BAB III KECERDASAN EMOSIONAL MENURUT M. UTSMAN NAJATI
A. Muhammad Utsman Najati dan Karya-Karyanya 1. Riwayat Hidup Muhammad Utsman Najati Muhammad
Utsman
Najati
adalah
seorang
kontemporer yang berasal dari Timur Tengah. psikologi
Islam,
beliau
telah
mengukir
sosok
pemikir
Sebagai guru besar keilmuwannya
setelah
menyelesaikan magisternya pada tahun 1942 dengan judul tesisnya: Panca indera dalam tinjauan Ibnu Sina. Setelah menyelesaikan risalah itu, maka mulailah dia memfokuskan pemikirannya tentang konsep kejiwaan yang terkandung dalam al-Qur‟an dan al-Hadis. Sejak dalam
menyelesaikan studinya, pandangan yang telah dianutnya
mewujudkan
pengkombinasian
pemikiran
ilmu
psikologi
dengan
Islam
pandangan
merambah psikologi
kepada moderen.
Menurutnya, salah satu sumber ilmu apalagi psikologi tidak boleh lepas dari dua sumber Islam yaitu al-Qur‟an dan al-Hadis. Sebab Islam (dalam hal
ini
al-Qur‟an)
merupakan
kunci
pembuka
bagi
setiap
ilmu
pengetahuan, dan menjadi jawaban akhir yang mutlak. Muhammad
Utsman
Najati,
adalah
profesor
psikologi
di
Universitas Muhammad ibn Saud, Arab saudi dan profesor tamu di beberapa perguruan tinggi di Kuwait dan Mesir. Dia menjelajahi misteri kecerdasan manusia dengan mengambil sumber pada kearifan seorang Muhammad SAW. Muhammad Utsman Najati adalah sosok
40
pemikir
41
kontemporer yang berasal
dari Timur Tengah. Reputasinya sebagai guru
besar dalam bidang psikologi menunjukkan kedalaman dan ketajaman pemikirannya. “Panca indera dalam tinjauan Ibnu Sina” merupakan judul risalah Najati dalam memperoleh gelar magister pada tahun 1942.1
2. Karya-Karya Muhammad Utsman Najati Sebagai seorang ilmuwan, banyak hasil karya tulisan yang telah dipublikasikan mejadi literatur khazanah kelilmuwan islam. Dibawah ini buku-bukuyang dikarang berdasarkan tahun penerbitan dari Dar-asSyuruq Beirut: a. Al-Qur‟an wa „Ilm an-Nafs (1987) b. Al-Hadis an Nabawiyah wa „Ilm an-Nafs (1988) c. Al-Idrak al-Hissiy „Inda Ibnu Sina: Bahsun fi „Ilm an-Nafs „Inda Arab (1980) d. Ad-Dirasat an-Nafsaniyyah „Inda al-„Ulama al-Muslimin (1993) e. Ma‟alim at-Tahlil an-Nafsiy terjemahan dari Sigmund Freud (1988) f.
Salas Rasail fi Nazariyat al-Jins terjemahan dari Sigmund Freud (1988)
g. „ilm an-Nafs al-Ikliniki terjemahan dari Juliana, alih bahasa Athiyah Mahmud Hana dan disunting oleh Muhammad „Utsman Najati (1988) h. At-Ta‟lum terjemahan dari Sanov A. Medenick et al., alih bahasa oleh Muhammad Imaduddin Ismail oleh „Utsman Najati (1988) 1
Muhammad Utsman Najati, Al-Qur‟an dan Ilmu Jiwa, Terjemahan Ahmad Rofi Usmani, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. v.
