BAB III HUKUM NASIONAL INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI A BODY OF LAW YANG KOHEREN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA SEBAGAI HAM Mengingat urgensi kebebasan beragama yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), hak atas kebebasan beragama menjadi salah satu prioritas perlindungan oleh hukum yang berlaku. Di mana negara memiliki kewajibkan untuk menjamin, melindungi, serta menghormati hak tersebut. Bentuk perlindungan tersebut adalah melalui pengaturan hukum.
Perlindungan tersebut disediakan oleh hukum nasional dan hukum internasional. Dalam kaitan dengan pemberian perlindungan terhadap kebebasan beragama tersebut, hukum nasional dan hukum internasional adalah sebuah sistem, a body of law, yang seyogyanya koheren. Namun penulis menemukan inkoherensi dalam pengaturan mengenai hak atas kebebasan beragama di dalam hukum nasional Indonesia dan hukum internasional
Dalam kaitan dengan itu Bab ini hendak mendiskusikan dan berargumen mengenai hukum nasional Indonesia dan hukum internasional sebagai a body of law yang koheren dalam rangka perlindungan terhadap kebebasan beragama
55
sebagai HAM. Untuk mencapai tujuan tersebut maka sistematika pembahasan dalam Bab ini disusun sebagai berikut. Pertama, mengemukakan pengaturan hukum nasional Indonesia mengenai kebebasan beragama (infra Sub-judul A). Kedua, mengemukakan pengaturan hukum internasional mengenai kebebasan beragama (infra Sub-judul B). Ketiga, mengidentifikasi adanya inkoherensi antara hukum nasional Indonesia dan hukum internasional serta memberikan solusi atas inkoherensi dalam rangka a coherent body of law keduanya (infra Sub-judul C).
A.
Pengaturan Hukum Nasional Indonesia Mengenai Kebebasan Beragama
Dalam sub-judul ini penulis akan mendiskusikan konsep hubungan antara negara dan agama di Indonesia (infra Sub-judul A.1) serta selanjutnya mendiskusikan peraturan perundang-undangan (legislasi dan regulasi) berkaitan dengan hak atas kebebasan beragama di Indonesia (infra Sub-judul A.2 & 3). Hak-hak yang dimaksud meliputi: 1) Kebebasan dalam meyakini suatu agama, serta 2) Kebebasan dalam menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini.
1.
Konsep Hubungan antara Negara dan Agama di Indonesia
Indonesia bukan negara sekuler serta bukan negara agama mayoritas. Dalam sidang-sidang BPUPKI tahun 1945, golongan Islam menyatakan bahwa Indonesia harus berdasarkan Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah. Namun pendapat ini ditentang oleh kaum nasionalis yang menyadari adanya agama/kepercayaan lain di Indonesia. Perdebatan tersebut akhirnya mencapai
56
konsensus penting berupa Rancangan UUD yang memuat pasal mengenai kebebasan beragama yang berbunyi “Negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama apa pun dan untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama masing-masing.”1
Namun golongan Islam tidak menyetujui sehingga diubah menjadi, pertama, “Negara harus mendasarkan pada Ketuhanan dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kedua, “Negara akan menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama lain dan untuk beribadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing.2 Sekali lagi golongan Islam menentang ayat kedua ketentuan tersebut sehingga diubah menjadi “Negara menjamin kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama masing-masing.”
Konsep negara Islam ditentang oleh kaum nasionalis dengan latar belakang keanekaragaman agama/kepercayaan yang diyakini oleh bangsa Indonesia. Ketentuan mengenai syari’at Islam berpotensi timbulnya kedudukan yang lebih menguntungkan bagi Islam dibandingkan dengan penganut agama lain.3 Di samping konsep negara Islam, konsep negara sekuler juga ditentang sebagai dasar negara Indonesia karena dipandang sebagai sebuah pemikiran,
1
Adnan Buyung Nasution, Op. Cit. Hlm. 102.
2
Ibid. Hlm. 103.
3
Ibid. Hlm. 105.
57
tujuan, dan sikap yang terbatas pada kehidupan duniawi. Sekulerisme dianggap tidak sanggup memberi bimbingan yang kuat dan tegas dibanding agama.4
Penolakan terhadap konsep-konsep hubungan negara dan agama tersebut menyebabkan konsep hubungan negara dan agama di Indonesia sangat ambigu. Sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang membuat Indonesia semakin digambarkan sebagai bukan negara sekuler namun juga bukan negara agama mayoritas.5
Hal ini dipertegas oleh Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 tersebut berbunyi “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 sebagai penjabarannya menjamin seseorang bebas mendiskusikan atau memilih atau tidak memilih suatu agama tanpa campur tangan negara, dan ketika telah menganut agama dia bebas mengikuti ajaran-ajarannya, berpartisipasi dalam kebaktian, menyebarkan ajaran-ajarannya dan menjadi pejabat dalam organisasi agamanya.6
2.
Kebebasan dalam Meyakini suatu Agama
Hak-hak berkenaan dengan kebebasan meyakini agama yang akan dibahas oleh Sub-judul ini adalah: a) Hak untuk beragama dan tidak beragama; b) Hak untuk berganti agama; serta c) Hak anak untuk menentukan agama. 4
Ibid. Hlm. 106.
5
Nicola Cobran, Kebebasan Beragama atau Nerkeyakinan di Indonesia dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 683. “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan hasil kompromi antara kelompok pendukung nasionalisme sekuler dan kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara.
6
Buku VIII Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945. Hlm. 372-374.
58
a.
Hak untuk Beragama serta Hak untuk Tidak Beragama
UUD 1945 mengakui hak atas kebebasan beragama sebagai HAM serta memberikan dasar perlindungan terhadap berupa Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Ketentuan tersebut mengamanatkan bahwa negara menjamin kemerdekaan serta kebebasan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu, serta kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani serta hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Hak atas kebebasan seseorang untuk meyakini suatu agama meliputi hak untuk memilih serta memeluk suatu agama baik itu keyakinan teistik ataupun ateistik, hak untuk tidak memeluk suatu agama/keyakinan, hak untuk berganti agama/keyakinan, serta hak untuk mempertahankan agama/keyakinan yang pernah dipeluknya.7
Negara berkewajiban untuk menjamin kebebasan beragama serta segala sesuatu yang menjadi turunannya, seperti hak-hak sipil lainnya.8 Sifat internal dari hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan9 tidak boleh dibatasi karena
7
Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 770. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 2 dan paragraf 5.
8
Pasal 28I ayat (4) berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
9
Oeripan Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media, 2011, hlm. 69. Yaitu hak setiap warga negara untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya atas
59
merupakan persoalan individu, bukan persoalan negara. Negara tidak boleh melakukan justifikasi sepihak mengenai agama yang resmi ataupun agama yang belum diakui. Setiap warga negara harus mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agama.10
Beberapa persoalan pengaturan dalam hukum nasional Indonesia terkait dengan hak beragama/tidak beragama adalah sebagai berikut.
a.1. Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan
UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyebutkan agama-agama resmi yang dipeluk oleh penduduk Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Kendati undang-undang tersebut menegaskan bahwa agamaagama lainnya seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme tidak dilarang di Indonesia, namun undang-undang ini diartikan hanya mengakui secara resmi enam agama saja.11
Hal ini dapat dilihat dalam dokumen resmi negara serta undangundang yang menggunakan istilah agama resmi dan agama yang belum diakui.12 Dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
pilihannya sendiri, serta untuk membentuk pendapat dalam batin sesuai dengan keinsyafanbatinnya sendiri. 10
Nicola Cobran, Op. Cit., hlm. 692.
11
Penjelasan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
12
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 8 ayat (2), Pasal 61 ayat (4), dan Pasal 64 ayat (2).
60
Kependudukan
dimuat
tentang
keharusan
pencantuman
dokumen
kependudukan setiap warga negara. Pasal 61 jo. Pasal 64 menyatakan,
(1) KK dan KTP memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal Iahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua; (2) Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan. Ketentuan ini mengharuskan adanya pencantuman agama yang dianut oleh warga negara. Yang menjadi isu sebenarnya adalah ketika seseorang beragama/berkepercayaan yang belum diakui, serta bagi seseorang yang tidak memeluk agama, maka konsekuensinya ia tidak mencantumkan agamanya ke dalam dokumen kependudukan. Hal ini menunjukkan adanya inkonsistensi pengakuan negara terhadap kebebasan beragama.
Ketika pengaturan dalam UUD 1945 dihadapkan dengan ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, terlihat jelas bahwa sebenarnya yang diberi kebebasan memeluk dan beribadah hanyalah pemeluk agama resmi. Implikasinya, warga negara yang agama/kepercayaannya tidak diakui menjadi tidak mencantumkan agamanya ke dalam dokumen kependudukan yang merupakan suatu
61
keharusan.13 Lebih lanjut hal ini menunjukkan adanya diskriminasi bagi kaum minoritas yang ada di dalam suatu negara.
a.2. Pengaturan mengenai Pencatatan Perkawinan
Salah satu contoh peniadaan hak-hak sipil dan politik penganut agama di luar agama resmi adalah peniadaan hak untuk dicatatkan perkawinannya.14 Hak seseorang untuk melaksanakan perkawinan terdapat dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
yang menyatakan “Setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”
Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Permasalahan timbul ketika pasangan calon suami-istri yang hendak melakukan perkawinan memeluk agama yang belum diakui. Sahnya sebuah perkawinan harus dicatatkan, namun kenyataannya pencatatan tersebut hanya berlaku bagi agama-agama yang diakui oleh negara. Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa syarat administatif pencatatan perkawinan adalah pencantuman dokumen kependudukan yang mencangkup klausul agama. Namun karena
13
Pasal 61 jo. Pasal 64 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
14
Nicola Cobran, Loc. Cit.
62
agama yang dapat tercantum hanyalah agama resmi, maka terjadi ketidaklengkapan substansi dokumen kependudukan.15
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP No. 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan untuk mengakomodasi kemungkinan pencatatan
perkawinan
bagi
penghayat
kepercayaan
apabila
perkawinannya dilakukan di hadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan yang ditunjuk dan ditetapkan.16 Namun UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP No. 37 Tahun 2007 ini tidak mampu menghapus praktik diskriminasi terhadap golongan minoritas yang agamanya belum diakui. Hal ini dikarenakan ketika syarat administratif berupa dokumen kependudukan memuat klausul pengosongan identitas terkait agama, maka akan terjadi kesulitan pencatatan perkawinan.
Permasalahan pencatatan perkawinan juga mengalami kendala terkait keabsahan perkawinan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Isu yang menarik adalah ketika pasangan calon suamiistri memiliki agama/keyakinan yang berbeda. Salah satu kebijakan negara Indonesia dalam persoalan klasik yang tetap menjadi isu aktual adalah perkawinan antar agama.
15
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 8 ayat (2), Pasal 61 ayat (4), dan Pasal 64 ayat (2). Lihat juga sub bab A.a.1.
16
Pasal 81 ayat (2) PP No. 37 tahun 2007.
63
Dalam rangka mengisi kekosongan hukum karena UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan antar agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, menyatakan bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami istri untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.17
Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentu saja perlu dikritisi lebih lanjut karena beberapa hal yaitu, pertama sebagai satu negara yang sudah memiliki instrumen hukum berupa UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, idealnya negara menjamin kebebasan warganya untuk memilih pasangannya dalam membentuk sebuah keluarga. Hak untuk memilih pasangan hidup merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh negara. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM setiap orang berhak membentuk sebuah keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Hal ini bermakna bahwa setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang bebas. Namun pada kenyataannya, negara justru membatasi perkawinan tersebut. Kedua, Indonesia bukan negara agama mayoritas dan bukan pula negara sekuler sehingga di dalam pembentukan hukum nasional, pemerintah harus bisa 17
Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar. Liberty. Jakarta. 2007. Hlm. 40. Dalam kasus ini Hakim MA berfungsi mengisi kekosongan hukum yang ada dengan melakukan penemuan hukum.
