BAB III KEDUDUKAN SERTIPIKAT HAK TANGGUNGAN DALAM HAL MUSNAHNYA OBYEK HAK TANGGUNGAN KARENA BENCANA ALAM
3.1 Jenis Bencana Alam Yang Menyebabkan Musnahnya Tanah Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat. Bencana dapat disebabkan baik oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Undang-Undang Penanggulangan Bencana membedakan bencana menjadi 3 (tiga) jenis yaitu bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial. Ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penanggulangan Bencana merumuskan bencana alam “Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor”.
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Penanggulangan Bencana
merumuskan definisi bencana non alam “Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Penanggulangan Bencana Alam mendefinsikan bencana sosial “Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik
84
sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror”. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penanggulangan Bencana, Bencana alam adalah “Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor”. Bencana alam yang dapat memusnahkan tanah antara lain gempa bumi dan tanah longsor. Gempa bumi adalah bencana alam yang disebabkan oleh adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi akibat pelepasan energi dari dalam secara tiba-tiba yang menciptakan gelombang seismik. Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak Bumi (lempeng Bumi).1 Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan daerah yang sangat rawan gempa. Hal ini disebabkan karena secara geografis wilayah
Indonesia
merupakan
daerah
pertemuan
2
(dua)
rangkaian pergunungan, yiatu Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediterranean serta batas pertemuan 4 (empat) lempeng tektonik bumi yang sangat aktif, yaitu lempeng Eurasia, lempeng India, lempeng Australia, dan lempeng Pasifik. Bencana alam selanjutnya yang dapat memusnahkan tanah adalah tanah longsor. Tanah longsor terjadi karena aliran air permukaan atau hujan, air sungai, dan gelombang laut. Faktor lain yang dapat mengakibatkan tanah longsor adalah erosi yang
disebabkan
aliran
air
permukaan
atau
air
hujan, sungai-
sungai atau gelombang laut yang menggerus kaki lereng-lereng bertambah curam lereng
dari
bebatuan
dan
tanah
diperlemah
1
melalui
saturasi
yang
http://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi,diakses tanggal 26 Maret 2015 Pukul 13.20 Wita. 85
diakibatkan hujan lebat (abrasi). Gempa bumi juga dapat memicu terjadinya tanah longsor. Gempa bumi akan menimbulkan getaran, tekanan pada partikel-partikel mineral dan bidang lemah pada massa batuan dan tanah yang mengakibatkan longsornya lereng-lereng pada daerah pegunungan dan dataran tinggi.2 Tanah longsor dapat mengakibatkan musnahnya tanah karena saat terjadi suatu peristiwa tanah longsor, tanah yang awalnya solid berada dipermukaan bumi akan mengalami penurunan posisi dari posisi sebelumnya yang ada dipermukaan bumi. Hal tersebut mengakibatkan tanah tersebut akan bergeser dari posisinya semula dan dengan pengaruh gravitasi bumi tanah tersebut akan longsor. 3.2 Akibat Hukum Musnahnya Tanah Yang Menjadi Obyek Hak Tanggungan Musnahnya tanah yang menjadi obyek hak tanggungan karena bencana alam akan menimbulkan akibat hukum. Secara fakta obyek hak tanggungan telah musnah suatu peristiwa alam. Obyek hak tanggungan adalah tanah dan bendabenda lain yang tertanan diatasnya yang secara jelas dan tegas sudah dicantumkan dalam sertipikat hak tanggungan. Kondisi ini menimbulkan kekosongan norma dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, karena dalam Undang-Undang Hak Tanggungan tidak mengatur tentang akibat hukum musnahnya tanah yang menjadi obyek hak tanggungan. Terhadap kondisi kekosongan norma dalam undang-undang hak tanggungan tersebut maka berdasarkan teori hukum untuk menghadapi kondisi
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_longsor, diakses tanggal 26 Maret 2015 Pukul 14.25 Wita.
86
kekosongan hukum atau kekosongan undang-undang (wet vacuum). Penegak hukum khususnya hakim berpegang pada asas hukum ius curia novit. Asas hukum ius curia novit artinya
hakim dianggap tahu akan hukumnya. Hakim tidak
diperbolehkan menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada atau tidak jelas hukumnya. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan alasan undangundangnya tidak ada, tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim berkewajiban mengikuti, memahami, serta menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan hal tersebut hakim harus melakukan penemuan hukum (rechtvinding)3. Implementasi dari asas ini adalah kewajiban hakim untuk mencari dan menenemukan hukum dari suatu perkara untuk diajukan padanya. Para pihak tidak diwajibkan untuk membuktikan hal tersebut, kewajiban mereka hanya terbatas pada fakta-fakta yang dipersengketakan.4 Penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum atau menetapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwa hukum yang konkret. Kemudian penemuan hukum merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konret (das sein) tertentu.5
3
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal 91. Natsir Asnawi, 2013, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, UII Press,Yogyakarta, hal 19. 5 Nunuk Nuswardani, 2010, Argumentasi Dalam Ilmu Hukum, Lembaga Penerbit Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal 47. 4
87
Menurut Paul Scholten yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan pada peristiwanya. Kadangkadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi atau ataupun rechtsverfijning (penghalusan atau pengkonkretan hukum).6 D.H.M. Meuwissen berpendapat
penemuan
hukum
merupakan
pengembangan
hukum
(rechtsboefening) berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum dimasyarakat yang meliputi kegiatan membentuk, melaksanakan, menerapkan, menemukan, menafsirkan secara sistematis, mempelajari dan mengajarkan hukum. 7 Dengan demikian dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret (in-concreto). Dalam rangka menemukan hukum, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5057, selanjutnya disebut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman) merumuskan “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Adapun dalam penjelasan pasal tersebut menyatakan, bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Dengan demikian ketentuan tersebut memberi makna hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai
6 7
Ibid, hal 22 Nunuk Nuswardani, op.cit, hal 23. 88
hidup dalam masyarakat, ia seharusnya dapat mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim agar dapat menemukan hukum, hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara menggunakan metode penemuan hukum. Metode penemuan hukum yang dianut dewasa ini, seperti yang dikemukakan antara lain oleh J.J.H. Bruggink meliputi metode interpretasi (interpretation methoden) dan konstruksi hukum terdiri atas nalar analogi yang gandengannya (spiegelbeeld a contrario), dan ditambah bentuk ketiga oleh Paul Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa Indonesia oleh Soedikno Mertokusumo disebut penyempitan hukum.8 Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu melalui metode interpretasi atau penafsiran hukum dan metode konstruksi hukum.9 Secara umum ada 11 (sebelas) macam metode interpretasi hukum antara lain sebagai berikut: 1. Interpretasi gramatikal yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-undang dengan menguraikan menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa.10 2. Interpretasi historis yaitu mencari maksud dari peraturan perundangundangan itu seperti apa yang dilihat oleh pembuat undang-undang itu
8
Philipus M Hadjon dam Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal 26. 9 Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut Ahmad Rifai II) hal 67. 10 Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, hal 14. 89
dibentuk dulu. Terdapat 2 (dua) macam interpretasi historis, yaitu interpretasi sejarah undang-undang, dan interpretasi sejarah hukum. Interpretasi hukum dilakukan dengn memperlajari pekembangan yang telah lalu dari hukum tertentu seperti KUHP, KUH Perdata dan sebagainya, sedangkan interpretasi sejara undang-undang dilakukan dengan mempelajari penjelasan penjelasan dari pembentuk undang-undang pada pembentukan undang-undang yang bersangkutan.11 3. Interpretasi sistematis yaitu metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Hal ini berarti tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan lainnya.12 4. Interpretasi teleologis yaitu pemaknaan suatu aturan hukum yang ditafsirkan berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa yang ingin dicapai dalam masyarakat. Metode interpretasi teologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak.13 5. Interpertasi
komparatif
merupakan metode
penafsiran dengan
jalan
membandingkan antara berbagai sistem hukum. Dengan membandingkan 11
Soedjono Dirdjosisworo, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 157 12 Ahmad Rifai II, op.cit, hal 67. 13 Ahmad Rifai II, op.cit, hal 68. 90
hendak dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Metode ini digunakan oleh hakim saat menghadapi kasus yang menggunakan dasar hukum positif yang lahir dari perjanjian internasional.14 6. Interpretasi futuristik atau antisipatif merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum). 7. Interpretasi restriktif yaitu metode penafsiran dimana peraturan perundangundangan tersebut diberi makna terbatas pada apa yang tersurat dalam peraturan tersebut15. Dengan kata lain interpretasi retriktif ini bersifatnya membatasi atau mempersempit makna dari suatu aturan. 8. Interpretasi ekstensif yaitu metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal. 9. Interpretasi autentik yakni dimana hakim tidak diperkenankan melalukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri. 10. Interpretasi interdisipliner yakni dimana hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmonisasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum.
14
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, op.cit, hal 19. I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum (Legal Reasoning and Legal Argumentation an Introduction), Bali Aga, Denpasar, hal 46. 15
91
11. Interpretasi multidisipliner yakni dimana hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari disiplin ilmu lain untuk menjatuhkan suatu putusan yang seadiladinya serta memberikan kepastian bagi para pencari keadilan.16 Dalam metode konstruksi hukum, terdapat 4 (empat)
metode yang
digunakan oleh hakim pada saat melakukan penemuan hukum yaitu sebagai berikut: 1. Argumentum Per Analogiam (analogi) merupakan metode penemuan hukum dengan cara hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa dan perbuatan hukum tersebut baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturannya. 2. Argumentum a Contrario merupakan metode dimana hakim melakukan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa hukum tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu. Bagi peristiwa di luar cakupan undang-undang tersebut maka berlaku kebalikannya.17 3. Penyempitan atau pengkonkretan hukum (rechtsverfijning) adalah metode penemunan
hukum
yang
bertujuan
untuk
mengkonkretkan
atau
menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, pasif, serta sangat umum. Hal ini dilakukan agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu.18
16
Ibid, hal 62. Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, op.cit, hal 26. 18 Ahmad Rifai II, op.cit, hal 83. 17
92
4. Fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang berlandaskan pada asas bahwa setiap orang dianggap mengetahui undang-undang. Padahal kenyataannya tidak mungkin setiap orang mengetahui semua ketentuan hukum, namun metodek fiksi hukum ini sangat dibutuhkan oleh hakim dalam praktik peradilan karena seorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana kejahatan tidak dapat berdalih untuk dibebaskan dengan alasan tidak mengetahui hukumya. Esensi dari fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi yang baru di hadapan kita. Fungsi fiksi hukum adalah untuk memenuhi keinginan menciptakan suatu stabilitas hukum, serta untuk mengisi kekosongan aturan, atau dengan kata lain fiksi hukum bermaksud untuk mengatasi konflik antara tuntutan-tuntutan baru dengan sistem hukum yang ada.19 Untuk menganalisa permasalahan ini digunakan metode interpretasi sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan, artinya tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan lainnya.20 Musnahnya seluruh obyek hak tanggungan dapat ditafsirkan dengan sistem undang-undang lain yang ada di Indonesia. Penafsiran yang paling dekat adalah menafsirkan Undang-Undang Hak Tanggungan dengan Undang-Undang Pokok
19 20
Ahmad Rifai, II, op.cit, hal 85. Ahmad Rifai, II, op.cit, hal 67.
