BAB III KEDUDUKAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA DALAM HUKUM TERKAIT PERNIKAHAN YANG TIDAK TERCATAT DI KANTOR URUSAN AGAMA DAN STATUS ANAKNYA A. Ijtihad dan Fatwa Dalam studi hukum Islam, fatwa merupakan ranah ijtihad dalam menentukan hukum atas permasalahan tertentu. 1.
Pengertian fatwa
Kata fatwa secara bahasa menurut al Fayûmi berasal dari:
ِ ِوالْ َفْتػوى ِِبلْوا ِو بَِفْت ِح الْ َف ِاء وِِبلْي ِاء فَػتض ُّم و ِ َّي ي ى َ اس ٌم م ْن أَفْػ ََت الْ َعاِلُ إ َذا بَػ ن ْ َ َ َُ َ َ َ َ َ 1 ِ ت ْ ْ اْلُ ْك َم َو َ ْيػتُوُ َسأَلْتُوُ أَ ْف يػُ ْف2استَػ ْفتَػ
“Fatwa tertulis dengan huruf Wawu dengan harakat Fathah dan dengan huruf Ya dengan Dhamah,3 merupakan kata benda dari Fatwa seorang „alim (berilmu) jika ia menjelaskan ilmu, Wastaftaituhu artinya “Aku menanyakannya agar ia berfatwa”. Menurut Ibnu Manzûr dalam kamusnya:
ِ ِ ُ َما أَفَت بِو الْ َفقيو:وال ُفْتػيَا وال ُفْتػ َوى وال َفْتػ َوى
4
“Dan futyâ, futwâ dan fatwa adalah sesuatu yang difatwakan oleh ahli fikih” Dalam kajian fikih, fatwa tidak terlepas dari bab ijtihad, karena bahasan fatwa merupakan bagian dari fatwa. Al Qur‟an menyebutkan kata-kata terkorelasi dengan fatwa seperti dalam firman Allah: 127
:[٤](النِ َساء... اَّللُ يػُ ْفتِي ُك ْم فِي ِه نن ك ِِف النِّ َس ِاء قُ ِل ن َ ََويَ ْستَػ ْفتُون
1
„Ali al Fayûmi Abû al Abbâs, Al Misbâh al MunîrFî Gahrîb Syarh al Kabîr, Jilid II, ( Beirut: Maktabah al Ilmiyah,tt) h. 464 2 Vokal „A” 3 Vokal “U” 4 Ibnu Manzûr, Lisân al „Arab, Jilid XV, (Beirut: Dâr As Shâdir,1414H) h. 148 bagian wa-ya-fa
79
80 “Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita Katakanlah,”Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka…”(QS. An Nisâ [4]:127 Dapat disimpulkan bahwa secara bahasa fatwa adalah produk yang dihasilkan oleh ahli fikih atau ulama secara umum atas permasalahan atau pertanyaan pihak-pihak yang meminta fatwa. Adapun orang atau pihak yang mengeluarkan atau menjelaskan sebuah fatwa atau disebut sebagai mufti. Sedangkan menurut istilah muncul beberapa pendapat terkait istilah mufti, diantaranya: Menurut as Syâtibî yang disebut dengan mufti adalah: 5
ِ ِ ِ ِ ِ .اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلن َم صلنى ن َ نب ِّ الْ ُم ْفت قَائ ٌم ِف ْاْلُنمة َم َق َاـ الن
“Mufti adalah orang yang tegak diatas umat (qâim)6 seperti posisi Nabi Muhammad Shalallahu „Alaihi wa Sallam.” Menurut Ibnu Hamdân, yang dimaksud dengan mufti adalah:
ِ ِ اَل لِع ِرفَتِ ِو بِ َدلِيلِ ِو ىو الْمخِب عن هللا ِب كم ِو َوقيل َ ُ ْ ُ َُ ْ َ ُى َو الْ ُم ْخِبُ بُ ْك ِم هللا تَػ َع 7 ِ ِ ْ ُىو التَم ِّكن ِمن م ْع ِرفَةَ أ الوقَائِ ِع َشْر ًعا ِِبلدنلِ ِيل َم َع ِح ْف ِظ ِو ِْلَ ْكثَ ِر الْف ْقو َ ْ ُ َُ َ َ َح َكاـ “Yaitu orang yang memberitahukan hukum Allah dengan pengetahuan dalil, ia juga memberitahukan tentang Allah dengan hukum-hukumNya, pendapat lain mengatakan mufti adalah orang yang mumpuni dengan mengetahui hukum-hukum yang ada dalam syariat, disertai dalil dan mampu menghafalnya karena banyak pemahamannya.” Menurut Ibnul Qayyim al Jauziyah:
الػ ْف ِت ُى َو ال ْخِبُ َع ِن ُح ْك ِم هللا َغ َي ُمنَػ ِّف ٍذ ُ mengabarkan hukum Allah ُdan bukan 8
“Mufti adalah dia yang pelaksana hukumnya”
5
Imam As Syâtibî, Al Muwâfaqât, Jilid V (t.tp: Dâr Ibnu Affân, 1417H) h.235 Maksud tegak diatas umat adalah mufti mewarisi ilmu-ilmu syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW secara umum, ia juga mengajarkan bagi orang-orang yang belum memahami, mendakwahkan kebenaran dan mengingatkan manusia jika terjadi penyimpangan. 7 Ibnu Hamdân bin Syabîb, Sifat al Fatwa wa al Mufti wa Al Mustafti, (Beirut: Maktabah al Islami,1397H) h. 4 8 Ibnul Qayyim al Jauziyah, I‟lâm al Muwaqi‟in „An Rabb al „Alamîn, Jilid VI (Saudi Arabia; Dâr Ibnul Jauzy li An Nasyr wa at Tauzi‟,1423H) h. 41 6
81 Fatwa memiliki kedudukan penting dalam hukum islam, mufti merupakan ulama yang disegani dan diakui baik secara kuantitas maupun kualitas keilmuannya. Ulama juga merupakan pewaris dan penerus risalah para nabi, tentu mereka memutuskan atau mengeluarkan fatwa dengan berbagai pertimbangan maslahat kepada khalayak luas. Karena tidak mungkin umat ini bersatu dalam sebuah keburukan, seperti disebutkan dalam hadits Nabi:
ٍ ِ وقُػتػيػبةُ بن سع، وأَبو النربِي ِع الْعت ِكي،يد بن مْنصوٍر ِ : قَالُوا،يد ُ َ ُ َ ُ ْ ُ َح ندثػَنَا َسع َ ُ ْ َ ْ َ َ ُّ ََ ٍ َع ْن،ََْسَاء ْ َع ْن أَِِب أ،َ َع ْن أَِِب قِ ََلبَة،وب ٌ َح ندثَػنَا ََحن َ ُّ َع ْن أَي،اد َوُى َو ابْ ُن َزيْد ِ ُ اؿ رس «ََل تَػَز ُاؿ طَائَِفةٌ ِم ْن أُنم ِت:صلنى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلن َم َ َ ق،ثػَ ْوَِب َف َ وؿ هللا ُ َ َ َ ق:اؿ ِ ِ ِ ك ْ ين َعلَى َ َح نَت ََيِْتَ أ َْمُر هللا َوُى ْم َك َذل،ضُّرُى ْم َم ْن َخ َذ ََلُْم ُ َ ََل ي،اْلَِّق َ ظَاى ِر 9 ) (رَواهُ ُم ْسلِ ٌم َ
“Telah menceritakan kepadaku Sa‟îd bin Mansûr, dan Abû Ar Rabî‟ al „Atakiy dan Qutaibah bin Sa‟îd berkata,”Telah menceritakan kepada kami Hammâd dan dia putra Zaid adi Ayûb dari Abî Qilâbah, dari Abî Asmâ dari Tsaubân berkata,” Bersabda Rasulullah SAW,”Akan senantiasa ada segolongan umatku yang menegakkan kebenaran, mereka tidak gentar dengan orang yang menghalanginya, hingga datang hari kiamat mereka tetap tegak dalam kebenaran”.(HR. Muslim) Imam An Nawawi mendeskripsikan betapa beratnya tanggung jawab seorang mufti seperti beliau sebutkan dari Abdurrahman bin Abî Lailâ ia berkata,”Aku mengetahui 120 orang sahabat Rasulullah dari kalangan Anshar ditanya oleh seseorang terkait sebuah permasalahan, namun mereka melemparkan ini ke itu hingga kembali ke urutan pertama.”10 Beliau juga mengatakan bersumber dari Atha bin Saib menyebutkan bahwa ada seseorang bertanya kepada segolongan mereka ditanya, dan seseorang diantara mereka menjawab dengan bergetar tubuhnya”. 11 Begitu juga Imam Syafi‟i saat ditanya tentang sebuah permasalahan, namun beliau tak menjawab, hingga berkata,” Aku diam hingga aku tahu manakah yang lebih utama, diam atau berbicara”.12 Imam Malik pernah ditanya dengan 9
Imam Muslim bin al Hajâj An Naisabûri, Sahîh Muslim, Jilid III, ( Beirût: Dâr Ihyâ At Turats,tt) tahqiq Muhammad Abdul Baqi, h. 1523 No. 1920 10 Imam An Nawawi, Adâb al Fatwâ wal Muftî wal Mustaftî, (Damaskus: Dâr al Fikr,1408H) h. 14 11 Imam An Nawawi, Adâb al Fatwâ wal Muftî wal Mustaftî, h. 15 12 Imam an-Nawawi, Adâb al- Fatwâ wal Muftî wal Mustaftî, h. 15
82 lima puluh pertanyaan, namun beliau tidak menjawab satupun dari pertanyaan tersebut, lalu beliau berkata,” Barangsiapa yang ditanya dengan sebuah pertanyaan, hendaklah ia berfikir sebelum menjawab, apakah dirinya menghadapkan diri kepada neraka atau surge, hingga ia ambil kesimpulan barulah ia menjawab”.13 Imam An Nawawi juga menyebutkan tentang kategori orang atau pihak yang berhak memberikan fatwa diantarnya:14 a. Memiliki kapasitas keilmuan yang diakui oleh mayoritas ulama yang bersumber dari Al Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas. b. Memiliki sifat-sifat mulia, wara‟ dan jauh dari kepentingan hawa nafsu. c. Muslim, dapat dipercaya dan menjaga amanah dan memiliki sifat-sifat terpuji. d. Jauh dari sifat-sifat tercela. e. Mengetahui maqashid Syariah, dan mampu memilah-milah kebaikan (maslahat) dan keburukan (mafsadat). f. Mampu beristimbat dengan dalil-dali dalam hukum islam dan permasalahan seputarnya. Bahkan Ibnu Shalâh menyebutkan sudah seharusnya seorang mufti tidak terpengaruh dengan hubungan kekerabatan kepada orang yang meminta fatwanya (al-mustafti) sehingga sikapnya tidak berat sebelah atau terpengaruh karena hubungan persaudaraan atau kekerabatan tersebut, juga tidak terpengaruh dengan permusuhan, jka mereka memiliki permasalahan, karena kedudukan mufti ibarat kedudukan perawi dalam ilmu hadits, kepercayaan (tsiqah) atas apa yang di fatwakan.15 Adapun adab-adab yang harus dimiliki oleh seorang mufti adalah sebagai berikut: a. Mufti harus menjawab dengan jawaban yang jelas, tidak berbelit-belit dalam prinsip kebaikan dan kebenaran. b. Jawaban dengan lisan lebih utama, karena langsung didengar oleh orang yang meminta fatwa, dan bahasa lisan lebih lugas dibanding bahasa tulisan. Namun dibolehkan jika mufti mengeluarkan fatwanya via tulisan, apalagi kondisi zaman yang sudah modern. c. Senantiasa menyerahkan diri dan berlindung kepada Allah atas fatwa yang dikeluarkan, Makhul dan Imam Malik, mereka tidak berfatwa melainkan setelah membaca kalimat, Lâ Haula walâ Quwwata Illâ Billâh, (tiada daya dan kekuatan melainkan dari Allah). d. Mufti memberikan jawaban dengan berdasarkan Al Qur‟an, Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas. Setelah itu ia boleh berijtihad. 13
Imam an-Nawawi, Adâb al- Fatwâ wal Muftî wal Mustaftî, h. 16 Imam an-Nawawi, Adâb al-Fatwâ wal Muftî wal Mustaftî, h. 20-22 15 Imam an -Nawawi, Adâb al-Fatwâ wal Muftî wal Mustaftî, h. 19 14
83 Dalam kajian Ushul Fikih ada tiga rukun dalam hal fatwa yaitu: ada orang atau pihak yang mengeluarkan fatwa yang lebih sering dikenal dengan mufti, ada juga orang atau pihak yang meminta fatwa selanjutnya dikenal dengan al-mustafti, dan produk fatwa (al-mustafta fih) 2.
Kedudukan Ijtihad dan fatwa dalam hukum Islam
Pembahasan fatwa tak terlepas dari pembahasan ijtihad dalam kajian ushul fikih, karena fatwa merupakan bagian dari ijtihad. Karena seorang mufti dituntut mengetahui dalil-dalil syariat dan pembahasan serta tata cara istimbat hukum didalamnya. Menurut Imam Al Ghazâli, pengertian ijtihad dalam Kitab al Mustashfâ adalah sebagai berikut:
ِ ِ ِ ِ ِ استِ ْفَر ِاغ الْ ُو ْس ِع ِِف فِ ْع ٍل ِم ْن ُ اَل ْجت َه ْ اد َوُى َو عبَ َارةٌ َع ْن بَ ْذؿ الْ َم ْج ُهود َو ِ ِ اجتَػ َه َد ِِف ََحْ ِل ُ فَػيُػ َق،يما فِ ِيو ُك ْل َفةٌ َو َج ْه ٌد ْ :اؿ َ َوََل يُ ْستَػ ْع َم ُل نإَل ف،ْاْلَفْػ َعاؿ ِ ظ ِِف عر ِ ٍ ؼ ُ َوََل يػُ َق،َح َج ِر النر َحا ْ :اؿ َ لَك ْن،اجتَػ َه َد ِِف ََحْ ِل َخْرَدلَة ُْ ُ ص َار اللن ْف ِ ِ َالْعلَم ِاء َمَْصوصا بِب ْذ ِؿ الْمجتَ ِه ِد وسعو ِِف طَل .َح َك ِاـ ال نش ِر َيع ِة َُ ْ ُ ْ ُ ْ ب الْع ْل ِم ِِب َ ً ُ َُ ِ ِ ِ َناـ أَ ْف يَػْب ُذ َؿ الْو ْس َع ِِف الطنل س ِم ْن نَػ ْف ِس ِو ِِبلْ َع ْج ِز ُّ اد الت ُ ب ِبَْي ُّ ث ُُِي ُ َواَل ْجت َه ُ ِ عن م ِز 16 ٍ يد طَلَب َ َْ
“Ijtihad adalah ungkapan dari mengerahkan segala kemampuan, mengeksplorasinya dalam sebuah perbuatan atau pekerjaan tertentu, ungkapan ini tidaklah dipergunakan melainkan pada sesuatu yang mengandung beban berat dan sungguh-sungguh. Seperti dikatakan,”Seseorang bersungguh-sungguh dalam membawa batu besar, tidak dikatakan, seseorang bersungguh-sungguh dalam membawa biji kecil, akan tetapi lafaz ini dikenal dikalangan para ulama khusus untuk mengerahkan kesungguhan dan kemapuan dalam mencari pengetahuan tentang hukum syariat. Ijtihad yang sempurna adalah bila mana seseorang mengerahkan segala kemampuannya sampai pada titik ketidakmampuan lagi untuk mencari tambahan lagi.
