BAB III KARAKTERISTIK KONSELOR
A. KONSELOR SEBAGAI PRIBADI Di dalam kegiatan konseling, seorang konselor berhadapan dan bertatapan langsung dengan orang lain (klien). Dua pribadi saling bertemu dan bertatap muka, maka terjadi interaksi yang melibatkan faktor-faktor kognitif maupun afektif. Yang seorang ingin memberikan sesuatu dan yang seorang lagi ingin memperoleh sesuatu. Dalam memberikan maupun menerima, keduanya sangat besar dipengaruhi konstelasi kepribadian masing-masing yang amat pribadi atau oleh faktor manusianya. (Gunarsa, 1996) Stewart (dalam Gunarsa, 1996) mengemukakan bahwa salah satu ciri dasar untuk menjadi seorang “effective helper” adalah “liking people”. Menyenangi orang lain akan memberikan dampak tertentu dalam interaksi yang terjadi, antara lain berkurangnya ketegangan sehingga menjamin kelancaran interaksi yang terjadi. Apabila kelancaran interaksi dapat dicapai, maka tujuan pertemuan akan mudah terpenuhi. Konselor dapat melakukan kegiatan konseling dan klien dapat memperoleh sesuatu sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan dikehendaki. Gunarsa (1996) mengemukakan bahwa konselor sebagai pribadi dengan macam-macam
konstelasi
dan
gambaran
kepribadiannya,
mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan dalam melakukan kegiatan konseling, khususnya kegiatan konseling sebagai profesi. Lebih lanjut, mengenai pentingnya konselor sebagai pribadi ditekankan oleh Comb, et al (1969), Corey (1991) dan Rollo May (1967). Comb, et al (1969) menyimpulkan dari hasil pebelitiannya bahwa: teknik yang banyak dilakukan dalam konseling adalah “diri sendiri sebagai alat” (self as instrument) yaitu pribadi konselor menjadi fasilitator untuk pertumbuhan yang positif dari klien. Hal yang sama ditekankan juga oleh Corey (1991) bahwa: alat yang paling penting adalah dirinya sendiri sebagai pribadi (yourself as a person). Corey mengemukakan bahwa para konselor hendaknya mengalami sebagai klien pada suatu saat, karena pengenalan terhadap diri sendiri dapat menaikkan tingkatan kesadaran diri (self awareness). Rollo May (1967) menyatakan bahwa
36
hal yang penting bagi seseorang agar dapat menjadi konselor yang baik adalah dirinya sendiri (“The personal equation is all-important in caounseling”). George & Cristiani (dalam Gunarsa,1996) mengemukakan ada 3 hal penting mempengaruhi kegiatan konseling sebagai kegiatan profesional, yaitu: 1. kualitas pribadi 2. pengetahuan profesi 3. keterampilan khusus konseling Ketiganya tidak berdiri sendiri tetapi saling pengaruh-mempengaruhi dan mempengaruhi pula efektifitas sesuatu kegiatan konseling dilakukan. Gunarsa (1996) juga mengemukakan bahwa konselor sebagai pribadi dengan ciri kepribadiannya yang mempengaruhi kegiatannya sebagai konselor yang professional, telah lama diperhatikan oleh para ahli dalam bidang konseling, termasuk
juga
oleh
organisasinya.
Salah
satu
organisasi
yang
telah
memperhatikan hal ini adalah Ikatan Nasional Bimbingan Kejuruan (National Vocational Guidance Association) yang pada tahun 1949 mengemukakan ciri umum yang perlu dimiliki seorang konselor adalah: 1. menaruh minat yang mendalam terhadap orang lain dan penyabar 2. peka terhadap sikap dan tindakan orang lain 3. memiliki kehidupan emosi yang stabil & objektif 4. memiliki kemampuan untuk dipercaya orang lain 5. menghargai fakta Kemudian pada tahun 1964, Ikatan Konselor untuk Konseling dan Supervisi ( Association for Counseling Education & Supervision) menunjukkan bahwa seorang konselor harus memiliki sekelompok kualitas dasar kepribadian sebagai berikut: 1. percaya kepada setiap orang 2. menghayati nilai-nilai kemanusiaan setiap individu 3. peka terhadap dunia sekelilingnya 4. sikap keterbukaan 5. memahami diri sendiri 6. menghayati profesionalitas
37
George & Cristiani (dalam Gunarsa, 1996) mengintisarikan ciri-ciri konselor yang efektif sebagai berikut: 1. Membuka diri dan menerima pengalaman sendiri Keterbukaan di sini diartikan sebagai keterbukaan terhadap diri sendiri. Menerima pengalaman diri sendiri diartikan sebagai menerima berbagai kehidupan perasaan sebagaimana yang dirasakan dan dialami sebagaimana adanya, agar dapat menguasai perilakunya.Dengan menyadari reaksi-reaksi emosinya sendiri, seseorang dapat memilih hal-hal yang perlu dilakukan dan tidak mengikuti perasaan yg mendorong melakukan sesuatu perbuatan tanpa disadari. 2. Menyadari akan nilai dan pendapatnya sendiri Artinya mengerti apa yang penting bagi dirinya dan dapat menentukan norma-norma untuk kehidupannya. Ia dapat memutuskan dan menentukan perilaku yang sesuai dengan nilai yg dianutnya. Dapat menemukan peranan yang berarti dalam kehidupannya yang memberinya petunjuk untuk berhubungan dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Ia juga dapat menghindari perilaku yang tidak efektif tetapi sebaliknya dapat melibatkan dalam perilaku yang positif dan bermanfaat. 3. Dapat membina hubungan hangat dan mendalam dengan orang lain Dapat menghargai orang lain sebagai orang lain dengan kehidupan perasaan dan pendapatnya. Dapat memperlihatkan kehangatan terhadap orang lain tanpa harus khawatir akan memperoleh reaksi negatif dari orang lain, tanpa terlibat terlalu jauh artinya masih ada jarak yang harus dipertahankan yaitu tidak menimbulkan salah tafsir bahwa ia mau berbuat dan berkorban apa saja buat orang lain. 4. Dapat membiarkan diri sendiri dilihat orang lain sebagaimana adanya Ciri ini diperlihatkan dengan sikap wajar. Jika seseorang dapat memahami dan menerima kehidupan perasaannya sesuai dengan pengalamannya, ia tidak perlu memaksakan perasaannya kepada orang lain, juga tidak perlu menutupi diri sehingga orang lain melakukan sesuatu penilaian tertentu. Hal ini berarti juga mau menjadi diri sendiri dan mau pula mengekspresikan diri melalui perkataan, perasaan dan perilakunya
38