64
menjamin kepastian hukum kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut, termasuk dalam persoalan perkawinan antar agama. Ketiga, perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar karena penduduk Indonesia memeluk bermacammacam agama dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan beragama bagi setiap penduduknya sehingga tentu saja terbuka kemungkinan terjadinya dua orang berbeda agama untuk membentuk sebuah keluarga. Keempat, akibat tidak diaturnya ketentuan mengenai perkawinan antar agama dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka hal tersebut membuka ruang terjadinya penyeludupan hukum. Untuk memenuhi persyaratan formal secara perdata, suami-istri berbeda agama rela melangsungkan pernikahan di luar negeri tanpa memperhatikan hukum agama, atau salah satu pihak purapura pindah agama.18
Pengaturan mengenai pencatatan serta keabsahan perkawinan ini jelas bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang
sah.”
Pengaturan
tersebut
juga
menimbulkan
diskriminasi secara tidak langsung terhadap kebebasan meyakini suatu agama yang merupakan hak absolut.
18
Nicola Cobran, Op. Cit, hlm. 693.
65
Meskipun pemerintah atau negara tidak menyebutkan klausul larangan perkawinan antar agama, namun pemerintah secara tidak langsung menolak hak asasi tersebut melalui substansi Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Oleh karena itu, bila di Indonesia terjadi penolakan perkawinan antar agama baik dari segi pelaksanaannya maupun pencatatannya, maka dalam perspektif HAM menurut penulis hal tersebut jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.
b.
Hak untuk Berganti Agama
Salah satu hak yang termasuk dalam hak atas kebebasan beragama adalah hak untuk berganti agama.19 Namun dalam perjalanannya, terjadi perdebatan mengenai pencantuman kebebasan berganti agama sebagai salah satu bentuk kebebasan beragama dalam perumusan konstitusi Indonesia.20 Keberatan pencantuman kebebasan berganti agama disampaikan oleh tokoh Islam Sajid Husein Abubakar (Masyumi) yang menganggap perbuatan meninggalkan agama merupakan suatu hal yang berbahaya. Namun golongan Katolik justru memberikan usulan supaya Konstitusi yang baru tersebut memasukkan perumusan Article 18 UDHR mengenai kebebasan beragama secara utuh. Dimana materi muatan Article 18 UDHR memuat klausul kebebasan berpindah/mengganti agama
19
Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 770. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 2 dan paragraf 5.
20
Adnan Buyung Nasution, Op. Cit. Hlm. 204.
66
sebagai salah satu bentuk kebebasan beragama. Perbedaan dua pandangan ini bertitik pada pemuatan secara eksplisit terhadap hak untuk berpindah agama.21
Kesimpulan yang didapat dalam perdebatan tersebut adalah setiap orang berhak untuk memilih dan berpindah agama atau kepercayaan dengan bebas. Kebebasan ini memang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam pengaturan hukum nasional Indonesia, namun dasar perlindungan terhadap hak untuk berganti agama diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.
Kebebasan untuk memilih agama mencakup kebebasan untuk memilih agama lain untuk menggantikan agama yang sedang dianut.22 Walaupun terdapat kontroversi terkait pemuatan hak untuk berganti agama sebagai bagian dari hak atas kebebasan beragama,23 namun The Human Rights Committee mengamati bahwa kebebasan untuk memiliki agama/kepercayaan tentu memerlukan kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan, termasuk hak untuk mengganti agama atau kepercayaan dengan yang lain atau untuk mengadopsi pandangan ateistik, serta hak untuk mempertahankan agama/kepercayaan
21
Ibid.
22
Malcolm D. Evans, Loc. Cit.
23
Ibid. Hlm. 194-195.
67
seseorang.24 Kebebasan tersebut tetap diakui walaupun tidak secara eksplisit dimuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
c.
Hak Anak untuk Menentukan Agama
Indonesia memberikan pengakuan, penghormatan, serta perlindungan terhadap hak atas kebebasan meyakini suatu agama bagi setiap orang, termasuk anak. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 1 angka 5 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Hak anak atas kebebasan beragama dimuat dalam Pasal 6 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan “Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.” Pasal 42 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan “(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. (2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.” Perlindungan atas hak anak dalam rangka memeluk agama merupakan suatu kebutuhan yang mutlak. Pemberdayaan anak penting agar mereka tidak sekadar menjadi objek dari hak agama orang tua. Hal ini dikarenakan pada
24
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 2 dan paragraf 5.
68
dasarnya anak secara otomatis mengikuti agama yang dianut oleh orang tua mereka.25
Pengaturan tentang hak anak untuk beragama berimplikasi pada persoalan adopsi, karena berpengaruh terhadap proteksi kebebasan beragama anak oleh orang tua angkatnya. Pengaturan tentang adopsi di Indonesia memuat ketentuan mengenai agama sebagai salah satu syarat keabsahan pengangkatan anak. Pasal 39 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan “Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.”
PP No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak juga memberikan pengaturan mengenai agama dalam pengangkatan anak. Pasal 3 menyatakan “(1) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.” Pasal 13 menyatakan “Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat: c. beragama sama dengan agama calon anak angkat.” Pengaturan tersebut secara langsung ataupun tidak langsung telah membatasi hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hak anak tersebut juga termaktub dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” 25
Rajaji Ramanadha Babu Gogineni dan Lars Gule, Humanisme dan Kebebasan dari Agama dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 638.
69
Ketika seorang anak menjadi tidak dapat diasuh oleh orang yang berkompeten karena kendala agama, maka sebenarnya telah terjadi pembatasan terhadap hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Di sisi lain pengaturan ini dapat memicu penyelundupan atas syarat administratif tersebut, misalnya anak berganti agama dahulu supaya sesuai dengan agama calon orang tua angkatnya. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran HAM terhadap anak.
Kebebasan
3.
dalam
Menjalankan/Mengekspresikan
Agama
yang
Diyakini
Kebebasan seseorang atau sekelompok orang untuk dapat menjalankan atau
mengekspresikan
agamanya
masing-masing
juga
mendapatkan
perlindungan.26 Namun dimensinya berbeda dengan kebebasan meyakini suatu agama karena kebebasan menjalankan agama merupakan dimensi eksternal hak atas kebebasan beragama.27
Berbicara tentang kebebasan untuk mengekspresikan agama/keyakinan, hubungan yang terbentuk bukan hanya antara individu dengan Tuhannya, namun juga dengan individu lain. Sehingga yang perlu ditekankan adalah adanya toleransi yang ujungnya demi menghormati hak-hak orang lain.28
26
Louis Henkin, Religion, Religions and Human Rights, The Journal of Religious Ethics, 1998, hlm. 229-239.
27
Nicola Cobran, Loc. Cit.
28
Nihal Jayawickrama. Op.cit. Hlm. 8.
70
Dalam Amandemen ke-2 UUD 1945 yang menambahkan Pasal 28J ke dalam konstitusi, terdapat usul yang disampaikan oleh Nurdiati Akma (FReformasi) yang menyatakan bahwa manusia juga mempunyai kewajiban di samping haknya, serta memerlukan ada undang-undang untuk aplikasinya. Mempertimbangkan usulan tersebut, rumusan Pasal 28J UUD 1945 menjadi,
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pembatasan terhadap kebebasan untuk menjalankan/mengekspresikan agama dapat diterapkan. Dari sisi eksternal, kebebasan tersebut dapat dibatasi sepanjang pembatasan tersebut ditetapkan dengan hukum, dan pembatasan tersebut benar-benar diperlukan untuk melindungi keamanan (dalam arti keamanan pribadi pemeluk agama), ketertiban, kesehatan, nilai moral masyarakat, atau hak-hak mendasar orang lain.29 Pembatasan yang diperbolehkan harus berhubungan secara langsung dengan salah satu dari lima kepentingan tersebut, bersifat proporsional (tidak berlebihan) dengan kepentingan yang melandasinya, dan tidak boleh diterapkan dengan cara yang akan meniadakan hak kebebasan
29
Article 18 ICCPR, Pasal 28J UUD 1945. Lihat juga Nicola Cobran, Op. Cit. Hlm. 724.
71
beragama itu sendiri.30 Penilaian apakah pembatasan itu benar-benar diperlukan harus didasarkan pertimbangan yang objektif.31
Pembahasan penulis atas kebebasan dalam menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini akan meliputi beberapa hak spesifik yaitu a) hak untuk bebas menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini; b) hak untuk mendirikan tempat ibadah; c) hak untuk membela/mempertahankan agama yang diyakini; serta d) hak untuk menyebarluaskan ajaran agama.
a.
Hak untuk Bebas Menjalankan Agama sesuai Tafsir yang Diyakini
Hak untuk bebas menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini di Indonesia mendapatkan beberapa pengaturan berupa UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta yang lebih spesifik yakni SKB No: 3 Tahun 2008, No: Kep-033/A/JA/6/2008, dan No: 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung (SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI).
Tujuan adanya UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama adalah mencegah terjadinya penyelewengan-
30
31
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 8. Lihat juga paragraf 2 dan 10. Ibid.
72
penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok32
serta
melindungi
ketentraman
beragama
tersebut
dari
penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.33 Dalam penjelasan Pasal 1 disebutkan bahwa agama yang dimaksud adalah agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).34 Pelanggaran atas larangan dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama diberi peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya melalui surat keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.35
UU ini juga menetapkan pasal baru KUHP (Pasal 156a) yang memberikan sanksi pidana maksimum lima tahun bagi yang mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia serta dengan maksud agar supaya orang tidak menganut apapun juga, yang bersendikan KeTuhanan Yang Maha Esa.36
Dalam perjalanan penerapannya, terdapat pihak yang mempermasalahkan substansi berkenaan dengan konstitusionalitas UU No. 1/PNPS/1965 tentang 32
Pasal 1-3 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
33
Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Lihat juga Penjelasan I, umum angka 4.
34
Hal ini menunjukkan bahwa hanya agama tersebut yang diakui keberadaannya di Indonesia.
35
Pasal 2 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
36
Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
73
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 telah menyatakan bahwa UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama konstitusional. Namun dalam putusan tersebut terdapat disenting opinion yang disampaikan oleh salah satu hakim konstitusi yakni Maria Farida Indrati yang menyatakan: “Bahwa Undang-Undang a quo merupakan produk masa lampau, yang walaupun berdasarkan Aturan Peralihan Pasal I Undang-Undang Dasar 1945 secara formal masih mempunyai daya laku (validity), namun secara substansial mempunyai berbagai kelemahan karena adanya perubahan yang sangat mendasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal-pasal yang menyangkut hak-hak asasi manusia.” Substansi undang-undang tersebut sebenarnya telah melanggar hak atas kebebasan menjalankan agama sesuai dengan tafsir yang diyakini oleh seseorang. Padahal pengaturan mengenai HAM akan selalu disejajarkan dan tidak dapat dikesampingkan dari materi-materi yang lain dalam konstitusi Negara.37 Walaupun
Putusan
MK
menyatakan
bahwa
undang-undang
tersebut
konstitusional, namun pada kenyataannya terdapat inkonsistensi dalam undangundang a quo terhadap ketentuan konstitusi mengenai kebebasan beragama yang seharusnya dilindungi.
SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI bermuatan spesifik yaitu pembekuan
37
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003, hlm. 272.
74
kegiatan JAI.38 Latar belakang disusunnya SKB adalah keberadaan aliran Ahmadiyah yang dipandang sudah melenceng dari agama induknya.Secara khusus, keputusan tersebut melarang penyebarluasan ajaran Ahmadiyah.39 SKB tersebut memberikan peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.40 Sedangkan secara umum SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI juga berlaku bagi bangsa Indonesia secara luas karena memberikan peringatan dan perintah kepada masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Selain itu, dalam SKB tersebut juga termuat sanksi terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah yang telah dimuat dalam SKB.41 Pelanggaran terhadap larangan
38
Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 6, Desember 2010, hlm. 101.
39
Diktum Kedua SKB No: 3 Tahun 2008.
40
Ibid.
41
Ibid.,Diktum Ketiga dan Kelima SKB No: 3 Tahun 2008.
