BAB III LANDASAN TEORI
A. Karakteristik Marshall pada Asphalt Treated Base (ATB) 1. Stabilitas (Stability) Stabilitas merupakan kemampuan maksimum suatu benda uji campuran aspal dalam menahan beban sampai terjadi kelelehan plastis dan dinyatakan dalam satuan beban. Untuk stabilitas harus sesuai dengan persyaratan campuran aspal yang sudah ditentukan dalam spasifikasi yang dipakai. Apabila stabilitas tinggi harus menggunakan agregat yang bergradasi rapat (dense graded), permukaan yang kasar dan jenis agregat yang keras dan berbentuk kubikal. Aspal yang digunakan harus penetrasinya rendah dan cukup untuk ikatan agregat. Stabilitas lapisan pekerjaan jalan adalah kemampuan lapisan perkerasan jalan menerima beban lalulintas tanpa terjadi perubahan bentuk seperti gelombang dan alur. Kebutuhan stabilitas sebanding dengan fungsi jalan dan beban lalu lintas yang dilayani. Jalan yang melayani volume lalu lintas tinggi dan mayoritas kendaraan berat membutuhkan perkerasan jalan dengan stabilitas tinggi. Stabilitas terjadi dari hasil geseran antar butir , penguncian antar partikel dan daya ikat yang baik dari lapisan aspal. Untuk mendapatkan stabilitas yang tinggi, biasanya dapat dilakukan penggunaan agregat dengan gradasi yang rapat, agregat dengan permukaan yang kasar, agregat berbentuk kubus, aspal dengan penetrasi rendah serta aspal dalam jumlah yang mencukupi untuk ikatan antar butir. 2. Kelelehan (flow) Kelelehan adalah besarnya deformasi vertikal benda uji yang terjadi mulai saat awal pembebanan sampai kondisi kestabilan maksimum sehingga sampel sampai batas runtuh dinyatakan dalam satuan mm. Nilai flow yang tinggi mengindikasikan campuran bersifat plastis dan lebih mampu mengikuti deformasi akibat beban, sedangkan nilai flow yang rendah mengindikasikan campuan tersebut memiliki banyak rongga kosong yang tidak terisi aspal
15
16
sehingga campuran berpotensi untuk mudah retak. Pengukuran flow bersamaan dengan pengukuran nilai stabilitas Marshall. Nilai flow juga diperoleh dari hasil pembacaan langsung pada alat Marshall Test sewaktu melakukan pengujian Marshall. 3. Density (Kerapatan) Density merupakan kerapatan dari campuran setelah dilakukan pemadatan di laboratorium maupun di lapangan. Nilai density ini digunakan untuk membandingkan nilai kepadatan dari perkerasan baik dari laboratorium maupun dari lapangan dan sebagai batasannya ≥ 96% terhadap kepadatan di laboratorium. Tingkat kerapatan dari rongga perkerasan dipengaruhi oleh jumlah kadar aspal, kualitas dan jenis fraksi agregat dari bahan penyusun. 4. Rongga Udara dalam Campuran / Void in Mix (VIM) VIM adalah volume rongga yang masih tersisa setelah campuran beton aspal dipadatkan, dinyatakan dalam persen (%). VIM dibutuhkan untuk mengetahui besarnya rongga campuran akibat bergesernya butir-butir agregat dalam butir aspal. VIM yang terlalu kecil akan mengakibatkan beton aspal mengalami bleeding dan VIM yang terlalu besar mengakibatkan beton aspal berkurang kekedapan airnya sehingga berakibat meningkatnya proses oksidasi aspal yang dapat mempercepat penuaan aspal dan menurunkan durabilitas (keawetan/daya tahan). 5. Rongga Terisi Aspal / Voids Filled with Asphalt (VFA) VFA adalah volume rongga beton aspal yang terisi oleh aspal, dinyatakan dalam persen (%). Parameter VFA diperlukan untuk mengetahui perkerasan memilki keawetan dan tahan air yang cukup memadai. 6. Rongga diantara Mineral Agregat / Void in Mineral Agregat (VMA) VMA adalah ruang diantara partikel agregat pada suatu perkerasan beraspal, termasuk rongga udara dan volume aspal efektif (tidak termasuk volume aspal yang diserap agregat). Volume rongga yang terdapat diantara partikel agregat suatu campuran beraspal yang telah dipadatkan, yaitu rongga udara dan volume kadar aspal efektif yang dinyatakan dalam persentase terhadap volume total benda uji.