42
Ada juga buku karya Mohammad
„Utsman Najati yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti: a. Al-Qur‟an wa „Ilm an-Nafs, diterjemahkan oleh dua versi, yaitu: al-“Qur‟an dan Ilmu Jiwa” yang diterjemahkan oleh Ahmad Rofi Usmani dan diterbitkan oleh Pustaka Bandung (1985), dan Psikologi dalam Al-Quran, terjemahan M. Zaka Alfarisi dan diterbitkan oleh Pustaka Setia Bandung (2005) b. Al-Hadis an-Nabawiy wa „Ilm an-Nafs, diterjemahkan oleh dua versi, yaitu “Psikologi Nabi” oleh Hedi Fajar diterbitkan Pustaka Hidayah Bandung (2005), dan “Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi” oleh Irfan Salim diterbitkan Hikmah Jakarta (2005)2
B. Pemikiran Muhammad Utsman Najati tentang Kecerdasan Emosional Agama Islam menekankan pentingnya mengontrol dan mengendalikan emosi berlebihan, baik emosi yang berhubungan dengan kebutuhan fisiologis maupun emosi religius. Kesadaran pengendalian emosi dalam Islam diawali dengan pengenalan mengenai halal dan haram sebuah tindakan. Setelah kesadaran ini tercapai, maka sikap hati-hati, waspada dalam tindakan sangat dianjurkan. Kewaspadaan ini disebut Rasulullah SAW sebagai sikap takwa. Beliau bersabda3 :
2
Abdusima Nasution. “Lektur Moderen Psikologi Islam”. http://abdusima.blogspot.co.id/ 2014/ 02/lektur-moderen-psikologi-islam.ht ml. (Februari 2014). diakses, 04 April 2016. 3
M. Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, terjemahan Irfan Salim, cetakan ke-3 (Jakarta: Hikmah, 2002), hlm. 57.
43
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa berhati-hati terhadap perkara syubhat, maka berarti ia membebaskan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa terjerumus ke dalam perkara syubhat, maka ia terjerumus ke dalam perkara haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan (hewan gembalaannya) di sekitar pagar, yang hampir saja menerobos pagar itu. Ingatlah bahwa sesungguhnya setiap raja memiliki batas dan sesungguhnya batas Allah adalahh perkara-perkara haram. (HR. Al-Syaikhani, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasai). Kemudian mengenai perintah agar bersikap pertengahan dan melarang sikap berlebihan, Allah berfirman4 : “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki masjid), makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A‟raf[7]: 31). 1. Mengendalikan Emosi Marah .5 الغضت اوفؼبل فطزِ يظٍز ػىذ مب يؼبق أحذ الذَافغ األسبسيخ أَ الٍبمخ ػه اإلشجبع “Marah adalah suatu emosi fitri (alami) yang muncul ketika salah satu motif dasar tidak terpenuhi maupun terhambat untuk dipenuhi”. Marah merupakan emosi dasar yang akan nampak ketika salah satu motif dasar atau penting yang harus terpenuhi terhambat. Ketika ada sesuatu yang menghambat manusia maupun hewan dalam memuaskan salah satu motif dasarnya, ia akan berontak, marah, melawan penghambat itu untuk mengalahkan dan menghilangkannya sampai berhasil mencapai
4 5
Ibid., hlm. 58.
Muhammad Utsman Najati, Al-Hadīs an-Nabawiy wa „Ilm an-Nafs, (Beirut: Dar AsySyruruq, 2005), hlm. 102.
44
tujuannya dan memenuhi motifnya. Besarnya intensitas marah sebanding dengan besarnya motif yang dihambat dalam upaya pemenuhannya. 6 Nabi Saw.
melukiskan
bahwa
jika
seseorang
marah
maka
jantungnya dipenuhi darah dan aliran darah dalam tubuhnya menjadi sedemikian deras. Hal ini dapat memerahkan permukaan tubuh khususnya wajah dan menyebabkan orang yang mengalami marah merasakan panas: “Ketahuilah sesungguhnya marah itu adalah bara di dalam hati anak Adam. Tidaklah kalian lihat matanya yang merah dan urat lehernya yang tegang.” (HR. Tirmidzi). Dalam keadaan marah, karena emosi sedemikian meninggi, pikiran menjadi tertutup, tidak mampu berpikir jernih. Oleh karena
itu
Rasulullah
Saw.
