BAB III MEDIA DAKWAH KHALIFAH ABBASIYAH AL-MAKMUN
A. Biografi Al-Makmun Emir Abdullah ibn Harun al-Rasyid naik menjabat khalifah ketujuh di dalam daulat Abbasiah dengan panggilan Khalifah al-Makmun (198-218 H/ 813-833 M). Ia memerintah dua puluh tahun lamanya. Ia menjabat tampuk kekuasaan di dalam usia 28 tahun dan wafat di dalam usia 48 tahun. Al-Makmun adalah salah seorang Khalifah Bani Abbas, beliau anak kedua Khalifah Harun ar-Rasyid yang lahir pada tahun 170 H/ 786 M dari seorang ibu asal Persia. Ketika masih menjadi putra mahkota, ia diangkat oleh ayahnya menjadi gubernur di Khurasan dan bertempat tinggal di Marw.1 Al-Makmun dilahirkan pada malam kemangkatan pamannya Khalifah alHadi. Seperti disebutkan, al-Makmun dilahirkan enam bulan lebih dulu dari saudara sebapaknya al-Amin. Ibunya ialah bekas hamba sahaya, bernama Marajil. Tetapi al-Amin berkedudukan lebih baik dari al-Makmun, disebabkan oleh ibunya yang bernama Zubaidah, karena itu al-Amin dilantik sebagai putra mahkota yang pertama. Sementara itu al-Makmun, di samping usianya yang lebih tua, adalah lebih cerdas dan lebih pintar mengurus segala perkara. Khalifah Harun ar-Rasyid telah melantik al-Makmun sebagai putra mahkota yang kedua, sesudah al-Amin, serta menyerahkan kepadanya wilayah Khurasan sampai ke Hamdan. Al-Amin tidak diberi kekuasaan atas wilayah tersebut. 1
Departemen Agama RI. 1992. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta : Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam. Hlm. 683
35
36
Suatu ketika pada masa menjelang kekuasaan al-Makmun terjadilah perebutan kekuasaan al-Amin dan al-Makmun, disebabkan oleh keangkuhan alAmin dan pengkhianatan al-Fadl bin ar-Rabi’, sewaktu kedua-duanya berusaha untuk mencopot putra gelar mahkota dari al-Makmun dan menggantikannya dengan Musa bin al-Amin.2 Bahkan untuk memahaminya pada periode itu kita harus melangkah ke belakang mulai dari perang saudara antara kedua putranya, al-Amin dan alMakmun. Harun ar-Rasyid memutuskan bahwa al-Amin harus menggantikannya dan al-Makmun adalah pengganti berikutnya. Dia juga menjadikan al-Amin gubernur Suriah dan al-Makmun gubernur propinsi-propinsi timur. Konflik ini oleh ilmuwan barat di gambarkan sebagai perselisihan antara orang-orang Arab dan Persia, tetapi sekarang diakui bahwa aspirasi-aspirasi nasional masing-masing bukanlah isu utama. Namun benar juga bahwa alMakmun adalah putera perempuan Persia, dan bahwa wazirnya sampai tahun 818 M, al-Fadl bin Sahal adalah seorang keturunan Persia penganut Zoroaster, sementara ibu al-Amin adalah orang Arab dan wazirnya, al-Fadl ibnu ar-Rabi’, walau asal-usulnya tidak diketahui, adalah mawali suatu suku Arab dan bersimpati dengan orang-orang Arab. Wazir ini adalah juga berjasa dalam menjatuhkan golongan Barmakiyah dalam tahun 803 M dan menggantikan mereka dengan para pendukung Harun. Sebaliknya saingannya, al-Fadil bin Sahal adalah seorang didikan Barmakiyah. Namun kaum Barmakiyah bukanlah bangsa Persia sebagaimana
2
A.Syalabi. 1997. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra.Hlm.129
37
semula diduga, karena sekarang diketahui bahwa leluhur mereka adalah Barmakatau ketua sebuah wihara Buddha di dekat Balkh (dekat sungai Oxus). Namun mereka dekat hubungannya dengan kelas sekretaris dan tampaknya bersimpati dengan sikap otokratik. Namun akhir dari dominasi dari Barmakiyah terutama bukan disebabkan oleh masalah kebijakan, tetapi oleh kenyataan bahwa Harun merasa terancam oleh kekuasaan dan kekayaan mereka yang besar. Maka sebelum 803 M terdapat beberapa petunjuk, tetapi tidak lebih dari pada petunjuk adanya ketegangan antara kedua blok itu; dan pertikaian antara putera-putera Harun yang tampaknya tidak disengaja itu disebebkan oleh pertentanganpertentangan kepentingan dan polarisasi kebijakan-kebijakan.3 Tiga tahun terakhir dari kehidupan al-Makmun telah terpenuhi oleh peperangan yang tidak henti-hentinya melawan Byzantium yang saat itu diperintah oleh Kaisar Theopilus (829-842 M). Akhirnya pada tahun 832 M Kaisar terpaksa meminta diadakan perdamaian. Tak lama setelah itu yaitu pada tahun 833 M al-Makmun meninggal dunia di salah satu markas besarnya di perbatasan Syria-Anatolia dekat Tarsus setelah memerintah lebih dari sepuluh tahun. 4
3
Montgomery Watt.1990. Kejayaan Islam Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta : Tiara Wacana. Hlm. 122 4 Departemen Agama RI. Op.cit Hlm. 684
38
B. Kondisi Sosial Budaya Yang Melingkupi Kekuasaan Al-Makmun. Kondisi sosial budaya yang melingkupi kekuasaan al-Makmun dapat dilihat dari berbagai dimensi, diantaranya adalah: Tidak memberi kesempatan bagi keturunan Bani Umayah menduduki jabatanjabatan kenegaraan. Para khalifah masih tetap keturunan Arab dari dinasti Abbasiyah, sedangkan para menteri, gubernur, panglima, dan pegawai diangkat dari non Arab (mawali) utamanya dari keturunan Persi. Kota Baghdad sebagai kota negara dibuka untuk semua bangsa, dan dijadikan sebagai kota internasional ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan diangkat sebagai sesuatu yang mulia yang dikembangkan seluas-luasnya, rakyat bebas berfikir dan dalam segala bidang diberi hak penuh memperoleh hak asasinya, para menteri keturunan non Arab, utamanya dari unsur Persi diberi hak penuh menjalankan pemerintahan negara, para Khalifah Abbasiah berusaha sungguh-sungguh membangun ekonomi negara.5 Masyarakat pada pemerintahan al-Makmun terbagi dalam dua kelas yaitu kelas khusus dan kelas umum. Kelas khusus yaitu terdiri dari khalifah, ahli famili khalifah (bani hasyim), para pembesar negara, para kaum bangsawan (umumnya terdiri dari suku Quraisy) para petugas khusus negara, anggota tentara,dan pembantu-pembantu negara. Kelas umum yaitu terdiri dari para ulama, fuqoha, seniman, pujangga,
5
Ma’ruf Misbah, 1988, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : Wijaya Wicaksana, hlm. 32.
