42
BAB III KONSEP TAFAKUR MENURUT AL-QUR'AN
A. Pengertian Tafakur Tafakur secara bahasa bermula dari (َﺗ َﻔ ﱡﻜﺮًا
) َﺗ َﻔ ﱠﻜ َﺮ َﻳ َﺘ َﻔ ﱠﻜ ُﺮmempunyai arti
perihal berpikir (Junus, 1973: 322), searti dengan kata meditasi, renungan, diam memikirkan sesuatu dalam-dalam (Purwodarminto, 1976, 680). Dalam Islam tafakur didasarkan atas ayat-ayat al-Qur'an yang ditujukan kepada mereka yang diberi pengetahuan dan dituntut untuk merenungkan tandatanda (fenomena-fenomena) alam. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian tafakur oleh ilmuwan Islam: 1. Imam al-Ghozali
dalam kitabnya yang
populer
Ihya’
Ulumuddin,
mengemukakan pengertian tafakur sebagai berikut:
ﻡ ﺘﻔﻜﺭﺍ ﺎﺒﻘﻴﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻠﺏ ﻟﻠﺘﻭﺼل ﺒﻪ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﻤﻌﺭﻓﺔ ﺍﻟﺜﺎﻟﺜﺔ ﻴﺴﻓﻴﺤﻀﺭﺍﺍﻟﻤﻌﺭﻓﺘﻴﻥ ﺍﻟﺴ Yang artinya: “maka menghadirkan dua ma’rifat yang terdahulu (yang berada dalam hati) untuk sampai pada ma’rifat yang ketiga disebut tafakur.” (al-Ghozali, 1985: 188). Imam Ghozali mencontohkan seorang yang cenderung mengutamakan hidup dunia dan ingin mengetahui bahwa akhirat lebih utama daripada dunia, maka baginya dua jalan: Pertama, ia mengetahui bahwa akhirat lebih utama daripada dunia, lalu mengikuti dan membenarkannya, tanpa melihat lebih mendalam hakikat akhirat, maka dia melaksanakan ibadah akhirat hanya berpegang pada
43
perkataan orang itu – ini dinamakan taqlid (mengikuti tanpa alasan) – dan tidak dinamakan ma’rifat. Kedua, bahwa ia mengetahui akhirat lebih kekal daripada dunia bersumber dari dirinya sendiri, maka dia memperoleh dua ma’rifat. Selain menghadirkan dua ma’rifat tersebut untuk sampai kepada ma’rifat ketiga dilakukan tafakur, I’tibar1, tadzakur2, nadhar3, ta’amul4, dan tadabur5. 2. Dr. H. Hamzah Ya’kub dalam bukunya Tingkat Ketenangan & Kebahagiaan Mu’min: Uraian Tasawuf & Taqorub, menyebutkan bahwa tafakur berarti merenungkan keindahan ciptaan Allah SWT, rahasia-rahasia kejadian, dan segala yang dikandung di alam raya ini, manfaat, hikmah, dan rahasia yang terkandung. Dan tafakur mengarah pada suatu tujuan yang berguna sebagai bukti kekuasaan dan kemahaagungan-Nya (Ya’kub, 1987: 169).
1 I’tibar diartikan dengan mengambil pelajaran dari pengamatan peristiwa atau kejadian alam sekitar. 2 Tadzakur berasal dari kata dzikir yang berarti perbuatan dengan lisan (menyebut, menuturkan) atau dan dengan hati (mengingat/menyebut dan mengingat) Allah SWT. 3 Nadhar berarti melihat, meneliti, memperhatikan, mengamati. 4 Ta’amul berarti meneliti, memikirkan 5 Tadabbur berasal dari kata dabbara yang berarti memikirkan akibat sesuatu/ menimbang sesuatu. al-Ghozali membedakan antara I’tibar, tadzakur, nadhar, ta’amul, dan tadabur serta tafakur. Menurut al-Ghozali antara tadabur, ta’amul dan tafakur hampir-hampir sinonim. Adapun tadzakur, I’tibar, dan nadzar mempunyai makna berlainan walaupun obyeknya sama, seperti Shorim, Muhannad, dan saif itu ditujukan untuk benda yaitu pedang, namun maksudnya lain. Jika Shorim menunjukkan pada pedang sebagai pemotong, Muhannad menunjukkan pada pedang – bahasa tersebut hanya dipakai di India – sedangkan untuk saif merupakan pedang yang dimaksudkan banyak orang. Lanjutnya al-Ghozali mengatakan bahwasannya tadzakur, I’tibar dan nadzar menunjukkan proses tunggal, yang berlangsung berdasarkan dua pengamatan yang berhubungan untuk sampai pada pemikiran ketiga, tetapi dengan nuansa yang berbeda. Proses pengembangan pemikiran dan pemahaman seseorang melalui latihan dan meditasi yang teratur ini harus terus berlangsung, yang hanya dibatasi oleh jangka hidup seseorang. Al-Ghozali lebih lanjut membedakan antara tafakur dan tadzakur yaitu setiap orang yang bertafakur tentu melakukan tadzakur, beda jika seseorang bertadzakur belum tentu bertafakur. Faidah bertadzakur ialah mengulang-ulangi ma’rifat kepada hati, supaya meresap dan tidak terhapus dari hati. Dan faidah tafakur ialah memperbanyak ilmu dan menarikkan ma’rifat, yang belum diperoleh. Jadi al-Ghozali meletakkan tafakur di atas tadzakur (zikir). Lihat. Al-Ghozali, Ihya’ Ulumuddin, terj. Ismail Ya’kub, Jakarta: CV. Faizan, 1985, hlm. 189.
44
3. Thomas Patririch Hughes dalam bukunya “Dictionary of Islam”, mengartikan tafakur sebagai berikut: “According to kitabut ta’rifat it Islam the lamp of heart where by a man sees his own evil or virtues” (Hughes, 1982: 623). Yang artinya: menurut bagian dari kitab ta’rifat (tafakur) merupakan pelita hati (yang dapat diperoleh dengan cara) instropeksi diri (apakah banyak) berbuat kejahatan atau kebajikan. 4. Fakhruddin ar Rozi juga menjelaskan istilah dan maksud tafakur sebagai berikut: “Hati yang berzikir kepada Allah artinya adalah bahwa seseorang merenungkan tentang rahasia dari berbagai benda yang diciptakan oleh Allah SWT hingga benda-benda terkecil (atom) sehingga menyerupai sebuah cermin yang diletakkan di depan alam ghoib, dan ketika hamba Allah itu melihat semua ciptaan dengan mata hatinya, maka cahaya penglihatannya mampu menembus hakikat alam” (Waley, 2003: 76). Dari diskripsi pengertian tafakur di atas, dapat disimpulkan bahwa tafakur adalah aktifitas akal untuk mendapatkan beberapa ilmu pengetahuan (tentang kebenaran) dengan cara merenungkan kejadian alam semesta beserta hikmah dan manfaatnya sebagai bukti kemahabesaran dan kemahaagungan Allah SWT. Pada hakikatnya tafakur merupakan suatu kesadaran untuk mendapatkan bukti adanya Allah, dan kekuasaan-Nya yang bermuara pada keyakinan, selanjutnya dengan tafakur manusia dapat menempatkan diri di alam dengan mengetahui kondisi baik dan buruk hanya dengan kekuatan akal dan iman yang membantu menerima kebaikan yang melahirkan ketenangan. Iman dan akal pula
45
yang menolak keburukan dan sesuatu yang dibenci, hal inilah yang menjadi inti dari ajaran Islam. B. Tafakur dalam Perspektif Psikologi Dalam dunia psikologi, Tafakur merupakan kegiatan berpikir yang dalam berbagai perasaan, persepsi, imajinasi, dan pikiran memberi pengaruh dalam pembentukan perilaku, kecenderungan, keyakinan, aktifitas alam sadar maupun alam diabwah sadar serta kebiasaan baik dan buruk seseorang. Hal ini adalah penemuan modern psikologi kognitif manusia, namun sebelum itu jauh ulama’ Islam telah merintis konsep tafakur sebagai motifasi hidup dan menambah kuatnya iman seseorang. (Badri, 1996: 20). Pada masa-masa awal, psikologi banyak terfokuskan pada studi sekitar pikiran, kandungan perasaan, dan bangunan akal manusia. Kemudian, muncul aliran behaviorisme6 dengan konsep-konsepnya yang terkenal dan berpengaruh yang dipelopori oleh Watson. Aliran in, akhirnya mengubah secara besar-besaran pandangan-pandangan sebelumnya, kemudian menempatkan kajianmengenai proses belajar manusia, melalui rangsangan dan respon yang timbul, menjadi tema utama psikologi. Perasaan, kandungan akal, dan pikiran dianggap sebagai masalah yang tidak dapat dijangkau dan dipelajari secara langsung. Menurut mereka segala kegiatan kognitif dan perasaan yang ada dan terjadi dalam benda-benda hidup merupakan akibat dari interaksinya dengan
6
Behaviorisme adalah satu pandangan teoritis yang beranggapan bahwa pokok persoalan psikologi adalah tingkah laku tanpa mengaitkan konsepsi-konsepsi mengenai kesadaran atau moralitas.
46
pengaruh-pengaruh tertentu. Kegiatan “pikiran dalam”7 dianggap sebagai peti terkunci yang bagian dalamnya tidak mungkin diketahui dengan jelas. Karena itu, tidak perlu menghabiskan waktu untuk mempelajarinya. Selanjutnya, para penganut behaviorisme menyimpulkan bahwa “pikiran dalam” hanyalah kumpulan rangsangan dan respon yang terjaring tidak lebih dari “perbincangan dalam” seseorang dengan dirinya sendiri. (Badri, 1996: 6). Interaksi antara faktor-faktor jasmani, kejiwaan, sosial, peradaban, dan spiritual untuk memproduksi satuan perilaku manusia tidak sesederhana proses persenyawaan antara hidrogen, oksigen, dan karbon untuk menghasilkan gula. Hal ini lebih pelik bagi orang Islam, karena salah satu pembentuk perilaku manusia terpenting telah ditinggalkan oleh psikologi Barat modern. Psikologi modern hanya berpegang pada unsur psikologis, biologis, sosial, dan kultural sebagai unsur-unsur pembentuk perilaku manusia, dengan alasan mudah untuk didefinisikan jika dibandingkan dengan sisi spiritual. Selain itu, mereka juga menolak segi spiritual karena dianggap tumbuh dari pandangan agama. Kelompok lainnya menegaskan adanya akal yang mengendalikan otak manusia, juga perilaku dan pikirannya. Diantara pendukung pendapat ini adalah Eccles. Eccles menekankan bahwa tidak mungkin menafsirkan pengetahuan yang dicapai para peneliti tentang kegiatan otak dan syaraf kecuali dengan adanya “akal” atau “jiwa yang tahu” yang mengandalikan kegiatan syaraf dan perilaku manusia. Dalam penelitiannya ia merangsang sebagian otak manusia dengan suatu aliran listrik, secara spontan tangannya akan bergerak. Selanjutnya jika manusia 7
Pikiran dalam adalah kegiatan berpikir tentang sesuatu obyek yang menurut penganut Behaviorisme merupakan hal yang tidak mungkin dipelajari karena bersifat abstrak.