16
Abû Hâmid al- Ghazâlî, Al Mustashfâ, ( Beirut: Dâr al Kutub al Ilmiyah, 1413H)
h. 342
84 Tidak jauh berbeda, Imam Al Ậmidi dalam al Ihkâm mendefinisikan ijtihad dalam dua hal, secara bahasa dan istilah. Adapun secara bahasa beliau menyebutkan:
ِ ِ استِ ْفَر ِاغ الْ ُو ْس ِع ِِف ََْت ِق ِيق أ َْم ٍر ِم َن ْاْل ُُموِر ُم ْستَػ ْل ِزٍـ ْ فَػ ُه َو ِِف اللُّغَة عبَ َارةٌ َع ِن :اؿ ُ َوََل يػُ َق،ِاجتَػ َه َد فََُل ٌف ِِف ََحْ ِل َح َج ِر الْبَِز َارة ُ َوَِلََذا يػُ َق،لِْل ُك ْل َف ِة َوالْ َم َش نق ِة ْ :اؿ 17 ٍ .اجتَػ َه َد ِِف ََحْ ِل َخْرَدلَة ْ Secara bahasa Ijtihad adalah ungkapan untuk mengerahkan segala kemampuan dalam mencapai kebenaran suatu perkara yang mengandung beban berat dan kesulitan, oleh karena itu dikatakan,” Fulan bersungguh-sungguh membawa batu besar, tidak dikatakan Fulan bersungguh-sungguh membawa biji kecil.
Sedangkan secara isilah beliau menyebutkan:
ِ وأَنما ِِف اص ِط ََل ِح ْاْل ِ َوص ِِب ْستِ ْفر ِاغ الْو ْس ِع ِِف طَل ب الظن ِّن َ ُِّصولي ْ ٌ ص ُ َّي فَ َم ْخ ُ َ ُ َ ِ س الْعجز ع ِن الْم ِز ِ ُّ بِ َشي ٍء ِمن ْاْلَح َك ِاـ الشنر ِعين ِة علَى وج ٍو ُُي يد َ َْ َ ْ ْ َ ْ َ َ ُ ْ َ ِ س م َن النػ ْف 18 ِ ِ .فيو Sedangkan secara istilah ahli ushul, ijtihad dikhususkan dalam hal mengerahkan segenap kemampuan dalam mencari dugaan sesuatu hukum syariat atas dasar rasa jiwa, yang tak membutuhkan pencarian lain lagi. Dari penjelasan diatas, menurut hemat penulis yang dinamakan ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syariat dari sumber-sumber yang mendukung, saat sebuah hukum tak disebutkan dalam Al Qur‟an maupun As Sunnah. Orang yang melakukan ijtihad dinamakan Mujtahid. Untuk itulah diperlukan sosok dengan memiliki syarat-syarat tertentu diantaranya:19
17
Al Ậmidi, Al Ihkâm fî Ushûl al Ihkâm, Jilid IV (Beirut: al Maktabah al Islâmiy,
tt) h. 162 18
Al Ậmidi, Al Ihkâm fî Ushûl al Ihkâm h.162 Abû Hâmid Al Ghazâlî, Al Mustashfâ h.342
19
85 a. Mengetahui mayoritas umum (muhîthan) pengetahuan syariat serta mampu untuk memilahnya dengan kemungkinan maksimal untuk menganalisa hukum-hukum tersebut. b. Adil dan tidak berbuat maksiat yang bisa mengurangi kadar keutamaan dalam fatwanya. c. Memiliki pengetahuan dalam empat bidang yaitu Al Qur‟an, Hadits, Ijma‟ dan akal. d. Mengetahui ilmu bahasa Arab dan cabangnya seperti Nahwu, Sharaf dan lainnyayang berfungsi memahami teks dan maksud logika dalam literatur Arab. e. Mengetahui ilmu-hadits dan periwayatannya, sehingga bisa memilah mana riwayat yang sahihah ( benar) dan fasidah (rusak). Menurut Hamdân An Numairi Al Harâni, mujtahid terbagi menjadi empat golongan yaitu: Mujtahid Mutlak, Mujtahid Mazhab tertentu, Mujtahid dalam ilmu tertentu dan mujtahid dalam masalah tertentu.20 Yang dinamakan mujtahid mutlak adalah:
ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ُظ وفَ ِهم أَ ْكثَػر الْ ِف ْق ِو وأ ِ ُص ْولو َوأَدلنتو ِِف َم َسائلَو ُ َ َ َ َ َ الْ ُم ْجتَه ُد ُمطْل ًقا فَػ ُه َو َم ْن َحف ِ َح َك ِاـ الشْنرِع فِ َيها ِِبلدنلِ ِيل َو َسائِر ْ َإِ َذا َكان ْ ت لَوُ أ َْىلينةٌ ََت نمةٌ ُُيكنوُ َم ْع ِرفَةَ أ ِالوقَائِع إِذاَ شاء فَِإ ْف َكثػرت ا ِ صلَ َح َم َع بَِقين ِة الشُُّرْو ِط أَ ْف يػُ ْف ت و ت ػ ب ا ص ُ ْ َُ ُ َ َ َ َ َ ََ َ 21 ِ َويَػ ْقض َي
“Mujtahid mutlak adalah siapa yang hafal dan memahami banyak hal dalam fikih dan ushul fikih, dalil-dalil dalam permasalahannya, ia memiliki kemampuan sempurna yang memungkinkan untuk mengetahui hukum-hukum syariat berdasarkan dalil-dalil dan segala kejadian jika ia mampu, sehingga kebenarannya lebih banyak, maka ia layak berfatwa ditambah dengan syarat-syarat lain”. Sedangkan mujtahid dalam mazhab tertentu maksudnya adalah seseorang yang sudah mencapai derajat mujtahid namun hanya dalam ranah mazhabnya saja, misalnya seseorang yang menguasai mazhab Syafi‟i dan fokus didalamnya namun tidak menguasai mazhab lain. Begitu juga dengan mujtahid yang hebat dalam ilmu tertentu tidak dalam ilmu lain, atau dalam masalah lainnya. Hukum yang dijadikan objek ada dua macam, yaitu hukum syar‟i (syariat) dan hukum „aqli (akal). Hukum syariat terkait dengan 20
Hamdân An Numairi al Harâni al Hambali, Sifatu al fatwa wal Mufti wal Mustafti, ( Beirut: Maktabah al Islami, 1397 H) h. 16 21 Hamdân An Numairi al Harâni al Hambali, Sifatu al fatwa wal Mufti wal Mustafti h. 15
86 permasalahan agama secara spesifik, sedangkan hukum akal terkait dengan proses pemahaman dalam pokok agama, misal hukum akal adalah bagaimana alam tercipta dalam urutan struktur dan waktu, bisa dibuktikan dengan akal, meski kadang akal tak mampu menjangkaunya. Sedangkan hukum syar‟i biasanya terkait dengan hukum yang dibolehkan berijtihad maupun yang tidak boleh. Seperti shalat, puasa, haramnya zina, khamar dan sebagainya. Sehingga dalam hal ini jika ada orang yang mengingkari kebenaran hukumnya dengan sadar dan sengaja, maka ia telah mendustakan Allah dan Rasul-nya. Adapun wilayah yang dibolehkan berijtihad adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dan ahli fikih atas dua pendapat atau lebih.22 Sehingga masing-masing ulama menggunakan pendapatnya sendiri berdasarkan dalil-dalil yang sesuai dengan pendapat yang dianutnya. Dan orang yang boleh berijtihad adalah para ulama yang memnag memiliki kapasitas yang telah penulis sebutkan diatas, bukan orang awam yang tidak memenuhi syarat untuk berijtihad.23 Pada prinsipnya ada dua keutamaan bagi kalangan yang sudah sampai pada derajat mujtahid, seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW:
ِِ يد بْ ِن َ َع ْن يَِز،َخبَػَرََن َعْب ُد الْ َع ِزي ِز بْ ُن ُُمَ نم ٍد ْ أ،َح ندثػَنَا َُْي ََي بْ ُن َُْي ََي التنميم ُّي ٍ ِ عن بس ِر ب ِن سع، عن ُُم نم ِد ب ِن إِبػر ِاىيم،عب ِد هللاِ ب ِن أُسامةَ ب ِن ا َْل ِاد َع ْن،يد َْ َ ْ ْ ُ ْ َ َ َْ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ ِوؿ هللا ِ َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن الْ َع،اص ِ َم ْوََل َع ْم ِرو بْ ِن الْ َع،س ٍ أَِِب قَػْي َ أَنوُ َِْس َع َر ُس،اص ِ ْ «إِ َذا ح َكم:اؿ َ َصلنى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلن َم ق ُ فَػلَو،اب ْ َاْلَاك ُم ف َ َص َ اجتَػ َه َد ُثُن أ َ َ َ 24 ِ ِ أ )(رَواهُ ُم ْسل ٌم. ْ اجتَػ َه َد ُثُن أ ْ فَػلَوُ أ،ََخطَأ ْ َ َوإِذَا َح َك َم ف،َجَراف ْ َ َجٌر “Telah menceritakan kepada kami, Yahya bin Yahya, at Tamimiy, telah mengabarkan kepada kami Abdul Azîz bin Muhammad, dari Yazîd bin Abdillah bin Usâmah bin al Hâd, dari Muhammad bin Ibrâhim, dari Busr bin Sa‟îd, dari Abî Qais, pelayan „Amr bin al Ậsh, dari „Amr bin al Ậsh, ia mendengar Rasulullah SAW bersabda,” Jika seorang hakim berijtihad, kemudian meraih kebenaran, maka baginya 22
Abû Ishâq as Sairâzi, al Luma‟ fî Ushûl al Fikh, ( t.tp: Dâr al Kutub al Ilmiyah, 1424 H) h. 130 23 Ahmad Al Marwazi as Sam‟ânî, Qawâthi‟ul Adillah Fî al Ushûl, Jilid II ( Beirut:Dâr al Kutub Al Ilmiyah, 1418 H) h. 302 24 Imam Muslim, Sahih Muslim, Jilid III, ( Beirut: Dâr Ihyâ at Turâts al „Arabi, tt) h. 1342 No. 1716
87 dua pahala, dan jika ia berijthad kemudian salah maka ia mendapatkan satu pahala”.(HR. Muslim) Para ulama bersepakat bahwa ada persamaan dan perbedaan antara hakim dan fatwa dalam beberapa hal, adapun persamaan fatwa dan hakim adalah sama-sama menjelaskan syariat dan cabang-cabang didalamnya. Sehingga tidak akan dijumpai fatwa atau hukum bolehnya melanggar aturan syariat yang telah ditetapkan Allah. Adapun perbedaan antara fatwa dan hakim diantaranya adalah sebagai berikut: Pertama, Mufti hanyalah sebagai mukhbir (orang yang menyampaikan hukum) atas permasalahan yang diajukan kepadanya sifatnya fatwa adalah tabligh (menyampaikan) dan produk fatwa statusnya adalah ghairu ilzam (tidak menekan) dalam arti bisa jadi fatwa dalam suatu negara berlaku dan ditaati hanya oleh warga negara tersebut, dan tidak mengikat untuk warga negara yang lain, sedangkan hakim, memutuskan perkara saat terjadi perselisihan antara kedua belah pihak. Seperti disebutkan oleh Imam al Qarrâfi dalam kitabnya ketika ditanya tentang hakikat hukum yang dilakukan oleh seorang hakim, beliau menjawab:
ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ُيما ي َق ُع فيو النّزاع َ أ نو إنشاءُ إطَلؽ أَْو إلزاـ ِف َم َسائ َل اإلجتهاد التقارب ف 25 ُّ صالِ ْح الدنْػيَا ْ لػَِم ػ “Mengkonstruksikan secara mutlak dan mengikat hukum dalam masalah ijtihad yang berdekatan, yang terjadi perselisihan untuk kemaslahatan di dunia”.
3.