39
saudagar, pengusaha, para tukang, dan petani.6 Oleh sebab itu maka pembagian masyarakat tersebut mencerminkan adanya pemisahan masyarakat antara pemerintah dan masyarakat umum (yang diperintah). Pertumbuhan dan perkembangan Islam pada masa al-Makmun adalah sejalan pula dengan pertumbuhan dan perkembangan dakwah. Islam identik dengan dakwah, dan dakwah identik pula dengan Islam. Islam mengalami kemajuan berarti kemajuan bagi dakwah, begitu pula sebaliknya. Pada pemerintahan al-Makmun, pertumbuhan dan perkembangan agama Islam diwarnai oleh dua kehidupan, yaitu kehidupan Iman dan Zindiq. Kehidupan Iman yaitu kehidupan yang diwarnai dengan hati dan agama, kepercayaan iman yang kholishoh dan kehidupaan agama yang shodiqoh. Kehidupan Zindiq yaitu kehidupan yang diwarnai akal dan pikiran serta rasa, yang menimbulkan keraguan tentang iman dan menentang agama dengan ajaranajarannya.7 Gambaran situasi agama di atas, kemudian menimbulkan berbagai interpretasi dan apresiasi agama, yang mewarnai kehidupan umat Islam seperti : Syi’ah, Jabariyah, Qodariyah, Murji’ah, Muktazilah, dan Ahlu sunah. Syi’ah adalah suatu aliran agama, yang semula merupakan golongan pengikut dan sahabat Ali ra., mereka menamakan diri demikian karena mereka mendukung duduknya Ali ra. sebagai khalifah. Namun dalam perkembangan selanjutnya mereka menyebarkan faham-faham keagamaan yang diindikasikan sebagai ajaran Imam Ali ra. 6 7
A.Hasjmy. op.cit. hlm. 243. I b i d. hlm. 148.
40
Jabariyah adalah, suatu aliran agama yang berfaham bahwa segala sesuatunya adalah atas kehendak dan ketentuan Tuhan (ajaran serba taqdir). Qodariyah adalah suatu aliran agama yang berpendapat bahwa seluruh gerak dan usaha manusia atas perilakunya itu sendiri bukan dari Allah. Murji’ah adalah berpendirian keimanan seseorang tidak akan binasa karena kemaksiatan. Mu’tazilah adalah aliran agama yang berpendirian bahwa tolok ukur kebenaran adalah rasio yang merupakan motor penggerak usaha manusia. Ahlussunnah adalah aliran agama yang berpendirian bahwa seseorang memenuhi syarat keislaman bilamana menuturkan syahadat, diikuti dengan kepercayaan hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan / tingkah laku.8 Pertumbuhan dan perkembangan aliran-aliran tersebut beserta kegiatan dakwahnya lambat laun mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan Islam secara luas dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masingmasing dari mereka berpegang teguh terhadap keyakinannya, mereka fanatik dengan keyakinannya, bahkan mereka menyerang lawan madzhabnya dan menuduhnya kafir serta keluar dari Islam. Perang argumen terjadi diantara mereka, setiap sekte mendapat dukungan dari penguasa dan gubernur, maka semakin kuatlah posisi mereka. Setiap aliran atau sekte memiliki makalah dan buku tentang ajarannya, negara yang membekkingnya dan kekuasaan yang melegalkannya.9
8
M.Taib Tahir Abdul Mu’in. 1981, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, hlm. 90-105. Muhammad Sayyid Al-Wakil. 1998, Wajah Dunia Islam, dari dinasti Bani Umaiyah hingga Imperialisme Modern, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, hlm.93. 9
41
Kondisi pemerintahan al-Makmun. Ketika al-Makmun mengklaim dirinya sebagai kholifah pada tahun 913 M, alMakmun banyak mendapat dukungan dari rakyat Khurasan yang dulunya dikuasai al-Amin. Al-Makmun keluar sebagai pemenang dan mulai memegang kekuasaan. Al-Makmun
menyadari kerapuhan pemerintahannya. Kekuasaan dimulai
dengan perang saudara, dengan pemberontakan Syi’ah di Kufah dan Basrah (814-815 M) dan dengan pemberontakan Khawarij di Khurasan. Dia menindas kelompok-kelompok tersebut dan mengurangi ketegangan religius, tetapi kebijakan-kebijakannya malah memperburuk keadaan. Sebagai seorang intelektual, dia merasa harus kembali pada rasionalisme Muktazilah dan itu mengembalikan dukungan kepadanya. Dia juga melihat bahwa gerakan populis ahlul hadits yang mendesak agar hukum Tuhan bisa dimasuki setiap Muslim, tidak sesuai dengan monarki absolut. Namun segera setelah berkuasa lagi, kaum Muktazilah melakukan pembalasan kepada ahlul hadits yang pernah memenjarakan dalam waktu lama. Inkuisi (mihnat) dilaksanakan, dan Ahli Hadits yang sangat popular, Ahmad Ibnu Hambal dipenjara. Ahmad Ibnu Hambal menolak semua tawaran yang diberikan oleh Khalifah adalah karena beliau tidak sesuai dengan corak pemerintahan yang mereka kendalikan. Oleh sebab itu mereka berurusan mengajak Ahmad Ibnu Hambal untuk bekerjasama mengikuti gerak langkah mereka, dan akhirnya mereka disiksa hingga meninggal, karena menolak semua tawaran yang mereka berikan.10
10
Http: //www. Perjuangan Ulama’ Terdahulu. / Sejarah 13-26.tm.Or.id (23 Agustus 2003)
42
Ibnu Hambal menjadi pahlawan rakyat. Kemenangan kaum Muktazilah ternyata tidak membawa kebaikan al-Makmun, bahkan kaum Muktazilah mengasingkan dari massa.11 Khalifah al-Makmun di dalam suratnya itu memerintah untuk melakukan alMihnat (pemeriksaan) terhadap keyakinan yang dianut setiap pejabat dan pembesar pemerintahan, terutama pejabat dan pembesar lembaga peradilan. Juga al-Mihnat terhadap tokoh-tokoh terkemuka di dalam kehidupan masyarakat. Surat yang dikirimkan al-Makmun tersebut menjelaskan sebab-sebab yang mendorong Khalifah al-Makmun mengeluarkan perintah resmi yaitu sebagai suatu kewajiban memelihara kemurnian agama Islam dan menegakkan keyakinan yang benar dalam lingkungan pemeluk agama Islam.12 Demikianlah pembahasan mengenai Kondisi sosial budaya yang melingkupi kekuasaan al-Makmun yang terinterpretasikan di dalam berbagai dimensinya melalui sistem pemerintahan yang berlangsung dan sistem sosial politik yang menyertainnya, kesemuanya itu merupakan realitas perkembangan ummat Islam dan sekaligus Dakwah Islam yang ada pada saat itu.