47
itu disuruh untuk menghentikan gerakannya, sementara aliran listriknya tetap pada posisi semula ia akan berusaha menghentikan gerakan itu dengan tangannya yang lain. Dari sini Eccles bertanya-tanya ‘siapakah yang menggerakkan dan menghentikan tangannya?’ Ia menjawab bahwa otaklah yang menggerakkan, sedangkan akalnya yang berusaha menghentikan. (Badri, 1996: 9-10). Seperti yang telah disinggung sebelumnya, para penganut behaviorisme, dalam menafsirkan pembentukan kepribadian dan perilaku, memusatkan perhatiannya pada lingkungan dengan segala rangsangannya yang bermacammacam, yang baik dan yang buruk. Artinya rangsangan lingkungan, dalam pandangan mereka, dapat mendatangkan respon dan jawaban secara langsung. Sedangkan, para peneliti psikologi kognitif memperhatikan segi makna dan pengertian dari rangsangan terhadap manusia tersebut, rangsangan tidak mendatangkan suatu perilaku tertentu secara langsung kecuali dalam keadaan refleks atau gerakan bawah sadar, seperti menarik tangan ketika terkena panas. Adapun respon-respon yang kompleks, datang dari pengaruh pikiran dan keputusan manusia secara sadar, selain dari keyakinan yang dalam serta pandangan dan pengalaman lama manusia yang dibangkitkan oleh rangsanganrangsangan yang ditemui dalam lingkungannya. Dalam pengertian lain, apa yang dipikirkan oleh manusia adalah segala sesuatu yang mempengaruhi keyakinan dan perilakunya. (Badri, 1996: 14). Apabila pikiran manusia diarahkan pada ciptaan Allah SWT, dan berbagai nikmat-Nya, ia akan menambah keimanan serta ketinggian perilaku dan amalnya. Sebaliknya apabila seseorang ditujukan pada syahwat dan kesenangan
48
hawa nafsu, ia akan menjauhkannya dari nilai agama bahkan menjatuhkan moral perilakunya. Sedangkan pemikiran yang bertumpu pada ketakutan, perasaan gagal, dan pesimistik akan menjadi penyebab seseorang terserang penyakit kejiwaan. Oleh karena itu, banyak peneliti psikologi kognitif memfokuskan perhatiannya pada upaya mengubah pemikiran manusia, yaitu kegiatan berpikirnya yang seringkali lebih dulu memberi respon emosional pada seorang pasien. (Badri, 1996: 15). Kegiatan
kognitif
dan
kegiatan
berpikir
dalam
diri
manusia
mengarahkan perilaku dan sikap lahiriyahnya, baik dirasakan maupuan tidak dirasakan. Penelitian yang dilakukan oleh para ahli psikologi kognitif mendukung apa yang digariskan oleh Islam bahwa tafakur tentang ciptaan Allah SWT merupakan tiang utama keimanan, yang dapat melahirkan segala perbuatan dan perilaku positif. C. Tafakur dalam Al-Qur'an Untuk
mengetahui
ayat-ayat
yang
mengungkap
tafakur,
penulis
menggunakan alat bantu program Holy Qur’an pada komputer, setelah itu diadakan cross check dengan kitab Mu’jam al Fahros Li Alfazhal Qur’an al Karim. Setelah diadakan pencarian ditemukan bahwa dalam mengungkap tafakur al-Qur'an menggunakan beberapa macam istilah. Dari beberapa macam istilah tersebut terbagi menjadi 2, yaitu term yang secara langsung memakai istilah tafakur, yaitu term fakkara dengan derivasinya yang terulang sebanyak 18 kali yang tersebar dalam 13 surat. Selain itu al-Qur'an juga memakai beberapa istilah lain untuk mengungkapkan tafakur, antara lain; dabbara dengan derivasinya yang
49
terulang sebanyak 44 kali; ‘aqola dengan derivasinya yang terulang sebanyak 49 kali; nadzara dengan derivasinya yang terulang sebanyak 129 kali; faqiha dengan derivasinya yang terulang sebanyak 20 kali; dan dzakara dengan derivasinya yang terulang sebanyak 292 kali. Namun dari ayat tersebut tidak seluruhnya menunjukkan arti tafakur secara istilah (terminology). Disamping itu, dalam al-Qur'an terdapat pula sebutan-sebutan yang memberi sifat bagi seseorang yang berpikir, yaitu ulu al-albab atau orang-orang yang berakal (QS 12:111 dan QS. 3:190), ulu al-‘ilm atau orang-orang yang berilmu (QS. 3:18), ulu an-nuha atau orang-orang yang berakal (QS. 20:128) dan ulu al-absor atau orang-orang yang mempunyai penglihatan (QS. 24:44). 1. Term fakkara dan derivasinya Seperti telah disebut pada Bab I di atas, tafakur dari segi bahasa adalah perihal berpikir, searti dengan kata meditasi, renungan, diam memikirkan sesuatu dalam-dalam. Term fakkara disebut sebanyak 18 kali, dari semuanya mempunyai makna yang sama dalam mengartikan tafakur yaitu memikirkan perihal sesuatu. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, Al An’am: 50
ﺎﻊ ِﺇﻟﱠﺎ ﻤ ﻥ َﺃﺘﱠ ِﺒ ﻙ ِﺇ ﻤﹶﻠ ﻡ ِﺇﻨﱢﻲ ل ﹶﻟ ﹸﻜ ُ ﻭﻟﹶﺎ َﺃﻗﹸﻭ ﺏ ﻴ ﻡ ﺍ ﹾﻟ ﹶﻐ ﻋﹶﻠ ﻭﻟﹶﺎ َﺃ ﻥ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ﺍ ِﺌﺨﺯ ﻋ ﹾﻨﺩِﻱ ﹶ ِ ﻡ ل ﹶﻟ ﹸﻜ ُ ل ﻟﹶﺎ َﺃﻗﹸﻭ ْ ﹸﻗ (50)ﻥ ﻭﺭ َﺃ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﹶﺘ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ ﺒﺼِﻴ ﺍ ﹾﻟﻰ ﻭﻋﻤ ﺴ ﹶﺘﻭِﻱ ﺍ ﹾﻟَﺄ ﻴ ل ْ ﻫ ل ْ ﻲ ﹸﻗ ﻰ ِﺇﹶﻟﻭﺤﻴ Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat? " Maka apakah kamu tidak memikirkan (nya)? (Depag RI, 1992: hlm. 194).
50
Menurut Ash Shiddieqy (2002 : 305) menerangkan bahwa ayat ini memberi pengertian bahwa malaikat lebih utama daripada nabi-nabi, jumhur melebihkan nabi atas malaikat, sedang ayat ini membantah ungkapanungkapan orang kafir. Al-Maraghi (1992: 218) dalam tafsirnya menerangkan bahwa ayat ini menunjukkan tugas-tugas rasul secara umum dengan penerapannya oleh penutup para rasul, menghilangkan sangkaan-sangkaan manusia terhadap tugas itu, dan menunjuk kepada perkara pembalasan di akhirat, dan bahwa segala urusan pada hari itu hanyalah kepunyaan Allah semata. Penunjukan ini disajikan sedemikian rupa, sehingga menambah penetapan, penguatan, penjelasan, dan perincian akidah tauhid. Kedua, Al A’rof: 176
ل ْ ﺤ ِﻤ ﻥ ﹶﺘ ﺏ ِﺇ ِ ﹶﺜلِ ﺍ ﹾﻟ ﹶﻜ ﹾﻠﻪ ﹶﻜﻤ ﹶﺜﹸﻠﻩ ﹶﻓﻤ ﺍﻫﻭ ﻊ ﺒ ﺍ ﱠﺘﺽ ﻭ ِ ﺭ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍ ﹾﻟَﺄﺨﹶﻠﺩ ﻪ َﺃ ﹾ ﹶﻟﻜِ ﱠﻨﺎ ﻭﻩ ِﺒﻬ ﻌﻨﹶﺎ ﺭ ﹶﻓ ﺸ ْﺌﻨﹶﺎ ﹶﻟ ِ ﻭ ﻭﹶﻟ ﻡ ﻬ ﻌﱠﻠ ﺹ ﹶﻟ ﺹ ﺍ ﹾﻟ ﹶﻘﺼ ِ ﺼ ﺎ ِﺘﻨﹶﺎ ﻓﹶﺎ ﹾﻗﻭﺍ ﺒِﺂﻴﻥ ﹶﻜ ﱠﺫﺒ ﻭ ِﻡ ﺍﱠﻟﺫِﻴ ل ﺍ ﹾﻟ ﹶﻘ ُ ﻤ ﹶﺜ ﺙ ﹶﺫﻟِﻙ ﻬ ﹾ ﻴ ﹾﻠ ﻪ ﺭ ﹾﻜ ﻭ ﹶﺘ ﹾﺘ ﺙ َﺃ ﻬ ﹾ ﻴ ﹾﻠ ِﻴﻪ ﹶﻠﻋ (176)ﻥ ﻭﻴ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (Depag RI, 1992: hlm. 251). Menurut Ash-Shiddieqy (2002: 389) ayat tersebut memaparkan perumpamaan kepada orang yang cenderung terhadap duniawi dan mengikuti hawa nafsu rendahnya. Maksudnya penyerupaan ini ialah mengumpamakan dalam hal kerendahan dan kehinaan. Sehingga dengan perumpamaan tersebut manusia bisa berpikir dan beriman.
51
Pada ayat tersebut, terdapat isyarat betapa besar manfaat berpikir, dan bahwa berpikir itu adalah prinsip ilmu dan jalan yang akan menyampaikan kepada kebenaran. Oleh karenanya, Allah SWT menganjurkan berpikir di berbagai tempat dalam kitabNya (QS. 13: 3; QS. 30: 21; QS. 39: 42; QS. 45: 12) (Al-Maraghi, 1992: 197). Ketiga, Al A’rof: 184
(184)ﻥ ﻤﺒِﻴ ﺭ ﻭ ِﺇﻟﱠﺎ ﹶﻨﺫِﻴ ﻫ ﻥ ﺠ ﱠﻨ ٍﺔ ِﺇ ِ ﻥ ﻡ ِﻤ ﺤ ِﺒ ِﻬ ِ ﺎﺎ ِﺒﺼﻭﺍ ﻤ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭﻡ ﻴ ﹶﻟَﺃﻭ Apakah (mereka lalai) dan tidak memikirkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila. Dia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pemberi penjelasan. (Depag RI, 1992: hlm. 252). Ayat ini menguraikan kecurangan berpikir yang dialami kaum pendusta, selanjutnya Allah membimbing untuk berpikir kepada pemahaman tentang fakta-fakta yang menuju pada pembuktian, sehingga mereka (kaum musyrik) mengetahui akan kebenaran Rasulullah saw. (Al-Maraghi, 1992: 227). Keempat, Yunus: 24
ﺱ ل ﺍﻟﻨﱠﺎ ُ ﻴ ْﺄ ﹸﻜ ﺎﺽ ِﻤﻤ ِ ﺭ ﺕ ﺍ ﹾﻟَﺄ ﺎ ﹸﻁ ِﺒ ِﻪ ﹶﻨﺒ ﺨ ﹶﺘﹶﻠ ﹶ ﺎ ِﺀ ﻓﹶﺎ ﹾﺴﻤ ﻥ ﺍﻟ ﻩ ِﻤ ﺯ ﹾﻟﻨﹶﺎ ﺎ ٍﺀ َﺃ ﹾﻨﺎ ﹶﻜﻤﺩ ﹾﻨﻴ ﺎ ِﺓ ﺍﻟﺤﻴ ل ﺍ ﹾﻟ ُ ﻤ ﹶﺜ ﺎِﺇ ﱠﻨﻤ ﺎﺎ َﺃﺘﹶﺎﻫﻴﻬ ﹶﻠ ﻋﻭﻥﻡ ﻗﹶﺎ ِﺩﺭ ﻬ ﺎ َﺃﱠﻨﻫﹸﻠﻬ ﻥ َﺃ ﻅ ﻭ ﹶ ﺕ ﻴ ﹶﻨ ﹾ ﺯ ﺍﺎ ﻭﺭ ﹶﻓﻬ ﺨ ﺯ ﹾ ﺽ ﺭ ﺨ ﹶﺫﺕِ ﺍ ﹾﻟَﺄ ﺤﺘﱠﻰ ِﺇﺫﹶﺍ َﺃ ﹶ ﻡ ﺎﺍ ﹾﻟَﺄ ﹾﻨﻌﻭ ٍﻭﻡ ﺕ ﻟِ ﹶﻘ ِ ﺎل ﺍﻟﹾﺂﻴ ُ ﹸﻨ ﹶﻔﺼﺱ ﹶﻜ ﹶﺫﻟِﻙ ِ ﻤ ﺒِﺎ ﹾﻟَﺄﻡ ﹶﺘ ﹾﻐﻥ ﻥ ﹶﻟ ﺍ ﹶﻜَﺄﺤﺼِﻴﺩ ﺎ ﹾﻠﻨﹶﺎﻫﻌﺍ ﹶﻓﺠﺎﺭﻭ ﹶﻨﻬ ﻴﻠﹰﺎ َﺃ ﺭﻨﹶﺎ ﹶﻟ ﻤ َﺃ (24)ﻥ ﻭﻴ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya,
52
dan memakai (pula) perhiasannya,8 dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya,9 tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berfikir. (Depag RI, 1992: hlm. 310). Dengan permisalan di ayat tersebut, yang menggambarkan tentang dunia yang memperdayakan manusia hingga begitu cepat musnah, meski angan-angan manusia begitu lekat dengannya, Kami menerangkan ayat-ayat lain yang menunjukkan atas tauhid, prinsip kesopanan, nasehat dan bimbingan akhlak, juga apa saja yang memuat keberesan manusia dalam kehidupan mereka di dunia dan akhirat. (Al-Maraghi, 1988: 175). Kelima, Ar ra’d: 2-3
ﺱ ﻤ ﺸ ﺭ ﺍﻟ ﱠ ﺨ ﺴﱠ ﻭ ﺵ ِ ﺭ ﻌ ﻋﻠﹶﻰ ﺍ ﹾﻟ ﻯﺴ ﹶﺘﻭ ﺍﺎ ﹸﺜﻡﻭ ﹶﻨﻬ ﺭ ﻤ ٍﺩ ﹶﺘ ﻋ ِﻴﺭ ﺕ ﺒِ ﹶﻐ ِ ﺍﻤﻭ ﺴ ﺍﻟ ﹶﻓﻊﻪ ﺍﱠﻟﺫِﻱ ﺭ ﺍﻟﻠﱠ ﻭ ﻫ ﻭ .ﻥ ﻡ ﺘﹸﻭ ِﻗﻨﹸﻭ ﺒ ﹸﻜ ﺭ ﻡ ِﺒِﻠﻘﹶﺎ ِﺀ ﻌﱠﻠ ﹸﻜ ﺕ ﹶﻟ ِ ﺎل ﺍﻟﹾﺂﻴ ُ ﻴ ﹶﻔﺼ ﺭ ﻤ ﺭ ﺍ ﹾﻟ َﺄ ﺩﺒ ﻴ ﻰﺴﻤ ﻤ ٍلﺠﺭِﻱ ﻟَِﺄﺠ ﻴ ل ﹸﻜ ﱞﺭﺍ ﹾﻟ ﹶﻘﻤﻭ ﻥ ِ ﻴ ﻥ ﺍ ﹾﺜ ﹶﻨ ِ ﻴ ﺠ ﻭ ﺯ ﺎل ﻓِﻴﻬ َ ﻌﺕ ﺠ ِ ﺍﻤﺭ ﻥ ﹸﻜلﱢ ﺍﻟ ﱠﺜ ﻭ ِﻤ ﺍﺎﺭَﺃ ﹾﻨﻬﻲ ﻭ ﺴ ِ ﺍﺭﻭ ﺎل ﻓِﻴﻬ َ ﻌﺠﺽ ﻭ ﺭ ﺩ ﺍ ﹾﻟَﺄ ﻤ ﺍﱠﻟ ِﺫﻱ ( 3 )ﻥ ﻭﻴ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ ٍﻭﻡ ﺎﺕٍ ﻟِ ﹶﻘ ﻟﹶﺂﻴﻥ ﻓِﻲ ﹶﺫﻟِﻙ ﺭ ِﺇ ﺎل ﺍﻟ ﱠﻨﻬ َ ﻴ ﻴ ﹾﻐﺸِﻲ ﺍﻟﱠﻠ Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu. Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungaisungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasangpasangan,10 Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Depag RI, 1992: hlm. 368). 8
Maksudnya bumi yang indah dengan gunung-gunung dan lembah-lembahnya telah menghijau dengan tanam-tanamannya. Lihat. Al Suyuthy, dkk, 1990: 477. 9 Maksudnya dapat memetik hasilnya. Lihat. Al Suyuthy, dkk, 1990: 478. 10 Yang dimaksud “berpasang-pasangan” ialah jantan dan betina, pahit dan manis, putih dan hitam, besar dan kecil dan sebagainya. Lihat. Al Suyuthy, dkk, 1990: 557.
