BAB III LANDASAN TEORI
Perawatan (Maintenance)1
3.1.
Perawatan adalah sebuah operasi atau aktivitas yang harus dilakukan secara berkala dengan tujuan untuk melakukan pergantian kerusakan peralatan dengan resources yang ada. Perawatan juga ditujukan untuk mengembalikan suatu sistem
pada
kondisinya
agar
dapat
berfungsi
sebagaimana
mestinya,
memperpanjang usia kegunaan mesin, dan menekan failure sekecil mungkin. Manajemen perawatan dapat digunakan untuk membuat sebuah kebijakan mengenai aktivitas perawatan, dengan melibatkan aspek teknis dan pengendalian manajemen ke dalam sebuah program perawatan. Pada umumnya, semakin tingginya aktivitas perbaikan dalam sebuah sistem, kebutuhan akan manajemen dan pengendalian di perawatan menjadi semakin penting. Berikut adalah sembilan pendekatan untuk membuat sebuah program perawatan yang efektif: 1.
Mengidentifikasi kekurangan eksisting.
2.
Membuat tujuan akhir dari program.
3.
Menetapkan skala prioritas.
4.
Menetapkan parameter untuk pengukuran performansi.
5.
Menetapkan rencana jangka pendek dan juga jangka panjang.
6.
Sosialisasi perencanaan terhadap bagian-bagian yang terkait.
7.
Implementasi perencanaan.
8.
Laporan berkala.
1
Gross, John. M. 2002. Fundamental of Preventive Maintenance. Hal: 5-8
Universitas Sumatera Utara
9.
Pemeriksaan kemajuan secara rutin.
3.1.1.Pengklasifikasian Perawatan Adapun klasifikasi dari perawatan mesin adalah: 1.
Preventive Maintenance Preventive Maintenance adalah salah satu komponen penting dalam
aktivitas perawatan (maintenance). Preventive maintenance adalah aktivitas perawatan yang dilakukan sebelum terjadinya kegagalan atau kerusakan pada sebuah sistem atau komponen, dimana sebelumnya sudah dilakukan perencanaan dengan pengawasan yang sistematik, deteksi, dan koreksi, agar sistem atau komponen tersebut dapat mempertahankan kapabilitas fungsionalnya. Beberapa tujuan dari preventive maintenance adalah mendeteksi lebih awal terjadinya kegagalan/kerusakan, meminimalisasi terjadinya kegagalan dan meminimalkan kegagalan produk yang disebabkan oleh kerusakan sistem. Ada empat faktor dasar dalam memutuskan penerapan preventive maintenance: a. Mencegah terjadinya kegagalan. b. Mendeteksi kegagalan. c. Mengungkap kegagalan tersembunyi (hidden failure). d. Tidak melakukan apapun karena lebih efektif daripada dilakukan pergantian. Dengan mengidentifikasi keempat faktor dalam melaksanakan preventive maintenance, terdapat empat kategori dalam mengspesifikasikan preventive maintenance. Keempat ketegori tersebut adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Time-Directed (TD) adalah perawatan yang diarahkan
1.
secara langsung pada pencegahan kegagalan atau kerusakan. 2.
Condition-Directed
(CD)
adalah
perawatan
yang
diarahkan pada deteksi kegagalan atau gejala-gejala kerusakan. 3.
Failure-Finding (FF)
adalah
perawatan
yang
perawatan
yang
diarahkan pada penemuan kegagalan tersembunyi. 4.
Run-to-Failure (RTF)
adalah
didasarkan pada pertimbangan untuk menjalankan komponen hingga rusak karena pilihan lain tidak memungkinkan atau tidak menguntungkan dari segi ekonomi. 2.
Predictive Maintenance2 Predictive maintenance didefinisikan sebagai pengukuran yang dapat
mendeteksi degradasi sistem, sehingga penyebabnya dapat dieliminasi atau dikendalikan tergantung pada kondisi fisik komponen. Hasilnya menjadi indikasi kapabilitas fungsi sekarang dan masa depan. Pada dasarnya, predictive maintenance berbeda dengan preventive maintenance dengan berdasarkan kebutuhan perawatan pada kondisi actual mesin dari pada jadwal yang telah ditentukan. Dapat dikatakan bahwa preventive maintenance bersifat time-based, seperti pergantian oli setiap 3000 jam kerja. Hal ini tidak memperhatikan performa dan kondisi aktual mesin. Jika dilakukan pemeriksaan, mungkin penggantian oli dapat diperpanjang hingga 5000 jam kerja. Hal ini yang membedakan antara preventive maintenance dengan
2
predictive
Operation & Management Best Practices Guide. Hal: 5.4-5.5
Universitas Sumatera Utara
maintenance dimana predictive maintenance menekankan kegiatan perawatan pada kondisi aktual. 3.
Time Directed Maintenance Time directed maintenance dapat dilakukan apabila variabel waktu dari
komponen atau sistem diketahui. Kebijakan perawatan yang sesuai untuk diterapkan pada time directed maintenance adalah periodic maintenance dan oncondition maintenance. Periodic maintenance (hard time maintenance) adalah perawatan pencegahan yang dilakukan secara terjadwal dan bertujuan untuk mengganti sebuah komponen atau system berdasarkan interval waktu tertentu. On-condition maintenance merupakan kegiatan perawatan yang dilakukan berdasarkan kebijakan operator. 4.
Condition Based Maintenance Condition Base Maintenance merupakan aktivitas perawatan pencegahan
yang dilakukan berdasarkan kondisi tertentu dari suatu komponen atau sistem, yang bertujuan untuk mengantisipasi sebuah komponen atau sistem agar tidak mengalami kerusakan. Karena variable waktunya tidak pasti diketahui, kebijakan yang sesuai dengan kondisi tersebut adalah predictive maintenance. Predictive Maintenance merupakan suatu kegiatan perawatan yang dilakukan dengan menggunakan sistem monitoring, misalnya analisis dan komposisi gas. 5.
Failure Finding Failure Finding merupakan kegiatan perawatan pencegahan yang
bertujuan untuk mendeteksi kegagalan yang tersembunyi, dilakukan dengan cara
Universitas Sumatera Utara
memeriksa fungsi tersembunyi (hcidden function) secara periodik untuk memastikan kapan suatu komponen mengalami kegagalan.
6.
Run to Failure Run to Failure tergolong sebagai perawatan pencegahan karena faktor
ketidaksengajaan yang bisa saja terjadi dalam beberapa peralatan. Disebut juga sebagai no schedule maintenance karena dilakukan jika tidak ada tindakan pencegahan yang efektif dan efisien yang dapat dilakukan, jika dilakukan tindakan pencegahan terlalu mahal atau dampak kegagalan tidak terlalu esensial (tidak terlalu berpengaruh). 7.
Corrective Maintenance Corrective Maintenance merupakan kegiatan perawatan yang dilakukan
untuk mengatasi kegagalan atau kerusakan yang ditemukan selama masa waktu preventive maintenance. Pada umumnya, corrective maintenance bukanlah aktivitas perawatan yang terjadwal, karena dilakukan setelah sebuah komponen mengalami kerusakan dan bertujuan untuk mengembalikan kehandalan sebuah komponen atau sistem ke kondisi semula.
3.2.
Kehandalan (Reliability)3 Kehandalan atau reliability dapat diartikan sebagai peluang bahwa sebuah
komponen akan mampu melaksanakan sebuah fungsi yang spesifik dalam suatu kondisi operasi dan periode waktu tertentu. Kehandalan merupakan salah satu ukuran keberhasilan sistem pemeliharaan yang digunakan untuk menentukan
Universitas Sumatera Utara
penjadwalan pemeliharaan sendiri. Konsep kehandalan digunakan juga pada berbagai industri, misalnya dalam penentuan interval penggantian komponen mesin. Secara umum, fungsi kehandalan dinyatakan sebagai berikut:
Dimana f(y) merupakan fungsi kegagalan sedangkan R(t) merupakan fungsi kehandalan. Oleh sebab itu, pemenuhan performa terjadi pada tiga batasan yaitu: 1. Fungsi 2. Waktu 3. Kondisi operasi Ukuran pemenuhan performa dinyatakan dalam sebuah notasi peluang. Pemenuhan performa tersebut bukan bersifat deterministik, sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti terjadi atau tidak. Oleh sebab itu, kita harus menggunakan peluang dimana sebuah komponen akan sukses atau gagal dalam batasan tertentu karena tidak mungkin untuk menyatakannya secara pasti.
Gambar 3.1. Bathtub Curve
Universitas Sumatera Utara
Secara umum konsep reliability dapat digambarkan dalam bathtub curve untuk menjelaskan siklus hidup komponen. Nama kurva tersebut disesuaikan dengan bentuk kurva, dimana kurva tersebut menyatakan tiga hal: 1. Infant Mortality Stage: pada tahap awal pengembangan produk, terdapat beberapa part, material, proses yang tidak terpantau oleh bagian quality control. Item yang tidak standard ini kemudian rusak lebih cepat dari pada total waktu hidup produk. Saat masalah ini muncul dan perlahan diperbaiki, tingkat kerusakan populasi akan menurun dan menstabilkan populasi. 2. On Average Stage: saat stabilisasi populasi selesai, laju kerusakan produk menjadi konstan. Namun, kita tidak dapat memprediksikan secara pasti kapan kerusakan terjadi karena terjadinya kerusakan tersebut secara random. 3. Aging and Wearout Stage: saat masa pemakaian produk meningkat, beberapa mekanisme kegagalan potensial dapat terjadi namun tidak secara random. Faktanya, kerusakan tersebut berdasarkan waktu atau siklus dan mengarah pada penuaan dan keausan. Dengan demikian, laju kerusakan akan mulai naik dan umur pakai produk mendekati akhir. Beberapa bentuk variasi bathtub curve untuk menggambarkan siklus kerusakan komponen dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3.2. Variasi Bathtub Curve Kurva-kurva tersebut terbagi ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan persentase kerusakan: 1. Hanya sekitar 3-4% yang sebenarnya mencerminkan konsep kurva bathtub tradisional (kurva A). 2. Sekitar 4-20% komponen mengalami karakteristik proses penuaan atau aus (aging) selama masa pakai (kurva A, B, C).
Universitas Sumatera Utara
3. Sebaliknya, 77-92% komponen tidak menunjukkan mekanisme keausan atau penuaan selama masa pakai (D, E, F).
3.3.
Pola Distribusi Data Pola distribusi kerusakan mesin atau komponennya biasanya merupakan
distribusi Weibull, Lognormal, Eksponensial, Gamma dan Normal. Pola-pola berikut ini merupakan pola yang umum menggambarkan distribusi kerusakan komponen mesin.
3.3.1. Distribusi Weibull Distribusi ini dikembangkan oleh W. Weibull pada awal tahun 1950. Distribusi Weibull adalah salah satu distribusi yang penting pada teori reliability. Distribusi Weibull sangat luas digunakan untuk analisa kehilangan performansi pada sistem kompleks di dalam sistem engineering. Secara umum, distribusi ini dapat digunakan untuk menjelaskan data saat waktu menunggu hingga terjadi kejadian dan untuk menyatakan berbagai fenomena fisika yang berbeda-beda. Dengan demikian, distribusi ini dapat diterapkan pada analisa resiko karena dapat menduga umur pakai (life time) komponen. Fungsi-fungsi dari distribusi Weibull: 1. Fungsi Kepadatan Probabilitas
βt f (t ) = α α
β −1
t β exp − α
t ≥ γ ;α , β ≥ 0
Universitas Sumatera Utara
2. Fungsi Distribusi Kumulatif t β F (t ) = 1 − exp − α 3. Fungsi Keandalan t β R(t ) = exp − α R(t ) = 1 − F (t )
4. Fungsi Laju Kerusakan
f (t ) β t h(t ) = = R(t ) α α
β −1
5. MTTF (Mean Time To Failure) MTTF adalah rata-rata waktu atau interval waktu kerusakan mesin atau komponen dalam distribusi kegagalan.
1 MTTF = αΓ1 + β Γ = Fungsi Gamma, Γ (n) = (n-1)!, dapat diperoleh melalui nilai fungsi gamma.
Dimana, menurut Stirling n! ≈ 2π n Π
= 3,142...
e
= 2,718...
nn en
Parameter β disebut dengan parameter bentuk atau kemiringan weibull (weibull slope), sedangkan parameter α disebut dengan parameter skala atau
Universitas Sumatera Utara
karakteristik hidup. Bentuk fungsi distribusi weibull bergantung pada parameter bentuknya (β), yaitu: 1. β < 1: Distribusi weibull akan menyerupai distribusi hyper-exponential dengan laju kerusakan cenderung menurun. 2. β = 1: Distribusi weibull akan menyerupai distribusi eksponensial dengan laju kerusakan cenderung konstan. 3. β > 1 : Distribusi weibull akan menyerupai distribusi normal dengan laju kerusakan cenderung meningkat.
Gambar 3.3. Pola Distribusi Weibull
3.3.2. Distribusi Lognormal Distribusi lognormal sangat cocok menggambarkan lamanya waktu perbaikan suatu komponen. Fungsi-fungsi dari distribusi Lognormal: 1. Fungsi Kepadatan Probabilitas f (t ) =
[ln(t ) − µ ]2 1 ; −∞
Universitas Sumatera Utara
2. Fungsi Distribusi Kumulatif
3.