menasehati para sahabat untuk
tidak
mengeluarkan vonis atau keputusan pada saat marah. Rasulullah Saw. mengatakan bahwa talak seorang suami tidak sah jika ia mengucapkannya dalam kondisi sangat marah: “Tidak ada talak dan pembebasan budak dalam kondisi sangat marah.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ibn Majah). 7 Kemampuan mengendalikan kemarahan berarti selamat dari murka Allah. Abdullah bin Amru pernah bertanya kepada Rasululah Saw.: ”Apa yang
dapat
menyelamatkan
diriku
dari murka
Allah?”.
Jawab
beliau: ”Jangan marah”. (HR. Tabrany dan Ahmad). Rasulullah Saw. menyebutkan bahwa kemampuan mengendalikan kemarahan merupakan keperkasaan sejati. Dalam sebuah forum, beliau pernah bertanya kepada sahabatnya: “Apa pendapat kalian, siapa orang kuat di antara kalian?”, 6
Ibid., hlm. 58.
7
Ibid., hlm. 59-60.
45
mereka menjawab: “Yaitu orang yang tidak lagi mampu dilawan oleh lakilaki (saking kuatnya)”. Beliau bersabda: “Bukan, sesungguhnya dia adalah orang yang dapat mengendalikan nafsunya ketika marah.” (HR. Muslim dan Abu Dawud).8 Rasulullah Saw. merupakan tauladan bagi para sahabatnya dalam mengendalikan marah. Beliau tidak pernah marah jika disakiti seseorang bahkan beliau membalasnya dengan senyuman, mudah memaafkan dan berbuat
baik
kepada
yang
membencinya.
Anas
memberikan
kesaksian: ”Aku pernah berjalan bersama Rasulullah Saw. yang saat itu memakai selendang Najran yang tebal. Lalu ada seorang Badui yang mengenali beliau, ia menarik selendang beliau dengan sangat keras. Kulihat bekas pinggiran selendang pada leher Nabi Saw. akibat kerasnya tarikan si Badui. Kemudian ia berkata,‟Hai Muhammad, berikan padaku dari harta Allah yang ada padamu.‟ Lalu beliau menoleh kepadanya dan tertawa. Kemudian beliau memerintahkan agar ia diberi sesuatu.” Salah satu cara mengendalikan emosi kemarahan adalah dengan menciptakan ketegangannya.
situasi Dengan
yang
tenang
bersikap
(rileks)
tenang,
maka
untuk
melepaskan
kemarahan
yang
bergejolak dalam dirinya sedikit demi sedikit akan terkurangi.9 Rasulullah mengajarkan
cara
kepada
sahabatnya
dalam mengendalikan marah.
Sebuah hadits dari Abu Dzar r.a. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
8 9
Ibid., hlm.60.
M. Utsman Najati, Psikologi dalam Perspektif Hadits, terjemahan Zaenuddin Abu Bakar (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru), hlm. 122.
46
“Jika salah seorang kalian marah dan saat itu sedang berdiri, hendaklah ia duduk. Karena itu bisa meredakan marahnya. Jika tidak, hendaklah ia berbaring.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Dengan duduk atau berbaring pada saat marah dapat membuat badan menjadi rileks dan akhirnya membantu meredakan dan melawan ketegangan yang ditimbulkan oleh perasaan marah, kemudian secara bertahap menghilangkannya secara tuntas. Selain itu, duduk dan berbaring dapat melawan kecenderungan permusuhan pada manusia dan hal itu membantu dalam menghadapi situasi yang memicu marah dengan penuh ketenangan dan hikmah tanpa ceroboh dan terburu-buru. Selain itu, Rasulullah Saw. juga menyarankan wudhu untuk mengendalikan marah. Beliau bersabda: “Sesungguhnya marah itu dari setan. Dan sesungguhnya setan itu diciptakan dari api. Dan api itu hanya dapat padam dengan air. Jadi, jika salah seorang kalian marah, berwudhulah.” (HR. Abu Dawud).10 Al-Quran berwasiat pula kepada kita agar mengontrol emosi marah. Sebab ketika manusia marah, pikirannya menjadi tidak bekerja dan kemampuan untuk mengeluarkan keputusan yang benar juga menghilang. Oleh karena itu pengendalian marah berguna untuk menjaga kemampuan berpikir jernih dan mengeluarkan keputusan yang benar, sehingga ia tidak akan melibatkan diri pada tindakan dan ucapan-ucapan yang akan mendatangkan penyesalan sesudahnya.11
10 11
M. Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, op.cit., hlm. 61-62.
M. Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Quran, terjemahan M. Zaka Alfarisi (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 184-185.
47
Selain itu manfaat dari pengendalian marah adalah memelihara keseimbangan fisik, sebab ia melindungi manusia dari ketegangan fisik yang timbul akibat peningkatan energi yang terjadi akibat meningkatnya zat gula yang dikeluarkan oleh hati. Dengan demikian, manusia akan terhindar untuk
menyalurkan energi yang berlebihan kepada tindak
kekerasan, seperti agresi fisik kepada orang yang dibencinya yang sering kali terjadi ketika emosi marah sedang berlangsung.12
2. Mengendalikan Motif Seksual Motif seksual merupakan kesadaran fisiologis primer yang kuat dan mendesak, khususnya pada pemuda. Desakan motif seksual pada pemuda dalam kondisi tertentu kadang menguat sampai taraf mengganggu akibat konflik yang dialaminya dalam melawan dan mengalahkan motif ini. Dalam mengatasi hal ini, mengatasinya.
Namun,
menikah merupakan solusi utama dalam
banyak
juga
di antara remaja yang motif
seksualnya sangat mendesak tetapi belum mampu dan memadai kondisi mental dan ekonominya. Dalam kondisi seperti ini pemuda dapat menekan desakan seksualnya melalui berbagai cara. Diantaranya dengan olah raga. Dengan berolahraga, energi yang dimiliki dapat dialihkan sehingga motif seksualnya menurun. Selain itu, ia juga bisa melakukan aktifitas lain dalam bidang sastra, seni, sosial yang beragam sehingga dapat menguras energi tubuhnya, dan akibatnya desakan motif seksual yang tadinya kuat 12
M. Utsman Najati, Al-Quran dan Ilmu Jiwa, terjemahan Ahmad Rofi‟Usmani, cetakan ke-2 (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 125.
48
menjadi lemah. Puasa juga merupakan salah satu cara melemahkan motif seksual karena sedikit makan, juga karena pikirannya saat berpuasa disibukkan dengan ibadah, zikir, dan tasbih kepada Allah. Sehingga pikirannya kepada seks akan teralihkan.13
3. Mengendalikan Keserakahan Ketamakan,
keserakahan,
dan
kekikiran
bersumber
pada
ketidakmampuan mengendalikan rasa ingin memiliki. Setiap kali harta bertambah, semakin tamak dan rakus untuk memiliki lebih banyak lagi. Kecenderungan,
cita-cita,
dan
keinginan
kuat
manusia
untuk
mengumpulkan harta dapat membuatnya lupa kepada Allah. Selain itu, kekikirannya dapat mencegah dirinya berinfak, berzakat, dan bersedekah kepada fakir dan miskin. Allah mengancam orang-orang yang serakah lagi kikir dengan azab yang pedih. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (QS. Al-Baqarah[2]: 261).14 Untuk itu, Rasulullah Saw. menganjurkan sifat qanaah dan rela atas rezeki yang telah dibagikan Allah kepada manusia. Nabi Saw. bersabda: “Bukanlah kaya itu dirilik dari banyaknya harta, akan tetapi kaya itu adalah kaya hati”. (HR. Al-Syaikhani, Tirmidzi, dan Nasa‟i). Rasulullah
13
M. Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, op.cit., hlm. 62-63.