11
Karen Armstrong. 2002. Sepintas Sejarah Islam. Yogyakarta : Ikonteralitera. Hlm. 75. Joesoep Sou’yb. 1997. Muktazilah Peranannya dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam. Jakarta : Al-Husna Zikra. Hlm.152 12
43
C. Media Dakwah Khalifah Abbasiyah Al-Makmun 1. Politik. Sikap politik yang merupakan kebijakan al-Makmun tercermin di dalam susunan organisasi pemerintahan negara dan sistem politik yang menyertainya. Susunan organisasi pemerintahan yang dimaksud adalah sebagai berikut: Negara dipimpin oleh kepala negara yang bergelar khalifah, dan jabatannya bernama khilafat. Sedangkan untuk membantu khalifah dalam menjalankan pemerintahan negara ditetapkan suatu jabatan wizarat dan Dewan alKitabah.13 Wizarat adalah suatu jabatan yang ditetapkan oleh khalifah al-Makmun guna membantu menjalankan pemerintahan negara. Pemangku jabatan ini bernama wazir atau disebut dengan menteri Yang dalam pelaksanaannya ditetappkan Wizarat Tafiz dimana wazirnya hanya sebagai pembantu khalifah, bekerja atas nama khalifah, dan Wazarat Tanfidl dimana wazirnya diberi kuasa penuh untuk memimpin pemerintaahan negara, Khalifahnya hanya sebagaai lambang saja. Dalam menjalankan pemerintahan negara, Wazir dibantu oleh sebuah dewan menteri yang bernama Rais al-Ridwan yaitu, Departemen keuangan, Departemen kehakiman, Departemen pengawasan urusan negara, Departemen ketentramaan, perburuhan, perhubungan, pengawasan keuangan,urusan arsip, pembelaan rakyat, keamanan, kepolisian, Sosial, Urusan wanita, keluarga, dan pekerjaan umum.14 Dengan teraturnya sistem menjalankan pemerintahaan, maka akan mendukung pelaksanaan dakwah itu sendiri, dimana segala urusan 13 14
Hamka. 1974. Sejarah Umat Islam II. Jakarta : Bulan Bintang. Hlm. 130. Ibid, hlm.131.
44
di dalam departemen, baik peraturannya maupun pelaksanaannya berdasar atas asas-asas Islam yang terpegangi secara baik. Dewan al-Kitabah adalah suatu jabatan untuk membantu khalifah dalam tata urusan negara. Pemangku jabatan ini adalah bernama Rasail al-Kutab atau biasa disebut sekretaris negara. Dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh beberapa khatib atau sekretaris yang terdiri dari; sekretaris urusan persuratan, keuangan, tentara, kepolisian, dan kehakiman.15 Dalam urusan pemerintahan al-Makmun, wilayah negara dibagi kedalam beberapa wilayah propinsi (imarat), dengan seorang pimpinan yang bergelar Amir. Bentuk-bentuk Imarat di sini adalah al-Istifa yaitu sebuah propinsi yang kepada gubernurnya diberi hak dan kekuasaan negara di wilayahnya. alHashah yaitu propinsi yang kepada gubernurnya diberi hak dan wewenang yang terbatas. Dan yang terakhir adalah al-Istila’u yaitu propinsi defakto yang didirikan oleh seorang panglima dengan kekerasan, kemudiaan dengan terpaksa diakui oleh Khalifah dan panglima yang bersangkutan menjadi gubernurnya. Sedangkan wilayah negara yang terkecil adalah terdiri dari wilayah kota dan desa. Wilayah kota pimpinannya langsung dibawah koordinasi para gubernurnya. Wilayah desa yang disebut al-ura’ dibawah pimpinan kepala desa yang bergelar Syekh al-Qariah dibawah koordinasi para
15
Ibid, hlm. 130
45
pemimpin kota, masing-masing desa tersebut mendapatkan hak otonomi penuh, sedangkan wilayah kota dan propinsi otonominya terbatas.16 Angkatan bersenjata pada Khalifah al-Makmun terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut, dan panglimanya diberi gelar Amir al-Umara yang membawahi 10 qa’id (sepuluh ribu prajurit). 17 Untuk mengurus keuangan negara agar mendapatkan pemasukan keuangan dengan baik, dibentuklah badan keuangan al-Khasanah yaitu untuk mengurus perbendaharaan negara, dewan al-Azran yaitu untuk mengurus kekayaan hasil bumi negara, dewan khasasin sila mengurus perlengkapan perang. Organisasi kehakiman dan peradilanpun sudah mulai dibentuk yaitu untuk melaksanakan ketertiban hukum negara dan melaksanakan tertib hukum yang berlaku.18 Adapun politik yang dijalankan oleh pemerintahan al-Makmun antara lain adalah sebagai berikut: Kebebasan berfikir sebagai hak asasi manusia diakui sepenuhnya. Pada waktu itu akal dan pikiran dibebaskan benar-benar dari belenggu taklid, hal mana menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam segala bidang, termasuk bidang akidah, falsafah, ibadah dan lain sebagainya. Para menteri turunan Persia diberi hak yang penuh dalam menjalankan pemerintahan, sehingga mereka memegang peranan penting dalam membina tamaddun Islam. Mereka sangat mencintai ilmu dan mengorbankan kekayaannya untuk memajukan kecerdasan rakyat dan meningkatkan ilmu
16
Ibid, hlm. 131 Ibid., hlm. 132 18 A.Hasjmy. 1976, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hlm. 231-236. 17
46
pengetahuan,
sehingga
karenanya
banyaklah
turunan
Mawaly
yang
memberikan tenaga dan jasanya untuk kemajuan Islam.19 Al-Makmun menguasai
kekhilafahan
mengambil secara
sebuah
mutlak,
kebijakan al-Makmun
politik.
