BAB III DASAR TEORI
3.1
Prinsip Pengeboran Hampir dalam semua bentuk penambangan, batuan keras diberai dengan
pengeboran dan peledakan. Pengeboran dan peledakan dibutuhkan di sebagian besar tambang terbuka dan tambang bawah tanah. Kriteria metode penggalian menurut Franklin, dkk (1971) adalah dengan gali bebas (free digging), penggaruan (ripping) dan peledakan (blasting). Peledakan terbagi menjadi dua, yaitu peledakan peretakan dan peledakan pembongkaran. Kriteria metode penggalian menurut Franklin, dkk (1971) ditunjukkan pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Diagram Kriteria Indeks Kekuatan Batuan (Franklin dkk, 1971)
Misal diketahui nilai Point Load Index 10 MPa dan Fracture Index 0,6 m. Pada sumbu X diplot garis pada angka 80 MPa dan ditarik vertikal. Kemudian dari
22
sumbu Y diplot garis pada angka 0,6 sampai berpotongan dengan garis hasil plotting dari sumbu X. Dari titik perpotongan tersebut, dapat diketahui metode penggalian yang direkomendasikan. Pada kegiatan pembongkaran material dengan sistem pemboran dan peledakan, kinerja pengeboran adalah kemampuan alat bor untuk membuat lubang bor sebagai tempat bahan peledak. Kegiatan ini disebut pengeboran produksi (production drilling). Seiring
dengan
perjalanan
waktu
dan
berkembangnya
teknologi,
pengembangan alat bor juga terus dilakukan. Terdapat dua faktor utama dalam pengembangan alat bor. Pertama, pengembangan sifat metalurgi komponen pengeboran, batang bor dan mata bor. Kedua, pengembangan di bidang pemakaian energi dalam pengeboran untuk mencapai hasil yang efektif.
3.2
Komponen Pengeboran Terdapat empat komponen utama yang ada di semua komponen pengeboran
(lihat Gambar 3.2), yaitu: 1. Feed
: Gaya aksial yang diberikan untuk memberikan tekanan vertikal pada titik pengeboran.
2. Rotation
: Gerakan memutar pada batang dan mata bor.
3. Percussion
: Tumbukan yang dilakukan secara berulang pada titik
4. Flushing
pengeboran
: Suatu usaha untuk sesegera mungkin mengeluarkan potongan hasil pengeboran keluar dari dalam lubang bor dengan memberikan sejumlah fluida bertekanan.
23
Gambar 3.2 Komponen Utama dalam Pengeboran
Keselarasan antara gaya-gaya percussion, rotation, cutting dan feed menyebabkan mata bor dapat melakukan penetrasi terhadap batuan. Dari komponen utama pada sistem pengeboran tersebut, terdapat empat komponen fungsional utama dalam sistem pengeboran, yaitu: 1.
Alat bor Alat bor adalah penggerak utama, mengkonversikan energi dari bentuk awal (fluida, listrik, pneumatic atau motor bakar) menjadi energi mekanik untuk menggerakkan sistem.
2.
Batang bor Batang bor mentransmisikan energi dari penggerak utama ke mata bor.
3.
Mata bor Mata bor merupakan pemakai energi dalam sistem, merusak batuan secara mekanik untuk mencapai suatu penetrasi.
4.
Sirkulasi Fluida Fluida membersihkan lubang bor, mengontrol debu, mendinginkan mata bor dan sewaktu-waktu menstabilkan lubang bor.
24
3.3
Metode Pengeboran Secara umum, metode pengeboran dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: 1. Pengeboran Perkusi Pada pengeboran perkusi, pemecahan batuan dilakukan dengan memanfaatkan gaya tumbuk yang dihasilkan oleh mesin bor terhadap batuan. 2. Pengeboran Rotari Pada pengeboran rotari, pemecahan batuan dilakukan dengan memanfaatkan gerak putaran dan gaya dorong yang diberikan kepada mata bor (lihat Gambar 3.3).
Gambar 3.3 Gerakan Dasar Pengeboran Rotari
25
3. Pengeboran Rotari Perkusi Pengeboran rotari perkusi merupakan kombinasi dari gerakan perkusi, rotasi, feed/ thrust load dan flushing (Gambar 3.4). Gerakan rotasi menggunakan mata bor untuk memecah batuan, sementara aksi perkusi menghasilkan impak sehingga mendapatkan penetrasi pada mata bor yang akan dilanjutkan ke batuan.