75
penyebarluasan dapat diancam dengan hukuman maksimum lima tahun penjara atas tuduhan melakukan penistaan.42
SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI justru menjadi pintu masuk diskriminasi terhadap JAI karena pemerintah secara jelas menyatakan pembekuan terhadap segala kegiatan JAI. JAI dilarang untuk menjalankan agamanya sesuai dengan tafsir yang diyakini. Akibatnya JAI mempunyai dua pilihan: bisa melanjutkan langkahnya jika keluar dari Islam; atau menjadi bagian dari Islam dengan catatan harus mengubah ajarannya.43 Secara tidak langsung hal ini menyiratkan bahwa JAI tidak boleh beribadah dengan keyakinan mereka sendiri. Negara melakukan pelanggaran HAM yaitu melanggar kewajiban korelatifnya berupa kewajiban untuk menghormati dan melindungi HAM setiap warga negaranya.
Ketentuan yang terdapat di dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI tidak memberikan jaminan hak atas kebebasan untuk menjalankan/memanifestasikan agama/kepercayaan yang diyakini. Ketentuan tersebut mengandung larangan menafsirkan suatu agama di Indonesia. Ketika ada seseorang yang beribadah sesuai keyakinannya namun tidak sama persis dengan ajaran agamanya tersebut, maka ia dianggap melakukan kejahatan penodaan agama sesuai dengan Pasal 156a KUHP. 42
Ibid.
43
Nicola Cobran, Op. Cit, hlm. 713.
76
Pembatasan hak dalam menjalankan agama di Indonesia melalui UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota,
dan/atau
Anggota
Pengurus
JAI
adalah
tidak
tepat
karena
dilatarbelakangi adanya pencampuradukan kepentingan stabilitas politik atau keamanan negara, bukan atas dasar melindungi keamanan pribadi pemeluk agama. Ketentuan tersebut justru menjadi pintu masuk diskriminasi yang berujung kekerasan terhadap pemeluk agama yang seharusnya dilindungi. Namun pembatasan hak dengan latar belakang seperti ini jelas tidak diperbolehkan karena stabilitas politik atau keamanan negara tidak termasuk dalam salah satu kriteria pembatasan hak yang diperbolehkan.44
b. Hak untuk Mendirikan Tempat Ibadah
Mendirikan tempat ibadah merupakan salah satu pengaplikasian kebebasan menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini. Dari hak atas kebebasan beragama maka timbul hak untuk mendirikan tempat-tempat ibadah.45
Pembahasan Pasal 29 UUD 1945 menimbulkan perdebatan mengenai kebebasan pendirian rumah ibadah di Indonesia terkait persoalan persyaratan dalam
perizinannya.
Berkenaan
dengan
hal
tersebut
muncul
usulan
ditambahkannya satu ayat dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan “Negara harus menyediakan tempat beribadah bagi tiap-tiap pemeluk agama dan 44
45
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 8. Buku VIII Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945. Hlm. 372.
77
kepercayaannya
itu,
agar
dapat
beribadah
sesuai
dengan
agama
dan
kepercayaannya itu.”46 Namun usulan ini dipandang berlebihan. Rumusan Pasal 29 ayat (2) 1945 secara substansial telah mencangkup kebebasan mendirikan rumah ibadah sebagai bagian “beribadah menurut agama dan kepercayaan”.
Hukum nasional Indonesia memberikan pengaturan tentang kebebasan pendirian rumah ibadah berupa Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9 Tahun 2006 dan No: 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah (PBM No: 9 Tahun 2006 dan No: 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah).
PBM No: 9 Tahun 2006 dan No: 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah mencantumkan persyaratan pendirian rumah ibadah. Pasal 14 menyatakan,
(1) Pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. (2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 (Sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. (3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah 46
Ibid. Hlm. 384.
78
daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.
Pengaturan administratif mengenai pendirian rumah ibadah telah membatasi kebebasan umat beragama mengekspresikan agama/keyakinannya secara publik termasuk di dalamnya untuk melaksanakan ibadah secara kolektif dan menyebarkan agamanya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya persyaratan yang kaku yang diberikan oleh negara berupa kewajiban pengumuman daftar nama serta pengumpulan dukungan dari masyarakat setempat. Hal ini menghalangi hak kelompok penganut agama minoritas untuk menjalankan agamanya.47
Pengaturan tentang pendirian rumah ibadah ini juga memicu radikalisasi penolakan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas yang hendak mendirikan rumah ibadah, termasuk digunakannya cara-cara kekerasan. Seharusnya kebebasan mendirikan rumah ibadah dilindungi oleh Negara dari siapapun yang hendak menghalangi. Memberikan perlindungan merupakan tanggungjawab mutlak negara terhadap norma hukum yang mengikat negara. Mengingat kebebasan mendirikan rumah ibadah merupakan bagian hak atas kebebasan beragama sebagai HAM.
Sebagai perbandingan kasus Mannousakis v. Greece. Dalam kasus ini pengadilan HAM Eropa menguji kesesuaian/kebenaran dari suatu dakwaan terhadap pendirian dan pengoperasian suatu rumah ibadah tanpa izin dari Menteri
47
Jazim Hamidi, Op.cit., Hlm. 124-125.
79
Urusan Pendidikan dan Agama Yunani.48 Pengadilan menyatakan bahwa penerapan keharusan adanya perizinan memang selaras dengan Article 9 ECHR, namun dengan catatan hanya berupa verifikasi persyaratan formal tertentu apakah sudah dipenuhi atau belum. Namun pengadilan menemukan dan mengemukakan bahwa Yunani telah menggunakan perizinan ini untuk menerapkan pula persyaratan-persyaratan yang kaku, atau yang bersifat mempersulit, bahkan melarang praktik keagamaan tertentu. Pengadilan memutuskan bahwa dakwaan terhadap pemohon merupakan suatu bentuk intervensi terhadap kebebasan mereka dalam
memanifestasikan
agama
mereka,
suatu
intervensi
yang
tidak
diperlukan/tidak diharuskan dalam suatu masyarakat demokratik.49
c.
Hak untuk Membela/Mempertahankan Agama yang Diyakini
Hak untuk membela/mempertahankan agama yang diyakini merupakan konsekuensi pembahasan tentang hak untuk bebas memeluk dan menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini dan pengaplikasian dalam menjalankan hak tersebut.
Tidak
ada
aturan
secara
spesifik
mengenai
hak
untuk
membela/mempertahankan agama dalam pengaturan hukum Indonesia. Namun hak ini berlaku secara lex generalis dan sudah melekat dengan kebebasan untuk menjalankan/mengekspresikan agama/keyakinan yang telah dipeluk seseorang. Sebagai bagian dari dimensi eksternal, hak ini mendapatkan pembatasan.
48
Manousakis and Others v. Greece, 23 EHRR 387 (1997) (EctHR 1996-IV, 26 September 1996).
49
Ibid., Lihat juga Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 213.
80
Hak
seseorang
atau
sekelompok
orang
dalam
mempertahankan
agama/keyakinannya dihadapkan dengan situasi yang menunjukkan adanya interpretasi yang berbeda satu sama lain mengenai suatu agama. Meskipun konstitusi telah memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agama/kepercayaannya,50 namun dalam praktik ditemui interpretasi yang berlainan.
Sering kali ditemui adanya justifikasi sepihak kesahihan ajaran suatu agama yang ditafsirkan oleh sekelompok agama terhadap kelompok lain yang berujung tindakan anarkis. Hal ini dilatarbelakangi pengaturan yang memberikan ruang pemberian predikat sesat terhadap suatu agama berupa UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pengaturan ini diderivasikan dalam sebuah SKB yang melarang penyebarluasan ajaran Ahmadiyah.
Dalam rangka kebebasan berekspresi, setiap orang atau sekelompok orang dapat mengekspresikan dan membela/mempertahankan agamanya di muka umum. Namun kebebasan ini harus tunduk pada ketentuan pembatasan hak. Pasal 9 UU No. 9 Tahun I998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyatakan bahwa bentuk penyampaian pendapat di muka urnum dapat dilaksanakan dengan unjuk rasa/dernonstrasi, pawai, rapat umurn, dan/atau mimbar bebas. Pelaksanaan hak mempertahankan agama sebagai wujud kebebasan berekspresi tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang50
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
81
undangan, serta harus tetap menghormati hak orang lain. Oleh karena itu segala tindakan anarkis dalam upaya perwujudan hak merupakan sesuatu yang dilarang secara hukum berdasarkan undang-undang yang berlaku yaitu UU No. 9 Tahun 1998.
d. Hak untuk Menyebarluaskan Ajaran Agama
Penyebaran agama merupakan tindakan ekspresif yang dilakukan dengan tujuan mencoba mengubah keyakinan agama orang lain.51 Setiap agama ingin menyebarkan sabda Tuhan kepada orang-orang di luar lingkungan itu,52 oleh karena itu penyebaran agama menjadi salah satu bagian dari kebebasan beragama yakni kebebasan dalam menjalankan agama yang diyakini.
Kebebasan menyebarkan agama bukanlah kebebasan yang steril dari pembatasan. Pembatasan yang paling utama dalam kebebasan ini ialah hak asasi orang lain yang menjadi sasaran penyebaran agama.
Hukum nasional Indonesia menyediakan aturan tentang penyebaran agama berupa SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia (SKB No. 1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama). Secara substansial SKB tersebut memberikan pengaturan dan pengarahan bagi usaha-usaha penyebaran agama sehingga pelaksanaannya dapat berlangsung dengan tertib dan serasi. SKB No. 1 Tahun 51
Tad Stahnke, Op. Cit., hlm. 531.
52
Pendapat Sihombing dalam perumusan Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
82
1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama juga menentukan bagaimana cara pelaksanaan penyiaran agama yakni:
Pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain dengan cara: a. Menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakaian, makanan dan atau minuman, pengobatan, obat-obatan dan bentu-bentuk pemberian apapun lainnya agar orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain berpindah dan memeluk/menganut agama yang disiarkan tersebut. b. Menyebarkan pamflet, majalah, bulletin, buku-buku, dan bentuk-bentuk barang penerbitan cetakan lainnya kepada orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain. c. Melakukan kunjungan dan rumah ke rumah umat yang telah memeluk/menganut agama yang lain. Pengaturan mengenai penyebaran agama di Indonesia tersebut merupakan wujud pembatasan hak. Pembatasan hak memang diperbolehkan sepanjang pembatasan tersebut sesuai dengan kriteria yuridis. Namun pembatasan atas kebebasan menyebarkan agama di Indonesia tersebut terlampau eksesif karena mengabaikan batasan bahwa substansi dari hak tersebut juga meliputi hak untuk mencoba meyakinkan orang lain untuk meyakini agamanya.53 Hal ini analog dengan kasus Kokkinakis v. Greece54 yang mengadili pasangan suami istri yang didakwa melakukan aktivitas penyebaran agama dengan berkunjung dari pintu ke pintu untuk membujuk orang lain untuk menjadi penganut agama mereka. Pengadilan menegaskan bahwa kebebasan seseorang dalam memanifestasikan agamanya meliputi hak untuk mencoba meyakinkan orang lain dengan maksud
53
Kokkinakis v. Greece, 17 EHRR 397 (1994) (EctHR 260-A, 25 Mei 1993).
54
Ibid.
83
untuk memperoleh anggota baru.55 Bentuk penyebaran agama yang seyogianya dilarang adalah (a) penyebaran agama secara tidak patut (proselytism), (b) penghujatan (blasphemy), serta (c) pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasankebebasan selebihnya dari orang-orang lain.56
B.
Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama
Hak atas kebebasan beragama sebagai HAM merupakan norma yang universal. Karakteristik utama yang membedakan HAM dari hak-hak lainnya adalah sifat mereka yang inheren pada diri setiap manusia berdasarkan kemanusiaannya.57 Sifat inheren berimplikasi pada universalitas HAM.58 HAM ada dan harus dihormati oleh seluruh manusia secara mutlak. Mutlak dalam artian tidak tergantung posisi, situasi, kondisi suatu wilayah atau bangsa tertentu.59
Dalam sub-judul ini penulis akan mendiskusikan konsep hak atas kebebasan beragama sebagai hak internasional (infra Sub-judul B.1) dan selanjutnya tentang pengaturan hukum internasional berkaitan dengan hak atas kebebasan beragama (infra Sub-judul B.2 & 3). Hak-hak yang dimaksud meliputi: 1) Kebebasan dalam meyakini suatu agama, serta 2) Kebebasan dalam menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini.