Fungsi Keandalan ∞
R(t ) =
∫ t
[ln (t ) − µ ]2 dt exp − 2 2 σ tσ 2π 1
R(t ) = 1 − F (t )
4. Fungsi Laju Kerusakan h(t ) =
f (t ) R (t )
5. MTTF (Mean Time To Failure)
σ2 MTTF = exp µ + 2 Kosep reliability distribusi Lognormal tergantung pada nilai μ (rata-rata) dan σ (standar deviasi).
Gambar 3.4. Pola Distribusi Lognormal
Universitas Sumatera Utara
3.3.3. Distribusi Eksponensial Distribusi ini secara luas digunakan dalam kehandalan dan perawatan. Hal ini dikarenakan distribusi ini mudah digunakan untuk berbagai tipe analisis dan memiliki laju kegagalan yang konstan selama masa pakai. Fungsi-fungsi dari distribusi Eksponensial: 1. Fungsi Kepadatan Probabilitas f (t ) = λ e − λ t
t>0 2. Fungsi Distribusi Kumulatif F (t ) = 1 − e − λ t 3. Fungsi Keandalan R(t ) = e − λ t 4. Fungsi Laju Kerusakan h(t ) = λ
5. MTTF (Mean Time To Failure)
MTTF =
1
λ
Gambar 3.5. Pola Distribusi Eksponensial
Universitas Sumatera Utara
3.3.4. Distribusi Gamma Distribusi Gamma memiliki karakter yang hampir mirip dengan distribusi Weibull dengan shape parameter β dan scale parameter α. Fungsi-fungsi dari distribusi Gamma: 1. Fungsi Kepadatan Probabilitas t t β −1 f (t ) = β exp − ; t ≥ 0 ;α , β > 0 α Γ(β ) α 2. Fungsi Distribusi Kumulatif
t t β −1 exp − dt β α Γ(β ) α 0 t
F (t ) = ∫
3. Fungsi Keandalan R(t ) = 1 − F (t ) ∞
R(t ) =
t t β −1 ∫t α β Γ(β ) exp− α dt
4. Fungsi Laju Kerusakan h(t ) =
f (t ) R (t )
5. MTTF (Mean Time To Failure) ∞
MTTF = ∫ R(t ) dt 0
Ada dua kasus khusus berkaitan dengan distribusi gamma. Kasus yang pertama saat β = 1 dan yang kedua β = integer, maka saat:
Universitas Sumatera Utara
β = 1;
β = integer;
f (t ) =
t exp − α α 1
t t β −1 f (t ) = β exp − α (β − 1) α
Gambar 3.6. Pola Distribusi Gamma
3.3.5. Distribusi Normal Distribusi normal adalah distribusi yang paling sering dan umum digunakan. Distribusi normal disebut juga distribusi Gauss yang ditemukan oleh Carl Friedrich Gauss (1777-1855). Fungsi-fungsi dari distribusi Normal adalah: 1. Fungsi Kepadatan Probabilitas
f (t ) =
(t − µ ) 2 1 ; − ∞ < t < ∞ exp − 2 2 σ σ 2π
Universitas Sumatera Utara
2. Fungsi Distribusi Kumulatif t
F (t ) = ∫ 0
(t − µ ) 2 1 dt exp − 2σ 2 σ 2π
3. Fungsi Keandalan ∞
R(t ) = ∫ t
(t − µ ) 2 1 dt exp − 2σ 2 σ 2π
4. Fungsi Laju Kerusakan
5. MTTF (Mean Time To Failure)
MTTF = µ Kosep reliability distribusi normal tergantung pada nilai μ (rata-rata) dan σ (standar deviasi).
Gambar 3.7. Pola Distribusi Normal
Universitas Sumatera Utara
3.4.
Uji Kolmogorov-Smirnov Dalam menganalisis kesesuaian data dapat dimanfaatkan Uji Goodness of
fit (kesesuaian) antara frekuensi hasil pengamatan dengan frekuensi yang diharapkan. Alternatif dari uji goodness of fit yang dikemukakan oleh A. Kolmogorov dan N.V.Smirnov dua matematikawan yang berasal dari Rusia, adalah Kolmogorov–Smirnov, yang beranggapan bahwa distribusi variabel yang sedang diuji bersifat kontinu dan sampel diambil dari populasi sederhana. Dengan demikian uji ini hanya dapat digunakan bila variabel yang diukur paling sedikit dalam skala ordinal. Uji Kolmogorov–Smirnov dapat diterapkan pada 2 keadaan, yaitu: 1.
Menguji apakah suatu sampel mengikuti suatu bentuk distibusi populasi teoritis.
2.
Menguji apakah dua buah sampel berasal dari dua populasi yang identik. Ada beberapa keuntungan dan kerugian relatif dari uji kesesuaian
Kolmogorov–Smirnov dibandingkan dengan uji kesesuaian Chi-Kuadrat, yaitu : 1.
Data dalam uji Kolmogorov–Smirnov tidak perlu dilakukan kategorisasi. Dengan demikian semua informasi hasil pengamatan terpakai.
2.
Uji Kolmogorov–Smirnov bisa dipakai untuk semua ukuran sampel, sedang uji Chi-Kuadrat membutuhkan ukuran sampel minimum tertentu.
3.
Uji Kolmogorov–Smirnov tidak bisa dipakai untuk memperkirakan parameter populasi. Sebaliknya uji Chi-Kuadrat bisa digunakan untuk memperkirakan parameter populasi dengan cara mengurangi derajat bebas sebanyak parameter yang diperkirakan.
Universitas Sumatera Utara
4.
Uji Kolmogorov–Smirnov memakai asumsi bahwa distribusi populasi teoritis bersifat kontinu. Langkah–langkah prinsip uji Kolmogorov–Smirnov sebagai berikut:
1.
Susun frekuensi-frekuensi berurutan dari nilai terkecil sampai nilai terbesar.
2.
Susun frekuensi kumulatif dari nilai–nilai teramati itu.
3.
Konversikan frekuensi kumulatif itu ke dalam probabilitas, yaitu ke dalam fungsi distribusi frekuensi kumulatif (fs(x)). Sekali lagi ingat bahwa, distribusi frekuensi teramati harus merupakan hasil pengukuran variabel paling sedikit dalam skala ordinal (tidak bisa dalam skala nominal).
4.
Carilah probabilitas (luas area) kumulatif untuk setiap nilai teramati. Hasilnya ialah apa yang kita sebut Ft(xi).
5.
Susun Fs(x) berdampingan dengan Ft(x). Hitung selisih absolut antara Fs(xi) dan Ft(xi) pada masing – masing nilai teramati.
6.
Statistik uji Kolmogorov – Smirnov ialah selisih absolut terbesar Fs(xi) dan Ft(xi) yang juga disebut deviasi maksimum D, ditulis sebagai berikut: D = Fs ( x i ) − Ft ( x i ) maks, i = 1,2,….N.
7.
Dengan mengacu kepada distribusi pengambilan sebagian data kita bisa mengetahui apakah perbedaan sebesar itu (yaitu nilai D maksimum teramati) terjadi hanya karena kebetulan. Dengan mengacu pada nilai tabel D, kita dapat melihat berapa probabilitas (dua sisi) kejadian untuk menemukan nilai – nilai teramati sebesar D. Jika probabilitas itu sama atau lebih kecil dari α, maka Ho ditolak.
Universitas Sumatera Utara
Prinsip dari uji Kolmogorov–Smirnov ialah menghitung selisih absolut antara fungsi distribusi frekuensi kumulatif sampel (Fs(x)) dan fungsi distribusi frekuensi kumulatif teoritis (Ft(x)) pada masing – masing interval kelas. Hipotesis yang diuji dinyatakan sebagai berikut (dua sisi), yaitu: Ho : F(x) = Ft(x) untuk semua x dari − ∼sampai + ∼ Hi : F(x) ≠ Ft(x) untuk paling sedikit sebuah x Dengan F(x) adalah fungsi distribusi frekuensi kumulatif populasi pengamatan. Statistik uji Kolmogorov – Smirnov merupakan selisih terbesar antara Fs(x) dan Ft(x) yang kita sebut deviasi maksimum D. Statistik D ditulis sebagai berikut : D = Fs ( x ) − Ft ( x ) maks, `
i = 1,2,…n
Nilai D kemudian dibandingkan dengan nilai kritis pada tabel distribusi pengambilan sebagian data, pada ukuran sampel n dan tingkat kemaknaan α. Ho ditolak bila nilai teramati maksimum D lebih besar atau sama dengan nilai kritis D maksimum. Dengan penolakan Ho berarti distribusi teoritis berbeda secara bermakna. Sebaliknya dengan menolak Ho berarti terdapat perbedaan bermakna antara distribusi teramati dan distribusi teoritis. Perbedaan–perbedaan yang tampak disebabkan variasi pengambilan sebagian data (sampling variation).
3.5.
Interval Penggantian Komponen dengan Total Minimum Downtime Pada dasarnya downtime didefinisikan sebagai waktu suatu komponen
sistem tidak dapat digunakan (tidak berada dalam kondisi yang baik), sehingga membuat fungsi sistem tidak berjalan. Berdasarkan kenyataan bahwa pada dasarnya prinsip utama dalam manajemen perawatan adalah untuk menekan
Universitas Sumatera Utara
periode kerusakan (breakdown period) sampai batas minimum, maka keputusan penggantian komponen sistem berdasarkan downtime minimum menjadi sangat penting. Pembahasan berikut akan difokuskan pada proses pembuatan keputusan penggantian komponen sistem yang meminimumkan downtime, sehingga tujuan utama dari manajamen sistem perawatan untuk memperpendek periode kerusakan sampai batas minimum dapat dicapai. Penentuan tindakan preventif yang optimum (meminimumkan downtime akan dikemukakan berdasarkan interval waktu penggantian (replacement interval). Tujuan untuk menentukan penggantian komponen yang optimum berdasarkan
interval
waktu, tp,
diantara penggantian
preventif dengan
menggunakan kriteria meminimumkan total downtime per unit waktu, dapat dijelaskan melalui gambar 3.6 berikut. Penggantian Preventif
Penggantian karena rusak
Tf
Tp
Tf
tp
Satu siklus
Gambar 3.8. Penggantian Komponen Berdasarkan Interval Waktu Dari gambar 3.6, dapat dilihat bahwa total downtime per unit waktu untuk tindakan penggantian preventif pada waktu tp, dinotasikan sebagai D(tp) adalah: D(t p ) =
H (t p )T f + T p t p + Tp
Universitas Sumatera Utara
Dimana: H(tp) : Banyaknya kerusakan (kegagalan) dalam interval waktu (0,tp), merupakan nilai harapan (expected value) Tf
: Waktu yang diperlukan untuk penggantian komponen karena kerusakan.
Tp
: Waktu yang diperlukan untuk penggantian komponen karena tindakan preventif (komponen belum rusak).
tp + Tp : Panjang satu siklus. Dengan meminimumkan total minimum downtime, akan diperoleh tindakan penggatian komponen berdasarkan interval waktu tp yang optimum. Untuk komponen yang memiliki distribusi kegagalan mengikuti distribusi peluang tertentu dengan fungsi peluang f(t), maka nilai harapan (expected value) banyaknya kegagalan yang terjadi dalam interval waktu (0,tp) dapat dihitung sebagai berikut:
H (t p ) =
t p −1
∑ [1 + H (t i =0
i +1
p
− 1 − i)
] ∫ f (t )dt i
H(0) ditetapkan sama dengan nol sehingga untuk tp= 0, maka H(tp) = H(0) = 0.
3.6.
Reliability Centered Maintenance (RCM)4 Reliability Centered Maintenance (RCM) didefinisikan sebagai sebuah
proses yang digunakan untuk menentukan kebutuhan perawatan terhadap aset yang bersifat fisik dalam konteks operasinya. Secara mendasar, metodologi RCM menyadari bahwa semua peralatan pada sebuah fasilitas tidak memiliki tingkat
Universitas Sumatera Utara
prioritas yang sama. RCM menyadari bahwa disain dan operasi dari peralatan berbeda-beda sehingga memiliki peluang kegagalan yang berbeda-beda juga. Pendekatan RCM terhadap program maintenance memandang bahwa suatu fasilitas tidak memiliki keterbatasan finansial dan sumber daya, sehingga perlu diprioritaskan dan dioptimalkan. Secara ringkas, RCM adalah sebuah pendekatan sistematis untuk mengevaluasi sebuah fasillitas dan sumber daya untuk menghasilkan reliability yang tinggi dan biaya yang efektif. RCM sangat bergantung pada predictive maintenance tetapi juga menyadari bahwa kegiatan maintenance pada peralatan yang tidak berbiaya mahal dan tidak penting terhadap reliability peralatan lebih baik dilakukan pendekatan reactive maintenance. Pendekatan RCM dalam melaksanakan program maintenance dominan bersifat predictive dengan pembagian sebagai berikut: 1. < 10% Reactive. 2. 25% - 35% Preventive. 3. 45% - 55% Predictive. Tujuan dari RCM adalah: 1. Untuk membangun suatu prioritas disain untuk memfasilitasi kegiatan perawatan yang efektif. 2. Untuk merencanakan preventive maintenance yang aman dan handal pada level-level tertentu dari sistem. 3. Untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan perbaikan item dengan berdasarkan bukti kehandalan yang tidak memuaskan. 4. Untuk mencapai ketiga tujuan di atas dengan biaya yang minimum.