Gambar 3.4 Gerakan Dasar Pengeboran Rotari Perkusi (Jimeno, 1995)
Mesin bor dengan prinsip rotari perkusi dibagi dalam dua bagian besar, yaitu: 1. Top Hammer Ada dua gerakan dasar, perkusi dan rotari yang digerakkan dari luar lubang bor dan ditransmisikan ke mata bor melalui shank adaptor dan drill steel (Gambar 3.5.a).
2. Down the Hole Hammer Gerakan perkusi dilakukan langsung ke mata bor sedangkan rotari digerakkan dari lubang bor. Piston penggerak perkusi menggunakan energi pneumatic sedangkan rotasi dapat digerakkan dengan energi pneumatic dan hidrolik (Gambar 3.5.b).
26
(a)
(b)
Gambar 3.5 Gerakan Dasar Top Hammer (a), dan Down the Hole Hammer (b)
3.4
Teori Penetrasi Untuk menghasilkan suatu penetrasi yang akan memecah batuan, terdapat
komponen fungsional dalam sistem pengeboran (lihat Sub-Bab 3.2), yaitu alat bor, batang bor, mata bor dan sirkulasi fluida. Dari komponen fungsional dalam sistem pengeboran tersebut, suatu sistem pengeboran harus memainkan dua fungsi terpisah untuk mencapai kemajuan pengeboran, yaitu: 1. Membongkar atau memecah batuan dari keadaan solidnya. Proses ini dilakukan oleh mata bor sebagai pemakai energi dalam sistem. Fase ini adalah penetrasi terhadap batuan 2. Mengangkat pecahan batuan hasil pengeboran. Fase ini adalah pemindahan cutting.
27
3.5
Faktor yang Menentukan Proses Pemecahan Batuan
3.5.1 Kekerasan Kekerasan adalah tahanan dari suatu bidang permukaan terhadap abrasi. Kekerasan dipakai untuk mengukur sifat-sifat teknis dari batuan dan dapat juga dipakai untuk menyatakan berapa besarnya tegangan yang diperlukan untuk menyebabkan kerusakan pada batuan. Kekerasan batuan merupakan fungsi dari komposisi butiran mineral, porositas dan derajat kejenuhan. Kekerasan batuan diklasifikasikan dengan skala Frederich Van Mohs (1882) (lihat Tabel 3.1) yang ditunjukkan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.1 Skala Mohs Nama Mineral Talc Gypsum Calcite Fluorite Apatite Feldspar Quartz Topaz Korundum Diamond
Skala Mohs 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
28
Tabel 3.2 Kekerasan Batuan dan Kekuatan Batuan (Dalam Tamrock Surface Drilling and Blasting, 1989) Deskripsi Kekerasan
Kekerasan skala Mohs
UCS (MPa)
Sangat keras
>7
> 200
Keras
6-7
120 - 200
Keras menengah
4,5 - 6
60 - 120
Cukup lunak
3 – 4,5
30 - 60
Lunak
2-3
10 - 30
Sangat lunak
1-2
< 10
3.5.2 Kekuatan Merupakan sifat mekanik batuan yang sangat berpengaruh terhadap proses pemecahan batuan. Kekuatan mekanik suatu batuan adalah suatu sifat dari kekuatan terhadap gaya luar, baik kekuatan statik maupun dinamik. Pada prinsipnya kekuatan batuan tergantung pada komposisi mineralnya. Di antara mineral-mineral yang terkandung di dalam batuan, kuarsa adalah mineral yang terkompak dengan kuat tekan mencapai lebih 500 MPa, sehingga semakin tinggi kandungan kuarsa maka batuan tersebut juga semakin tinggi kekuatannya. Beberapa klasifikasi kuat tekan batuan utuh menurut berbagai peneliti dan institusi ditunjukkan pada Gambar 3.6. Dari klasifikasi tersebut, bahwa batuan mulai dikatakan kuat pada kuat tekan batuan sekitar 10 MPa.
29
Gambar 3.6 Klasifikasi Kuat Tekan Batuan (dalam Diktat Pengeboran dan Penggalian, Kramadibrata, 2000)
3.5.3 Karakteristik Massa Batuan Karakteristik massa batuan yang mempengaruhi pemecahan batuan adalah RQD, bidang diskontinuiti, dan jarak antar bidang diskontinuiti. 1.