53
Ash Shiddieqy (2002: 555), menerangkan bahwa ayat ini menujukkan kepada wujud Tuhan pencipta alam semesta dengan memaparkan tanda-tanda keesaan Allah SWT. Ayat ini juga menjelaskan bahwa tiap-tiap sesuatu pada mulanya dijadikan hanya dua jenis seperti manusia Adam dan Hawa. Kemudian barulah berkembang. Dalam tafsir Al Maraghi (1992: 113) diterangkan bahwa setelah Allah menyebutkan dalil-dalil yang dapat disaksikan oleh manusia, selanjutnya Allah SWT menerangkan bahwa dalil-dalil ini hanya berguna bagi orang yang menggunakan akal dan pikirannya untuk merenungkan dan mengikuti petunjuk yang lurus. Kemudian dari berpikir tentang musababnya, mereka bisa mengambil pelajaran darinya, sehingga mengetahui bahwa Tuhan yang menciptakan semua ini adalah maha perkasa atas seluruh makhluk. Keenam, An nahl: 11, 44, 69
ﻴ ﹰﺔ ﻟﹶﺂﻥ ﻓِﻲ ﹶﺫﻟِﻙ ﺕ ِﺇ ِ ﺍﻤﺭ ﻥ ﹸﻜلﱢ ﺍﻟ ﱠﺜ ﻭ ِﻤ ﺏ ﻋﻨﹶﺎ ﺍ ﹾﻟَﺄل ﻭ َ ﺍﻟ ﱠﻨﺨِﻴﻥ ﻭ ﻴﺘﹸﻭ ﺯ ﺍﻟﻉ ﻭ ﺭ ﺯ ﻡ ِﺒ ِﻪ ﺍﻟ ﻴ ﹾﻨ ِﺒﺕﹸ ﹶﻟ ﹸﻜ (11)ﻥ ﻭﻴ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ ٍﻭﻡ ﻟِ ﹶﻘ Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.11 (Depag RI, 1992: hlm. 402). Pada penurunan hujan dan lain-lain yang telah disebutkan di ayat sebelumnya, benar-benar terdapat dalil dan hujjah bahwa tidak ada Tuhan selain Dia, bagi kaum yang mau mengambil pelajaran – dan memikirkan – peringatan-peringatan Allah. Sehingga hati mereka menjadi tenang karenanya, 11
Mengenai ciptaan-Nya, sehingga mereka mau beriman karenanya. Lihat. Al Suyuthy, dkk, 1990: 487.
54
dan cahaya iman masuk ke dalamnya, lalu menerangi hati dan mensucikan jiwa mereka. (Al Maraghi, 1992: 16)
(44)ﻥ ﻭﻴ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ ﻡ ﻬ ﱠﻠﹶﻟﻌﻡ ﻭ ﻴ ِﻬ ل ِﺇﹶﻟ َ ﺯ ﺎ ﹸﻨﺱ ﻤ ِ ﻥ ﻟِﻠﻨﱠﺎ ﻴ ﺒ ﺭ ِﻟ ﹸﺘ ﺍﻟ ﱢﺫ ﹾﻜﻴﻙ ﺯ ﹾﻟﻨﹶﺎ ﺇِﹶﻟ ﻭَﺃ ﹾﻨ ﺒ ِﺭ ﺯ ﺍﻟﺕ ﻭ ِ ﻴﻨﹶﺎ ﺒ ﺒِﺎ ﹾﻟ keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (Depag RI, 1992: hlm. 408). Ayat ini menyajikan kesalahpahaman kaum Quraisy yang mengatakan bahwa mereka tidak memerlukan seorang rasul, kemudian Allah menjawab bahwasannya sudah sunnah Allah menurunkan seorang rasul untuk membimbing umatnya. Ayat ini juga mempertegas lagi dengan menyuruh mereka untuk menanyakan kepada ahli kitab, bahwa telah diutus seorang rasul untuk membimbing mereka. (Al Maraghi, 1992: 159).
ﻪ ﺍﻨﹸﻑ َﺃ ﹾﻟﻭ ﺨ ﹶﺘِﻠ ﹲ ﻤ ﹾ ﺏ ﺍﺸﺭ ﺎ ﹶﺒﻁﹸﻭ ِﻨﻬ ﻥ ﺝ ِﻤ ﺭ ﺨ ﻴ ﹾ ﻙ ﹸﺫﹸﻟﻠﹰﺎ ِ ﺒ ﺭ ل َ ﺒ ﺴ ﺴﹸﻠﻜِﻲ ﺕ ﻓﹶﺎ ِ ﺍﻤﺭ ﻥ ﹸﻜلﱢ ﺍﻟ ﱠﺜ ﹸﻜﻠِﻲ ِﻤﹸﺜﻡ (69)ﻥ ﻭﻴ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ ٍﻭﻡ ﻴ ﹰﺔ ﻟِ ﹶﻘ ﻟﹶﺂﻥ ﻓِﻲ ﹶﺫﻟِﻙ ﺱ ِﺇ ِ ﺀ ﻟِﻠﻨﱠﺎ ﺸﻔﹶﺎ ِ ﻓِﻴ ِﻪ kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (Depag RI, 1992: hlm. 412). Menurut Ash Shiddieqy (2002: 615), bahwa Ayat ini turun di Mekkah sewaktu arak belum diharamkan. Kemudian ayat ini dimansukh dengan turunnya (QS. 2: 219), setelah itu juga turun (QS. 4: 43) dan (QS. 2: 90-91). Ayat ini menyamakan antara arak yang dibuat dari kurma dan dari anggur. Segolongan Hanafiyah menghubungkan sakar di sini dengan minuman dari
55
perasan (rendaman) yang tidak memabukkan atau yang menguap dua pertiga, setelah dimasak hingga memabukkan. Ketujuh, Ar Rum: 8
ٍلَﺃﺠﻕ ﻭ ﺤﱢ ﺎ ِﺇﻟﱠﺎ ﺒِﺎ ﹾﻟﻬﻤ ﻴ ﹶﻨ ﺒ ﺎﻭﻤ ﺽ ﺭ ﺍ ﹾﻟَﺄﺕ ﻭ ِ ﺍﻤﻭ ﺴ ﻪ ﺍﻟ ﻕ ﺍﻟﱠﻠ ﺨﹶﻠ ﹶ ﺎ ﹶﻡ ﻤ ِﻭﺍ ﻓِﻲ َﺃ ﹾﻨ ﹸﻔﺴِﻬ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭﻡ ﻴ ﹶﻟَﺃﻭ (8)ﻭﻥﻡ ﹶﻟﻜﹶﺎ ِﻓﺭ ﺒ ِﻬ ﺭ ﺱ ِﺒِﻠﻘﹶﺎ ِﺀ ِ ﻥ ﺍﻟﻨﱠﺎ ﺍ ِﻤﻥ ﹶﻜﺜِﻴﺭ ﻭِﺇ ﻰﺴﻤ ﻤ Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?12, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan.13 Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia14 benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.15 (Depag RI, 1992: hlm. 642). Ayat ini menjelaskan tentang keesaan Allah SWT, baik yang terdapat di dalam diri mereka (kaum Quraisy) maupun pada alam semesta, semuanya itu menunjukkan bahwa Allah lah yang menciptakannya. (Al Maraghi, 1992: 55). Kedelapan, Ar Rum: 21
ﻥ ﻤ ﹰﺔ ِﺇ ﺤ ﺭ ﻭ ﺩ ﹰﺓ ﻭ ﻤ ﻡ ﻴ ﹶﻨ ﹸﻜ ﺒ ل َ ﻌﺠﺎ ﻭﻴﻬ ﺴ ﹸﻜﻨﹸﻭﺍ ِﺇﹶﻟ ﺎ ِﻟ ﹶﺘﺍﺠﺯﻭ ﻡ َﺃ ﺴ ﹸﻜ ِ ﻥ َﺃ ﹾﻨ ﹸﻔ ﻡ ِﻤ ﻕ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺨﹶﻠ ﹶ ﻥ ﹶ ﺎ ِﺘ ِﻪ َﺃﺍﻴﻥ ﺀ ﻭ ِﻤ (21)ﻥ ﻭﻴ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ ٍﻭﻡ ﺎﺕٍ ﻟِ ﹶﻘ ﻟﹶﺂﻴﻓِﻲ ﹶﺫﻟِﻙ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,16 supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Depag RI, 1992: hlm. 664).
12
Supaya mereka sadar dari kelalaiannya. Lihat. Al Suyuthy, dkk, 1990: 598. Artinya akan lenyap setelah waktunya habis, setelah itu tibalah saatnya hari bangkit. Lihat. Al Suyuthy, dkk, 1990: 598. 14 Yaitu orang-orang kafir Mekkah. Lihat. Al Suyuthy, dkk, 1990: 599. 15 Yaitu mereka tidak percaya kepada hari berbangkit sesudah mati. Lihat. Al Suyuthy, dkk, 1990: 599. 16 Siti Hawa tercipta dari tulang rusuk nabi Adam sedangkan manusia yang lainnya tercipta dari air mani laki-laki dan perempuan. Lihat. Al Suyuthy, dkk, 1990: 603. 13
56
Ayat
ini
menunjukkan
tentang
adanya
hari
berbangkit
dan
dihidupkanNya kembali semua makhluk, yaitu melestarikan manusia dengan menciptakan istri-istri melalui perkawinan sehingga kelahiran. (Al Maraghi, 1992: 67). Kesembilan, Saba’: 46
ﺠﱠﻨ ٍﺔ ِ ﻥ ﻡ ِﻤ ﺤ ِﺒ ﹸﻜ ِ ﺎﺎ ِﺒﺼﻭﺍ ﻤ ﹶﺘ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭﻯ ﹸﺜﻡﺍﺩﻭ ﹸﻓﺭ ﻤ ﹾﺜﻨﹶﻰ ﻭﺍ ِﻟﱠﻠ ِﻪﻥ ﹶﺘﻘﹸﻭﻤ ﺩ ٍﺓ َﺃ ﺤ ِ ﺍﻡ ِﺒﻭ ﻅ ﹸﻜ ﻋﹸ ِ ﺎ َﺃل ِﺇ ﱠﻨﻤ ْ ﹸﻗ (46)ﺸﺩِﻴ ٍﺩ ﺏ ﹶ ٍ ﻋﺫﹶﺍ ﻱ ﺩ ﻴ ﻥ ﻴ ﺒ ﻡ ﺭ ﹶﻟ ﹸﻜ ﻭ ِﺇﻟﱠﺎ ﹶﻨﺫِﻴ ﻫ ﻥ ِﺇ Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) Tidak sedikitpun sahabatmu (rasul) itu gila. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras. (Depag RI, 1992: hlm. 691). Apabila Allah menyuruh mereka berpikir secara terpisah-pisah dua orang atau seorang, maka hal itu tak lain karena dalam kerumunan orang banyak, maka pikiran akan terganggu sehingga tidak bisa berpikir lama. Sedangkan perkataan bercampur baur tidak bisa lagi dengan sempurna mempertimbangkan sesuai secara adil. Padahal sebagaimana dapat disaksikan sehari-hari kegoncangan dan pikiran yang tidak teratur akan senantiasa terjadi pada kelompok-kelompok yang banyak ketika terjadi perdebatan dan perselisihan pendapat, suatu hal yang mendukung kebenaran ayat ini. Kemudian Allah menjelaskan kepada mereka bahwa hasil dari berpikir itu akan menyebabkan mereka mengakui apa yang ditunjukkan oleh pandangan yang benar. (Ash Shiddieqy, 2002: 979)
57
Kesepuluh, Al Zumar: 42
ﺕ ﻭ ﹶ ﻤ ﺎ ﺍ ﹾﻟﻴﻬ ﻋﹶﻠ ﻰﻙ ﺍﱠﻟﺘِﻲ ﹶﻗﻀ ﺴ ِ ﻤ ﻴ ﺎ ﹶﻓﻤﻨﹶﺎ ِﻤﻬ ﺕ ﻓِﻲ ﻤ ﹾ ﻡ ﹶﺘ ﺍﱠﻟﺘِﻲ ﹶﻟﺎ ﻭﻭ ِﺘﻬ ﻤ ﻥ ﺱ ﺤِﻴ ﻭﻓﱠﻰ ﺍ ﹾﻟَﺄ ﹾﻨ ﹸﻔ ﻴ ﹶﺘ ﻪ ﺍﻟﻠﱠ (42)ﻥ ﻭﻴ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ ٍﻭﻡ ﺎﺕٍ ﻟِ ﹶﻘ ﻟﹶﺂﻴﻥ ﻓِﻲ ﹶﺫﻟِﻙ ﻰ ِﺇﺴﻤ ﻤ ٍلﻯ ِﺇﻟﹶﻰ َﺃﺠﺨﺭ ل ﺍ ﹾﻟُﺄ ﹾ ُﺴ ِ ﺭ ﻴ ﻭ Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.17 Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.18 (Depag RI, 1992: hlm. 752). Ayat ini merupakan bantahan Rasulullah saw terhadap kaum Quraisy yang tetap pada kekafirannya. Bahwa Allah menggenggam ruh-ruh ketika ajal mereka habis dan memutuskan hubungan antara ruh dan jasad. Hal tersebut menujukkan atas kekuasaan Allah SWT bagi yang mau berpikir dan memperhatikannya. (Al Maraghi, 1992: 15). Kesebelas, Al Jatsiyah: 13
ٍﻭﻡ ﺎﺕٍ ﻟِ ﹶﻘ ﻟﹶﺂﻴﻥ ﻓِﻲ ﹶﺫﻟِﻙ ﻪ ِﺇ ﺎ ِﻤ ﹾﻨﺠﻤِﻴﻌ ﺽ ِ ﺭ ﺎ ﻓِﻲ ﺍ ﹾﻟَﺄﻭﻤ ﺕ ِ ﺍﻤﻭ ﺴ ﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﻡ ﻤ ﺭ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺨ ﺴﱠ ﻭ (13)ﻥ ﻭﻴ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (Depag RI, 1992: hlm. 816). Keterkaitan sebagian alam dengan yang sebagainya adalah dalil keesaan-nya, sedang menjadikan yang sebagian sebab-sebab bagi yang lain
17
Maksudnya orang-orang yang mati itu rohnya ditahan Allah SWT sehingga tidak dapat kembali kepada tubuhnya, dan orang-orang yang tidak mati hanya tidur saja rohnya dilepaskan sehingga dapat kembali kepadanya lagi. Lihat, Ash Shiddieqy, 2002: 1065. 18 Maka karenanya mereka mengetahui, bahwa yang berkuasa melakukan hal tersebu, berkuasa pula untuk membangkitkan. Dan orang-orang kafir tidak memikirkan hal itu. Lihat, Ash Shiddieqy, 2002: 1065.