Jenis-jenis cara menyampaikan fatwa
Seseorang yang dimintai fatwa untuk zaman ini tidak seperti pada zaman nabi Muhammad atau sahabat atau pada masa imam-imam mazhab. Kondisi masyarakat dan kemampuan seseorang untuk mencapai derajat mujtahid mutlaq dengan syarat-syarat yang begitu lengkap sangat sulit ditemukan. Oleh karena itu untuk saat ini lebih kepada ijtihad secara bersama-sama para alim ulama dalam sebuah wadah yang dinaungi oleh negara tertentu, seperti di Indonesia kita mengenal Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ada beberapa cara untuk menyampaikan fatwa diantaranya: a. Fatwa dengan Ucapan Ini merupakan cara yang paling efektif ketika ada orang bertanya tentang suatu hal kemudian dijawab oleh seorang mufti secara langsung melalui 25
Imam al Qarrâfi, Al Ihkâm fî Tamyiz al Fatâwâ, an al Ahkâm wa at Tasharufât al Qâdhi wa al Imâm, (Beirut: Dâr al Basyâir al Islâmiyah li Tauzi wa An Nasyr,1416H) h.33
88 ucapannya, dan tingkat validitas kabar dari mufti langsung lebih utama, karena biasanya sebuah kabar atau berita ketika disampaikan dari orang ke orang sering ada penambahan dan pengurangan didalamnya. Untuk itulah kita diperintahkan untuk bertanya kepada orang yang memang ahli di bidangnya, seperti dalam firman Allah:
43:
ِ ِ [۱٦]نحل ْ ورةُ اَلن ْ َف ُ اسأَلُوا أ َْى َل ال ّذ ْك ِر إ ْف ُكْنػتُ ْم ََل تَػ ْعلَ ُمو َف َ (س
…Maka bertanyalah kepaa orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”. (QS. An Nahl [16]:43) Abdurrahman Nâshir As Sa‟di ketika menafsirkan kalimat
(أَ ْى َل ال ِّذ ْك ِرahlu
dzikr) yaitu mereka orang-orang berilmu yang memahami dan mengajarkan ajaran dari kitabullah. Ini juga merupakan penghargaan Allah kepada para ulama Ahli ilmu yang benar-benar bertanggungjawab dengan keilmuan yang mereka miliki. Dan orang-orang ahlu dzikr adalah ahlul qur‟an mereka yang dekat dengan Al Qur‟an”.26 b. Fatwa dengan perbuatan Merupakan perbuatan yang Rasulullah dahulu ajarkan kepada para sahabat, sehingga perbuatan tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan, atau penjelasan tentang sebuah hukum agama. Seperti bagaimana Rasulullah mengajarkan manasik haji kepada para sahabat dalam sabdanya:
ِ َجيعا عن َِ ، وعلِي بن خ ْشرٍـ،اؽ بن إِبػر ِاىيم ِ ِ ْيسى ب ،س ن و ي ن ع ُ َ ً ُ ْ َ َ ُ ْ ُّ َ َ َ َ ْ ُ ْ ُ َح ندثػَنَا إ ْس َح َ َ ِ أَخبػرََن:اؿ ابن خ ْشرٍـ أَنوُ َِْس َع،الزبَػ ِْي ع ُّ َخبَػَرِِن أَبُو ْ أ، َع ِن ابْ ِن ُجَريْ ٍج،يسى َ َ َ ْ َ َ ُ ْ َ َق ِ " رأَيت النِنب صلنى هللا علَي ِو وسلنم يػرِمي علَى ر:وؿ احلَتِ ِو يَػ ْوَـ َ يَػ ُق ُ َ ْ ُ ن،َجابًِرا َ َ َْ َ َ َ ْ َ ُ ِ ِ ُ ويػ ُق،الننح ِر ِ ِ َح ُّج بَػ ْع َد ُ فَإِِّن ََل أ َْد ِري لَ َعلّي ََل أ، «لتَأْ ُخ ُذوا َمنَاس َك ُك ْم:وؿ ََ ْ ِِ 27 ِ )(رواهُ ُم ْسل ٌم َ َح نج ِت َىذه “Telah menceritakan kepada kami Ishâq bin Ibrâhim, dan Ali bin Hasyram, semuanya dari Isâ Bin Yûnus, berkata Ibnu Hasyram, telah 26
Abdurrahman Nashir as Sa‟diy, Taisîr al Karîm Ar Rahmân Fî Tafsîr Kalâm al Manân, Jilid (Beirut: Muassasah Ar Risâlah, 1420 H) h. 441 27 Imam Muslim, Sahih Muslim, Jilid II ( Beirut: Dâr Ihya Turâts al Araby, tt) h. 943 No.1297 Bab Istihbab Ramyul Jamarat
89 mengabarkan kepada kami, Isa, dari Ibnu Juraij, telah mengabarkan kepadaku Abû az Zubair, ia mendengar Jâbir berkata,”Aku melihat nabi SAW melempar Jumrah diatas tunggangannya, dan bersabda,” Hendaklah kalian meniru manasikku, karena aku tidak tahu mungkin tak akan berhaji lagi setelah hajiku ini.”(HR. Muslim) c. Fatwa dengan Tulisan Tulisan merupakan alat yang penting dalam menyampaikan pesan, begitu juga dalam menyampaikan kabar terutama jika si pemberi kabar jauh tempatnya atu ada kendala-kendala lain yang menyebabkan fatwa tersebut tidak bisa disampaikan secara lisan langsung. Tulisan dibolehkan dalam menyampaikan pesan atau hukum tertentu seperti yang disebutkan oleh Ibnu Quddâmah ketika menukil pendapat Abû Hanifah:
28 ٍ
ب َإَل َغ ِْي ُم َع نَّي ُ ََُل ََي َ ُوز أَ ْف يَ ْكت
“Tidak dibolehkan menuliskan kepada orang yang tidak jelas ditentukan”. Namun ibnu Quddâmah kemudian meneruskan dalam penjelasannya,”
ِِ ِ ِ ِ َك َما لَ ْو،ُ فَػلَ ِزَموُ قَػبُولُو،ص َل َإَل َحاكِ ٍم َ َو،اب َحاك ٍم م ْن ِوََليَتو ُ َ أَنوُ كت،َولَنَا 29 ِ ِ ِ ِ ِ .اب إلَْيو ب َعْينو ُ ََكا َف الْكت
“Menurut kami, tulisan seorang Hakim kepada yang bawahannya sampai kepada mereka, dan hukumnya mengikat untuk diterima, juga bila tulisan itu diperuntukkan kepada seseorang tertentu”. Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tulisan merupakan sarana untuk menyampaikan hukum tertentu dan kondisinya mengikat. d. Fatwa dengan Isyarat Fatwa dengan isyarat dilakukan bagi orang yang meminta fatwa namun ia memiliki keterbatasan, misalnya tuli, atau bisu. Sehingga seorang mufti dibolehkan dengan menggunakan isyarat dalam menjelaskan hukum tertentu, namun hal ini dilakukan pada kondisis tertentu, tidak semua kondisi dan untuk orang-orang tertentu saja. Rasulullah bersabda:
، َع ْن َس ٍِاِل،َخبَػَرََن َحْنظَلَةُ بْ ُن أَِِب ُس ْفيَا َف َ َ ق،َح ندثَػنَا ال ِّك ُّي بْ ُن إِبْػَر ِاى َيم ْ أ:اؿ َِ ِ ِ ن ن ِ ِ ،ض العلْ ُم َ َصلى هللاُ َعلَْيو َو َسل َم ق َ َق ُ َْس ْع:اؿ ُ َ «يػُ ْقب:اؿ َ نب ِّ ت أ ََِب ُىَريْػَرةَ َعن الن 28
Ibnu Quddâmah, Al Mughni, Jilid X, ( Kairo: Maktabah al Qâhirah, 1388 H) h.83 Ibnu Quddâmah, Al Mughni h. 83
29
90
ِ ِ :اؿ َ َوَما اَلَْر ُج؟ فَػ َق،ِاَّلل َ يل ََي َر ُس وؿ ن َُ َويَظْ َهُر اجلَ ْه ُل َوالف َ ق،» َويَ ْكثُػُر اَلَْر ُج،َت 30 )(رواهُ البُ َخا ِر ْي ُ َكأَنوُ يُِر،« َى َك َذا بِيَ ِدهِ فَ َحنرفَػ َها َ يد ال َقْت َل “Telah menceritakan kepada kami al Makki bin Ibrâhim, ia berkata,” Telah menceritakan kepada kami Handzalah bin Abî Sufyân, dari Sâlim, ia berkata,” Aku mendengar dari Abû Hurairah dari Nabi SAW bersabda,”Ilmu akan diikat,akan muncul kebodohan dan fitnah akan muncul banyak al Haraj, Rasulullah ditanya, apakah al Haraj itu? Beliau menjawab,”Seperti ini, dengan isyarat tangannya sambil menggerakkan, seperti membunuh”.(HR. Al Bukhâri)
4.
Hubungan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Hukum negara
Para ulama di Indonesia yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia, memiliki otoritas dan kewenangan untuk memberikan pencerahan dan jawaban atas permasalahan yang diajukan oleh masyarakat atau problematika yang berkembang dimasyarakat yang memerlukan pijakan dan pondasi hukum islam yang jelas. Karena pendapat yang mereka keluarkan sesuai dengan pertimbangan syariah, demikian dijelaskan oleh Zafrullah Salim SH, M. Hum, Ditjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkum Ham dalam konteks MUI, ia juga menambahkan fatwa merupakan implementasi dari khidmatul ummah (berkhidmat untuk ummat). Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI berperan untuk mentransformasikan makna hukum islam yang bersifat umum kedalam kasuistik khusus yang terjadi di masyarakat.31. Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu‟ama (tokoh agama) dan cendikiawan islam di Indonesia, berperan untuk membimbing, membina, dan mengayomi kaum muslimin di Indonesia. MUI berdiri pada 7 rajab 1395 H atau betepatan dengan 26 Juli 1975 di Jakarta. Sejarah awal berdirinya MUI merupakan hasil dari pertemuan enam ornag ulama yang mewakili 26 propinsi, yang merupakan unsur-unsur ormas isalm tingkat pusat yaitu, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Perti, Al Washliyah, Math‟laul Anwar, Syarikat Islam, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Udara, Laut dan Polri serta 13 orang lainnya. Selanjutnya pertemuan itu menghasilkan kesepakatan yang tertuang dalam .
30
Imam Al Bukhari, Shahih Al Bukhâri, Jilid 1, ( Damaskus: Dâr Thûq an Najat, 1422 H) h. 28 No. 85 Bab Man Ajâba al Futyâ Bii syârât al Yad wa Ra‟s 31 www.halalmui.org/newMUI/index.php/main diakses pada 13 Juli 2016
91 Piagam Berdirinya MUI, yang selanjutnya disebut sebagai MUNAS Ulama I. dalam perjalanannya MUI memeliki beberpa peran strategis diantaranya:32 a. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang di ridhai Allah Subhanahu wa Taala. b. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah islamiyah dan kerukunan antar umat beragama dalam memamntapkan persatuan dan kesatuan bangsa. c. Menjadi penghubung antara ulama dan umara dan penterjemah antar umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional. d. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendikiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan isnformasi secara timbal balik. Selain itu dalam pengabdiannya Majelis Ulama Indonesia memiliki lima fungsi dan peran utamanya yaitu: a. Sebagai pewaris tugas-tugas para nabi (waratsatul anbiya) b. Sebagai mufti (pembuat fatwa) c. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riayah wa Khadim al Ummah) d. Sebagai gerakan Islah wa Tajdid (pembaharuan) e. Sebagai penegak amar ma‟ruf dan nahy munkar. Kemudian terkait dengan polemik apakah fatwa Majelis Ulama Indonnesia bersifat mengikat atau tidak, jika kita telusuri dari aspek hukum klasik memang kedudukan fatwa itu ghaira ilzam (tidak mengikat) atau opsional, artinya boleh diikuti dan boleh tidak. Maksudnya jika ada lebih dari satu fatwa dari satu masalah yang sama, maka umat boleh memilih mana yang lebih memberikan ketenangan baik secara efek maupun secara argumentatif maupun secara bathin. Namun kondisi sekarang memungkinkan sebuah fatwa bersifat mengikat mengingat tidak semua orang berkompeten dalam bidang agama, apalagi MUI merupakan sebuah lembaga yang berisi pada ulama dari berbagai ormas Islam yang ada di Indonesia, tentu keberadaanya merupakan representasi para Ulama Indonesia secara umum, oleh karenanya fatwa MUI memiliki kekuatan penuh dalam mengatasi problematika syariat.33 Terkait dengan status anak, pernikahan di bawah tangan di Indonesia lebih populer dengan sebutan „nikah sirri‟. Istilah nikah dibawah tangan 32
http://mui.or.id/sekilas-mui&ei diakses 13 Juli 2016 http://www.agustiantocentre.com/?p%3D326&ei=qilTAN diakses 14 Juli 2016
33
92 muncul setelah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan berlaku secara efektif pada tanggal 1 oktober 1975. Nikah ini pada dasarnya kebalikan dari nikah yang dilakukan sesuai hukum yang berlaku. Atau dengan kata lain nikah dibawah tangan adalah nikah yang dilakukan diluar hukum negara, sehingga tidak memiliki akibat hukum baik pengakuan maupun perlindungan hukum. Undang-Undang Perkawinan pasal 2 ayat (1) menyebutkan,”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. Ini berarti dalam perkawinan, hukum islam telah memiliki kekuatan yuridis dan materiil. Sehubungan dengan pasal 2 ayat (1) dari UU tahun 1974 tersebut. Hingga kini kalangan baik secara teori dan praktisi hukum masih bersilang pendapat tentang sahnya. Lafaz sirri dalam Bahasa Arab berarti sesuatu yang disembunyikan34. Lawan kata dari I‟lan (terang-terangan). Dalam perkembangannya nikah sirri dikenal juga dengan istilah zawaj „urfi. Syekh Wahbah Az Zuhaily menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan nikah sirri adalah:
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ الشه اع ِة َولَ ْو َ َ أَْو َع ْن ََج،ود بِكْتمو َع ْن ا ْمَرأَتو َ ُ ُّ وج ُ َو ُى َو النذ ْي يُوصي فيو النز 35 ٍِ أَ ْىل َمْنزؿ “Yaitu nikah yang pihak suami berpesan agar saksi-saksi merahasiakan istrinya baik kepada jamaah maupun keluarganya”.
Jika terjadi nikah sirri maka harus di talaq bain dan nikahnya harus di fasakh (dibatalkan) karena dilakukan tanpa saksi bahkan dihukum rajam seperti zina. Dalam kajian fikih klasik, nikah sirri berawal dari keberadaan saksi atau wali. Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i dan Imam Malik bersepakat bahwa saksi merupakan syarat nikah, namun mereka berbeda pendapat apakah merupakan syarat sah (syart sihah) atau syarat kesempurnaan (syart tamam). Dan mereka juga telah bersepakat tentang tidak bolehnya nikah sirri 36.
34
Majma‟ Lughah al Arabiyah bil Qahirah, Mu‟jam Al Wasith, Jilid 1, ( Kairo: Dar ad Da‟wah,tt) h. 426 35 Wahbah az Zuhaily, Al Fikh al Islami wa Adillatuhu, Jilid IX, ( Damaskus: Dar al Fikr, tt) h. 6560 36 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, Jilid 3 (Cairo: Dar al Hadits, 1425H) h. 44
93 Kemudian disebutkan juga didalam hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah bersabda:
،س ُ َح ندثػَنَا أَبُو عُبَػْي َد َة ا ْْلَد،َّي ََ َح ندثػَنَا ُُمَ نم ُد بْ ُن قُ َد َامةَ بْ ِن أ َْع َ ُ َع ْن يُون،ناد ِوإِسرائ صلنى َ َع ْن أَِِب إِ ْس َح،يل أَ نف النِ ن،وسى َ نب َ َع ْن أَِِب ُم،َ َع ْن أَِِب بػُْرَدة،اؽ َ َْ َ 37 ِ ِ «ََل نِ َك:اؿ .) ِ (رواه أَبػو َداو ْد َ َهللاُ َعلَْي ِو َو َسلن َم ق َ ُ ْ ُ ُ َ ٍِّاح إنَل ب َو “Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Qudamah bin A‟yan, telah menceritaka kepada kami Ubaidah bin al Haddad dari Yunus dan Israil dari Abi Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa bahwasanya Nabi SAW bersabda,” Tidak ada nikah tanpa wali”(HR. Abu Daud)
Sayid Sabiq menyebutkan terkait ketiadaan saksi, karena saksi merupakan syarat sahnya sebuah pernikahan,maka ketiadaan saksi menjadikan hukum nikahnya tidak sah. Disini kehadiran saksi dalam akad nikah menjadi penting, meski sudah pernikahan itu diumumkan kepada khalayak dengan sarana lain.38. Meskipun di dalam KUHPerdata tidak dikenal istilah nikah sirri, namun didalam hukum Islam digunakan untuk pernikahan yang di rahasiakan39.Pernikahan dibawah tangan menurut Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pernikahan di bawah tangan adalah40: Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syaratnya yang ditetapkan dalam fikih (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di lembaga yang berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Dalam pasal kedua disebutkan: Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah jika terpenuhi syarat dan hukumnya, tetapi haram jika terdapat mudharat. Menurut HM. Anshari perkawinan sirri memiliki tiga pengertian yaitu, Pertama, pernikahan yang dilakukan tanpa wali dari pihak perempuan, karena faktor ketidak setujuan atas pernikahan tersebut41. Pernikahan inilah dalam literatur klasik dikenal dengan Zawaj „Urfi, yaitu pernikahan yang 37
Abu Daud as Sijistani, Sunan Abu Daud, Jilid II, (Beirut: Maktabah Ashriyah, tt)
no. 2085 38
Sayid Sabiq, Fikh Sunnah, Jilid II, ( Beirut: Dar al Kitab „Al Arabi,1397H) h. 56 H.M Anshari, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, h. 127 40 Fatwa Majelis Ulama Indonesia no 10 tahun 2008 Tentang Nikah di Bawah Tangan 39
41
H.M Anshari, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, h. 127
94 tidak disertai wali dari pihak perempuan, tidak juga melalui institusi khusus pernikahan. Hukum pernikahan seperti ini jelas haram, karena syarat dan rukun pernikahan tidak terpenuhi, atau disamakan dengan zina. Kedua,perkawinan yang dilakukan sesuai norma agama dan terpenuhi syarat dan rukun yang semestinya. Sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, juga sesuai dengan agama kedua belah pihak. Namun tidak dicatatkan di lembaga pencatat pernikahan. Biasanya dengan berbagai alasan, misalnya, belum mampu secara finansial untuk biaya pernikahan, atau administrasi pernikahan yang mahal, atau pegawai negeri sipil yang takut ketahuan melanggar aturan sehingga takut dicopot dan sebagainya. Ketiga, perkawinan yang belum dilaksanakan resepsi pernikahan (walimatul Ursy), dan pernikahan tersebut sudah dilaksanakan sesuai dengan rukun dan syarat yang berlaku baik secara agama maupun secara negara, hanya saja belum diadakan resepsi pernikahan saja. Terkait dengan pengertian pertama tentang nikah sirri, yaitu pernikahan yang tidak ada wali dari pihak perempuan, Adapun pernikahan tanpa wali dalam agama islam dianggap sebagai pernikahan yang tidak sah. Rasulullah bersabda:
َع ْن، َع ْن ابْ ِن ُجَريْ ٍج،َ َح ندثػَنَا ُس ْفيَا ُف بْ ُن عُيَػْيػنَة:اؿ َ ََح ندثػَنَا ابْ ُن أَِِب عُ َمَر ق ِاَّلل َ أَ نف َر ُس،َ َع ْن َعائِ َشة، َع ْن عُْرَوَة،ي وؿ ن ُّ َع ْن،وسى َ ُسلَْي َما َف بْ ِن ُم ِّ الزْى ِر ِ ِ ِ ِ ِ «أَُُّيَا امرأَةٍ نَ َكح:اؿ اح َها َ َاَّللُ َعلَْي ِو َو َسلن َم ق صلنى ن ْ َ َْ َ ُ ت بغَ ِْي إ ْذف َوليِّ َها فَن َك ِ ِ ِ فَنِ َكاحها ِب ِطل(رواه، فَنِ َكاحها ِب ِطل،ِب ِطل …”42)يذي ْ ُ َ َُ ْ الِتم ٌ َ َُ ٌ َ “Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abi Umar, ia berkata,”Telah menceritakan kepadaku Sufyan bin Uyainah, dari Ibnu Juraij dari Salman bin Musa dari Az Zuhri dari „Urwah dari Aisyah radhiyallahu anha, Rasulullah bersabda,”Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya bathil, nikahnya bathil,nikahnya bathil…”(HR. At Tirmîzi) Berdasarkan hadits diatas maka pernikahan yang dilaksanakan tanpa wali maka pernikahannya batal demi hukum. Imam as Syaukâni mengomentari hadits ini dalam ungkapannya:
42
Muhammad bin Isâ At Tirmîzi, Sunan Tirmîzi, Jilid III, (Mesir: Syarikah Musthafa al Babî al Halbi,1395H) h. 1102
95
ِ ٍِص ُّح النِّ َكاح نإَل بِو ِْو ِ يث د نؿ علَى أَنو ََل ي َص َل ِِف النػ ْف ِي نػَ ْف ُي ْ ِ ْلَ نف ْاْل َ ُ َ َ ُ اْلَد َ َّ ُ ِِ ِ صبَتِ َها ُدو َف ذَ ِوي ُّ ِ َوالْ َو،الص نح ِة ََل الْ َك َم ِاؿ ّ َ ب َإَل الْ َمْرأَة م ْن َع ُ ِ ُى َو ْاْلَقْػَر 43 أ َْر َح ِام َها “Hadits ini menunjukkan bahwa tidak sah nikah tanpa wali karena hukum asal pengingkaran nafi) adalah pengingkaran sahnya nikah bukan syarat kesempurnaanya, wali adalah pihak yang paling dekat dengan si wanita dari keturunan, dibanding dengan saudara kandungnya”.