Untuk
menggantungkan
dukungan seorang panglima Khurasan yang bernama Thahir, yang diberikan imbalan menjadi gubernur Khurasan dan menjadi jenderal militer Abbasiah diseluruh Imperium, dengan disertai janji bahwa jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada anak keturunannya. Selain mendatangkan manfaat yang bersifat sementara, konsesi atas sebuah jabatan gubernur yang dapat diwariskan menggagalkan tujuan Abbasiah untuk menyatukan sejumlah wilayah propinsi besar menjadi sebuah sitem politik yang memusat di tangan pemerintahan pusat. Upaya untuk menyatukan kalangan elite di bawah arahan Khalifah tidak dapat terwujud dan sebagai gantinya imperium dikuasai oleh sebuah persekutuan Khalifah dengan penguasa gubernur besar.20 Untuk menghentikan kekuatan Thahiriah dan untuk merebut kembali kekuasaan langsung atas sejumlah wilayah propinsi, maka beberapa Khalifah Abbasiah segera membentuk pasukan militer baru. Demikianlah al-Makmun membuat dua tipe militer. Pertama disebut Syakiriah melengkapi unit-unit yang berada di bawah kepemimpinan panglima-panglima lokal mereka, dari Transoxiana, Armenia, dan Afrika Utara. Sekalipun pasukan-pasukan militer tersebut tidak bertanggung jawab secara langsung kepada Khalifah, namun mereka berjuang sebagai kekuatan tandingan bagi Thahiriah dan menciptakan 19
Ibid.Hlm. 243 Ira M. Lapidus. 1999. Sejarah Sosial Ummat Islam. Bagian 1 dan 2. Jakarta : Raja Grafindo Persada .Hlm. 94 20
47
suatu keseimbangan militer yang akan melepaskan ketergantungan khalifah pada seorang penguasa gubernuran. Tipe pasukan kedua terdiri dari budakbudak Turki, yang disebut ghilman, yang didatangkan secara individual, lalu dikelompokkan menjadi sejumlah resimen. Untuk menciptakan efisiensi dan moralitas, dan untuk menciptakan keseimbangan kekuatan antar resimen tersebut, masing-masing resimen tinggal di wilayah perkampungan sendirisendiri, memiliki masjid dan pasar sendiri, dan mereka dilatih dan diberi perlengkapan dan gaji oleh komandan masing-masing. Demikianlah sebuah resimen pasukan budak telah berkembang menjadi unit-unit yang mandiri yang lebih mencurahkan segenap loyalitas mereka kepada atasan mereka dari pada kepada khalifah.21 Kebijakan al-Makmun ketika berada di Mesir, beliau memberi izin kepada kedua orang Kristen pembantu istananya untuk memdirikan gereja di alMugattam, suatu bukit dekat Cairo, dan dengan izin Khalifah tersebut, seorang Kristen yang kaya raya itu bernama Bukam, membangun beberapa gereja indah di Burah (Mesir). Timotheus seorang patriarch Nestoria mendirikan sebuah gereja di Takrit dan sebuah biara di Baghdad.22 Namun setelah kemenangan al-Makmun ketegangan masih berlanjut. Dalam tahun 817 M al-Makmun mengambil langkah luar biasa dengan menunjuk penggantinya bukan salah satu puteranya tetapi salah satu keluarga Ali, Ali arRidha, yang kemudian diakui sebagai imam kedelapan dalam imamah. Sumber-sumber yang ada mengisyaratkan bahwa Wazir al-Fadil bin Sahal 21
Ibid. Hlm. 95 Thomas W.Arnold. 1979. Sejarah Dakwah Islam. Terj.M Rambe, Nawawi. Jakarta: Widjaya. Hlm. 62-63 22
48
tidak menginformasikan situasi di Iraq dan bahwa bakal penggantinyalah yang justru membuka matanya; tetapi semua ini mungkin hanyalah desas-desus istana. Yang pasti adalah bahwa al-Fadil bin Sahal dibunuh dalam sebuah pemandian umum awal tahun 818 M dan bahwa Ali ar-Ridha meninggal enam bulan kemudian; yang terakhir ini menurut sejarawan Imamiah adalah karena diracuni al-Makmun. Sekarang tidak mungkin menetapkan apakah wazir dibunuh atas perintah khalifah atau oleh lawan-lawannya dari Iraq. Bagaimanapun, perubahan pokok dalam kebijakan keputusan bahwa khalifah harus kembali ke Baghdad telah diambil sebelum pembunuhan itu. Sebaliknya tidak ada alas an jelas kenapa khalifah menghendaki penyingkiran bakal penggantinya, dan tuduhan kaum Imamiah mungkin harus ditolak. Kembali ke Baghdad memang penting, terutama pada tahun tahun 820 M, jenderal Thahir dikirim ke timur dan kemudian menjadikan dirinya otonom; tetapi menjadikan Iraq sebagai pangkalan utama kekuasaan khalifah tidak berarti adanya suatu perubahan radikal dalam keyakinan politis. Dokumen yang menunjuk Ali al-Ridha sebagai pengganti masih ada, dan tidak memuat sesuatu pun yang bias dianggap sebagai uluran tangan pada golongan Imamiah. Tidak disebutkan mengenai penunjukan dan Umar disebutkan dengan hormat, sementara khalifah disebut sebagai menjunjung Al-Qur’an dan Sunnah Rosul suatu ungkapan dari kaum konstitusionalis. Ungkapan mengenai kualitas-kualitas pribadi Ali al-Ridha, adalah bernama Zaidiyah dalam pengertian yang diperluas seperti tersebut diatas. Demikianlah maka kematian Ali al-Ridha, walau memberikan al-Makmun kesempatan untuk
49
berpikir lagi dan memang dia terpaksa berfikir lagi, tidak membawa perubahan pandangan mendasar. Sebagian kelompok Muktazilah zaidiyah kemudian berhubungan dekat dengan khalifah di Baghdad sudah sangat dikenal sebelumnya di Istananya di timur.23 Usaha-usaha untuk mengatasi ketegangan bisa dilihat dalam hal yang ada hubungannya yaitu ketergantungan yang makin besar pada tentara Turki dan dipindahkannya ibukota ke Samarra. Al-Makmun dikatakan yang pertama kali memperkerjakan serdadu-serdadu budak dari perbatasan kerajaan, kebanyakan adalah suku Barbar dari sahara atau suku Turki dari seberang (sungai) Oxus. Orang-orang itu tidak berpihak kemana-mana dalam pertikaian politik dan pertimbangan utama mereka adalah serdadu-serdadu yang lebih baik.24 Dalam mempertahankan kekuasaan, Khalifah al-Makmun membawa dinasti Abbasiah ke puncak kejayaan baik dibidang ekonomi, perdagangan, politik, sosial, militer, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga al-Makmun membawa dunia Islam menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia, dan menjadi kekuatan raksasa di dunia belahan Timur.25 Ada berbagai metode dan setrategi politik al-Makmun dalam hal pemantapan dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, diantaranya adalah : Penumpasan faham-faham yang menyimpang.
