Bab III Landasan Teori III.1 Metode Resistivitas Metoda resistivitas adalah salah satu metode eksplorasi geofisika yang memanfaatkan sifat resistivitas media untuk mempelajari keadaan bawah permukaan. Prinsip sederhananya, arus dialirkan/diinjeksikan ke dalam bumi melalui sepasang elektroda arus dan responnya diterima berupa beda potensial pada sepasang elektroda potensialnya. Dari respon ini, kemudian dapat dipelajari sifat kelistrikan media di bawah permukaan, sehingga memungkinkan dilakukan interpretasi geologi untuk membuat model geologi bawah permukaan berdasarkan sifat kelistrikan tersebut (Parasnis, 1963). III.1.1 Konsep Dasar Kelistrikan Untuk kasus suatu elektroda arus tunggal di permukaan medium setengah tak berhingga (Gambar III.1), besar potensial V di suatu titik sejauh r dari pusat arus dinyatakan sebagai V =
Iρ 2π r
(1)
dimana I adalah arus listrik yang menembus bola berongga dan ρ adalah resistivitas medium.
Gambar III.1. Pola aliran arus listrik yang dipancarkan dan distribusi potensial yang dihasilkan oleh elektroda arus tunggal di permukaan medium setengah tak berhingga (Loke, 2004)
11
Sedangkan untuk kasus arus ganda, Gambar III.2 menunjukkan potensial oleh elektroda arus ganda yang diinjeksikan di atas permukaan medium setengah tak berhingga. Dari Lampiran 3, ditunjukkan beda potensial antara P1 dan P2 sebagai Iρ 1 1 − 2 π r1 r2
∆V =
1 1 − − r4 r3
(2)
dimana r1 dan r2 berturut-turut adalah jarak suatu titik dari elektroda arus C1 dan C2, r3 dan r4 berturut-turut adalah jarak suatu titik dari elektroda arus C3 dan C4. Persamaan
(2)
dapat
dinyatakan
juga
dalam
bentuk
resistivitas
dan
disederhanakan sebagai
ρ = k
∆V I
(3)
Dengan R = ∆V I , maka persamaan (3) dapat dituliskan sebagai
ρ = kR dimana k =
(4)
2π adalah faktor geometri yang bergantung pada 1 1 1 1 − − − r1 r2 r3 r4
susunan keempat elektrodanya.
Gambar III.2. Pola aliran arus listrik yang dipancarkan dan distribusi potensial yang dihasilkan oleh elektroda arus ganda di permukaan medium setengah tak berhingga (Loke and Barker, 1996)
12
Dalam eksplorasi geolistrik, untuk mengukur resistivitas di lapangan digunakan persamaan (4), yang diturunkan dari arus listrik pada medium homogen setengah tak berhingga. Asumsi bahwa bumi dianggap medium setengah tak berhingga karena jarak elektroda jauh lebih kecil daripada jari-jari bumi. Namun karena sifat bumi yang pada umumnya berlapis (terutama di dekat permukaan), maka asumsi bahwa mediumnya homogen adalah tidak terpenuhi. Sehingga nilai resistivitas ρ yang terhitung dengan persamaan (4) bukan merupakan resistivitas yang sebenarnya, tetapi suatu nilai “semu” atau apparent resistivity (ρa), yang merupakan resistivitas dari medium homogen, yang mana akan memberikan nilai resistansi yang sama untuk susunan elektroda yang sama. Untuk menentukan resistivitas bawah permukaan sebenarnya dari nilai resistivitas semu, maka penentuan dengan menggunakan metode-metode inversi umumnya dilakukan. III.1.2 Konfigurasi Elektroda Schlumberger Untuk konfigurasi Schlumberger (Gambar III.3) dimana r1 = r4 = L - b dan r2 = r3 = L + b, maka persamaan (2) menjadi ∆V =
Iρ a 2b 2 2 π L −b
(5)
atau
ρa =
π (L 2 − b 2 ) Λ V 2b
I
(6)
Gambar III.3. Konfigurasi elektroda Schumberger yang digunakan dalam survei resistivitas (Robinson and Çoruh, 1988)