58
adalah dalil hikmah-Nya dan Tuhan menundukkan semuanya bagi kemaslahatan manusia adalah dalil dari kesempurnaan bagi wujud-Nya. (Ash Shiddieqy, 2002: 1016) Keduabelas, Al Mudatsir: 18
(18)ﺩﺭ ﹶﻗ ﻭﻪ ﹶﻓ ﱠﻜﺭ ِﺇﻨﱠ Sesungguhnya dia telah memikirkan dan ditetapkannya), (Depag RI, 1992: hlm. 993).
menetapkan
(apa
yang
Ayat sebelumnya menjelaskan tentang azab Allah terhadap Al Walid bin Mughiroh pada hari kiyamat. Selanjutnya Allah menceritakan bagaimana keingkarannya (QS. 74: 18) bahwa dia (Al Walid) memikirkan dan memalsukan dalam dirinya perkataan untuk mencela al-Qur'an. Juga dia mengada-adakan tuduhan terhadap al-Qur'an dan mengira-irakannya, sehingga dia mendapati apa yang ada dalam jiwa orang-orang Quraisy. (Al Maraghi, 1992: 225). Ketigabelas, Al Baqoroh: 219
ﺎﻥ ﹶﻨ ﹾﻔ ِﻌ ِﻬﻤ ﺭ ِﻤ ﺒ ﺎ َﺃ ﹾﻜﻬﻤ ﻤ ﻭِﺇ ﹾﺜ ﺱ ِ ﻊ ﻟِﻠﻨﱠﺎ ﻤﻨﹶﺎ ِﻓ ﻭ ﺭ ﻡ ﹶﻜﺒِﻴ ﺎ ِﺇ ﹾﺜل ﻓِﻴ ِﻬﻤ ْ ﺴ ِﺭ ﹸﻗ ِ ﻴ ﻤ ﺍ ﹾﻟﻤ ِﺭ ﻭ ﺨ ﻥ ﺍ ﹾﻟ ﹶ ِﻋ ﺴ َﺄﻟﹸﻭ ﹶﻨﻙ ﻴ 219 ﻥ ﻭﻡ ﹶﺘ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ ﻌﱠﻠ ﹸﻜ ﺕ ﹶﻟ ِ ﺎﻡ ﺍﻟﹾﺂﻴ ﻪ ﹶﻟﻜﹸ ﻥ ﺍﻟﻠﱠ ﺒﻴ ﻴ ﻭ ﹶﻜ ﹶﺫﻟِﻙ ﻌ ﹾﻔ ل ﺍ ﹾﻟ ِ ﻥ ﹸﻗ ﻴ ﹾﻨ ِﻔﻘﹸﻭ ﺎﺫﹶﺍ ﻤﺴَﺄﻟﹸﻭ ﹶﻨﻙ ﻴ ﻭ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. (Depag RI, 1992: hlm. 53). Ayat ini merupakan ayat yang pertama kali diturunkan yang membahas mengenai khamr. Diriwayatkan oleh Ahmad yang bersumber dari Abu Hurairah dikemukakan, ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, beliau
59
mendapati kaumnya suka minum arak dan makan hasil judi. Mereka bertanya kepada Rasulullah saw tentang hal itu. Maka turunlah ayat, yas aluunaka ‘anil khamri wal maisiri qul itsmung kabiruw wa mananfi’untuk lin naas … (mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia…). Diriwayatkan lagi oleh Ibnu Abi Hatim dari Sa’id atau Ikrimah, yang bersumber dari Ibnu Abbas, dikemukakan bahwa segolongan sahabat, ketika diperintah untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah, datang menghadap Rasulullah saw dan berkata: “Kami tidak mengetahui perintah infak yang bagaimana dan harta yang mana yang harus kami keluarkan itu?”, maka Allah menurunkan ayat, …wa yas-aluunaka maadzaayunfiquuna qulil ‘afwa… (…dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari keperluan”…). Yang menegaskan bahwa yang harus dikeluarkan nafkahnya itu ialah selebihnya dari keperluan hidup sehari-hari. Dalam riwayat lain oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Yahya dikemukakan bahwa Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah menghadap Rasulullah saw dan bertanya: “Ya Rasulullah, kami mempunyai banyak hamba sahaya dan banyak pula anggota keluarga. Harta mana yang harus kami keluarkan untuk infak?”, maka turunlah ayat tersebut diatas, …wa yas-aluunaka maadzaayunfiquuna qulil ‘afwa… (…dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari keperluan”…). (Dahlan, dkk, 2000: 70).
60
Ayat ini menunjukkan bahwa agama Islam mengajak kepada perluasan cakrawala berpikir dan menggunakan akal untuk mencari ke-maslahatan dunia dan akhirat secara bersamaan. (Al- Maraghi, 1992: 276). Keempatbelas, Al Baqoroh: 266
ﻥ ﹸﻜلﱢ ﺎ ِﻤﻪ ﻓِﻴﻬ ﺭ ﹶﻟ ﺎﺎ ﺍ ﹾﻟَﺄ ﹾﻨﻬﺤ ِﺘﻬ ﻥ ﹶﺘ ﺠﺭِﻱ ِﻤ ﺏ ﹶﺘ ٍ ﻋﻨﹶﺎ ﻭَﺃ ل ٍ ﻥ ﹶﻨﺨِﻴ ﺠ ﱠﻨ ﹲﺔ ِﻤ ﻪ ﻥ ﹶﻟ ﻥ ﹶﺘﻜﹸﻭ ﻡ َﺃ ﺩ ﹸﻜ ﺤ ﺩ َﺃ ﻭَﺃﻴ ﻥ ﺒﻴ ﻴ ﺕ ﹶﻜ ﹶﺫﻟِﻙ ﹶﻗ ﹾﺤ ﹶﺘﺭ ﺭ ﻓﹶﺎ ﺭ ﻓِﻴ ِﻪ ﻨﹶﺎ ﺎﻋﺼ ﺎ ِﺇﺒﻬ ﺎﺀ ﹶﻓَﺄﺼ ﻌﻔﹶﺎ ﻀ ﻴ ﹲﺔ ﺭ ﻪ ﹸﺫ ﻭﹶﻟ ﺭ ﺒ ﻪ ﺍ ﹾﻟ ِﻜ ﺒ ﺎﻭَﺃﺼ ﺕ ِ ﺍﻤﺭ ﺍﻟ ﱠﺜ (266)ﻥ ﻭﻡ ﹶﺘ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ ﻌﱠﻠ ﹸﻜ ﺕ ﹶﻟ ِ ﺎﻡ ﺍﻟﹾﺂﻴ ﻪ ﹶﻟﻜﹸ ﺍﻟﻠﱠ Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakar.19 Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya. (Depag RI, 1992: hlm. 67). Inilah perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya karena mengharap ridlo Allah dan untuk membersihkan diri, yaitu kebun yang memiliki tanah subur yang dipenuhi dengan tumbuhan yang segar dan banya buahnya. Lalu kebun itu disiram air hujan, sehingga buahnya menjadi dua kali lipat. (Al- Maraghi, 1992: 63). Kelimabelas, Ali Imron: 190 – 191
(190)ﺏ ِ ﺎﺎﺕٍ ِﻟﺄُﻭﻟِﻲ ﺍ ﹾﻟَﺄ ﹾﻟﺒﺎ ِﺭ ﻟﹶﺂﻴﺍﻟ ﱠﻨﻬل ﻭ ِ ﻴ ﻑ ﺍﻟﱠﻠ ِ ﺨ ِﺘﻠﹶﺎ ﺍ ﹾﺽ ﻭ ِ ﺭ ﺍ ﹾﻟَﺄﺕ ﻭ ِ ﺍﻤﻭ ﺴ ﺨ ﹾﻠﻕِ ﺍﻟ ﻥ ﻓِﻲ ﹶ ِﺇ ﺽ ِ ﺭ ﺍ ﹾﻟَﺄﺕ ﻭ ِ ﺍﻤﻭ ﺴ ﺨ ﹾﻠﻕِ ﺍﻟ ﻥ ﻓِﻲ ﹶ ﻭﻴ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ ﻭ ﻡ ﺠﻨﹸﻭ ِﺒ ِﻬ ﻋﻠﹶﻰ ﻭ ﺩﺍ ﻭﻭ ﹸﻗﻌ ﺎﺎﻤﻪ ِﻗﻴ ﻥ ﺍﻟﱠﻠ ﻭﻴ ﹾﺫ ﹸﻜﺭ ﻥ ﺍﱠﻟﺫِﻴ (191)ﺏ ﺍﻟﻨﱠﺎ ِﺭ ﻋﺫﹶﺍ ﹶﻓ ِﻘﻨﹶﺎﺎ ﹶﻨﻙﺒﺤ ﺴ ﻁﻠﹰﺎ ِ ﺎﻫﺫﹶﺍ ﺒ ﺕ ﺨﹶﻠ ﹾﻘ ﹶ ﺎ ﹶﺒﻨﹶﺎ ﻤ ﺭ 19
Orang yang berbuat kebajikan, secara riya atau dengan menyakitkan hati orang, pada hari kiyamat sama dengan orang yang terbakar kebunnya sedang dia dalam keadaan berhajat kepadanya. Lihat Ash Shiddiqqy, 2002: 108.
61
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (190). (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring20 dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(191) (Depag RI, 1992: hlm. 109-110). Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dan Ibnu Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas dikemukakan bahwa orang Quraisy datang kepada orang Yahudi untuk bertanya: “Mukjizat apa yang dibawa Musa kepada kalian?” Mereka menjawab: “Tongkat dan tangannya terlihat putih bercahaya”. Kemudian mrkbertanya kepada kaum Nashrani: “Mukjizat apa yang dibawa Isa kepada kalian?” Mereka menjawab: “Ia dapat menyembuhkan orang yang berpenyakit sopak, dan menghidupkan orang mati”. Kemudian mereka menghadap nabi Muhammad SAW dan berkata: “Hai Muhammad, coba berdo’alah engkau kepada Robb-mu agar gunung Shofa ini dijadikan emas”. Lalu Rasulullah saw berdo’a. Maka turunlah ayat 190 dari surat Ali Imron, sebagai petunjuk untuk memperhatikan apa yang telah ada, yang akan lebih besar manfaatnya bagi orang yang menggunakan akal. (Dahlan, dkk, 2000: 124). Selanjutnya Allah SWT mendefinisikan ulul albab adalah orang yang menggunakan pikirannya, mengambil faedah darinya, dan menggambarkan keagungan Allah serta mengingat hikmah dan keutamaan akal, disamping keagungan karuniaNya dalam segala sikap dan perbuatan mereka, sehingga mereka bisa berdiri, duduk, berbaring, dan sebagainya. (Al- Maraghi, 1992: 290). 20
Artinya dalam keadaan bagaimanapun juga, sedang menurut Ibnu Abbas mengerjakan sholat sesuai dengan kemampuan. Lihat Ash Shiddiqqy, 2002: 170.
62
Keenambelas, Al Hasr: 21
ل ُ ﻤﺜﹶﺎ ﻙ ﺍ ﹾﻟَﺄ ﻭ ِﺘ ﹾﻠ ﺔِ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪﺸﻴ ﺨﹾ ﻥ ﹶ ﺎ ِﻤﺩﻋ ﺼ ﻤ ﹶﺘ ﺎﺸﻌ ِ ﻪ ﺨﹶﺎ ﻴ ﹶﺘ َﺃل ﹶﻟﺭ ٍ ﺒ ﺠ ﻋﻠﹶﻰ ﻥ ﺍﺭﺀ ﻫﺫﹶﺍ ﺍ ﹾﻟ ﹸﻘ ﺯ ﹾﻟﻨﹶﺎ ﻭ َﺃ ﹾﻨ ﹶﻟ (21)ﻥ ﻭﻴ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ ﻡ ﻬ ﻌﱠﻠ ﺱ ﹶﻟ ِ ﺎ ﻟِﻠﻨﱠﺎﺒﻬ ﻀ ِﺭ ﹶﻨ Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (Depag RI, 1992: hlm. 919). Ayat ini gambaran bagi ketinggian urusan al-Qur'an dan pengaruhnya yang kuat, karena di dalamnya terkandung nasehat-nasehat dan laranganlarangan. Di sini terdapat celaan bagi manusia karena kesesatan hati dan kekuranganpatuhan ketika membaca al-Qur'an dan memikirkan ketukanketukan yang menundukkan gunung-gunung. (Al- Maraghi, 1992: 59). Dilihat dari segi bentuknya, term fakkara dalam al-Qur'an muncul dalam 4 bentuk: a.