5. Menerima tanggung jawab pribadi dari perilakunya sendiri Artinya mampu mengatasi kegagalan dan kelemahan, tidak menolak kegagalan dan tidak menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Berarti juga dapat menerima kritik dengan reaksi baik dan tidak sebaliknya justru mempertahankan & melindungi diri 6. Mengembangkan tingkatan aspirasi yang realistik Artinya dapat menilai seberapa jauh sesuatu tujuan ditempatkan sesuai dengan kenyataan atau keadaan yang dimiliki untuk dapat mencapainya Corey juga mengemukakan daftar karakteristik kepribadian sebagai konselor yang efektif. Diakuinya bahwa daftar karakteristik kerpibadian tersebut bukan merupakan daftar yang kaku, yang harus dimiliki atau dicontoh oleh para terapis/konselor, namun sebagai rangsangan untuk memeriksa diri sendiri mengenai pendapatnya bagaimana gambaran seseorang yang dapat membuat sesuatu yang sangat berbeda di dalam kehidupan orang lain. Adapun daftar karakteristik kepribadian tersebut adalah: 1. memiliki identitas 2. menghargai diri sendiri 3. bisa mengenal & menerima kekuatannnya sendiri 4. terbuka akan perubahan 5. memperluas kesadaran terhadap diri sendiri dan orang lain 6. bersedia dan mentoleransikan keraguan-raguan 7. mengembangkan gaya konselingnya sendiri 8. bisa mengalami dan memahami dunianya klien sekalipun empati bukan mau memiliki 9. merasa bebas dan pilihan-pilihannya berorientasi ke kehidupan 10. ia adalah ia sebagaimana adanya, tulus dan jujur 11. memiliki sentuhan humor 12. bisa berbuat salah dan bersedia mengakui kesalahannya 13. pada umumnya hidup dalam waktu sekarang 14. menghargai pengaruh kebudayaan 15. mampu menciptakan kembali diri sendiri
39
16. menentukan pilihan yang sesuai untuk hidupnya 17. memiliki minat yang tulus terhadap kesejahteraan orang lain
(penjelasan baca dalam buku yang berjudul Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi karangan Gerald Corey) Latipun juga mengungkap bahwa untuk menopang peran sebagai konselor yang efektif, dia perlu mengetahui apa dan siapa "pribadinya". Dimick (1970) mengemukakan
bahwa
kesadaran
konselor
terhadap
personalnya
akan
menguntungkan klien. Dimensi personal yang harus disadari konselor dan perlu dimiliki, secara singkat sebagai berikut. a. Spontanitas Sikap Spontanitas (spontanity) konselor merupakan aspek yang sangat penting dalam hubungan konseling. Spontanitas khususnya menyangkut kemampuan konselor untuk merespon peristiwa ke situasi yang sebagaimana dilihatnya dalam hubungan konseling. Kegiatan konseling sangat banyak menuntut kemampuan bersikap ini. Jika dibandingkan dengan kegiatan belajar mengajar, hubungan konseling tidak dapat direncanakan sebelumnya. Konselor tidak dapat membuat rencana A, B, C, dan seterusnya, tetapi perlu kesiapan untuk berinteraksi dan secara spontan merespon apa yang diperolehnya sepanjang hubungan konseling. b. Fleksibelitas Fleksibelitas (flexibility) adalah kemampuan dan kemauan konselor untuk mengubah, memodifikasi, dan menetapkan cara-cara yang digunakan jika keadaan mengharuskan. Fleksibelitas mencakup spontanitas dan kreativitas, Fleksibelitas juga tidak terpisahkan dari keduanya. Dengan sikap fleksibelitas ini klien akan mampu merealisasikan potensinya dan ini sangat penting dalam hubungan konseling.
40
c. Konsentrasi Dalam
hubungan
konseling
membutuhkan
kemampuan
untuk
berkonsentrasi (concentration). Kepedulian konselor kepada kliennya di antaranya ditunjukkan dengan kemampuan berkonsentrasi ini. Konsentrasi berarti keadaan konselor untuk berada "di sini" dan "saat ini". Dia bebas dari berbagai hambatan dan secara total memfokuskan pada perhatiannya kepada klien. Konsentrasi mencakup dua dimensi, yaitu verbal dan non verbal. Konsentrasi secara verbal berarti konselor mendengarkan apa isi verbalisasi klien, cara verbalisasi itu diungkapkan dan makna bagi klien (personal meaning) yang ada di balik kata-kata uang diungkapkan. Sedangkan konsentrasi secara non verbal adalah konselor memperhatikan seluruh gerakan, ekspresi, intonasi, dan perilaku yang lainnya yang ditunjukkan oleh klien dan kesemuanya berhubungan dengan pribadi klien. d. Keterbukaan Keterbukaan (openness) adalah kemampuan konselor untuk mendengarkan dan menerima nilai-nilai orang lain, tanpa melakukan distorsi dalam menemukan kebutuhannya sendiri. Keterbukaan bukan berarti konselor itu bebas nilai. Konselor tidak perlu melakukan pembelaan diri dan tidak perlu berbasa-basi jika mendengar dan menerima nilai orang lain. Dalam hal nilai, memang adakalanya nilai yang dianut konselor berbeda dengan nilai yang dianut klien. Konselor yang efektif toleran terhadap adanya perbedaan-perbedaan nilai itu. Keterbukaan tidak bermakna konselor menyetujui atau tidak menyetujui apa yang dipikirkan, dirasakan, atau yang dikatakan klien. Keterbukaan mengandung arti kemauan konselor bekerja keras untuk menerima pandangan klien sesuai dengan yang dirasakan dan/atau yang dikomunikasikan. Keterbukaan juga merupakan kemauan konselor untuk secara terus menerus menguji kembali dan menetapkan nilai-nilainya sendiri dalam pertumbuhan dan perkembangannya. e. Stabilitas emosi
41
Personal konselor yang efektif memiliki stabilitas emosional {emotional stability). Stabilitas emosional berarti jauh dari kecenderungan keadaan psikopatologis. Dengan kata lain, secara emosional personal konselor dalam keadaan sehat, tidak mengalami gangguan mental yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangannya. Stabilitas emosional tidak berarti konselor harus selalu tampak senang dan gembira, tetapi keadaan konselor menunjukkan sebagai person yang dapat menyesuaikan diri dan terintegratif. Pengalaman emosional yang tidak stabil dapat saja dialami setiap orang termasuk konselor. Pengalaman ini dapat dijadikan sebagai kerangka untuk lebih dapat memahami klien dan sikap empatik, dan jangan sampai pengalaman ini dapat berefek negatif dalam hubungan kon-seling. f. Berkeyakinan akan kemampuan untuk berubah Keyakinan akan kemampuan untuk berubah selalu ada dalam bidang psikologi, pendidikan dan konseling. Apa perlunya bidang itu dikembangkan jika bukan sebagai proses untuk mengubah perilaku, sikap, keyakinan dan perasaan individu. Konselor selalu berkeyakinan bahwa setiap orang pada dasarnya berkemampuan untuk mengubah keadaannya yang mungkin belum sepenuhnya optimal dan tugas konselor adalah membantu sepenuhnya proses perubahan itu menjadi lebih efektif. g. Komitmen pada rasa kemanusiaan Konseling pada dasarnya mencakup adanya rasa komitmen pada rasa kemanusiaan (humaness} dan bermaksud memenuhi atau mencapai segenap potensinya. Komitmen ini perlu dimiliki konselor dan menjadi dasar dalam usahanya membantu klien mencapai keinginan, perhatiannya, dan kemauannya. h. Kemauan membantu klien mengubah lingkungannya Konselor yang efektif di antaranya bersedia untuk selalu membantu klien mencapai
pertumbuhan,
keautentikan.