13
Untuk kasus khusus dari Gambar III.3, jika jarak AM = NB = 2a dan jarak MN = a, atau r1 = r4 = na dan r2 = r3 = (n+1)a, maka persamaan (5) dan (6) menjadi
∆V =
Iρ a 1 π n ( n + 1) a
(7)
ΛV I
(8)
atau
ρ a = n ( n + 1)π a
III.1.3 Teknik Pengukuran III.1.3.1 Resistivity Sounding Resistivity sounding adalah metode pengukuran resistivitas yang bertujuan untuk mendapatkan informasi konduktivitas medium pada arah vertikal (model bumi berlapis). Model pengukuran ini menganggap bahwa medium memiliki sifat homogen secara lateral. Pengukuran resistivity sounding dilakukan dengan pengukuran berulang-ulang menggunakan jarak elektroda kecil sampai besar dengan pusat titik duga yang tetap untuk sekali sounding. Kedalaman penetrasi adalah fungsi dari jarak elektroda (AB/2), yang berarti makin besar jarak elektroda, makin dalam penetrasi yang dihasilkan. III.1.3.2 Resistivity Profiling Resistivity Profiling atau resistivity mapping adalah metode pengukuran yang bertujuan untuk mendapatkan informasi konduktivitas medium dalam arah mendatar (variasi lateral). Pengukuran dilakukan setelah diperoleh informasi umum perlapisan data sounding, kemudian ingin diketahui variasi lateralnya. Tidak seperti data sounding, pengukuran dengan profiling hanya dilakukan untuk lapisan tertentu yang dianggap penting. Hasilnya berupa penampang atau peta beberapa titik (untuk lapisan tertentu) dan kemudian dibuatkan konturnya. Kontur ini menggambarkan anomali/keheterogenan secara lateral pada lapisan tertentu.
14
III.1.3.3 Resistivity Imaging Resistivity imaging merupakan gabungan dari metoda resistivity sounding dan resistivity profiling yang akan menghasilkan penampang resistivitas pada arah lateral maupun vertikal (penampang 2D).
III.1.4 Metode Inversi Pada prinsipnya, inversi data resistivitas berfungsi untuk menentukan resistivitas dan ketebalan lapisan-lapisan yang berbeda dari kurva apparent resistivity melalui fungsi kernel, sebagai (Dimri, 1992):
ρa(x) → K(λ) → (ρ,h)
(9)
dimana ρa(x) adalah kurva apparent resistivity yang bertindak sebagai fungsi input, K(λ) adalah fungsi kernel yang dapat ditentukan menggunakan Flathe or Pekeris recursive methods (Lampiran 4, masing-masing, persamaan 4-3 dan 4-4), dan (ρ,h) adalah masing-masing resistivitas dan ketebalan lapisan yang merupakan output dari proses inversi. Proses inversi diawali dari suatu model perkiraan seputar resistivitas dan ketebalan lapisan-lapisan yang berbeda diasumsikan dan model teoritik dihitung. Hasil-hasil perhitungan kemudian dibandingkan dengan data observasi hingga perbedaan antara kedua data tersebut minimum. Pada metode ini, perbandingan dilakukan dalam dua domain, yaitu (1) domain apparent resistivity dan (2) domain transfer resistivitas. Pada pendekatan pertama, nilai apparent resistivity dihitung untuk model perkiraan dan kemudian dibandingkan dengan pengukuran lapangan,
dimana
kurva-kurva
apparent
resistivity
dihasilkan
dengan
menggunakan filter linier. Sedangkan pada pendekatan kedua, dihasilkan nilai sampel transformasi resistivitas dari nilai-nilai apparent resistivity dan kemudian dibandingkan dengan nilai-nilai transformasi resistivitas dari parameter-parameter model (lihat Lampiran 4).