ََﻓﻜﱠﺮ
(al Mudatsir: 18)
Bentuk yang pertama yaitu bentuk fiil madhi mufrad yang berarti perbuatan yang sudah dilaksanakan b.
ﻭﺍ( ﹶﺘ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭSaba’: 46) Bentuk ini yaitu bentuk fiil amr (perintah), jama’ (banyak)
c.
ﻥ ﻭ( ﹶﺘ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭal Baqoroh: 219, al Baqoroh: 266, al An’am: 50) Bentuk ini yaitu bentuk fiil mudhori’ (menunjukkan waktu sekarang/ akan datang) yang bertemu dengan wawu jama’ (yang berarti obyek yang banyak), mukhotob (orang kedua).
63
d.
ﻭﺍ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ ( ﻴal A’rof: 184, ar Rum: 8) Merupakan bentuk fiil mudhori’ (menunjukkan waktu sekarang/ akan datang), jama’ (banyak) yang ditunjukkan dengan bertemunya wawu jama’ selanjutnya bertemu dengan salah satu ‘amil jawazim (huruf untuk men-jazimkan fiil) yaitu ﻡ ﹶﻟ. Bentuk awal dari fiil tersebut adalah ﻥ ﻭﻴ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ bertemu ﻡ ﹶﻟ
sehingga dijazimkan dengan tanda terbuangnya nun
selanjutnya menjadi ﻭﺍ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭﻴ e.
ﻥ ﻭ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ ( ﻴali Imron: 191, al Hasr: 21, al Jatsiyah: 13, az Zumar: 42, ar Rum: 21, an Nahl: 11, an Nahl: 44, an Nahl: 69, ar Ra’d: 3, Yunus: 24, al A’rof: 76) Bentuk ini merupakan bentuk fiil mudhori’ (menunjukkan waktu sekarang/ akan datang) yang bertemu dengan wawu jama’ (yang berarti obyek yang banyak), ghoib (orang ketiga).
2. Term dabbara dan derivasinya Seperti telah disebut di atas, penggunaan term dabbara dan derivasinya di dalam al-Qur'an terulang sebanyak 44 kali, namun yang mempunyai arti tafakur yaitu: Pertama, Shood ayat 29
(29)ﺏ ِ ﺎ ﺃُﻭﻟﹸﻭ ﺍ ﹾﻟَﺄ ﹾﻟﺒ ﹶﺘ ﹶﺫ ﱠﻜﺭﻟِﻴﺎ ِﺘ ِﻪ ﻭﺍﻴﻭﺍ ﺀﺭﺒﻴﺩ ﻙ ِﻟ ﺭ ﺎﻤﺒ ﻴﻙ ﻩ ﺇِﹶﻟ ﺯ ﹾﻟﻨﹶﺎ ﺏ َﺃ ﹾﻨ ِﻜﺘﹶﺎ
64
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memikirkan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (Depag RI, 1992: hlm. 736). Ayat ini menunjukkan keutamaan al-Qur'an sebagai petunjuk dan menyelamatkan manusia dari kesesatan. (Al- Maraghi, 1992: 208). Ash Shiddieqy (2002: 1041) menerangkan bahwa memahami al-Qur'an yaitu dengan memperhatikan lafadz-lafadznya, tertibnya dan maksudnya lalu mengeluarkan dari berbagai macam ilmu dengan dikuatkan dalil. Kedua, Muhammad ayat 24
(24)ﺎﺏ َﺃ ﹾﻗﻔﹶﺎﹸﻟﻬ ٍ ﻋﻠﹶﻰ ﹸﻗﻠﹸﻭ ﻡ ﻥ َﺃ ﺍﺭﺀ ﻥ ﺍ ﹾﻟ ﹸﻘ ﻭﺒﺭ ﺩ ﻴ ﹶﺘ َﺃ ﹶﻓﻠﹶﺎ Maka apakah mereka tidak memikirkan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci? (Depag RI, 1992: hlm. 833). Ayat sebelumnya Allah menerangkan orang yang munafik yaitu mereka yang tidak dapat mengambil manfaat dari apa yang mereka dengar, maka pada ayat ini Allah menerangkan bahwa sikap mereka berkisar oleh dua hal. Mereka tidak memikirkan al-Qur'antara lain, atau mereka me-mikirkannya tetapi makna al-Qur'an tidak masuk ke hati mereka. (Al- Maraghi, 1992: 117). Pada dasarnya dabbara berarti mengatur, mengurus, memimpin. Namun dalam ayat-ayat diatas ﻤﺭ ﻻ ﺍ ﹶﺒﺭ ﺭ ﺍﻱ ﹶﺘﺩ ﺒ ﺩ yang berarti memikirkan, mempertimbangkan akibatnya (baik dan buruk). Dilihat dari bentuknya pemakaian istilah dabbara dalam al-Qur'an terbagi menjadi dua , yaitu: a.
ﻭﺍﺭﺒﻴﺩ ( ِﻟShood: 29)
Merupakan fiil mudhori’ yang berdlomir jama’ ghoib, fiil tersebut bertemu dengan ‘amil nawashib lam, sehingga nun diakhir fiil dihilangkan.
65
b.
ﻥ ﻭﺒﺭ ﺩ ﻴ ﹶﺘ (Muhammad: 24)
Merupakan fiil mudhori’ yang berdlomir jama’ ghoib (orang ketiga jama’). 3. Term ‘Aqola dan derivasinya Seperti telah disebut di atas, penggunaan term ‘aqola dan derivasinya di dalam al-Qur'an terulang sebanyak 49 kali, namun yang mempunyai arti tafakur yaitu: Pertama, Ash Shoffaat ayat 138
(138)ﻥ ﻌ ِﻘﻠﹸﻭ ل َﺃ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﹶﺘ ِ ﻴ ﻭﺒِﺎﻟﱠﻠ dan di waktu malam. Maka apakah kamu tidak memikirkan? (Depag RI, 1992: hlm. 727). Di ayat sebelumnya, Allah menceritakan kepada kaum kafir Quraisy kisah kaumnya nabi Luth yang dibinasakan tanpa sisa. Apakah kalian tidak mengambil pelajaran dan tidak takut jika kalianpun ditimpa bencana seperti mereka. Karena bencana yang menimpa mereka tidak lain disebabkan ketidakpatuhan kepada Rasulullah. (Al- Maraghi, 1992:143). Kedua, Yunus ayat 16
ﺒﻠِﻪِ َﺃ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﻥ ﹶﻗ ﺍ ِﻤﻤﺭ ﻋ ﻡ ﺕ ﻓِﻴ ﹸﻜ ﺩ ﹶﻟ ِﺒ ﹾﺜ ﹸ ﻡ ِﺒ ِﻪ ﹶﻓ ﹶﻘ ﺍ ﹸﻜﺩﺭ ﻭﻟﹶﺎ َﺃ ﻡ ﻴ ﹸﻜ ﻋﹶﻠ ﻪ ﻭ ﹸﺘ ﺎ ﹶﺘﹶﻠﻪ ﻤ ﺀ ﺍﻟﱠﻠ ﻭ ﺸﹶﺎ ل ﹶﻟ ْ ﹸﻗ (16)ﻥ ﻌ ِﻘﻠﹸﻭ ﹶﺘ Katakanlah: "Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu". Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya? (Depag RI, 1992: hlm. 308).
66
Ayat ini merupakan hujjah kebenaran bahwa al-Qur'an benar-benar wahyu Allah yang diberikan kepada nabi Muhammad saw. (Al- Maraghi, 1992: 148). Ketiga, Hud ayat 51
(51)ﻥ ﻌ ِﻘﻠﹸﻭ ﺭﻨِﻲ َﺃ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﹶﺘ ﻁ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﱠﻟﺫِﻱ ﹶﻓ ﹶ ِﺇﻟﱠﺎﺠﺭِﻱ ﻥ َﺃ ﺍ ِﺇﺠﺭ ﻴﻪِ َﺃ ﹶﻠﻡ ﻋ ﺴ َﺄﹸﻟ ﹸﻜ ﻭﻡِ ﻟﹶﺎ َﺃ ﺎ ﹶﻗﻴ Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini, Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan (nya)?” (Depag RI, 1992: hlm. 335). Ayat ini menceritakan kisah nabi Hud dan kaumnya yang membangkang terhadap perintahNya. Ayat ini juga sudah diterangkan disurat sebelumnya (QS. 7: 65-72), namun dengan gaya bahasa yang berbeda. (Ash Shiddieqy, 2002: 506) Keempat, Yusuf ayat 109
ﺽ ِ ﺭ ﻭﺍ ﻓِﻲ ﺍ ﹾﻟَﺄﻴﺴِﻴﺭ ﻡ ﻯ َﺃ ﹶﻓﹶﻠﻫلِ ﺍ ﹾﻟ ﹸﻘﺭ ﻥ َﺃ ﻡ ِﻤ ﻴ ِﻬ ﺎﻟﹰﺎ ﻨﹸﻭﺤِﻲ ِﺇﹶﻟ ِﺇﻟﱠﺎ ِﺭﺠﺒﻠِﻙ ﻥ ﹶﻗ ﺴ ﹾﻠﻨﹶﺎ ِﻤ ﺭ ﺎ َﺃﻭﻤ ﻥ ﻌ ِﻘﻠﹸﻭ ﺍ َﺃ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﹶﺘﻥ ﺍ ﱠﺘ ﹶﻘﻭ ﺭ ِﻟﱠﻠﺫِﻴ ﻴ ﺨ ﺭ ِﺓ ﹶ ﺨ ِ ﺭ ﺍﻟﹾﺂ ﺍﻭﹶﻟﺩ ﻡ ِﺒﻠِﻬ ﻥ ﹶﻗ ﻥ ِﻤ ﺒ ﹸﺔ ﺍﱠﻟﺫِﻴ ﺎ ِﻗﻥ ﻋ ﻑ ﻜﹶﺎ ﻴ ﹶ ﻭﺍ ﹶﻜﻅﺭ ﻴ ﹾﻨ ﹸ ﹶﻓ Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya? (Depag RI, 1992: hlm. 365). Ayat ini merupakan jawaban atas perkataan musyrikin bahwasannya Allah menurunkan kepada mereka seorang laki-laki bukan malaikat (Ash Shiddieqy, 2002: 551). Ayat ini juga memerintahkan kepada rasul Nya untuk memberitahukan kepada manusia bahwa jalannya adalah jalan dakwah yang tauhid. (Al- Maraghi, 1992: 91).
