BAB III BIOGRAFI DAN PROBLEMATIKA TAREKAT SERTA TANGGAPAN IBNU TAIMIYAH DAN HAMKA A. Latar Belakang Soaio-Kultural Ibnu Taimiyah dan Hamka A. Ibnu Taimiyah a. Riwayat Hidup Ibnu Taimiyah yang mempunyai nama lengkap Taqiy al-Din Abu al-„Abbas Ahmad ibn „Abd al-Halim ibn „Abd al-Salam ibn Abi alQasim ibn Muhammad ibn Taimiyah al-Harrany al-Dimasyqy lahir di kota Harran Mesopotamia Utara (sekarang masuk wilayah Turki) pada tanggal 10 Rabi‟ul Awwal 661 H bertepatang dengan 22 Juni 1263 M (Muhammad Abu Zahrah., tt: 10). Dia dilahirkan mendekati tujuh tahun setelah Bagdad dihancurkan oleh tantara Tartar yang terkenal sangat kejam dan brutal. Adalah seorang putra alim besar madzhab Hanafi yang bernama Abu Abd. al-Salam al-Harrani, ayahnya sangat dikenal sebagai ahli hadits yang jenius, ahli mantiq dan pengarang berbagai kitabkitab. Sedang ibunya orang Arab, dan ada yang mengatakan orang Kurdi. Ibunya sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian dan pengajaran Ibnu Taimiyah pada masa hidupnya (Ibnu Taimiyah., tt: 32). Kota Harran diserang tentara Mongol pada tahun 1270 M, ketika Ibnu Taimiyah berusia tujuh tahun, sehingga dia dan keluarga besar Taimiyah mengungsi ke Damaskus dan selanjutnya menetap di sana (H.A.R Gibb., 1961: 151).
40
Ibnu Taimiyah berasal dari keluarga intelektual yang patuh dan taat terhadap ajaran Islam serta dihormati dan disegani masyarakat. Ayahnya adalah seorang khatib dan imam besar serta guru tafsir dan hadits di Masjid Raya Damaskus, juga direktur Madrasah Dar al-Hadits al-Sukkariyyah (Muhammad Abu Zahrah., tt: 10), salah satu lembaga pendidikan Islam madzhab Hambali yang sangat maju dan bermutu pada waktu itu. Kakeknya juga seorang alim besar dalam bidang tafsir, hadits, ushul fiqih, dan nahwu (Muhammad Sa‟ad Sadiq., tt: 10). Begitu juga adiknya, Syaraf al-Din Abd Allah Ibnu Abd. Halim (689-727 H) dikenal alim dalam bidang faraidh, hadits, dan ilmu pasti (Abd. Salam Hafidz Hasyim., 1969: 8). Di Damaskus, ia mulai memasuki dunia pendidikan terutama pendidikan agama hingga ia berumur 17 tahun. Atas berkat kecerdasannya, ia menguasai ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadits, fiqih, tata bahasa, dan sebagainya. Setelah itu, mulai mengumpulkan berbagai tulisan dan kitab, serta ia mulai aktif menulis. Setelah ayahnya meninggal pada tahun 671 H, ia menggantikannya mengajar fiqih madzhab Hambali. Kemudian ia terkenal sebagai salah seorang ulama Hambali, padahal umurnya baru sekitar 21 tahun. Ia memang menguasai sastra Arab, tafsir, hadits, kalam, tasawuf, dan lainlainnya yang didukung oleh kecerdasannya, memudahkan ia berijtihad dan berfatwa (M. Mansur Laily., 1996: 229). Ibnu Taimiyah meninggal dunia bertepatan dengan waktu sahur pada malam
41
Senin tanggal 20 Dzulqa‟dah 728 H (Syaikh Ahmad Farid., 2005: 809). Adapun pemikirannya selain dipengaruhi keluarga, pengaruh sosial pada saat Ibnu Taimiyah hidup juga mewarnai pemikiran Ibnu Taimiyah yang akan dibahas selanjutnya. Banyak karangan yang dihasilkan oleh Ibnu Taimiyah dalam bidang apapun, baik yang berupa soal jawab dengan para ulama pada zamannya, maupun berupa fatwa-fatwanya dalam menghadapi persoalan keagamaan atau yang lainnya pada waktu itu. Untuk menyingkat, penulis hanya mencatat beberapa karya-karyanya yang terkenal saja, seperti: Majmu‟ Fatawa li alSyaikh al-Islam Ibn Taimiyah yang terdiri dari tiga puluh lima juz, al-Fatawa al-Kubra sebanyak lima jilid, Dar‟u Ta‟arudh al-Aql wa al-Naql sembilan jilid, Minhaj al-Sunnah alNabawiyyah, Iqtidha‟ al-Shirath al-Mustaqim Mukhalafah Ashab al-Jahim, al-Shafadiyah sebanyak dua jilid, al-Istiqamah sebanyak dua jilid, al-Hasanah wa al-Sayyiah, Muqaddimah fi „Ilm al-Tafsir, dan lain sebagainya (Syaikh Ahmad Farid., 2007: 809). b. Kondisi Sosial Stratifikasi sosial pada waktu itu sangat kental. Kebanyakan kelas atas berasal dari bangsa Turki dan Tartar. Kedua bangsa ini menguasai tatanan sosial, baik yang ada di pemerintahan maupun di sektor militer, sampai pada tuan tanah yang membawahi kelas bawah seperti petani dan pekerja. Dengan menganggap tingkatan kelas yang tinggi, mereka jarang sekali berbicara