15
Gambar III.4 Skema inversi pada resistivity sounding
Gambar III.4 menunjukkan skema invesi 1D pada resistivity sounding, menggunakan prinsip-prinsip inversi data resistivitas. Secara umum, inversi 1D dimulai dengan memberikan harga-harga resistivitas dan ketebalan/kedalaman lapisan yang kira-kira sesuai dengan data lapangan sebagai model awal. Dari data model awal ini dilakukan perhitungan untuk memperoleh harga resistivitas semu teoritis yang selanjutnya dicocokkan dengan resistivitas semu hasil pengukuran. Jika kedua resistivitas tersebut masih menunjukkan tingkat kesalahan yang besar, maka dilakukan iterasi dengan mengubah model awalnya. Sedangkan metode inversi 2-D digunakan untuk menghasilkan penampangpenampang bawah permukaan true resistivity secara vertikal maupun lateral (penampang 2D). Inversi 2D cukup panjang dan rumit, sehingga diperlukan bantuan program komputer, dalam hal ini dengan menggunakan program RES2DINV. Formulasi inversi default smoothness-constrained yang digunakan dalam program RES2DINV, diberikan oleh (Loke, 2004): (JTJ + λF)∆q = JTg
(10)
dimana J adalah matriks Jacobian, λ adalah damping factor, ∆q adalah vektor perubahan parameter model, dan g adalah discrepancy vector; serta F = αxCxTCx +
16
αyCyTCy + αzCzTCz, dimana Cx, Cy dan Cz adalah matriks-matriks smoothing, masing-masing, pada arah x, y dan z; dan αx, αy dan αz adalah pemberat-pemberat relatif yang diberikan pada filter-filter smoothness, masing-masing, pada arah x, y dan z. Persamaan (10) membatasi perubahan pada nilai-nilai resistivitas model, ∆q, untuk smooth, tetapi tidak menjamin perubahannya dalam cara yang smooth.
Untuk mengatasi problem di atas, persamaan (10) dapat dimodifikasi untuk meminimalisir variasi-variasi spasial pada parameter-parameter model, menjadi (JTJ + λF)∆q = JTg - λFq
(11)
dimana q adalah nilai-nilai resistivitas model. Persamaan (11) merupakan persamaan inversi untuk metode smoothness-constrained least squares [Ellis and Oldenburg 1994a (Loke, 2004)]. Metode ini akan cenderung menghasilkan suatu model dengan variasi-variasi nilai resistivitas yang smooth, dimana hanya dapat diterima jika variasi-variasi tersebut dalam cara yang smooth dan gradasional. Namun pada beberapa kasus, geologi bawah permukaan terdiri dari sejumlah region yang secara internal hampir homogen dengan batas-batas yang tajam (sharp boundaries) antara region-region yang berbeda. Untuk kasus semacam ini, persamaan (11) dapat dimodifikasi menjadi (JTJ + λF)∆q = JT Rd g - λFR q
(12)
dengan FR = αxCxT RmCx + αyCyT RmCy + αzCzT RmCz dimana Rd dan Rm adalah matriks-matriks pemberat. Persamaan (12) merupakan persamaan inversi untuk metode smoothness-constrained optimization atau robust inversion (Loke, 2004). Gambar III.5 menunjukkan contoh model sesar sintetik yang terdiri dari empat blok resistivitas, masing-masing, 10 Ωm, 32 Ωm, 64 Ωm dan 100 Ωm, yang dibuat dengan menggunakan program RES2DMOD. Model sintetik ini kemudian dilakukan inversi dengan menggunakan program RES2DINV. Dari hasil inversi menggunakan software RES2DINV pada Gambar III.5, terlihat bahwa metode robust inversion memberikan hasil yang lebih baik dalam menggambarkan model resistivitas sintetik dibandingkan dengan metode least square inversion.