Undang-undang perkawinan tidak mengatur secara rinci tentang tentang wali nikah, namun hanya menyebutkan syarat-syarat umum (tidak didetailkan) dalam pasal 6-7 Undang-Undang Perkawinan. Tetapi secara implicit tertera dalam pasal 2 ayati (1) yang berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dari bunyi pasal tersebut secara tidak langsung terkandung makna rukun nikah secara umum di dalamnya. Kemudian baru diperjelas dalam Kompilasi Hukum Islam (inpres Nomor 1 tahun 1991) didalam pasal 14 disebutkan masalah rukun- rukun pernikahan yang ada: calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan Ijab Kabul.44 Terkait dengan pengertian kedua tentang nikah sirri, pernikahan yang tidak dicatatkan. Jika yang dimaksud dengan nikah sirri disini adalah pernikahan yang telah memenuhi syarat dan rukun secara agama namun tidak dicatatkan pada lembaga pernikahan negara, maka pernikahan tersebut sah secara agama, namun tidak memiliki perlindungan hukum jika suatu saat nanti terjadi kasus terkait pernikahannya. Dalam hal ini biasanya pihak wanita yang banyak dirugikan. Misalnya sang suami pergi meninggalkan istrinya yang dinikahi secara sirri bertahun-tahun tiada kabar berita, nafkahpun tiada. Maka dalam hal ini pihak istri tidak dapat mengajukan tindakan suami tersebut karena pernikahannya tidak sah secara hukum negara meski secara hukum agama sah. Al Qur‟an menyuruh manusia untuk taat kepada Allah, Rasul dan kepada para pemimpin, seperti dalam firman-Nya:
43
Muhammad bin Ismail bin Shalah As Shan‟ani, Subul as Salam,Jilid II, (t.tp: Dar al Hadits,tt) h. 172 44 H.M Anshari, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, h. 128
96
ِن ِ اَّلل وأ ِ ِ وؿ َوأ ُوِ ْاْلَ ْم ِر ِمْن ُك ْم فَِإ ْف تَػنَ َاز ْعتُ ْم َ َطيعُوا النر ُس َ َين َآمنُوا أَطيعُوا ن َ ََي أَيػُّ َها الذ ِ ِ ٍ ِ ِ اَّللِ والنرس ِ ك َ وؿ إِ ْف ُكْنػتُ ْم تػُ ْؤِمنُو َف ِِب نَّلل َوالْيَػ ْوـ ْاْل ِخ ِر ذَل ُ َ ِِف َش ْيء فَػُرُّدوهُ إ ََل ن 59:[٤] يَل (النِساء ً َح َس ُن ََتْ ِو ْ َخْيػٌر َوأ َ Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasulNya, dan Ulil amri (pemimpin) diantar kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-nya. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.( QS. An Nisa [4]: 59) Ayat tersebut diatas mengisyaratkan ada trilogi ketaatan, yaitu taat kepada Allah, Rasul-Nya dan ketaatan kepada pemimpin, seolah ketiganya tidak terpisahkan dan saling berhubungan. Ibnu Asyûr menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah golongan khusus yang amanah dan dapat dijadikan teladan. sifat amanah dan dapat dijadikan teladan ini merupakan pemimpin terpilih secara syariat, memiliki kekuasaan tertentu atau kekhalifahan dari kaum muslimin secara umum. Syarat sebagai ulil amri adalah harus memiliki minimal dua kemampuan, yaitu ilmu dan adil dalam memimpin.45 Ketaatan kepada pemimpin merupakan wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya dalam hal pernikahan proses pencatatan nikah merupakan wujud ketaatan kepada pemimpin. Dalam kajian kaidah fikih disebutkan kaidah: 46
ََرَر َوََل ََِر َار َ ََل
“Janganlah membuat bahaya dan membahayakan orang lain”. Pernikahan tidak di catatkan maka kemungkinan besar akan muncul halhal yang berbahaya bagi kedua belah pihak dikemudian hari. Oleh karena itu pernikahan jenis ini dilarang keras oleh agama. Jika kita perhatikan maka salah satu tujuan (maqashid) nikah atau tujuan menikah adalah terciptanya sakinah mawadah wa rahmah (ketenangan dan kasih sayang). Pencatatan nikah pada dasarnya untuk menghadirkan ketenangan dalam rumah tangga, jika suatu masa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Maka mengikuti arahan pemimpin dalam hal ini produk undang-undang pernikahan agar dicatatkan 45
Muhammad Thahir Ibnu Asyur, At Tahrir wa at Tanwir, Jilid V,(Tunisia: Dar Tunis li Nasyr, 1984) h 98 46 Muhammad Shidqi al Burnu, Al Wajiz Fi Idhah Qawaid al Fikh al Kuliyah,( Beirut: Muassasah Ar Risalah, 1422H) h. 251
97 sangatlah baik. Sebagai mana disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.47 Pada pasal (1) diatas mengatur norma agama, dimana perkawinan dianggap sah bila memenuhi ketentuan dan aturan agama. Jika tidak, maka perkawinan terebut tidaklah sah dan tidak bisa dinamakan perkawinan tetapi dinamakan zina. Sedangkan ketentuan pada pasal (2) mengatur norma hukum. Agar tercapai tunjuan pernikahan yang diharapkan maka pemerintah selaku penyelenggara negara menyediakan sarananya. Menurut HM. Anshari, ada tiga kelamahan tidak terpenuhinya norma hukum perkawinan.48Pertama, pihak yang dirugikan secara hukum dalam sebuah keluarga dapat menuntut atau memperoleh haknya melalui negara yaitu lembaga peradilan. Biasanya pihak yang kuat adalah laki-laki, dan mayoritas yang menjadi korban adalah perempuan. Kedua, hak anak akan terzalimi, misalnya sang anak memerlukan berkas Akta Kelahiran atau surat-surat keterangan lain, jika pernikahan yang tidak dicatatkan akan menemui banyak kendala dan kesulitan terkait bukti resmi perkawinan kedua orang tuanya. Karena surat resmi akan dikeluarkan jika memiliki dokumen asal yang resmi pula. Ketiga, tuntutan keperdataan lain, seperti waris, hak pemeliharaan anak dan sebagianya. Tidak akan dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan jika pasangan suami isteri tersebut tidak memiliki bukti resmi tentang perkawinan mereka. Jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak. Yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan pasal 43 UU no 1 /1974 yang pada intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan pengakuan anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam pasal 284 Kitab Undang-Undanh Hukum Perdata, menurut Andi Hartanto, setiap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah adalah sah, atau seorang anak yang di buahkan dalam suatu ikatan pernikahan yang sah, tetapi lahirnya anak tersebut setelah orang tuanya bercerai, atau seorang anak yang dibuahkan di 47
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) H.M Anshari, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, h. 130-131 48
98 luar suatu ikatan perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak sah juga.49 B. Pengakuan terhadap Anak dari Pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama menurut Majelis Ulama Indonesia Secara hukum Islam, status anak dalam pernikahan disebut sebagai nasab. Nasab ini terkait dengan status pernikahan kedua orang tuanya, apakah secara agama saja atau secara agama dan hukum nasional. Menurut Abdul Wahab Khalaf, status anak (tsubut nasab) dalam hukum islam terbagi menjadi tiga bagian:50 1. Dari hubungan biologis (Tsubût nasab bil firâsy) Yang dimaksud dengan firâsy adalah suami istri yang sebagai pihak yang menyebabkan seorang anak hadir dalam kehidupan rumah tangga mereka. Jika seorang istri hamil, kemungkinan besar sang suamilah yang memiliki peran, bukan orang lain. Sehingga tidak perlu pengakuan orang lain ataupun penguat-penguat lain. Dalam kondisi ini maka nasab dapat diketahui dengan melihat masa terpendek dan masa terpanjang dalam kehamilan seorang istri. Adapun masa terpendek dalam kehamilan seorang istri adalah enam bulan, hal ini seperti disebutkan didalam Al Qur‟an:
ِْ صْيػنَا َوَو ن ً اإلنْ َسا َف بَِوالِ َديِْو إِ ْح َس َ اَن ََحَلَْتوُ أ ُُّموُ ُكْرًىا َوَو َُ َعْتوُ ُكْرًىا َو ََحْلُو ِ )۱٥: [ ٤٦] اؼ ْ َح َق ْ ورةُ اْل َ َوف ُ صالُوُ ثََلثُو َف َش ْهًرا َ (س
“Kami perintahkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampaimenyapihnya adalah tiga puluh bulan…( QS. Al Ahqâf [46]:15) Pada ayat ini masa mengandung dan menyapih seorang anak adalah selama tiga puluh bulan. 51 . Dalam ayat yang lain Al Qur‟an menyebutkan dengan redaksi berbeda:
49
Andi Hartanto, Hukum Waris, Kedudukan Anak Luar Kawin menurut Burgerlijk Wetboek,(Surabaya: Laksbang Justisia, 2015) h.47 50 Abdul Wahab Khalaf, Ahkâm al Ahwâl As Syakhsiyyah Fî Al Islâm, ( Kairo: Dâr al Kutub Al Ilmiyyah, 1357 H) h. 186 51 Imam At Thabarî, Tafsîr At Thabarî, Jilid XXII (t.tp: Muassasah Ar Risâlah, 1420 H) h. 113
99
ِ ِ ِ ِ ْ صالُوُ ِِف َع َام ِْ صْيػنَا َوَو ن َُّي( ُس ْوَرة َ اإلنْ َسا َف بَِوال َديْو ََحَلَْتوُ أ ُُّموُ َوْىنًا َعلَى َوْى ٍن َوف )۱٤ : [ ۳۱] لُْق َماف
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun” (QS. Luqmân [31]:14) Dari kedua ayat diatas kemudian digabungkan dan diambil selisihnya, yaitu tiga puluh bulan di kurangi dua tahun (24 bulan) hasilnya, enam bulan, sehingga waktu terpendek seorang wanita hamil adalah enam bulan, artinya dapat di jelaskan sebagai berikut: a. Jika seorang istri melahirkan anak saat usia akad pernikahan kurang dari enam bulan, maka itu bukan anak dari suaminya yang sah. Karena batas minimal hamil adalah enam bulan berdasarkan ayat diatas. Dan tidak boleh dinasabkan kepada pihak suami. b. Jika suami tidak rela dan curiga istrinya berbuat zina maka ada syariat li‟an. c. Jika pernikahannya rusak (fâsid) dan anak lahir saat usia kehamilan setelah akad kurang dari enam bulan maka, nasabnya bukan ke ayahnya. namun jika lahir setalah enam bulan maka anak tersebut di nasabkan kepada sang suami. d. Adapun masa kehamilah terpanjang, belum ditemukan sumber-sumber valid baik Al Qur‟an dan Hadits yang mengatakan hal tersebut, akhirnya dikembalikan kepada pendapat para ulama, Imam Malik berpendapat masa terpanjang hamil adalah 4 tahun, Imam Abu Hanifah berpendapat, dua tahun, dan pendapat Az Dzahiriyah menghukuminya Sembilan bulan, kembali kepada ijtihad masing-masing ulama.52 Seperti disebutkan dalam firman Allah:
ِوالن ِذين يػرمو َف أ َْزواج ُهم وَِلْ ي ُكن ََلُم ُش َه َداء إ ن َ َح ِد ِى ْم أ ة اد ه ش ف م ه س ف ػ ن أ َل ُ ْ َ ُ َ َ َ ُ َ ُ َْ َ َ ْ ُ ْ ْ َ َ ْ ََ ُ ِ ْ و. ص ِادقَِّي ِ ِِ ِ ٍ اَّللِ َعلَْي ِو إِ ْف َكا َف ت ن َ َاْلَام َسةُ أَ نف لَ ْعن َ َ أ َْربَ ُع َش َه َادات ِب نَّلل إ نوُ لَم َن ال ن ٍ وي ْدرأُ عْنػها الْع َذاب أَ ْف تَ ْشه َد أَربع َشهاد. ِمن الْ َك ِاذبَِّي ات ِِب نَّللِ إِنوُ لَ ِم َن َ َ َ َْ َ َ َ َ َ َ ََ َ َ ِ ِ اَّللِ علَيػها إِ ْف َكا َف ِمن ال ن ِ ْ و. الْ َك ِاذبَِّي . َّي َ اْلَام َسةَ أَ نف َغ َ صادق َْ َ ب ن َ َ َ َض
52
Abdul Wahab Khalaf, Ahkâm al Ahwâl As Syakhsiyyah Fî Al Islâm h. 190
100
) ۹-٦: [ ۲٤] ُّور ْ ( ُسورةُ الن
“Dan orang-orang yang menuduh istrnya (berzina) padahal mereka tidak memiliki saksi-saksi selaon diri mereka sendiri, maka persaksian itu adalah empat kali bersumpah atas nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan sumpah yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang yang dusta. Dan sumpah yang kelima:bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar”. (QS. An Nûr [24]: 6-9) Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya:
َ إِذَا قَ َذ،َى ِذهِ ْاْليَةُ الْ َك ِرُيَةُ فِ َيها فَػَرج لِ ْْل َْزَو ِاج َوِزََي َدةُ َمََْرٍج َُح ُد ُى ْم َزْو َجتَو َؼ أ اَّللُ َعنز َو َج نل َوُى َو أَ ْف َك َما أ ََمَر ن، أَ ْف يََُل ِعنَػ َها،َوتَػ َع نسَر َعلَْي ِو إِقَ َامةُ الْبَػيِّنَ ِة ِ ِ ِ ُُي ِْ ضرَىا إِ ََل اْلَاكِ ُم أ َْربَ َع ْ ُ فَػيُ َحلِّ ُفو،اىا بِِو َ فَػيَدنع َي َعلَْيػ َها ِبَا َرَم،اإل َم ِاـ َ ْ 53 ِ ِ ِِ ِ ٍ ََش َه َادات ِب نَّلل ِف ُم َقابَػلَة أ َْربَػ َعة ُش َه َداء Di dalam ayat yang mulia ini merupakan solusi bagi para suami dan tambahan jalan keluar dari permasalahan tersebut. Jika seseorang menuduh istrinya berbuat zina, dan sulit baginya untuk menegakkan bukti, hendaklah ia melakukan li‟an. Seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, yaitu dengan hadir kehadapan imam (hakim), dan ia menghadirkan bukti penguat atas tuduhannya, lalu bersumpah dihadapan hakim dengan empat kali saksi sebagai pengganti empat orang saksi. Sedangkan dalam hadits banyak dijumpai hadits-hadits yang menjelaskan tentang li‟an, salah satunya adalah:
ِح ندثػَنا عب ُد ن ٍ ِ َعن مال،ب ٍ َع ِن ابْ ِن ِشه،ك أَ نف َس ْه َل،اب َْ َ َ َ َ ْ ُّ َِاَّلل بْ ُن َم ْسلَ َمةَ الْ َق ْعن ِِ ٍ ِ أَ نف عوُْيِر بن أَ ْش َقر الْعج ََلِِنن جاء إِ ََل ع،ي أَخبػره اص ِم بْ ِن َ ََ ْ َ َ َ ْ َ َُ ُ َ َ ْ بْ َن َس ْعد ال نساعد ن ِ ِِ ِ َ فَػ َق،ي َ ْ ََي َعاص ُم أ ََرأَي:ُاؿ لَو ُ أَيَػ ْقتُػلُو،ت َر ُج ًَل َو َج َد َم َع ْامَرأَتو َر ُج ًَل ٍّ َعد 53
Ibnu Katsîr, Tafsîr Al Qurân Al Azhîm, JilidXI ( t.tp: Dâr Thayibah Li An Nasr wa At Tauzi‟e, 1420 H) h. 14
101