Perhatian
keistimewaan, konselor
bukan
lebih
baik,
membantu
berkebebasan,
dan
klien
atau
tunduk
42
menyesuaikan dengan lingkungannya di mana klien berada. Tugas konselor adalah membantu klien untuk mampu mengubah lingkungannya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Dengan demikian, klien menjadi subjek yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungannya bukan orang yang. selalu mengikuti apa kata lingkungannya. i. Pengetahuan konselor Tugas konselor membantu kliennya untuk meningkatkan dirinya secara keseluruhan. Konselor sendiri juga perlu menjadi pribadi yang utuh. Untuk dapat mencapai demikian dia harus mengetahui ilmu perilaku, mengetahui filsafat, mengetahui lingkungannya. Pada akhirnya, konselor harus bijak dalam memahami dirinya sendiri, orang lain, kondisi dan pengalamannya dalam hal peningkatan aktualisasi dirinya sebagai pribadi yang utuh. Usaha untuk terus belajar mengenai diri dan orang lain menjadi tuntutan seorang konselor. Dalam hal ini konselor harus siap untuk melakukan koreksi terhadap dirinya sendiri dan terbuka dari kritik orang lain. j. Totalitas Konselor sebagai pribadi yang total, berbeda dan terpisah dengan orang lain. Dalam konteks ini konselor perlu memiliki kualitas pribadi yang baik, yang mencapai kondisi kesehatan mentalnya secara positif. Konselor memiliki otonomi, mandiri, dan tidak menggantungkan pribadinya secara emosional kepada orang lain. di bawah ini diambil dari :Munro et al, 1983 “Penyuluhan (counseling) suatu pendekatan berdasarkan keterampilan”
Latihan A
1. Diskusikanlah dg 4 orang teman mengapa anda ingin menjadi konselor
43
2. Sesudah itu periksalah seberapa jauh keterbukaan, ketelitian, kejujuran dlm menyatakan diri Anda sendiri 3. Apakah Anda menyembunyikan beberapa hal, hanya mengatakan hal-hal yg Anda anggap baik & dapat diterima orang lain saja? 4. bagaimana pendapat teman-teman tentang taraf keterbukaan Anda?
Latihan B dlm kelompok dua-dua, selesaikan kalimat-kalimat di bawah ini: saya sebagai konselor: a. saya termasuk orang yang……….. b. kekuatan-kekuatan yang saya miliki adalah….. c. kelemahan-kelemahan saya adalah…… d. yang paling sering saya butuhkan dari orang lain adalah…. e. Yang paling sering saya berikan kepada orang lain adalah… Setelah selesai, diskusikanlah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, dalam kelompok besar 1.
seberapa jauh keterbukaan, ketelitian, kejujuran dlm menyatakan diri Anda sendiri?
2.
kalimat-kalimat manakah yang paling mudah diselesaikan? Dan yang paling sulit? Mengapa?
3.
apakah yang telah anda pelajari tentang diri anda sendiri?