17
Gambar III.5
Perbandingan hasil inversi imaging 2-D dengan menggunakan konfigurasi Schlumberger, (a) model sesar sintentik dari empat blok resistivitas, (b) metode least-squares inversion, dan (c) metode robust inversion
III.1.5 Sifat Kelistrikan Material Bumi Kisaran harga resistivitas dari beberapa batuan umum, tanah dan mineral ditunjukkan pada Tabel III.1. Batuan-batuan beku dan metamorf secara khas memiliki harga-harga resistivitas yang tinggi. Resistivitas pada batuan-batuan ini bergantung pada derajat rekahan dan persentase rekahan yang terisi dengan air tanah. Jenis batuan ini dapat memiliki rentang resistivitas yang besar, dari sekitar 1000 Ωm hingga 10 juta Ωm, tergantung pada apakah ini kering atau basah. Batuan-batuan sedimen, yang mana biasanya lebih ‘porous’ dan mempunyai kandungan air yang tinggi, umumnya memiliki harga resistivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan batuan beku dan metamorf. Harga resistivitas batuan-batuan sedimen berkisar antara 10-10.000 Ωm yang sangat bergantung pada porositas batuan dan salinitas air yang dikandung.
18
Tabel III.1. Kisaran harga resistivitas berbagai batuan, tanah dan mineral
(Keller & Frischknecht, 1966; Telford et al., 1990)
Batuan-batuan tak terkonsolidasi pada umumnya memiliki harga resistivitas yang lebih rendah dari pada batuan-batuan sedimen, dengan harga resistivitas sekitar 10 Ωm hingga 1.000 Ωm, yang mana tergantung pada porositasnya (diasumsikan
seluruh pori tersaturasi). Tanah lempungan pada umumnya memiliki harga resistivitas yang lebih rendah daripada tanah pasiran, tergantung pada faktorfaktor seperti porositas, derajat saturasi air dan konsentrasi garam-garam terlarutnya. Harga resistivitas air tanah bervariasi dari 10 Ωm sampai 100 Ωm, tergantung pada konsentrasi garam-garam terlarutnya. Air laut memiliki resistivitas lebih rendah (sekitar 0,2 Ωm) akibat kandungan garam yang relatif tinggi. Hal ini membuat metode resistivitas menjadi teknik yang ideal untuk memetakan interface antara air tawar dan air asin di daerah pesisir (Loke, 2004).
19
III.2 Hidrogeologi III.2.1 Siklus Hidrologi dan Aliran Air Tanah III.2.1.1 Siklus Hidrologi Air tanah (groundwater) adalah air di bawah permukaan yang termasuk dalam zona jenuh air (saturated zone). Siklus air tanah erat hubungannya dengan siklus air meteorik yang merupakan bagian dari siklus hidrologi (Gambar III.6).
http://www.lablink.or.id/Env/Hidro/air‐pol.htm
Gambar III.6 Gambaran skematik siklus hidrologi
Proses-proses utama yang terjadi dalam siklus hidrologi meliputi proses evaporasi, evapotranspirasi dan presipitasi. Proses evaporasi adalah proses penguapan air ke atmosfir dari tubuh-tubuh air yang ada di bumi baik dari laut, sungai, atau danau. Evapotranspirasi adalah gabungan dari proses evaporasi dan proses transpirasi (proses penguapan air yang terkandung dalam tanah yaitu soil moisture dari zona perakaran dan aktivitas vegetasi). Sedangkan presipitasi (hujan) merupakan proses yang mengembalikan air dari atmosfir ke daratan dan lautan. Sebagian air hujan tertampung di danau/rawa, sebagian mengalir ke darat membentuk aliran permukaan dan sebagian lagi terserap (infiltrasi/perkolasi) di daerah imbuhan (recharge zone) untuk menjadi air tanah.
