorang muridnya, Ibnu Wahab berkata:” Saya mendengar Imam Malik (jika ditanya mengenai hukuman), beliau berkata: ini adalah urusan pemerintahan.” Imam Syafi’i sendiri pernah berkata:” ketika aku tiba di Madinah, aku bertemu dengan Imam Malik. Ketika mendengar suaraku, beliau memandang diriku beberapa saat, kemudian bertanya : Siapa namamu? Aku pun Menjawab: Muhammad! Dia berkata lagi: wahai
37
Muhammad, bertaqwalah kepada Allah, jauhilah maksiat karena ia akan membebanimu terus, hari demi hari”. Imam Malik adalah seorang ulama’ yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu hadits dan fiqh, beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang ilmu tersebut, dan Imam Malik bahkan telah menulis kitab Al-Muwattha’, yang merupakan kitab fiqh dan hadits, di samping itu juga fatwa-fatwa Imam Malik yang dikumpulkan oleh muridnya-muridnya, seperti Ibn Qosim dan Sahmun, telah tersusun menjadi sebuah kitab standar madzhab maliki. Di antara murid-murid kesayangannya adalah Muhammad bin Idris al-syafi’i yang dikenal dengan nama lain Imam Syafi’i. Imam Malik meninggal dunia di Madinah, yaitu pada tanggal 14 bulan Rabi’ul Awwal tahun 179 H, dan usia beliau pada saat itu 86 tahun, dan beliau di kebumikan di tanah perkuburan Al-Baqi’, kuburannya di pintu Al-Baqi’. Talak ketika istri dalam keadaan haidl menurut Imam Malik hukumnya adalah haram, dan diwajibkan untuk merujuknya kembali. Rujuk disini dilakukan sebagai upaya melanggengkan pernikahan, dan upaya melanggengkan pernikahan disini bersifat wajib dengan dalil pengharaman talak, dan rujuk dalam hal ini merupakan tindakan penahanan suami terhadap istrinya.
38
3. Imam al-Syafi’i Imam Syafi’i Adalah pendiri Madzhab Syafi’i, Nama asli beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdu Manaf. Silsilah Imam As-Syafi’i dari ayahnya bertemu dengan dengan silsilah Nabi Muhammad SAW pada Abdul Manaf, beliau dilahirkan di Ghaza, salah satu kota di Palestina pada tahun 150 H.4 Imam Syafi’i ketika berumur kurang lebih 10 tahun di bawa oleh ibunya ke Makkah, ketika itu beliau telah hafal Al-Qur’an, di Makkah beliau banyak mendapatkan hadits dari Ulama’-ulama’ hadits,
karena
ketekunannya sering memungut kertas-kertas yang telah di buang kemudian di pakainya untuk menulis,, ketika semangatnya
untuk
menuntut ilmu makin kuat dan menyadari bahwa Al-Qur’an itu bahasanya sangat indah dan maknanya sangat dalam, maka beliau pergi ke kabilah Hudzail untuk mempelajari dan mendalami sastra Arab serta mengikuti saran hidup Nabi Muhammad SAW, pada masa kecilnya sampai beliau hafal sepuluh ribu bait syair-syair Arab.5 Di samping mempelajari ilmu pengetahuan beliau mempunyai kesempatan pula mempelajari memanah, sehingga beliau dapat memanah sepuluh batang panah tanpa melakukan satu kesilapan. Beliau pernah berkata: Cita-citaku adalah dua perkara: Panah dan ilmu, aku berdaya
4 5
Ahmad Djazuli, Op.Cit, hlm 129 Ibid.