55
Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik, Op. Cit., hlm. 223-224.
56
Ibid., hlm. 222-230.
57
Paul Sieghart dalam Ibid., hlm. 174.
58
Ibid., hlm. 157.
59
Nihal Jayawickrama, Op.cit., hlm. 157.
84
1. Hak atas Kebebasan Beragama sebagai Hak Internasional
Hak atas kebebasan beragama sebagai hak internasional memiliki pengertian bahwa hak tersebut dijamin dan dilindungi oleh hukum internasional. Isu hak atas kebebasan beragama sebagai hak internasional dijustifikasi dengan jalan mencari apakah ada sumber-sumber hukum internasional yang valid dan relevan yang memberi pengakuan dan jaminan atas eksistensinya. 60 Sumber hukum internasional yang dapat menjadi acuan validitas hak tersebut sesuai dengan Article 38 (1) Statute of the International Court of Justice (Statuta ICJ) meliputi:
a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law; c. the general principles of law recognized by civilized nations; d. judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. Perjanjian internasional (international conventions) merupakan hasil dari kesepakatan atau keputusan negara untuk menciptakan kewajiban yang mengikat di antara mereka.61 Perjanjian internasional hanya mengikat kepada negara pihak setelah yang bersangkutan menyatakan persetujuannya untuk terikat. 62
Mengandung efek yuridis kebalikannya adalah kebiasaan internasional (international custom) yang berasal dari praktik umum yang diikuti/dipatuhi oleh 60
Titon Slamet Kurnia, Op.,Cit. hlm. 374.
61
Nihal Jayawickrama, Op.,Cit. hlm. 5.
62
Article 11-16 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. Persetujuan untuk terikat biasanya dinyatakan dengan penandatanganan (signature) dan diikuti oleh pengesahan (ratification).
85
negara-negara.63 Eksistensi kebiasaan internasional bergantung pada beberapa kriteria, yaitu: kebiasaan internasional dipraktikkan dalam jangka waktu lama; ada konsistensi dan keseragaman dalam praktik; praktik tersebut bersifat umum; serta diakui memiliki kekuatan mengikat (opinio juris et necessitatis).64 Setiap negara terikat pada kebiasaan internasional meskipun tidak menyatakan pengikatan diri terhadapnya.
Secara substantif, norma-norma atau kaidah-kaidah HAM telah menjadi bagian dari kebiasaan internasional. Meskipun negara tidak menjadi pihak dalam perjanjian internasional, namun setiap negara tetap terikat oleh norma-norma atau kaidah-kaidah HAM karena keberlakuan berdasarkan kebiasaan internasional.65 Hal yang sama berlaku bagi Indonesia, khususnya berkenaan dengan HAM yang spesifik yaitu kebebasan beragama. Sebagai catatan, keberlakuan dengan efek erga omnes tidak berlaku untuk semua jenis HAM, tetapi hanya ditujukan pada HAM yang berkarakter jus cogens.66
2. Kebebasan dalam Meyakini suatu Agama
Cakupan perlindungan hukum internasional terhadap hak atas kebebasan untuk meyakini suatu agama meliputi kebebasan untuk meyakini agama67 serta pelarangan pembatasan yang mengganggu hak setiap orang dalam rangka 63
Nihal Jayawickrama, Loc.Cit.
64
Tim Hiller, Op., Cit. Hlm. 66.
65
Thomas Buergenthal, Op., Cit. Hlm. 104.
66
Malcolm N. Shaw. Op., Cit. Hlm. 124.
67
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 5.
86
kebebasan untuk mempertahankan atau untuk mengubah agamanya atau keyakinannya. Prinsip yang berlaku dalam perlindungan internasional terhadap kebebasan untuk meyakini suatu agama adalah dalam hal apapun kebebasan memeluk dan meyakini suatu agama atau keyakinan dianggap sebagai kebebasan absolut.68 Dalam penelitian ini, hak-hak yang akan disorot berkenaan dengan kebebasan meyakini agama adalah: a) Hak untuk beragama dan tidak beragama; b) Hak untuk berganti agama; serta c) Hak anak untuk menentukan agama. a. Hak untuk Beragama serta Hak untuk Tidak Beragama
Instrumen hukum internasional pertama yang memberikan penghormatan dan penjaminan terhadap hak atas kebebasan beragama adalah Universal Declaration of Human Rights (UDHR).69 Article 18 UDHR menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan serta beragama. Ketentuan ini menjamin hak atas kebebasan pemikiran, keyakinan, dan agama yang umumnya dideskripsikan sebagai dimensi internal hak atas kebebasan beragama.70 Hak tersebut meliputi hak untuk memeluk suatu agama atau tidak, dalam hal ini, untuk percaya atau tidak percaya terhadap agama.
Article 18 (1) dan (2) ICCPR serta Article 1 1981 Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief menambahkan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat dikenai
68
Malcolm D. Evans, Op., Cit. Hlm. 221, 317.
69
Natan Lerner. Sifat dan Standar Minimum Kebebebasan Beragama atau Berkeyakinan dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 175.
70
Ibid.
87
pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan pilihannya. Ketentuan dalam Article 18 (1) dan (2) ICCPR serta Article 1 1981 Declaration memberi penegasan terhadap Article 18 UDHR, di mana dalam ICCPR dan 1981 Declaration telah ada penegasan cakupan hak atas kebebasan berpikir, bernurani, dan beragama yang mencakup hak untuk memilih suatu agama serta hak untuk menjalankan agama yang diyakininya tersebut. Bagaimanapun dalam menikmati hak atas kebebasan berpikir, bernurani, dan beragamanya tidak ada seorangpun yang dapat dikenakan pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama/kepercayaan yang menjadi pilihannya.71
Hak atas kebebasan seseorang untuk meyakini suatu agama meliputi hak untuk memilih serta memeluk suatu agama baik itu keyakinan teistik ataupun ateistik,72 hak untuk tidak memeluk suatu agama/keyakinan,73 hak untuk berganti agama/keyakinan, termasuk hak untuk mempertahankan agama/keyakinan yang pernah dipeluknya.
71
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 5.
72
Pitsillides v. Republic of Cyprus, Supreme Court of Cyprus, (1983) 2 CLR 374, at 385, per Stylianides J. Cf. Mahkamah Agung Siprus telah mengkonfirmasi pandangan bahwa hati nurani dan agama tidak terbatas pada kepercayaan atau hubungan manusia untuk seorang pencipta. Agama atau keyakinan tersebut meliputi keyakinan teistik dan keyakinan ateistik. Dalam Barralet et al v. Attorney General [1980] 3 All ER 918 pengadilan mendefinisikan 'agama' sebagai hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Dua dari atribut penting dari agama adalah iman dan ibadah; iman pada Tuhan dan menyembah Tuhan.
73
Dalam kasus Buscarini v. San Marino, European Court, (1999) 30 EHRR 208 pengadilan menyatakan bahwa kebebasan beragama melingkupi antara lain, kebebasan memiliki atau tidak memiliki keyakinan agama dan mempraktikkan atau tidak mempraktikkan agama.
88
Pengaturan hukum internasional terhadap kebebasan berkeyakinan memberikan jaminan atas sifat absolut dari hak ini karena masuk ke dalam dimensi internal kebebasan beragama yang tidak boleh diganggu gugat dalam keadaan apapun oleh siapapun. Hak ini diperkuat dengan jaminan perlindungan atas hak privasi. Article 17 ICCPR menyatakan bahwa tidak seorangpun dapat menjadi subyek intervensi yang sewenang-wenang atau melanggar privasinya. Oleh karena itu setiap orang berhak atas kebebasan diri pribadi mereka termasuk dalam hal meyakini atau tidak meyakini suatu agama. 74 Hak ini mencakup pula persoalan tentang administrasi kependudukan. Pada substansi data administrasi kependudukan, setiap orang berhak untuk mencantumkan ataupun tidak mencantumkan informasi mengenai agama atau keyakinannya secara eksplisit. Walaupun tidak ada aturan dalam hukum internasional yang secara jelas mengatur hak tersebut, namun hak untuk mencantumkan atau untuk tidak mencantumkan agamanya merupakan bagian dari hak atas privasi yang dimiliki oleh setiap orang. Masalah meyakini atau tidak meyakini suatu agama atau keyakinan merupakan urusan personal setiap orang yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun dalam keadaan apapun.75 Oleh karena itu, negara seyogianya tidak melakukan intervensi terhadap kebebasan tersebut dengan memberikan keharusan pencantuman klausul agama dalam data kependudukan warganya.
74
Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 177.
75
General comment No. 16: Article 17 (Right to privacy) paragraf 1, hak atas privasi tidak dapat dikenai intervensi dalam hal apapun oleh siapapun termasuk oleh negara. Sebaliknya, negara harus melindungi kebebasan tersebut dengan membuat aturan yang melarang adanya gangguan terhadap hak tersebut.
89
Salah satu contoh peniadaan hak-hak sipil dan politik penganut agama di luar agama resmi adalah peniadaan hak untuk dicatatkan perkawinannya. 76 Hak seseorang untuk melaksanakan perkawinan terdapat dalam Article 16 (1) UDHR yang menyatakan laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan.
Article 23 (2) ICCPR, Article 12 ECHR serta Article 17 (2) ACHR menyatakan hak laki-laki dan perempuan usia perkawinan untuk membentuk keluarga harus diakui dan dilindungi. Hak ini tidak boleh dibatasi oleh alasan yang bersifat diskriminatif termasuk terhadap persoalan agama.77 Diskriminasi yang membatasi hak untuk melaksanakan perkawinan ditentang dalam Hamer v. United Kingdom.78 Dalam kasus tersebut pengadilan menentang adanya diskriminasi terhadap tahanan yang hendak melakukan perkawinan. Pengadilan menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran Article 12 ECHR ketika terjadi pelarangan perkawinan terhadap tahanan.
76 77
78
Nicola Cobran, Loc. Cit. Article 16 (1) UDHR menyatakan penentangan diskriminasi atas dasar kebangsaan, kewarganegaraan atau agama dalam pelaksanaan hak untuk melangsungkan perkawinan. Article 17 (2) ACHR menyatakan pengaturan tentang hak untuk melangsungkan perkawinan tidak boleh melanggar prinsip non-diskriminasi. Ruang lingkup non-diskriminasi mencangkup ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. Hamer v. United Kingdom, European Commission, (1979) 4 EHRR 139.
90
b. Hak untuk Berganti Agama
Salah satu hak yang termasuk dalam hak atas kebebasan beragama adalah hak untuk berganti agama.79 Walaupun terdapat kontroversi terkait pemuatan hak untuk berganti agama sebagai bagian dari hak atas kebebasan beragama, 80 namun The Human Rights Committee mengamati bahwa kebebasan untuk memiliki atau mengadopsi sebuah agama/kepercayaan tentu memerlukan kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan, termasuk hak untuk mengganti agama saat seseorang atau kepercayaan dengan lain atau untuk mengadopsi pandangan ateistik, serta hak untuk mempertahankan agama/kepercayaan seseorang.81
Article 18 UDHR dan Article 9 (1) ECHR menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, dimana hak tersebut termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan. Pengaturan ini memberikan
ruang bagi setiap orang untuk memilih agama apapun untuk diyakini, termasuk kebebasan dalam memilih agama lain untuk menggantikan agama yang sedang ia anut.82
ICCPR mengadopsi suatu formulasi yang berhubungan dengan pernyataan tersebut “No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.” Dengan kata lain setiap orang 79
Ibid. hlm. 770. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 2 dan paragraf 5.
80
Malcolm D. Evans, Op. Cit. Hlm. 194-195.
81
82
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 2 dan paragraf 5. Malcolm D. Evans, Loc. Cit.