Manfaat: menjadi konselor -
mempelajari dorongan-dorongan untuk menjadi konselor (misal : konselor menolong orang lain dg maksud menghindari permasalahannya sendiri tdk akan efektif), niat/dorongan konselor akan segera diketahui oleh klien
-
mengembangkan kesadaran tentang diri sendiri
-
memperhatikan ciri/sifat kepribadian yang semestinya dimiliki oleh konselor agar konseling berhasil
44
menampilkan dirinya sebagai manusia apa adanya menyadari kondisinya sendiri tdk hanya kondisi klien menyadari factor-faktor yang ikut mempengaruhi proses konseling
45
B. KONSELING BAGI KONSELOR Apakah para konselor atau terapis harus mengalami konseling atau terapi sebelum mereka menjadi praktisi? Dibawah ini dikutip tentang Gerald Corey (1988) Adapun pendapatnya sebagai berikut: Menurut Gerald Corey (1988) bahwa para terapis harus memiliki pengalaman menjadi klien. Pengalaman itu bisa diperoleh sebelum atau selama menjalani latihan. Akan tetapi, dia sangat setuju dengan bentuk pengalaman pertumbuhan pribadi, baik individual maupun kelompok atau kedua-duanya, sebagai prasyarat bagi praktek memberikan konseling kepada orang lain. Gerald Corey (1988) tidak berasumsi bahwa para calon terapis adalah orang-orang yang "sakit" dan perlu "disembuhkan". Akan tetapi, dia yakin bahwa kita semua memiliki titik-titik buta, bahwa kita semua memiliki bentuk urusan yang tak selesai yang bisa menghambat keefektifan kita sebagai terapis, dan bahwa kita semua bisa menjadi lebih. Terapi harus dipandang bukan sebagai tujuan pada dirinya, melainkan sebagai cara untuk membantu seorang calon terapis agar menjadi pribadi yang terapeutik, yang akan memiliki peluang yang lebih besar untuk memberikan suatu pengaruh yang signifikan dan positif terhadap klien-kliennya. Gerald Corey (1988) ingin menekankan nilai dari konseling individual atau kelompok bagi kita saat kita mulai memberikan konseling kepada orang lain. Dari pengalaman, penulis menemukan bahwa, ketika mulai memberikan konseling, luka-luka lama terbuka kembali dan perasaan-perasaan yang tidak tereksplorasi muncul ke permukaan. Penulis tidak mampu menghadapi depresi klien karena penulis gagal menangani cara yang digunakan penulis sendiri untuk menghindari depresi. Menjadi terapis memaksa kita untuk mengonfrontasikan rintangan-rintangan yang tidak tereksplorasi yang berkaitan dengan kesepian, kekuasaan, kematian, seksualitas, orang tua kita, dan sebagainya. Juga, ketika kami mulai bekerja sebagai konselor, Kami kerap mengalami impotensi profesi dan merasa ingin membebaskan diri. Penulis mendorong para calon konselor agar merasakan ketidakberdayaan dan keputusasaan mereka sendiri, tetapi disertai
46
tekad untuk tidak gampang menyerah, setidaknya tidak tanpa memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk menguji kemampuan. Di sini penulis melihat konseling pribadi sebagai bantuan yang wajar bagi kerja para terapis pemula. Sebagai terapis, mereka tidak diharapkan untuk menggunakan waktu klien mereka untuk menyelesaikan masalah-masalah pribadi mereka sendiri, tetapi dengan mengungkapkan kesadaran, mereka bisa menempatkan diri pada penanganan area-area dalam kehidupan mereka sendiri yang perlu dieksplorasi lebih dalam. Belajar menjadi konselor jadinya bukan sekadar berusaha memperoleh kecakapan-kecakapan melakukan intervensi terapeutik terhadap orang lain. ia bisa menjadi suatu kekuatan yang menunjang pertumbuhan pribadi konselor itu sendiri. Gerald Corey (1988) ingin menyaksikan bentuk pengalaman-pengalaman konseling individual dan kelompok yang berorientasi kepada pertumbuhan, digabungkan.
Kecondongan
penulis
adalah
kepada
kelompok-kelompok
pertumbuhan pribadi, yang daripadanya para calon konselor bisa memperoleh banyak umpan balik yang bermanfaat. Fokus dari pengalaman kelompok harus kepada membantu individu agar lebih menyadari mengapa dia ingin menjadi konselor. Pertanyaan-pertanyaan untuk dieksplorasi adalah: 1. Mengapa saya mengejar karir dalam profesi membantu orang lain? 2. Apa kebutuhan-kebutuhan dan motivasi-motivasi saya? 3. Ganjaran-ganjaran apa yang saya terima dan menjadi konselor? 4. Bagaimana saya bisa membedakan antara pemuasan kebutuhan-kebutuhan klien dan pemuasan kebutuhan-kebutuhan saya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa bermanfaat untuk ditanyakan dalam pengalaman pertumbuhan pribadi adalah: 1. Apa masalah-masalah saya, dan apa yang saya lakukan untuk menyelesaikannya? 2. Mungkinkah masalah-masalah saya itu menghambat keefektifan kerja saya sebagai konselor? 3. Apa nilai-nilai saya, dari mana nilai-nilai itu berasal, dan apakah nilai-nilai itu akan mempengaruhi gaya konseling saya?
47
4. Bagaimana saya berhubungan dengan perasaan-perasaan saya sendiri? 5. Apakah saya berani dan bersedia mengambil risiko? 6. Apakah saya bersedia mengalami dan melakukan apa yang saya anjurkan kepada klien untuk dilakukan? 7. Cara-cara apa yang saya gunakan dalam menghindari penggunaan kekuatan-kekuatan saya sendiri? 8. Dan bagaimana saya bisa menggunakan lebih penuh kekuatan potensial saya? 9. Apa yang menghambat saya untuk terbuka, jujur, dan riel? 10. Siapa orang yang menarik, dan kepada siapa saya tidak suka? 11. Bagaimana orang lain mengalami saya? 12. Apa pengaruh saya terhadap orang lain? 13. Apakah saya peka terhadap reaksi-reaksi orang lain, terhadap bagaimana mereka merespons saya dan saya merespons mereka? Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas merefleksikan area-area yang mungkin menjadi fokus dalam pengalaman pertumbuhan pribadi. Sasaran dari pengalaman pertumbuhan pribadi itu adalah menyediakan suatu situasi di mana para konselor sampai kepada pemahaman diri yang lebih besar. Penulis tidak pernah berhenti merasa heran atas perlawanan yang penulis temui di kalangan profesional terhadap masalah ini. Penulis mendengar argumen, "Mensyaratkan terapis untuk menjadi klien dalam konseling pribadi adalah berlandaskan model penyakit medis. Itu ibarat mengatakan bahwa seorang ahli bedah tidak bisa melaksanakan pembedahan yang dia tidak pernah menjalaninya." Penulis sama sekali tidak bisa menerima analogi tersebut. Penulis berpegang pada keyakinan yang kuat bahwa terapis tidak bisa diharapkan membuka pintu bagi klien jika dia tidak terbuka bagi dirinya sendiri. Jika saya takut untuk mengalami ketakutan saya. bagaimana saya bisa membantu orang lain untuk menerima ketakutannya? Jika saya memiliki pandangan yang terbatas. bagaimana saya bisa membantu klien-klien saya agar memperluas pandangan mereka atas menjadi apa mereka kiranya? Bagaimanapun meskipun penulis memandang pengalaman terapeutik sebagai perlu bagi para calon konselor, penulis tidak meyakini pengalaman
48
pertumbuhan pribadi itu sebagai suatu pengalaman yang cukup dan lengkap pada dirinya sendiri. Penulis yakin bahwa pengalaman pertumbuhan pribadi hanya suatu jalan di mana seorang terapis bisa secara aktif berbuat sesuatu untuk menjadi Iebih terapeutik dalam hubungannya dengan orang lain.