Universitas Sumatera Utara
Karena RCM sangat menitikberatkan pada penggunaan predictive maintenance maka keuntungan dan kerugiannya juga hampir sama. Adapun keuntungan RCM adalah sebagai berikut: 1. Dapat menjadi program perawatan yang paling efisien. 2. Biaya yang lebih rendah dengan mengeliminasi kegiatan perawatan yang tidak diperlukan. 3. Minimisasi frekuensi overhaul. 4. Minimisasi peluang kegagalan peralatan secara mendadak. 5. Dapat memfokuskan kegiatan perawatan pada komponen-komponen kritis. 6. Meningkatkan reliability komponen. 7. Menggabungkan root cause analysis. Adapun kerugian RCM adalah sebagai berikut: 1. Dapat menimbulkan biaya awal yang tinggin untuk training, peralatan dan sebagainya. Diagram berikut menggambarkan prinsip-prinsip RCM.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3.9. Prinsip-prinsip Dasar RCM Tabel 3.1. menunjukkan matrix prioritas dalam mengembangkan RCM. Tabel 3.1. Matrix Prioritas Maintenance Matrix Prioritas Maintenance untuk Pengembangan RCM Prioritas Bobot Keterangan Aplikasi 1 Emergency Kehidupan, kesehatan, keamanan 2 Urgent Operasi terus menerus pada fasilitas yang beresiko 3 Priority Deadline proyek 4 Routine Prioritas FCFS (first come first serve) 5 Discretionary Diinginkan tetapi tidak penting 6 Deferred Dilaksanakan jika tersedia resource
Tabel 3.2. menunjukkan hierarki RCM.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.2. Hierarki RCM Hierarki Reliability Centered Maintenance Reactive Preventive Predictive Peralatan yang tidak Peralatan yang sering Peralatan dengan pola kritis digunakan kerusakan random Peralatan yang tidak Peralatan dengan pola mudah rusak kerusakan yang diketahui Peralatan kritis
Metodologi RCM dijelaskan dalam empat fitur unik: 1. Pemeliharaan fungsi-fungsi komponen. 2. Identifikasi apa yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan. 3. Prioritaskan kebutuhan fungsi. 4. Memilih kegiatan perawatan yang efektif dan aplikatif terhadap prioritas kegagalan yang tinggi. Adapun langkah-langkah dalam menganalisa sistem berdasarkan RCM: 1. Seleksi sistem dan pengumpulan informasi. Pada saat keputusan untuk melaksanakan program RCM pada mesin atau fasilitas, maka muncul dua pertanyaan: 1. Pada level perakitan (komponen, sistem) proses analisis harus dilakukan? 2. Apakah keseluruhan fasilitas/mesin mendapat proses, jika tidak, pemilihan yang bagaimana yang harus dibuat? Untuk melaksanakan seleksi sistem, prosedur apa yang harus dilakukan untuk mengetahui potensial terbesar untuk dilakukan proses analisis. Cara yang langsung dan terpercaya yang dapat menyelesaikan pertanyaan ini adalah aturan 80-20. Untuk menerapkan aturan 80-20 sebagai dasar dalam pemilihan sistem, kita harus mengumpulkan data yang berhubungan dengan downtime dan
Universitas Sumatera Utara
menggambarkannya dalam diagram pareto. Gambar 3.10. menunjukkan gambar pareto diagram.
Gambar 3.10. Pareto Diagram Dalam pengumpulan informasi, waktu dan usaha dapat dipersingkat jika terdapat dokumen mengenai sistem dan informasi yang berhubungan. Daftar dokumen dan informasi yang berhubungan dengan setiap sistem untuk analisa RCM adalah: a. Sistem skematik atau block diagram. b. Buku manual untuk sistem yang mungkin memiliki informasi penting dari disain dan operasi sistem. c. Data historis peralatan. d. Sistem operasi manual, yang memiliki detail bagaimana sistem tersebut berfungsi. e. Spesifikasi sistem disain.
Universitas Sumatera Utara
2. Definisikan batasan sistem. Ada dua alasan mengapa definisi batasan sistem diperlukan dalam analisa proses RCM: a. Pasti terdapat pengetahuan dari apa yang telah dan belum dimasukkan dalam sistem sehingga daftar komponen yang akurat dapat dianalisa. b. Batasan-batasan yang akan menentukan faktor dalam menentukan apa yang masuk dan keluar dari sistem. Hal ini diperlukan pemahaman mengenai apa yang termasuk dalam sistem dan yang tidak.
3. Deksripsi sistem dan blok diagram fungsi. Setelah seleksi sistem selesai dan batasan sistem juga selesai, maka dilanjutkan pada langkah ketiga untuk identifikasi dan mendokumentasikan detaildetail penting dari sistem. Lima item yang dikembangkan pada langkah ini adalah: a. Deskripsi Sistem b. Functional Block Diagram c. Sistem In/Out d. Struktur Sistem Breakdown e. Historis Peralatan
4. Fungsi sistem dan kegagalan fungsi. Pada bagian ini, proses analisis difokuskan pada kegagalan fungsi, bukan kegagalan peralatan. Biasanya kegagalan fungsi memiliki dua atau lebih kondisi yang menyebabkan kegagalan parsial, minor maupun mayor pada sistem.
Universitas Sumatera Utara
5. FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) FMEA merupakan suatu metode yang bertujuan untuk mengevaluasi desain sistem dengan mempertimbangkan bermacam-macam mode kegagalan dari sistem yang terdiri dari komponen komponen dan menganalisis pengaruhpengaruhnya terhadap keandalan sistem tersebut. Dengan penelusuran pengaruhpengaruh kegagalan komponen sesuai dengan level sistem, item-item khusus yang kritis
dapat
dinilai
dan
tindakan-tindakan
perbaikan
diperlukan
untuk
memperbaiki desain dan mengeliminasi atau mereduksi probabilitas dari modemode kegagalan yang kritis. Dalam FMEA, dapat dilakukan perhitungan RPN untuk menentukan tingkat kegagalan tertinggi. Risk Priority Number (RPN) merupakan hubungan antara tiga buah variabel yaitu Severity (Keparahan), Occurrence (Frekuensi Kejadian), Detection (Deteksi Kegagalan) yang menunjukkan tingkat resiko yang mengarah pada tindakan perbaikan. Adapun variabel dari RPN adalah: 1.
Severity (S) Severity adalah tingkat keparahan atau efek yang ditimbulkan oleh mode kegagalan terhadap keseluruhan mesin. Nilai rating Severity antara 1 sampai 10. Nilai 10 diberikan jika kegagalan yang terjadi memiliki dampak yang sangat besar terhadap sistem. Tabel 3.3. Rating Severity
Rating 10 9 8 7
Criteria of Severity Effect Tidak berfungsi sama sekali Kehilangan fungsi utama dan menimbulkan peringatan Kehilangan fungsi utama Pengurangan fungsi utama
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.3. Rating Severity (Lanjutan) Rating Criteria of Severity Effect 6 Kehilangan kenyamanan fungsi penggunaan 5 Mengurangi kenyamanan fungsi penggunaan 4 Perubahan fungsi dan banyak pekerja menyadari adanya masalah 3 Tidak terdapat efek dan pekerja menyadari adanya masalah 2 Tidak terdapat efek dan pekerja tidak menyadari adanya masalah 1 Tidak ada efek (Sumber: Harpco Systems)
2.
Occurence (O) Occurence adalah tingkat keseringan terjadinya kerusakan atau kegagalan. Occurence berhubungan dengan estimasi jumlah kegagalan kumulatif yang muncul akibat suatu penyebab tertentu pada mesin. Nilai rating Occurence antara 1 sampai 10. Nilai 10 diberikan jika kegagalan yang terjadi memiliki nilai kumulatif yang tinggi atau sangat sering terjadi. Tabel 3.4. Rating Occurrence
Rating Probability of Occurence 10 Lebih besar dari 100 per seribu kali penggunaan 9 50 per seribu kali penggunaan 8 20 per seribu kali penggunaan 7 10 per seribu kali penggunaan 6 5 per seribu kali penggunaan 5 2 per seribu kali penggunaan 4 1 per seribu kali penggunaan 3 0,5 per seribu kali penggunaan 2 Lebih kecil dari 0,1 per seribu kali penggunaan 1 Tidak pernah sama sekali (Sumber: Harpco Systems)
Universitas Sumatera Utara
3.
Detection (D) Deteksi diberikan pada sistem pengendalian yang digunakan saat ini yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi penyebab atau mode kegagalan. Nilai rating deteksi berkisar antara 1 sampai 10. Tabel 3.5. Rating Detection
Rating Detection Design Control 10 Tidak mampu terdeteksi 9 Kesempatan yang sangat rendah dan sangat sulit untuk terdeteksi 8 Kesempatan yang sangat rendah dan sulit untuk terdeteksi 7 Kesempatan yang sangat rendah untuk terdeteksi 6 Kesempatan yang rendah untuk terdeteksi 5 Kesempatan yang sedang untuk terdeteksi 4 Kesempatan yang cukup tinggi untuk terdeteksi 3 Kesempatan yang tinggi untuk terdeteksi 2 Kesempatan yang sangat tinggi untuk terdeteksi 1 Pasti terdeteksi (Sumber: Harpco Systems)
6. Analisa Pohon Logika (LTA) Penyusunan Logic Tree Analysis (LTA) memiliki tujuan untuk memberikan prioritas pada tiap mode kerusakan dan melakukan tinjauan dan fungsi, kegagalan fungsi sehingga status mode kerusakan tidak sama. Prioritas suatu mode kerusakan dapat diketahui dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disediakan dalam LTA ini. Pada bagian kolom tabel LTA mengandung informasi mengenai nomor dan nama kegagalan fungsi, nomor dan mode kerusakan, analisis kekritisan dan keterangan tambahan yang dibutuhkan. Analisis kekritisan menempatkan setiap
Universitas Sumatera Utara
mode kerusakan ke dalam satu dari empat kategori. Empat hal yang penting dalam analisis kekritisan yaitu sebagai berikut: a. Evident, yaitu apakah operator mengetahui dalam kondisi normal, telah terjadi ganguan dalam sistem? b. Safety, yaitu apakah mode kerusakan ini menyebabkan masalah keselamatan? c. Outage, yaitu apakah mode kerusakan ini mengakibatkan seluruh atau sebagian mesin terhenti? d. Category, yaitu pengkategorian yang diperoleh setelah menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan. Pada bagian ini komponen terbagi dalam 4 kategori, yakni: 1. Kategori A (Safety problem) 2. Kategori B (Outage problem) 3. Kategori C (Economic problem) 4. Kategori D (Hidden failure)
7. Pemilihan Kegiatan Tugas yang dipilih dalam kegiatan preventive maintenance harus memenuhi syarat berikut: a. Aplikatif, tugas tersebut akan dapat mencegah kegagalan, mendeteksi kegagalan atau menemukan kegagalan tersembunyi. b. Efektif, tugas tersebut harus merupakan pilihan dengan biaya yang paling efektif diantara kandidat lainnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian pada tugas akhir ini adalah action research, karena
penelitian ini hanya dilakukan sampai pengajuan usulan sistem perawatan dan belum diaplikasikan pada perusahaan.
4.2.
Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di pabrik PT. Sinar Sosro yang beralamat di. Jl.
Medan-Tanjung Morawa KM. 14,5, Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara.
4.3.
Kerangka Konseptual Visi PT. Sinar Sosro adalah menjadi perusahaan beverage yang bersaing
baik pada pasar dalam maupun luar negeri. Oleh sebab itu, untuk mendukung tercapainya visi perusahaan maka mesin yang merupakan asset perusahaan harus dijaga ketersediannya. Karena mesin merupakan salah satu dari faktor produksi yaitu Man, Machine, Material, Method yang memegang peranan penting di dalam proses produksi. Kerangka konseptual pada Gambar 4.1. menjelaskan tentang kerangka konseptual dalam menyelesaikan masalah perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
Output
Input - Existing sistem - Data historis kerusakan mesin - Data lamanya perbaikan
- Mesin dan komponen kritis - MTTF - Jadwal pergantian komponen optimum
Proses Langkah-langkah RCM
Cost Down
Produk cacat/rusak menurun
Target Produksi Tercapai
Visi Perusahaan
Konsumen puas
Permintaan konsumen terpenuhi
Gambar 4.1. Kerangka Konseptual Proses produksi akan berjalan setelah adanya permintaan pelanggan. Untuk mampu memenuhi target perusahaan, maka pihak produksi harus mampu menyesuaikan kemampuan dan kapasitas mesin yang ada dengan memperhatikan kehandalan mesin. Karena lini produksi yang bersifat seri, adanya kerusakan pada satu komponen pada mesin akan menimbulkan breakdown dan proses produksi akan berhenti seluruhnya seperti efek domino. Dengan demikian, target produksi tidak terpenuhi dan menimbulkan produk cacat.
4.4.
Objek Penelitian Yang menjadi objek penelitian pada Tugas Akhir ini adalah mesin lini
produksi 3 dengan tingkat kerusakan tertinggi. Mesin yang difokuskan dalam penelitian adalah mesin bottle washer.
Universitas Sumatera Utara
4.5.
Variabel Penelitian Variabel pada penelitian ini dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Variabel Dependent meliputi: 1. Data komponen kritis b. Variabel Independent meliputi: 1. Data historis kerusakan mesin. 2. Data lama perbaikan komponen.
4.6.
Metodologi Penelitian
4.6.1. Sumber Data Pengumpulan data terbagi menjadi dua yaitu: 1. Data primer Adapun data primer yang diperlukan antara lain: a. Existing sistem perawatan saat ini. b. Penyebab kerusakan, efek dan sistem deteksi terhadap kerusakan. 2. Data sekunder Adapun data sekunder yang diperlukan antara lain: a. Data historis terjadinya kerusakan. b. Data lamanya waktu perbaikan.