23 Mont Gomery Watt.Tt. Kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Jakarta: Raja Grafindo Persada.Hlm.123 24 Ibid.Hlm. 124. 25 J. Suyuti Pulungan. 1994. Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hlm. 172
50
Untuk membina kehidupan agama yang bersih dari berbagai faham dan aliran yang menyimpang, maka setiap muncul aliran sesat yang melemahkan Islam hal itu langsung dihancurkan, misalnya: AlRawandiyah, Al-Muqanna’iyah, Al-Khurramiyah, Al-Zanadiqoh. AlRawandiyah. Gerakan ini ditimbulkan oleh orang-orang turunan persia yang lahiriyahnya masuk Islam, tetapi batiniyahnya tidak. Gerakan ini bertujuan memasukkan unsur-unsur agama mereka (Zoroaster, Majusiyah, Mazdakiyah,
dan
Saba’iyah)
kedalam
agama
Islam
dan
untuk
menghancurkan Islam. Al-Muqanna’iyah. Gerakan ini dipimpin oleh alMuqanna. Gerakan ini mengajarkan bahwa harta dan wanita menjadi milik bersama, membatalkan puasa, shalat, zakat dan haji. Al-Khurramiyah. Gerakan ini dipimpin oleh al-Khurrami. Aliran ini mempunyai ajaran diantaranya menghalalkan sesuatu yang di haramkan oleh syariat Islam misalnya minum-minuman arak, berzina, mencuri dan lain-lain. Al-Zanadiqoh. Gerakan ini lebih dikenal dengan nama Zindiq. Ajaran ini dipengaruhi oleh adat istiadat Persia dan tergila-gila dengan kemesuman. Mereka berfaham bahwa Tuhan lebih dari satu, serta melecehkan adat sopan santun dan menciptakan kehidupan masyarakat yang selalu bertentangan dengan agama.26 Pengembangan Ilmu-Ilmu Agama. Mengubah satu situasi kepada situasi yang lebih baik berdasarkan ajaran Islam agar memperoleh kebahagiaan adalah merupakan usaha dakwah
26
A.Hasjmy. 1976, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hlm. 225-227.
51
yang terus dikembangkan. Untuk memperoleh tatanan yang lebih baik dikembangkanlah suatu ilmu. Ilmu-ilmu agama yang dikembangkan pada saat itu adalah seperti Tafsir, Hadits, Tasawuf, Ilmu Kalam. Ilmu Tafsir. Perkembangan ilmu tafsir pada saat ini telah sangat maju dengan berbagai penafsiran yang teratur dan sistematis. Penafsiran alQur’an dilakukan dengan cara bilma’tsur (ditafsirkan dengan hadits) dan penafsiran al-Qur’an bilra’yi (ditafsirkan dengan akal). Diantara tokohtokoh ilmu tafsir yang terkenal adalah Sufyan Ibn Uyainah (198 H), Waqi’ Ibn Yarrah (196 H), Syu’ban Ibn Hajjaj (160 H), al-Syu’udy (127 H), Ibn Juraij (150 H), Al-Muqotil (150 H), al-Mutsanna (209 H) dan lain-lain.27 Ilmu Hadits. Pada masa Khalifah al-Makmun beliau meneruskan usaha yang telah dirintis oleh Khalifah al-Mansur, dibukukanlah kitab hadits alMuwatha’ karya Imam Malik, kemudian setelah itu dibukukanlah kitabkitab hadits yang lain, namun pembukuan itu masih bercampur baur antara Hadits Marfu’, Mauquf dan Maqthu’. Demikian pula isinya masih bercampur baur antara hadits-hadits Nabi dan perkataan sahabat, tabi’in, oleh karena itu dalam perkembangan ilmu hadits lebih lanjut, muncul ilmu Mustalah hadits untuk membedakan mana yang hadits dan bukan. Diantara tokoh-tokoh ilmu hadits pada saat itu adalah : Ibn Iskhak (151 H), Said Ibn Abi Arubah (156 H), al-Laits Ibn Sa’ad (175 H), Imam Malik (179 H),
27
Hasbi ash-Shiddiqie. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta : Bulan Bintang, hlm. 215-219.