C. ASPEK KLIEN DALAM HUBUNGAN KONSELING
Klien, disebut pula helpee, merupakan orang yang perlu memperoleh perhatian sehubungan dengan masalah yang dihadapinya. Keberhasilan konseling, selain karena faktor kondisi yang diciptakan konselor, cara penanganan, dan aspek konselor sendiri, ditentukan pula oleh faktor klien. Siapakah klien itu? Rogers menyatakan bahwa klien itu orang yang hadir ke konselor dan kondisinya dalam keadaan cemas atau tidak kongruensi. Sekalipun klien itu individu yang memperoleh bantuan, dia bukanlah objek, atau individu yang pasif, atau yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Dalam konteks konseling, klien adalah subjek yang memiliki kekuatan, motivasi, memiliki kemauan untuk berubah, dan pelaku bagi perubahan dirinya.Tentunya sebagai pribadi dan manusia pada umumnya dia memiliki masalah atau sejumlah masalah yang membutuhkan bantuan dari pihak lain untuk memecahkannya. Namun demikian keberhasilan dalam mengatasi masalahnya itu sebenarnya sangat ditentukan oleh pribadi klien sendiri. Peran konselor dalam hubungan konseling lebih sebagai instrumen untuk memudahkan klien melakukan perubahan dirinya. Secara umum, klien datang ke konselor karena satu atau beberapa alasan, di antaranya: atas kemauannya sendiri, kemauan atau anjuran keluarga dan sahabat-sahabatnya, atau atas rujukan dari profesional lain. Apapun alasanya dia menjumpai konselor, klien sebenarnya sudah mengupayakan untuk mengatasi masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain, atas bantuan orang lain, atau atas bantuan profesional lain (Monro dkk., 1983; Harris, 1995). Kehadiran klien ke konselor tentunya karena upaya-upaya sebelumnya tidak membuahkan hasil yang
49
dia harapkan, dan mengharapkan upayanya ke konselor membuahkan hasil yang lebih baik. Setiap klien memiliki kebutuhan dan/atau harapan tertentu terhadap penyelenggaraan konseling. Kebutuhan (need} lebih bersifat "keharusan" untuk dipenuhi dan jika tidak terpenuhi akan mengalami hambatan-hambatan psikologis yang lebih berat baginya. Sedangkan harapan (expectation) lebih merupakan keinginan-keinginan yang tidak mengharuskan untuk terpenuhi. Namun demikian dapat saja harapan klien merupakan kebutuhannya, atau harapannya dapat berbeda dengan kebutuhannya Selain kebutuhan, klien juga memiliki harapan-harapan terhadap kegiatan konseling. Harapan klien dapat sesuai dengan masalah yang dialami, dapat pula berlebih-lebihan atau sangat sederhana. Harapan klien ini sangat dipengaruhi oleh persepsinya tentang fungsi dan pengalaman-pengalamannya dalam hubungannya dengan konseling. Dalam beberapa kasus diketahui banyak klien datang ke konseling dengan harapan dapat langsung keluar dari masalahnya dan meminta dorongan dari konselor untuk mengatasinya. 1. Harapan klien Studi yang cukup detail tentang harapan konseling telah dikemukakan Dennis P. Saccazzo (1978). Dalam penelitiannya dijumpai bermacam-macam harapan sebagai alasan klien datang ke konselor. Harapan-harapan klien adalah sebagai berikut. 1. Untuk memperoleh kesempatan membebaskan diri dari kesulitan. 2. Untuk mengetahui lebih jauh model terapi yang sesuai dengan masalahnya. 3. Mengetahui lebih jauh kesulitan/masalah yang dialami sebenarnya. 4. Memperoleh ketenangan dan kepercayaan diri dari rasa ketegangan dan rasa yang tidak menyenangkan. 5. Mengetahui atau memahami alasan yang ada di balik perasaan dan perilakunya. 6. Mendapat dukungan tentang yang hams dilakukan. 7. Untuk memperoleh kepercayaan dalam melakukan sesuatu atau perilaku baru yang berbeda dengan orang lain.
50
8. Mengetahui perasaan-perasaan apa yang sebenarnya sedang dialami dan bagaimana seharusnya melakukan. 9. Untuk mendapatkan sa.ran atau nasihat, bagaimana agar hidupnya dapat bermakna dan berguna baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. 10. Agar orang lain menanggapi sebagaimana layaknya. 11.Agar dirinya lebih baik dalam melakukan kontrol din. 12. Agar memperoleh sesuatu secara langsung seperti yang terpikirkan dan yang dirasakan. 13. Melepaskan diri dari masalah-masalah khusus. 14. Lain-lain.