14
Ibid., hlm. 69.
49
Saw.
mengecam kecenderungan manusia untuk mengumpulkan harta
benda dunia karena hal ini dapat menyibukkannya dari berdzikir dan beribadat kepada Allah. Sesungguhnya orang yang cita-cita hidupnya hanya mengumpulkan dan memiliki harta benda, ia akan menjadi budak dari apa yang dimilikinya. Ia bahagia jika mendapatkannya dan sengsara jika tidak mendapatkannya. Nabi Saw. bersabda: “Celakalah hamba dinar, hamba dirham, hamba sutra, hamba pakaian mewah. Jika diberi ia rela dan sebaliknya jika tidak diberi, tidak rela.”(HR. Bukhari).15
4. Mengendalikan Rasa Takut َحيىئذ تضطزة،أن الخُف الشذيذ جذا مه ػذاة اهلل قذ يإدِ الِبليأس مه رحمخ اهلل كبن،َلذلك. شخصيً االوسبن َقذ يسُء أدؤي لُاججبتً الذيىيخ ليأسً مه الىجبح مه ػذاة اهلل فبلزجبء. الزجبء فِزحمخ اهلل، َمه المفيذ أن يصبحت الخُف مه ػذاة اهلل،ِمه الضزَر فِزحمخ اهلل مه شأوً أن يخفف مه شذح الخُف الِبلذرجخ المؼقُلخ التّ التذع اليبءس يتملك .16 االوسبن َيصل ثً ئلِذرجخ االٌمبل فِأداء َاججبتً الذيىيخ Sesungguhnya takut yang berlebihan akan siksa Allah dapat menumbuhkan sikap pesimis dari rahmat Allah SWT. Dalam keadaan seperti ini, pribadi seseorang menjadi labil dan tidak bersemangat untuk memenuhi kewajiban agama lagi karena tidak mempunyai harapan untuk mendapat keselamatan dari siksa Allah. Demikian itu dari kemadharatannya. Sedangkan manfaatnya, sikap optimis mengharap rahmat Allah dapat meringankan rasa takut yang berlebihan sampai pada tingkat rasional. Sehingga tidak membiarkan sikap pesimis mendominasi seseorang dan pula tidak membiarkan sikap optimis harapan sampai pada tingkat meremehkan kewajiban agama.
15
M. Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, op.cit., hlm. 70.
16
Muhammad Utsman Najati, Al-Hadīs an-Nabawiy wa „Ilm an-Nafs, op.cit., hlm.101.
50
Emosi takut merupakan salah satu emosi penting dalam kehidupan manusia. Sebab, ia membantu manusia dalam memelihara manusia dari bahaya-bahaya yang mengancamnya, dan dengan demikian membantunya dalam melestarikan kehidupannya. Selain untuk menjaga manusia dari bahaya
yang
mengancam dalam kehidupan
duniawi,
bagi seorang
mukmin, takut juga dapat memelihara dirinya dari adzab dan api neraka. 17 Sesungguhnya rasa takut yang sangat berguna dalam kehidupan seseorang adalah rasa takutnya dari azab Allah. Hal ini mendorongnya untuk mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, melakukan semua yang diridhai Allah, dan menjauhi semua larangan-Nya. Takut yang seimbang dan tidak berlebihan, akan bermanfaat dalam mendorong manusia untuk melakukan pekerjaannya dengan baik. Sedangkan takut yang berlebihan, akan menimbulkan keguncangan dan keresahan jiwa, lalu berpengaruh pada rendahnya kualitas kerja.18 Rasa takut yang berlebihan akan adzab Allah dapat menumbuhkan sikap pesimis dari rahmat Allah. Oleh karena itu, penting sekali emosi takut dari adzab Allah itu dibarengi dengan harapan meraih rahmat Allah. Dengan
demikian
sikap
optimis
mengharap
rahmat
Allah
dapat
meringankan rasa takut yang berlebihan sampai pada tingkat yang rasional sehingga sikap pesimis tidak mendominasi seseorang dan pula sikap optimis harapan tidak
sampai pada tingkat meremehkan kewajiban
agamanya. Kombinasi antar keduanya menimbulkan energi pendorong 17
M. Utsman Najati, Al-Quran dan Ilmu Jiwa, op. cit., hlm. 67.
18
M. Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, op.cit., hlm. 72.