52
Imam Abu Hanifah (150 H), Imam Syafi’i (204 H), Ibn Juraij (150 H) dan lain-lain.28 Ilmu Fiqih. Ilmu fiqih ini adalah merupakan ilmu hukum Islam dan merupakan dasar dari pengambilan hukum untuk mengatur hidup masyarakat yang dilakukan oleh negara. Hanya saja dalam prateknya terjadi berbagai pertentangan karena perbedaan pendapat hasil ijtihad masing-masing mujtahid yang ada. Sehingga akhirnya para fuqoha’ pada saat itu terbagi menjadi dua aliran, yaitu ahlu al-Hadits dan ahlu al-Ra’yi. Ahlu al-Hadits yaitu aliran yang ijtihatnya berdasarkan al-Hadits. Sedangkan ahlu al-Ra’yi yaitu aliran yang ijtihatnya berdasarkan akal dan pikiran. Ilmu Fiqih sebagai ilmu hukum Islam pada masa ini telah dibukukan dengan sempurna, karena usa yang sungguh-sungguh dari mujtahid, diantaranya adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hambal, Syarik Ibn Abdullah Nakha’i, Muhammad Ibn Abdurrahman, Sofyan Ibn Sa’id Sury, dan lain-lain. Ilmu Kalam. Ilmu ini lahir dikarenakan oleh masuknya filsafat yunani dalam kebudayaan Islam. Berkembangnya ilmu-ilmu pengetahuan dan adanya usaha penterjemahan buku-buku berbahasa asing. Tumbuhnya ilmu kalam ini oleh al-Muktazilah sebagai pelopornya, hal ini karena untuk membela Islam dari serangan kaum Zindiq, kaum Nasrani, Yahudi. Adapun tujuan yang pokok adalah membela Islam dengan bersenjatakan filsafat, membendung perkembangan ilmu dan akal yang membahayakan
28
I b I d., hlm. 82-96.
53
agama. Tokohnya adalah antara lain Washil ibn Atha’, Abu Huzail alAlaf, al-Dham, Abu Hasan al-Asyari, Imam al-Ghazali , dan lain-lain. 29 Perkembangan dan kemajuan ilmu agama di atas pada akhirnya : Berintegrasi dalam kehidupan Negara, dalam hal ini maka lahirlah ilmu hukum Islam (fiqh) yang menjadi dasar berlakunya tertib hukum pranata sosial kehidupan masyarakat; berintegrasi dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Maka lahirlah ilmu sastra, kaligrafi, arsitektur, dan lain-lain. ;mengadakan pendekatan persuasive dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kemudian lahirlah berbagai macam faham keagamaan yang mengkristal dalam berbagai macam faham kepercayaan imam mdzhab, tasawuf, teologi. Diantara imam madzhab yang terkenal adalah Hanafi, Mambali, Maliki, dan Syafi’i ; mengadakan control sosial terhadap pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Maka lahirlah kemudian ilmu kalam, falsafah dan ilmu agama lainnya.
30
Disamping ilmu agama di atas, juga berkembang dan pertumbuhan ilmu pengetahuan dalam memajukan kebudayaan dan terciptanya kebudayaan baru yaitu, membangun pranata sosial kehidupan umat, menciptakan suasana kehidupan yang cinta ilmu, memajukan seni dan budaya, memajukan ghiroh kehidupan yang dinamis, membangun kota peradaban
29
I b I d., hlm. 266-267. 30 H.A.R.Gibb. 1981,Islam dalam Lintasan Sejarah, terj. Abusalamah, Jakarta : Bhatara Karya Aksara, hlm.78-79
54
dan kebudayaan, menciptakan sarana dan prasarana kemudahan hidup umat manusia. 31 (3) Sikap Khalifah al-Makmun terhadap al-Mihnat Al-Makmun merasakan dirinya berkewajiban memelihara kemurnian keyakinan yang dianut ummat Islam itu dari setiap kekeliruan, apalagi jikalau bertalian dengan pokok-pokok keyakinan yaitu mempersamakan keazalian Allah Maha Esa dengan sesuatu yang lainnya, seumpama AlQur’an. Lapisan Awwam dewasa itu sangat hangat memperbincangkan masalah kejadian Al-Qur’an, sedangkan Al-Qur’an itu “qadim” karena mengikuti pendapat pemuka-pemuka agama yang memanggilkan dirinya AhlusSunnah, dan pendapat itu dibantah oleh Al-Makmun di dalam suratnya beralaskan pernyataan-pernyataan di dalam Al-Qur’an sendiri. Bahkan sebagian besar para Hakim (Al-Quddhat) sendiri, yang menduduki jabatan-jabatan peradilan, menganut keyakinan tentang “keazalian” AlQur’an itu; dan selanjutnya bertindak menerima kesaksian setiap saksi yang mengakui keazalian Al-Qur’an dan sebaliknya menolak kesaksian setiap saksi yang mengakui kebaruan Al-Qur’an. Al-Makmun berpendirian bahwa keputusan seseorang Hakim dan kesaksian seseorang saksi tidaklah dapat diperpegangi kecuali keyakinan yang dianutnya itu benar. Barangsiapa berkeyakinan tentang keazalian AlQur’an itu maka keyakinan Tauhid-nya telah rusak. Baikpun keputusannya 31
Ahmad Amin. 1987, Islam dari masa ke masa, terj. Abu laila dan M. Thohir, Bandung : Rosda Karya, hlm. 288.
55
maupun kesaksiannya sudah tidak dapat dipercayai, hingga sudah disangsikan kejujuran kesaksiannya dan dikuatirkan kesewenangan pada keputusannya. Justru al-Makmun tidak bersedia mempercayakan jabatanjabatan agung serupa itu kepada seseorangpun, kecuali imannya benar dan tauhidnya benar.32 Demikianlah pembahasan mengenai sikap politik yang terinterpretasikan di dalam berbagai dimensinya melalui sistem pemerintahan al-Makmun yang berlangsung dengan baik.