39
mengenakan target sepuluh dari sepuluh. Mendengar percakapan itu orang bersamanya berkata: Demi Allah bahwa ilmumu lebih baik dari memanah. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Imam Syafi’i pada masa mudanya banyak menumpu tenaganya mempelajari syair, sastra dan sejarah, tetapi Allah menyediakan baginya beberapa sebab yang mendorong beliau untuk mempelajari ilmu fiqh dan ilmu-ilmu yang lain. Pada masa remaja Imam Syafi’i merasakan beliau telah mendapat ilmu dengan sekedar mencukupi, oleh karena itu beliau bercita-cita hendak bekerja untuk mencari nafkah hidupnya karena beliau adalah seorang yang miskin. Pengembaraan beliau dari satu tempat ke tempat yang lain atau dari satu negeri ke negeri yang lain juga membantu beliau mempertinggi dan mendalami ilmu yang di pelajarinya. Beliau pernah mengembra ke negeri Yaman ke kota Kufah, Basrah, Makkah, Baghdad dan Mesir. Di antara sebab yang lain pula ialah dengan melalui pembahasan-pembahasan dan perukaran pikiran dengan Ulama’ hadits dan lain-lain dan termasuk juga kajian atau memperhatikan individu. Imam Syafi’i banyak menyusun dan mengarang kitab-kitab menurut setengah ahli sejarah bahwa beliau menyusun 13 buah kitab dalam beberapa bidang ilmu pengetahuan yaitu seperti ilmu fiqh, tafsir, ilmu usul, dan sastra (al-Adab) dan lain-lain. Di antara kitab Imam Syafii yang lain juga ialah Al-Wasaya Al-Kabirah, Ikhtilaf Ahli Irak. Wasiyatus Syafi’i, Jami’ Al-Ilm, Ibtal Al-Istihsan, Jami’ Al-Mizani Al-Kabir.
40
Sesungguhnya Imam Syafi’i adalah seorang penyair yang bijaksana serta pandai tentang menggunakan syair yang tinggi dan baik, sekalipun beliau tidak mencurahkan segala tenaganya untuk mendalami bidang ini. Beliau meninggalkan mempelajari syair karena kesibukannya dalam mempelajari ilmu fiqh dan ilmu-ilmu yang lain. Imam Syafi’i adalah seorang yang cakap rupa parasnya, badannya tinggi serta tengkuknya jenjang, warna kulitnya hitam kemerahan, suaranya merdu. Beliau adalah seorang yang mengetahui tentang ilmu kedokteran dan seorang yang mahir memanah serta cakap menuggang kuda. Beliau juga seorang yang sangat fasih lidahnya, luas penerangan serta kuat imannya, adapun Akhlak Imam Syafi’i ialah menjaga muruah serta beliau juga lembut dan murah hati. Imam Syafi’i adalah seorang yang sangat banyak beribadat dan bertahajud, sebagaiman yang telah kita ketahui bahwa beliau membagi waktu malamnya kepada tiga bagian: satu pertiga untuk menulis atau mengarang, satu pertiga untuk shalat dan bertahajud, satu pertiga lagi untuk tidur. Imam Syafi’i meniggal dunia di mesir pada malam kamis sesudah maghrib, yaitu pada malam akhir bulan Rajab tahun 204 H, umurnya pada waktu itu adalah 54 tahun. Beliau wafat di tempat kediaman Abdullah bin Abdul Hakam dan kepadanya beliau meniggalkan wasiat. Jenazah beliau di kebumikan pada hari jum’at keesokan harinya. Anak-anak Abdullah bin Hakam mengebumikannya di tanah perkuburan mereka. Kuburnya ialah
41
kubur-kubur anak-anak zahrah. Yakut berkata : kuburnya sangat masyhur di sana sebagai bukti bagi kebenaranya. Orang yang menalak istri ketika tengah haidl dipaksa untuk merujuknya sampai istri suci kemudian, jika istri masuk dalam masa suci yang kedua, maka jika suami menghendaki, suami dapat menahannya, dan jika suami menghendaki, suami dapat menalaknya. Imam Syafi’i mengatakan talak bid’i hukumnya terkadang haram dan terkadang makruh. Oleh sebab itu,
diharamkan talak pada masa haidl dan dimakruhkan
penjatuhannya dengan tanpa haidl. Jatuh talak pada masa haidl dan yang sejenisnya dilarang jika istri meminta kepada suaminya untuk ditalak pada masa haidl tersebut. 4. Imam Ahmad Hambali Imam Hambali di kenal sebagai pendiri Madzhab Hambali, beliau di lahirkan di kota Baghdad, pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H, yaitu setelah ibunya berpindah dari kota” Murwa” tempat tinggal ayahnya. Nama asli Beliau adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyain bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Syaiban, mendapat almururi kemudian Al-Baghdadi.6 Ahmad bin Hambal menghafal Al-Qur’an dan mempelajari bahasa, beliau belajar menulis dan mengarang di Diwan, umurnya di waktu itu ialah empat belas tahun, beliau hidup sebagai seorang yang cinta kepada
6
.Ahmad Djazuli, Op.Cit, hlm.132
42