93
Agraria. Pasal 18 Undang-Undang Hak Tanggungan ditafsirkan menggunakan Pasal 27, 34, dan 40 Undang-Undang Pokok Agraria. Pasal 18 ayat (1) UndangUndang Hak Tanggungan merumuskan: Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut: a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan; b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri. d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Musnahnya obyek hak milik akan berakibat terhadap status hak milik. Hapusnya obyek hak milik akan berakibat hapusnya status hak milik sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 27 Undang-Undang Pokok Agraria yang merumuskan: Hak Milik hapus bila : a. Tanahnya jatuh pada negara 1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya 3. Karena ditelantarkan 4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2. b. Tanahnya musnah. Pasal 34 Undang-Undang Pokok Agraria mengatur tentang alasan-alasan hapusnya
Hak Guna Usaha. Pasal 34 Undang-undang Pokok Agraria
merumuskan: Hak guna-usaha hapus karena: a. jangka waktunya berakhir; b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut untuk kepentingan umum; e. diterlantarkan; f. tanahnya musnah; g. ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).
94
Pasal 40 Undang-Undang Pokok Agraria mengatur tentang alasan-alasan hapusnya Hak Guna Bangungan. Pasal 40 Undang-Undang Pokok Agraria merumuskan: Hak guna-bangunan hapus karena: a. jangka waktunya berakhir; b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut untuk kepentingan umum; e. diterlantarkan; f. tanahnya musnah; g. ketentuan dalam pasal 36 ayat (2). Berdasarkan
pemaparan
diatas
maka
dapat
disampaikan
bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatur tentang hapusnya hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan salah satunya disebabkan oleh faktor yang sama yaitu musnahnya tanah tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan merumuskan salah satu faktor yang dapat menghapuskan hak tanggungan adalah hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan, jadi musnahnya seluruh tanah yang menjadi obyek hak tanggungan karena suatu peristiwa diluar keinginan debitur dan kreditur yaitu bencana alam akan mengakibatkan hapusnya hak tanggungan atas obyek tersebut. Jika obyek hak tanggungan yang musnah hanya sebagian dari keseluruhan obyek hak tanggungan maka asas hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi tidak dapat diterapkan sepenuhnya, sehingga hak tanggungan tersebut tidak hapus atau masih melekat terhadap obyek hak tanggungan tersebut. Selain itu pihak debitur dan kreditur dapat membuat APHT baru yang luasnya sesuai dengan luas tanah
95
yang masih tersisa setelah bencana yaitu sebagaian dari luas obyek sebelumnya. Namun hal ini dapat dilakukan atas kesepakatan pihak kreditur dan debitur. Musnahnya obyek hak tanggungan berakibat hapusnya hak tanggungan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, namun hapusnya hak tanggungan tidak mengakibatkan hilangnya kewajiban debitur untuk melunasi kewajibanya kepada kreditur. Kewajiban tersebut harus tetap diselesaikan sesuai dengan perjanjian kredit yang menjadi dasar lahirnya hak tanggungan. Sebagai konsekuensinya pemegang hak tanggungan berubah kedudukannya dari kreditor preferen menjadi kreditor konkruen, bahkan kreditor yang demikian tidak memiliki hak jaminan yang kuat dan kepastian hukum akan dilunasinya hutang debitur, karena hak tanggungannya hapus karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani dengan hak tanggungan tersebut.21 Hapus hak tanggungan ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi bank selaku kreditur, atas ketidakpastian ini maka diperlukan pelindungan hukum bagi kreditur. 3.3. Keabsahan Sertipikat Hak Tanggungan Dalam Hal Obyeknya Musnah Karena Bencana Alam Musnahnya seluruh obyek hak tanggungan berdampak terhadap keabsahan sertipikat hak tanggungan, hal ini dikarenakan obyek yang diikat dalam sertipikat hak tanggungan telah musnah karena bencana alam. Keabsahan sertipikat hak tanggungan dapat dilihat dari terpenuhinya syarat-syarat pemberian hak
21
Adrian Sutedi, op.cit, hal 82.
96
tanggungan dan prosedur pemberian hak tanggungan yang secara jelas sudah diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan. Undang-Undang Hak Tanggungan tidak mengatur kedudukan sertipikat hak tanggungan yang obyeknya musnah karena bencana alam. Kondisi ini merupakan kekosongan norma dalam Undang-Undang Hak Tanggungan. Kekosongan norma tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum atas peristiwa musnahnya seluruh obyek hak tanggungan yang diakibatkan oleh bencana alam. Pasal 18 UndangUndang hak tanggungan merumuskan 4 (empat) hal yang dapat menghapus hak tanggungan yaitu: a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan; b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Untuk menyelesaikan masalah keabsahan sertipikat hak tanggungan yang obyeknya musnah karena bencana alam, maka digunakan metode kontruksi argumentum per analogiam (analogi). Analogi yang digunakan adalah menganalogikan sertipikat hak tanggungan sebagai sebagai suatu perjanjian. Dalam Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Perjanjian juga didefinisikan sebagai kontrak. Dalam Kamus Hukum Oxford mendefinsikan kontrak “Contract a legality binding agreement. Agreemen arises
97
as a result of “offer and acceptance, but a number of other requirement must be satisfied for an agreemen to legally binding”.22 (Terjemahan bebas : kontrak adalah perjanjian yang mengikat secara hukum, muncul sebagai akibat dari adanya penawaran dan penerimaan namun jumlah lainnya yang harus dipenuhi untuk mengikat secara hukum) Syarat sahnya suatu perjanjian telah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata merumuskan: Untuk sahnya persetujuan - persetujuan itu diperlukan empat syarat: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Cakap untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, akan diuraikan sebagai mana berikut: a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri Sepakat mengikatkan diri artinya para pihak yang akan membuat perjanjian sudah ada kesesuaian kehendak untuk membuat perjanjian. Pokokpokok perjanjian telah disetujui oleh kedua belah pihak. Persetujuan tersebut harus ditunjukan secara jelas, dan bukan secara diam-diam, dan bebas dari pengaruh antara lain: 1.
