BAB III KEDUDUKAN JAKSA DALAM PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM PASAL 26 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974
A. Jaksa dan Kedudukannya dalam Pembatalan Perkawinan Profesi jaksa sebagai salah satu penegak hukum sudah dikenal sejak lama, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, khususnya pada masa kekuasaan kerajaan Majapahit dan kerajaan Mataram.1 Kata jaksa berasal dari bahasa Sansekerta atau bahasa Jawa Kuno (Jawa Kami), yang dikenal dengan istilah Dhyaksai adyaksa, dan dharmadyaksa.2 Dhyaksa (hakim pengadilan) dikatakan sebagai pejabat negara yang dibebani tugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah pengawasan mahapatih selaku patih adhyaksa (hakim tertinggi) yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa.3 Adapun istilah dharmadhyaksa mempunyai 3 pengertian dalam melaksanakan tugasnya,4 yaitu: 1. Sebagai pengawas tertinggi dari kekayaan suci (superintendent) 2. Sebagai pengawas tertinggi dalam urusan kepercayaan (religie) 3. Sebagai ketua pengadilan 1
Gunawan Ilham, Penegak Hukum dan Penegakan Hukum, Bandung: Angkasa, 1993, hlm.
10. 2
Gunawan Ilham, Peran Kejaksaan dalam Penegakan Hukum dan Stabilitas Politik, cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 1994, hlm. 45. 3 Marwan Efendi, SH., Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 56. 4
Gunawan Ilham, Peran Kejaksaan…., op. cit., hlm. 46.
30
31
Pada intinya, jelas bahwa jaksa pada masa kerajaan Majapahit dan Mataram telah dikenal, mempunyai wewenang dan tugas dalam bidang keagamaan dan bidang peradilan. Sejalan dengan berputarnya roda sejarah, terminologi dhyaksa mengalami perubahan menjadi Jeksa dalam bahasa Jawa, dan jaksa dalam bahasa Sunda dan Indonesia.5 Dalam kamus umum bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan jaksa adalah pegawai pemerintah di bidang hukum yang bertugas menyampaikan dakwaan dalam proses pengadilan terhadap orang yang diduga melanggar hukum.6 Dari berbagai pengertian dan definisi di atas, untuk mengambil pemahaman yang sama mengenai jaksa di Indonesia, dapatlah diambil pengertian yang ada dalam UU No. 16 tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia,7 yaitu Pasal 1 ayat 1-4, bahwa: a. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
5
Marwan Efendi, SH., op. cit., hlm. 58.
6
Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bandung, M2S, 2001, hlm. 196.
7
Undang-undang Kejaksaan RI No. 16 tahun 2004.
32
c. Penuntutan adalah tindakan penuntutan umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. d. Jabatan fungsional jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan. Walaupun dalam UU No. 16 tahun 2004 membedakan sebutan dan pengertian jaksa dengan penuntut umum, namun keduanya tetap satu.8 Dalam artian suatu saat jaksa dapat menjadi penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.9 Hanya saja perbedaan yang hakiki antara jaksa dengan penuntut umum adalah sebagai berikut: jika jaksa bertugas pada kegiatan penangangan perkara pada tahap penuntutan maka jaksa tersebut disebut dengan penuntut umum, dan jika bertugas maka jaksa tersebut disebut dengan penuntut umum, dan jika bertugas di luar penuntutan maka ia tetap disebut jaksa.10 Undang-undang No. 16 tahun 2004, tentang Kejaksaan RI, mengatur tugas dan wewenang jaksa,11 yang rinciannya sebagai berikut: 1. Pasal 30 ayat (1) “Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. melakukan penuntutan; 8
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penetapan KUHP: Penyidikan dan Penuntutan, cet. 5, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 365. 9
Ibid.
10
Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Cet. I, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hlm. 222. 11
Lihat UU Kejaksaan RI No. 16 tahun 2004 Pasal 30 ayat (1), (2) dan (3), 32, 33 dan 34.