91
tidak dapat dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau keyakinan pilihannya sendiri.83
Komentar umum Komite Hak Asasi Manusia tentang bidang cakupan ketentuan ini menyatakan bahwa: “The Committee observes that the religion or belief necessarily entails belief, including the right to replace another or to adopt atheistic views, religion or belief.”
freedom to “have or to adopt” a the freedom to choose a religion or one’s current religion or belief with as well as the right to retain one’s
Hak untuk berganti agama ini termasuk dalam dimensi internal kebebasan beragama. Konsekuensinya, hak ini merupakan hak yang absolut, mengingat dimensi hak internal menjadi ranah urusan pribadi seseorang, sehingga tidak dapat dibatasi dalam keadaan apapun oleh siapapun.
Salah satu contoh kasus adalah Darby v Swedia. Pengadilan menyatakan bahwa pembatasan hanya dapat diterapkan dalam dimensi eksternal kebebasan beragama, tetapi bukan untuk kebebasan memilih agama atau keyakinan seseorang.84 Pembatasan tidak berlaku bagi seseorang untuk berganti agama. Ketidakberlakuan atas pembatasan ini didasarkan adanya perbedaan bobot perlindungan antara kebebasan beragama dalam dimensi internal dan eksternal.85 Berganti agama masuk dalam kategori dimensi internal kebebasan beragama yang
83
Article 18 (2) ICCPR. Lihat juga Tad Stahnke, Hak untuk Melakukan Persuasi Keagamaan dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 544.
84
Darby v Swedia, Rep. Com. 11581/85 (EComHR, 9 Mei 1989). Paragraph 44.
85
Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 228.
92
bersifat absolut, sehingga tidak dapat dibatasi dalam keadaan apapun oleh siapapun.86
c. Hak Anak untuk Menentukan Agama
Anak memiliki hak atas informasi yang tepat, dilindungi dari indoktrinasi dan pencucian otak (dari negara, sekte-sekte, atau dari orang tua mereka sendiri), dan hak untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang matang dan bertanggung jawab. Orang tua memiliki hak, namun hak ini dimaksudkan untuk menetralisir kekuatan intrusif negara dan melindungi keluarga, serta tidak dimaksudkan merugikan anak. Dalam hal ini pandangan anak juga harus dihormati.87
Hak anak untuk memeluk agama pilihannya dirumuskan dalam Article 14 Convention on the Rights of the Child (CRC) yang menyatakan “States Parties shall respect the right of the child to freedom of thought, conscience and religion.” Pengaturan tersebut berimplikasi terhadap isu adopsi yang dimuat dalam Article 21 CRC yang memberikan syarat pelaksanaan adopsi dalam negara pihak. Tidak ada ketentuan CRC yang mengatur mengenai persyaratan agama dalam proses adopsi. Pelaksanaan adopsi anak semata-mata dilakukan dengan dilandasi prinsip demi kepentingan terbaik anak.88 Kepentingan terbaik anak 86
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) menjelaskan bahwa “Article 18 melindungi keyakinan yang mempercayai Tuhan, yang tidak percaya pada Tuhan dan ateis, maupun hak untuk tidak mengakui memeluk agama atau keyakinan apapun.” Hal ini termasuk hak untuk memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan
87
Rajaji Ramanadha Babu Gogineni dan Lars Gule, Humanisme dan kebebasan dari agama, dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 638.
88
Ingvill Thorson Plesner, Memajukan Toleransi melalui Pendidikan Agama dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 650-651.
93
artinya di dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan yang utama.89
Standar HAM PBB tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan seperti norma-norma HAM fundamental lainnya, juga mencangkup penekanan yang kuat terhadap prinsip non-diskriminasi.90 1981 Declaration memuat pengakuan hak yang sama dan sederajat dari semua warga terhadap kebebasan beragama atau keyakinan. Deklarasi ini menggarisbawahi hubungan yang erat antara pemajuan toleransi dan kebebasan beragama atau keyakinan. Deklarasi itu menyatakan: “The child shall be protected from any form of discrimination on the ground of religion or belief. He shall be brought up in a spirit of understanding, tolerance, friendship among peoples, peace and universal brotherhood, respect for freedom of religion or belief of others, and in full consciousness that his energy and talents should be devoted to the service of his fellow men.”91 Menurut 1981 Declaration, anak dilindungi dari setiap bentuk diskriminasi berdasarkan agama atau keyakinan dan harus diasuh dalam semangat pemahaman, toleransi, dan yang paling utama adalah anak dapat menghormati pula kebebasan beragama atau berkeyakinan orang lain. Substansi terpenting lainnya adalah anak tidak dapat atau tidak boleh dipaksa untuk menerima pengajaran agama atau keyakinan yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua atau walinya yang sah,
89
Article 3 Convention on the Rights of Child. Prinsip “the best interests of child” dalam perkara adopsi juga dapat dilihat dalam kasus Van Oosterwijck v. Belgium, European Commission, (1979) 3 EHRR 581.
90
Ingvill Thorson Plesner, Loc. Cit.
91
Article 5 (3) 1981 Declaration.
94
dengan dilandasi prinsip demi kepentingan terbaik anak.92 Kepentingan terbaik anak diperlukan untuk melindungi kepentingan anak itu sendiri, karena anak belum dapat melaksanakan hak atas self determination yang dimilikinya. Oleh karena itu orang tua/wali bertanggungjawab penuh dalam pengawasan kelangsungan hidup anak dalam hal pendidikan agama/keyakinan.93
3. Kebebasan
dalam
Menjalankan/Mengekspresikan
Agama
yang
Diyakini
Termasuk dalam lingkup kebebasan untuk mengekspresikan/menjalankan agama ialah kebebasan untuk menjalankan/mengekspresikan agama baik secara individu ataupun secara berkelompok dengan orang lain secara umum atau pribadi.94 Hal ini mencakup pelaksanaan ritual dan seremonial yang memberikan dampak langsung terhadap keyakinan, maupun pengalaman sejenis yang integral termasuk pembangunan tempat ibadah, penggunaan formula maupun peralatan ritual dan simbol keagamaan.95
Bobot perlindungan terhadap kebebasan memanifestasikan/menjalankan agamanya masing-masing dengan kebebasan dalam meyakini keyakinannya masing-masing adalah berbeda. Jika kebebasan meyakini suatu agama/keyakinan
92
Michael Freeman, A Commentary on the United Nations Convention on the Rights of the Child: The Best Interests of the Child, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2007, hlm. 8. Ingvill Thorson Plesner. Op. Cit., hlm. 650-651.
93
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 6.
94
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 4.
95
Ibid.
95
merupakan hak yang absolut, hak untuk menjalankan/memanifestasikan suatu agama/kepercayaan merupakan hak yang dapat dibatasi pelaksanaannya dengan syarat tertentu. Berdasarkan Article 18 (3) ICCPR, Article 9 (2) ECHR, serta Article 12 (3) ACHR, kebebasan menjalankan/mengekspresikan agama hanya dapat dibatasi dalam rangka untuk melindungi keamanan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak dasar orang lain.96
Hak-hak yang akan disorot dalam kebebasan beragama, kebebasan dalam menjalankan/mengekspresikan agama dalam hukum internasional meliputi a) hak untuk bebas menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini; b) hak untuk mendirikan tempat ibadah; c) hak untuk membela/mempertahankan agama yang diyakini; serta d) hak untuk menyebarluaskan ajaran agama.
a. Hak untuk Bebas Menjalankan Agama sesuai Tafsir yang Diyakini
Walau tidak ada pernyataan eksplisit tentang jaminan dan perlindungan kebebasan menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini, namun hak ini tetap menjadi obyek perlindungan oleh hukum internasional.97 Kebebasan menafsirkan agama sesuai keyakinan masing-masing merupakan hak absolut.98 Pelaksanaan hak ini oleh seseorang ataupun oleh sekelompok orang dilindungi oleh Article 18 (1) ICCPR serta Article 18 UDHR. Namun pelaksanaan hak tersebut dapat 96
Manfred Nowak, Pembatasan-Pembatasan yang Diperbolehkan terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 207. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 4.
97
Javier Martinez-Torron & Rafael Navarro-Valls, Perlindungan Kebebasan Beragama dalam Sistem Dewan Eropa, dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 275.
98
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 4.
96
dibatasi sepanjang pembatasan tersebut ditetapkan dengan hukum, dan pembatasan tersebut benar-benar diperlukan untuk melindungi keamanan (dalam arti keamanan pribadi pemeluk agama), ketertiban, kesehatan, nilai moral masyarakat, atau hak-hak mendasar orang lain.99 Secara a contrario, sepanjang tidak mengganggu keamanan, ketertiban, kesehatan, nilai moral masyarakat, atau hak-hak mendasar orang lain, (misalnya sebagai ekspresi keagamaan hal ini dilakukan secara damai), maka tindakan demikian tidak seyogianya dikenakan pembatasan oleh negara.
Salah satu contoh pembatasan yang diperbolehkan berdasarkan klausul keselamatan pulik adalah kasus X v. UK. Dalam kasus X v. UK, komisi HAM Eropa menganggap hukum di Inggris yang mengharuskan semua pengendara sepeda
motor
untuk
menggunakan
helm
sebagai
hukum
yang
diperbolehkan/dibenarkan untuk melindungi keselamatan publik, bahkan ketika hukum tersebut diterapkan kepada penganut Sikh.100
Lebih lanjut perbedaan penafsiran tersebut berimplikasi timbulnya golongan mayoritas dan minoritas dalam hal menafsirkan suatu agama. Prinsip non-diskriminasi mewajibkan Negara untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yurisdiksinya tanpa
99
Article 18 ICCPR, Pasal 28J UUD 1945. Lihat juga Nicola Cobran, Op. Cit. Hlm. 724.
100
X v. UK, App No. 7992/77 (EcomHR, 14 Keputusan dan laporan 234, 12 Juli 1978), keputusan penolakan. Lihat juga Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 208.
97
pembedaan apapun.101 Pembatasan tidak boleh dikenakan untuk tujuan diskriminatif atau dilaksanakan dengan cara diskriminatif.102 Oleh karena itu tidak ada satupun orang yang dapat dibedakan perlakuannya walaupun ia memiliki penafsiran yang berbeda terhadap suatu agama.
b. Hak untuk Mendirikan Tempat Ibadah
Hukum internasional tidak memberikan pengaturan secara eksplisit mengenai kebebasan pendirian rumah ibadah. Mendirikan tempat ibadah merupakan salah satu pengaplikasian kebebasan menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini. Hak untuk mendirikan tempat ibadah yang merupakan dimensi eksternal hak atas kebebasan beragama dapat dibatasi sepanjang sesuai dengan kriteria pembatasan yang berlaku menurut hukum internasional. Namun pembatasan harus proporsional serta tidak boleh dikenakan untuk tujuan diskriminatif atau dilaksanakan dengan cara diskriminatif.103
Salah satu contoh penerapan pembatasan dalam hak untuk mendirikan tempat ibadah yang tidak proporsional adalah dalam kasus Mannousakis v. Greece. Pengadilan HAM Eropa menguji kesesuaian dakwaan terhadap pendirian dan pengoperasian suatu rumah ibadat tanpa izin dari Menteri Urusan Pendidikan
101
Article 2(1) ICCPR.
102
Cole Durham. Memfasilitasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan melalui Perundangundangan Asosiasi Keagamaan dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 355. General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 8.
103
Durham, Cole. Loc. Cit.
98
dan Agama Yunani.104 Pengadilan menyatakan bahwa penerapan keharusan adanya perizinan memang selaras dengan Article 9 ECHR, namun dengan catatan hanya berupa verifikasi persyaratan formal tertentu apakah sudah dipenuhi atau belum. Namun pengadilan menemukan dan mengemukakan bahwa Yunani telah menggunakan perizinan ini untuk menerapkan pula persyaratan-persyaratan yang kaku, atau yang bersifat mempersulit, bahkan melarang praktik keagamaan tertentu. Pengadilan memutuskan bahwa dakwaan terhadap pemohon merupakan suatu bentuk intervensi terhadap kebebasan mereka dalam memanifestasikan agama mereka, suatu intervensi yang tidak diperlukan.105
c. Hak untuk Membela/Mempertahankan Agama yang Diyakini
Hak untuk membela/mempertahankan agama yang diyakini merupakan bagian dari hak untuk bebas memeluk dan menjalankan/mengekspresikan agama sesuai tafsir yang diyakini. Hak tersebut dihadapkan dengan situasi yang menunjukkan adanya interpretasi yang berbeda satu sama lain mengenai suatu agama.106
Tidak
ada
aturan
yang
spesifik
mengenai
hak
untuk
membela/mempertahankan agama dalam pengaturan hukum internasional. Namun hak ini berlaku secara lex generalis dan sudah melekat dengan kebebasan untuk
104
Manousakis and Others v. Greece, 23 EHRR 387 (1997) (EctHR 1996-IV, 26 September 1996).