20
III.2.1.2 Prinsip-Prinsip Aliran Air Tanah Secara prinsip, air akan mengalir dari elevasi tinggi menuju ke elevasi rendah, dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, dan dari head tinggi ke head rendah. Ketika air bergerak dengan kecepatan v, maka total head dapat didefinisikan dengan menggunakan persamaan Bernoulli, sebagai jumlah dari velocity head, elevation head dan pressure head, yaitu
v2 P + z + h = 2g ρg
(13)
dimana h adalah total head atau hydraulic head (m), v adalah kecepatan aliran fluida (m/s), z adalah elevasi pusat gravitasi fluida di atas elevasi referensi (m), P adalah tekanan fluida (Pa atau N/m2), ρ adalah densitas fluida (kg/m3) dan g adalah percepatan gravitasi bumi (m/s2). Persamaan (13) berlaku untuk aliran tetap dari fluida inkompresibel tanpa gesekan (non-viscous).
Karena kecepatan air tanah yang mengalir dalam medium berpori di bawah gradien-gradien hidraulik natural adalah sangat lambat, maka komponen pertama pada ruas kanan persamaan (13) dapat diabaikan, sehingga total head pada persamaan (13) menjadi h = z +
P ρg
(14)
Selanjutnya, Hukum Darcy merelasikan hubungan antara gradien hidraulik (dh/dl) dengan discharge (Q) sebagai
dh Q = − KA dl
(15)
dimana K adalah konduktivitas hidraulik atau disebut juga koefisien permeabilitas dan A adalah luas penampang. Persamaan (15) juga dapat dinyatakan sebagai
dh q = −K dl
(16)
dimana q = Q/A adalah specific discharge atau Darcy flux. Berdasarkan persamaan (16) ditunjukkan bahwa laju aliran air tanah dalam akuifer sangat tergantung pada besarnya konduktivitas hidraulik dan gradien hidrauliknya.
21
III.2.2 Akuifer dan Fenomena Intrusi Air Laut
III.2.2.1 Akuifer Aquifer adalah suatu formasi geologi yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan meloloskan air dalam jumlah yang berarti. Secara hidrodinamik, ada tiga tipe aquifer, yaitu: 1. Akuifer tertekan (confined aquifer), yaitu aquifer yang bagian atas dan bawahnya dibatasi oleh lapisan yang relatif impermiabel, yang dapat bersifat aquifug atau aquiclud. Aquifug adalah lapisan impermiabel yang tidak mampu
menyimpan dan meneruskan air, misalnya batuan kristalin metamorf kompak. Sedangkan aquiclud adalah lapisan yang mampu menyimpan air, tetapi tidak dapat mengalirkannya dalam jumlah yang berarti, misalnya lempung, lanau, tuff halus. 2. Akuifer bebas (Unconfined aquifer), yaitu aquifer yang bagian atasnya dibatasi oleh lapisan permiabel dan muka air tanah, sedangkan bagian bawahnya dibatasi oleh suatu lapisan impermiabel. 3. Akuifer bocor (Semi confined aquifer), yaitu aquifer yang dibatasi oleh lapisan semipermiabel (aquitard) di bagian atasnya dan lapisan impermiabel di bagian bawahnya. Aquitard adalah lapisan batuan yang sedikit lolos air dan tidak mampu melepaskan air pada arah mendatar, namun mampu melepaskannya kearah vertikal, misalnya lempung pasiran.
Gambar III.7 Penampang geologi yang menggambarkan aquifer bebas dan tertekan, sumur artesian serta permukaan piezometrik (Ludman & Nicholas, 1982)
22
Kemampuan suatu batuan untuk mentransmisikan air sangat ditentukan oleh porositas dan permeabilitasnya. Menurut Heath (1983), sistem bukaan (porositas) batuan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu (1) sistem bukaan primer (primary openings) dan (2) sistem bukaan sekunder (secondary openings) (Gambar III.7).
Sistem bukaan primer terbentuk bersamaan dengan terbentuknya batuan, sedangkan sistem bukaan sekunder terbentuk setelah terbentuknya batuan, terutama akibat proses deformasi batuan yang menyebabkan terjadinya struktur lipatan dan sesar yang pada akhirnya dapat membentuk rekahan dalam batuan.