وؿ نِ فَػتَػ ْقتُػلُونَو ،أَـ َكيف يػ ْفعل؟ سل ِِ َي ع ِ صلنى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلن َم اص ُم َر ُس َ ُ ْ ْ َ َ َُ َْ َ َ اَّلل َ اَّللِ وؿ نِ ِ ك ،فَسأ ََؿ ع ِ صلنى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلن َم ،فَ َك ِرَه َر ُس ُ اص ٌم َر ُس َ وؿ ن َع ْن ذَل َ َ َ اَّلل َ صلنى هللا علَي ِو وسلنم الْمسائِل وعابػها ،ح نَت َكبػر علَى ع ِ اص ٍم َما َِْس َع ِم ْن ُ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َُ َ َ َ اَّللِ صلنى هللا علَي ِو وسلنم ،فَػلَ نما رجع ع ِ ِ اص ٌم إِ ََل أ َْىلِ ِوَ ،جاءَهُ عُ َوُْيٌِر، َََ َ َر ُسوؿ ن َ ُ َْ ََ َ وؿ نِ اؿ لَوَ :ي ع ِ اؿ صلنى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلن َم؟ فَػ َق َ ك َر ُس ُ اص ُمَ ،ما َذا قَ َ اؿ لَ َ فَػ َق َ ُ َ َ اَّلل َ وؿ نِ ع ِ صلنى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلن َم الْ َم ْسأَلَةَ النِت اص ٌمَِ :لْ ََتْتِِِن ِِبٍَْي ،قَ ْد َك ِرَه َر ُس ُ َ اَّلل َ اؿ عوُْيِر :و نِ َسأَلَوُ َعْنػ َها ،فَأَقْػبَ َل عُ َوُْيٌِر َح نَت اَّلل ََل أَنْػتَ ِهي َح نَت أ ْ َسأَلْتُوُ َعْنػ َها ،فَػ َق َ ُ َ ٌ َ وؿ نِ ط الن ِ اَّللِ، اؿََ :ي َر ُس َ ناس ،فَػ َق َ أَتَى َر ُس َ وؿ ن صلنى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلن َم َوُى َو َو ْس َ اَّلل َ ِِ اؿ ف يَػ ْف َع ُل؟ ،فَػ َق َ ت َر ُج ًَل َو َج َد َم َع ْامَرأَتو َر ُج ًَل أَيَػ ْقتُػلُوُ فَػتَػ ْقتُػلُونَوُ ،أ َْـ َكْي َ أ ََرأَيْ َ ِ وؿ نِ يك وِِف ص ِ ِ ك قُػْرآ ٌف، َر ُس ُ احبَتِ َ صلنى هللاُ َعلَْيو َو َسلن َم« :قَ ْد أُنْ ِزَؿ ف َ َ َ اَّلل َ اَّللِ ِ ِ اؿ سهل :فَػتَ ََلعنَا وأ َََن مع الن ِ ِ ِ صلنى ناس عْن َد َر ُسوؿ ن َ َ َ ََ فَا ْذ َى ْ ب فَأْت ِبَا» .قَ َ َ ْ ٌ هللا علَي ِو وسلنم ،فَػلَ نما فَػر َغا ،قَ َ ِ اَّللِ إِ ْف ت َعلَْيػ َها ََي َر ُس َ وؿ ن اؿ عُ َوُْيٌرَ :ك َذبْ ُ َ ُ َْ ََ َ ِ صلنى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلن َم، أ َْم َس ْكتُػ َها ،فَطَلن َق َها عُ َوُْيٌر ثَََل ًًث ،قَػْب َل أَ ْف ََيْ ُمَرهُ النِ ُّ نب َ 54 اؿ ابْن ِشه ٍ ِ ِ (رَواهُ أبػَ ْو َد ُاودَ ) ت تِْل َ اب :فَ َكانَ ْ قَ َ ُ َ ك ُسنةُ الْ ُمتَ ََلعنَػ َّْيَ . “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah Al Qa‟nabi dari Mâlik dari Ibnu Syihâb dari Sahl bin Sa‟d As Sa‟idi memberitahukannya bahwa „Uwaimir bin Asyqar Al Ajlâni datang kepada „Ậshim bin „Adi dan berkata,”Wahai „Ậshim, apa pendapatmu jika ada seorang laki-laki mendapati istrinya bersama seorang lakilaki lain,apakah boleh ia membunuhnya hingga kalian pun membunuhnya? Atau apa yang harus dilakukannya?”.WahaiAshim tolong tanyakan kepada Rasulullah pertanyaanku itu”. Lalu Ashim bertanta kepada Rasulullah, namun Nampak Rasulullah tidak suka
54
Abu Daud, Sunan Abi Daud, Jilid II ( Mesir: Al Maktabah Al Mishriyah Shaidan, tt) h. 274, No. 2246, Bâb F îLi‟ân
102 dengan pertanyaan tersebut, hingga „Ashim merasa berat dari apa yang didengarnya dari Rasulullah SAW. Ketika „Ashim kembali kepada keluarganya, datanglah „Uwaimir dan berkata,” Wahai „Ashim apa yang kau dengar dari Rasulullah?” Lalu “Ashim berkata,” Bukan kabar baik”. “Uwaimir lalu berkata,” Aku akan bertanya langsung kepada Rasulullah. Kemudian „Uwaimir menghadap kepada Rasulullah yang saat itu sedang berada ditengah-tengah kumpulan orang. „Uwaimir pun bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika seseorang mendapati istrinya sedang bersama lakilaki lain, dia boleh membunuhnya sehingga kalianpun membunuhnya, atau apa yang harus dia lakukan?”Lalu Rasulullah bersabda,”Sungguh telah diturunkan Al Qur‟an terkait denganmu dan sahabatmu (istrimu) bawalah ia kemari,” Sahl berkata,” Lalu mereka saling me li‟an, dan aku juga bersama Rasulullah pada saat itu, lalu “Uwaimir berkata,” Aku telah berdusta atasnya wahai Rasulullah bila aku tetap menahannya (tidak menceraikannya). Akhirnya ia pun menceraikannya talaq tiga, sebelum diperintahkan oleh Rasulullah, Ibnu Syihâb berkata,”Itulah petunjuk Sunnah bagi kedua belah pihak yang saling melakukan li‟an”.(HR. Abu Daud) 2. Dengan pengakuan anak (al Iqrâr) Pengakuan ini menyebabkan tetapnya nasab seseorang karena pengakuan tersebut, jika seseorang mengakui bahwa seorang anak tersebut itu adalah anaknya, maka tetaplah nasab anak tersebut terhadapnya sehingga menjadi anak yg diakuinya. Ini memungkinkan pengakuan atas dua hal, pengakuan anak tersebut untuk dirinya atau pengakuan anak tersebut bukan anaknya.55 3. Dengan bukti penguat (bayyinah) Adapun pengakuan dengan penguat, hal ini bisa terjadi jika terdapat dua orang saksi dari kalangan kaum laki-laki dan atau satuorang laki-laki dan perempuan yang terkenal dapat dipercaya. Jika ada penolakan maka bagi orang yang mengaku, harus memberikan bukti penguat dengan kehadiran saksi-saksi yang disebutkan diatas secara sempurna (kamilah).56 Dalam konteks undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 status atau asal-usul anak dijelaskan dalam pasal 42, 43 dan 44 sebagai berikut:57
55
Abdul Wahab Khalaf, Ahkâm al Ahwâl As Syakhsiyyah Fî Al Islâm h. 194 Abdul Wahab Khalaf, Ahkâm al Ahwâl As Syakhsiyyah Fî Al Islâm h.200 57 Undang-Undang No. 1 Tentang Perkawinan Pasal 42-44 56
103 Pasal 42: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43: (1) Anak yang dilahirkan diluar perkawianan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 44: (1) seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang bersangkutan. Kemudian terkait dengan pem buktian asal-usul anak, Undang-Undang Perkawinan juga menyebutkan:58 (1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. (2) Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) tidak ada, pengadilan dapat mengeluarkan penetapan asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. (3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Dalam pasal-pasal di atas ada beberapa hal yang menjadi pokok bahasan permasalahan anak, diantaranya: Pertama, anak sah adalah anak yang ada dan terlahir dari pernikahan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan, yaitu anak sah lahir sebab perkawinan yang sah dan anak yang lahir didalam perkawinan yang sah. Kedua, lawan anak sah adalah anak tidak sah, yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya saja, tidak dengan ayah. Sehingga hukum anak zina agaknya digunakan dalam Undang-Undang Perkawinan ini. Ketiga, suami berhak melakukan pengingkaran atau penyangkalan terhadap sahnya seorang anak. Keempat, bukti asal-usul anak dapat dilakukan dengan akte kelahiran.59 Dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan aturanaturan yang mirip dengan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, hal ini seperti disebutkan dalam Pasal 99:
58
Undang-Undang No. 1 Tentang Perkawinan Tahun 1974 pasal 55 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2004) h. 282 59
104 Anak sah adalah: (a) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, (b) hasil dari pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Kemudian alam Pasal 100 disebutkan: Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dnegan ibunya dan keluarga ibunya.60 Nampaknya, KHI menjelaskan lebih jauh berkenaan dengan anak sah yang menyangkut batalnya keabsahan seorang anak kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Pembatalan ini terjadi akibat pengingkaran suami yang dikenal dengan proses li‟an.61 Dalam hukum Islam, seorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan oleh istrinya bukanlah anaknya, selama sang suami dapat membuktikan dengan beberapa ketentuan diantaranya:62 1. Suami belum pernah berhubungan seksual (berjima‟) dengan istrinya, akan tetapi istri mengandung dan melahirkan anak. 2. Lahirnya anak tersebut kurang dari enam bulan, sejak suami berjima‟ dengan istrinya, sedangkan bayi yang lahir seperti bayi yang sudah layak lahir (bukan premature) 3. Bayi tersebut lahir setelah lebih dari empat tahun dan sang istri tidak pernah berjima‟ dengan suaminya.63 Terkait dengan tata cara li‟an diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut: Pasal 126: Lian terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina, dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Pasal 127: Tata cara li‟an: a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina atau pengingkaran nak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “ Laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”. 60
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 99 dan 100 Li‟an secara bahasa Arab artinya, melaknat, secara istilah, lian merupakan putusnya hubungan perkawinan karena suami menuduh sang istri berzina dan istri menolak tuduhan itu, kemudian keduanya menguatkan pendiriannya dengan sumpah, seperti disebutkan dalam Al Qur‟an Surat An Nûr: 6-9) 62 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1/1974 sampai KHI h. 284 63 Batasan waktu empat tahun merupakan batasan terlama hamil (aqsha mudat haml), hal ini merupakan penjumlahan dari ayat …( QS. Al Ahqâf [46]:15) ( tiga puluh bulan) dan QS. Luqmân [31]:14)(dua tahun) jika di jumlahkan menjadi empat tahun lebih enam bulan. 61
105 b. Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata,”tuduhan dan atau pengingkaran itu tidak benar, diikuti dengan sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran itu benar. c. Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. d. Apabila tata cara a tidak diikuti dengan tata cara b, maka tidak dianggap terjadi li‟an. Pasal 128: Li‟an hanya sah dilakukan di hadapan sidang pengadilan agama.64 Dalam konteks pembaharuan hukum Islam di Indonesia, pasal-pasal yang berkenaan dengan asal-usul anak dapat diklasifikasikan dalam beberapa hal berikut ini: a. Pengertian anak sah, sebagai lawan dari terminologi anak zina dan anak luar nikah diperluas, dalam arti tidak saja bermakna anak yang terlahir akibat perkawinan yang sah, akan tetapi anak yang terlahir “di dalam” perkawinan yang sah. Bahkan konsep yang cenderung berbeda dengan fikih Islam, artinya anak yang konsepsinya di luar nikah, lalu lahir dalam perkawinan sah, maka statusnya menjadi sah juga. Tentu hal ini bertentangan dengan prinsip Islam. b. Berkenaan dengan status anak luar nikah, (anak zina) yang hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, UU Pernikahan dan Kompilasi Hukum Islam, tidak berbeda dengan penjelasan fikihnya. c. Ketiga, proses li‟an yang di lakukan di depan Pengadilan Agama adalah satu bentuk inovasi hukum dengan mempertimbangkan kemaslahatan (maslahah mursalah). Karena fikih islam tidak membahas secara detail tekhnis li‟an dilakukan. d. Tampaknya berkenaan dengan asal-usul anak ini,baik Undang-Undang Pernikahan maupun KHI juga melakukan inovasi hukum yang secara metodologis mengacu pada kemaslahatan tersebut, yaitu dengan adanya akte kelahiran anak.65 Adapun pengertian dari pernikahan di bawah tangan dalam tinjauan hukum perdata dikenal dengan anak luar kawin. Menurut J. Andi Hartanto, undang-undang sendiri tidak dengan tegas mengatakan siapa saja yang
64
Kompilasi Hukum Islam, pasal 126-128. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1/1974 sampai KHI h. 290 65
106 masuk kategori anak luar kawin.66 namun disebutkan dalah KUHPerdata sebagai berikut:67 Anak di luar kawin kecuali yang dilahirkan perzinahan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari bapak dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri. Dari pasal di atas dapat disimpulkan bahwa, anak di luar kawin yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan ibu tersebut, dan tidak termasuk dalam anak zina atau anak sambung.68 Terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi69 tentang status anak luar kawin, atau sering disebut dengan pernikahan di bawah tangan, MK telah menjatuhkan putusan tentang status anak luar kawin dengan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, terkait uji materil (judicial review) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, khususnya materi Pasal 43 ayat (1) yang berbunyi: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berawal dari permohonan seorang perempuan berinisial Mcc.yang telah menikah dengan seorang lakilaki berinisial Md. pada tahun 1993 dan telah dikaruniai seorang anak berinisial Iqb. Perkawinan tersebut dilaksanakan secara agama Islam dan memenuhi norma agama Islam. Seperti disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1): Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Secara hukum agama maka pernikahan yang dilakukan oleh Mcc. dan Md. Seperti disebutkan diatas telah memenuhi norma agama, akan tetapi tidak memenuhi norma hukum, seperti tercantum dalam Pasal 2 ayat (2): 66
J. Andi Hartanto, Hukum Waris Kedudukan dan Hak Waris Anak Luar Kawin menurut Burgerlijk Wetboek Pasca Putusan MK, ( Surabaya: Laks Bang Justisia,2015) h. 30 67 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bagian kedua tentang pengesahan anak,Pasal 272 68 Anak sambung adalah anak hasil hubungan sedarah (incest). 69 Mahkamah Kontitusi adalah sebuah institusi yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, untuk menguji Undang-undang dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya di berikan oleh undang –undang dasar dan memutus perselisihan tentang pemilihan umum seperti disebutkan oleh Fathurrahman, Dian Aminudin dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia , (Bandung : Citra Aditia Bakti, 2004) h.21