33
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.” 2. Pasal 30 ayat (2) “Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.” 3. Pasal 30 ayat (3) “Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. pengamanan peredaran barang cetakan; d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e. pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama; f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.” 4. Pasal 32 “Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undangundang.” 5. Pasal 33 “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.” 6. Pasal 34 “Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.”
34
Eksistensi kejaksaan di bidang perdata bukanlah hal yang baru, karena telah ada sejak zaman penjajahan India Belanda sampai setelah Indonesia merdeka, eksistensi kejaksaan di bidang perdata tetap diakui dan diatur dalam undang-undang kejaksaan yaitu: Undang-undang No 15 tahun 1961, tentang ketentuan-ketentuan umum kejaksaan RI Pasal 2 ayat 4, yang menyatakan bahwa kejaksaan mempunyai tugas melaksanakan tugas-tugas khusus lainnya yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan negara.12 Setelah lahirnya Undang-undang No. 15 tahun 1961, eksistensi kejaksaan di bidang perdata tetap diakui dan dipertahankan, terbukti dengan dimuatnya kembali ke dalam Pasal 27 ayat 2 undang-undang No. 5 tahun 199113 dan undang-undang No. 16 tahun 2004 Pasal 30 ayat 2.14 Dan diperkuat dengan Kepres No. 86, tahun 1999, tentang susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan RI serta diberi tugas dan wewenang di bidang tata usaha negara.15 Saat ini dalam kejaksaan dikenal nama JAMDATUN (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara), sebagai salah satu unit kerja dalam lingkungan kejaksaan.16 Tugas dan wewenang JAMDATUN secara garis besar dapat dibagi menjadi 5 kelompok,17 yaitu:
12
Undang-undang Kejaksaan RI No. 15 tahun 1961, Pasal 2 (4)
13
Undang-undang Kejaksaan RI No. 5 tahun 1991, Pasal 27 (2)
14
Undang-undang Kejaksaan RI No. 16 tahun 2004, Pasal 30 (2)
15
Kepres No. 86 tahun 1999.
16
Sumber Kejaksaan Negeri Semarang, diambil dari buku Pengarahan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara pada Raker Kejaksaan 5 Juni 2000, hlm. 1. 17
Ibid.
35
1. Penegakan hukum Yang dimaksud penegakan hukum adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha negara sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan atau berdasarkan putusan pengadilan dalam rangka menyelamatkan kekayaan atau keuangan negara serta melindungi hak-hak keperdataan masyarakat. Contoh: -
Jaksa dapat meminta kepada pengadilan untuk meniadakan niat untuk perkawinan, juga meminta dibatalkannya perkawinan.18
- Meminta kepada pengadilan untuk menyatakan suatu keadaan pailit
terhadap
perorangan
atau
badan
hukum
demi
kepentingan umum.19 2. Bantuan hukum Bantuan hukum adalah pemberian kuasa hukum kepada instansi pemerintah atau lembaga negara atau BUMN atau pejabat tata usaha negara untuk bertindak sebagai kuasa pihak dalam perkara perdata dan tata usaha negara berdasarkan surat kuasa khusus. 3. Pelayanan Yaitu pemberian jasa hukum kepada masyarakat untuk penyelesaian masalah perdata maupun tata usaha negara, di luar proses peradilan. 4. Pertimbangan hukum Yaitu pemberian jasa hukum kepada instansi pemerintah atau lembaga negara atau badan usaha milik negara atau pejabat tata usaha negara, yang 18
Lihat UU No. 1 tahun 1974.
19
Lihat UU No. 4 tahun 1998.