Dapatkah segenap keinginan klien itu dilayani dengan konseling? Tentunya tidak semua keinginan harus diatasi melalui konseling, dan tidak semua yang dibantu melalui proses konseling juga dapat terselesaikan secara baik pula. Konseling diselenggarakan sebagai salah satu fasilitas yang memungkinkan individu mencoba mengatasi masalahnya dengan bantuan konselor. Bantuan yang sungguh-sungguh dan tulus dari konselor berarti klien memperoleh dorongan sosial dari pihak lain, dan hal ini lebih memungkinkan klien dapat mengatasi masalah yang dihadapi. Karena klien membawa masalah dan memiliki keinginan tertentu untuk dapat diselesaikan melalui hubungan konseling, konselor tentunya tidak dapat menghindar. Justru sebaliknya dia dapat memanfaatkan keinginan klien itu sebagai motivasi untuk mengubah dirinya atas masalah yang dirasakan. 2. Sintesa harapan klien dan pandangan konselor Berdasarkan uraian di atas dapat memunculkan sebuah pertanyaan, apakah konseling dilaksanakan sesuai dengan teori dan pandangan konselor atau disesuaikan dengan harapan klien? Adakah harapan klien yang tidak selaras dengan tujuan-tujuan konseling? Pietrofesa (1978) mengemukakan bahwa konseling harus dapat dilakukan dengan melakukan sintesis antara keduanya. Konselor diharapkan mampu menjembatani antara teori yang dipelajari dengan kondisi nil di lapangan berupa harapan-harapan kliennya. Upaya sintesis
51
ini perlu dilakukan karena konseling bukan bermaksud mencari kepuasan konselor dalam menerapkan teori-teorinya, tetapi untuk kebaikan kliennya. Oleh karena itu, konselor tidak sesuka hati menentukan sendiri tujuan-tujuan konseling. Hackney dan Nye mengatakan bahwa penentuan tujuan konseling harus dilakukan mutual, artinya dilakukan secara bersama-sama konselor dengan kliennya (Pietrofesa dkk., 1978). Proses mutual itu dapat dilakukan sebagai berikut. 1. Konselor mula-mula memahami mengapa klien datang ke konseling. 2. Konselor mulai membantu klien mengeksplorasi perasaan dan perilaku yang mengganggu. 3. Konselor dan klien mulai memfbrmulasi tujuan konseling secara bersama yang akan mengarahkan pada problem solving dan kebutuhan klien Berdasarkan kerangka pemikiran ini, tahap pertama adalah memahami latar belakang, harapan atau motivasi klien datang ke konseling. Tahap kedua adalah melakukan eksplorasi untuk memahami klien lebih mendalam, dan baru tahap berikutnya adalah menentukan tujuan konseling secara mutual. Setelah tujuan-tujuan konseling itu dirumuskan barulah proses pemecahan masalah dan rencana tindakan dibicarakan lebih lanjut. Kerjasama konselor dan klien dalam menentukan tujuan konseling adalah sangat penting. Menurut Corey (1988) penentuan tujuan ini harus dilakukan sejak awal dan secara evolusioner. Artinya tujuan konseling dapat dirumuskan tahap demi tahap sampai pada rumusan tujuan yang lebih lengkap dalam memecahkan masalah klien. Penentuan tujuan pada tahap awal ini untuk menentukan apakah konselor dan kliennya dapat bekerja sama, dan apakah tujuan-tujuan kedua belah pihak bisa sejalan. Jika tujuan yang hendak dicapai oleh kedua belah pihak ternyata tidak se-jalan, hubungan konseling tidak dapat dilangsungkan (Pietrofesa dkk., 1978). Proses penentuan tujuan itu menurut Corey sebagai berikut. (1) Terapis memiliki tujuan dan klien memiliki tujuan; (2) Terapis perlu mengeksplorasi tujuan-tujuan yang diharapkan dalam hubungan terapetik; dan (3) Klien memiliki
52
gagasan yang samar dan kacau apa yang diharapkan dari terapis, pokoknya ingin bebas dari masalahnya. Dari tahap-tahap inilah tujuan-tujuan secara evolusioner dapat dirumuskan secara bersama-sama menjadi lebih konkret.
53
B. KONSELING BAGI KONSELOR Apakah para konselor atau terapis harus mengalami konseling atau terapi sebelum mereka menjadi praktisi? Dibawah ini dikutip tentang Gerald Corey (1988) Adapun pendapatnya sebagai berikut: Menurut Gerald Corey (1988) bahwa para terapis harus memiliki pengalaman menjadi klien. Pengalaman itu bisa diperoleh sebelum atau selama menjalani latihan. Akan tetapi, dia sangat setuju dengan bentuk pengalaman pertumbuhan pribadi, baik individual maupun kelompok atau kedua-duanya, sebagai prasyarat bagi praktek memberikan konseling kepada orang lain. Gerald Corey (1988) tidak berasumsi bahwa para calon terapis adalah orang-orang yang "sakit" dan perlu "disembuhkan". Akan tetapi, dia yakin bahwa kita semua memiliki titik-titik buta, bahwa kita semua memiliki bentuk urusan yang tak selesai yang bisa menghambat keefektifan kita sebagai terapis, dan bahwa kita semua bisa menjadi lebih. Terapi harus dipandang bukan sebagai tujuan pada dirinya, melainkan sebagai cara untuk membantu seorang calon terapis agar menjadi pribadi yang terapeutik, yang akan memiliki peluang yang lebih besar untuk memberikan suatu pengaruh yang signifikan dan positif terhadap klien-kliennya. Gerald Corey (1988) ingin menekankan nilai dari konseling individual atau kelompok bagi kita saat kita mulai memberikan konseling kepada orang lain. Dari pengalaman, penulis menemukan bahwa, ketika mulai memberikan konseling, luka-luka lama terbuka kembali dan perasaan-perasaan yang tidak tereksplorasi muncul ke permukaan. Penulis tidak mampu menghadapi depresi klien karena penulis gagal menangani cara yang digunakan penulis sendiri untuk menghindari depresi. Menjadi terapis memaksa kita untuk mengonfrontasikan rintangan-rintangan yang tidak tereksplorasi yang berkaitan dengan kesepian, kekuasaan, kematian, seksualitas, orang tua kita, dan sebagainya. Juga, ketika kami mulai bekerja sebagai konselor, Kami kerap mengalami impotensi profesi dan merasa ingin membebaskan diri. Penulis mendorong para calon konselor agar merasakan ketidakberdayaan dan keputusasaan mereka sendiri, tetapi disertai
54
tekad untuk tidak gampang menyerah, setidaknya tidak tanpa memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk menguji kemampuan. Di sini penulis melihat konseling pribadi sebagai bantuan yang wajar bagi kerja para terapis pemula. Sebagai terapis, mereka tidak diharapkan untuk menggunakan waktu klien mereka untuk menyelesaikan masalah-masalah pribadi mereka sendiri, tetapi dengan mengungkapkan kesadaran, mereka bisa menempatkan diri pada penanganan area-area dalam kehidupan mereka sendiri yang perlu dieksplorasi lebih dalam. Belajar menjadi konselor jadinya bukan sekadar berusaha memperoleh kecakapan-kecakapan melakukan intervensi terapeutik terhadap orang lain. ia bisa menjadi suatu kekuatan yang menunjang pertumbuhan pribadi konselor itu sendiri. Gerald Corey (1988) ingin menyaksikan bentuk pengalaman-pengalaman konseling individual dan kelompok yang berorientasi kepada pertumbuhan, digabungkan.