Paksaan (dwang)
Paksaan merupakan suatu tindakan ancaman yang dilakukan seseorang, yang dikarenakan usia, jabatan, atau jenis kelamin, sehingga dapat menimbulkan ketakutan terhadap orang yang diancam tersebut. Jika ancaman tersebut menjadi 22
Elizabeth A Martin, 2009, A Dictionary Of Law, Oxford University Press, New York, hal 130. 98
kenyataan maka dapat menimbulkan kerugian bagi orang tersebut. Tindakan ancaman ditujukan tidak kepada fisiknya, namun ditujukan pada psikologis yang sifatnya melanggar hukum. 2.
Kekhilafan (dwaling) Kekhilafan adalah suatu keadaan dimana salah satu pihak dalam membuat
suatu perjanjian khilaf dalam membuat suatu pernyataan (kekhilafan semu), atau khilaf mengenai obyek dalam perjanjian (kekhilafan sesungguhnya). Pihak lain yang mengetahui atau secara normal semestinya dapat memperkirakan pihak tersebut dalam keadaan khilaf namun tetap membiarkan.23 3.
Penipuan (bedrog) Penipuan merupakan tindakan untuk menguntungkan diri sendiri dengan
cara menggunakan nama, atau keterangan palsu dalam membuat suatu perjanjian atau tipu muslihat. Hal ini dilakukan agar pihak lain setuju untuk membuat perjanjian dan melaksanakan isi perjanjian. 4. Penyalahgunaan keadaan (Undue Influance) Penyalahgunaan keadaan merupakan keadaan dimana salah satu pihak membuat perjanjian dalam keadaan darurat atau dalam keadaan dimana pihak lawannya memiliki keadaan psikologis yang lebih kuat dan menyalahgunakan keadaaan tersebut dalam membuat perjanjian.24 Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan syarat subyektif perjanjian, dimana salah satu pihak menyalahgunakan keadaan yang berakibat pihak lain tidak mampu untuk 23
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal 55. 24 Ibid, hal 54. 99
menyatakan
kehendaknya
secara
bebas.
Konsekuensi
yuridis
terhadap
penyalahgunaan keadaan adalah dapat dimohonkan pembatalan perjanjian (vernietigbaaar) kepada hakim oleh salah satu pihak yang dirugikan. b. Cakap Yang Membuat Suatu Perikatan Kecakapan merupakan suatu syarat bagi para pihak untuk bertindak dalam perjanjian. Dalam Pasal 1329 KUH Perdata merumuskan: “Setiap orang cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Jadi pada dasarnya setiap orang cakap untuk membuat suatu perjanjian. ketentuan Pasal 1329 KUH Perdata dibatasi oleh Pasal 1330 KUH Perdata yang merumuskan: Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 1. Orang-orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Orang yang belum dewasa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 330 KUH Perdata merupakan orang ynag belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak terlebih dahulu telah kawin, sedangkan orang yang berada dibawah pengampuan sesuai ketentuan Pasal 433 KUH Perdata adalah orang yang dungu, sakit otak ,mata gelap dan boros. Kesimpulannya seseorang oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan suatu kontrak atau perjanjian jika orang tersebut belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 (dua puluh satu) tahun, sebaliknya setiap orang yang berumur 21 (dua puluh satu)
100
tahun keatas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh dibawah pengampuan seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros.25 c. Suatu Hal Tertentu Suatu hal tertentu merupakan obyek perjanjian tersebut. Obyek perjanjian merupakan prestasi. Prestasi ini terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.26 Prestasi itu harus dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan, dan dapat dinilai dengan uang. Dapat ditentukan artinya didalam mengadakan perjanjian, isi perjanjian harus dipastikan dalam arti dapat ditentukan secara cukup. Obyek perjanjian ini diatur dalam Pasal 1332 KUH Perdata dan 1333 KUH Perdata. Dalam Pasal 1332 KUH Perdata merumuskan: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”. Pasal 1333 KUH Perdata merumuskan: “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. d. Suatu Sebab Yang Halal Suatu sebab yang halal berarti isi perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Kontrak itu mengikat yang berarti suatu kontrak yang tidak dibuat secara ilegal
25
Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 29. 26 Salim HS, Abdulah, dan Wiwiek Wahyuningsih, 2007, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (Mou), Sinar Grafika, Jakarta, hal 10. 101
dan tidak berasal dari penipuan harus sepenuhnya diikuti. 27 Sucitthra Vasu kemudian memberikan tujuan penetapan tujuan pengaturan syarat-syarat sahnya perjanjian: The purpose of setting down the terms of contract are; firstly, it stipulates the rights and obligations of the parties. Secondly, in the event of a dispute between parties, it enables the court to decide which is the defaulting party so that the dispute can be resolved.28 (Terjemahan bebas: Tujuan dari pengaturan syarat-syarat kontrak : pertama, menetapkan hak dan kewajiban para pihak. Kedua, dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak, memungkinkan pengadilan untuk memutuskan pihak yang wanprestasi sehingga perselisihan dapat diselesaikan). Keempat syarat tersebut mutlak diperlukan agar suatu perjanjian tersebut sah. Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat kesepakatan dan kecakapan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan sedangkan apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat suatu hal tertentu dan kausa yang halal maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Sertipikat hak tanggungan dianalogikan sebagai suatu perjanjian yang memiliki syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, cakap untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Berdasarkan syarat-syarat perjanjian maka salah satu unsur perjanjian yaitu suatu hal tertentu (obyek) perjanjian yaitu tanah telah musnah diakibatkan oleh suatu peristiwa bencana alam sehingga termasuk suatu keadaan overmacht. Tanpa obyek yang jelas, perjanjian sulit atau bahkan mustahil dilakukan oleh para pihak. Perjanjian
27
Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal 210. 28 Sucitthra Vasu, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books, Singapore, hal 1. 102
yang tidak jelas obyeknya bukanlah perjanjian yang sah sehingga batal demi hukum.29 Musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana alam berakibat kreditur kehilangan obyek jaminan, debitur kehilangan hak atas tanah, dan kreditur tidak dapat menuntut debitur atas musnahnya seluruh obyek hak tanggungan ini. Musnahnya seluruh obyek jaminan yang dibebani hak tanggungan tidak mengakibatkan kewajiban debitur untuk memenuhi kewajibannnya untuk melunasi hutangnya kepada kreditur. Maka dari itu debitur wajib untuk tetap melunasi hutangnya walaupun tanah yang dijadikan jaminan telah musnah karena bencana alam. Sertipikat hak tanggungan merupakan sebuah sertipikat yang didalamnya tercantum pemberian hak tanggungan dari debitur kepada kreditur untuk menjamin fasilitas kredit yang diterima debitur dengan nilai hak tanggungan yang sudah disepakati oleh kreditur dan debitur. Obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah yang dapat dinilai dengan uang dan dapat ditentukan luasnya. Pasal 1332 KUH Perdata merumuskan “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian”. Pasal 1333 KUH Perdata merumuskan “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”. Jika dihubungkan dengan keabsahan sertipikat hak tanggungan yang obyeknya musnah
karena bencana alam, maka berdasarkan ketentuan syarat
29
Elly Erawati dan Herlien Budiono, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, hal 9.
103
perjanjian yaitu obyeknya, yaitu obyek hak tanggungan berupa tanah yang telah musnah seluruhnya karena bencana alam, maka sertipikat hak tanggungan tersebut tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu suatu hal tertentu, sehingga sertipikat hak tanggungan tersebut batal demi hukum (neitigbaarheid). Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disampaikan, jika terjadi suatu peristiwa yang mengakibatkan musnahnya obyek yang diperjanjikan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Perjanjian yang tidak menentukan jenis barang, jumlah, atau keadaanya adalah batal demi hukum. Jika dikaitkan dengan permasalahan musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana alam, maka sertipikat hak tanggungan tersebut batal demi hukum. Sertipikat hak tanggungan tersebut batal demi hukum karena obyeknya seluruhnya telah musnah terkena bencana alam, sehingga tidak memenuhi salah satu
syarat sahnya
perjanjian yaitu suatu hal tertentu (obyek) sebagaiman yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Sebelum Undang-Undang Hak tanggungan dikeluarkan maka lembaga jaminan untuk benda yang tidak bergerak adalah hipotik. Pengertian hipotik disebutkan dalam Pasal 1162 KUH Perdata, yaitu: “Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan” Hak jaminan hipotik dahulu dapat ditemukan dalam Buku II KUH Perdata Bab Kedua puluh satu Pasal 1162 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata dan dalam ketentuan-ketentuan mengenai Creditverband yang terdapat dalam Staatsblad 1937 Nomor 190.
104
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan hipotik adalah hak kebendaan atas benda tidak bergerak (benda tetap), untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemegangnya. Hak hipotik ini mirip dengan hak gadai, yaitu sama-sama sebagai hak jaminan kebendaan, sedangkan bedanya, hak gadai merupakan hak jaminan yang dibebankan kepada kebendaan bergerak, dan hak hipotik merupakan hak jaminan yang dibebankan kepada kebendaan tidak bergerak. Sejak
dikeluarkannya
Undang-Undang
Hak
Tanggungan,
maka
pengaturan pembebanan jaminan terhadap benda tidak bergerak berupa tanah yang diatur dahulu dalam KUH Perdata beralih ke Undang-Undang Hak Tanggungan. Berdasarkan interprestasi sistematis Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1132 KUH Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata merumuskan segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari, menjadi tanggungan segala perikatan perseorangan”. Pasal 1132 KUH Perdata merumuskan “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbanganya itu menurut besar kecilnya piutang masingmasing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.