67
Kelima, An Nahl ayat 11-12
ﻴ ﹰﺔ ﻟﹶﺂﻥ ﻓِﻲ ﹶﺫﻟِﻙ ﺕ ِﺇ ِ ﺍﻤﺭ ﻥ ﹸﻜلﱢ ﺍﻟ ﱠﺜ ﻭ ِﻤ ﺏ ﻋﻨﹶﺎ ﺍ ﹾﻟَﺄل ﻭ َ ﺍﻟ ﱠﻨﺨِﻴﻥ ﻭ ﻴﺘﹸﻭ ﺯ ﺍﻟﻉ ﻭ ﺭ ﺯ ﻡ ِﺒ ِﻪ ﺍﻟ ﻴ ﹾﻨ ِﺒﺕﹸ ﹶﻟ ﹸﻜ ِﻤﺭِﻩ ﺕ ﺒِ َﺄ ﺍ ﹲﺨﺭ ﺴﱠ ﻤ ﻡ ﻭﺍﻟ ﱡﻨﺠ ﻭﺭﺍ ﹾﻟ ﹶﻘﻤﺱ ﻭ ﻤ ﺸ ﺍﻟ ﱠﺭ ﻭ ﺎﺍﻟ ﱠﻨﻬل ﻭ َ ﻴ ﻡ ﺍﻟﱠﻠ ﺭ ﹶﻟﻜﹸ ﺨ ﺴﱠ ﻭ (11)ﻥ ﻭﻴ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭ ٍﻭﻡ ﻟِ ﹶﻘ (12)ﻥ ﻌ ِﻘﻠﹸﻭ ﻴ ٍﻭﻡ ﺎﺕٍ ﻟِ ﹶﻘ ﻟﹶﺂﻴﻥ ﻓِﻲ ﹶﺫﻟِﻙ ِﺇ Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Depag RI, 1992: hlm. 403). Pada ayat 12 Allah mengungkapkan kata al-aqlu (mengerti), sedang pada ayat 11 Allah memakai kata tafakur (memikirkan). Ini disebabkan bekasbekas alam tertinggi itu banyak, dan dalalah apa yang ada padanya – berupa keagungan kekuasaan, ilmu dan kebijaksaanNya – adalah jelas, hanya memerlukan pengertian tidak memerlukan pemikiran, bahkan dapat dipahami secara spontan. Berbeda dengan alam terbawah, seperti tanaman, pada dalalah-Nya atas wujud Pencipta, ia memerlukan pemikiran, perenungan dan perhatian yang seksama. (Al- Maraghi, 1992: 98). Keenam, Al Mulk ayat 10
(10)ﺴﻌِﻴ ِﺭ ﺏ ﺍﻟ ِ ﺎﺼﺤ ﺎ ﹸﻜﻨﱠﺎ ﻓِﻲ َﺃل ﻤ ُ ﻌ ِﻘ ﻭ ﹶﻨ ﻊ َﺃ ﻤ ﺴ ﻭ ﹸﻜﻨﱠﺎ ﹶﻨ ﻭﻗﹶﺎﻟﹸﻭﺍ ﹶﻟ Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (Depag RI, 1992: hlm. 956). Ayat ini memberikan pengertian bahwa syarat taklif ialah bisa mendengarkan dan bisa memahami apa yang didengar. Ayat ini menyatakan bahwa akal juga bisa berperan sebagai hakim (Ash Shiddieqy, 2002: 1376). Ayat ini menceritakan keadaan di neraka yaitu karena mereka mendustakan
68
para Rasulullah, sehingga mereka mengeluh dengan berbicara, seandainya kami mempunyai akal dan memanfaatkannya, atau kami mempunyai telinga yang mendengarkan kebenaran yang diturunkan Allah, maka kami tidak berada di sini. (Al- Maraghi, 1992: 17). Ketujuh, Yasin ayat 62
(62)ﻥ ﻌ ِﻘﻠﹸﻭ ﻡ ﹶﺘﻜﹸﻭﻨﹸﻭﺍ ﹶﺘ ﺍ َﺃ ﹶﻓﹶﻠﺎ ﹶﻜﺜِﻴﺭﺠ ِﺒﻠ ِ ﻡ ل ِﻤ ﹾﻨ ﹸﻜ ﻀﱠ ﺩ َﺃ ﹶﻟ ﹶﻘﻭ Sesungguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebahagian besar di antaramu. Maka apakah kamu tidak memikirkan? (Depag RI, 1992: hlm. 712). Ayat sebelumnya Allah mengecam kaum musyrikin karena tidak mengambil pelajaran dari orang dahulu yang telah terjerumus oleh syetan. Dan ayat ini merupakan kecaman Allah SWT terhadap orang yang ingkar. (Al- Maraghi, 1992: 40). Kedelapan, Yasin ayat 68
(68)ﻥ ﻌ ِﻘﻠﹸﻭ ﻴ ﻕ َﺃ ﹶﻓﻠﹶﺎ ِ ﺨ ﹾﻠ ﻪ ﻓِﻲ ﺍ ﹾﻟ ﹶ ﺴ ﻩ ﹸﻨ ﹶﻨﻜﱢ ﺭ ﻌﻤ ﻥ ﹸﻨ ﻤ ﻭ Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian (nya).21 Maka apakah mereka tidak memikirkan? (Depag RI, 1992: hlm. 713). Ayat ini merupakan hujjah yang mematahkan alas an kafir Quraisy yang mengatakan bahwa sekiranya mereka diberi umur panjang, maka akan berbuat kebajikan. (Al- Maraghi, 1992: 45). Apakah kalian tidak berpikir bahwa tiap kali semakin tua, maka akan mengalami kelemahan dan ketidakberdayaan untuk melakukan suatu pekerjaan.
21
Yakni dikembalikan kepada alam anak-anak, lemah tidak berdaya. Lihat Ash Shiddieqy, 2002: 1011.
69
Kesembilan, Al Baqoroh: 164
ﺤ ِﺭ ﺒ ﺠﺭِﻱ ﻓِﻲ ﺍ ﹾﻟ ﻙ ﺍﱠﻟﺘِﻲ ﹶﺘ ِ ﺍ ﹾﻟ ﹸﻔ ﹾﻠﺎ ِﺭ ﻭﺍﻟ ﱠﻨﻬل ﻭ ِ ﻴ ﻑ ﺍﻟﱠﻠ ِ ﺨ ِﺘﻠﹶﺎ ﺍ ﹾﺽ ﻭ ِ ﺭ ﺍ ﹾﻟَﺄﺕ ﻭ ِ ﺍﻤﻭ ﺴ ﺨ ﹾﻠﻕِ ﺍﻟ ﻥ ﻓِﻲ ﹶ ِﺇ ﺎﺙ ﻓِﻴﻬ ﺒ ﱠ ﻭ ﺎﻭ ِﺘﻬ ﻤ ﺩ ﻌ ﺒ ﺽ ﺭ ﺎ ِﺒ ِﻪ ﺍ ﹾﻟَﺄﺤﻴ ﺎ ٍﺀ ﹶﻓَﺄﻥ ﻤ ﺎ ِﺀ ِﻤﺴﻤ ﻥ ﺍﻟ ﻪ ِﻤ ل ﺍﻟﱠﻠ َ ﺎ َﺃ ﹾﻨﺯﻭﻤ ﺱ ﻊ ﺍﻟﻨﱠﺎ ﻴ ﹾﻨ ﹶﻔ ﺎِﺒﻤ ٍﻭﻡ ﺎﺕٍ ﻟِ ﹶﻘﺽ ﻟﹶﺂﻴ ِ ﺭ ﺍ ﹾﻟَﺄﺎ ِﺀ ﻭﺴﻤ ﻥ ﺍﻟ ﻴ ﺒ ﺨ ِﺭ ﺴﱠ ﻤ ﺏ ﺍ ﹾﻟ ِ ﺎﺴﺤ ﺍﻟﺡ ﻭ ِ ﺎﺭﻴ ﻑ ﺍﻟ ِ ﺼﺭِﻴ ﻭ ﹶﺘ ﺒ ٍﺔ ﺍﻥ ﹸﻜلﱢ ﺩ ِﻤ (164)ﻥ ﻌ ِﻘﻠﹸﻭ ﻴ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Depag RI, 1992: hlm. 40). Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur di dalam Sunan-nya al-Faryabi di dalam tafsirnya dan al Baihaqi di dalam kitab Syu’abul Iman, yang bersumber dari Abudi Dluha. Ketika turun ayat al Baqoroh 163 ﺣ ٌﺪ ِ َوِاَﻟ ُﻬﻜُﻢ ِاَﻟ ٌﻪ ﱠو ﻦ اﻟﺮﱠﺣ ْﻴ ِﻢ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻻ ُه َﻮ اﻟ ﱠﺮ ﻻاِﻟﻪ ا ﱠ َ (Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), kaum musyrikin kaget dan bertanya-tanya “apakah benar Tuhan itu tunggal? Jika benar demikian, berikanlah kepada kami bukti-buktinya!”. Maka turunlah ayat berikutnya (QS. Al Baqoroh 164) yang menegaskan adanya bukti-bukti kemahaesaan Tuhan. (Dahlan, dkk, 2000: 45). Kesepuluh, Al Anfal ayat 22
(22)ﻥ ﻌ ِﻘﻠﹸﻭ ﻴ ﻥ ﻟﹶﺎ ﻡ ﺍﱠﻟﺫِﻴ ﺒ ﹾﻜ ﻡ ﺍ ﹾﻟ ﺼ ﺩ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ﺍﻟ ﻋ ﹾﻨ ِ ﺏ ﺍﺩﻭ ﺭ ﺍﻟ ﺸ ﻥ ﹶ ِﺇ Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak memikirkan apa-apapun. (Depag RI, 1992: hlm. 263).
70
Kata daabbah jarang dipakai untuk arti manusia, bahkan sering dipakai untuk binatang kecil dan binatang tunggangan. Kalau dipakai untuk arti manusia, maka hal itu adalah dalam rangka penghinaan. Bahwa seburuk barang yang melata di atas bumi ialah orang yang tuli, yaitu orang yang tidak mau menggunakan pendengarannya untuk mengetahui kebenaran dan memahami nasehat yang baik. Jadi seolah-olah mereka tidak berpikir apa perbedaan antara kebenaran dan kebatilan. (Al- Maraghi, 1992: 350). Kesebelas, Al Hadid ayat 17
(17)ﻥ ﻌ ِﻘﻠﹸﻭ ﻡ ﹶﺘ ﻌﱠﻠ ﹸﻜ ﺕ ﹶﻟ ِ ﺎﻡ ﺍﻟﹾﺂﻴ ﻴﻨﱠﺎ ﹶﻟﻜﹸ ﺒ ﺩ ﺎ ﹶﻗﻭ ِﺘﻬ ﻤ ﺩ ﻌ ﺒ ﺽ ﺭ ﺤﻴِﻲ ﺍ ﹾﻟَﺄ ﻴ ﻪ ﻥ ﺍﻟﱠﻠ ﻭﺍ َﺃﻋﹶﻠﻤ ﺍ Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya. (Depag RI, 1992: hlm. 903). Setelah Allah menegur muslimin yang tidak tersentuh hatinya ketika dibacakan al-Qur'an. Lalu Allah memberikan perumpamaan kepada mereka bahwa hati yang keras itu bisa hidup dengan dzikir dan membaca al-Qur'an sebagaimana hidupnya tanah yang mati akibat hujan. (Al- Maraghi, 1992: 303). Pada ayat-ayat diatas ‘aqola berarti ِﻤﺭ ﻻ ﹶﻘﻼﹰ ﺍﻱ ﹶﺘ ﹶﻔﻜﱠﺭﻓﻲ ﺍ ﹶل – ﻋ َ ﹶﻘﻋ memikirkan sesuatu. Dilihat dari bentuknya pemakaian istilah ‘aqola dalam al-Qur'an terbagi menjadi tiga, yaitu: a.
ل ُ ﻌ ِﻘ ( ﹶﻨAl mulk: 10) Merupakan bentuk fiil mudhori’ yang berdlomir mutakallim ma’al ghoir (orang pertama jama’)
71
b.
ﻥ ﻌ ِﻘﻠﹸﻭ ﻴ (Surat al Baqoroh: 164; Yasin: 68; Al anfal: 22; An nahl: 11-12) Merupakan bentuk fiil mudhori’ yang berdlomir jama’ ghoib (orang ketiga banyak).
c.
ﻥ ﻌ ِﻘﻠﹸﻭ ( ﹶﺘHud: 51; Yasin: 62; Ash shoffaat: 138; Yunus: 16; Yusuf: 109; Al hadid: 17). Merupakan bentuk fiil mudhori’yang berdlomir jama’ mokhotob (orang kedua banyak).
4. Term Nadzara dan derivasinya Seperti telah disebut di atas, penggunaan term nadzara dan derivasinya di dalam al-Qur'an terulang sebanyak 129 kali, namun yang mempunyai arti tafakur yaitu: Pertama, Al-A’raf ayat 185
ﻥ ﻰ َﺃﻋﺴ ﻥ ﻭَﺃ ٍﻲﺀ ﺸ ﻥ ﹶ ﻪ ِﻤ ﻕ ﺍﻟﻠﱠ ﺨﹶﻠ ﹶ ﺎ ﹶﻭﻤ ﺽ ِ ﺭ ﺍ ﹾﻟَﺄﺕ ﻭ ِ ﺍﻤﻭ ﺴ ﺕ ﺍﻟ ِ ﻤﹶﻠﻜﹸﻭ ﻭﺍ ﻓِﻲﻅﺭ ﻴ ﹾﻨ ﹸ ﻡ ﹶﻟَﺃﻭ (185)ﻥ ﻴ ْﺅ ِﻤﻨﹸﻭ ﻩ ﺩ ﻌ ﺒ ﺙ ٍ ﺤﺩِﻴ ﻱ ﻡ ﹶﻓﺒَِﺄ ﻬ ﺠﹸﻠ َﺃﺏﻥ ﹶﻗﺩِ ﺍ ﹾﻗ ﹶﺘﺭ ﻴﻜﹸﻭ Dan apakah mereka tidak memikirkan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman selain kepada Al Qur'an itu? (Depag RI, 1992: hlm. 252). Pada ayat sebelumnya manusia diperintah untuk memikirkan bahwasannya Muhammad saw bukan gila. Selanjutnya Allah memerintah kepada manusia untuk memperhatikan langit dan bumi, sehingga mereka dapat menyaksikan keindahan dan begitu rapinya Tuhan menciptakan alam
72
semesta ini, dan itu merupakan bukti nyata bahwa Penciptanya adalah Sang Maha Esa dengan kehendakNya. (Al- Maraghi, 1992: 227). Kedua, Yunus ayat 101
ﻭﻡٍ ﻟﹶﺎ ﻥ ﹶﻗ ﻋ ﺭ ﺍﻟﻨﱡ ﹸﺫﺕ ﻭ ﺎ ﹸﺎ ﹸﺘ ﹾﻐﻨِﻲ ﺍﻟﹾﺂﻴﻭﻤ ﺽ ِ ﺭ ﺍ ﹾﻟ َﺄﺕ ﻭ ِ ﺍﻤﻭ ﺴ ﺎﺫﹶﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻭﺍ ﻤﻅﺭ ل ﺍ ﹾﻨ ﹸ ِ ﹸﻗ (101)ﻥ ﻴ ْﺅ ِﻤﻨﹸﻭ Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa`at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman". (Depag RI, 1992: hlm. 322). Ayat ini menyuruh manusia untuk menggunakan akalnya untuk membedakan antara yang baik dan buruk. Adapun tugas rasul hanya penyampai kabar gembira dan peringatan, dan agama juga sebagai pembantu bagi akal untuk memilih antara yang baik dan buruk. (Al- Maraghi, 1992: 303). Menurut Ash Shiddieqy (2002: 487) bahwa ayat ini mewajibkan kepada manusia untuk berpikir dan berijtihad serta menjauhi taklid dalam bidang iktikad. Ketiga, Al-Ankabut ayat 20
ﻋﻠﹶﻰ ﻪ ﻥ ﺍﻟﱠﻠ ﹶﺓ ِﺇﺸَﺄ ﹶﺓ ﺍﻟﹾﺂﺨِﺭ ﺸﺊُ ﺍﻟ ﱠﻨ ﹾ ِ ﻴ ﹾﻨ ﻪ ﺍﻟﻠﱠﻕ ﹸﺜﻡ ﺨ ﹾﻠ ﹶ َﺃ ﺍ ﹾﻟ ﹶﺩﻑ ﺒ ﻴ ﹶ ﻭﺍ ﹶﻜﻅﺭ ﺽ ﻓﹶﺎ ﹾﻨ ﹸ ِ ﺭ ﻭﺍ ﻓِﻲ ﺍ ﹾﻟَﺄل ﺴِﻴﺭ ْ ﹸﻗ (20)ﺭ ﻲﺀٍ ﹶﻗﺩِﻴ ﺸ ﹸﻜلﱢ ﹶ Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Depag RI, 1992: hlm. 631). Ayat ini senada dengan (QS. 41: 53) bahwa Allah akan membangkitkan kembali manusia yang sudah mati pada hari pembalasan.