17
7. Marshall Quotient (MQ) MQ adalah hasil bagi dari stabilitas dengan kelelehan yang dipergunakan untuk pendekatan terhadap tingkat kekakuan atau kelenturan campuran, dinyatakan dalam Kn/mm. Nilai MQ yang tinggi menunjukkan nilai kekakuan lapis keras tinggi. Lapis keras yang mempunyai nilai MQ yang terlalu tinggi akan mudah terjadi retak-retak akibat repitisi beban lalu lintas. Jika nilai MQ yang
terlalu
rendah
menunjukkan
campuran
terlalu
fleksibel
yang
mengakibatkan perkerasan mudah berubah bentuk bila menahan beban lalu lintas. Marshall Quotient besarnya merupakan indikator dari kelenturan yang potensial terhadap keretakan. Persyaratan untuk nilai parameter Marshall dapa dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Persyaratan sifat campuran untuk ATB No
Sifat-sifat Campuran
Min
Maks
Satuan
1.
Stabilitas
1800
-
Kg
2.
Kelelehan
4,5
-
Mm
3.
Quitient Marshall
300
-
Kg/mm
4.
Rongga dalam Campuran (VIM)
3
5
%
5.
Rongga di antara mineral agregat (VMA)
13
-
%
6.
Rongga terisi aspal (VFA)
60
-
%
Sumber : Spesifikasi umum 2010 (Revisi 2), PU-Bina Marga
B. Perhitungan Campuran 1. Berat Jenis Efektif Total Agregat Berat jenis efektif total agregat dapat ditentukan dengan persamaan dibawah ini yang digunakan berdasrkan hasil pengujian kepadatan maksimum teoritis. Berat jenis efektif dari total agregat dapat dihitung dengan persamaan berikut :
18
dengan, Gse total agregat
= Berat jenis efektif agregat gabungan (gr/cc)
Gsb
= Berat jenis kering/bulk spesific gravity (gr/cc)
Gsa
= Berat jenis semu/apparent spesific gravity (gr/cc)
Gse1, Gse2, ... Gsen = Berat jenis efektif dari masing-masing agregat 1, 2, ... n Pmm
= Persen berat total campuran (=100)
Gmm
=Berat
jenis
campuran
maksimum
teoritis
setelah
pemadatan (gr/cc) Pb
= Persentase kadar aspal terhadap total campuran (%)
Gb
= Berat jenis aspal (gr/cc)
2. Berat Jenis Maksimum dengan Kadar Aspal yang Berbeda
Gmm =
Pmm ……………...…………........……….........………...…...........(3.2) Ps Pb + Gse Gb
dengan, Gmm
= Berat jenis campuran maksimum (gr/cc)
Pmm
= Persen berat terhadap total campuran (=100)
Ps
= Kadar agregat, persen terhadap berat total campuran
Pb
= Kadar aspal, persen terhadap berat tital campuran
Gse
= Berat jenis efektif agregat (gr/cc)
Gb
= Berat jenis aspal (gr/cc)
3. Berat Jenis Bulk Berat jenis kering (bulk spesific gravity) dari total agregat dapat dihitung menggunakan persamaan berikut :
Gsb =
P1+ P2 + P3... + Pn …………….....………………….........……….....(3. 3) P1 P2 P3 Pn + + ... + G1 G2 G3 Gn
19
dengan, Gsb
= berat jenis bulk
P1,P2,Pn
= persentase masing-masing fraksi agregat
G1,G2,Gn
= berat jenis masing-masing fraksi agregat
4. Berat jenis curah campuran padat Gmb
Wa ……………...……….....………….........………...……………....(3. 4) Vbulk
Dengan: Gmb
= Berat jenis curah campuran padat (gr/cc)
Vbulk
= Volume campuran setelah pemadatan (cc)
Wa
= Berat di udara.(gr)
5. Rongga diantara mineral agregat VMA 100
Gmb Ps ……………...……………....…….........………...….....(3. 5) Gsb
dengan : VMA
= rongga diantara mineral agregat, persen terhadap volume total campuran
Gsb
= berat jenis bulk
Gmb
= berat jenis curah campuran padat
Ps
= persen agregat terhadap berat total campuran.
6. Rongga di dalam campuran VIM 100
Gmm Gmb ……………...……………….........……….......….....(3. 6) Gmm
dengan : VIM
= rongga di dalam campuran, persen terhadap volume total campuran
20
Gmb
= berat jenis curah campuran padat
Gmm
= berat jenis maksimum campuran.