105
Ibid., Lihat juga Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 213.
106
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 8.
99
menjalankan/mengekspresikan agama/keyakinan yang telah dipeluk seseorang. Sebagai bagian dari dimensi eksternal, hak ini mendapatkan pembatasan.
Kebebasan mengekspresikan
mempertahankan agama.
Dalam
agama rangka
merupakan menjalankan
wujud
kebebasan
kebebasan
untuk
mempertahankan agamanya tersebut setiap orang dapat dikenai pembatasan yang didasarkan untuk melindungi keamanan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak dasar orang lain.107 Oleh karena itu tidak seorangpun dapat memaksakan pendapat atau agama atau keyakinannya terhadap orang lain dalam rangka mempertahankan agamanya.108
d. Hak untuk Menyebarluaskan Ajaran Agama
Kebebasan menyebarkan agama bukanlah kebebasan yang tidak dapat dikenai pembatasan.109 Pembatasan yang paling utama dalam kebebasan ini ialah hak asasi orang lain yang menjadi sasaran penyebaran agama. Kebebasan menjalankan/mengekspresikan agama juga meliputi hak untuk mencoba meyakinkan orang lain untuk meyakini agamanya.110 Oleh karena itu praktik pengajaran agama terhadap penganut atau non-penganut agama tetap diakui dalam
107
Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 207. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 4.
108
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 3.
109
Ibid. Hlm. 537.
110
Kokkinakis v. Greece, 17 EHRR 397 (1994) (EctHR 260-A, 25 Mei 1993). Pengadilan menegaskan bahwa kebebasan seseorang dalam memanifestasikan agamanya meliputi hak untuk mencoba meyakinkan orang lain dengan maksud untuk memperoleh anggota baru.
100
hukum internasional111 sepanjang tidak memenuhi kriteria pembatasan yang diperbolehkan.
C.
Konvergensi Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional Hukum nasional dan hukum internasional berkonvergensi sebagai sebuah
sistem. Konsekuensi dari sistem adalah tidak boleh ada pertentangan atau inkoherensi pada bagian-bagian dari sistem. Sehingga, sebagai sistem atau a body of law, aturan hukum nasional dan internasional harus koheren. Oleh karena itu ketika terjadi inkoherensi di antara keduanya, maka salah satu ketentuan yang mengalami inkoherensi tersebut harus disisihkan.
Dalam Sub-judul ini penulis hendak mengidentifikasi inkoherensi antara hukum internasional dengan hukum nasional Indonesia mengenai pengaturan tentang kebebasan beragama sebagai HAM. Sebagai tolok ukur utama dalam rangka koherensi itu adalah prinsip non-intervensi yang diperkuat oleh prinsip non-diskriminasi serta prinsip toleransi.
Sistematika pembahasan dalam Sub-
judul ini adalah sebagai berikut. Pertama, penulis akan menyoroti kedudukan hukum internasional dalam sistem hukum Indonesia (infra Sub-judul C.1). Kedua, penulis akan menjelaskan isu utama mengenai sumber inkoherensi dalam perlindungan hukum terhadap kebebasan beragama di Indonesia yaitu ketidakjelasan visi bernegara mengenai hubungan antara negara dan agama (infra Sub-judul C.2). Ketiga, menjelaskan keberlakuan prinsip non-intervensi dan
111
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 5.
101
prinsip non-diskriminasi (infra Sub-judul C.3), serta prinsip toleransi (infra Subjudul C.4).
1.
Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Indonesia
Kedudukan hukum internasional dalam sistem hukum Indonesia tidak dilandasi kaidah konstitusional yang jelas oleh UUD 1945 dalam pengertian apakah cara yang dipilih Indonesia untuk memberlakukan hukum internasional dalam pengadilannya sebagai sumber hukum.112 Namun demikian sebagai subyek hukum internasional Indonesia terikat oleh hukum internasional sebagaimana termanifestasikan dalam sumber-sumber hukum internasional, baik dengan cara mengikatkan diri terhadap perjanjian internasional ataupun tanpa proses pengikatan diri secara eksplisit.
Persetujuan untuk terikat pada perjanjian internasional dinyatakan dengan penandatanganan (signature) dan diikuti oleh pengesahan (ratification).113 Pengikatan diri negara Indonesia terhadap perjanjian internasional menuntut konsekuensi penerapan hukum internasional ke dalam sistem hukum Indonesia.114 Sedangkan yang dimaksud tanpa proses pengikatan diri ialah Indonesia harus tunduk pada norma-norma universal yang terkandung dalam kebiasaan internasional meskipun tidak menyatakan secara eksplisit persetujuannya untuk terikat.
112
Titon Slamet Kurnia. Pengantar Sistem Hukum Indonesia. Op.Cit. Hlm.124.
113
Article 11-16 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
114
Pasal 3 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
102
Indonesia telah meratifikasi perjanjian internasional terkait hak atas kebebasan beragama berupa ICCPR melalui UU No. 12 Tahun 2005. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia harus tunduk pada subtansi ICCPR serta terikat pada seluruh kewajiban negara yang termuat di dalamnya. Selain itu Indonesia juga terikat pada kebiasaan internasional yang dapat diidentifikasi antara lain melalui UDHR, ECHR, ACHR, serta Declaration on the Elimination of all Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief 1981.
Keterikatan pada hukum internasional mengandung implikasi bahwa negara Indonesia harus menghormati dan mematuhi hukum internasional. Penghormatan dan kepatuhan tersebut salah satunya dilakukan melalui tindakan rule-making. Dalam tindakan rule-making maka Indonesia tidak boleh menghasilkan peraturan perundang-undangan yang bertentangan atau tidak koheren dengan hukum internasional. Dalam konteks ini penulis berargumen bahwa hukum internasional adalah hukum dalam sistem hukum Indonesia. Sebagai hukum dalam sistem hukum Indonesia maka koherensi peraturan perundang-undangan Indonesia dengan hukum internasional sifatnya imperatif dikaitkan dengan implikasi hukumnya: pelanggaran hukum internasional oleh Indonesia jika yang terjadi kebalikannya.115
115
Article 27 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 menyatakan “A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty.”
103
2.
Visi Bernegara Indonesia tentang Hubungan antara Negara dan Agama
Visi bernegara Indonesia tentang hubungan antara negara dan agama bersifat ambigu (lihat kembali supra Sub-judul A). Negara Indonesia menolak predikat sebagai negara agama dan sebagai negara sekuler. 116 Kondisi ini menimbulkan dampak negatif pada aras kebijakan negara berkenaan dengan soalsoal keagamaan. Walaupun kebebasan beragama merupakan hak yang universal, namun pelaksanaan perlindungan terhadap hak tersebut di Indonesia sangat dipengaruhi oleh visi yang ambigu tentang hubungan antara negara dan agama. Konsekuensi logisnya adalah ketiadaan batasan secara tegas terhadap kekuasaan intervensionis negara untuk soal-soal keagamaan.
Hal ini merupakan keprihatinan serius sejumlah tokoh bangsa yang memiliki aspirasi supaya kemajemukan Indonesia dikelola berdasarkan asas pluralisme, bukan eksklusivisme. Salah satu tokoh bangsa yang sangat concern dengan isu ini adalah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur secara tegas menentang pencampuradukan urusan agama dan negara, serta memilih untuk berpihak pada asas pluralisme sebagai dasar hubungan antara negara dan agama.117 Gus Dur meminta legislator untuk melihat Pancasila sebagai dasar negara serta prinsip non-diskriminasi dalam kebebasan beragama, sehingga tidak terjadi intervensi yang berlebihan pada urusan agama yang berujung pada 116
Nicola Cobran, Op. Cit., hlm. 683. “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan hasil kompromi antara kelompok pendukung nasionalisme sekuler dan kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara.
117
Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, hlm. 29.
104
diskriminasi.118 Agama ditekankan hanya sebagai dasar moral dalam kehidupan bernegara, bukan sebagai dasar penyusunan peraturan perundang-undangan.119
Perdebatan mengenai konsep hubungan negara dan agama mencapai konsensus puncak dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama apa pun dan untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama masing-masing.120 Namun desain konstitusional tersebut tidak cukup kuat untuk membentengi hak atas kebebasan beragama di Indonesia. Sehingga yang kemudian terjadi, peraturan perundangundangan sebagai pengaturan mengenai persoalan keagamaan di Indonesia tidak mampu memberikan perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama bagi setiap orang sebagai hal yang prinsip. Sebaliknya, hal itu justru menjadi legitimasi bagi pemerintah untuk melakukan intervensi secara berlebihan dan sekaligus menjadi alasan bagi sebagian orang untuk bersikap tidak toleran terhadap penganut agama berbeda. Hal ini adalah sumber utama inkoherensi pengaturan hukum nasional dengan hukum internasional sebagaimana akan didiskusikan selanjutnya di bawah.
3.
Prinsip Non-Intervensi dan Prinsip Non-Diskriminasi
Isu inkoherensi pertama yang menjadi perhatian penulis adalah hak atas kebebasan beragama dengan dimensi internal, yaitu hak untuk meyakini suatu 118
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004, hlm. 181-202.
119
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001, hlm. 95.
120
Adnan Buyung Nasution, Op. Cit. Hlm. 102.
105
agama/kepercayaan. Berdasarkan pembahasan sebelumnya diketahui bahwa pada dimensi internal ini sifat yuridis dari hak atas kebebasan beragama adalah absolut, menyangkut hubungan antara individu dengan agama/keyakinannya yang bersifat batiniah atau rohaniah. Oleh karena itu, terhadap hak dengan dimensi internal ini, yang berlaku sebagai bentuk perlindungan hukumnya adalah prinsip nonintervensi.
Prinsip non-intervensi mengehendaki adanya kewajiban negara untuk menghormati HAM yang dimiliki oleh setiap warganya. Kebebasan meyakini suatu agama termasuk dalam dimensi internal kebebasan beragama, yang bermakna bahwa hak tersebut tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, negara tidak berhak untuk melakukan segala bentuk intervensi termasuk pembatasan terkait hak a quo.
Keberlakuan
prinsip
non-intervensi
diperkuat
oleh
prinsip
non-
diskriminasi yang melarang diskriminasi dalam penikmatan HAM yang dijamin. Setiap orang memiliki hak yang sama atas penikmatan HAM-nya tanpa adanya pembedaan dalam bentuk apapun berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal nasional atau sosial, kepemilikan, kelahiran atau status lainnya. Prinsip non-diskriminasi dalam HAM menjadi tanggungjawab setiap institusi penegak HAM, khususnya pemerintah.121
Berdasarkan pengertian di atas maka penulis berargumen bahwa hukum nasional Indonesia, dalam pokok-pokok pengaturan tertentu, telah gagal 121
Paul Sieghart dalam Nihal Jayawickrama, Op. Cit. Hlm. 175.