menuntut ilmu dan bekerja keras untuknya, sehingga ibunya merasakan kasihan karena kegigihannya dalam menuntut ilmu, sebagian dari pelajaranya ialah di pelajari dari Abu Yusuf. Pada permulaanya beliau menyalin kitab-kitab yang berdasarkan kepada pemikiran serta beliau menghafalnya, kemudian beliau tidak mentapinya bahwa beliau lebih gemar
untuk
mempelajari
hadits,
dan
oleh
karena
itu
beliau
mengumpulkannya dari beberapa tempat, dan pengumpulan ini di mulai pada tahun 179 H. Gurunya yang pertama adalah Ibnu Hambal adalah Abi Yusuf Yakub bin Ibrahim Al-Qadhi, seorang rekan Abu Hanifah, Beliau mempelajarinya darinya Ilmu Fiqh dan Hadits. Abu yusuf di anggap gurunya yang pertama, tapi sebagian dari ahli sejarah mengatakn bahwa mereka berpendapat gurunya yang pertama adalah Husyaim bin Basyir bin Abi Khasim Al-Wasiti, karena beliau adalah orang yang banyak mempengaruhi Ibnu Hambal. Di samping beliau mempelajari dari Husyaim beliau juga mempelajari juga dari Umair bin Abdullah, Abdur Rahman bin Mahdi dan Abi Bakar bin Iyasy, dan Imam Syafi’i juga gurunya Imam Hambal yang kedua setelah Husyaim. Setelah sekian banyak Ibnu Hambal mempelajari ilmu-ilmu dari guru-guru yang termasyhur beliau pun mengajar di masjid Jami’i di Baghdad, dan umurnya pada waktu itu ialah 40 tahun, inilah umur bagi ketengan dan penghasilan. Pendengar-pendengar yang hadir ke majlis Ibnu Hambal mempunyai berbagai tujuan dan kehendak, di antara mereka
43
datang karena menuntut ilmu dan ada pula untuk mendengarkan nasihatnasihat, ada juga mereka yang datang karena hendak mengambil ajaran dari akhlak dan adab-adabnya dan tidak juga yang datang karena mengambil berkat. Rekan-Rekan atau sahabat-sahabatnya juga pengikut-pengikut pada kebanyakannya bersifat serius, serta tegas dan kasar, zuhud dan wira’i mereka juga orang-orang yang sangat berpegang teguh dengan nash-nash Al-Qur’an dan hadits dengan tidak mengadakan satupun ta’wilan atau tambahan. Mereka adalah bagaikan” Syakhratul- muqawamah” artinya batu pertahanan kepada pikiran-pikiran yang tidak tetap dan berpecahpecah atau kepada kebodohan yang dibuat-buat. Ibnu Hambal adalah seorang yang tinggi badannya, warna kulitnya hitam kemerahan, beliau gemar memakai hinna (inai), memakai pakaian yang kasar dan memakai sorban. Beliau adalah seorang yang kuat ingatannya, dan seorang yang paham dengan apa yang dihafalnya, juga beliau seorang yang bersifat sabar dan mempunyai azam dan juga selalu berkemauan yang tinggi, tetap teguh dengan pendiriannya, tidak riya’ dan selalu menjauhi dari bersenda gurau sehingga manusia lain tidak berani bersenda gurau di kala beliau berada bersamanya. Di antara budi pekertinya juga ialah beliau merendahkan diri kepada fakir miskin dan orang-orang yang lemah, sekalipun beliau adalah seorang yang mulia dimuka orang yang besar dan mulia, dan beliau adalah seorang yang bersih, zuhud dan menjaga diri dari dari perkara yang haram,
44
beliau juga suka memaafkan orang yang berbuat kesalahan, dan beliau juga seorang yang banyak beribadah dan bertahajjud. Beliau sangat kuat mengerjakan shalat, beliau tidak sekali-sekali meninggalkannya walau bagaimana pun keadaannya. Ibnu Hambal berwasiat seperti berikut, katanya: Dengan nama Allah yang pemurah dan maha penyayang inilah wasiat yang ditinggalkan, beliau yaitu berpesan dengan kata-katanya bahwa beliau mengaku tidak ada tuhan yang disembah dengan sebenar-benarnya melainkan hanya Allah, tuhan yang tidak ada sekutu dengannya, dan beliau mengakui bahwa Muhammad adalah hamba dan pesuruhnya, dia (Nabi Muhammad ) diutus oleh Allah dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk mengatasi semua agama-agama yang lain sekalipun ia dibenci oleh orangorang kafir. Beliau berpesan kapada siapa saja taat kepadanya dari keluarga atau sanak saudara supaya menyembah Allah dalam peribadatan dan memujinya (Allah) dikala memuji dan hendaklah mereka memberi nasihat kepada kaum muslimin seluruhnya. Ibnu Hambal meninggal dunia pada pagi hari jumat tanggal 12 bulan Rabiul Awwal tahun 241 Hijriyah, mayatnya dimandikan oleh Abu Bakar Ahmad bin AL-Hujjaj Al-Maruzi, beliau sangat terkenal dengan kematiannya. Jenazahnya dikebumikan sesudah shalat jumat, dan juga di iringi oleh puluhan ribu rakyat jelata, beliau dikebumikan di Baghdad di mana beliau meninggal.