4.6.2.
Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam memperoleh data primer tersebut adalah dengan melakukan wawancara dan kegiatan tanya jawab dengan operator,
Universitas Sumatera Utara
supervisor dan mekanik secara langsung di lapangan tanpa menggunakan alat tulis untuk mencatat data-data yang diperlukan. Metode pengumpulan data sekunder tersebut dilakukan dengan melihat dan mencatat dokumen yang ada di perusahaan. Adapun dokumen yang digunakan adalah dokumen breakdown mesin produksi lini tiga, dokumen pergantian spare parts, dan buku jurnal mekanik.
4.6.3.
Metode Pengolahan Data
Metode yang digunakan dalam pengolahan data adalah metode reliability centered maintenance (RCM). Langkah-langkah RCM adalah: 1. Seleksi sistem dan pengumpulan informasi.
2. Definisi batasan sistem. 3. Deskripsi sistem dan blok diagram fungsi. 4. Fungsi sistem dan kegagalan fungsi. 5. FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) 6. Logic Tree Analysis (LTA) 7. Pemilihan kegiatan. 8. Penentuan Total Minimum Downtime (TMD) dan penentuan interval perawatan yang optimum. 9. Penyusunan jadwal perawatan.
4.6.4.
Metode Analisis
Analisis yang terhadap hasil pengolahan data adalah sebagai berikut: 1. Analisis FMEA untuk menentukan perawatan terhadap mesin kritis.
Universitas Sumatera Utara
2. Analisis Total Minimum Downtime (TMD) untuk menentukan jadwal perawatan. 3. Analisis usulan kegiatan perawatan. Adapun blok diagram pengolahan data dapat dilihat pada Gambar 4.2. Mulai
Seleksi Sistem dan Pengumpulan Informasi
Definisi Batasan Sistem
Deskripsi Sistem dan Blok Diagram Fungsi
Fungsi Sistem dan Kegagalan Fungsi
FMEA
LTA
Seleksi Kegiatan Perawatan
Perhitungan Total Minimum Downtime
Selesai
Gambar 4.2. Blok Diagram Pengolahan Data Adapun metodologi penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Universitas Sumatera Utara
Dasar Teoritis
Studi Pendahuluan
Studi Kepustakaan
Penelitian Permasalahan Maintenance pada PT. Sinar Sosro
- Reliability - RCM - Pola Distribusi - Uji Suai Pola
Tujuan Penelitian
- Rancangan Jadwal Pergantian Komponen - Standar Operating Prosedur
Pengumpulan Data
Data Primer - Existing Sistem perawatan sekarang - Penyebab kerusakan - Efek kerusakan - Struktur sistem mesin
Data Sekunder - Data Historis Kerusakan Mesin
Pengolahan Data - Pemilihan Sistem dan Pengumpulan Informasi - Definisi Batasan Sistem - Deskripsi Sistem dan Blok Diagram Fungsi - Fungsi Sistem dan Kegagalan Fungsi - FMEA - LTA - Seleksi Kegiatan Perawatan - Uji Suai Pola - Total Minimum Downtime
Analisis - Analisa FMEA - Analisa interval pergantian komponen - Analisis Usulan Kegiatan Perawatan
Kesimpulan dan Saran
Gambar 4.3. Metodologi Penelitian
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
5.1.
Pengumpulan Data Pengamatan dilakukan pada proses produksi lini tiga bottling line dengan
kapasitas produksi rata-rata 24.000 botol per jam. Dalam proses produksi digunakan mesin de-palletizer, de-crater, bottle washer, filler, crowner, crater dan palletizer. Tabel 5.1. menunjukkan banyaknya breakdown mesin produksi pada bulan Januari 2010 hingga bulan Oktober 2010. Tabel 5.1. Frekuensi Breakdown Mesin Produksi Tahun 2010
Bulan
Breakdown Mesin Bottle Filler Crowner Washer 4 2 -
Depallettizer
Decrater
Crater
Palletizer
Januari
-
11
4
-
Februari
-
2
8
3
-
3
-
Maret
1
2
2
1
-
6
-
April
-
-
6
1
1
-
1
Mei
-
2
5
2
-
1
-
Juni
-
1
3
1
1
-
-
Juli
-
1
2
-
-
-
-
Agustus
-
-
3
-
-
-
-
September
-
-
3
1
-
-
-
Oktober
-
2
4
-
-
-
-
11
2
14
1
1 21 40 Total Sumber : Departemen Produksi PT. Sinar Sosro
Berdasarkan hasil rekapitulasi jumlah breakdown, maka mesin bottle washer adalah mesin yang paling sering mengalami kerusakan. Pada tabel 5.2. berikut menunjukkan interval kerusakan komponen mesin bottle washer.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.2. Interval Kerusakan Komponen pada Mesin Bottle Washer
Universal Joint 261 20 72 90 198 16 378 54 135 162 81 106 117 159 234 74
Interval Kerusakan Komponen (Jam) Bearing Bearing Bearing Engkol Infeed Discharge 1071 324 894 396 522 945 477 273 684 387 591 1021 864 584 597 754 784
Sumber: Departemen Produksi PT. Sinar Sosro
5.2.
Pengolahan Data
5.2.1. Sistem Maintenance Sekarang PT. Sinar Sosro merupakan perusahan yang memproduksi minuman dengan plant berupa susunan mesin yang berderet (seri). Jika terjadi kerusakan pada salah satu mesin, maka proses produksi keseluruhan akan berhenti. Sistem maintenance yang diterapkan PT. Sinar Sosro pada saat ini adalah berdasarkan konsep CILAR (Cleaning, Investigate, Lubricate, Adjust, Repair). Kegiatan maintenance mesin dilakukan setiap satu minggu sekali. Dengan menggunakan CILAR maintenance, tingkat kerusakan mesin yang terjadi pada mesin bottle washer masih tinggi. Karena mesin bottle washer merupakan salah
Universitas Sumatera Utara
satu mesin utama yang digunakan dalam proses produksi, maka dengan tingginya jumlah breakdown mesin bottle washer dapat menimbulkan kerugian. Salah satu dampak akibat kerusakan mesin bottle washer adalah meningkatnya jumlah botol pecah. Selain itu pada bagian kitchen, teh cair yang telah dimasak dan menunggu untuk diisi ke dalam botol menjadi idle karena tidak dapat disalurkan ke dalam botol yang telah dicuci. Lamanya idle bervariasi tergantung pada tingkat keparahan kerusakan mesin dan lamanya perbaikan. Gambar 5.1. berikut menggambarkan hubungan sebab akibat terhadap kondisi sistem perawatan yang ada sekarang. Operator
Mesin/Peralatan Tingkat kerusakan komponen tinggi
Kurang kepedulian
Kerusakan Mesin
Kurang koordinasi
Tidak memperhatikan kondisi mesin setiap hari CILAR Tidak memperhitungkan kehandalan (reliability)
Metode
Sistem Maintenance Existing Operasi proses dengan suhu tinggi Panas Berair
Lingkungan
Gambar 5.1. Fishbone Sistem Maintenance PT. Sinar Sosro
5.2.2. RCM (Reliability Centered Maintenance) Dalam proses analisis dengan menggunakan RCM, terdapat langkahlangkah yang telah ditetapkan. Langkah-langkah tersebut adalah: 1. Pemilihan Sistem dan Pengumpulan Informasi 2. Definisikan Batasan Sistem 3. Penjelasan Sistem dan Functional Block Diagram
Universitas Sumatera Utara
4. Fungsi Sistem dan Kegagalan Fungsi 5. FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) 6. LTA (Logic Tree Analysis) 7. Pemilihan Tugas/Kegiatan Perawatan
5.2.2.1.
Pemilihan Sistem dan Pengumpulan Informasi
Proses analisis RCM dilakukan pada level sistem, bukan pada level komponen. Hal ini disebabkan analisis pada level komponen tidak memberikan informasi yang jelas terhadap kegagalan sistem. Selain itu, sebuah komponen biasanya mendukung beberapa fungsi sistem maka lebih baik jika di analisis dari sudut pandang sistem. Gambar 5.2. berikut adalah struktur hierarki plant bottling line lini III pada PT. Sinar Sosro. Lini III Bottling Line
Depalletizer
Decrater
Bottle Washer
FillerCrowner
Crater
Palletizer
Gambar 5.2. Struktur Hierarki Plant Bottling Line III Plant bottling line PT. Sinar Sosro terdiri dari subsistem depalletizer, decrrater, bottle washer, filler-crowner, crater dan palletizer. Keenam subsistem tersebut menjalankan proses berupa pengangkatan botol kosong dari palet ke conveyor (depalletizer),
memisahkan botol kosong dengan crate (decrater),
mencuci botol (bottle washer), mengisi dan menutup botol (filler-crowner), mengangkat botol ke dalam crate (crater), dan mengangkat crate yang berisi produk jadi ke palet (palletizer). Jadi subsistem tersebut tersusun secara berurutan
Universitas Sumatera Utara
yang merupakan proses yang harus dilalui oleh botol dari awal hingga akhir. Sehingga dengan meminimisasi kerusakan pada mesin dengan kerusakan tertinggi akan dapat menurunkan breakdown keseluruhan plant sistem. Gambar 5.3. menunjukkan histogram frekuensi breakdown mesin bottling line III dengan data berdasarkan pada Tabel 5.1.
Gambar 5.3. Frekuensi Breakdown Mesin Produksi Tabel 5.3. merupakan data persentase kumulatif dalam menggambarkan pareto diagram yang diperoleh dengan menggunakan data pada Tabel 5.1. Tabel 5.3. Persentase Kumulatif Pareto Mesin Bottle Washer Decrater Crater Filler Crowner Depalletizer Palletizer Total
Jumlah Breakdown
Kumulatif
Persentase
Persentase Kumulatif
40
40
44.44
44.44
21 14 11 2 1 1
61 75 86 88 89 90
23.33 15.56 12.22 2.22 1.11 1.11
67.78 83.33 95.56 97.78 98.89 100.00
90
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.4. menggambarkan diagram pareto breakdown mesin produksi berdasarkan tabel 5.3. Pareto Chart of Mesin 100
90 80
Count
60
60
50 40
40
30 20
Percent
80
70
20
10 0 Mesin Count Percent Cum %
Bottle Washer Decrater 40 21 44.4 23.3 44.4 67.8
Crater 14 15.6 83.3
Filler 11 12.2 95.6
Other 4 4.4 100.0
0
Gambar 5.4. Diagram Pareto Breakdown Mesin Berdasarkan histogram pada Gambar 5.3. jumlah breakdown mesin, maka tingkat breakdown tertinggi adalah pada mesin bottle washer. Karena memiliki breakdown paling tinggi maka pilihan dijatuhkan pada sistem mesin bottle washer. Sistem mesin bottle washer terdiri dari beberapa subsistem mayor yang mendukung fungsi mesin. Subsistem mesin bottle washer sebagai berikut: 1. Sistem infeed dan discharge sebagai awal input botol ke dalam mesin dan output botol cucian. 2. Sistem mekanik/penggerak sebagai penggerak utama mesin. 3. Sistem bak/wadah rendaman sebagai wadah perendaman dan pencucian botol. 4. Sistem pemanas sebagai pengkonversi steam yang akan memanaskan air yang akan disalurkan ke dalam bak.
Universitas Sumatera Utara
Mesin bottle washer berfungsi dengan adanya subsistem-subsistem yang mendukung jalannya fungsi mesin sebagai satu kesatuan. Fungsi subsistem tersebut adalah sebagai berikut: 1. Infeed Infeed merupakan awal pintu masuk botol ke dalam mesin. Dengan menggunakan conveyor, botol-botol dikirim dari mesin decrater. Setelah sampai pada mulut mesin, maka botol-botol akan didorong oleh cam infeed ke dalam pocket yang berjumlah 21 buah dalam satu deret. Demikian kegiatan ini berulang sesuai dengan gerakan engkol mekanik infeed. 2. Bak/Wadah Setelah botol masuk melalui infeed, maka botol akan melalui bak presoaking, bak lye I, bak lye II, hotwater I, hotwater II, hotwater III, fresh water. Air pada bak tersebut dikirim melalui sistem water treatment dengan bantuan pompa.
Tabel 5.3. menunjukkan suhu dan tekanan standar yang wajib
dipenuhi pada setiap bak rendaman. Tabel 5.3. Suhu dan Tekanan Standar pada Bagian Bak/Wadah No
Unit
Suhu (oC)
1 2 3 4 5 6 7
Presoaking Lye I Lye II Hotwater I Hotwater II Hotwater III Fresh Water
≥ 50 75-85 75-85 80-90 80-90 80-90 90-105
Tekanan (kg/cm2) 0,8-1,5 0,25-1 1-3 0,3-1,4 0,3-1,5 0,1-2
Universitas Sumatera Utara
3. Pemanas/Heater Sistem pemanas terdiri dari PHE dan THE. Steam dialirkan melalui kompresor kemudian dikirimkan melalui valve untuk dicampur dengan air dari pompa hotwater I, II, III. Dengan bercampurnya steam dan air, maka terbentuk air panas dengan suhu 80oC. Pada saat botol-botol bergerak melewati hotwater I, II, III, secara bersamaan nozzle juga ikut bergerak menyemprot botol untuk membersihkan bagian dalam botol. 4. Discharge Setelah botol melalui fresh water, botol dikeluarkan melalui discharge dengan bantuan cam discharge. Cam discharge merupakan lengan penampung botolbotol bersih yang dikeluarkan dari pocket agar tidak terjatuh. Setelah melalui discharge, maka botol tersebut dilanjutkan ke conveyor.