36
disampaikan melalui forum koordinasi yang sudah ada atau melalui media lainnya, di luar proses pengadilan. 5. Tindakan hukum lain Adalah pemberian jasa hukum di bidang perdata atau tata usaha negara di luar penegakan hukum, bantuan hukum, pelayanan hukum dan pertimbangan hukum dalam rangka menyelamatkan kekayaan negara dan menegakkan kewibawaan pemerintah. Sesuai dengan peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 Pasal 27 ayat (1) sebagai berikut: “Apabila perkawinan telah berlangsung kemudian dapat larangan menurut hukum munakahat atau perundang-undangan tentang perkawinan, maka pengadilan agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UU No. 1 Tahun 1974.20 Pasal 25 Undang-undang Perkawinan menentukan bahwa pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.21 Karena terdapatnya kata ‘dapat’ dibatalkan, penjelasan undangundang perkawinan mengatakan: “Pengertian ‘dapat’ pada Pasal ini (maksudnya Pasal 22) diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.22 Tegasnya, dalam memutus permohonan pembatalan perkawinan ini pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan agama mereka yang 20
Peraturan Menteri Agama No. 3 tahun 1975 Pasal 27 ayat 1.
21
Pasal 25 Undang-undang Perkawinan.
22
Penjelasan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 22.
37
perkawinannya dimintakan pembatalannya. Bagaimanapun jika menurut ketentuan agama perkawinan itu sah, pengadilan tidak dapat membatalkan perkawinan itu.23 Batalnya suatu perkawinan tidak batal dengan sendirinya.24 Tetapi, perkawinan itu dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan, dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama bagi orang yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi selain Islam.25 Hal ini memberi pengertian bahwa suatu perkawinan yang telah dilangsungkan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syaratsyaratnya. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah yang diatur dalam Pasal 6 hingga 12 undang-undang perkawinan.26 Atau seperti yang diterangkan oleh Elis T. Sulistini dalam bukunya: Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkaraperkara Perdata: bahwa syarat-syarat untuk melaksanakan perkawinan dengan sah adalah sebagai berikut: a. Kedua belah pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan oleh undang-undang, yaitu untuk seorang pria sudah berumur 18 Tahun dan untuk wanita sudah berumur 15 Tahun. b. Harus ada persetujuan bebas antara kedua belah pihak
23
Prof. Dr. Lili Rosjidi, SH., Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. I, 1991, hlm. 83. 24 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cet. 1, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 231. 25
Lihat Pasal 22 Undang-undang Perkawinan.
26
Lihat Pasal 6 hingga 12 Undang-undang Perkawinan.
38
c. Untuk seorang wanita yang sudah kawin, harus lewat 300 hari sesudah putusnya perkawinan yang pertama. d. Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak. e. Harus ada izin dari orang tua atau walinya (kalau belum berumur lewat 30 tahun). Kalau tidak dapat izin dari orang tua atau wali, maka anak dapat minta perantara hakim.27 Selama perkara pembatalan itu dalam proses di pengadilan, sebaiknya pengadilan mengusahakan agar supaya suami isteri yang bersangkutan berpisah tinggal, demi menghindari wati subhat, yaitu persetubuhan yang diragukan sahnya.28 Bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan, hal ini mengingat bahwa pembatalan perkawinan dapat membawa akibat yang jauh lebih baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarga. Maka ketentuan in dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi di luar pengadilan.29 Pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami/isteri atau isteri.30 Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai
kekuatan
hukum
yang
tetap
dan
berlaku
sejak
saat
27
Elise T. Sulistini, SH., Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara Perdata, Jakarta: Bina Aksara, cet. I, 1978, hlm. 77..0 28 Arso Sosroatmojo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet 1, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hlm. 65. 29
A. Mukti Arto, op. cit., hlm. 231.
30
Lihat Pasal 25 undang-undang No. 1 Tahun 1974.