105
Jadi apabila terjadi peristiwa musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana alam dan debitur melakukan tindakan wanprestasi maka kreditur dapat mengeksekusi harta kekayaan lain yang dimiliki oleh debitur sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan 1132 KUH Perdata. UndangUndang Hak Tanggungan merupakan bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (lex spesialis), dan apabila terdapat ketentuan dalam Undang-Undang hak tanggungan yang tidak ada pengaturannya maka dapat ditelusuri dalam KUH Perdata. 3.4 Kekuatan Eksekutorial Sertipikat Hak Tanggungan Yang Obyeknya Musnah Karena Bencana Alam Eksekusi pada hakekatnya adalah tindakan untuk menjalankan putusan pengadilan. Menurut M.Yahya Harahap mendefinsikan putusan sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.30 Subekti mendefinisikan eksekusi sebagai pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi, itu ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa.31 Eksekusi tidak selalu dapat diidentikan dengan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, mengingat syarat utama suatu eksekusi harus memiliki titel, dan oleh karena itu titel tersebut mengandung hak seseorang yang
30
M.Yahya Harahap, 2010, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (selanjutnya disebut M. Yahya Harahap II), hal 1. 31 R. Subekti, 1989, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung (selanjutnya disebut R. Subekti II), hal 130. 106
harus dilaksanakan, sesuai dengan istilah sehari-hari putusan hakim itulah yang di eksekusi. Titel yang dimaksud adalah titel pada akta dan putusan pengadilan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Titel eksekutorial tidak saja terdapat dalam putusan pengadilan namun juga terdapat dalam akta otentik dengan ttitel eksekutorial sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 224 HIR/258 R.Bg. Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan terdapat 2 (dua) cara untuk pelaksanaan eksekusi yang dimiliki oleh hak tanggungan yaitu eksekusi langsung (parate executie), dan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial. Eksekusi langsung atau parate executie menurut Subekti merupakan “menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya dalam arti tanpa perantara hakim yang ditujukan atas suatu barang jaminan untuk selanjutnya menjual sendiri barang tersebut.32 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mendefinisikan parate executie adalah eksekusi yang dilaksanakan tanpa mempunyai titel eksekutoril (grosse akta notaris atau keputusan hakim). Melalui parate executie (eksekusi langsung) yaitu pemegang hak tanggungan dengan adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri dapat melaksanakan haknya secara langsung tanpa melalui keputusan hakim atau grosse akta notaris.33
32
R Subekti, 1990, Pelaksanaan Perikatan, Eksekusi Riil dan Uang Paksa dalam Penemuan Hukum dan Pemecahan Permasalahan Hukum, Proyek Perkembangan Teknis Yustisial, MARI, Jakarta (selanjutnya disebut R Subekti III), hal 69. 33 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta (selanjutnya disebut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan II), hal 32. 107
Eksekusi langsung dalam hal ini kreditur sebagai pemegang hak tanggungan dapat mengeksekusi langsung jaminan yang dibebani hak tanggungan jika debitur wanprestasi tanpa menunggu keputusan pengadilan dengan dasar sertipikat hak tanggungan yang memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan.
Hal ini dikarenakan dalam sertipikat hak tanggungan
terdapat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kekuatan eksekutorial ini diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a juncto Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan. Pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-Undang tentang Hak Tanggungan merumuskan: Apabila debitur cedera janji, maka berdasarkan: a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya. Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan merumuskan “apabila debitur cedera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Dari keterangan pasal di tersebut, terlihat bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan kewenangan kepada kreditur untuk melakukan eksekusi secara langsung, tanpa perlu meminta penetapan atau fiat dari pengadilan terlebih dahulu. Cukup apabila pemegang hak tanggungan pertama itu mengajukan permohonan kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (selanjutnya disebut KPKNL) setempat untuk pelaksanaan pelelangan umum dalam rangka
108
eksekusi objek hak tanggungan. Dasar dilakukan eksekusi langsung oleh kreditur atau pemegang hak tanggungan karena Undang-Undang Hak Tanggungan telah memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan pertama serta sertifikat yang dimilikinya yaitu sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Adanya kata untuk menjual atas kekuasaan sendiri menunjukkan adanya kedudukan yang diutamakan kepada pemegang hak tanggungan, karena dengan adanya kata-kata tersebut pemegang hak tanggungan dapat melakukan eksekusi langsung atas hak tanggungan tanpa memerlukan lagi adanya persetujuan dari pihak debitur. Hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan atau pemegang hak tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan. Lelang terhadap obyek hak tanggungan dilakukan pada KPKNL. Lelang ini hanya dapat dilakukan jika tidak ada perlawanan dari pemilik jaminan
109
(debitur). Untuk proses ini pemohon lelang (kreditur) mengajukan permohonan lelang kepada KPKNL. Pada saat proses
permohonan lelang,
pemohon diwajibkan untuk
memenuhi syarat-syarat. Syarat-syarat lelang tersebut antara lain: a. Surat permohonan lelang. b. Surat-surat somasi yang dilaksanakan secara pribadi sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut. c. Akta pengakuan hutang atau perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang bentuknya berupa APHT dan sertipikat hak tanggungan. d. Data jaminan yang akan dilelang. e. Data pemilik jaminan. f. Surat pernyataan dari pemohon lelang (kreditur) yang menyatakan bahwa kreditor melepaskan pihak kantor lelang atau balai lelang dari segala tuntuan yang mungkin timbul dikemudian hari. Setelah seluruh data tersebut lengkap, maka akan dimintakan jadwal lelang dan pengumuman lelang di surat kabar selama 2 (dua) kali dalam jangka waktu masing-masing 15 (lima belas) hari terhitung dari tanggal pertama hingga hari pelaksanaan lelang. Setelah pengumuman dilakukan, lelang dapat dilaksanakan. Pemenang lelang akan mendapatkan akta risalah lelang setelah membayarkan harga jaminan atas barang yang dilelang serta pembayaran pajak penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).34 34
Irma Devita Purnamasari, 2011, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, Dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan Perbankan, Bandung, Kaifa, hal 65.
110
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disampaikan parate eksekusi dapat dilakukan secara langsung oleh kreditur tanpa perlu meminta adanya fiat atau penetapan atau bantuan dari pengadilan. Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan. Parate executie dilakukan dengan cara pemegang hak tanggungan mengajukan permohonan kepada Kepala KPKNL setempat untuk pelaksanaan pelelangan umum dalam rangka eksekusi objek hak tanggungan dengan dasar sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap Eksekusi berikutnya adalah eksekusi secara tidak langsung (melalui titel eksekutorial). Titel eksekutorial diatur dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan. Eksekusi melalui titel eksekutorial diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b Undang-Undang Hak Tanggungan yang merumuskan: Apabila debitur cedera janji, maka berdasarkan a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya. Kekuatan eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan, objek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan
111
piutang pemegang hak tanggungan dengan mendahulu dari kreditur-kreditur lainnya. Selanjutnya dalam penjelasan butir 9 Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa sertifikat hak tanggungan dinyatakan sebagai pengganti grosse akta hipotik. Untuk melaksankan eksekusi hipotik atas tanah menggunakan dasar hukum ketentuan Reglement 224 HIR/254RBg.