73
Keempat, Qoof ayat 6-7
(6)ﺝ ٍ ﻭﻥ ﹸﻓﺭ ﺎ ِﻤﺎ ﹶﻟﻬﻭﻤ ﺎﻴﻨﱠﺎﻫ ﺯ ﻭ ﺎﻴﻨﹶﺎﻫ ﹶﻨﻑ ﺒ ﻴ ﹶ ﻡ ﹶﻜ ﻬ ﻭ ﹶﻗ ﺎ ِﺀ ﹶﻓﺴﻤ ﻭﺍ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟﻅﺭ ﻴ ﹾﻨ ﹸ ﻡ ﺽ َﺃ ﹶﻓﹶﻠ ﺭ ﺍ ﹾﻟَﺄﻭ (7)ﺞ ٍ ﺒﻬِﻴ ﺝ ٍ ﻭ ﺯ ﻥ ﹸﻜلﱢ ﺎ ِﻤﺒ ﹾﺘﻨﹶﺎ ﻓِﻴﻬ ﻭَﺃ ﹾﻨ ﻲ ﺴ ِ ﺍﺭﻭ ﺎﻴﻨﹶﺎ ﻓِﻴﻬ ﻭَﺃ ﹾﻟ ﹶﻘ ﺎﺩﻨﹶﺎﻫ ﺩﻤ Maka apakah mereka tidak berpikir akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun? Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata. (Depag RI, 1992: hlm. 851-852). Ayat sebelumnya menerangkan orang-orang yang mendustakan kebangkitan setelah mati. Ayat ini perintah Allah SWT untuk melihat (memperhatikan) langit yang bisa berdiri tanpa tiang, sehingga dapat membenarkan segala keterangan yang ada di al-Qur'an. (Al- Maraghi, 1992: 256). Kelima, Al Mudatsir ayat 20-21
(21)ﻅﺭ ﹶﻨ ﹶ( ﹸﺜﻡ20)ﺩﺭ ﻑ ﹶﻗ ﻴ ﹶ ل ﹶﻜ َ ِ ﹸﻗﺘﹸﺜﻡ Kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan?, Kemudian dia memikirkan. (Depag RI, 1992: hlm. 993). Ayat sebelumnya menerangkan tentang azab yang diberikan kepada Al Walid bin Mughiroh yang mendustakan al-Qur'an. Sedang ayat ini meneruskan dengan perlakuan Al Walid terhadap al-Qur'an. Dia memikirkan al-Qur'an berkali-kali dengan pikirannya sendiri, apa yang menurut mereka senangi dan sampai kepada apa yang mereka inginkan. (Al- Maraghi, 1992: 226).
74
Keenam, ‘Abasa ayat 24-32
ﺽ ﺭ ﺸ ﹶﻘ ﹾﻘﻨﹶﺎ ﺍ ﹾﻟَﺄ ﹶ( ﹸﺜﻡ25)ﺎﺼﺒ ﺀ ﺎﺒﻨﹶﺎ ﺍ ﹾﻟﻤ ﺒ ﺼ (َﺃﻨﱠﺎ24)ﺎ ِﻤ ِﻪﻁﻌ ﻥ ِﺇﻟﹶﻰ ﹶ ﺎﻅﺭِ ﺍ ﹾﻟِﺈ ﹾﻨﺴ ﹾﻨ ﹸﹶﻓ ﹾﻠﻴ ﻕ ﺍﺌِ ﹶﺤﺩ ﻭ (29)ﺨﻠﹰﺎ ﻭ ﹶﻨ ﹾ ﻴﺘﹸﻭﻨﹰﺎ ﺯ ﻭ (28)ﺎﻀﺒ ﻭ ﹶﻗ ﺎﻋ ﹶﻨﺒ ِ ﻭ (27)ﺎﺤﺒ ﺎﺒ ﹾﺘﻨﹶﺎ ﻓِﻴﻬ ( ﹶﻓَﺄ ﹾﻨ26)ﺎﺸﻘ ﹶ (32)ﻡ ﺎ ِﻤ ﹸﻜﻭِﻟَﺄ ﹾﻨﻌ ﻡ ﺎ ﹶﻟ ﹸﻜﻤﺘﹶﺎﻋ (31)ﺎﻭَﺃﺒ ﻬ ﹰﺔ ﻭﻓﹶﺎ ِﻜ (30)ﺎﻏ ﹾﻠﺒ ﹸ Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, Zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu. (Depag RI, 1992: hlm. 1025-1026). Ayat ini memerintahkan kepada manusia untuk memikirkan tentang kejadian dirinya dan apa yang mereka makan. Selanjutnya Allah memerinci hal itu. Pengambaran pada ayat tersebut merupakan penjelasan bahwa semua itu adalah untuk dimanfaatkan oleh manusia. (Al- Maraghi, 1992: 84). Ketujuh, At Thoriq ayat 5-7
(7)ﺏ ِ ﺍ ِﺌﺍﻟ ﱠﺘﺭﺏ ﻭ ِ ﺼ ﹾﻠ ﻥ ﺍﻟ ِ ﻴ ﺒ ﻥ ﺝ ِﻤ ﺭ ﺨ ﻴ ﹾ (6)ﻕ ٍ ﺍ ِﻓﺎ ٍﺀ ﺩﻥ ﻤ ﻕ ِﻤ ﺨﻠِ ﹶ ( ﹸ5)ﻕ ﺨﻠِ ﹶ ﻡ ﹸ ﻥ ِﻤ ﺎﻅﺭِ ﺍ ﹾﻟِﺈ ﹾﻨﺴ ﹾﻨ ﹸﹶﻓ ﹾﻠﻴ Maka hendaklah manusia memikirkan dari apakah dia diciptakan?Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada. (Depag RI, 1992: hlm. 1048). Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari ‘Ikrimah, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abul Asad yang berdiri diatas kulit yang sudah disamak, sambil berkata dengan sombong: “Hai golongan Quraisy, barang siapa yang bisa memindahkan aku dari kulit ini, akan aku beri hadiah”. Selanjutnya ia berkata: “Muhammad menganggap bahwa penjaga pintu jahanam itu berjumlah sembilan belas, aku sendiri sanggup mewakili kalian mengalahkan yang sepuluh, dan kalian mengalahkan yang sembilannya
75
lagi”. Ayat ini turun sebagai sindiran terhadap perbuatan mereka (Dahlan, dkk, 2000: 637). Ayat ini memerintah manusia untuk berpikir tentang hakikat penciptaan mereka. Maka jika Allah bisa menghidupkan kalian, jadi Allah pun yang akan mematikan kalian. (Al- Maraghi, 1992: 198). Kedelapan, Al-Ghasyiah ayat 17-21
ﻑ ﻴ ﹶ ل ﹶﻜ ِ ﺎﺠﺒ ِ ﻭِﺇﻟﹶﻰ ﺍ ﹾﻟ (18)ﺕ ﻌ ﹾ ﺭ ِﻓ ﻑ ﻴ ﹶ ﺎ ِﺀ ﹶﻜﺴﻤ ﻭِﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟ (17)ﺕ ﺨِﻠ ﹶﻘ ﹾ ﻑ ﹸ ﻴ ﹶ ل ﹶﻜ ِ ﻥ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍ ﹾﻟِﺈ ِﺒ ﻭﻅﺭ ﻴ ﹾﻨ ﹸ َﺃ ﹶﻓﻠﹶﺎ (21)ﺭ ﻤ ﹶﺫ ﱢﻜ ﺕ ﺎ َﺃ ﹾﻨ ﹶﺭ ِﺇ ﱠﻨﻤ ( ﹶﻓ ﹶﺫ ﱢﻜ20)ﺕ ﺤ ﹾ ﻁ ِﺴ ﻑ ﻴ ﹶ ﺭﺽِ ﹶﻜ ﻭِﺇﻟﹶﻰ ﺍ ﹾﻟَﺄ (19)ﺕ ﺒ ﹾ ﺼ ِ ﹸﻨ Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. (Depag RI, 1992: hlm. 1055). Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Qatadah, dikemukakan, ketika Allah melukiskan ciri-ciri syurga, kaum-kaum yang sesat, merasa heran. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai perintah untuk memikirkan keluruhan dan keajaiban ciptaan Allah. (Dahlan, dkk, 2000: 641). Kesembilan, Al Hajj ayat 15
ﻊ ﻁ ﻴ ﹾﻘ ﹶ ِﻟﺎ ِﺀ ﹸﺜﻡﺴﻤ ﺏ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟ ٍ ﺒ ﺴ ﺩ ِﺒ ﺩ ﻤ ﻴ ﺭ ِﺓ ﹶﻓ ﹾﻠ ﺨ ِ ﺍﻟﹾﺂﺎ ﻭﺩ ﹾﻨﻴ ﻪ ﻓِﻲ ﺍﻟ ﻩ ﺍﻟﻠﱠ ﺭ ﺼ ﻴ ﹾﻨ ﻥ ﻥ ﹶﻟ َﺃﻅﻥ ﻴ ﹸ ﻥ ﻥ ﻜﹶﺎ ﻤ (15)ﻅ ﻴﻐِﻴ ﹸ ﺎﻩ ﻤ ﺩ ﻴ ﻥ ﹶﻜ ﺒ ﻴ ﹾﺫ ِﻫ ل ْ ﻫ ﺭ ﻅ ﻴ ﹾﻨ ﹸ ﹶﻓ ﹾﻠ Barangsiapa yang menyangka bahwa Allah sekali-kali tiada menolongnya (Muhammad) di dunia dan akhirat, maka hendaklah ia merentangkan tali ke langit, kemudian hendaklah ia melaluinya, kemudian hendaklah ia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya. (Depag RI, 1992: hlm. 513-514).
76
Menurut Ash Shiddieqy (2002: 752) bahwa ayat ini mengenai segolongan muslimin yang merasa lambat datangnya pertolongan Allah lantaran mereka sangat benci kepada musyrikin. Sehingga ayat ini menandaskan bahwa Allah adalah penolong Muhammad saw, Kitab dan agamaNya. Pada dasarnya nadzara searti dengan ro’a yang berarti melihat, namun pada
ayat-ayat
diatas
nadzara
berarti
memikirkan,
merenungkan,
mempertimbangkan ﻩ ﺒﺭ ﻤﺭِ ﺍﻱ ﹶﺘﺩ ﻻ ﻓﹶﻲ ﺍ ﹶﻅﺭ ﹶﻨ ﹶ. Dilihat dari bentuknya pemakaian istilah nadzara dalam al-Qur'an terbagi menjadi tiga, yaitu: a.
( ﹶﻨﻅﹶﺭAl mudatsir: 20-21) Merupakan fiil madhi dengan dhomir mufrod ghoib
b.
ﺭ ﻅ ﻴ ﹾﻨ ﹸ ( ﹶﻓ ﹾﻠAl hajj: 15; At thoriq: 5-7; ‘Abasa: 24-32) Merupakan fiil mudhori’ yang dibaca jazem karena bertemu dengan ‘amil jawazim lam
c.
ﻭﺍﻅﺭ ﻴ ﹾﻨ ﹸ (Qoof: 6-7; Al-A’raf: 185) Merupakan fiil mudhori’ dengan dhomir jama’ ghoib, dibaca jazem karena didahului dengan ‘amil jawazim dengan tanda terbuangnya nun di akhir fiil.
d.
ﻭﺍﻅﺭ ( ﺍ ﹾﻨ ﹸYunus: 101; Al-Ankabut: 20) Merupakan fiil amr (perintah) dengan dhomir jama’ mukhotob.
77
ﻥ ﻭﻅﺭ ﻴ ﹾﻨ ﹸ (Al-Ghosyiah: 17-21)
e.