45
Menurut pendapat Imam Hambali bahwa menunggu masa suci yang kedua adalah sunnah saja, karena sesungguhnya pengharaman talak itu hanyalah ditalak pada masa haidlnya itu. Apabila sudah hilang yang menyebabkan pengharamannya, maka boleh talaknya dalam masa suci pertama, sebagaimana bolehnya pada masa suci kedua.
B. Metode Istinbath Hukum Imam Madzhab Empat 1. Imam Abu Hanifah Sumber syariat Islam bagi Abu Hanifah adalah al-Qur’an dan alSunnah, seperti juga ulama’ lain. Tentang al-Hadis, beliau sangat berhatihati menerimanya, tidak setiap yang di sebut hadits langsung di terima sebagai sumber syariat Islam. Ia tidak menerima berita dari Rasulullah kecuali berita yang di riwayatkan oleh jama’ah dari jama’ah, atau berita yang di sepakati oleh fuqoha suatu negeri dan di amalkan, atau berita ahad yang di riwayatkan oleh sahabat dalam jumlah banyak yang tidak di pertentangkan. Banyak berita ahad yang di tolaknya karena tidak memenuhi kriteria tersebut. Apa lagi hadits yang tidak masuk di akalnya. Tidak sembarang hadits yang dapat meyakinkan Abu Hanifah sebagai berasal dari Nabi. Dalam penolakannya atas hadits-hadits ini beliau berkata “ penolakan saya atas seorang yang bercerita tentang berita dari Nabi, selain al-Qur’an, bukan di maksudkan menolak Nabi dan bukan pula mendustakan Nabi. Tetapi penolakan atas orang yang membawa berita bohong atas nama Nabi”. Dengan demikian, Abu Hanifah termasuk
46
pendukung hadist dan punya andil besar dalam menyelamatkan hadits Nabi dari kepalsuan.7 Langkah ijtihad yang di tempuh Abu Hanifah dapat di lihat dari ungkapannya,” Sungguh, saya berpegang kepada kitab Allah jika aku dapati di sana. Jika tidak, saya mengambil sunnah Rasulullah, dan atsar yang shahih yang tersiar di kalangan ulama’ tsiqah. Jika tidak aku dapati juga di kitab Allah dan di sunnah Rasulullah, saya mengambil mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki dan meninggalkan pendapat yang aku kehendaki pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke pendapat yang lain.8 2. Imam Malik Meskipun Imam Malik di kelompokkan kepada ahli al-Hadits, tetapi tidak hanya menggunakan hadits saja dalam menetapkan hukum. Sebab beliau juga menggunakan al-ijma’, al-qiyas, amal ahli Madinah, qoul as-Sahabi, al-istihsan, sad dzarai, istishab, al-maslahah mursalah dan syar’u man qablana.9 Beliau telah menjadikan al-Quran sebagai sumber yang pertama dan beliau mendahulukannya dari dalil-dalil yang lain. Imam Malik juga menjadikan hadits-hadits Nabi sebagai sumber hukum yang ke dua karena hadits adalah penafsiran al-Qur’an dan penjelasan baginya. Kemudian Imam Malik berpegang kepada fatwa-fatwa Shahabat, Imam Malik 7
. Muh Zuhri, Hukum Islam dan Lintas Sejarah, ( Jakarta: PT Raja Grafindo,1997 ) hlm.