Rock Quality Designation (RQD) RQD merupakan parameter yang dapat menunjukkan kualitas massa batuan. RQD dikembangkan oleh Deere (1964) yang mana datanya diperoleh dari pengeboran inti (lihat Gambar 3.7). RQD dihitung dari persentase bor inti yang diperoleh dengan panjang minimum 10 cm, dengan persamaan 3.1. RQD =
Panjang total inti bor ≥ 0.10 m X 100% ....................... (3.1) Panjang total bor (m)
30
Gambar 3.7 Skematik Perhitungan RQD (Deere, 1964)
Bila inti bor tidak tersedia, RQD dapat dihitung secara tidak langsung dengan melakukan pengukuran orientasi dan jarak antar diskontinuiti pada singkapan batuan. Priest & Hudson (1976) mengajukan persamaan: RQD = 100 e −0,1λ (0,1 λ + 1) .......................................................... (3.2) Keterangan : λ = Frekuensi dikontinuiti per meter. 2.
Bidang diskontinuiti Kehadiran bidang diskontinuiti atau kekar di dalam massa batuan dapat membantu mudahnya proses penggalian namun belum tentu untuk pemboran. Parameter penting dalam karakteristik bidang diskontinuiti adalah
jarak
antar
bidang
diskontinuiti
dan
orientasi
bidang
diskontinuiti. Jarak antar bidang diskontinuiti adalah jarak tegak lurus antara dua bidang diskontinuiti yang berurutan sepanjang garis pengamatan. Semakin jauh jarak antar bidang diskontinuiti maka massa batuan secara keseluruhan dapat dikatakan masif.
31
3.5.4 Sifat Gabungan Mekanik Batuan dan Massa Batuan Sistem Rock Mass Rating (RMR) atau sering juga dikenal sebagai Geomechanics Classification dibuat oleh Bieniawski (1973). Klasifikasi ini merupakan sifat gabungan mekanik batuan dan massa batuan, yang terdiri dari enam parameter utama, yaitu: Kuat tekan batuan utuh (UCS), Rock Quality Designation (RQD), Jarak diskontinuiti/ kekar, Kondisi diskontinuiti/ kekar, Kondisi air tanah dan Orientasi diskontinuiti/
kekar. Tiap
parameter
diberikan
pembobotan
dan
penjumlahan bobot tiap parameter adalah nilai RMR. Semakin tinggi nilai RMR berarti batuannya semakin masif. Pembobotan nilai RMR ditunjukkan pada Gambar 3.8.
Gambar 3.8 Pembobotan Parameter untuk Penentuan Nilai RMR (Bieniawski, 1973)
3.5.5 Abrasivitas Abrasivitas adalah sifat batuan untuk menggores permukaan material lain. Ini merupakan suatu parameter yang mempengaruhi keausan (umur) mata bor dan batang
32
bor. Kandungan kuarsa dari batuan biasanya dianggap dapat dipercaya untuk mengukur keausan mata bor.
3.6
Laju Penembusan Dalam operasi pemboran, laju penembusan batuan (penetration rate)
merupakan ukuran yang sangat penting, selalu dipertimbangkan dan sering kali digunakan sebagai ukuran prestasi suatu pemboran. Laju penembusan biasanya dinyatakan dalam meter per jam, atau inci per menit. Laju penembusan dari sistem pemboran tergantung pada faktor-faktor berikut: 1. Geomekanik, 2. Karakteristik mineralogi, 3. Gaya tumbuk, 4. Diameter lubang tembak, 5. Gaya penekanan (feed atau thrust) pada batang bor, 6. Kedalaman pemboran, 7. Sirkulasi fluida (flushing), 8. Desain peralatan, 9. Kondisi kerja, 10. Efisiensi dari operasi.
Laju penembusan dapat dihitung dan diprediksi dengan cara sebagai berikut:
3.6.1
Ekstrapolasi Ekstrapolasi dari data yang dihasilkan dari kondisi kerja pada pekerjaan yang
lain. Jika laju penembusan untuk suatu diameter, maka laju penembusan untuk diameter lainnya dapat diprediksi (dengan kondisi kerja yang sama). Contoh (Jimeno, 1995):
33
Jika pemboran pada diameter 76 mm (3 inch), laju penembusannya adalah 36 m/jam, maka untuk diameter 102 mm (4 inch) diperkirakan laju penembusannya 36 x (76/102) = 23,4 m/jam.