Merupakan fiil mudhori’ (kata kerja) dengan dhomir jama’ ghoib. 5. Term faqiha dan derivasinya Seperti telah disebut di atas, penggunaan term faqiha dan derivasinya di dalam al-Qur'an terulang sebanyak 20 kali, namun yang mempunyai arti tafakur yaitu: Pertama, Al Isro’ ayat 44
ﻥ ﻟﹶﺎ ِﹶﻟﻜﻤ ِﺩ ِﻩ ﻭ ﺤ ﺢ ِﺒ ﺴﺒ ﻴ ﻲﺀٍ ِﺇﻟﱠﺎ ﺸ ﻥ ﹶ ﻥ ِﻤ ﻭِﺇ ﻥ ﻥ ﻓِﻴ ِﻬ ﻤ ﻭ ﺽ ﺭ ﺍ ﹾﻟَﺄﻊ ﻭ ﺒ ﺕ ﺍﻟﺴ ﺍ ﹸﻤﻭ ﺴ ﻪ ﺍﻟ ﺢ ﹶﻟ ﺴﺒ ﹸﺘ (44)ﺍﻏﻔﹸﻭﺭ ﺎ ﹶﺤﻠِﻴﻤ ﻥ ﻪ ﻜﹶﺎ ﻡ ِﺇﻨﱠ ﻬ ﺤ ﺴﺒِﻴ ﻥ ﹶﺘ ﻭﹶﺘ ﹾﻔ ﹶﻘﻬ Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak berpikir tentang tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Depag RI, 1992: hlm. 430). Pada ayat sebelumnya Allah menegur orang musyrikin yang mendustakan ayat-ayatNya. Di ayat ini Allah SWT menunjukkan bahwa langit dan
bumi
memuji
Allah
berdasarkan
dalil
masing-masing
akan
kesempurnaannya. (Al Maraghi, 1992: 91). Menurut Ash Shiddieqy (2002: 642) bahwa hal ini mengenai binatang, tumbuhan, benda-benda beku, bahkan makanan dan batu kerikil. Hal ini senada dengan (QS. 19: 90-91) Pada dasarnya faqiha berarti mengerti, memahami, namun pada beberapa tempat berarti ﺭﻻﻤ ﹶﺘ ﹶﻔﻜﱠﺭﻓﻲ ﺍ ﹶ
. Dilihat dari bentuknya pemakaian
istilah faqiha dalam al-Qur'an hanya terjadi satu kali, yaitu:
ﻭ( ﹶﺘ ﹾﻔ ﹶﻘﻬAl isro’ ayat 44) a. ﻥ
78
Merupakan fiil mudhori’ dengan dhomir jama’ mukhotob. 6. Term dzakara dan derivasinya Seperti telah disebut di atas, penggunaan term dzakara dan derivasinya di dalam al-Qur'an terulang sebanyak 292 kali, namun yang mempunyai arti tafakur yaitu: Pertama, Ash Shoffaat ayat 154-155
(155)ﻥ ﻭ(َﺃ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﹶﺘ ﹶﺫ ﱠﻜﺭ154)ﻥ ﻭﺤ ﹸﻜﻤ ﻑ ﹶﺘ ﻴ ﹶ ﻡ ﹶﻜ ﺎ ﹶﻟ ﹸﻜﻤ Apakah yang terjadi padamu? Bagaimana (caranya) kamu menetapkan? Maka apakah kamu tidak memikirkan? (Depag RI, 1992: hlm. 729). Ayat ini merupakan bantahan Allah terhadap orang-orang yang menyekutukan Allah dan menganggap bahwa malaikat adalah anak-anak perempuan Allah. (Al Maraghi, 1992: 153). Kedua, An Nahl ayat 17
(17)ﻥ ﻭﻕ َﺃ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﹶﺘ ﹶﺫ ﱠﻜﺭ ﺨﹸﻠ ﹸ ﻴ ﹾ ﻥ ﻟﹶﺎ ﻤ ﻕ ﹶﻜ ﺨﹸﻠ ﹸ ﻴ ﹾ ﻥ َﺃ ﹶﻓﻤ Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Maka apakah kamu tidak memikirkan? (Depag RI, 1992: hlm. 404). Ayat sebelumnya Allah SWT membuktikan wujud Tuhan YME. Dan dalam ayat ini Allah mencerca orang-orang kafir yang menyembah selain Dia. (Al Maraghi, 1992: 113). Ketiga, Maryam ayat 67
(67)ﻴﺌًﺎ ﺸ ﻙ ﹶ ﻴ ﻡ ﻭﹶﻟ ل ُ ﺒ ﻥ ﹶﻗ ﻩ ِﻤ ﺨﹶﻠ ﹾﻘﻨﹶﺎ ﻥ َﺃﻨﱠﺎ ﹶ ﺎﺭ ﺍ ﹾﻟِﺈ ﹾﻨﺴ ﻴ ﹾﺫﻜﹸ ﻭﻟﹶﺎ َﺃ Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sedang ia tidak ada sama sekali? (Depag RI, 1992: hlm. 470).
79
Ayat (QS. 19: 66-72) berkaitan dengan Ubay bin Khalaf yang mengambil sepotong tulang yang rapuh, lalu memecah dan membiarkan-nya ditiup angin seraya berkata, “Si Fulan mengatakan bahwa kita akan dibangkitkan setelah kita mati, hal ini tidak akan pernah terjadi”. Lalu ayat ini turun untuk membantah perkataan tersebut. (Al Maraghi, 1992: 130). Keempat, Az Zumar ayat 9
ل ْ ﻫ ل ْ ﺒ ِﻪ ﹸﻗﺭ ﹶﺔﺤﻤ ﻭ ﺭﺭﺠ ﻴ ﻭ ﹶﺓﺭ ﺍﻟﹾﺂﺨِﺭ ﺤ ﹶﺫ ﻴ ﺎﻭﻗﹶﺎ ِﺌﻤ ﺍﺠﺩ ِ ﺎل ﺴ ِ ﻴ ﺀ ﺍﻟﱠﻠ ﺍﻨﹶﺎﺕ ﺀ ﻭ ﻗﹶﺎ ِﻨ ﹲ ﻫ ﻥ ﻤ ﻡ َﺃ (9 ) ﺏ ِ ﺎﺭ ﺃُﻭﻟﹸﻭ ﺍ ﹾﻟَﺄ ﹾﻟﺒ ﹶﺘ ﹶﺫ ﱠﻜﺎ ﻴﻥ ِﺇ ﱠﻨﻤ ﻭﻌﹶﻠﻤ ﻴ ﻥ ﻟﹶﺎ ﺍﱠﻟﺫِﻴﻥ ﻭ ﻭﻌﹶﻠﻤ ﻴ ﻥ ﺴ ﹶﺘﻭِﻱ ﺍﱠﻟﺫِﻴ ﻴ (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Depag RI, 1992: hlm. 727). Ayat ini menolak paham orang yang mencela orang yang beribadah lantaran takut – kepada neraka – dan menyatakan ketinggian orang yang berilmu serta menyatakan bahwa garis orang alim tidak sekufu dengan orang jahil. Dan ayat ini mengindikasikan bahwa yang dipandang berilmu ialah orang-orang yang mengamalkan ilmunya. (Ash Shiddieqy, 2002: 1056). Diriwayatkan oleh Ibnu Abi hatim yang bersumber dari Ibnu ‘Umar, bahwa yang dimaksud dengan ﺕ ﻭ ﻗﹶﺎ ِﻨ ﹲ ﻫ ﻥ ﻤ ﻡ ( َﺃApakah kamu hai orang-orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah…) dalam ayat ini ialah ‘Utsman bin Affan (yang selalu bangun malam sujud kepada Allah SWT). (Dahlan, dkk, 2000: 463).
80
Pada dasarnya dzakara berarti menyebut, mengucapkan, namun dalam beberapa tempat dzakara berarti ﺭﻻﻤ ﹶﺘ ﹶﻔﻜﱠﺭﻓﻲ ﺍ ﹶmemikirkan sesuatu. Dilihat dari bentuknya pemakaian istilah fahima dalam al-Qur'an dibagi menjadi tiga kali, yaitu: a.
ﺭ ﻴ ﹾﺫﻜﹸ (Maryam: 67) Merupakan fiil mudhori’ yang sepi dari syai’i.
b.
ﻥ ﻭ( ﹶﺘ ﹶﺫ ﱠﻜﺭAsh shoffaat: 154-155; An nahl: 17) Merupakan fiil mudhori’ yang berdhomir jama’ mukhotob.
c.
ﺭ ﹶﺘ ﹶﺫ ﱠﻜ( ﻴAz zumar ayat 9) Merupakan fiil mudhori’ dengan dhomir mufrod ghoib.
7. Sebutan-sebutan al-Qur'an untuk orang yang bertafakur 1. Ulul albab Sebutan ini terulang sebanyak dua kali: (QS. 12:111); dan (QS. 3:190).
ﻕ ﺍﱠﻟﺫِﻱ ﺼﺩِﻴ ﹶ ﻥ ﹶﺘ ِﹶﻟﻜﻯ ﻭﻴ ﹾﻔ ﹶﺘﺭ ﺤﺩِﻴﺜﹰﺎ ﻥ ﺎ ﻜﹶﺎﺏ ﻤ ِ ﺎﺭ ﹲﺓ ِﻟﺄُﻭﻟِﻲ ﺍ ﹾﻟَﺄ ﹾﻟﺒ ﺒ ﻋ ِ ﻡ ِﺼِﻬﻥ ﻓِﻲ ﹶﻗﺼ ﺩ ﻜﹶﺎ ﹶﻟ ﹶﻘ (111)
ﻴ ْﺅ ِﻤﻨﹸﻭﻥ ٍﻭﻡ ﻤ ﹰﺔ ﻟِ ﹶﻘ ﺤ ﺭ ﻭ ﻯﻫﺩ ﻭ ٍﻲﺀ ﺸ ل ﹸﻜلﱢ ﹶ َ ﻭ ﹶﺘ ﹾﻔﺼِﻴ ﻴ ِﻪ ﺩ ﻴ ﻥ ﻴ ﺒ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Yusuf : 111). (Depag RI, 1992: hlm. 366).
81
(190)ﺏ ِ ﺎﺎﺕٍ ِﻟﺄُﻭﻟِﻲ ﺍ ﹾﻟَﺄ ﹾﻟﺒﺎ ِﺭ ﻟﹶﺂﻴﺍﻟ ﱠﻨﻬل ﻭ ِ ﻴ ﻑ ﺍﻟﱠﻠ ِ ﺨ ِﺘﻠﹶﺎ ﺍ ﹾﺽ ﻭ ِ ﺭ ﺍ ﹾﻟَﺄﺕ ﻭ ِ ﺍﻤﻭ ﺴ ﺨ ﹾﻠﻕِ ﺍﻟ ﻥ ﻓِﻲ ﹶ ِﺇ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ali imron 190). (Depag RI, 1992: hlm. 109). Lafadz al-albab (orang-orang yang mempunyai akal) yang merupakan bentuk jama’ dari lafadz al-lubb dalam al-Qur'an tidak pernah disebutkan dalam bentuk mufrodnya. Namun, jika lafadz tersebut hendak didatangkan mufrodnya, maka al-Qur'an menggunakan bentuk muradifnya (sinonim), yaitu al-qolb seperti dalam QS. Qoof: 37. 2. Ulul ‘ilm Sebutan ini terulang sebanyak satu kali: (QS. 3: 18).
ﺯ ﻌﺯِﻴ ﻭ ﺍ ﹾﻟ ﻫ ِﺇﻟﱠﺎﻁ ﻟﹶﺎ ﺇِﹶﻟﻪ ِﺴ ﺎ ﺒِﺎ ﹾﻟ ِﻘﻭﺃُﻭﻟﹸﻭ ﺍ ﹾﻟ ِﻌ ﹾﻠ ِﻡ ﻗﹶﺎ ِﺌﻤ ﻤﻠﹶﺎﺌِ ﹶﻜ ﹸﺔ ﺍ ﹾﻟﻭ ﻭ ﻫ ِﺇﻟﱠﺎﻪ ﻟﹶﺎ ﺇِﹶﻟﻪ ﻪ َﺃﻨﱠ ﺍﻟﻠﱠﺸﻬِﺩ ﹶ (18)ﻡ ﺤﻜِﻴ ﺍ ﹾﻟ Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orangorang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Ali imron 18). (Depag RI, 1992: hlm. 78). Lafadz al-ilm diartikan sebagai orang yang mempunyai akal karena makna asalnya adalah orang yang mempunyai ilmu (pengetahuan). Orang yang berilmu berarti dia juga menggunakan akal dalam memperoleh ilmunya tersebut. 3. Ulin Nuha Sebutan ini terulang sebanyak satu kali: (QS. 20: 128).
82
ٍﺎﺕ ﻟﹶﺂﻴﻥ ﻓِﻲ ﹶﺫﻟِﻙ ﻡ ِﺇ ﺎ ِﻜ ِﻨ ِﻬﻤﺴ ﻥ ﻓِﻲ ﻤﺸﹸﻭ ﻴ ﻥ ِ ﻭﻥ ﺍ ﹾﻟ ﹸﻘﺭ ﻡ ِﻤ ﻬ ﺒﹶﻠ ﻫﹶﻠ ﹾﻜﻨﹶﺎ ﹶﻗ ﻡ َﺃ ﻡ ﹶﻜ ﻬ ﻬ ِﺩ ﹶﻟ ﻴ ﻡ َﺃ ﹶﻓﹶﻠ (128)ﻰِﻟﺄُﻭﻟِﻲ ﺍﻟ ﱡﻨﻬ Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Thaha: 128). (Depag RI, 1992: hlm. 491). Lafadz Nuha merupakan sinonim dari kata al-aql
ل ُ ﻌ ﹾﻘ ﻴ ﹸﺔ ﺍﻱ ﺍﻟ ﺍﻟﻨﱡﻬﻰ ﻭﺍﻟﻨﱡﻬ
yang berarti orang yang mempunyai akal (berpikir). 4. Ulul Abshor Sebutan ini terulang sebanyak satu kali: (QS. 24: 44).
(44)ﺎ ِﺭﺒﺼ ﺓﹰ ِﻟﺄُﻭﻟِﻲ ﺍ ﹾﻟَﺄﺒﺭ ِ ﹶﻟﻌﻥ ﻓِﻲ ﹶﺫﻟِﻙ ﺭ ِﺇ ﺎﺍﻟ ﱠﻨﻬل ﻭ َ ﻴ ﻪ ﺍﻟﱠﻠ ﺏ ﺍﻟﻠﱠ ﻴ ﹶﻘﻠﱢ Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai akal. (An Nur 44). (Depag RI, 1992: hlm. 552). Lafadz abshor merupakan jama’ dari lafadz bashirun. Lafadz abshor disinonimkan dengan orang yang mempunyai akal karena dengan penglihatan yang lebih akan merangsang aktifitas akal.