Gambar III.8 Sistem bukaan (porositas) pada batuan (Heath, 1983)
Sedangkan permeabilitas adalah besaran kemampuan batuan untuk meloloskan fluida, mengikuti Hukum Darcy. Batuan yang mempunyai porositas tinggi belum tentu permeabilitasnya juga tinggi. Agar batuan memiliki permeabilitas yang tinggi, maka pori-pori atau rongga antar butirnya harus saling berhubungan. III.2.2.2 Fenomena Intrusi Air Laut di Daerah Pesisir Intrusi air laut merupakan fenomena yang sering terjadi pada akuifer-akuifer pesisir. Secara umum, fenomena ini dapat terjadi ketika muka air tanah pada akuifer air tawar lebih rendah daripada permukaan laut rata-rata, sehingga air laut akan mendesak air tawar kearah darat. Namun, jika muka air tanah masih lebih tinggi daripada permukaan laut rata-rata, maka air tawar akan mendesak air laut.
23
Secara analitik, hubungan keseimbangan air tawar dan air asin pada medium berpori dapat diilustrasikan dengan tabung-U (Gambar III.9), sebagaimana dijelaskan oleh prinsip Ghyben-Herzberg.
Gambar III.9
Keseimbangan hidrostatik antara air tawar dan air asin dalam tabung-U berdasarkan prinsip Ghyben-Herzberg (Todd, 1980)
Tekanan yang diberikan pada setiap sisi tabung adalah
ρ s gH = ρ f g ( H + h)
(17)
Persamaan (17) kemudian dapat dituliskan sebagai H=
ρf ρs − ρ f
(18)
h
Dengan mengasumsikan bahwa akuifer pesisir adalah homogen dan berlaku kesetimbangan hidrostatik, maka hubungan antara air tawar dan air asin berdasarkan prinsip Ghyben-Herzberg dapat dijelaskan seperti Gambar III.10. Jika diambil nilai densitas air tawar, ρf = 1.000 kg/m3 dan densitas air asin, ρs = 1.025 kg/m3, maka persamaan (18) menjadi H = 40 h
(19)
dimana h adalah ketebalan air tawar di atas permukaan laut dan H adalah ketebalan interface air tawar di bawah permukaan laut. Persamaan (19) mengindikasikan bahwa suatu penurunan kecil pada nilai h akan berpengaruh besar terhadap penurunan nilai H. Berdasarkan prinsip Ghyben-Herzberg pada medium berpori (Gambar III.10), intrusi air laut dapat terjadi ketika posisi permukaan laut lebih tinggi daripada muka air tanah. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain eksploitasi air tanah yang berlebihan, kurangnya infiltrasi pada zona imbuhan dan
24
Gambar III.10 Hubungan air asin dan air tawar pada akuifer pesisir berdasarkan prinsip Ghyben-Herzberg (Todd, 1980)
naiknya permukaan laut akibat efek pasang surut. Ketika intrusi terjadi, dan karena densitas air tawar lebih kecil daripada air asin, maka air asin pada akuifer air laut akan mendesak air tanah pada akuifer air tawar. Zona air tawar dan zona air asin dalam akuifer pesisir dipisahkan oleh suatu zona transisi atau zona difusi yang di dalamnya terjadi percampuran antara air tawar dan air asin (Gambar III.11). Percampuran ini, menurut Barlow (2003) akibat adanya gaya-gaya dinamik yang berkerja pada kedua zona (zona air tawar dan zona air asin).