42
langsung dengan rakyat jelata. Akan tetapi, mereka sangat menghormati ulama, menyukai masyayikh, dan orang-orang shalih. Bahkan mereka bersedia membangun masjid-masjid dan sekolah-sekolah agama. Mereka juga tidak mendeskriminasikan suatu golongan atau jenis tertentu. Hanya saja, persoalan birokrasi dan kemiliteran secara otomatis dipegang orangorang Turki terkemuka. Orang-orang Turki dan Tartar adalah pemilik kekuasaan dan tanah yang membawahi para petani dan pekerja (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 33). Perlu diketahui juga, bahwa Tartar merupakan unsur penting dalam masyarakat. Mereka adalah bekas tawanan perang yang terjadai antara Saifuddin Quthuz dan al-Muluk al-Zahir, serta antara Nashiruddin Qalaun dan Tartar. Dalam peperangan itu banyak selaki orang-orang Tartar yang menjadi tawanan, kemudian mereka dibawa ke Mesir dan Syam hingga menetap dan bertempat tinggal di sana. Mereka menjadi semakin banyak pada pemerintahan Raja Bibruz, bahkan bisa dikatakan mereka mendomonasi masyarakat Mesir dan Syam. Sehingga tradisi dan budaya mereka menyebar ke kedua negeri tersebut. Bahkan mereka setelah memeluk Islam tapi tidak bisa meninggalkan tradisi dan kebudayaan mereka. Dan semangat kedaerahan mereka semakin kokoh (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 34). Pada masa itu pula, karena tidak ada pengaturan yang profesional di bidang pendidikan dan pengajaran, serta tidak ada kekuatan untuk mengendalikan orang-orang yang
43
baru mendapatkan hidayah dalam mencetaknya, maka kaum Tartar dan orang-orang asing Turki tidak akan dapat terus berpegang teguh dalam aqidah dan cara peribadatan Islam. Oleh karena itu, kehidupan kaum muslim Tartar merupakan bentuk kehidupan yang diwarnai oleh Islam dan pengaruh jahiliyah. Mereka mencampuradukkan antara yang haq dan bathil. Beberapa hukum syariat seperti tuntutan suami isteri, soal hutang piutang dan sebagainya diserahkan kepada kebijaksannan qadli. Mereka tetap menggunakan tradisi Jenghis Khan dan berpegang pada hukum nenek moyang mereka, sehingga ada kesulitan untuk mengambil keputusan ketika terjadi perselisihan di antara mereka. Orang-orang kuat bersikeras dan mendominasi, dan yang lemah harus menerima apa yang dianggapnya sebagai keputusan nenek moyangnya (Abul Hasan Ali alNadawi., 1995: 35-36). Keadaan masyarakat yang majemuk baik secara etnis, status sosial, agama, budaya dan sebagainya seperti ini, memiliki potensi konflik yang sangat rentan, sehingga sering terjadi benturan yang tidak sedikit melahirkan peperangan. Hal ini menyebabkan terjadinya mobilitas penduduk dari berbagai etnis yang sangat tinggi. Keadaan demikian menjadi kendala terciptanya stabilitas sosial, politik, maupun ekonomi (M. Amin Syukur dkk., 2001: 90). Transformasi sosial ternyata menimbulkan banyak masalah baru yang menyulitkan. Akulturasi tersebut menimbulkan budaya baru yang sulit ditentukan apakah ia sebagai kebudayaan Islam atau lainnya. Yang
44