Kecondongan
penulis
adalah
kepada
kelompok-kelompok
pertumbuhan pribadi, yang daripadanya para calon konselor bisa memperoleh banyak umpan balik yang bermanfaat. Fokus dari pengalaman kelompok harus kepada membantu individu agar lebih menyadari mengapa dia ingin menjadi konselor. Pertanyaan-pertanyaan untuk dieksplorasi adalah: 5. Mengapa saya mengejar karir dalam profesi membantu orang lain? 6. Apa kebutuhan-kebutuhan dan motivasi-motivasi saya? 7. Ganjaran-ganjaran apa yang saya terima dan menjadi konselor? 8. Bagaimana saya bisa membedakan antara pemuasan kebutuhan-kebutuhan klien dan pemuasan kebutuhan-kebutuhan saya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa bermanfaat untuk ditanyakan dalam pengalaman pertumbuhan pribadi adalah: 14. Apa masalah-masalah saya, dan apa yang saya lakukan untuk menyelesaikannya? 15. Mungkinkah masalah-masalah saya itu menghambat keefektifan kerja saya sebagai konselor? 16. Apa nilai-nilai saya, dari mana nilai-nilai itu berasal, dan apakah nilai-nilai itu akan mempengaruhi gaya konseling saya?
55
17. Bagaimana saya berhubungan dengan perasaan-perasaan saya sendiri? 18. Apakah saya berani dan bersedia mengambil risiko? 19. Apakah saya bersedia mengalami dan melakukan apa yang saya anjurkan kepada klien untuk dilakukan? 20. Cara-cara apa yang saya gunakan dalam menghindari penggunaan kekuatan-kekuatan saya sendiri? 21. Dan bagaimana saya bisa menggunakan lebih penuh kekuatan potensial saya? 22. Apa yang menghambat saya untuk terbuka, jujur, dan riel? 23. Siapa orang yang menarik, dan kepada siapa saya tidak suka? 24. Bagaimana orang lain mengalami saya? 25. Apa pengaruh saya terhadap orang lain? 26. Apakah saya peka terhadap reaksi-reaksi orang lain, terhadap bagaimana mereka merespons saya dan saya merespons mereka? Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas merefleksikan area-area yang mungkin menjadi fokus dalam pengalaman pertumbuhan pribadi. Sasaran dari pengalaman pertumbuhan pribadi itu adalah menyediakan suatu situasi di mana para konselor sampai kepada pemahaman diri yang lebih besar. Penulis tidak pernah berhenti merasa heran atas perlawanan yang penulis temui di kalangan profesional terhadap masalah ini. Penulis mendengar argumen, "Mensyaratkan terapis untuk menjadi klien dalam konseling pribadi adalah berlandaskan model penyakit medis. Itu ibarat mengatakan bahwa seorang ahli bedah tidak bisa melaksanakan pembedahan yang dia tidak pernah menjalaninya." Penulis sama sekali tidak bisa menerima analogi tersebut. Penulis berpegang pada keyakinan yang kuat bahwa terapis tidak bisa diharapkan membuka pintu bagi klien jika dia tidak terbuka bagi dirinya sendiri. Jika saya takut untuk mengalami ketakutan saya. bagaimana saya bisa membantu orang lain untuk menerima ketakutannya? Jika saya memiliki pandangan yang terbatas. bagaimana saya bisa membantu klien-klien saya agar memperluas pandangan mereka atas menjadi apa mereka kiranya? Bagaimanapun meskipun penulis memandang pengalaman terapeutik sebagai perlu bagi para calon konselor, penulis tidak meyakini pengalaman
56
pertumbuhan pribadi itu sebagai suatu pengalaman yang cukup dan lengkap pada dirinya sendiri. Penulis yakin bahwa pengalaman pertumbuhan pribadi hanya suatu jalan di mana seorang terapis bisa secara aktif berbuat sesuatu untuk menjadi Iebih terapeutik dalam hubungannya dengan orang lain.
C. ASPEK KLIEN DALAM HUBUNGAN KONSELING
Klien, disebut pula helpee, merupakan orang yang perlu memperoleh perhatian sehubungan dengan masalah yang dihadapinya. Keberhasilan konseling, selain karena faktor kondisi yang diciptakan konselor, cara penanganan, dan aspek konselor sendiri, ditentukan pula oleh faktor klien. Siapakah klien itu? Rogers menyatakan bahwa klien itu orang yang hadir ke konselor dan kondisinya dalam keadaan cemas atau tidak kongruensi. Sekalipun klien itu individu yang memperoleh bantuan, dia bukanlah objek, atau individu yang pasif, atau yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Dalam konteks konseling, klien adalah subjek yang memiliki kekuatan, motivasi, memiliki kemauan untuk berubah, dan pelaku bagi perubahan dirinya.Tentunya sebagai pribadi dan manusia pada umumnya dia memiliki masalah atau sejumlah masalah yang membutuhkan bantuan dari pihak lain untuk memecahkannya. Namun demikian keberhasilan dalam mengatasi masalahnya itu sebenarnya sangat ditentukan oleh pribadi klien sendiri. Peran konselor dalam hubungan konseling lebih sebagai instrumen untuk memudahkan klien melakukan perubahan dirinya. Secara umum, klien datang ke konselor karena satu atau beberapa alasan, di antaranya: atas kemauannya sendiri, kemauan atau anjuran keluarga dan sahabat-sahabatnya, atau atas rujukan dari profesional lain. Apapun alasanya dia menjumpai konselor, klien sebenarnya sudah mengupayakan untuk mengatasi masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain, atas bantuan orang lain, atau atas bantuan profesional lain (Monro dkk., 1983; Harris, 1995). Kehadiran klien ke konselor tentunya karena upaya-upaya sebelumnya tidak membuahkan hasil yang
57
dia harapkan, dan mengharapkan upayanya ke konselor membuahkan hasil yang lebih baik. Setiap klien memiliki kebutuhan dan/atau harapan tertentu terhadap penyelenggaraan konseling. Kebutuhan (need} lebih bersifat "keharusan" untuk dipenuhi dan jika tidak terpenuhi akan mengalami hambatan-hambatan psikologis yang lebih berat baginya. Sedangkan harapan (expectation) lebih merupakan keinginan-keinginan yang tidak mengharuskan untuk terpenuhi. Namun demikian dapat saja harapan klien merupakan kebutuhannya, atau harapannya dapat berbeda dengan kebutuhannya Selain kebutuhan, klien juga memiliki harapan-harapan terhadap kegiatan konseling. Harapan klien dapat sesuai dengan masalah yang dialami, dapat pula berlebih-lebihan atau sangat sederhana. Harapan klien ini sangat dipengaruhi oleh persepsinya tentang fungsi dan pengalaman-pengalamannya dalam hubungannya dengan konseling. Dalam beberapa kasus diketahui banyak klien datang ke konseling dengan harapan dapat langsung keluar dari masalahnya dan meminta dorongan dari konselor untuk mengatasinya. 1. Harapan klien Studi yang cukup detail tentang harapan konseling telah dikemukakan Dennis P. Saccazzo (1978). Dalam penelitiannya dijumpai bermacam-macam harapan sebagai alasan klien datang ke konselor. Harapan-harapan klien adalah sebagai berikut. 1. Untuk memperoleh kesempatan membebaskan diri dari kesulitan. 2. Untuk mengetahui lebih jauh model terapi yang sesuai dengan masalahnya. 3. Mengetahui lebih jauh kesulitan/masalah yang dialami sebenarnya. 4. Memperoleh ketenangan dan kepercayaan diri dari rasa ketegangan dan rasa yang tidak menyenangkan. 5. Mengetahui atau memahami alasan yang ada di balik perasaan dan perilakunya. 6. Mendapat dukungan tentang yang hams dilakukan. 7. Untuk memperoleh kepercayaan dalam melakukan sesuatu atau perilaku baru yang berbeda dengan orang lain.