107 Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pokok permasalahan dalam perkara tersebut bukan hanya sekedar mengenai status dari pernikahan di bawah tangan, tetapi juga mengenai perkawinan yang dilakukan tersebut hanya memenuhi norma agama, dan tidak memenuhi norma hukum seperti yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut diatas.70 Tentang status perkawinannya, pemohon Mcc mendalilkan dengan diberlakukannya Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang memerintahkan setiap perkawinan harus dicatat pada kantor pencatat nikah, maka hak-hak konstitusional pemohon sebagai warga Negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan. Adapun Pasal 28 B ayat (1) berbunyi: Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. 71 Berdasarkan pasal tersebut diatas, setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk menikah dan berkeluarga secara sah, dan pernikahan yang sah adalah sah secara hukum. sehingga perkawinan yang sah secara hukum, ia berhak mendapatkan hak-haknya secara legal formal. Pasal 28 B ayat (2): Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.72 Artinya setiap anak sejak ia lahir ke dunia, memiliki hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, baik oleh keluarga sendiri maupun oleh orang lain. Sehingga jika ada pihak-pihak yang merugikan secara hukum, maka mereka akan mendapatkan perlakuan secara hukum yang berlaku di Indonesia. Pasal 28D ayat (1):73 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Artinya setiap orang yang sudah tercatat sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) siapapun dia memiliki hak yang sama di bidang hukum, baik terkait pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sesuai dengan Undang-Undang dan hukum yang berlaku tanpa ada diskriminasi apapun bentuknya. Terkait dengan status anak, alasan pemohon mengajukan Judicial review adalah, dengan diberlakukannya Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan diluar kawin 70
H.M Anshary,Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, ( Bandung: Mandar Maju, 2014) h.69. 71 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28 B ayat 1 72 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28 B ayat 2 73 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28 D ayat 1
108 hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, telah merugikan hak-hak konstitusional anak dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.74 Mahkamah Konstitusi telah memberikan pertimbangan hukum dalam perkara tersebut diantaranya” 1. Jika ditinjau dari status perkawinan Mcc dengan (alm) Md. Dalam pertimbangan MK pencatatan itu merupakan kewajiban administrasi sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum angka 4 huruf b UndangUndang Perkawinan: Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.75 Dalam hal ini negara memiliki tujuan untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia, sebab perkawinan itu berimplikasi terjadinya hukum lanjutan yang luas cakupannya. Pada kemudian hari, hukum lanjutan itu dapat dibuktikan dengan bukti-bukti otentik dan sempurna. Akta otentik inilah yang menjadi bukti kuat untuk menuntu hakhak yang bersangkutan, dan sebagai bukti penguat apabila suatu saat perkawinannya mengalami masalah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka MK menyatakan menolak permohonan Pemohon tersebut dalam sisi ini. 2. Mengenai status anak, nota bene anak tersebut dilahirkan dari perkawinan sirri (di bawah tangan). Yaitu pernikahan yang memenuhi norma agama, namun tidak tercatat (tidak memenuhi norma hukum). maka MK memutuskan status anak tersebut merupakan status anak luar kawin, sebagaimana ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Perkawinan:76 …Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki tersebut sebagai 74
H.M Anshary,Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional h. 69 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Penjelasan Umum angka 4 b. 76 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 13 Februari 2012, halaman 34-35. 75
109 bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu. Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang didalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu dan bapak. Berdasarkan uraian diatas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah sering kali mendapatkan perlakuan tidak adil dan stigma di tengahtengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan; Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan,” Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”harus dibaca,” Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Berdasarkan apa yang telah disebutkan diatas maka, MK telah menetapkan, anak yang lahir di bawah tangan tidak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya namun juga memiliki hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya. Menurut H.M. Anshari analasis kasus yang bisa di buka dari kasus tersebut di atas adalah sebagai berikut:77 1. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjatuhkan putusan yang kontroversial dalam ranah hukum keluarga (al ahwal asy syakhsiyah), atas permohonan uji materi (judicial review) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terhadap Undang-Undang Republik Indonesia 77
H.M Anshary,Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional h.71
110 Tahun 1945 Pasal 28 B ayat (1) dan (2) serta Pasal 28D ayat (1) yang diajukan oleh Mcc, artis yang menikah di bawah tangan dengan Md. Mcc menuntut agar Pasal 2 ayat (2) yang mengatur masalah pencatatan perkawinan dan pasal 43 ayat (1) yang mengatur status keperdataan anak luar kawin dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibatnya. 2. Pencatatan perkawinan sangatlah urgent. Selain demi terjaminnya ketertiban akta nikah bisa digunakan untuk mendapatkan hak-hak, dan terlepas dari perasangka, keragu-raguan, kelalaian serta saksi –saksi yang cacat secara hukum. Kendatipun pencatatan perkawinan hanya bersifat administratif tetap harus dianggap penting karena melalui pencatatan perkawinan tersebut akan diterbitkan buku kutipan akta nikah yang akan menjadi bukti otentik tentang dilangsungkannya sebuah perkawinan yang sah. Meskipun selama ini negara telah mewajibkan pencatatan perkawinan demi tertib administrasi, namun pada kenyataannya dalam tataran praktik masih banyak orang yang melakukan perkawinan tanpa dicatatkan dengan berbagai alasan.78 Pemenuhan persyaratan administratif perkawinan termasuk finansial terkesan masih dirasa membebani oleh sebagian orang untuk melakukan pencatatan. Selai itu banyak juga pria yang terganjal untuk melakukan pencatatan perkawinan karena masih terikat perkawinan dengan orang lain, dan harus mendapat izin menikah terlebih dahulu dari pengadilan, padahal istri pertama tidak menyetujui rencana suaminya untuk berpoligami, serta ketiadaan syarat alternatif yaitu: istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. 79 Dalam hukum Islam, metode yang digunakan dalam pencatatan perkawinan adalah qiyas. Secara bahasa berasal dari kata Qa-ya- sa, yang artinya ukuran sesuatu, seperti disebutkan oleh Al Fayûmi dalam kamusnya: 80
ِ ِِ ِ اس الْ ِم ْق َد ُار ُ ََوُى َو تَػ ْقد ُيرهُ بو َوالْم ْقي
“Ia adalah ukuran, dan kata „Miqyâs berarti ukuran”. Kemudian Al Ậmidi menyebutkan pengertian qiyas dalam kitabnya:
78
H.M Anshary,Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional h.72 79 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 4 ayat (2) 80 Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin‟Ali al Fayûmi, Misbâh Al Munîr Fî Gharîb As Syarh al Kabîr, Jilid II ( Beirut: Al Maktabah Al Ilmiyah, tt) h. 521, bab Qaf Ya Sa.
111
ِاؼ أَح ُد ُُها إِ ََل ْاْلخ ِر ِِبلْمساواة ِ َ َُوُى َو يَ ْستَ ْدعي أ َْمَريْ ِن ي َ َ ُ ض ََُ َ
81
“Yaitu dua perkaran yang disandarkan satu dengan lainnya dalam kesetaraan”. Sedangkan Imam Al Ghazali menyebutkan dalam Al Mustashfa:
ِ وحدُّه أَنو ََحل معلُ ٍوـ علَى معلُ ٍوـ ِِف إثْػب ات ُح ْك ٍم ََلَُما أ َْو نَػ ْفيِ ِو َعْنػ ُه َما ِِب َْم ٍر َْ َ َْ ُ ْ ُ ُ َ َ َ 82 ِ ج ِام ٍع بػيػنَػهما ِمن إثْػب ات ُح ْك ٍم أ َْو ِص َف ٍة أ َْو نَػ ْفيِ ِه َما َعْنػ ُه َما َ ْ َ ُ َْ َ
“Batasannya adalah, membawa sesuatu yang diketahui atas sesuatu yang diketahui dalam menetapkan hukum keduanya, atau meniadakan dengan perkara yang menyatukan keduanya dalam penetapan hukum, atau sifat atau peniadaan tentang keduanya”. Kemudian Imam Al Ghazâli juga menyebutkan rukun-rukun qiyas terdiri dari empat hal diantaranya:83 a. Al Ashl (hukum asal) b. Al Far‟u (cabangnya) c. Al Illat (sifat serupa) d. Al Hukm (hukum) Dalam hukum pencatatan nikah, maka Al Ashl (hukum asal) dalam catatmencatat adalah firman Allah di dalam Al Qur‟an:
ِن ِ ِ ِ َج ٍل ُم َس ًّمى َ ين َآمنُوا إ َذا تَ َدايَػْنػتُ ْم ب َديْ ٍن إ ََل أ َ ََي أَيػُّ َها الذ (۲۸۲ :[ ۲] ورةُ البَػ َقَرْة ُ ُفَا ْكتُػبُوه َ (س...
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…(QS. Al Baqarah [2]:282) Ayat menjadi al ashl (hukum asal) dalam muamalah, karena inti dari muamalah adalah interaksi antara manusia dengan manusia, dan perkawinan termasuk didalamnya. Artinya meski ayat tersebut tentang hutang piutang namun sebagai bentuk kepercayaan, maka ditulis untuk ketenangan kedua belah pihak, begitu pula dalam pernikahan. Hal ini seperti disebutkan dalam tafsir Jalâlain: 84
استِيثَاقًا َوَدفْػ ًعا لِلنَِّز ِاع ْ
81
Al Ậmidi,Al Ihkâm Fî Ushûl Al Ihkâm, Jilid III ( Beirut:Al Maktabah Al Islami, tt)
h. 183 82
Imam Al Ghazali, Al Mustashfâ, Jilid 1, (tt.p: Dâr AL Kutub Al Ilmiyah, 1413 H)
h. 280 83
Imam Al Ghazali, Al Mustashfâ, hal 280.
112 “Sebagai penguat dan menolak perselisihan”. Artinya pernikahan yang dicatatkan dalam lembaga resmi pemerintah fungsinya untuk penguat dan solusi jika kelak terjadi masalah dalam rumah tangganya. Meskipun perkawinan bukan termasuk akad dalam mu‟amalah seperti jual beli dan hutang piutang, namun ikatan dalam perkawinan merupakan ikatan yang kuat, hal ini seperti disebutkan di dalam Al Qur‟an:
ٍ ض ُك ْم إِ ََل بَػ ْع َخ ْذ َف ِمْن ُك ْم ِميثَاقًا َغلِيظًا ُ ضى بَػ ْع َ ْف ََتْ ُخ ُذونَوُ َوقَ ْد أَف َ َوَكْي َ ض َوأ (۲۱: [ ٤] ورةُ النِّ َساء ُ َ (س “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bercampur dengan yang lain, sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (QS. An Nisâ [4]:21)
Maksud dari Mitsâqan Ghalîza, adalah seperti yang disebutkan oleh Imam As Suyûthi dalam tafsirnya:
ِ اَل للنِس ِ عن قَػتَاد َة ِِف قَػولِِو لى ع اء ع ػ ت هللا ذ َخ أ ا م و ى : اؿ ق } ا غليظ ا اق يث {م َ َ َ ً ً َ َ ّ َ َ َ َْ ُ َ َ ُ ََ ْ َ َ ِ ُ اؿ فَإمس ِ َوقَ ْد َكا َف َذلِك يػُ ْؤ َخذ ِعْند:اؿ َ َيح ِبِِ ْح َساف ق ٌ اؾ ِبَْعُروؼ أَو تَ ْس ِر ّ َ ْ َ الر َج 85 ِ وؼ أ َْو لِتَ ْس ِر َح نن ِبِِ ْح َساف َع ْق ُد النِّ َكاح ن ً ك لِتَ َم نس َك نن ِِبَْعُر َ آَّللُ َعلَْي “ Dari Qatadah dalam firman Allah,” Mistaqan Ghaliza, ia berkata,” Ia adalah janji kau laki-laki kepada Allah atas kaum wanita untuk memperlakukan dengan ma‟ruf (baik), atau melepaskan (menceraikan) dengan baik. Ia berkata,” Sungguh janji itu diambil saat akad nikah, Allah atas kalian untuk memperlakukan kaum wanita dengan baik, atau menceraikan dengan baik pula”. Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah ikatan setia, janji nan agung yang tujuannya adalah untuk kebaikan antara suami dan istri. Jika dalam jual beli dan hutang piutang Allah memerintahkan untuk menyuruh ditulis, apalagi dalam perkawinan, yang ikatan tersebut merupakan ikatang yang kuat, dalam berbuat baik kepada keluarga dan membimbing keluarga menuju bahagia. 84
Jalâluddîn Al Mahally dan Jalâluddîn As Suyûthi, Tafsir Jalâlain, Jilid 1, ( Kairo: Dâr Al Hadîts, tt) h. 63 85 Imam As Suyûthî, Ad Dur Al Mantsur, Jilid II ( Beirut: Dâr al Fikr, tt) h. 467
113 Sedangkan Al Far‟u (cabang) dari pencatatan nikah, tidak disebutkan langsung baik, oleh Al Qur‟an maupun Al Hadîts, namun dalam konteks ushûl fikih, pencatatan nikah masuk dalam bahasan Sad Adzarî‟ah (mencegah bahaya). Seperti dikutip oleh Abdullah bin Syâkir al Junaidi Sad Adzari‟ah adalah:
ِ لَكِن صارت ِِف عر، ما َكا َف و ِسيلَةً وطَ ِري ًقا إَِل ال نشيء: ُال نذ ِريعة ؼ ال ُف َق َهاء َ َ ُْ ْ َ َ ْ َ َ َ 86 ِ ت إِ ََل فِ ْع ٍل ُُمَنرْـ َ ْعبَ َارةٌ َع نما أَف ْض “Adz Zarî‟ah adalah segala yang menjadi sarana atau jalan kepada sesuatu, akan tetapi dikenal kemudian dikenal oleh para ahli fikih, sebagai ungkapan yang mengarah kepada ungkapan yang mengarah kepada perbuatan haram.”