nantinya mengakibatkan adanya pemetakan terhadap al-Qur‟an dan al-Sunnah yang hanya sebagai simbol saja. Sedangkan ajaran-ajarannya diabaikan. c. Kondisi Politik Kondisi politik umat Islam pada masa itu kacau balau dan lemah. Di bagian Timur dunia Islam yang ditandai kejayaan Bagdad akhirnya dapat dihancurkan oleh tentara Mongol di bawah komando Hulaghu Khan (Qamaruddin Khan., 1983: 37). Sedangkan dunia Islam bagian Barat mengalami kekalahan dan diusir dari Cordova Spanyol oleh umat Nasrani (Harun Nasution., 1978: 80). Sementara secara internal terjadi konflik-konflik politik yang dapat melemahkan Islam baik secara politik maupun militer (M. Amin Syukur dkk., 2001: 90). Pada tahun 699 H ada desas-desus bahwa Qazan, wakil penguasa Tartar di Irak dan Persi berniat akan menyerang Syam. Pasukannya telah dikerahkan ke Damsyiq. Kabar tersebut membuat penduduk negeri Syam menjadi panik mengingat bahwa setiap wilayah Islam yang diserbu oleh Tartar yang terkenal bengis dan brutal sudah pasti akan porak poranda. Mereka terkenal suka merampas dan membantai dengan kejam. Sehingga penduduk desa banyak yang mengungsi ke Damsyiq. Penduduk Syam mulai agak reda setelah raja Mesir al-Nashir Muhammad bin Qalaun dengan pasukan lengkap menuju Syam untuk melindungi dari serangan Tartar. Raja Mesir beserta pasukannya disambut dengan gembira oleh penduduk Syam.
45
Pada tanggal 27 Rabiul Awal terjadilah pertempuran antara sultan dan Qazan yang pada akhirnya tentara Tartar di bawah pimpinan Qazan memenagkan peperangan itu. Penduduk Damsyiq sangat merasa takut, sehingga banyak penduduk termasuk di dalamnya ulama dan para birokrat meninggalkan Damsyiq menuju Mesir. Juga para penghuni penjara banyak yang membobol dan keluar kemudian melakukan aksi perampokan besar-besaran secara terang-terangan. Kondisi politik Damsyiq saat itu sangat chaos mengingat tiadanya pengamanan dari pihak yang bertanggung jawab yang meninggalkan Damsyiq (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 55). Dengan keadaan negeri yang kacau balau dan tidak adanya para birokrat yang mau bertanggung jawab, maka pada tanggal 3 Rabiul Tsani 699 H terjadilah suatu pertemuan antara Qazan dan penduduk Damsyiq yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah dalam rangka diplomasi untuk kemerdekaan Damsyiq dan pembebasan para tawanan untuk dikembalikan kepada keluarganya. Akhirnya, usaha Ibnu Taimiyah berhasil dan disepakati oleh Qazan (Syaikh Ahmad Farid., 2007: 797). Akan tetapi di luar Damsyiq bangsa Tartar tetap saja menjajah, mereka merampas dan sering berbuat brutal. Kemudian pihak Tartar mengangkat Saifudin Qebjeq sebagai hakim dipihak mereka. Saifudin mulai menekan terhadap penduduk Syam, sedangkan kekuasaan Tartar semakin mencengkram negeri itu, kecuali wilayah Qal‟ah. Arjawas sebagai pemimpin daerah itu menolak kebijakan Tartar. Melihat
46
kondisi tersebut, Ibnu Taimiyah mengadakan pertemuan yang kedua kalinya dengan Qazan pada tanggal 25 Rabiul Akhir, namun pertemuan itu gagal setelah Ibnu Taimiyah menunggu selama dua hari dan tidak bertemu Qazan (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 59). Pada tanggal 19 Jumadil Ula, Qazan pergi ke Irak meninggalkan penggantinya Amir Baula‟i dan 60 ribu tentara. Baula‟i lebih kejam dibandingkan Qazan, dia menghanjurkan banyak desa, menahan anak-anak, dan melakukan perampasan yang jumlahnya tak terhitung. Maka pada tanggal 8 Rajab diplomat Damsyiq yaitu Ibnu Taimiyah mengadakan perundingan dengan Baula‟i mengenai pembebasan tawanan kaum muslimin. Banyak tawanan yang dibebaskan Baula‟i, bahkan banyak pula dari kaum dzimmi Syam juga dibebaskan. Pada tanggal 3 Rajab terdengar kabar dari Qal‟ah bahwa tentara raja Mesir Muhammad Qalaun datang ke Syam dalam rangka membebaskan Syam dari cengkraman Tartar, sehingga pada akhirnya tentara Tartar meninggalkan Syam dan sekitarnya, dan bebaslah Syam dari cengkraman Tartar (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 60). Tidak lama setelah terbebas dari cengkraman Tartar, pada awal tahun 700 H terdengar kabar bahwa tentara Tartar akan kembali ke Syam. Banyak orang-orang yang panik dan berlarian menuju Mesir. Dalam situasi tersebut, Ibnu Taimiyah mengadakan pertemuandi masjid-masjid yang mengumandangkan kepada penduduk Syam supaya tidak melarikan diri, mengobarkan