5.2.2.2.
Definisi Batasan Sistem
Jumlah sistem yang mendukung suatu fasilitas sangat bervariasi tergantung pada kompleksitas fasilitas itu sendiri. Dalam analisa proses RCM, definisi batasan sistem sangat penting karena alasan berikut: 1. Dapat membedakan secara jelas antara sistem yang satu dengan yang lainnya agar dapat membuat daftar komponen yang mendukung sistem tersebut. Hal ini dapat mencegah terjadinya tumpang tindih atau overlap. 2. Dapat mendefinisikan sistem input output dari sistem. Dengan adanya perbedaan yang jelas antara apa yang masuk dan keluar dari suatu sistem,
Universitas Sumatera Utara
maka akan sangat membantu dalam akurasi analisa proses RCM pada langkah berikutnya. Definisi batasan sistem terdiri dari peralatan mayor (mayor equipment) dan batasan fisik primer (physical primer boundaries). a. Subsistem Infeed dan Discharge Peralatan Mayor: 1. Pocket 2. Cam Infeed 3. Table Infeed 4. Conveyor Infeed 5. Cam Discharge 6. Conveyor Discharge Batas Fisik Primer Start With: 1. Botol masuk ke dalam pocket. Terminate With: 2. Botol keluar dari pocket. b. Subsistem Mekanik Peralatan Mayor: 1. Maindrive 2. Elektromotor 3. Gearbox 4. Rantai
Universitas Sumatera Utara
5. Sproket 6. Shaft 7. Bearing 8. Kopling 9. Universal Joint Batas Fisik Primer: Start With: 1. Putaran maindrive terhadap kopling yang dihubungkan dengan gearbox I. 2. Putaran pada gearbox I dihubungkan dengan gearbox II oleh kopling. 3. Gearbox I dihubungkan dengan rantai yang berhubungan dengan sprocket. Terminate With: 1. Hasil putaran maindrive menggerakkan gearbox I dan II. 2. Hasil putaran pada gearbox I menggerakkan sprocket untuk memutar engkol infeed dan discharge. 3. Hasil putaran pada gearbox II menggerakkan pocket pada bagian dalam mesin. c. Subsistem Bak/Wadah Peralatan Mayor: 1. Lye I 2. Lye II 3. Hot Water I 4. Hot Water II 5. Hot Water III
Universitas Sumatera Utara
6. Pompa Batas Fisik Primer Start With: 1. Pocket yang berisi botol. Terminate With: 1. Gerakan pocket yang melalui semua bagian treatment hingga botol bersih. 2. Gerakan nozzle yang mengikuti pocket pada bagian hotwater. d. Subsistem Pemanas/Heater Peralatan Mayor: 1. PHE (Plat Heat Exchanger) 2. THE (Tube Heat Exchanbger) 3. Pompa Batas Fisik Primer Start With: 1. Steam dari boiler. 2. Air dari water treatment. Terminate With: 1. Air dan Steam melalui PHE dan THE yang memanaskan air untuk dikirim ke hotwater.
5.2.2.3.
Deskripsi Sistem dan Blok Diagram Fungsi
Suatu sistem dapat dideskripsikan dengan berdasarkan fungsi dari subsistemnya. Fungsi dari sistem mesin bottle washer sendiri adalah mencuci
Universitas Sumatera Utara
botol yang kotor menjadi bersih. Sedangkan fungsi subsistem yang mendukung jalannya fungsi utama adalah: 1. Infeed Sistem infeed merupakan pintu masuk ke dalam mesin bottle washer. Fungsinya adalah memasukkan botol-botol kosong ke dalam pocket dengan lengan yang disebut cam infeed. Pada infeed terdapat pocket yang berjumlah 21 buah yang berguna sebagai wadah penampung botol kosong. Di dalam pocket terdapat rubber seal yang berguna untuk menahan botol agar tidak jatuh. Pocket inilah yang akan membawa botol kosong melalui semua bak proses pencucian hingga discharge. 2. Mekanik Sistem mekanik pada mesin bottle washer adalah sumber penggerak utama yang menggerakkan semua bagian mesin dengan rangkaian maindrive, gearbox, kopling, bearing, shaft, sprocket yang dihubungkan oleh rantairantai. Sistem mekanik inilah yang mengatur sinkronisasi berjalannya engkol infeed dan discharge yang mengikuti gerakan pocket. 3. Pemanas/Heater Sistem pemanas atau heater berfungsi mengatur aliran steam dan air yang dialirkan melalui valve-valve dan pompa. Air dipanaskan dengan steam hingga mencapai suhu tinggi. Air dan steam digabungkan melalui PHE (Plat Heat Exchanger) dan THE (Tube Heat Exchanger) sehingga air yang dingin menjadi panas karena adanya uap panas selama melewati sistem tersebut.
Universitas Sumatera Utara
4. Bak/Wadah Bak ini berfungsi untuk mencuci dan merendam botol kosong dalam air kaustik dan air panas. Air kaustik berfungsi sebagai pembersih botol dengan tambahan stabilon untuk mengkilapkan botol. Air panas berfungsi untuk membunuh kuman atau bakteri yang ada pada botol. Botol yang masuk melalui infeed akan dialirkan ke presoaking. Presoaking berfungsi untuk merendam dan menampung sisa air yang ada di dalam botol. Lye I berfungsi untuk merendam botol dalam air kaustik dengan tingkat viskositas 0,90%. Lye II berfungsi untuk merendam botol dalam air kaustik dengan viskositas lebih kecil dari 0,9%. Pada Hotwater I, II, III perendaman dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kandungan kaustik pada botol yang telah melalui bak lye. Untuk menjamin kebersihan botol, maka bagian akhir botol akan melalui freshwater untuk membilas botol hingga bersih.
Gambar 5.5. Aliran Botol Kosong Dalam Mesin
Universitas Sumatera Utara
Pada Gambar 5.5. dapat dilihat bahwa botol kosong masuk melalui infeed, dengan mengikuti gerakan mekanik yang dihasilkan oleh maindrive. Kemudian pocket akan masuk ke dalam presoaking, lye I, lye II, hotwater I, hotwater II, hotwater III dan freshwater. Setelah melalui seluruh proses, maka botol akan dikeluarkan melalui discharge dalam kondisi bersih dan panas.
Energi Listrik
Steam Pemanas/Heater Air Hot Air Fresh Stabilon Water kaustik Water
Energi listrik
Botol kotor
Mekanik
Infeed
Bak
Discharge
Botol bersih
Gerakan Gerakan Engkol Sprocket Infeed & Discharge
Gambar 5.6. Blok Diagram Fungsi Gambar 5.6. menggambarkan blok diagram fungsi subsistem bottle washer. Selain itu, input dan output sistem tersebut juga digambarkan untuk menyatakan apa yang menjadi masukan dan keluaran dari setiap subsistem tersebut. Berdasarkan penjabaran sistem ke dalam subsistem maka dapat dibentuk suatu System Work Breakdown Structure (SWBS). Dalam SWBS, kita menjabarkan komponen-komponen utama yang berhubungan dengan fungsi sistem. Struktur System Work Breakdown Structure (SWBS) dapat dilihat pada Gambar 5.7.
Universitas Sumatera Utara
A.1.1
A
A.1
A.1.2
Keterangan: A.1.3 A
Subsistem
A.1
Komponen
A.2
A.3 A.1.1
Part
Gambar 5.7. System Work Breakdown Structure (SWBS) Dengan mengacu pada SWBS, maka dapat disusun tabel komponen dan part penting pada setiap subsistem dari sistem bottle washer. Tabel 5.4. menunjukkan SWBS subsistem mekanik yang terdiri dari komponen dan part. Tabel 5.4. SWBS Subsistem Mekanik Mekanik Kode Komponen Kode Part A.1 Maindrive A.1.1 Motor Rotor A.2 Gearbox A.2.1 Bearing Gear Shaft A.3 Kopling A.3.1 Universal Joint A.3.2 Batang Kopling A.4 Rantai Rantai A.5 Gear Gear A.6 Bearing Bearing A.7 Shaft Shaft A.8 Plat Kurva Plat Kurva A.9 Lengan Engkol Lengan Engkol A.10 Lengan Nozle Lengan Nozle
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.5. menunjukkan SWBS subsistem infeed dan discharge yang terdiri dari komponen dan part dari subsistem tersebut. Tabel 5.5. SWBS Subsistem Infeed dan Discharge Infeed dan Discharge Kode Komponen Kode Part B.1 Finger Infeed B.1.1 Cam Infeed Batangan Cam Infeed B.2 Finger Discharge B.2.1 Cam Discharge Batangan Cam Discharge B.3 Pocket B.3.1 Pocket Seal Pocket Gear Pocket B.4 Conveyor Infeed B.4.1 Motor B.4.2 Rantai B.4.3 Gear B.5 Conveyor Discharge B.5.1 Motor B.5.2 Rantai B.5.3 Gear B.6 Table Infeed Table Infeed B.7 Table Discharge Table Discharge
Tabel 5.6. menunjukkan SWBS subsistem heater atau pemanas yang terdiri dari komponen dan part dari subsistem tersebut. Tabel 5.6. SWBS Subsistem Pemanas (Heater) Pemanas Kode Komponen Kode Part C.1 PHE PHE C.2 THE THE C.3 Termometer Termometer
Tabel 5.7. menunjukkan SWBS subsistem bak rendaman yang terdiri dari komponen dan part dari subsistem tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.7. SWBS Subsistem Bak Rendaman Bak Rendaman/Wadah Kode Komponen Kode Part D.1 Pompa D.1.1 Motor D.1.2 Seal D.2 Presoaking Presoaking D.3 Lye I Lye I D.4 Lye II Lye II D.5 Hotwater I Hotwater I D.6 Hotwater II Hotwater II D.7 Hotwater III Hotwater III D.8 Nozle Nozle D.9 Barometer Barometer
5.2.2.4. Fungsi Sistem dan Kegagalan Fungsi Berdasarkan SWBS untuk setiap subsistem dapat dikembangkan uraian fungsi dan kemungkinan kegagalan fungsi dari setiap subsistem-subsistem bottle washer. Tabel 5.8. menunjukkan fungsi dan kegagalan fungsi subsistem mekanik, infeed dan discharge, pemanas/heater dan bak/wadah. Tabel 5.8. Fungsi dan Kegagalan Fungsi Subsistem No. Fungsi
No. Kerusakan Fungsi
1.1 1.1.1 1.1.2 1.1.3 1.1.4 1.1.5 1.2 1.2.1 1.2.2 1.2.3
Uraian Fungsi/Kegagalan Fungsi Sumber utama penggerak infeed, discharge, nozle dan pocket Gerakan infeed tidak selaras dengan pocket Gerakan discharge tidak selaras dengan pocket Gagal memutar kopling gearbox Gagal memutar roda gigi Gagal memutar gerakan engkol infeed dan discharge Memasukkan dan menampung botol yang masuk dan keluar Bibir botol menyinggung pinggir pocket Bagian bawah botol menyinggung pocket Cam infeed dan discharge aus yang menyebabkan botol pecah
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.8. Fungsi dan Kegagalan Fungsi Subsistem (Lanjutan) No. Fungsi
No. Kerusakan Fungsi
1.3 1.3.1 1.3.2 1.4 1.4.1 1.4.2 1.4.3.
Uraian Fungsi/Kegagalan Fungsi Memanaskan air dengan steam untuk digunakan pada hotwater Suhu air tidak standar Gagal mengalirkan steam Bak perendaman dan pembilasan botol kotor Konsentrasi kaustik tidak standar Aliran air tidak normal Botol pecah pada bagian dalam saat melewati wadah pencucian
Berdasarkan fungsi dan kegagalan fungsi sistem yang telah dibuat, dapat disusun matrix kegagalan fungsi. Matrix ini menyatakan hubungan kegagalan fungsi terhadap subsistem yang mengalami kegagalan. Matrix ini dapat dilihat pada Tabel 5.9. Tabel 5.9. Matrix Kegagalan Fungsi Sub Sistem Mekanik Infeed dan Discharge Pemanas Bak
No. Kegagalan Fungsi 1.1.1 1.1.2 1.1.3 1.1.4 1.1.5 1.2.1 1.2.2 1.2.3 1.3.1 1.4.1 1.4.2 1.4.3 x x x x x x
x
x x x
x
5.2.2.5. FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) FMEA
menggambarkan
tingkat
keseringan
kejadiaan
kerusakan,
keparahan dan tingkat deteksi kerusakan yang dinyatakan dengan nilai RPN (Risk Priority Number). Tabel 5.10. menunjukkan tabel FMEA kemungkinan kerusakan yang terjadi pada setiap subsistem.
Universitas Sumatera Utara
x
Tabel 5.10. FMEA (Failure Mode and Effect Analysis)
Failure Mode
Failure Causes
SEV
Parts
DET
No.