Titel eksekutorial pada hak
tanggungan dilakukan dengan merujuk kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 224 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)/254 Reglement
tot
Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura (RBg). Pasal 224 HIR/254RBg yang merumuskan: Grosse dari akta hipotek dan surat utang yang dibuat di hadapan notaris di hidonesia dan yang kepalanya berbunyi "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa" berkekuatan sama dengan keputusan hakim. Jika tidak dengan jalan damai, maka surat demikian dijalankan dengan perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya tempat diam atau tempat tinggal debitur itu atau tempat kedudukan yang dipilihnya, yaitu menurut cara yang dinyatakan pada pasalpasal yang lalu dalam bagian ini, tetapi dengan pengertian, bahwa paksaan badan hanya boleh dilakukan, jika sudah dengan keputusan hakim. Jika keputusan hakim itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukum pengadilan negeri yang memerintahkan pelaksanaan keputusan itu, maka haruslah dituruti peraturan pasal 195 ayat (2) dan seterusnya. (Ov. 91; Rv. 440, 584; Not. 41; T. XIII-372.) Inti dari ketentuan Pasal 224 HIR/254RBg bahwa suatu grosse hipotik dan surat hutang yang dibuat dihadapan Notaris di Indonesia berkekuatan seperti putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan pasti. Pasal 224HIR/258RBg menjelaskan bahwa terhadap surat yang dicantumkan irah-irah yang berbunyi “Atas Nama Keadilan” sekarang telah berubah menjadi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sertipikat tersebut mempunyai
112
kekuatan sama dengan putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan pasti atau tetap, untuk melaksanakan eksekusinya jika tidak ditepati dengan jalan damai, maka menjalankannya dilakukan dengan perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Sesuai dengan ketentuan dari Pasal 224HIR/258RBg, terhadap Hak Tanggungan juga berlaku hal yang sama terutama yang berkaitan dengan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat(1) juncto Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan. Berdasarkan hal tersebut maka dalam pelaksanaan eksekusinya juga berlaku ketentuan yang sama pula yaitu apabila tidak dapat dieksekusi dengan damai, maka kreditur sebagai pemegang hak tanggungan dapat mengajukan eksekusi dengan titel eksekutorial yaitu memohonkan penetapan dari pengadilan untuk melakukan eksekusi terhadap objek hak tanggungan. Eksekusi terhadap objek hak tanggungan ini kreditur tidak perlu melakukan gugat-menggugat dengan pihak debitur, akan tetapi cukup dengan mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan dengan melampirkan bukti wanprestasinya debitur yang disertai dengan sertifikat hak tangungan. Atas dasar itu maka Ketua Pengadilan Negeri akan mengeluarkan penetapan eksekusi dan melakukan eksekusi terhadap objek hak tanggungan yang dimohonkan untuk di eksekusi. Eksekusi akan dilaksanakan atas perintah dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri tersebut, melalui pelelangan umum yang dilakukan oleh KPKNL. Eksekusi hak tanggungan yang dilaksanakan melalui fiat pengadilan atau dengan titel eksekutorial dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
113
1. Kreditor selaku pemohon leleng mengajukan permohonan lelang kepada ketua pengadilan negeri di wilayah kedudukan kreditur atau ditempat yang sudah ditentukan didalam perjanjian kredit atau akta pengakuan hutang, jika permohonan lelang disetujui keluarlah penetapan lelang. 2. Setelah keluar penetapan lelang dilanjutkan dengan permohonan lelang sita jaminan untuk benda jaminan yang akan dilelang tersebut. Jika Penetapan Sita Jaminan sudah keluar, dilanjutkan dengan penyitaan obyek jaminan yang kemudian dilanjutkan dengan pendaftaran pada Badan Pertanahan Nasional, setelah itu Pengadilan Negeri mengajukan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) pada Badan Pertanahan Nasional setempat. 3. Setelah SKPT ini keluar maka pengadilan negeri mengajukan permohonan agar dilakukan Taksasi (Taksiran Harga Transaksi) oleh pihak kelurahan dan pihak dari dinas Pekerjaan Umum sehingga dapat ditentukan nilai pasar wajar dari obyek yang akan dilelang tersebut. Setelah harga didapat maka Kepala Pengadilan akan menentapkan harga limit terendah jaminan atau barang yang akan dilelang tersebut. 4. Setelah harga limit ditetapkan, pengadilan negeri mengajukan permohonan untuk penjadwalan pada KPKNL. 5. Setelah mendapatkan jadwal lelang barulah dilaksanakan pengumuman untuk pelaksanaan lelang melalui iklan di surat kabar nasional selama 2 (dua) kali dengan jarak masing-masing 15 (lima belas) hari sampai hari pelaksanaan lelang.
114
6. Kemudian proses lelang dilakukan. Dalam proses pembelian secara lelang calon pembeli menaruh deposit sejumlah uang untuk disyaratkan minimal 1 (satu) sebelum pelaksanaa lelang. Kemudian calon pembeli melakukan penawaran. Calon pembeli yang melakukan penawaran tertinggi akan dinyatakan sebagai pemenang lelang serta berhak dinyatakan sebagai pemenang lelang serta berhak memiliki tanah dan bangunan tersebut sesuai harga yang telah
ditentukan. Setelah jaminan atau barang yang
dilelang tersebut dibayar dengan harga yang telah ditentukan diikuti dengan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB), maka pembeli tersebut mendapatkan Akta Risalah Lelang yang dibuat oleh pejabat lelang. Akta Risalah Lelang ini sama fungsinya dengan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT pada proses jual beli tanah biasa. Hasil yang didapat dari lelang tersebut kemudian akan digunakan untuk memenuhi semua kewajiban debitur kepada kreditur, apabila terjadi kelebihan maka kelebihan tersebut dikembalikan kepada debitur. 7. Setelah pemenang lelang atas obyek lelang, maka pemenang lelang atau pembeli tersebut dapat menajukan permohonan pengosongan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, lalu dilanjutkan dengan proses pengosongan atas jaminan atau barang dimaksud sesuai dengan perintah pengadilan.35
35
Ibid, hal. 66.