Untuk itulah Imam Al „Izzuddin Abdus Salam menyebutkan bahwa maslahât ( kemaslahatan) dan mafsadât (kerusakan)dalam agama berbedabeda sesuai dengan pembagiannya, bisa hanya untuk kemaslahatan dunia, akherat saja atau kedua-duanya, begitupula mafsadât (kerusakan) bisa kerusakan dalam masalah dunia, akherat atau kedua-duanya.87 Jika kita analisis dampak negatif dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan bisa berakibat ke dua-duanya, yaitu bisa menimbulkan masalah dunia dan akherat secara bersamaan. Sedangkan dari sisi Illat hukum (sifat hukum) pencatatan nikah, yaitu sifat hukum asal jika dikaitkan dengan dalil umum surat Al Baqarah ayat 282 diatas, maka hukum pencatatan diatas adalah tetap ( tsâbit) dan tidak berubah. Kaidah Fikih menyebutkan: 88
ِ ت ِِبْلعي ِ ِ اف ْ ِالثناب ََ ْ ت ِِبلبُػْرَىاف َكالثناب
“Sesuatu yang tetap dengan dasar dalil, hukumnya seperti sesuatu yang tetap dengan yang terlihat nyata”. Yang dimaksud dengan kalimat “At Tsâbit bil Burhân” adalah bukti penjelas yang kuat dari orang yang dikenal adil ditengah masyarakat, sehingga tidak dibernarkan orang untuk menyelisihi atau mengingkari bukti-bukti tersebut.89
86
Abdullah Syakir Al Junaidi, Sad Adzarî‟ah Fî Masâil Al Aqîdah „Alâ Dhau Al Kitab wa Sunnah As Shahîhah, ( Madinah; Jamiah Al Islamiyah,1422H) h.177 87 Imam Izzuddîn Abdus Salâm, Qawî‟idul Ahkâm FîMashâlih Al Anâm,Jilid I (Kairo: Maktabah Al Kulliyât Al Azhariyah, 1414 H) h. 11 88 Muhammad Sidqî Ậl Burnu, Al Wajîz Fî Idhâh Qawâid Al Fikh Al Kulliyah, (Beirut: Muassasah Ar Risâlah, 1416 H) h. 351 89 Ahmad bin As Syaikh Muhammad Az Zarqâ, Syarh Al Qawâ‟id al Fikhiyyah, ( Damaksus: Dâr Al Qalam, 1409 H ) h. 367
114 Menurut Muhammad al Amîn As Syinqithi, untuk mencapai maslahat seperti yan diinginkan oleh syariat ada tiga hal yaitu:90 a. Mencegah kerusakan (dar‟u al mafâsid) dikenal dengan Ad dharûriyat91 b. Mengambil kebaikan (jalb al mashâlih) dikenal dengan al Hâjiyât92 c. Mengutamakan akhlaq dan kebiasan yang baik (al jar‟yu „alâ makârim al akhlâq wa ahsan „âdât)dikenal dengan at Tahsîniyât93. Jika kita perhitungkan maka, pencatatan nikah dalam sebuah perkawinan masuk dalam ketiga pokok bahasan tadi yang masuk dalam wilayah kebaikan, baik untuk pelakunya dalam hal ini suami dan istri maupun bagi anaknya, atau pihak-pihak yang bersangkutan oleh karena itulah hukum pencatatan nikah menjadi lazim dan kuat untuk dilaksanakan. 3. Perkawinan yang tidak dicatatkan berakibat tidak diperolehnya perlindungan hukum (no legal protect) dari negara, meskipun perkawinan tersebut dipandang sah karena dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaanya masing-masing. Sehingga jika dikemudian hari terdapat masalah dari perkawianan tersebut maka akan terjadi kesulitan administratif. 4. Masalah krusial dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah status hak keperdataan anak luar kawin (nikah bawah tangan). Yang menurut Undang-Undang Perkawinan hanya memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya, seperti disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.94 Secara nalar anak yang terlahir tersebut tidaklah berdosa, karena ia bukan subjek ia adalah objek akibat perbuatan kedua orang tuanya. Sedangkan ayahnya yang menyebabkan ia lahir terbebas dari kewajiban hukum, seperti mmberikan biaya hidup, nafkah, pendidikan, kesehatan dan perlindungan yang merupakan kewajiban orang tua kepada anaknya.95
90
Muhammad al Amin as Syinqithi, Al Mashâlih Al Mursalah, (Madinah: Universitas Islam Madinah, 1410 H) h. 6 91 Ad dharûriyat adalah hal-hal yang bersifat pokok dan primer dalam syariat, keberadaanya tidak boleh tidak, harus ada dalam syariat. 92 Al Hâjiyât, merupakan kebutuhan sekunder jika dikaitkan dengan syariat, mendapatkan kebaikan merupakan hal penting, namun lebih diutamakan terlebih dahulu adalah mencegah kerusakan (al mafasid) 93 At Tahsîniyât, merupakan perkara pelengkap dalam syariat, artinya jika keberadaan ad dharuriyat dan al hajiyat dan sudah ada maka sudah mencukupi. 94 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 43 ayat (1) 95 H.M Anshary,Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional h.72
115 5. Jika dianalisis, ada dua hal yang berbeda dalam kasus Mcc diatas. Yang oleh Mahkamah Konstitusi tidak dibedakan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan putusan. Pertama, status anak yang lahir dari perkawinan yang telah memenuhi norma agama, namun tidak memenuhi norma hukum. Kedua, Status anak yang dilahirkan dari hubungan biologis di luar perkawinan, yang tidak memenuhi norma agama dan hukum.96 Untuk kasus yang diajukan Mcc ke Mahkamah Konstitusi tersebut lebih tepat dikategorikan kepada kriteria kasus pertama, yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan yang memenuhi norma agama akan tetapi tidak memenuhi norma hukum, mengapa? Karena perkawinan tersebut dilakukan dengan norma agama Islam, karena Mcc dan Md beragama Islam. Hanya saja tidak dicatatkan pada pegawai pencatat nikah. Perkawinan ini sah secara agama dan sah secara hukum positif, karena telah memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.97 Namun jika ditinjau dari aspek kekuatan hukum, tidak memiliki kekuatan karena tidak dilindungi oleh hukum. karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.98 Dengan demikian, tentang status anak yang dilahirkan dari perkawinan di bawah tangan ini,dipandang sah secara agama ini maka sah status sah dan karena anak sah, maka ia mendapatkan hak-hak sebagai mana sahnya seorang anak. Karena ia bukan anak hasil zina. Untuk kasus kedua, yaitu anak yang dilahirkan di luar perkawinan ( anak zina, anak sumbang), dalam perspektif Hukum Islam dan ketentuan Pasal 43 ayat (1): Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.99 Sebelum lahirnya putusan MK tersebut, dengan tidak membedakan anak zina, anak sumbang dan anak yang dibuahkan di luar nikah, seperti diatur dalam Pasal 272 KUH Perdata tentang anak luar kawin selain zina dan penodaan darah, semuanya dihukumi anak luar kawin yang tidak memiliki hubungan nasab dengan bapak biologisnya, dengan berlakunya amar putusan MK tersebut tentang ketentuan Pasal 43 ayat (1) maka ketentuan pasal 272 96
H.M Anshary,Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional h.73 97 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) 98 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (2) 99 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 43 ayat (1)
116 KUH Perdata tidak berlaku lagi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 66 UU Perkawinan: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonatie Chirsten Indonesier S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku100 Dalam amar putusan MK tersebut dijelaskan bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan: Harus dibaca “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” 101 Adapun tentang istilah “mempunyai hubungan perdata” dalam putusan tersebut memiliki makna umum, sehingga dapat mengundang pemahaman yang berdisparitas102 dan multi tafsir. Dapat saja berarti hanya sebatas memberi nafkah, biaya pendidikan, perlindungan, jaminan kesehatan. Atau dapat juga dipahami memiliki hubungan nasab yang konsekwensinya menimbulkan hubungan saling mewarisi hak bapak biologis sebagai wali untuk menikahkan anak perempuannya. Istilah “mempunyai hubungan perdata”, yang tercantum dalam pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menghendaki hubungan anak luar kawin dengan bapak biologisnya tidak hanya terbatas pada hubungan memberi pengayoman, nafkah, pendidikan, jaminan kesehatan dan nafkah serta biaya hidup, tetapi juga hubungan nasab yang berakibat pada timbulnya hubungan saling mewarisi, perwalian dan hak anak boleh menggunakan nama bapak dibelakang namanya.103 Seperti disebutkan dalam KUH Perdata:104 Pasal 280: Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya. 100
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 66, Ketentuan Penutup Bab XIV 101 Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, tanggal 13 Februari 2012, h. 37 102 Perbedaan, jarak-Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia online di http://kbbi.web.id/disparitas- diakses 23 Juli 2016 103 H.M Anshary,Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional h.75 104 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 280-281
117 Pasal 281: Pengakuan terhadap anak di luar kawin dapat dilakukan dengan suatu akta otentik, bila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan perkawinan. Jika alur pikiran KUH Perdata ini diikuti, maka Putusan MK telah memposisikan anak luar kawin sama dengan anak yang sah. Akibatnya dalam kondisi tertentu keberadaannya mengalahkan status anak sah. Misalnya dalam kasus waris. Jika ada pewaris meninggal dengan meninggalkan seorang istri dan dua orang anak perempuan maka, pembagian harta warisannya adalah sebagai berikut: a. Istri mendapat seperdelapan bagian, seperti disebutkan dalam ayat:
ِ ٍِ ِ ِ وصو َف ِِبَا أ َْو َديْ ٍن ُ ُفَِإ ْف َكا َف لَ ُك ْم َولَ ٌد فَػلَ ُه نن الث ُُّم ُن ِمنا تَػَرْكتُ ْم م ْن بَػ ْعد َوصينة ت 12:[٤] ( النِساء َ
…Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan (1/8), sesudah dipenuhi yang kamu buat atau dan sesudah dibayar hutang-hutangmu…(QS. An Nisâ [4]:12) b. Anak perempuan masing-masing mendapat setengah bagian Jika kemudian hari datang seorang laki-laki mengaku sebagai anak luar kawin dari pewaris dengan datang membawa bukti otentik dan tes DNA, hasinya maka bagian anak luar kawin itu lebih besar dari bagian anak perempuan tersebut. Karena anak laki-laki mendapat dua bagian. Firman Allah:
ِ ْ ظ ْاْلُنْػثَػيَػ (11:[٤] َّي ( النِ َساء ِّ لِل نذ َك ِر ِمثْ ُل َح
…”Bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan…(QS. An Nisâ [4]: 11) Sedangkan anak laki-laki tersebut adalah anak di luar kawin yang bagiannya lebih besar dari anak sah. 6. Dalam Islam, istilah “mempunyai hubungan perdata” harus dijelaskan sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, istilah “anak luar kawin juga mempunyai hubungan perdata dengan bapak biologisnya”. Harus diterjemahkan hanya terbatas pada tugas-tugas dibidang member nafkah dan biaya hidup anak luar kawin, menjamin kesehatan, fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tugas-tugas tersebut memang menjadi tugas ayah sebagai sosok ideal panutan anaknya. Akan tetapi jika terkait dengan hubungan nasab, islam dengan tegas tidak ada kaitannya jika anak tersebut lahir dari luar kawin yang sah. 105 Mahkamah 105
H.M Anshary,Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional h.75
118 Konstitusi, seperti yang dilansir oleh Jurnal Konstitusi bulan Februari tahun 2012 menyatakan,” Permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan, menurut Mahkamah, tak lain adalah makna hukum dari frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Pertanyaan yang muncul kemudian, siapakah anak yang sah? Mahkamah berpendapat, secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan hamil tanpa adanya pertemuan antara ovum dan spermatozoa. Apakah pertemuan itu melalui hubungan seksual (coitus), maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Dengan alasan itu, menurut Mahkamah, menjadi tidak tepat dan tidak adil apabila hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Mahkamah juga menilai tidak tepat dan tidak adil manakala hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak, dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak. Pada saat bersamaan, hukum juga meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Terlebih pada saat perkembangan teknologi memungkinkan pembuktian bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.106 Dalam pertimbangan hukum putusan MK tersebut,” Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara timbal balik, yang subjeknya meliputianak, ibu dan bapak.107 . Pertimbangan hukum semacam ini dinilai tidak tuntas, sebab akan berpotensi menimbulkan interpretasi. Bukankah perbuatan hukum berupa perkawinan sah saja yang apabila berakibat kepada kehamilan akan menimbulkan akibat hukum berupa timbulnya hak dan kewajiban secara timbal balik antara anak dan bapak biologisnya?. Pernyataan ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, sekaligus mengaburkan kesakralan sebuah perkawinan resmi. Terlebih lagi pertimbangan ini akan mendorong kaum perempuan untuk melakukan zina bebas karena bagi mereka beban hidup anak tidak hanya akan ditanggung ibu, akan tetapi oleh laki-laki yang menghamilinya.108 7. Pertimbangan hukum selanjutnya dinilai rancu, sebagaimana dikutip diatas, yang bunyinya,”Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena
106
Jurnal Konstitusi, No. 61 Februari 2012 h. 3 H.M Anshary,Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional h.76 108 H.M Anshary,Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional h.77 107
119 adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak”. Pertimbangan ini berwawasan melegalkan status anak zina, artinya anak luar kawin disejajarkan dengan anak sah. Hal ini dapat memicu tumbuh berkembangnya praktik free sex dan sejenisnya, karena dengan sarana teknologi maka hubungan anak dan bapak diketahui melalui tes DNA.109 Meskipun ibu yang melahirkannya tidak pernah menikah dengan laki-laki tersebut, maka bisa saja mereka diakui memiliki hubungan hukum yang berakibat pada timbulnya hak dan kewajiban diantara mereka.110 Setelah MK mengeluarkan putusan Nomor 46/ PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tentang status anak luar kawin, tak lama kemudian Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa Nomor 11 Tahun 2012 tanggal 10 Maret 2012, tentang Kedudukan Anak hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya”. Dikutip beberapa poin sebagai berikut: a. Ketentuan umum 1. Di dalam fatwa ini yang dimaksud dengan anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarîmah (tindak pidana kejahatan). 2. Wasiat wajibah111 adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya. b. Ketentuan hukum 1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya 2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya. 3. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta‟zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk: a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut 109
DNA kepanjangan dari Deoxyribo Nucleic Acid, merupakan asam deoksiribonukleat. DNA akan membentuk materi genetika yang terdapat di dalam tubuh tiap orang yang diwarisi kedua orang tuanya. Hasil tes genetika dapat mengkonfirmasi ada atau tidaknya kondisi genetika, membantu menentukan risiko seseorang mewarisi penyakit genetika dan sebagianya. Sumber:http://www.alodokter.com/apa-yang-bisa-didapatkan-darites-dna&ei=iLQZktB1&lc diakses pada 23 Juli 2016 110 H.M Anshary,Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional h.77 111 Wasiat wajibah adalah penghibahan benda, piutang atau manfaat oleh seseorang kepada orang lain yang diberi wasiat memiliki hibah tersebut setelah kematian orang yang berwasiat dengan persetujuan hakim.