OCC
Major Subsistem
RPN
4
Mesin berhenti karena rantai yang menggerakkan semua gear juga tidak berfungsi
8
160
5
Gerakan infeed menjadi tidak pas dengan pocket yang menyebabkan botol pecah
8
320
6
Mesin berhenti akibat penghubung gearbox maindrive dengan gearbox lainnya terputus
10
600
3
Botol-botol menjadi pecah akibat kontak langsung dengan batang besi cam
7
147
3
Botol-botol menjadi pecah akibat kontak langsung dengan batang besi cam
7
126
Aus 1
Rantai
Rantai kendur/lepas
5
Grease yang kurang Korosi Overload Bearing aus
Mekanik
2
Bearing
Gerakan engkol tidak stabil
8
Grease yang kurang Dirt/Kotor Aus Part tidak sesuai spesifikasi
3
Universal Joint
Universal Joint patah
10
Grease kurang Overload
Failure Effect
Pemasangan yang tidak tepat Aus 1
Cam Infeed
Cam infeed patah
7
Benturan dengan botol yang sangkut Gerakan infeed tidak sesuai dengan pocket
Infeed dan Discharge
Aus 2
Cam Discharge
Cam discharge patah
6
Benturan dengan botol yang sangkut Gerakan discharge tidak sesuai dengan pocket
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.10. FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) (Lanjutan)
Failure Mode
3
Pocket
Pocket rusak
10
1
PHE
PHE rusak
2
Failure Causes Gesekan dengan plat dasar dalam bak pencucian
Failure Effect
SEV
Parts
DET
No.
OCC
Major Subsistem
RPN
8
Botol menjadi pecah akibat bibir pocket yang sudah rusak
9
720
4
Suhu air tidak standar
3
24
4
Suhu air tidak standar Air semprotan nozle tidak standar dan tidak tepat
3
12
3
54
Ada plat PHE yang rusak Heater
Valve bocor Gasket pecah
Bak/Wadah
2
THE
THE rusak
1
1
Nozle
Seal nozle rusak
3
Tube bocor Aus
6 Suhu tinggi
Universitas Sumatera Utara
Penentuan nilai occurrence, severity, dan detection didasarkan pada Tabel Rating FMEA pada Tabel 3.3., 3.4., 3.5. Berdasarkan tabel tersebut dan hasil wawancara dengan operator dan supervisor maka dapat dijelaskan nilai occurrence, severity, dan detection sebagai berikut: 1. Pada part rantai diberikan nilai occurrence 5 karena tingkat kerusakan part tersebut tidak terlalu sering, nilai detection 4 karena memiliki kesempatan yang cukup tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 8 karena menyebabkan kehilangan fungsi utama. 2. Pada part bearing diberikan nilai occurrence 8 karena tingkat kerusakan part tersebut sangat sering, nilai detection 5 karena memiliki kesempatan yang sedang untuk terdeteksi, nilai severity 8 karena menyebabkan kehilangan fungsi utama. 3. Pada part universal joint diberikan nilai occurrence 10 karena tingkat kerusakan part tersebut paling sering, nilai detection 6 karena memiliki kesempatan yang rendah untuk terdeteksi, nilai severity 10 karena menyebabkan tidak berfungsi sama sekali. 4. Pada part cam infeed diberikan nilai occurrence 7 karena tingkat kerusakan part tersebut sering terjadi, nilai detection 3 karena memiliki kesempatan yang tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 7 karena menyebabkan pengurangan fungsi utama. 5. Pada part cam discharge diberikan nilai occurrence 6 karena tingkat kerusakan part tersebut sering terjadi, nilai detection 3 karena memiliki
Universitas Sumatera Utara
kesempatan yang tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 7 karena menyebabkan pengurangan fungsi utama. 6. Pada part pocket diberikan nilai occurrence 10 karena tingkat kerusakan part tersebut paling sering terjadi, nilai detection 8 karena memiliki kesempatan sangat rendah dan sulit untuk terdeteksi, nilai severity 9 karena menyebabkan kehilangan fungsi utama dan menimbulkan peringatan. 7. Pada part PHE diberikan nilai occurrence 2 karena tingkat kerusakan part tersebut sangat jarang terjadi, nilai detection 4 karena memiliki kesempatan yang cukup tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 3 karena tidak adanya efek dan pekerja menyadari adanya masalah. 8. Pada part THE diberikan nilai occurrence 1 karena tingkat kerusakan part tersebut hampir tidak pernah terjadi, nilai detection 4 karena memiliki kesempatan yang cukup tinggi untuk terdeteksi, nilai severity 3 karena tidak adanya efek dan pekerja menyadari adanya masalah. 9. Pada part nozle diberikan nilai occurrence 3 karena tingkat kerusakan part tersebut jarang terjadi, nilai detection 6 karena memiliki kesempatan yang rendah untuk terdeteksi, nilai severity 3 karena tidak adanya efek dan pekerja menyadari adanya masalah. Nilai RPN merupakan hasil perkalian antara nilai rating Severity, Occurrence dan Detection. Berdasarkan hasil perhitungan RPN pada Tabel 5.8. terlihat bahwa tingkat RPN tertinggi adalah pada pocket, universal joint dan bearing. Oleh sebab itu, perlu adanya perhatian khusus pada komponen dengan nilai RPN yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara
5.2.2.6. LTA (Logic Tree Analysis) Logic Tree Analysis (LTA) bertujuan untuk memberikan prioritas pada setiap mode kerusakan dan melakukan peninjauan terhadap fungsi dan kegagalan fungsi. Prioritas suatu mode kerusakan dapat diketahui dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disediakan dalam LTA ini. LTA mengandung informasi mengenai nomor dan nama kegagalan fungsi, nomor dan mode kerusakan, analisis kekritisan dan keterangan tambahan yang dibutuhkan. Analisis kekritisan menempatkan setiap mode kerusakan ke dalam satu dari empat kategori. Empat hal yang penting dalam analisis kekritisan yaitu sebagai berikut: b. Evident, yaitu apakah operator mengetahui dalam kondisi normal, telah terjadi gangguan dalam sistem? c. Safety, yaitu apakah mode kerusakan ini menyebabkan masalah keselamatan? d. Outage, yaitu apakah mode kerusakan ini mengakibatkan mesin berhenti? e. Category, yaitu pengkategorian yang diperoleh setelah menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan. Pada bagian ini komponen terbagi dalam 4 kategori, yakni: 1. Kategori A (Safety problem) 2. Kategori B (Outage problem) 3. Kategori C (Economic problem) 4. Kategori D (Hidden failure) Tabel 5.11. menunjukkan Logic Tree Analysis (LTA) dari setiap subsistem.
Universitas Sumatera Utara
5.2.2.7. Pemilihan Tugas/Kegiatan Perawatan Pemilihan tindakan merupakan tahap terakhir dalam proses RCM. Proses ini akan menentukan tindakan yang tepat untuk mode kerusakan tertentu. Jika tugas pencegahan secara teknis tidak menguntungkan untuk dilakukan, tindakan standar yang harus dilakukan bergantung pada konsekuensi kegagalan yang terjadi. Beberapa kategori tindakan pencegahan tersebut antara lain: 1. Condition Directed (C.D) adalah tindakan yang diambil yang bertujuan untuk mendeteksi. Apabila ada pendeteksian ditemukan gejala-gejala kerusakan peralatan maka dilanjutkan dengan perbaikan atau penggantian komponen. 2. Time Directed (T.D) adalah tindakan yang diambil yang lebih berfokus pada aktivitas pembersihan yang dilakukan secara berkala. 3. Finding Failure (F.F) adalah tindakan yang diambil dengan tujuan untuk menemukan kerusakan peralatan yang tersembunyi dengan pemeriksaan berkala.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.11. LTA (Logic Tree Analysis) Major Subsistem
No.
Parts
Failure Mode
Evident Y
Safety N
Outage Y
Category B
Grease yang kurang
Y
N
Y
C
Korosi
Y
N
Y
B
Overload
Y
N
Y
B
Bearing aus
Y
N
Y
B
Grease yang kurang
Y
N
Y
C
Dirt/Kotor
Y
N
Y
B
Aus
Y
N
Y
B
Part tidak sesuai spesifikasi
N
N
N
C
Grease kurang
Y
N
Y
C
Overload
Y
N
Y
B
Pemasangan yang tidak tepat
N
N
N
C
Aus
Y
N
Y
B
Benturan dengan botol yang sangkut
Y
N
N
B
Gerakan infeed tidak sesuai dengan pocket
Y
N
N
B
Aus
Y
N
Y
B
Benturan dengan botol yang sangkut
Y
N
N
B
Gerakan discharge tidak sesuai dengan pocket
Y
N
N
B
Gesekan dengan plat dasar dalam bak pencucian
Y
N
N
B
Aus 1
Mekanik
2
3
1 Infeed dan Discharge
2
3
Rantai
Bearing
Universal Joint
Cam Infeed
Cam Discharge Pocket
Rantai kendur/lepas
Gerakan engkol tidak stabil
Universal Joint patah
Cam infeed patah Cam discharge patah Pocket rusak
Critically Analysis
Failure Causes
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.11. LTA (Logic Tree Analysis) (Lanjutan) Major Subsistem
Heater
Bak/Wadah
No.
1
Parts
PHE
Failure Mode PHE rusak
2
THE
THE rusak
1
Nozle
Seal nozle rusak
Critically Analysis
Failure Causes Evident N
Safety N
Outage Y
Category B
Valve bocor
Y
N
Y
B
Tube bocor Aus
Y
N
Y
B
Y
N
Y
B
Suhu tinggi
Y
N
Y
B
Ada plat PHE yang rusak
Keterangan; 1. Kolom Evident diberikan Yes (Y) jika operator mengetahui dalam kondisi normal, telah terjadi gangguan dalam sistem dan sebaliknya. 2. Kolom Safety diberikan nilai Yes (Y) jika kerusakan ini menyebabkan masalah keselamatan. 3. Kolom Outage diberikan nilai Yes (Y) jika kerusakan ini mengakibatkan mesin berhenti. 4. Kolom categori dibagi menjadi empat yaitu A (Safety), B (Outage), C (Economic), D (Hidden Failure).
Universitas Sumatera Utara
Pemilihan tindakan pencegahan berdasarkan hasil analisis terhadap FMEA dan LTA adalah sebagai berikut: 1. Condition Directed (CD): dilakukan pencegahan dengan berdasarkan kondisi komponen yang sedang berfungsi. a. Cam Infeed b. Cam Discharge c. PHE d. THE e. Rantai 2. Time Directed (TD): dilakukan pencegahan dengan berdasarkan perhitungan reliability. a. Bearing b. Universal Joint 3. Failure Finding (FD): dilakukan pencegahan dengan berdasarkan temuan kerusakan. a. Pocket
5.3.
Reliability
5.3.1. Uji Suai Pola dengan Software Easyfit 5.40 Berdasarkan hasil analisis RCM, maka perhitungan reliability hanya didasarkan pada komponen yang bersifat time directed (TD) yaitu universal joint dan bearing. Reliability memerlukan bentuk pola data interval kerusakan
Universitas Sumatera Utara
komponen yang biasanya berupa lognormal, weibull, gamma, eksponensial dan normal. Tabel 5.12. menunjukkan hasil rekapitulasi uji distribusi dan parameternya dengan software easyfit 5.40. Tabel 5.12. Pola Distribusi Interval Kerusakan No
Part
1 2 3 4
Bearing Infeed Bearing Discharge Bearing Engkol Universal Joint
Pola Distribusi Normal Normal Weibull Lognormal
Parameter σ = 180.25 µ = 508 σ = 161.88 µ = 820.83 α = 0.49299 β= 275.2 γ = 387 σ = 0.51947 µ = 5.053 γ =-43.638
Perhitungan manual untuk mendapatkan parameter nilai standar deviasi dan rata-rata dari komponen bearing infeed dengan data berdasarkan Tabel 5.2. adalah sebagai berikut:
Untuk
parameter
lainnya
digunakan
hasil
perhitungan
dengan
menggunakan software easyfit 5.40 karena hasil perhitungan manual untuk satu komponen telah sama dengan hasil perhitungan dengan software. Berikut adalah hasil pengujian pola distribusi dengan menggunakan software easyfit 5.40. dengan berdasarkan data Tabel 5.2.
1. Bearing Infeed
Universitas Sumatera Utara
Bearing tersebut berguna untuk mempermudah putaran dan memperkecil gesekan. Hasil pengujian dengan menggunakan software 5.40. diperoleh distribusi bearing infeed berdistribusi normal. Untuk membentuk probability density function distribusi normal diperoleh dengan menggunakan rumus:
f ( x) =
(x − µ)2 exp − 2σ 2 σ 2π 1
Dimana: σ = 180.25 dan µ = 508. Dengan menggunakan rumus tersebut maka dapat dihitung nilai f(x) dengan x yang ditentukan untuk memetakan koordinat dari (x, f(x)). Contoh:
(280 − 508) 2 exp − f (280) = 2 180.25 2π 2 x180.25 1
= 0,00095
Karena bersifat continuous maka nilai f(x) harus diintegralkan antara 280 < x < 320, untuk mendapatkan nilainya.
Dengan selang interval sebesar 40 yaitu 320 dikurangi 280 maka titik koordinat y adalah: 0,0397 x 40 = 1,59. Nilai inilah yang digambarkan sebagai titik y. Demikian seterusnya dilakukan perhitungan sehingga diperoleh titik koordinat x dan y. Untuk perhitungan nilai koordinat y atau F(x) untuk grafik Cumulative Distribution Function (CDF) diperoleh dengan cara menjumlahkan atau mengkumulatifkan nilai f(x) yang telah dihitung sebelumnya pada grafik Probability Density Function (PDF).
Universitas Sumatera Utara
Nilai hazard function rate diperoleh dari rumus:
Nilai 0,001105 adalah nilai h(x) atau y untuk x sama dengan 280. Untuk nilai yang lain dihitung dengan cara yang sama. Untuk nilai cumulative hazard function dihitung dengan rumus: H ( x) = − ln(1 − F ( x) H (280) = − ln(1 − F (280) = 0.105
Perhitungan untuk interval lainnya dilakukan dengan cara yang sama. Gambar 5.8. menunjukkan Probability Density Function (PDF) interval kerusakan Bearing Infeed.