3.6.2
Uji Laboratorium 1.
Metode Energi Spesifik Laju penembusan (Vp) sebagai fungsi dari energi dapat dihitung dengan persamaan berikut (dalam Analisis Hubungan antara Laju Penembusan Jack Hammer dengan Karakteristik Batuan dan Paramater Operasi, Juanda, 2001). Vp (cm/menit) =
48 x Pm x R e
πD 2 E v
........................................................ (3.3)
Keterangan:
2.
Vp
= Laju penembusan (cm/menit)
Pm
= Energi pemboran (kgm/menit)
Re
= Perpindahan energi keluaran (antara 0,6 – 0,8)
D
= Diameter lubang tembak (cm)
Ev
= Energi spesifik per unit volume (kg m/cm3)
Drilling Rate Index (DRI) DRI dibuat pada 1979, di University of Trondheim (Norwegia). Metode ini untuk menghitung laju penembusan. Uji berikut ini memerlukan percontoh batuan sebanyak 15 sampai 20 kg. DRI bukan merupakan petunjuk langsung kecepatan pengeboran tetapi merupakan ukuran relatif dari kecepatan pengeboran. DRI ditentukan berdasarkan parameter:
34
•
Brittleness Index Contoh yang representatif dengan ukuran 11,2-16 mm seberat 500 gram. Contoh tersebut lalu ditumbuk sebanyak 20 kali secara berurutan oleh beban seberat 14 kg dari ketinggian 25 cm, nilai yang diambil adalah persentase dari contoh yang berukuran di bawah 11,2 mm dibanding berat awal percontoh, nilai tersebut disebut nilai S 20 .
•
Drilling Test (Siever ‘J-Test) Dengan menggunakan sebuah miniature drill dengan kecepatan 280 putaran. Lalu percontoh dengan ukuran 10 x 10 x 10 cm dibor dengan penekanan 20 kg. Hitung kedalaman hasil pemboran, dengan faktor pembagi 0,1 cm.
Hasil dari kedua parameter tersebut dihitung nilai DRI-nya dengan memasukkannya pada grafik (lihat Gambar 3.9). Harga DRI tersebut lalu diklasifikasikan dengan melihat Tabel 3.3.
Gambar 3.9 Penentuan Drilling Rate Index
35
Tabel 3.3 Klasifikasi Drilling Rate Index
3.
Laju Pemboran
DRI
Sangat rendah
21
Rendah sekali
28
Rendah sekali
37
Medium
49
Tinggi
65
Tinggi sekali
85
Sangat tinggi
114
Persamaan Empirik Laju penembusan merupakan fungsi dari kuat tekan batuan. Penentuan nilai laju penembusan sebagai fungsi dari kuat tekan batuan diberikan oleh Praillet (1978), yaitu: VP =
2.18 x E x N r 0.2 xσ C xD x 0.9
σC
................................................... (3.4)
10000
Keterangan: VP = Laju Penembusan (m/jam) E
= Feed Force (kg)
Nr
= Kecepatan rotasi (rpm)
σc
= UCS (MPa)
D
= Diameter mata bor (mm)
36
3.7
Konsep Biaya Total Pengeboran Biaya Total Pengeboran atau Total Drill Cost suatu konsep nilai yang
menekankan biaya produktivitas pengeboran. Biaya total pengeboran mencakup semua parameter yang berperan dalam menjalankan mesin bor, antara lain: peralatan mesin bor (mata bor dan batang bor), buruh, energi (bahan bakar), perawatan, dan biaya kepemilikan. Formula biaya total pengeboran: TDC = dengan PR =
B D ....................................................................................... (3.5) + M PR
M , yaitu umur mata bor dalam meter dibagi umur mata bor dalam H
jam. Keterangan : TDC
= Total Drill Cost/ Biaya Total Pengeboran ($/m)
B
= Harga mata bor ($)
D
= Total Operating and Ownership Cost ($/jam)
PR
= Laju Penembusan (m/jam)
Hal penting supaya nilai biaya total pengeboran minimum adalah dengan pemilihan mata bor yang tepat untuk menghasilkan nilai laju penembusan yang tinggi.
37