120 b. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah. 4. Hukuman sebagaimana dimaksud di atas bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Dari fatwa tersebut Majelis Ulama Indonesia menghendaki pemisahan antara istilah hubungan perdata dengan hubungan nasab, hal ini dapat dilihat dari bunyi fatwa di atas, bahwa hubungan perdata yang dimaksud adalah ikatan keperdataan antara si anak dengan bapak biologisnya dalam hal tugas bapak biologis untuk mengayomi, memberi pendidikan, nafkah, jaminan kesehatan dan perlindungan hidup anak tersebut. Sedangkan dalam masalah nasab, maka anak luar kawin (di bawah tangan) tidak memiliki hubungan nasab dengan bapaknya. Dalam arti diantara mereka tidak saling mewarisi, dan menjadi wali jika anak tersebut perempuan, dan si anak tidak dibenarkan menggunakan nama bapak biologis sebagai bin atau bintinya.112 Fatwa ini dengan tegas menentang keputusan Mahkamah Konstitusi, karena fatwa ini menggunakan dasar hukum Islam yang jelas mengharamkan hubungan seksual di luar nikah (zina).113 Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia KH. Ma‟ruf Amin, mengatakan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dinilai telah melampaui batas dan berlebihan. “ Ini sudah meluas, hubungan keperdataan atas anak hasil hubungan zina bertentangan dengan ajaran Islam, udah over dosis”.114. Kemudian terkait dengan pencatatan nikah, Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwanya yang berbunyi:115 A. Ketentuan Umum Nikah Di Bawah Tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”. B. Ketetuan Hukum 1. Nikah di bawah tangan hukumnya sah, karena telah memenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madharat. 2. Pernikahan harus dicatatkan, secara resmi pada instansi berwenang sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif. 112
H.M Anshary,Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional h.79 113 Fatwa MUI No 1 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya. H. 1 114 http://m.tempo.co/read/news/2012/03/13/063390059/mui-putusan-mk-tentangperkawinan-over-dosis&lcdiakses 23 Juli 2016 115 Fatwa MUI No. 10 Tahun 2008 tentang Nikah di Bawah Tangan
121 Dari fatwa tersebut diatas sangat jelas bagaimana MUI menetapkan bahwa pernikahan haruslah dicatatkan dengan tujuan agar dikemudian hari tidak menimbulkan permasalahan terkait hubungan antara anak dan ayahnya atau anggota keluarga lainnya. Menurut Siska Lis Sulistiani, pencatatan perkawinan menjadi kebutuhan formal legalitas atau suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan konsekuensi yuridis dalam hak-hak keperdataan dan kewajibannya seperti kewajiban memberi nafkah dan hak waris. Pencatatan perkawinan perkawinan dinyatakan dalam suatu akta resmi (akta otentik) dan dimuat dalam daftar pencatatan yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan. Diantara tujuan-tujuan pencatatan perkawinan adalah:116 a. Untuk tertib administrasi perkawinan b. Jaminan memperoleh hak-hak tertentu (memperoleh akte kelahiran) membuat Kartu Tanda Penduduk, membuat Kartu Keluarga, dan sebagainya. c. Memberikan perlindungan terhadap status perkawinan d. Memberikan kepastian terhadap status hukum suami, istri maupun anak. e. Memberikan perlindunganterhadap hak-hak sipil yang diakibatkan adanya perkawinan. Pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh Majelis Ulama Indonesia diantaranya adalah:117 1. Firman Allah Surat Ar Rûm [30]:21
ِ ِ ِِ وِمن اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْيػ َها َو َج َع َل ً آَيتو أَ ْف َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَنْػ ُفس ُك ْم أ َْزَو َ ْ َ ِ ٍ ك َْلَي ِ ت لَِق ْوٍـ يَػتَػ َف نكُرو َف َ َ بَػْيػنَ ُك ْم َم َوندةً َوَر َْحَةً إ نف ِِف َذل (۲۱:[۳. ].وـ ُّ ُ(سورة ْ الر
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar Rûm [30]: 21) Ketenangan yang dimaksud dalam ayat diatas, seperti yang disampaikan oleh Syekh An Nawâwi Al Bantani dalam tafsirnya:
َوتَطْ َمئِنُّػ ْوا ِِبَا،لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْيهاَ أَ ْي لِتَ ِمْيػلُ ْوا إِلَْيػ َها
116
Siska Lis Sulistiani,Kedudukan dan Hukum Anak Hasil Pekawinan Beda Agama, h. 77 Fatwa MUI No. 10 Tahun 2008 tentang Nikah di Bawah Tangan
117
122 “Agar kalian cenderung kepada mereka dan mendapatkan ketenangan dengannya”.118 2. Firman Allah Surat An Nisâ [4]: 59
ِ اَّلل وأ ِ ِ وؿ َوأ ُوِ ْاْل َْم ِر ِمْن ُكم (سورة َ َطيعُوا النر ُس َ َأَطيعُوا ن )
ِن ين َآمنُوا َ ََي أَيػُّ َها الذ ٥۹: [ ٤] النساء
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan Ulil Amri diantara kamu…(QS. An Nisâ [4]: 59) Imam As Syaukâni menafsirkan yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah:
ِ ِ ت لَوُ ِوََليَةٌ َشْر ِعينةٌ ََل َ َوالْ ُق،َّي ْ َ َوُك ُّل َم ْن َكان،ُضاة ُ َوال نس ََلط،ُُى ُم ْاْلَئ نمة ِ ِ يما ََيْ ُمُرو َف بِِو َويَػْنػ َه ْو َف َعْنوُ َما َِلْ تَ ُك ْن َ َ َوالْ ُمَر ُاد ط،ٌِوََليَةٌ طَاغُوتينة َ اعتُػ ُه ْم ف 119ِ ِ وؽ ِِف مع ٍ ُ فَ ََل طَاعةَ لِمخل،ًصية ِ اَّلل صيَ ِة ن َْ َ َْ َ َم ْع “Mereka adalah para imâm (pemimpin) dan para sulthân (penguasa), qudhât (hakim-hakim) dan setiap pihak yang memiliki kekuasaan secara syari‟at dan bukan wilayah thagut (anti Tuhan). Dan yang dimaksud dengan ketaatan kepada mereka dalam perintah dan menjauhi larangan selama tidak dalam kemaksiatan, tiada ketaatan kepada makhlud dalam bermaksiat kepada Allah”.
Didalam hadits juga MUI menyebutkan beberapa dalil penguat fatwa tersebut seperti yang disebutkan:
َ َ ق، َح ندثَػنَا ُس ْفيَا ُف،َح ندثَػنَا َعلِ ٌّي أَنوُ َِْس َع أَنَ ًسا َر َِ َي ن، َح ندثَِِن َُحَْي ٌد:اؿ ُاَّلل ٍ سأ ََؿ النِنب صلنى هللا علَي ِو وسلنم عب َد النر َْح ِن بن عو:اؿ َوتَػَزنو َج،ؼ َْ َ َ َ ْ َ ُ َ ُّ َ َ َ ق،َُعْنو َْ َ ْ َ ِ ٍ وْز َف نػَواةٍ ِم ْن َذ َى:اؿ َو َع ْن،ب ْ « َك ْم أ:صا ِر َ ْْامَرأًَة م َن اْلَن َ َ َ ََص َدقْػتَػ َها؟» ق ِ ِ ِ ِ ٍ ،صا ِر َ َ ق،ت أَنَ ًسا ُ َْس ْع،َُحَْيد َ ْ نَػَزَؿ الَُهاجُرو َف َعلَى اْلَن،َ لَ نما قَد ُموا الَدينَة:اؿ ِ َ فػق،ؼ علَى سع ِد ب ِن الربِي ِع ،ِك َم ِا َ َ فَػنَػَزَؿ َعْب ُد النر َْحَ ِن بْ ُن َع ْو ٍ َ َ ْ ْ ن َ ُ أُقَاْس:اؿ 118
Syekh An Nawâwi Al Bantani, Marâh Labîd Li Kasyf Ma‟na Al Qur‟an Al Majîd, Jilid II, (Beirut: Dâr Al Kutub Al Ilmiyah, 1417 H) h. 228 119 Imam As Syaukâni, Fath Al Qadîr, Jilid I, ( Beirût: Dâr Ibnu Katsîr, 1414 H) h. 556
123
ِ ِ فَ َخَر َج،ك َ َ ق،ك َع ْن إِ ْح َدى ْامَرأَتَن َِب َرَؾ ن:اؿ َ ك َوَمال َ ك ِِف أ َْىل َ َاَّللُ ل َ ََوأَنْ ِزُؿ ل ِ ُّ إِ ََل اؿ َ فَػ َق، فَػتَػَزنو َج،اب َشْيػئًا ِم ْن أَقِ ٍط َو َْسْ ٍن َ َالسوؽ فَػب َ َص َ فَأ،اع َوا ْشتَػَرى ٍ «أَوِِل ولَو بِشاة:النِنب صلنى هللا علَي ِو وسلنم .120)خا ِري الب اه و (ر . » َ ْ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ ُ َ ُّ َُ ُ “Telah menceritakan kepada kami, „Ali, telah menceritakan kepada kami, Sufyân, Ia berkata,”Telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Humaid, bahwa ia mendengar Anas Radhiyallahu Anhu, berkata,” Nabi SAW bertanya kepada Abdurrahman bin Auf yang telah menikah dengan seorang wanita Anshâr. “Berapakah maharmu?”.Ia menjawab,”Sedikit emas. Dan dari Humaid aku mendengar, Anas berkata,”Saat mereka datang ke Madinah, Kaum Muhajirin tinggal bersama kaum Anshar, lalu Abdurrahman bin Auf bersaudara dengan Sa‟ad bin Ar Rabi‟ maka Ia berkata,” Aku akan bagikan hartaku, dan aku berikan untukmu salah satu istriku. Abdurrahman Bin Auf berkata,”Semoga Allah memberkahi harta dan keluargamu, lalu Abdurrahman bin Auf berkata,”Tunjukan kepadaku pasar, lalu ia berjual beli di pasar dan ia berjual beli minyak dan kue kering (aqith) lalu iapun menikah, maka nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda,” Lakukan walimahlah,meski dengan seekor kambing”.(HR. Al Bukhâri)
Hadits diatas mengajarkan agar melakukan walimah, untuk mengabarkan kepada masyarakat, dan memang seperti itulah yang Rasulullah dan para sahabat ajarkan kepada kita. Dalam hadits lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga berdalil dengan hadits lain:
ِ يسى َ َ ق،يد بْ ُن َى ُارو َف َ َ ق،ََحَ ُد بْ ُن َمنِي ٍع ْ َح ندثػَنَا أ ُ َح ندثػَنَا يَِز:اؿ ْ أ:اؿ َ َخبَػَرََن ع ٍ ِ ِ ٍ وؿ ُ اؿ َر ُس َ َ ق:ت ُّ صا ِر ْ َ َع ْن َعائ َشةَ قَال، َع ِن ال َقاس ِم بْ ِن ُُمَ نمد،ي َ ْبْ ُن َمْي ُموف اْلَن ِ واجعلُوه ِِف الْمس، أَعلِنوا ى َذا النِّ َكاح:اَّلل علَي ِو وسلنم ِ ،اج ِد َ ُ ْ َ َ َ ْ َ ُصلنى ن ُ َْ َ َ َ هللا ََ ِ الِتِم ِ 121 ِ ِِ )يذ ْي ْ َو ّْ ُ(رواه َ .اَ ِربُوا َعلَْيو ِب ُّلدفُوؼ “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muni‟ ia berkata,”Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Hârun, ia
120
Imam Al Bukhâri, Shahih Bukhâri, Jilid 7 (t.tp: Dâr Thûq An Najât,1422H) h. 24, No. hadits 5167 121 Imam At Tirmizi, Sunan At Tirmizi, Jilid II, ( Beirut: Dar Al Gharb A Islami, 1998 M) h. 390 No. Hadits 1089
124 berkata,”Telah menceritakan kepada kami Isa bin Maimûn Al Anshâri, dari al Qâshim bin Muhammad, dari Aisyah ia berkata,”Rasulullah bersabda,”Umumkanlah pernikahan, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana”(HR. At Tirmîzi) Dari hadits diatas bisa diambil pelajaran, bahwa pernikahan seyogyanya di umumkan kepada khalayak, agar tidak timbul fitnah dikemudian hari, hal ini jelas memberikan arahan agar kaum muslimin tidak melakukan nikah dibawah tangan. Majelis Ulama Indonesia juga menggunakan kaidah fikhiyah yang berbunyi: 122
ِ درء ال َف ِ ْاس ِد أَْوََل ِم ْن َجل ب الَمنَافِ ْع َ ُ َْ
“Mencegah kerusakan, lebih didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan”. Dalam lafaz lain disebutkan: 123
ِ درء الػ َف ِ اس ِد ُم َق ند ُـ َعلَى َج ْل .صا ِل َ ب الػ َم َ ُ َْ
“Mencegah kerusakan, lebih didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan”. Ahmad Musthafa Az Zuhaili memberikan komentar terhadap kaidah fikih diatas: “Pada dasarnya syariat datang utk menggapai kemanfaatan dan mencegah kerusakan, jika berbenturan antara kebaikan dan kerusakan, maka lebih didahulukan menolak kerusakan secara umum, karena syariat lebih memperhatikan penolakan terhadap kerusakan, dan mewaspadai kerusakan lebih utama daripada melaksanakan perintah-perintah”124 Berdasarkan kaidah fikhiyah diatas, motivasi Majelis Ulama Indonesia untuk lebih mengedepankan prinsip ihtiyati (berhati-hati) dalam mengambil tindakan dengan pertimbangan manfaat dan mudharat terkait pencatatan nikah, artinya pencatatan nikah lebih maslahat dikemudian hari dibanding dengan perkawinan yang tidak dicatatkan.
122
Muhammad Sdiqi al Burnû, Al Wajîz FîIdhâh Qawaid al Fikhiyah Al Kulliyah h.
265 123
Ahmad Musthafâ Az Zuhaily, Al Qawâd Al Fikhiyah Wa Tathbiqâtiha Fî Al Mazâhib Al Arba‟ah,Jilid I (Damaskus: Dâr Al Fikr, 1427 H) h. 238 124 Ahmad Musthafâ Az Zuhaily, Al Qawâd Al Fikhiyah Wa Tathbiqâtiha Fî Al Mazâhib Al Arba‟ah h. 238
125 C. Dampak Perkawinan Yang Tidak di Catatkan di Kantor Urusan Agama Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan dalam kasus Mcc dan Md diatas, MK tidak mengabulkan permohonan pemohon dalam uji materiil pada Pasal 2 ayat (2) UU perkawinan tahun 1974, karena perkawinan yang dicatatkan untuk mendapatkan tertib administrasi. Namun dalam permohonan uji materiil Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan akhirnya dikabulkan oleh MK, karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapaknya tidak hanya dalam ikatan perkawinan, akan tetapi berdasarakan pembuktian darah melalui teknologi DNA. Langkah MK ini merupakan langkah maju di satu sisi, namun disisi lain menuai kontroversi. Dengan adanya putusan ini, maka anak luar kawin ( bawah tangan) sebagai anak sah yang berhak mendapat waris dari bapaknya tanpa harus didahului dengan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan adanya hubungan biologis tersebut melalui hasil tes DNA. Namun demikian, apabila ada penyangkalan mengenai anak luar kawin ini dari anak anak yang sah, maka dalam hal ini perlu ada penetapan dari pengadilan.125 Keberadaan anak dalam sebuah keluarga tidaklah terlepas dari pihak-pihak lain, oleh Karen itu seorang anak akan terpaut erat dengan hukum-hukum yang terkait dan bersinggungan dalam masalah-masalah keluarga. Soekanto menyebutkan bahwa hukum keluarga meliputi beberapa aspek diantaranya:126 a. Hubungan anak dan orang tuanya b. Hubungan anak dengan keluarga lainnya c. Pemeliharaan anak d. Pengambilan anak (adopsi) Keberadaan keempat hal tersebut senantiasa menjadi substansi pokok dalam pembahasan hukum keluarga. Hubungan anak dengan orang tua dibuktikan dengan adanya hubungan darah, sedangkan hubungan perdata ditentukan oleh hubungan hukum sebelumnya, misalnya perkawinan atau pengakuan secara legal.127
125
http://www.jimlyschool.com/read/analisis/256/putusan-mahkamah-konstistusitentang-status-anak-luar-kawin/&ei diakses 24 Juli 2016 126 Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat (Jakarta: Rajawali, 2001) h. 108 127 Andi Hartanto, Hukum Waris, Kedudukan dan Hukum Waris Anal Luar Kawin Menurut BW Pasca Putusan MK, h. 39
126