Gambar 5.8. Probability Density Function Interval Kerusakan Bearing Infeed Gambar 5.9. menunjukkan Cumulative Distribution Function (CDF) interval kerusakan Bearing Infeed.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.9. Cumulative Distribution Function Interval Kerusakan Bearing Infeed Gambar 5.10. menunjukkan Hazard Function interval kerusakan Bearing Infeed.
Gambar 5.10. Hazard Function Interval Kerusakan Bearing Infeed
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.11. menunjukkan Cumulative Hazard Function interval kerusakan Bearing Infeed.
Gambar 5.11. Cumulative Hazard Function Interval Kerusakan Bearing Infeed 2. Bearing Discharge Bearing discharge berfungsi untuk mempermudah dan mengurangi gaya gesek putaran as pada engkol discharge. Hasil pengujian dengan menggunakan software 5.40. diperoleh distribusi bearing discharge berdistribusi normal. Gambar 5.12. menunjukkan Probability Density Function (PDF) interval kerusakan Bearing Discharge.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.12. Probability Density Function Interval Kerusakan Bearing Discharge Gambar 5.13. menunjukkan Cumulative Distribution Function (CDF) interval kerusakan Bearing Discharge.
Gambar 5.13. Cumulative Distribution Function Interval Kerusakan Bearing Discharge
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.14. menunjukkan Hazard Function interval kerusakan Bearing Discharge.
Gambar 5.14. Hazard Function Interval Kerusakan Bearing Discharge Gambar 5.15. menunjukkan Cumulative Hazard Function interval kerusakan Bearing Discharge.
Gambar 5.15. Cumulative Hazard Function Interval Kerusakan Bearing Discharge
Universitas Sumatera Utara
3. Bearing Engkol Engkol yang digerakkan oleh sistem mekanik pada bottle washer memiliki bearing yang berhubungan dengan as. Bearing tersebut berguna untuk mempermudah putaran dan memperkecil gesekan. Hasil pengujian dengan menggunakan software 5.40. diperoleh distribusi bearing engkol berdistribusi weibull. Untuk membentuk probability density function distribusi weibull diperoleh dengan menggunakan rumus:
α x −γ f ( x) = β β
α −1
x −γ exp − β
α
Dimana: α = 0.49299, β= 275.2 dan γ = 387 Dengan menggunakan rumus tersebut maka dapat dihitung nilai f(x) dengan x yang ditentukan untuk memetakan koordinat dari (x, f(x)). Contoh: f (400) =
0.49299 400 − 387 275.2 275.2
0.49299 −1
400 − 387 0.49299 exp − = 0.0067 275.2
Karena bersifat continuous maka nilai f(x) harus diintegralkan antara 400 < x < 480, untuk mendapatkan nilainya.
Dengan selang interval sebesar 80 yaitu 480 dikurangi 400 maka titik koordinat y adalah: 0,5395 x 80 = 43,16. Nilai inilah yang digambarkan sebagai titik y. Demikian seterusnya dilakukan perhitungan sehingga diperoleh titik koordinat x dan y.
Universitas Sumatera Utara
Untuk perhitungan nilai koordinat y atau F(x) untuk grafik Cumulative Distribution Function (CDF) diperoleh dengan cara:
x −γ F ( x) = 1 − exp − β
α
400 − 387 0.49299 F (400) = 1 − exp − = 0.199 275.2 Dan setersunya dilakukan perhitungan untuk semua interval dengan cara yang sama. Nilai hazard function rate diperoleh dari rumus:
Nilai 0,00842 adalah nilai h(x) atau y untuk x sama dengan 400. Untuk nilai yang lain dihitung dengan cara yang sama. Untuk nilai cumulative hazard function dihitung dengan rumus: H ( x) = − ln(1 − F ( x)) H (400) = − ln(1 − F (400) = − ln(1 − 0.199) = 0.222
Untuk perhitungan lainnya dihitung dengan cara yang sama. Gambar 5.16. menunjukkan Probability Density Function (PDF) interval kerusakan Bearing Engkol.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.16. Probability Density Function Interval Kerusakan Bearing Engkol Gambar 5.17. menunjukkan Cumulative Distribution Function (CDF) interval kerusakan Bearing Engkol.
Gambar 5.17. Cumulative Distribution Function Interval Kerusakan Bearing Engkol Gambar 5.18. menunjukkan Hazard Function interval kerusakan Bearing Engkol.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.18. Hazard Function Interval Kerusakan Bearing Engkol Gambar 5.19. menunjukkan Cumulative Hazard Function interval kerusakan Bearing Engkol.
Gambar 5.19. Cumulative Hazard Function Interval Kerusakan Bearing Engkol
4. Universal Joint
Universitas Sumatera Utara
Universal joint adalah silang empat seperti engsel yang berfungsi untuk transmisi daya/putaran dari maindrive ke gearbox. Tanpa universal joint maka keseluruhan mesin tidak dapat berfungsi. Hasil pengujian dengan menggunakan software 5.40. diperoleh distribusi bearing infeed berdistribusi lognormal. Untuk membentuk probability density function distribusi lognormal diperoleh dengan menggunakan rumus: f ( x) =
[ln( x − γ ) − µ ]2 exp − 2σ 2 ( x − γ )σ 2π 1
Dimana: σ = 0.51947 µ = 5.053 γ = - 43.638 Dengan menggunakan rumus tersebut maka dapat dihitung nilai f(x) dengan x yang ditentukan untuk memetakan koordinat dari (x, f(x)). Contoh: f ( x) =
f (40) =
[ln( x − γ ) − µ ]2 exp − 2σ 2 ( x − γ )σ 2π 1
[ln(40 − (−43.638) ) − 5.053]2 exp − 2 x0.51947 2 (40 − (−43.638))0.51947 2π 1
= 0.0044
Karena bersifat continuous maka nilai f(x) harus diintegralkan antara 40 < x < 80, untuk mendapatkan nilainya.
Nilai inilah yang digambarkan sebagai titik y. Demikian seterusnya dilakukan perhitungan sehingga diperoleh titik koordinat x dan y.
Universitas Sumatera Utara
Untuk perhitungan nilai koordinat y atau F(x) untuk grafik Cumulative Distribution Function (CDF) diperoleh dengan cara mengkumulatifkan nilai f(x) dari probability density function. Dan setersunya dilakukan perhitungan untuk semua interval dengan cara yang sama. Nilai hazard function rate diperoleh dari rumus:
Nilai 0,005 adalah nilai h(x) atau y untuk x sama dengan 40. Untuk nilai yang lain dihitung dengan cara yang sama. Untuk nilai cumulative hazard function dihitung dengan rumus: H ( x) = − ln(1 − F ( x) H (400) = − ln(1 − F (40) = − ln(1 − 0.12) = 0.127
Untuk perhitungan lainnya dihitung dengan cara yang sama. Gambar 5.20. menunjukkan Probability Density Function (CDF) interval kerusakan Universal Joint.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.20. Probability Density Function Interval Kerusakan Universal Joint Gambar 5.21. menunjukkan Cumulative Distribution Function (CDF) interval kerusakan Universal Joint.
Gambar 5.21. Cumulative Distribution Function Interval Kerusakan Universal Joint Gambar 5.22. menunjukkan Hazard Function interval kerusakan Universal Joint.
Gambar 5.22. Hazard Function Interval Kerusakan Universal Joint
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.23. menunjukkan Cumulative Hazard Function interval kerusakan Universal Joint.
Gambar 5.23. Cumulative Hazard Function Interval Kerusakan Universal Joint 5.3.2. Uji Kolmogorov-Smirnov Untuk menguji hasil pola distribusi yang diperoleh dengan menggunakan software Easyfit 5.40 maka digunakan uji Kolmogorov-Smirnov secara manual. Pengujian dilakukan hanya pada satu komponen saja, jika telah sesuai maka hasil uji suai pola lainnya dianggap benar. Prosedurnya adalah sebagai berikut: 1.
Ho = Pola kerusakan bearing Infeed berdistribusi normal Hi = Pola kerusakan bearing tidak berdistribusi normal
2.
Tingkat kepercayaan = 95% dan α = 0,05
3.
Untuk wilayah kritik, nilai α harus dikali 4 karena data pengujian berasal dari sampel. D(0,2;6) < 0,41
Universitas Sumatera Utara
4. Dalam menghitung nilai statistik, maka data harus diurutkan terlebih dahulu kemudian akan dihitung kumulatif peluang harapan (Fo) dari setiap data yaitu: Fo =
=
= - 1,30371
Berdasarkan nilai tabel normal, maka nilai peluang kumulatif dari
-1,30371
adalah 0,0962. Untuk nilai perhitungan lainnya dapat dilihat pada Tabel 5.13. Tabel 5.13. Uji Kolmogorov-Smirnov
n 1 2 3 4 5 6
6.
x 273 324 522 584 591 754
fo 0.0962 0.1537 0.5310 0.6634 0.6774 0.9138 MAX Dhit
fn 0.0896 0.1959 0.3671 0.5587 0.7526 1.0000
fn-1 0.0000 0.0896 0.1959 0.3671 0.5587 0.7526
D- = Іfo- fnD+ = Іfn-foІ 1І 0.0066 0.0962 0.0422 0.0641 0.1638 0.3351 0.1046 0.2962 0.0752 0.1187 0.0862 0.1612 0.4786 1.0715 1.0715
Wilayah kritis D(0,2;6) < 0,41 Karena Dhit > Dtabel maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima.
7.
Kesimpulan: Data berdistribusi Normal Pengujian hanya dilakukan pada salah satu komponen dan diperoleh hasil
yang sama dengan software easyfit 5.40. Dengan demikian, komponen lainnya dianggap sama dan tidak dilakukan pengujian lagi dengan kolmogorov-smirnov test.
5.3.3. Total Minimum Downtime
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan data parameter distribusi komponen pada Tabel 5.10. akan ditentukan total minimum downtime (TMD) sebagai interval penggantian komponen dengan downtime terkecil. Sebagai data lama perbaikan maka digunakan data pada Tabel 5.14. Tabel 5.14. Lama Perbaikan Kerusakan Komponen Kritis Komponen Universal Joint Bearing Engkol Bearing Infeed Bearing Discharge
Tf (Perbaikan Failure) 0,5 0,7 0,8 0,7
Tp (Perbaikan Preventive) 0,5 0,5 0,7 0,5
Sebagai contoh maka diambil komponen universal joint dengan langkahlangkah sebagai berikut: Untuk: H(0) = Selalu ditetapkan H(0) = 0 1
H (1) = {1 + H (0)}∫ f (t )dt 0
(ln(1) − 5.053) 2 = {1 + H (0)} ∫ exp− 2(0.51947) 2 (1)(0.51947) 2π 0 1
1
= 2,37 x10 −17
Untuk H(2), H(3),...,H(t), hasil perhitungan diperoleh dengan mempergunakan Microsoft Excel yang dapat dilihat pada Lampiran Perhitungan Total Minimum Downtime. Perhitungan Total Minimum Downtime (TMD) adalah: D(tp = 1) = D (1) =
(0)(0,5) + (0,5) = 0,33333 jam 1 + (0,5)
Universitas Sumatera Utara
Dan seterusnya, perhitungan D(2), D(3),...(D(t) dengan menggunakan Microsoft Excel yang dapat dilihat pada Lampiran. Hasil akhir yang diperoleh adalah berupa interval pergantian komponen kritis antara lain: 1. Universal joint: 122 jam 2. Bearing engkol: 1067 jam 3. Bearing infeed: 397 jam 4. Bearing discharge: 642 jam
BAB VI ANALISIS PEMECAHAN MASALAH
6.1.
Analisa Proses RCM Berdasarkan hasil analisis terhadap
langkah-langkah RCM
yang
diterapkan pada bottling line tiga PT. Sinar Sosro diketahui bahwa tingkat kerusakan tertinggi terletak pada mesin bottle washer. Dengan demikian perlu diperhatikan persediaan spare part untuk pergantian komponen yang memiliki efek kerusakan mayor dan sering atau kritis.
Universitas Sumatera Utara
Komponen yang memiliki tingkat kerusakan yang kritis dan memiliki dampak yang cukup besar terhadap jalannya proses produksi adalah universal joint, bearing serta bagian pocket dan cam infeed. Dengan memperhatikan bahwa spare part berupa bearing dan seal pocket yang di pesan dari Jerman, tentu memerlukan lead time yang lama dengan rata-rata 5 bulan. Sementara spare part lainnya berasal dari pasar lokal. Hasil pengelompokan dengan LTA diperoleh bahwa kategori komponen kebanyakan adalah komponen dengan tipe B sebesar 79%. Artinya komponen tersebut tidak membahayakan bagi operator apabila terjadi kerusakan. Sementara kategori C sebesar 21% yang tergolong kategori outage.
6.2.
Tabel 6.1. Kategori Komponen No. Kategori Persentase 1. A 2. B 79% 3. C 21% Total 100% Analisa Interval Penggantian Komponen Berdasarkan tingkat kerusakan yang paling sering pada universal joint,
dan bearing dengan interval penggantian komponen setiap 122 jam, 1067 jam, 397 dan 642 jam dimana: 1 minggu = 5 hari kerja. 1 hari kerja = 2 shift. 1 shift = 9 jam kerja. Maka dalam 1 bulan = 90 jam kerja. Jadwal pergantian komponen tersebut adalah: 1. Universal Joint: 122/9 = 13,55 shift atau sekitar 14 shift.