Gambar III.11 Sirkulasi air tanah ‘tawar’ dan ‘asin’ di zona transisi pada akuifer pesisir (Barlow, 2003)
25
Secara numerik, fenomena intrusi air laut dapat dijelaskan dengan menggunakan persamaan umum aliran fluida dalam volume kontrol atau Representative Elementary Volume (REV) (Gambar III.12). Dari penurunan rumus pada Lampiran
5, dihasilkan persamaan umum yang dinyatakan sebagai r ∂P ∂ρ ∂C − ∇( ρq ) + ρ qs = ρS P +θ ∂C ∂t ∂t
(20)
r dimana ∇ adalah operator gradien, ρ adalah densitas fluida, q adalah vektor
specific discharge, ρ adalah densitas air dari sumber yang masuk dan yang
keluar, qs adalah laju aliran volumetrik per satuan volume aquifer yang merepresentasikan sumber aliran, θ adalah porositas, P adalah tekanan fluida, C adalah konsentrasi larutan, SP adalah specific storage dalam bentuk tekanan, dan t adalah waktu. Ruas kiri persamaan (20) merupakan jumlah fluks massa yang melewati bidang REV dan laju massa yang masuk atau yang keluar REV. Sedangkan bentuk pertama pada ruas kanan persamaan (20) adalah laju akumulasi massa fluida akibat perubahan tekanan pori fluida, dan bentuk keduanya adalah laju akumulasi massa fluida akibat perubahan konsentrasi larutan. Persamaan (20) adalah bentuk umum dari persamaan diferensial untuk aliran air tanah variably-density dalam medium berpori. Dengan demikian, laju aliran air tanah dengan densitas berubah-ubah dalam suatu medium, dikontrol oleh perubahan pori fluida dan perubahan konsentrasi larutan.
Gambar III.12 Konsep dasar aliran massa fluida per satuan volume (Representative Elementary Volume) dalam media berpori (Guo & Langevin, 2002)
26
III.2.3 Dampak Intrusi Air Laut terhadap Kualitas Air Tanah
Intrusi air laut yang masuk ke dalam akuifer air tawar, akan berpengaruh pada penurunan kualitas air tanah. Seberapa besar dampak yang ditimbulkan, tergantung pada besarnya konsentrasi garam-garam terlarut yang dikandung. Untuk mengetahui perubahan kualitas air tanah akibat intrusi air laut di daerah pesisir, dapat dilakukan dengan mengukur dan/atau menghitung parameterparameter fisika-kimia dari sampel-sampel air sumur atau mata air, antara lain meliputi : (1) Total Dissolved Solids (TDS), (2) Daya hantar listrik (DHL), (3) pH dan (4) salinitas. 1) Total Dissolved Solids (TDS); adalah jumlah total garam-garam terlarut dalam air, yang biasanya dinyatakan dalam mg/L atau ppm. Klasifikasi air berdasarkan kandungan garam-garam terlarut ditunjukkan pada Tabel III.2. Tabel III.2 Klasifikasi air berdasarkan nilai Total Dissolved Solids (TDS) (Fetter, 1994) Kategori Airtawar Air Payau Air Saline Brine
TDS (mg/L) 0 – 1.000 1.000 – 10.000 10.000 – 100.000 >100.000
2) Daya hantar listrik (DHL) atau disebut juga electrical conductivity (EC); adalah mengukur kemampuan air untuk menghantarkan arus listrik. DHL bergantung pada banyaknya ion-ion atau partikel-partikel bermuatan dalam air. Secara umum ketika TDS dalam air meningkat, maka nilai DHL juga akan meningkat. DHL biasanya dinyatakan dalam satuan (µS/cm). 3) pH; merepresentasikan derajat keasamanan atau alkalinitas suatu larutan. Nilai pH < 7 berarti larutan bersifat asam, pH = 7 bersifat netral dan pH > 7 bersifat basa (alkalin). Jika terdapat kelebihan ion-ion hidrogen (H+), maka larutan bersifat asam, dan sebaliknya jika ion-ion hidroksil (OH-) yang lebih, maka larutan tersebut dikatakan bersifat basa (alkalin). Untuk tujuan air minum, rentang batas pH air yang diizinkan menurut ketentuan WHO (Laluraj et al., 2005) adalah 6,5-8,5. 4) Salinitas; adalah kuantitas total dari garam-garam terlarut dalam suatu tubuh air. Kadar salinitas dinyatakan dalam satuan (‰). 27