39
berlangsungnya perkawinan (Pasal 28 ayat 1), keputusan pengadilan itu tidak berlaku surut terhadap: a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. b. Suami atau isteri yang bertindak dengan i’tikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk anak-anak dan suami atau isteri tersebut di atas sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan i’tikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.31 B. Pihak yang Berhak Membatalkan Perkawinan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Hukum acara perdata menentukan bahwa seseorang/beberapa orang badan hukum sebagai yang berhak atau tidak untuk bertindak sebagai penggugat/pemohon untuk mengajukan gugatan/permohonan, mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan. Karena dengan tidak berhaknya untuk bertindak sebagai penggugat/pemohon akan menentukan dapat diterima dan tidaknya suatu gugatan/permohonan. Seandainya, penggugat/pemohon sebagai yang berhak untuk mengajukan gugatan/permohonan, maka pemeriksaan akan memasuki pokok perkara.32
31
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan di Indonesia menurut Perundangan Hukum Adat dan Hukum Agama, Bandung, Mandar Maju, Ghalia Indonesia, hlm. 83. 32
Retnowulan Sutanto, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, cet. VIII, Bandung: Mandar Maju, 1997, hlm. 18-19.
40
Undang-undang
perkawinan
menentukan
siapa
yang
dapat
mengajukan pembatalan perkawinan seperti diatur dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 27 yang untuk singkatnya dapat disebut sebagai berikut: a. Para keluarga dalam garis keturunan ke atas dari suami atau isteri b. Suami atau isteri c. Pejabat yang berwenang d. Pejabat yang dituju e. Jaksa33 Disamping itu sesuai dengan ketentuan yang termuat di dalam Pasal 24 salah satu dari kedua pihak dalam perkawinan yang masih terikat dapat juga mengajukan pembatalan ini dengan ketentuan bahwa isi Pasal 3 ayat 2 dan 4 undang-undang perkawinan diperhatikan. Di lain pihak, para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri dapat memintakan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak salah, atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi.34 Maksud dari ketentuan ini adalah oknum yang dapat memberi izin menjadi wali terhadap calon mempelai.35 Akan tetapi di dalam Pasal in tidak menentukan apa macamnya garis keturunan itu (patrilinealkah, matrilinealkah atau bilateralkah) sehingga jika kepercayaan atau agama yang dianut tidak menentukannya maka masih
33
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. 1, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1980,
hlm. 31. 34 35
Lihat ayat 1 Pasal 26 Undang-undang Perkawinan.
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Medan: CV. Zahir, cet. I, 1975, hlm. 73.
41 berlaku garis keturunan menurut adat setempat.36 Khusus dalam hubungan suami atau isteri, seorang suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan, yang disebabkan karena keadaan-keadaan yang disebut dalam Pasal 27 Undang-undang no. 1 tahun 1974 yaitu; dalam perkawinan itu dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri, tapi dengan syarat bahwa dalam jangka waktu enam bulan setelah tidak adanya ancaman lagi atau yang bersalah sangka itu menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya, untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya itu gugur.37 Untuk selanjutnya pejabat yang berwenang yaitu hanya selama perkawinan belum diputuskan38, yaitu jika telah ada putusan pengadilan tentang permohonan pembatalan dari orang-orang yang disebut Pasal 23 sub a dan b, maka pejabat yang berwenang tidak boleh lagi mengajukan pembatalan,39 dan pejabat yang ditunjuk, jaksa dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.40
36
Hazairin, Tinjauan mengenai Undang-undang RI. No. 1 Tahun 1974, Jakarta: Tintamas Indonesia, cet. I, 1975, hlm. 25. 37
Lihat ayat 2 Pasal 26 dan ayat 1,2 dan 3 Pasal 27 Undang-undang Perkawinan.