Universitas Sumatera Utara
Dengan kata lain, maka setiap satu minggu dua hari akan dilakukan pergantian terhadap komponen universal joint. 2. Bearing engkol: 1067/9 = 118,55 shift atau sekitar 119 shift. Dengan kata lain, dilakukan pergantian setiap 12 minggu sekali. 3. Bearing infeed: 397/9 = 44,11 shift atau sekitar 44 shift. Dengan kata lain, dilakukan pergantian setiap 4,4 minggu sekali. 4. Bearing discharge: 642/9 = 71,33 shift atau sekitar 71 shift. Dengan kata lain, dilakukan pergantian setiap 7 minggu sekali. Dengan mengacu pada jadwal pergantian tersebut maka rata-rata persedian komponen untuk universal joint adalah 5 buah satu bulan, komponen bearing engkol 5 buah satu tahun, komponen bearing infeed 12 buah satu tahun dan komponen bearing discharge 8 buah satu tahun. Tabel 6.2. menunjukkan rata-rata interval kerusakan komponen kritis Tabel 6.2. Rata-rata Interval Pergantian Komponen Kritis Aktual Komponen Kritis Universal Joint Bearing Engkol Bearing Infeed Bearing Discharge
Penggantian Usulan Aktual 134.8125 122 1098 1067 508 397 820.833 642
Gambar 6.1. berikut menggambarkan perbedaan kondisi aktual dengan usulan dari pergantian komponen.
Universitas Sumatera Utara
Pergantian Komponen Universal Joint Aktual 0
t 134,8
Pergantian Komponen Universal Joint Usulan 0
t 122
Pergantian Komponen Bearing Engkol Aktual t 1098
0
Pergantian Komponen Bearing Engkol Usulan t 0
1067
Pergantian Komponen Bearing Infeed Aktual t
0
508
Pergantian Komponen Bearing Infeed Usulan 0
t 397
Pergantian Komponen Bearing Discharge Aktual t
0
820.83
Pergantian Komponen Bearing Discharge Usulan 0
642
t
Gambar 6.1. Perbandingan Interval Pergantian Komponen Kritis Secara Aktual dengan Usulan Berdasarkan perbandingan antara rata-rata interval kerusakan komponen kritis dengan hasil perhitungan Total Minimum Downtime maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata pergantian komponen dilakukan sebelum terjadi kerusakan. Dengan melakukan pergantian komponen sebelum terjadinya failure akan dapat mencegah terjadinya breakdown dan menaikkan produktivitas meskipun secara sekilas biaya untuk pergantian komponen akan lebih tinggi karena sebelum komponen rusak telah diganti terlebih dahulu. Namun, jika dilihat
Universitas Sumatera Utara
dari dampak yang akan ditimbulkan jika tidak dilakukan pergantian adalah breakdown. Dengan adanya breakdown maka akan timbul losses dimana jumlah hasil akhir produksi akan menurun. Rata-rata breakdown akibat kerusakan universal joint adalah 0,7 jam, bearing engkol adalah 0,5 jam, bearing infeed adalah 0,6 jam, dan bearing discharge adalah 0,5 jam. Maka jika dilakukan pergantian secara dini terhadap komponen kritis maka waktu yang hilang akibat adanya breakdown dapat dimanfaatkan untuk produksi. Waktu produksi yang diperoleh dengan usulan perbaikan pergantian komponen adalah 2,3 jam. Persentase selisih waktu pergantian komponen dengan membandingkan kondisi aktual dan usulan adalah sebagai berikut: 9,50%
Universal Joint = Bearing Engkol =
2,82%
Bearing Infeed =
21,8%
Bearing Discharrge = 6.3.
21,7%
Analisa FMEA dan Kegagalan Fungsi Subsistem Tabel 6.3. menunjukkan fungsi dan kegagalan fungsi yang mungkin terjadi
pada subsistem mesin bottle washer. Tabel 6.3. Fungsi dan Kegagalan Fungsi Subsistem No. Fungsi
No. Kerusakan Fungsi
1.1 1.1.1
Uraian Fungsi/Kegagalan Fungsi Sumber utama penggerak infeed, discharge, nozle dan pocket Gerakan infeed tidak selaras dengan pocket
Universitas Sumatera Utara
1.1.2 1.1.3 1.1.4 1.1.5 1.2 1.2.1 1.2.2 1.2.3 1.3 1.3.1 1.3.2 1.4 1.4.1 1.4.2 1.4.3.
Gerakan discharge tidak selaras dengan pocket Gagal memutar kopling gearbox Gagal memutar roda gigi Gagal memutar gerakan engkol infeed dan discharge Memasukkan dan menampung botol yang masuk dan keluar Bibir botol menyinggung pinggir pocket Bagian bawah botol menyinggung pocket Cam infeed dan discharge aus yang menyebabkan botol pecah Memanaskan air dengan steam untuk digunakan pada hotwater Suhu air tidak standar Gagal mengalirkan steam Bak perendaman dan pembilasan botol kotor Konsentrasi kaustik tidak standar Aliran air tidak normal Botol pecah pada bagian dalam saat melewati wadah pencucian
Dengan berdasarkan Tabel 6.3. mengenai fungsi dan kegagalan fungsi yang diperoleh dari pengolahan data pada bab sebelumnya beserta tabel FMEA, maka dapat diajukan usulan kegiatan perawatan yang berkenaan dengan kegagalan fungsi tersebut. 1. Gerakan infeed dan discharge yang tidak selaras dengan pocket dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu akibat rantai yang kendur atau putus, setelan yang tidak standar. Untuk itu, perlu dibuat suatu standarisasi setting sprocket agar tidak membutuhkan waktu yang lama dalam mengatur setting tersebut. 2. Kegagalan dalam memutar kopling dapat disebabkan beberapa hal yaitu universal joint patah atau ada kerusakan pada maindrive maupun gearbox.
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu, diusulkan pergantian komponen secara universal joint sesuai jadwal. 3. Kegagalan dalam memutar roda gigi diakibatkan oleh rantai yang aus dan putus sehingga berakibat pada gerakan engkol infeed yang juga berhenti. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pelumasan rantai dan pemeriksaan secara berkala kondisi rantai. 4. Bibir botol yang menyinggung pocket adalah akibat setelan gerakan infeed yang tidak pas dengan pocket. 5. Botol pecah akibat cam infeed dan discharge karena adanya botol yang masuk ke dalam jalur dalam posisi terbalik sehingga menyebabkan kemacetan dan hantaman antara bibir botol dengan cam infeed. Dalam hal ini bisa terjadi botol pecah dan cam infeed patah. 6. Kegagalan dalam memanaskan air kemungkinan disebabkan oleh adanya kebocoran valve, kerusakan pada PHE dan THE. 7. Pecahnnya botol pada bagian bak/wadah adalah akibat adanya gesekan antara bagian bawah botol dengan plat dasar. Hal ini terjadi akibat gerakan pocket yang membawa botol dengan cara menyeret sehingga lama kelamaan plat dasar akan aus dan menimbulkan gerigi dan tidak rata. maka tingkat kemungkinan pecahnya botol di dalam mesin menjadi tinggi. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan keausan plat dasar tersebut setiap satu bulan sekali. 8. Pocket yang baling akan menimbulkan botol pecah. Pocket baling akibat adanya gesekan antara plat dasar dengan pocket yang membawa botol. Pocket
Universitas Sumatera Utara
yang telah rusak/baling tidak boleh diisi botol lagi. Untuk memperbaikinya, perlu dilakukan pengepresan terhadap pocket yang baling. Dengan mengacu pada uraian di atas mengenai kegagalan fungsi beserta penyebabnya maka dapat diusulkan beberapa kegiatan maintenance untuk meminimalkan terjadinya breakdown mesin dan botol pecah. Kegiatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.4. Tabel 6.4. Daftar Usulan Kegiatan Maintenance No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
No.
Kategori CD TD RF Bersihkan bak presoaking x Bersihkan infeed dan discharge x Lumasi rantai, bearing dan discharge x Periksa dan bersihkan pipa lubang nozzle. x Periksa termometer dan manometer x Periksa gearbox maindrive x Ganti Universal Joint sesuai jadwal x Periksa ketegangan rantai penggerak x Periksa teflon cam infeed dan discharge x Periksa pocket x Periksa rel plat dasar x Bersihkan bak presoaking, lye I, lye II, Hotwater I, II, III x Periksa valve-valve x Periksa dan ganti bearing-bearing sesuai jadwal x Periksa PHE dan THE x Tabel 6.4. Daftar Usulan Kegiatan Maintenance (Lanjutan) Kegiatan
Kegiatan
16 Periksa motor, gearbox dan pompa 17 Ganti oli gearbox sesuai jadwal
Kategori CD TD RF x x
Kegiatan pemeriksaan kondisi mesin sesuai dengan kategori Condition Directed dapat dilakukan setiap hari pada saat mesin sedang berproduksi.
Universitas Sumatera Utara
Operator berjalan memperhatikan apakah ada sesuatu yang berbeda dari mesin tersebut dilihat dari pergerakan dan suara mesin. Kegiatan berdasarkan kategori Time Directed dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Kegiatan kebersihan dapat dilakukan setiap satu minggu sekali. Jadwal penggantian komponen dilakukan sesuai jadwal yang telah dihitung sebelumnya. Sementara kegiatan Run to Failure dilakukan apabila komponen tersebut telah rusak dan tidak dapat berfungsi lagi. Standar Operating Procedure (SOP) disusun berdasarkan
hasil
pengolahan dan analisis terhadap FMEA, dimana prosedur dilaksanakan dengan tujuan untuk mencari
penyebab kerusakan dan melakukan perbaikan sesuai
dengan spesifikasinya. Gambar 6.1. berikut adalah SOP berupa langkah-langkah dalam kegiatan maintenance.
Universitas Sumatera Utara
Mulai
Personil Maintenance: Memeriksa kegagalan fungsi peralatan pada bottle washer di lantai produksi
Personil Maintenance: Menemukan kegagalan fungsi peralatan pada bottle washer
Personil Maintenance: Mencari informasi mengenai nama bagian mesin yang dideteksi kerusakan, penyebab kerusakan, pengaruh kerusakan
Personil Maintenance: Memberikan prioritas pada tiap kerusakan dan melakukan tinjauan dari fungsi, kegagalan fungsi
Personil Maintenance: Menemukan tindakan yang tepat untuk kerusakan tertentu.
Selesai
Gambar 6.2. SOP Maintenance
Universitas Sumatera Utara
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil pembahasan
adalah sebagai berikut: 1. Mesin dengan tingkat kerusakan tertinggi adalah mesin bottle washer dengan tingkat persentase sebesar 44,44% dari keseluruhan mesin lini 3. 2. Subsistem dengan kerusakan yang paling sering adalah subsistem infeed, discharge dan subsistem mekanik dimana bagian yang sering mengalami kerusakan adalah cam infeed, cam discharge, pocket, bearing dan universal joint. 3. Komponen dengan nilai RPN tertinggi adalah pocket dengan nilai RPN 720, universal joint dengan nilai RPN 600, dan bearing dengan RPN 320. 4. Hasil pengujian distribusi untuk komponen bearing infeed dan discharge adalah berdistribusi normal, komponen universal joint berdistribusi lognormal dan bearing engkol berdistribusi weibull. 5. Hasil rancangan maintenance yang bersifat preventive dilakukan dengan melakukan pergantian komponen kritis sebelum terjadi kerusakan. Interval optimum pergantian komponen kritis universal joint adalah 122 jam, bearing engkol adalah 1067 jam, bearing infeed adalah 397 jam, dan bearing discharge adalah 642 jam. Artinya setelah mesin berproduksi sesuai dengan jam interval optimum tersebut, maka perlu dilakukan
Universitas Sumatera Utara
pergantian komponen tersebut. Karena tingkat probabilitas kerusakan telah meningkat. 6. Penyusunan Standar Operating Procedur dalam maintenance berdasarkan hasil analisis FMEA, dimana pemeriksaan difokuskan pada bagian yang kritis atau sering mengalami kerusakan yang dinyatakan dengan nilai RPN tertinggi. Setelah ditemukan adanya kerusakan maka dilakukan analisa penyebab (cause) untuk dilanjutkan pada proses perbaikan terhadap kerusakan tersebut dengan tindakan yang tepat. 7. Jumlah waktu yang berhasil dimaksimalkan dengan meminimalkan Total Minimum Downtime adalah 2,3 jam. 8. Persentase selisih waktu antara aktual dan usulan komponen universal joint adalah 9,5%, bearing engkol adalah 2,82%, bearing infeed adalah 21,8% dan bearing discharge adalah 21,7%.
7.2.
Saran Adapun saran-saran yang dapat diberikan sebagai masukan bagi
perusahaan adalah: 1. Perlu diperhatikan jadwal pergantian komponen tersebut agar breakdown dapat minimalkan. 2. Perlu adanya satuan kerja antar operator dalam memperhatikan kondisi mesin yang dioperasikan agar kegiatan condition monitoring dapat berjalan dengan baik. 3. Pelaksanaan kegiatan perawatan harus dilakukan sesuai dengan standard operating procedure.
Universitas Sumatera Utara
Adapun saran-saran yang diberikan untuk penelitian lebih lanjut adalah: 1. Hendaknya penelitian selanjutnya difokuskan pada perbaikan aktivitas perbaikan yang memberikan nilai tambah dengan mengurangi kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah.
Universitas Sumatera Utara