2. Ekonomi Di tengah kesibukan dan kehausan dunia mencari ekonomi yang mampu menciptakan bahagia bersama, baik jasmaniah maupun ruhaniah para juru dakwah harus menggali sistem ekonomisme Islam. Dienul Islam bukan saja petunjuk, hidayah dan hujjah bagi keselamatan manusia di akhirat, ia bukan saja merupakan ritual keagamaan, tetapi juga sistem, aturan dalam lapangan ekonomi.33 Ekonomisme Islam tidak hanya menentang kapitalisme dan riba dalam segala bentuknya, penghisapan dan pemerasan dalam segala manifestasinya, tapi memberikan moral dan watak luhur, memberikan jaminan dan kepastian bagi segala manusia sebagai pribadi.34 Para Juru Dakwah harus pandai membuka pengertian kepada masyarakat tentang resep dan konsepsi ekonomi dalam Islam, yang bebas dari penindasan 32
Joesoef Souyb. 1977. Sejarah Daulat Abbasiah I. Jakarta : Bulan Bintang. Hlm. 201 M.Isa Anshary. 1995. Mujahid Da’wah. Bandung: Diponegoro. Hlm.170 34 Ibid. Hlm.170 33
56
manusia atas manusia. Bagaimana Islam memecahkan persoalan kaum yang lapar, mencegah penghisapan dan pemerasan, dalam Islam bukan lagi teori, bukan lagi semboyan atau slogan, tapi telah pernah dipraktekkan dalam bentuk yang sesuai dengan zaman waktu itu, dan ajaran dan teladan itu masih dapat dilakukan di segala zaman, di segala selat dan benua. Pada masa pemerintahan al-Makmun kesejahteraan ekonomi masyarakat semakin meningkat dan memiliki paradaban yang tinggi. Kerajaan penuh dengan kota-kota indah, penuh masjid megah, dimana-mana terdapat universitas, di dalamnya tersimpan peradaban-peradaban dan hikmah-hikmah lama yang bernilai tinggi. Kecemerlangan Islam Timur merupakan hal yang kontras dengan dunia Nasrani Barat, yang tenggelam dalam malam kegelapan zaman.35 Kedermawanan
al-Makmun
dalam
penelitian
perikeadaan
ekonomi
rakyatnya, beliau menunjuk 1.700 perempuan tua supaya tetap berkeliling di Baghdad guna melaporkan perikehidupan ekonomi rakyat umum kepadanya.36 kegiatan pertanian di sana sini berkembang kembali dengan pesat. Begitupun kegiatan dagang berjalan kembali dengan lancar. Tempat-tempat perhentian kafilah-kafilah dagang yang datang memencar ke berbagai penjuru.37 Lalulintas dagang dengan Tiongkok melalui dataran tinggi Pamir, yang dipanggilkan dengan jalan sutera (Silk Road) itu, ramai kembali dengan kafilahkafilah dagang yang hilir mudik. Begitupun lalulintas dagang melalui laut (Sea Routes) dari teluk Parsi menuju Bandar-bandar dagang pada pesisir lembah Sind dan wilayah Gujarat yang sudah dikuasai pihak Islam masa itu, selanjutnya 35
Lothof Stoddard. 1966. Dunia Baru Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 15 Ibid. hlm. 185 37 Joesoef Sou’yb. Op.cit. Hlm.178 36
57
Bandar-bandar dagang di pesisir Tiongkok, semakin bertambah ramai dengan kapal-kapal dagang yang hilir mudik. Pertanian diperkembang dengan luas; dengan sistim penanaman penuh keahlian maka mutu dan keistimewaan buah-buahan dan bunga-bungaan dari Parsi telah makin dipertinggi, dan anggur-anggur dari Shiraz dan Yed dan Ispahan telah menjadi komoditi penting dalam perdagangan di seluruh Asia. Tambangtambang bijibesi, timah hitam, dan benda-benda logam lainnya dihasilkan dengan penuh ketelitian. Hasil-hasil pabrik yang indah diusahakan pada berbagai kota di Irak dan Syria. Kemajuan yang luarbiasa berlangsung pada setiap cabang peralatan mekanik.38
3. Budaya Islam mendatangkan ajaran untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan perkembangan budayanya, dengan demikian terbentuklah satu setting nilai dan budaya Islami yang lengkap dan sempurna dalam ruang lingkupnya yang sepadan, baik dari segi situasi dan kondisi maupun waktu dan perkembangan zamannya. Setting tersebutlah yang diwariskan kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Pengembangan secara kualitatif, dalam arti bahwa nilai dan budaya yang ada ditingkatkan kualitasnya sehingga menjadi lebih baik dan lebih sempurna, sedangkan pengembangan secara kuantitatif, mengarah kepada pembentukan ajaran dan budaya baru untuk menambah kesempurnaan dan kesejahteraan hidup
38
Ibid. Hlm. 179.
58
manusia. Sumber pengembangan tersebut tidak lain kecuali wahyu Allah yang telah sempurna yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya sasaran pembudayaan Islam tersebut bukan hanya mewariskan kepada generasi muda saja, tetapi juga meluaskan jangkauan penetrasi budaya Islami kepada budaya ummat.39 Seluruh kehidupan yang dituntun oleh petunjuk wahyu itu membentuk diri Mukmin menjadi Manusia berbudaya. Hasil segala karya dan cipta kaum Mukmin, kebudayaan, segala isi dan coraknya tidak mungkin terlepas dari norma dan ukuran wahyu Ilahi. Wahyu itu sendiri telah mencetak otak dan benaknya, hati dan budinya, pikiran dan perasaannya.40 Budaya merupakan media dakwah yang tidak kurang pentingnya. Juru Dakwah mempunyai kewajiban moril membendung “kebudayaan liar” yang meracuni masyarakat. Budaya Islam harus tampil kedepan mengimbangi kebudayaan asing. Budayawan Islam adalah Juru Dakwah dalam bidangnya. Mereka adalah karyawan dan ciptawan Dakwah Islam yang tidak kurang pentingnya dengan Muballigh Islam. Kondisi budaya yang melingkupi kekuasaan al-Makmun dapat dilihat dari berbagai dimensi, diantaranya adalah: Kota Baghdad sebagai kota negara dibuka untuk semua bangsa, dan dijadikan sebagai kota internasional ilmu pengetahuan.
39 40
Departemen Agama RI.1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm.69 M. Isa Anshary. Op.cit.Hlm.165
59
Ilmu pengetahuan diangkat sebagai sesuatu yang mulia yang dikembangkan seluas-luasnya, rakyat bebas berfikir dan dalam segala bidang diberi hak penuh memperoleh hak asasinya, para menteri keturunan non Arab, utamanya dari unsur Persi diberi hak penuh menjalankan pemerintahan negara, para Khalifah Abbasiah berusaha sungguh-sungguh membangun ekonomi negara.41 Masyarakat pada pemerintahan al-Makmun terbagi dalam dua kelas yaitu kelas khusus dan kelas umum. Kelas khusus yaitu terdiri dari khalifah, ahli famili khalifah (bani hasyim), para pembesar negara, para kaum bangsawan (umumnya terdiri dari suku Quraisy) para petugas khusus negara, anggota tentara,dan pembantu-pembantu negara. Kelas umum yaitu terdiri dari para ulama, fuqoha, seniman, pujangga, saudagar, pengusaha, para tukang, dan petani.42 Oleh sebab itu maka pembagian masyarakat tersebut mencerminkan adanya pemisahan masyarakat antara pemerintah dan masyarakat umum (yang diperintah). Pertumbuhan dan perkembangan Islam pada masa al-Makmun adalah sejalan pula dengan pertumbuhan dan perkembangan budaya dakwah. Islam identik dengan dakwah, dan dakwah identik pula dengan Islam. Islam mengalami kemajuan berarti kemajuan bagi dakwah, begitu pula sebaliknya. Pada pemerintahan al-Makmun, pertumbuhan dan perkembangan agama Islam diwarnai oleh dua kehidupan, yaitu kehidupan Iman dan Zindiq. Kehidupan Iman yaitu kehidupan yang diwarnai dengan hati dan agama, kepercayaan iman yang kholishoh dan kehidupaan agama yang shodiqoh. Kehidupan 41
Ma’ruf Misbah, 1988, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : Wijaya Wicaksana, hlm.