38
A. Mukti Arto, op. cit., hlm. 2311-232.
39
M. Yahya Harahap, loc. cit.
40
A. Mukti Arto, op. cit., hlm. 231-232.
42
Pembatalan dapat juga diajukan oleh kejaksaan sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1) undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa: (1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.” Pasal 26 ayat (1) di atas, menjelaskan bahwa akad nikah (perkawinan) yang telah dilangsungkan di depan pegawai pencatat nikah, dapat dibatalkan, karena dalam pelaksanaan akad nikah tersebut dilakukan oleh wali yang tidak sah atau tanpa dihadiri oleh dua orang saksi. Sedangkan yang berhak memintakan pembatalan pernikahan adalah dari pihak suami atau isteri, keluarga suami atau isteri dalam garis keturunan ke atas, serta jaksa.41 Jaksa, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 undang-undang No. 1 Tahun 1974, ternyata memiliki kedudukan sebagai pemohon atau pihak yang berhak memintakan pembatalan perkawinan. Masalah pembatalan perkawinan termasuk salah satu perkara perdata, maka jaksa berkedudukan sebagai pemohon/Penggugat.42 Sedang hubungan jaksa dengan mempelai tidak memiliki hubungan khusus. Jika, jaksa tidak memiliki
hubungan
khusus
dengan
mempelai/suami
isteri,
lantas
pertanyaannya, dari mana jaksa mengetahui bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan oleh mempelai terdapat pelanggaran?
41 Rudy T. Erwin, Petunjuk Praktis untuk Penyelesaian Perkara-perkara Anda, Jilid I, Jakarta: Selekta Group, 1978, hlm. 71. 42
Ibid, hlm. 11.
43
Bapak
Suwiryo,
pegawai
kejaksaan
negeri
kota
semarang
menjelaskan bahwa, jaksa dapat mengetahui masalah pelanggaran dalam perkawinan, bisa secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya, jaksa mengetahui sendiri, bahwa perkawinan tersebut terdapat pelanggaran. Sedang tidak langsung, artinya jaksa mengetahui hal tersebut berdasarkan keterangan dari orang lain, bisa dari pihak suami isteri ataupun dari pihak keluarga suami isteri. Bahkan orang lain sekalipun. Keterangan tersebut, didasarkan atas bukti-bukti yang menyatakan bahwa perkawinan yang telah berlangsung tidak sah.43 Karena perkara pembatalan perkawinan termasuk salah satu perkara perdata, maka jaksa berkedudukan sebagai pemohon/penggugat,44 dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tanpa harus disertai SKK (Surat Kuasa Khusus), karena apa yang dilakukan jaksa dikualifisir sebagai penegakan hukum karena jabatan (peranan yang diberikan oleh peraturan perundangundangan) sehingga tidak diperlukan SKK dari siapapun. Keberlakuan aturan di atas berlaku di tingkat kejaksaan tinggi, hal ini berarti begitu jaksa mengetahui adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan dan penerapan hukum perkawinan, jaksa (kejaksaan tinggi) dapat langsung memproses perkara pembatalan perkawinan begitu mengetahui dan menerima permohonan pembatalan perkawinan. Kejaksaan tinggi di sini dalam menjalankan tugasnya tidak mendapatkan dan disertai surat kuasa dari pihak manapun juga. Untuk memproses perkara pembatalan tersebut di pengadilan 43
Wawancara dengan Bpk. Suwiryo, tanggal 24 Maret 2006.
44
Pengarahan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, op. cit., hlm. 6.
44
pihak kejaksaan tinggi memberikan kuasa sepenuhnya kepada kejaksaan negeri untuk diajukan dan menghadiri sidang-sidang di pengadilan. Dengan kata lain, kejaksaan negeri baru dapat menjalankan tugasnya setelah mendapatkan kuasa dari kepala kejaksaan tinggi setempat, sementara kejaksaan tinggi setempat tidak mendapatkan pelimpahan dari pihak manapun, keharusan adanya surat kuasa hanya diperlukan bagi kejaksaan negeri saja. Jaksa
yang
ditugaskan
untuk
mengajukan
permohonan
pembatalan
perkawinan harus mengikuti hukum secara perdata yang berlaku, serta diharapkan benar-benar menguasai permasalahannya dengan mengumpulkan alat-alat bukti yang ada dan sah dan melakukan koordinasi serta konsultasi dengan instansi yang terkait agar berhasil dalam gugatan/permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan.45 C. Faktor-faktor Penyebab Pembatalan Perkawinan Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, ada dua unsur yang mempengaruhi terjadinya fasid atau batalnya perkawinan. Kedua unsur tersebut adalah syarat dan rukun. Syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan. Dan kalau salah satu dari syarat perkawinan itu tidak terpenuhi maka perkawinan itu tidak sah (batal) demi hukum.46 UU No. 1 tahun 1974 Pasal 22 menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini tidak memberi pengertian bahwa suatu 45
Wawancara dengan Bp. Suwiryo, S.H., tanggal 14 Maret 2006.