106
memenuhi tuntutan prinsip non-intervensi, sehingga terjadi inkoherensi antara pengaturan hukum nasional Indonesia dengan pengaturan hukum internasional. Pemicu dari kegagalan tersebut adalah kecenderungan intervensionis serta sikap diskriminatif dalam kebijakan negara yang diwarnai oleh perspektif mayoritas yang sulit menerima perbedaan dengan minoritas. Pada paragraf-paragraf selanjutnya di bawah penulis akan menjustifikasi argumen tersebut.
a. Hak untuk Beragama serta Hak untuk Tidak Beragama
Perlindungan terhadap hak untuk beragama serta hak untuk tidak beragama didasarkan pada prinsip non-intervensi serta non-diskriminasi. Negara wajib menghormati HAM yang dimiliki oleh setiap warganya tersebut, serta tidak berhak untuk melakukan segala bentuk intervensi termasuk pembatasan terkait hak a quo. Lebih lanjut prinsip non-diskrimisasi melarang diskriminasi dalam penikmatan hak-hak asasi manusia yang dijamin. Negara tidak boleh melakukan justifikasi sepihak mengenai agama yang resmi ataupun agama yang belum diakui. Setiap warga negara harus mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agama.122
Namun dalam praktik hukum nasional Indonesia, terdapat pemberian predikat
“agama
resmi”
dan
“agama
yang
belum
diakui”
terhadap
agama/kepercayaan yang ada.123 Hal tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi
122
Nicola Cobran, Op. Cit., hlm. 692.
123
Penjelasan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama jo. Pasal 8 ayat (2), Pasal 61 ayat (4), dan Pasal 64 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
107
pengakuan negara terhadap kebebasan beragama. Di satu sisi negara menyatakan adanya kebebasan yang absolut bagi setiap warga negara untuk meyakini suatu agama/kepercayaan124, namun di sisi lain kebebasan tersebut justru dibatasi dengan adanya klausul “agama resmi” dan “agama yang belum diakui”. Hal ini menunjukkan adanya diskriminasi bagi kaum minoritas yang ada di dalam suatu negara, terutama bagi warga negara yang memeluk “agama yang belum diakui”.
Selanjutnya, hukum nasional Indonesia juga belum mengakomodasi hak warga negaranya untuk tidak beragama. Meskipun secara implisit hak tersebut sudah terdapat dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, namun tidak adanya pengaturan mengenai kebebasan tersebut serta adanya klausul “agama resmi” dan “agama yang belum diakui” justru menimbulkan pemahaman bahwa tidak ada kebebasan untuk
tidak
beragama
sebagai
bentuk
kebebasan
memeluk
suatu
agama/kepercayaan.
Berikut ini adalah beberapa isu inkoherensi pengaturan hukum nasional terhadap hukum internasional terkait dengan hak/kebebasan untuk beragama/tidak beragama. Pertama, intervensi negara berkenaan dengan persoalan administrasi kependudukan. Pasal 61 jo. Pasal 64 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan adalah bentuk intervensi terhadap hak atas kebebasan beragama yaitu hak untuk beragama/tidak beragama. Pengaturan tersebut kurang mengakomodasi kepentingan warga negara yang memiliki agama/keyakinan yang 124
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945
108
selama ini tidak diakui sebagai “agama resmi” berdasarkan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Oleh karena itu, supaya UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dapat dijalankan tanpa melanggar atau bertentangan dengan hak atas kebebasan beragama maka seyogianya persepsi keliru tentang “agama resmi” dihilangkan terlebih dahulu.
Pencantuman identitas keagamaan tidak seyogianya bersifat imperatif, tetapi fakultatif dengan asumsi bahwa pencantuman identitas keagamaan tersebut harus didasarkan pada prior consent dari individu yang bersangkutan. Keharusan mencantumkan agama dalam dokumen kependudukan tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi pengakuan negara terhadap kebebasan beragama. Dalam ketentuan tersebut sebenarnya yang diberi kebebasan memeluk dan beribadah hanyalah
pemeluk
agama
resmi.
Implikasinya,
warga
negara
yang
agama/kepercayaannya tidak diakui menjadi tidak dapat mencantumkan agamanya ke dalam dokumen kependudukan.125 Hal ini menunjukkan adanya diskriminasi bagi kaum minoritas yang ada di dalam suatu negara, serta negara telah melanggar prinsip non-intervensi terhadap hak absolut. Walaupun tidak ada ketentuan dalam hukum internasional yang secara jelas mengatur hal itu, namun hak untuk mencantumkan atau untuk tidak mencantumkan agama yang dipeluk telah dijamin berdasarkan hak atas privacy yang dimiliki oleh setiap orang.126
125
Pasal 61 jo. Pasal 64 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
126
General comment No. 16: Article 17 (Right to privacy) paragraf 1, hak atas privacy tidak dapat dikenai intervensi dalam hal apapun oleh siapapun termasuk oleh negara. Sebaliknya, negara
109
Kedua, inkoherensi dalam pengaturan mengenai pencatatan perkawinan. Hukum internasional mengakui hak laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, serta tidak boleh menerima perlakuan diskriminatif, termasuk terhadap persoalan agama.127 Pengaturan ini sejalan dengan aturan hukum nasional Indonesia berupa Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Aturan hukum nasional Indonesia tidak mengakomodasi hak untuk melangsungkan perkawinan, karena tidak memberikan pengakuan pelaksanaan perkawinan pemeluk agama yang belum diakui, serta perkawinan antar agama. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan No. 23 Tahun 2006 berupaya untuk mengakomodasi kemungkinan pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama yang belum diakui.128 Namun pengaturan tersebut justru menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap golongan minoritas yang agamanya belum diakui, karena terjadi pengosongan identitas agama. harus melindungi kebebasan tersebut dengan membuat aturan yang melarang adanya gangguan terhadap hak tersebut. 127
Article 16 (1) UDHR, Article 23 (2) ICCPR, Article 12 ECHR serta Article 17 (2) ACHR
128
Pasal 81 ayat (2) PP No. 37 Tahun 2007.
110
Selanjutnya, pengaturan nasional Indonesia juga tidak mengakomodasi hak setiap warga negara untuk melangsungkan perkawinan antar agama. Hal ini dikarenakan adanya kekosongan pengaturan dalam undang-undang129 serta pemahaman secara sempit klausul “perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”. Klausul yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tersebut sering menjadi dasar penolakan pencatatan perkawinan di Indonesia, seperti yang terjadi dalam kasus Sudiningsih and Geluk v. Head of the Jakarta Civil Registry. Pengadilan menyatakan bahwa ketika terjadi penolakan perkawinan antar agama baik dari segi pelaksanaannya maupun pencatatannya, maka dalam perspektif HAM hal tersebut jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.130
Meskipun dalam praktik beberapa putusan pengadilan telah memberikan jaminan bagi keabsahan perkawinan beda agama, namun pelanggaran HAM berupa diskriminasi oleh UU No. 1 Tahun 1974 tetap terjadi karena pengaturannya yang inkoheren dengan jaminan perlindungan HAM secara internasional meghalangi orang-orang berbeda agama untuk melangsungkan perkawinan masih eksis. Oleh karena itu perlu jaminan oleh undang-undang secara eksplisit bahwa perkawinan beda agama diperbolehkan. Dengan pengaturan demikian maka efek yuridisnya adalah akan terjadi koherensi.
129
Adriaan Bedner, Administrative Courts in Indonesia, The Hague: Kluwer Law International. 2001, hlm. 177.
130
Ibid.
111
b. Hak untuk Berganti Agama
Kebebasan untuk berganti agama tidak dijamin secara eksplisit dalam hukum nasional Indonesia. Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam hukum internasional. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, akan tetapi jaminan atas kebebasan untuk berganti agama telah diberikan oleh konstitusi maupun peraturan perundang-undangan. Indonesia menghadapi pilihan yang sulit dalam menentukan metode formulasi atas hak tersebut karena terkait dengan sejarah konstitusional yang rumit dalam mengakomodasi pendapat kelompok agama tertentu. Akibatnya, selalu terjadi pasang surut dalam pro dan kontra. Akan tetapi hal fundamental yang harus disepakati adalah prinsip non-intervensi berlaku mutlak dalam kasus ini. Kegagalan negara mencegah pihak ketiga untuk tidak mengintervensi kebebasan berganti agama pada seseorang sama bobotnya dengan negara sendiri yang melakukan intervensi.
Hukum internasional dan hukum nasional Indonesia mengakui bahwa setiap orang berhak untuk memilih dan berpindah agama atau kepercayaan dengan bebas. Namun hak tersebut tidak dinyatakan secara eksplisit dalam pengaturan hukum nasional Indonesia, hanya secara implisit terdapat dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Sedangkan hukum internasional mengakui secara eksplisit dalam Article 18 UDHR dan Article 9 (1) ECHR. Ketiadaan pernyataan eksplisit mengenai kebebasan berganti agama di Indonesia dapat menghambat kebebasan
112
itu sendiri, bahkan muncul kesan bahwa berganti agama tidak dibenarkan secara yuridis.
c. Hak Anak untuk Menentukan Agama
Hukum internasional dan hukum nasional Indonesia mengakui adanya hak anak atas kebebasan beragama.131 Namun pengaturan mengenai hak anak tersebut berimplikasi terhadap isu adopsi terkait proteksi kebebasan beragama anak oleh orang tua angkatnya.
Pengaturan tentang adopsi di Indonesia memuat ketentuan mengenai agama sebagai salah satu syarat keabsahan pengangkatan anak yakni calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.132 Pengaturan tersebut membatasi hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Ketika seorang anak menjadi tidak dapat diasuh oleh orang yang dapat mengasuh demi kebaikannya karena kendala agama, maka sebenarnya telah terjadi pembatasan terhadap hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Pengaturan hukum nasional Indonesia justru diskriminatif terhadap anak yang hendak diadopsi.
131
Article 14 Convention on the Rights of the Child dan Pasal 6 jo. Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
132
Pasal 39 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 13 huruf c PP No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
113
Pengaturan tersebut tidak sejalan dengan hukum internasional yang di dalamnya tidak memuat ketentuan yang mengatur mengenai agama dalam proses adopsi.133 Pelaksanaan adopsi anak semata-mata dilakukan dengan dilandasi prinsip demi kepentingan terbaik anak.134 Kepentingan terbaik anak artinya di dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan yang utama.135
4.
Prinsip Toleransi
Kebebasan ekspresi keagamaan adalah persoalan yang rumit dalam masyarakat pluralistik seperti Indonesia. Dengan setiap orang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan agama/kepercayaannya maka peran negara dalam persoalan keagamaan menjadi semakin kompleks untuk mencegah supaya tidak timbul konflik berkenaan dengan relasi antar umat beragama.
Prinsip toleransi ialah prinsip yang seyogianya melandasi hubungan horizontal antar warga negara ketika memanifestasikan kebebasan ekspresi keagamaannya. Prinsip toleransi berfungsi melindungi kebebasan beragama dengan menempatkan beberapa batasan pada ekspresi keagamaan.136 Berbicara tentang kebebasan untuk mengekspresikan agama/keyakinan, hubungan yang terbentuk bukan hanya antara individu dengan Tuhannya, namun juga dengan
133
Article 21 Convention on the Rights of Child.
134
Ingvill Thorson Plesner, Op. Cit., hlm. 650-651.
135
Article 3 Convention on the Rights of Child.
136
Melissa S. Williams, Op. Cit., Hlm. 8.
114
individu lain (dimensi eksternal). Oleh karena itu yang perlu ditekankan adalah adanya toleransi yang ujungnya demi menghormati hak-hak orang lain.137
Jika kebebasan meyakini suatu agama/keyakinan merupakan hak yang absolut, hak untuk menjalankan/memanifestasikan suatu agama/kepercayaan merupakan hak yang dapat dibatasi pelaksanaannya dengan syarat tertentu. Dengan kata lain, negara dapat mengintervensi kebebasan ini. Pembatasan berupa undang-undang sebagai perwujudan toleransi memang diperbolehkan, sepanjang pembatasan
proporsional.138
tersebut
Pembatasan
harus
memperhatikan
keseimbangan yang dicapai antara tujuan pembatasan hak dengan elemen penting dari hak yang diakui.139
Pembatasan
terhadap
hak
untuk
menjalankan/mengekspresikan
agama/keyakinannya di dalam hukum nasional Indonesia didasarkan pada hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.140 Namun pembatasan yang didasarkan nilai-nilai agama tidak sesuai dengan kriteria pembatasan yang terdapat dalam hukum
137
Nihal Jayawickrama, Op. Cit., hlm. 8.