51
yang membimbing manusia berperilaku lurus, melaksanakan ketaatan dan kewajiban agama, menghindari dosa karena takut mendapat adzab Allah sekaligus mengharap ampunan dan rahmat-Nya.19 Al-Quran mengarahkan manusia supaya tidak takut kepada perkaraperkara yang biasanya menimbulkan ketakutan pada manusia seperti kematian dan kemiskinan.
a. Takut Mati Berkaitan dengan takut mati, Al-Quran telah menjelaskan kepada kita bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan yang fana dan kenikmatannya pun akan sirna, sedangkan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang langgeng dan kenikmatannya pun kekal tak akan sirna. Adapun kematian adalah satu fase yang akan mengantarkan kita dari kehidupan yang fana ini ke kehidupan yang kekal. Oleh karena itu, seorang mukmin tidak akan takut mati sebab mengetahui bahwa kematian akan mengantarkannya kepada kenikmatan kehidupak kekal abadi yang telah dijanjikan Allah Swt. Kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa.20 Keimanan akan kehidupan akhirat yang abadi dan nikmat abadi di sana, yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang beriman, merupakan salah satu faktor utama yang mendorong kaum muslimin berjuang di jalan Allah dengan penuh keberanian dan pengorbanan 19
Ibid., hlm. 72.
20
M. Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Quran, op.cit., hlm. 177.
52
tanpa rasa gentar akan mati. Orang mukmin yeng benar-benar mendalam keimanannya tahu dengan sepenuhnya bahwa kematian merupakan realitas dan tiada jalan untuk menghindarinya. Mereka menerima kematian itu sebagai hal yang pasti, tanpa rasa gentar dan takut.
Mereka pun tahu betapa panjang usia seseorang dalam
kehidupan ini, ia pasti akan mati juga.21 b. Takut Miskin Al-quran juga berwasiat agar kita tidak takut jatuh miskin. Sebab rezeki berada di tangan Allah, dan Dia adalah pemberi rezeki dan pemilik
kekatan
yang
sangat
kokok.
Sebagaimana
Firman-
Nya : ”Sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Pemberi rezeki, yang mempunyai kekuatan yang sangat kokoh”. (QS. Adz-Dzariyat[52]: 53).
5. Mengendalikan Cemburu, Benci dan Iri Cemburu adalah perasaan kotor yang biasa timbul jika seseorang merasa ada orang lain yang menyainginya dalam meraih cinta seorang yang dicintainya. Cemburu ada yang terpuji dan dan dianjurkan, ada pula yang tercela dan dibenci. Mencemburui keluarga karena alasan kuat adalah terpuji dan dianjurkan. Sedangkan cemburu karena persoalan yang sepele atau karena keraguan dan was-was yang tidak beralasan adalah tercela. “Ghirah itu ada yang dicintai Allah dan ada yang dibenci Allah. Adapun yang dicintai Allah Azza wa Jalla adalah ghirah pada