115
Berdasarkan penjelasan di atas terlihat bahwa kekuatan eksekutorial yang dimiliki oleh sertifikat hak tanggungan adalah sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, hal tersebut karena pada sertifikat hak tanggungan telah dicantumkan irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Untuk pelaksanaan dari kekuatan eksekutorial tersebut Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan dua cara yaitu melalui eksekusi secara langsung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan dan melalui titel eksekutorial sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Undang- Undang Hak Tanggungan. Jika hutang yang dijamin dengan hak tanggungan dilunasi, maka badan pertanahan akan mencoret catatan hak tanggungan pada buku tanah dan sertifikat haka atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan atau dengan catatan dari kreditor pemberi hak tanggungan meminta pada badan pertanahan untuk mencoretnya. Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan bahwa hutang telah lunas, maka pihak yang berkepentingan bisa meminta melalui kepada ketua pengadilan negeri setempat, dengan penetapan pengadilan negeri maka debitor memohon pencoretan pada kantor pertanahan. Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial dilakukan dengan cara Kreditur mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan dengan melampirkan bukti wanprestasinya debitur yang disertai dengan sertifikat hak tangungan. Atas dasar itu maka Ketua Pengadilan Negeri akan mengeluarkan penetapan eksekusi dan melakukan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan yang dimohonkan untuk di eksekusi.
Eksekusi akan dilaksanakan atas perintah dan dengan
116
pimpinan Ketua Pengadilan Negeri tersebut, melalui pelelangan umum yang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara. Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Hak Tanggungan merumuskan tentang hapusnya hak tanggungan yang dikarenakan hapusnya hak atas tanah tidak menyebabkan piutang yang dijamin menjadi hapus. Piutang kredit masih tetap ada, akan tetapi bukan lagi piutang yang dijamin secara khusus berdasarkan kedudukan istimewa kreditor. Hapusnya hak atas tanah tersebut, terjadi karena adanya overmarcht berupa bencana gempa bumi yang menyebabkan musnahnya seluruh obyek hak tanggungan yang menjadi jaminan bank, sehingga dalam hal ini debitur tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas munahnya obyek jaminan yang dibebankan hak tanggungan tersebut. Peristiwa musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana gempa bumi dikategorikan sebagai kejadian overmarcht. Overmarcht dapat dibedakan dalam berbagai jenis. Apabila dilihat dari segi sasaran yang terkena overmarcht, musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana gempa bumi ini termasuk pada overmarcht yang obyektif, yaitu overmarcht yang terjadi atas benda yang merupakan obyek kontrak tersebut. Artinya keadaan benda tersebut sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi prestasi sesuai kontrak, tanpa adanya unsur kesalahan dari pihak debitur. Misalnya benda tersebut terbakar, maka pemenuhan prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan, karena yang terkena adalah benda yang merupakan obyek perjanjian. Apabila dilihat dari segi jangka waktu berlakunya keadaan yang menyebabkan terjadinya overmarcht, musnahnya seluruh obyek hak tanggungan ini termasuk juga pada
117
overmarcht permanen, yaitu jika sama sekali sampai kapanpun suatu prestasi yang terbit dari kontrak tidak mungkin dilakukan lagi. Misalnya, jika barang yang merupakan obyek dari kontrak tersebut musnah di luar kesalahan debitur. Kekuatan eksekutorial sertipikat hak tanggungan yang seluruh obyeknya musnah karena bencana alam menjadi hapus. Hapusnya kekuatan eksekutorial ini dikarenakan hapusnya hak atas tanah yang diakibatkan oleh musnahnya seluruh tanah yang dijadikan obyek hak tanggungan karena bencana alam. Musnahnya seluruh tanah yang menjadi obyek hak tanggungan mengakibatkan hapusnya hak atas tanah sehingga juga mengakibatkan hapusnya hak tanggungan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf
d Undang Undang Hak
Tanggungan yang merumuskan “hak tanggungan menjadi hapus karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan”. Dalam lampiran tesis ini berupa sertipikat hak tanggungan dan APHT, tidak ada klausula yang mengatur tentang kekuatan eksekutorial sertipikat hak tanggungan yang obyeknya seluruhnya musnah karena bencana alam. Seharusnya terdapat suatu klausula dalam APHT dan sertipikat hak tanggungan yang mengatur tentang kekuatan eksekutorial sertipikat hak tanggungan yang obyeknya musnah karena bencana alam adalah hapus. Selain itu juga dapat dimasukan alasan-alasan lain yang dapat menghapuskan kekuatan eksekutorial sertipikat hak tanggungan yaitu hutang yang dijamin dengan hak tanggungan telah dilunasi oleh debitur, dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan, dan pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Klausula ini diharapkan akan memberikan kepastian hukum bagi debitur
118
dan kreditur lain yang mengalami peristiwa musnahnya seluruh obyek hak tanggungan karena bencana alam. Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disampaikan kekuatan eksekutorial sertipikat hak tanggungan yang obyeknya musnah karena bencana alam adalah hapus. Kekuatan eksekutorial sertipikat hak tanggungan disebabkan oleh hapusnya hak atas tanah karena tanah tersebut telah musnah karena bencana alam. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan akan berakibat hapusnya hak tanggungan, sehingga hapus pula kekuatan eksekutorial sertipikat hak tanggungan tersebut.
119