138
Ibid, hlm. 189. Chassagnou v. France, European Court, (1999) 29 EHRR 615. Dalam kasus ini pengadilan membenarkan intervensi yang dilakukan oleh negara sepanjang pembatasan yang dikenakan pada hak harus proporsional dengan tujuan sah yang ingin dicapai.
139
Ibid. Rassemblement Jurassien & Unit´e Jurassienne v. Switzerland, European Commission, (1980) 17 Decisions & Reports 93. Lihat juga kasus State v. Smith, High Court of Namibia, [1997] 4 LRC 330. Kedua kasus tersebut menitikberatkan proporsionalitas sebagai dasar pemberian pembatasan hak.
140
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
115
internasional.141 Hal ini dikarenakan pembatasan tersebut justru menyebabkan timbulnya diskriminasi terhadap golongan minoritas.
Pada Sub-judul ini penulis akan mengidentifikasi inkoherensi pengaturan hukum internasional dan hukum nasional Indonesia berkenaan dengan kebebasan untuk menjalankan/mengekspresikan agama/keyakinan yang meliputi: a) hak untuk bebas menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini; b) hak untuk mendirikan tempat ibadah; serta c) hak untuk membela/mempertahankan agama yang diyakini. Terkait dengan hak-hak itu penulis berargumen bahwa aturan hukum nasional Indonesia gagal dalam merealisasikan prinsip toleransi yang sangat penting antar umat beragama. Bahkan dalam hal-hal tertentu pengaturan hukum nasional Indonesia justru mendorong munculnya perilaku tidak toleran sehingga hal itu sering menimbulkan konflik antar umat beragama. Lebih jauh lagi, Indonesia telah gagal dalam merealisasikan kewajiban to protect melalui peraturan perundang-undangannya.
a. Hak untuk Bebas Menjalankan Agama sesuai Tafsir yang Diyakini
Dalam rangka mengekspresikan kebebasan menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini, pembatasan terhadap hak tersebut dapat diberlakukan.142
141
Article 18 (3) ICCPR, Article 9 (2) ECHR, Article 12 (3) ACHR.
142
Article 18 ICCPR, Pasal 28J UUD 1945. Lihat juga Nicola Cobran, Op. Cit. Hlm. 724.
116
Pembatasan
tersebut
berkaitan
dengan
toleransi
yang ditujukan
untuk
menghormati hak-hak orang lain.143
Hak untuk bebas menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini di Indonesia mendapatkan beberapa pengaturan berupa UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta yang lebih spesifik SKB No: 3 Tahun 2008. Substansi pengaturan-pengaturan tersebut adalah pembatasan terhadap hak. Namun yang menjadi isu adalah substansi pembatasan hak tersebut cenderung eksesif karena menghilangkan makna kebebasan dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan tafsir yang diyakini. Ketika ada seseorang yang beribadah sesuai keyakinannya namun tafsirannya tidak sama persis dengan ajaran agamanya tersebut, maka ia dianggap melakukan kejahatan penodaan agama sesuai dengan Pasal 156a KUHP.
Pembatasan hak dalam menjalankan agama di Indonesia melalui UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI tidak tepat dan tidak proporsional. Hal ini
dikarenakan
pembatasan
dilatarbelakangi
adanya
pencampuradukan
kepentingan stabilitas politik atau keamanan negara, bukan atas dasar melindungi keamanan pribadi pemeluk agama.144 Ketentuan tersebut justru menjadi pintu masuk diskriminasi yang berujung kekerasan terhadap pemeluk agama yang seharusnya dilindungi. 143
Nihal Jayawickrama, Op. Cit, Hlm. 8.
144
Ibid, hlm. 185.
117
Negara seharusnya tidak melakukan intervensi terhadap “keabsahan” suatu agama/kepercayaan. Negara tidak boleh membuat pengaturan yang justru menjadi sumber perlakuan diskriminasi terhadap warganya.145 Seharusnya pengaturan yang disusun mengakomodasi toleransi, sehingga kerukunan antar umat beragama terwujud.
b. Hak untuk Mendirikan Tempat Ibadah
Mendirikan tempat ibadah merupakan salah satu perwujudan kebebasan menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini.146 Hak untuk mendirikan tempat ibadah yang merupakan dimensi eksternal hak atas kebebasan beragama dapat dibatasi sepanjang pembatasan tersebut proporsional serta tidak boleh dikenakan untuk tujuan atau dilaksanakan dengan cara diskriminatif.147
Hukum internasional memberikan pengakuan atas hak ini secara implisit dalam klausul kebebasan menjalankan/mengekspresikan suatu agama/keyakinan. Sedangkan hukum nasional Indonesia memberikan pengaturan secara spesifik berupa PBM No: 9 Tahun 2006 dan No: 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah yang memuat syarat pendirian rumah ibadah. Pengaturan ini membatasi kebebasan umat beragama dalam mengekspresikan agama/keyakinannya secara publik untuk melaksanakan ibadah secara kolektif dan menyebarkan agamanya melalui rumah ibadah. Pengaturan ini memuat persyaratan yang kaku berupa
145
Cole Durham, Loc. Cit. General Comment No. 22: Article 18 ICCPR paragraf 8.
146
General comment No. 22: Article 18 ICCPR paragraf 4.
147
Cole Durham, Loc. Cit. General comment No. 22: Article 18 ICCPR paragraf 8.
118
kewajiban pengumpulan dukungan dari masyarakat setempat sebagai syarat untuk mendirikan rumah ibadah. Hal ini menghalangi hak kelompok penganut agama minoritas untuk menjalankan agamanya.148 Pengaturan demikian inkoheren dengan jaminan perlindungan terhadap HAM melalui hukum internasional.
Meskipun intervensi negara berupa penetapan syarat-syarat administratif pendirian rumah ibadah sah menurut hukum internasional,149 namun pengaturan hukum nasional Indonesia mengenai rumah ibadah tersebut justru memancing adanya pemanfaatan posisi dominan warga negara terhadap kelompok minoritas. Pembatasan berupa aturan oleh negara Indonesia justru tidak sesuai dengan prinsip toleransi.
c. Hak untuk Membela/Mempertahankan Agama yang Diyakini
Hak untuk membela/mempertahankan agama yang diyakini merupakan konsekuensi pembahasan tentang hak untuk bebas memeluk dan menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini. Hak tersebut dihadapkan dengan situasi yang menunjukkan adanya interpretasi yang berbeda satu sama lain mengenai suatu agama.150 Prinsip toleransi memberikan acuan terhadap pelaksanaan hak ini,
148
Jazim Hamidi, Op., Cit., Hlm. 124-125.
149
Manousakis and Others v. Greece, 23 EHRR 387 (1997) (EctHR 1996-IV, 26 September 1996).
150
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 8.
119
dimana hubungan horizontal antar umat beragama harus mentolerir satu sama lain walaupun mereka menganggap keyakinan satu sama lain adalah berseberangan.151
Dalam pengaturan hukum Indonesia, salah satu perwujudan kebebasan berekspresi oleh setiap atau sekelompok orang adalah mempertahankan agamanya di muka umum. Pasal 9 UU No. 9 Tahun I998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat
di
Muka
Umum
menyatakan
bahwa
bentuk
penyampaian pendapat di muka urnum dapat dilaksanakan dengan unjuk rasa/dernonstrasi, pawai, rapat umurn, dan/atau mimbar bebas. Pelaksanaan hak mempertahankan agama sebagai wujud kebebasan berekspresi harus tetap menghormati hak orang lain. Oleh karena itu segala tindakan anarkis dalam upaya perwujudan hak merupakan sesuatu yang dilarang.
Pembatasan
hak
untuk
berekspresi
dalam
mempertahankan
agama/keyakinannya ini sudah sesuai dengan prinsip toleransi. Hal ini ditujukan untuk mencegah adanya tindakan anarkis, dikarenakan tidak seorangpun dapat memaksakan pendapat atau agama atau keyakinannya terhadap orang lain dalam rangka mempertahankan agamanya.152 Pertentangan terhadap prinsip toleransi dilatarbelakangi adanya SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI yang melarang penyebarluasan ajaran Ahmadiyah yang justru menjadi pintu masuk tindakan anarkis itu sendiri. Pengaturan ini menimbukan justifikasi sepihak tentang
151
Melissa S. Williams, Op. Cit., Hlm. 5.
152
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 3.
120
kebenaran/kesesatan suatu agama yang berujung tindakan anarkis terhadap golongan tertentu.
d. Hak untuk Menyebarluaskan Ajaran Agama
Penyebaran agama merupakan tindakan ekspresif yang dilakukan dengan tujuan mencoba mengubah keyakinan agama orang lain.153 Oleh karena itu praktik pengajaran agama terhadap penganut atau non-penganut agama tetap diakui dalam hukum internasional154 sepanjang tidak memenuhi kriteria pembatasan yang diperbolehkan. Pembatasan yang paling utama dalam kebebasan ini ialah hak asasi orang lain yang menjadi sasaran penyebaran agama. Sedangkan bentuk penyebaran agama yang dilarang menuru hukum internasional adalah (a) penyebaran agama secara tidak patut (proselytism), (b) penghujatan (blasphemy), serta (c) pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan selebihnya dari orang-orang lain.155
Hukum nasional Indonesia menyediakan aturan tentang penyebaran agama berupa SKB No. 1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama. Namun pembatasan atas kebebasan menyebarkan agama di Indonesia melalui SKB tersebut terlampau eksesif karena mengabaikan batasan bahwa substansi dari hak tersebut juga meliputi hak untuk mencoba meyakinkan orang lain untuk
153
Tad Stahnke, Hak untuk Melakukan Persuasi Keagamaan Op. Cit., hlm. 531.
154
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 5.
155
Tad Stahnke, Op. Cit. hlm. 222-230.
121
meyakini agamanya.156 Hal ini merupakan bentuk inkoherensi antara hukum internasional dan hukum nasional Indonesia yang seharusnya melindungi kebebasan penyebarluasan agama.
Mengingat kebebasan beragama merupakan bagian dari HAM yang dilindungi oleh hukum nasional dan hukum internasional secara universal, pemberian perlindungan terhadap kebebasan beragama harus koheren sebagai sebuah sistem, serta segala bentuk inkoherensi harus ditiadakan. Upaya harmonisasi tersebut secara umum akan dijelaskan sebagai berikut. Pertama, Indonesia seyogianya mengadopsi konsep hubungan negara dan agama yang tegas supaya tidak terjadi lagi ambiguitas perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama. Kedua, negara harus menghilangkan persepsi “agama resmi” serta “agama yang belum diakui” terlebih dahulu agar tidak terjadi diskriminasi. Penghilangan persepsi tersebut dilakukan dengan cara memperbaiki peraturan perundang-undangan terkait yakni UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan serta UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Selanjutnya, negara tidak boleh melakukan intervensi terhadap hak atas privacy yang dimiliki oleh setiap warga negara berupa hak untuk mencantumkan/tidak mencantumkan agamanya dalam dokumen kependudukan. Negara juga harus memberikan pengaturan yang mengakomodasi hak untuk melaksanakan perkawinan antar agama sebagai bagian dari hak untuk melangsungkan perkawinan yang merupakan hak absolut. Selain itu negara harus memberikan pengaturan secara eksplisit mengenai hak untuk 156
Kokkinakis v. Greece, 17 EHRR 397 (1994) (EctHR 260-A, 25 Mei 1993).
122
berpindah agama/kepercayaan dengan bebas termasuk hak untuk tidak memeluk agama. Sebagai tambahan, untuk mengakomodasi hak anak untuk beragama legislator harus memperbaiki pengaturan mengenai adopsi tentang persyaratan agama orang tua harus sama dengan agama anak yang hendak diadopsi. Karena hal tersebut akan menimbulkan diskriminasi serta bertentangan dengan prinsip demi kepentingan terbaik anak. Lebih jauh lagi negara harus memberikan peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi toleransi antar umat beragama. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan memberikan pembatasan yang proporsional
terhadap
hak
untuk
menjalankan/mengekspresikan
agama/kepercayaannya. Pembatasan yang proporsional akan mereduksi adanya praktik diskriminasi terhadap golongan minoritas yang selama ini terjadi di Indonesia.
123