21
M. Utsman Najati, Al-Quran dan Ilmu Jiwa, op. cit., hlm. 121-123.
53
keraguan dan tanda-tanda kejahatan. Sedangkan yang dibenci Allah adalah ghirah pada selain keraguan dan tanda-tanda kejahatan.”(HR. Abu Dawud).22 Sedangkan benci adalah lawan dari cinta. Manusia menyenangi sesuatu yang berguna dan menyenangkannya serta membuat dirinya enak dan puas. Bagi seorang mukmin, kalbunya sarat dengan cinta kepada manusia, hewan dan seluruh makhluk Allah. Dalam kenyataan, hati seorang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah tidak mengenal rasa benci karena persoalan dunia yang fana. Seorang mukmin merasa benci dan marah hanya karena Allah. Ia benci bila ada orang yang melanggar hak-hak Allah, melihat orang berbuat zalim kepada manusia, berbuat kerusakan di muka bumi atau menumpahkan darah tanpa hak. Benci karena Allah adalah membenci kejahatan dengan segala
bentuknya,
menyakiti
manusia,
membahayakan
kepentingan
umum bagi masyarakat, negeri atau kemanusiaan pada umumnya. 23 Iri adalah perasaan dan emosi yang sudah dikenal manusia pada umumnya. Iri dibagi menjadi dua macam.
Pertama, iri melihat orang
lain yang melebihinya dalam suatu kenikmatan. Ia berharap memperoleh nikmat itu dan berharap nikmat itu lenyap dari orang lain. Ini adalah hasud yang tercela dan dilaran oleh syara‟. Kedua, iri melihat orang lain yang melebihi kenikmatannya, ia berharap memperoleh nikmat yang sama dengan orang lain, akan tetapi tidak mengharapkan kenikmatan itu 22
M. Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, op.cit., hlm. 73-74.
23
Ibid., hlm. 75.
54
lenyap dari orang lain tersebut. Hasad semacam ini tidak tercela secara mutlak, bahkan terpuji dalam perbuatan baik. Tentang iri semacam ini Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak ada hasad kecuali dalam dua perkara, seorang laki-laki yang diberi harta oleh Allah lalu ia habiskan harta itu di jalan kebenaran, dan laki-laki yang diberi hikmah oleh Allah lalu dengannya ia menuntaskan perkara dan mengajarkannya.” (HR. Syaikhani dan Tirmidzi).24 Orang muslim tidak dibenarkan merasa dengki kepada orang lain karena nikmat yang dilimpahkan oleh Allah Swt. Padanya, melainkan pada dua hal. Pertama, seseorang yang dianugerahi oleh Allah Swt. Berupa harta benda kemudian ia menafkahkannya di jalan Allah Swt. Kedua,
seseorang
menyebarkannya
yang
kepada
dilimpahi setiap
hikmah orang,
ilmu
kemudian
melaksanakannya,
ia dan
mengajarkan kepada orang lain. Dalam pengertian lain, dianugerahi alQuran
kemudian
mengamalkannya
sepanjang
hari.
Al-Quran
dan
hikmah di sini mengandung makna yang sama karena al-Quran merupakan sumber hikmah.25
6. Mengendalikan Nafsu Bermusuhan Rasulullah bermusuhan,
Saw. melarang
melarang mereka
kaum
muslimin
menakut-nakuti,
untuk
menganiaya
saling dan
menyakiti saudaranya baik secara fisik seperti memukul atau dengan 24
Ibid., hlm. 75-77.
25
M. Utsman Najati, Psikologi dalam Perspektif Hadits, op.cit., hlm. 113.
55
kata-kata
seperti mencela,
menuduh zina dan membuka rahasia.
Rasulullah Saw. menjadikan sifat dasar seorang muslim adalah tidak menyakiti saudaranya sesama muslim dengan tangan maupun lidah. Nabi Saw. bersabda: ”Seorang muslim adalah apabila kaum muslimin merasa aman dan selamat dari lidah dan tangannya.”(HR. AlSyaikhani, Malik, Abu Dawud, Al-Nasai); “Seorang mukmin bukanlah pencela, pelaknat, pelaku perbuatan keji, dan pengucap kata-kata buruk.”(HR. Al-Syaikhani, Malik, Tirmidzi dan Al-Nasai).26 Hadits di atas berisi peringatan keras terhadap sikap muslimin yang menyakiti lidahnya.
saudaranya
sesama
Rasulullah Saw.