98 8
. Ibid, hlm 100 . Wahbah Az-Zuhaily, Terjemahan Fiqh al-Islam Wa Adilatuhu, Juz 1 ( Jakarta: Gema Insani, 2011 ) hlm 42 9
47
menerima ijma’, yang di maksud dengan ijma’ ialah perkara-perkara yang di setujui oleh ahli fiqh dan ilmu pengetahuan. Di samping itu Imam Malik juga berpegang kepada pekerjaan ahlu Madinah. Karena di Madinah tempat Rasulullah hijrah di Madinah banyak di turunkan ayat-ayat alQur’an. Apabila beliau tidak mendapatkan nash dari sumber tersebut di atas, maka beliau berpegang pula kepada qiyas, istihsan, ‘urf, saddudz dzarai dan maslah mursalah. 3. Imam Asy-Syafi’i Imam Syafi’i menjadikan al-Qur’an sebagai sumber yang pertama dalam menetapkan hukum-hukum da perundangan, kemudian beliau berkata bahwa as-Sunnah adalah menyamai taraf al-Qur’an, karena AsSunnah sebagai penerang dan penafsir dalam al-Qur’an, oleh sebab itu beliau menganggapnya sebagai sumber yang ke dua setelah Al-Qur’an. Imam Syafii mengambil al-Ijma’ sebagai sumber bagi ilmu fiqhnya serta beliau menganggapnya sebagai hujjah bagi hukum-hukum setelah AlQuran dan Hadits. Yang di maksud dengan ijma’ di sini ialah, kesepakatan seluruh ulama’ dalam kurun waktu yang sama, di sini tidak boleh ada seorangpun yang menyatakan perselisihan pendapatnya dalam kasus yang di carikan kesepakatannya. 10 Akan halnya qiyas sebagai langkah penetapan hukum. Imam Syafi’i sangat berhati-hati. Qiyas hanya di gunakan apabila di dalam AlQur’an da Hadits Nabi tidak membicarakan sesuatu yang di tanyakan 10
. Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, ( Jakarta: Amza, 2011 ) hlm 156
48
hukumnya. Qiyas tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang-orang yang menguasai hukum-hukum kitab Allah, sunnah Rasul dan pendapat kaum salaf, ijma’ dan ikhtilaf serta bahasa arab yang baik dan benar. 4. Imam Ahmad Bin Hambal Imam Ahmad menjadikan Al-Qur’an dan AS-Sunnah sebagai sumber pertama dalam ilmu fiqihnya. Beliau tidak menerima adanya perselisihan antara Al-Qur’an dan As-Sunnah. Setalah Al-Qur’an dan As-Sunnah Imam Ahmad berpegang pada fatwa sahabat. Apabila beliau mendapatkan fatwa ini dan tidak menemukan pendapat yang berbeda dengannya maka ia tidak berpaling ke ra’yu atau qiyas. Bahkan beliau menjadikan perkataan tabiin sebagai rujukan seperti perkataan sahabat. Ini berbeda dengan Imam Hanafi yang memilih berijtihad sendiri seperti halnya tabi’in juga berijtihad. Apabila terdapat perbedaan pendapat para sahabat maka Imam Ahmad memilih pendapat yang lebih dekat kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Menurut Imam Syafi’i, salah satu cara untuk mengetahui pendapat yang lebih kuat kedua pendapat sahabat yang bertentanagan adalah dengan qiyas. Tetapi hal ini tidak di pakai oleh Imam Ahmad. Mengambil hadits mursal dan Dhaif sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya. Di maksud dhaif di sini bukan dhaif yang bathil dan yang mungkar, tetapi dhaif yang tergolong shohih atau hasan. Dalam pandangan Imam Ahmad, hadits itu terbagi atas sahih, hasan dan dhaif, tetapi terbagi atas dua, shahih dan dhaif saja. Hadits dhaif ini ada bertingkat-tingkat yang di maksud
49
dhaif tadi adalah pada tingkat yang paling atas. Menggunakan hadits semacam ini lebih utama dari pada menggunakan qiyas. Qiyas di gunakan dalam keadaan dharurat, yaitu bila tidak ada sumber yang di sebut di atas.11
11
. Ahmad Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010 ) hlm 124