46
Salim HS. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2002,
hlm. 70.
45
perkawinan yang telah dilangsungkan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syaratnya.47 Adapun dengan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut undang-undang ini ada 3 kategori: a. Persyaratan yang ditentukan oleh hukum Islam b. Persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang tetapi tidak ditentukan oleh hukum Islam. c. Persyaratan yang ditentukan oleh hukum Islam dan sekaligus diatur dalam undang-undang, misalnya: -
Pasal 8 tentang larangan perkawinan
-
Pasal 9 tentang masih terikat dengan perkawinan orang lain
-
Pasal 10 tentang ruju’/kembali setelah talak tiga.48 Ada beberapa bentuk perkawinan tertentu yang menurut Pasal 26 dan
27 bisa dikategorikan sebagai kasus pembatalan perkawinan,49 antara lain: a. Perkawinan yang dilangsungkan di depan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang b. Perkawinan yang dilangsungkan dengan wali nikah yang tidak sah c. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua saksi. d. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum
47 R. Badri, Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan dan KUHP, Surabaya: Amin Surabaya, 1985, hlm. 70. 48
Pasal 8,9,10 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974.
49
Pasal 26 dan 27 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974.
46
Pengertian ancaman melanggar hukum tiada lain dari hakekat yang menghilangkan kehendak bebas dari salah seorang calon mempelai,
yaitu
segala
macam
ancaman
apapun
yang
dapat
menghilangkan hakekat bebas seseorang calon mempelai. Termasuk ancaman yang bersifat hukum sipil. Contoh: seseorang menyerukan syarat, bahwa asal dia mau menikah, hutang orang yang diajak kawin akan dihapus, kalau tidak bersedia dikawini, hutang ini akan digugat dan meminta dilelang semua hartanya.50 Akan tetapi sesuai dengan ayat (3) Pasal 27 undang-undang No. 1 Tahun 1974, sifat ancaman berhenti apabila telah lewat masa 6 bulan sesudah dilangsungkan perkawinan berdasar ancaman yang melanggar hukum. Yang bersangkutan tidak mempergunakan haknya untuk pembatalan dan masih tetap hidup bersama sebagai suami isteri. Apabila dalam jangka waktu 6 bulan itu telah lewat dengan sendirinya gugurlah haknya untuk minta pembatalan.51 e. Terjadi salah sangka mengenai diri suami dan istri.52 Yaitu, mengenai diri orangnya atau personnya dan bulan mengenai keadaan orangnya yang menyangkut status sosial ekonominya dalam jangka waktunya pun tidak lebih dari 6 bulan. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 70 dan 71 disebutkan bahwa: 50
M. Yahya Harahap, op. cit., hlm. 77.
51
Lihat Pasal 27 ayat (3) undang-undang No. 1 Tahun 1974.
52
Gatot Supramono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta: Djambatan, 1998,
hlm. 35.
47
Perkawinan batal apabila: a. suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i; b. seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya; c. seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isterinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al-dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya; d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu 1. berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke atas; 2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; 3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri; 4. berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan; e. isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.53 Pasal 71 menyebutkan bahwa: a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria yang mafqud; c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami li’an; d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 undang-undang No. 1 Tahun 1974; e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Pembatalan perkawinan bisa terjadi menurut Pasal 70 dan 71 di atas, adalah karena suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama, wanita yang diperistri ternyata masih memiliki status perkawinan dengan orang lain, dilangsungkan tanpa wali atau wali yang tidak berhak dan lain-lain.
53
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan kelembagaan Agama Islam, 2000, hlm. 39-40.