muslim
dengan
tangannya
maupun
mengancam orang yang melakukan hal
demikian dengan kerugian yang besar di hari kiamat. Selain itu jika permusuhan sesama muslim sampai berpuncak
pada pembunuhan,
Rasulullah Saw. mengancam orang yang membunuh seorang mukmin dengan azab yang berat: “Seandainya penduduk langit dan bumi berserikat dalam membunuh seorang mukmin, maka Allah akan membanting mereka di neraka” (HR. Bukhari).27
7. Sombong dan Berbangga Diri Sombong adalah sikap merasa lebih tingngi dari orang lain sekaligus merendahkan mereka. Sombong merupakan perasaan yang dibenci dan sifat akhlak yang tercela. Rasulullah Saw. mengecam sikap 26
Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, op.cit., hlm. 78.
27
Ibid., hlm. 79-81.
56
sombong, Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada sebiji atom kesombongan.” Seorang laki-laki berkata: “Seseorang itu suka jika pakaian dan sandalnya bagus.” Jawab beliau: “Sesungguhnya Allah Ta‟ala itu Maha Indah dan mencintai keindahan. Sombong itu menolak kebenaran dan menghina manusia.”28 Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman: “Sombong
itu
selendang-Ku dan kemuliaan itu pakaian-Ku. Maka barang siapa berusaha menyaingi-Ku dalam keduanya itu, Aku akan mengadzabnya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud). Al-Quran juga mencela dan mengecam sikap sombong dan berbangga diri, diantara ayat yang mengecam sombong
dan
berbangga
diri
adalah:
“Dan
janganlah
kamu
memalingkan muka kamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai otang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”29
8. Malu, Bukan Rendah Diri Malu adalah perasaan manusia yang timbul dari rasa takut melakukan perbuatan tercela atau tidak diterima oleh agama dan akhlak. Karena itu, malu adalah sifat terpuji karena dapat mencegah seseorang dari kesalahan atau melakukan perbuatan keji dan berbuat maksiat. Orang yang tidak punya malu bisa saja melakukan perbuatan tercela atau 28
Ibid., hlm. 81-82.
29
Ibid., hlm. 82.
57
terjerumus dalam kesalahan dan dosa tanpa mempedulikan manusia atau nilai-nilai sosial dan moral, dan tanpa merasa berdosa. Rasulullah Saw. bersabda:”Sesungguhnya di antara yang diketahui manusia dari perkataan kenabian yang pertama adalah jika kau tidak malu, berbuatlah apa yang kau mau.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, dan Ahmad). Rasulullah Saw. memuji sifat malu dan menjadikannya sifat terpuji yang harus menghiasi diri pribadi mukmin. 30 Malu merupakan keadaan jiwa yang dimiliki oleh orang-orang yang
berakhlak
mulia.
Mereka membenci kekurangan,
kesalahan,
kejahatan, dan perbuatan keji serta memegang teguh iman dan takwa dan selalu berusaha mengerjakan perbuatan yang diridhai dan dicintai Allah. Jadi malu termasuk salah satu tanda kesempurnaan iman dan takwa. Rasulullah Saw. bersabda: “Malu terhadap Allah yang sebenarnya adalah engkau menjaga kepala dan apa yang ia pikirkan, serta perut dan isinya. Dan hendaklah kau ingat mati dan musibah. Barang siapa menginginkan akhirat, ia akan meninggalkan perhiasan dunia. Barang siapa berbuat demikian berarti ia telah malu kepada Allah dengan sebenarnya.”(HR. Tirmidzi, Ahmad dan Hakim). Malu yang dimaksud adalah menjaga kepala berikut pandangan, pendengaran dan lidah, menjaga perut berikut syahwat makan dan kemaluan, mengingat maut
30
Ibid., hlm. 83.
58
dan tubuh yang fana, zuhud terhadap dunia yang fana, beramal untuk kenikmatan kehidupan akhirat yang kekal. 31
31
Ibid., hlm. 84.