58
8. Mengetahui perasaan-perasaan apa yang sebenarnya sedang dialami dan bagaimana seharusnya melakukan. 9. Untuk mendapatkan sa.ran atau nasihat, bagaimana agar hidupnya dapat bermakna dan berguna baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. 10. Agar orang lain menanggapi sebagaimana layaknya. 11.Agar dirinya lebih baik dalam melakukan kontrol din. 12. Agar memperoleh sesuatu secara langsung seperti yang terpikirkan dan yang dirasakan. 13. Melepaskan diri dari masalah-masalah khusus. 14. Lain-lain.
Dapatkah segenap keinginan klien itu dilayani dengan konseling? Tentunya tidak semua keinginan harus diatasi melalui konseling, dan tidak semua yang dibantu melalui proses konseling juga dapat terselesaikan secara baik pula. Konseling diselenggarakan sebagai salah satu fasilitas yang memungkinkan individu mencoba mengatasi masalahnya dengan bantuan konselor. Bantuan yang sungguh-sungguh dan tulus dari konselor berarti klien memperoleh dorongan sosial dari pihak lain, dan hal ini lebih memungkinkan klien dapat mengatasi masalah yang dihadapi. Karena klien membawa masalah dan memiliki keinginan tertentu untuk dapat diselesaikan melalui hubungan konseling, konselor tentunya tidak dapat menghindar. Justru sebaliknya dia dapat memanfaatkan keinginan klien itu sebagai motivasi untuk mengubah dirinya atas masalah yang dirasakan. 2. Sintesa harapan klien dan pandangan konselor Berdasarkan uraian di atas dapat memunculkan sebuah pertanyaan, apakah konseling dilaksanakan sesuai dengan teori dan pandangan konselor atau disesuaikan dengan harapan klien? Adakah harapan klien yang tidak selaras dengan tujuan-tujuan konseling? Pietrofesa (1978) mengemukakan bahwa konseling harus dapat dilakukan dengan melakukan sintesis antara keduanya. Konselor diharapkan mampu menjembatani antara teori yang dipelajari dengan kondisi nil di lapangan berupa harapan-harapan kliennya. Upaya sintesis
59
ini perlu dilakukan karena konseling bukan bermaksud mencari kepuasan konselor dalam menerapkan teori-teorinya, tetapi untuk kebaikan kliennya. Oleh karena itu, konselor tidak sesuka hati menentukan sendiri tujuan-tujuan konseling. Hackney dan Nye mengatakan bahwa penentuan tujuan konseling harus dilakukan mutual, artinya dilakukan secara bersama-sama konselor dengan kliennya (Pietrofesa dkk., 1978). Proses mutual itu dapat dilakukan sebagai berikut. 1. Konselor mula-mula memahami mengapa klien datang ke konseling. 2. Konselor mulai membantu klien mengeksplorasi perasaan dan perilaku yang mengganggu. 3. Konselor dan klien mulai memfbrmulasi tujuan konseling secara bersama yang akan mengarahkan pada problem solving dan kebutuhan klien Berdasarkan kerangka pemikiran ini, tahap pertama adalah memahami latar belakang, harapan atau motivasi klien datang ke konseling. Tahap kedua adalah melakukan eksplorasi untuk memahami klien lebih mendalam, dan baru tahap berikutnya adalah menentukan tujuan konseling secara mutual. Setelah tujuan-tujuan konseling itu dirumuskan barulah proses pemecahan masalah dan rencana tindakan dibicarakan lebih lanjut. Kerjasama konselor dan klien dalam menentukan tujuan konseling adalah sangat penting. Menurut Corey (1988) penentuan tujuan ini harus dilakukan sejak awal dan secara evolusioner. Artinya tujuan konseling dapat dirumuskan tahap demi tahap sampai pada rumusan tujuan yang lebih lengkap dalam memecahkan masalah klien. Penentuan tujuan pada tahap awal ini untuk menentukan apakah konselor dan kliennya dapat bekerja sama, dan apakah tujuan-tujuan kedua belah pihak bisa sejalan. Jika tujuan yang hendak dicapai oleh kedua belah pihak ternyata tidak se-jalan, hubungan konseling tidak dapat dilangsungkan (Pietrofesa dkk., 1978). Proses penentuan tujuan itu menurut Corey sebagai berikut. (1) Terapis memiliki tujuan dan klien memiliki tujuan; (2) Terapis perlu mengeksplorasi tujuan-tujuan yang diharapkan dalam hubungan terapetik; dan (3) Klien memiliki
60
gagasan yang samar dan kacau apa yang diharapkan dari terapis, pokoknya ingin bebas dari masalahnya. Dari tahap-tahap inilah tujuan-tujuan secara evolusioner dapat dirumuskan secara bersama-sama menjadi lebih konkret.
Sumber: Corey, G. 1988. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Terjemahan. Bandung : PT. Eresco George, R.L & Cristiani. 1981. Theory, Method and Processes of Counseling and Psychotherapy. New Jersey : Prentice Hall Inc Gunarsa, S.D. 1996. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : Gunung Mulia Latipun.
2001.
Psikologi
Konseling.
Malang
:
Penerbitan
Universitas
Muhammadiyah Malang
61