7. Rongga terisi aspal
VFA =
100 (VMA -VIM ) ……………...…………………...........………...….....(3.7) VMA
dengan : VFA
= rongga terisi aspal, persen terhadap VMA
VMA
= rongga diantara mineral agregat
VIM
= rongga di dalam campuran.
8. Stabilitas Nilai stabilitas diperoleh berdasarkan pembacaan arloji tekan dikalikan dengan hasil kalibrasi cincin penguji serta angka korelasi beban. Angka korelasi beban terlampir. 9. Kelelehan (mm) Dibaca pada arloji pengukur pelelehan. 10. Marshall Quotient Marshall Quotient dapat dihitung dengan menggunalan persamaan berikut : MQ
S ……………...........................………………….........………...….......(3.8) F
dengan, MQ
= Marshall Quotient (kg/mm)
S
= nilai stabilitas (kg)
F
= nilai flow (mm)
21
C. Pemadatan Pemadatan adalah proses dimana partikel-partikel solid dirapatkan secara mekanis sehingga volume rongga dalam campuran mengecil dan kepadatan campuran meningkat dan mengatur distribusi partikel agregat dalam campuran sehingga menghasilkan konfigurasi agregat optimum dalam mencapai kepadatan yang ditargetkan dan Metode Marshall adalah metode untuk menguji parameter yang diperlukan (Bowles, 1991). Pemadatan pada intinya merupakan suatu upaya untuk memperkecil jumlah rongga dalam suatu campuran, sehingga mencapai nilai yang diisyaratkan. Karena perannya yang besar terhadap karakteristik perkerasan, maka pemadatan baik pada waktu pelaksanaan di lapangan maupun pemadatan di laboratorium untuk pembuatan benda uji Marshall, diatur sedemikian untuk menghindari penyimpangan. Pemadatan
pada
pelaksanaannya
sangat
rawan
akan
terjadinya
penyimpangan-penyimpangan, baik karena alat-alat yang digunakan tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan atau juga karena jumlah lintasan (passing) alat pemadat dalam melakukan pemadatan menyimpang dari jumlah yang ditetapkan. Ada dua jenis pemadatan yang dilakukan, yaitu :
a. Pemadatan di Laboratorium Pemadatan di laboratorium diperlukan untuk mendapatkan campuran dalam cetakan besi (mold) berbentuk silinder, untuk dijadikan benda uji dalam pemeriksaan dengan alat uji Marshall. Pemadatan diawali dengan spesimen campuran dalam cetakan ditusuk-tusuk sebanyak 25 kali, dibagian tepi 15 kali dan 10 kali di bagian tengah, kemudian dipadatkan pada suhu 140 oC dengan 2 x 35 kali tumbukan untuk lalu lintas ringan, 2 x 50 kali tumbukan untuk lalu lintas sedang, dan 2 x 75 kali tumbukan untuk lalu lintas berat. Sedangkan beban seberat 4,536 kg dijatuhkan dari ketinggian 45,7 cm untuk menumbuk spesimen tersebut.
22
b. Pemadatan di Lapangan Ketika
dipadatkan
di
laboratorium,
campuran
memiliki
penahan
(retraining) yang baik oleh cetakan (mold). Sedang yang terjadi di lapangan, campuran dipadatkan dalam keadaan tergelar bebas tanpa penahan, sehingga sebelum tergilas (asphalt finisher) bekerja dengan baik dan operator berpengalaman, sehingga prosedur
pemadatan
yang
dilaksanakan bisa sesuai dengan ketentuan. Tahap-tahap pemadatan di lapangan sesuai dengan buku Petunjuk pelaksanaan Laston Atas No. 03/PT/B/1983 sebagai berikut: 1. Pemadatan awal (break down rolling) Pemadatan awal dilakukan pada temperature minimum 80oC, dengan menggunakan tandem roller, atau mesin gilas roda tiga (4-6 ton) dengan jumlah lintasan 2-4 kali pada kecepatan 3-4 km/jam 2. Pemadatan antara (intermediate rolling) Pemadatan antara dilakukan setelah pemadatan pertama selesai dengan menggunakan mesin gilas roda karet (self propelled pneumatic tired roller) berat 10-12 ton dan tekanan angin 70-80 psi pada kecepatan 5 km/jam. 3. Pemadatan akhir (finishing rolling) Pemadatan akhir dilakukan dengan tandem roller 4-6 ton langsung setelah pemadatn antara berakhir, pada temperature minimum 60oC atau sedikit diatas titik leleh aspal yang digunakan dengan jemlah lintasan antara 4-6 kali pada kecepatan 5-8 km/jam.