42
A.Hasjmy. op.cit. hlm. 243.
32.
60
Zindiq yaitu kehidupan yang diwarnai akal dan pikiran serta rasa, yang menimbulkan keraguan tentang iman dan menentang agama dengan ajaranajarannya.43 Gambaran situasi budaya di atas, kemudian menimbulkan berbagai interpretasi dan apresiasi agama, yang mewarnai kehidupan umat Islam seperti: Syi’ah, Jabariyah, Qodariyah, Murji’ah, Muktazilah, dan Ahlu sunah. Syi’ah adalah suatu aliran agama, yang semula merupakan golongan pengikut dan sahabat Ali ra., mereka menamakan diri demikian karena mereka mendukung duduknya Ali ra. sebagai khalifah. Namun dalam perkembangan selanjutnya mereka menyebarkan faham-faham keagamaan yang diindikasikan sebagai ajaran Imam Ali ra. Jabariyah adalah, suatu aliran agama yang berfaham bahwa segala sesuatunya adalah atas kehendak dan ketentuan Tuhan (ajaran serba taqdir). Qodariyah adalah suatu aliran agama yang berpendapat bahwa seluruh gerak dan usaha manusia atas perilakunya itu sendiri bukan dari Allah. Murji’ah adalah berpendirian keimanan seseorang tidak akan binasa karena kemaksiatan. Mu’tazilah adalah aliran agama yang berpendirian bahwa tolok ukur kebenaran adalah rasio yang merupakan motor penggerak usaha manusia. Ahlussunnah adalah aliran agama yang berpendirian bahwa seseorang memenuhi syarat keislaman bilamana menuturkan syahadat, diikuti dengan kepercayaan hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan / tingkah laku.44 Pertumbuhan dan perkembangan aliran-aliran tersebut beserta kegiatan dakwahnya lambat laun mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan Islam 43 44
I b i d. hlm. 148. M.Taib Tahir Abdul Mu’in. 1981, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, hlm. 90-105.
61
secara luas dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masing-masing dari mereka berpegang teguh terhadap keyakinannya, mereka fanatik dengan keyakinannya, bahkan mereka menyerang lawan madzhabnya dan menuduhnya kafir serta keluar dari Islam. Perang argumen terjadi diantara mereka, setiap sekte mendapat dukungan dari penguasa dan gubernur, maka semakin kuatlah posisi mereka. Setiap aliran atau sekte memiliki makalah dan buku tentang ajarannya, negara yang membekkingnya dan kekuasaan yang melegalkannya.45
4. Pendidikan Pendidikan (dakwah) Islam ke luar tidak lain adalah untuk menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat bangsa / suku bangsa agar mereka menerimanya menjadi sistem hidup. Pendidikan Islam pada masa pertumbuhan dan perkembangannya, juga pada masa-masa berikutnya mempunyai dua sasaran yaitu generasi muda sebagai generasi penerus dan masyarakat bangsa lain yang belum menerima ajaran Islam, untuk sasaran kedua, yaitu penyampaian ajaran Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang dalam Islam lazim disebut sebagai dakwah Islami. Sedangkan dalam arti yang pertama, yaitu pewarisan ajaran Islam kepada generasi penerus sebagai pendidikan Islam.46 Seorang pendidik agama yang sekaligus seorang da’i, bukanlah tugasnya semata-mata untuk mengajarkan ilmu agama. (Islamologi) akan tetapi yang terpenting adalah mendidik. Sebab mengajar hanyalah memberikan pengetahuan 45
Muhammad Sayyid Al-Wakil. 1998, Wajah Dunia Islam, dari dinasti Bani Umaiyah hingga Imperialisme Modern, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, hlm.93. 46 Departemen Agama RI. Op.cit. Hlm.70
62
agama saja, sehingga orang pandai ilmu agama. Sebaliknya mendidik mempunyai arti menanamkan tabiat kepada orang agar mereka taat kepada ajaran agama membentuk pribadi muslim.47 Pendidikan agama di lembaga merupakan media dakwah. Sebab pendidikan agama pada dasarnya menanamkan ajaran Islam kepada orang, yang mana hal ini bertujuan untuk melaksanakan perintah Allah (dakwah). Kecintaan dan keintelektualannya al-Makmun kepada ilmu Kependidikan tersebut yang meletakkan dirinya di puncak daftar khalifah Abbasiah. Di Baitul Hikmah beliau mengumpulkan berbagai ilmu pengetahuan asing, kemudian memerintahkan supaya dibeli dan dikumpulkan untuknya buku-buku karya asing, kemudian memerintahkan supaya diterjemahkan kepada bahasa Arab. Pada zamannya itulah muncul filosof Arab yang agung, yaitu al-Kindi, yang telah menulis mengenai beberapa ilmu pengetahuan. Al-Hallaj bin Yusuf bin Matr menterjemahkan untuk al-Makmun beberapa buah buku karya Euclides dan buku Ptolemy.48 Baitul Hikmah yang semula hanya disediakan untuk menterjemahkan buku-buku,
kemudian
ditingkatkan
fungsinya
sebagai
sekolah
tinggi,
perpustakaan dan tempat penterjemahan. Di samping itu masjid-masjid juga merupakan pusat pendidikan dan penyebaran-penyebaran ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum.49
47
Asmuni Syukir. Op.cit. Hlm.168 A.Syalab,.Op.cit. Hlm. 137 49 Abu Ahmadi. 1976. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: CV.Toha Putra. Hlm.84 48