47
semangat berjuang, dan menganjurkan untuk menginfaqkan harta benda untuk membela kehormatan, negara, dan harta mereka. Dia juga menghimbau bahwa berperang melawan Tartar adalah wajib. Ibnu Taimiyah juga bertindak menemui wakil penguasa Syam di Marj sebagai penjaga garis depan di luar kota Damsyiq untuk menghadapi tentara Tartar serta membendung laju mereka. Wakil pemerintah di Marj juga mendesak Ibnu Taimiyah supaya ke Mesir meminta bantuan kepada sultan (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 62). Kemudian pada tahu 702 H terdengar kabar bahwa pasukan Tartar hendak memasuki Syam, Ibnu Taimiyah langsung bergegas menemui pemimpin pasukan Syam dan mendesak untuk menemui sultan ke Mesir yang mereka hendak saja meninggalkan Syam untuk datang kembali lagi ke Syam. Dan Ibnu Taimiyah berhasil membawa pasuka sultan kembali ke Syam. Kemudian perang tak terelakkan lagi antara pasuka Tartar melawan pasuka koalisi antara pasukan Mesir dan penduduk Syam pada awal bulan Ramadhan. Ketika itu Ibnu Taimiyah juga menganjurkan pasukan untuk tidak berpuasa sebagaimana mestinya. Akhirnya pasukan Tartar dipukul mundur oleh pasukan koalisi. Manakala malam tiba, pasukan Tartar secepatnya berusaha hilang di balik perbukitan, dan ini sudah diperkirakan oleh pasukan koalisi. Pasukan Tartar dihujani panah sehingga korban tak terhitung jumlahnya dipihak mereka, banyak pasukan Tartar yang dipancung lehernya di balik
48
perbukitan. Kemenangan berada di tangan pasukan koalisi. Kemudian tanggal 4 Ramadhan Ibnu Taimiyah beserta pasukan pulang ke Damsyiq dan disambut dengan kegembiraan oleh penduduk (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 70). Setelah lama terbebas dari gangguan Tartar, Mesir mengalami perkembangan politik, tepatnya setelah Ruknuddin Bibrus al-Jasynaker menggantikan Qalaun sebagai raja Mesir mengadakan perombakan kepemerintahan. Jasynaker mengangkat Nashr al-Munbajji alMurabbi al-Ruhi menjadi penasehat kerajaan. Munbajji adalah lawan politik atau sering kontra dengan Ibnu Taimiyah dalam menjalankan amalan agama. Sehingga Ibnu Taimiyah yang dulunya sebagai tangan kanan Qalaun diasingkan dan dipenjarakan di Iskandariyah yang dianggap sebagai kota pusat berkembangnya tasawuf klasik dengan tujuan untuk memojokkan Ibnu Taimiyah yang pemikirannya banyak menentang ajaran tasawuf (Syaikh Ahmad Farid., 2007: 801). Akan tetapi, perkiraan Munbajji salah, bahkan murid Ibnu Taimiyah semakin banyak dan warga menyambut kehadiran Ibnu Taimiyah. Tidak lama kekuasan Jasynaker selama satu tahun, sultan Nashr bin Qalaun memegang kekuasaan kembali sebagai raja mesir. Posisi Jasynaker semakin tidak nyaman dan dia minta perlindungan kepada sultan. Dan akhirnya pada tanggal 7 Dzul Qa‟idah Amir Saifuddin, wakil di Syam menangkapnya. Dan jasynaker terbunuh di Mesir. Dan Qalaun membebaskan Ibnu Taimiyah (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 102-105).
49
d. Kondisi Ekonomi Adanya kabar bahwa pasukan Tartar akan menyerang Damsyiq, maka kondisi ekonomi saat itu sangat kacau. Misalnya adalah persewaan transportasi mengalami kenaikan hingga mencapai dua ratus dirham. Itu disebabkan karena mobilitas yang tinggi dari masyarakat untuk pindah keluar kota untuk menyelamatkan diri dan keluarganya dari serangan Tartar yang terjadi pada tahun 699 H (Abul Hasan Ali alNadawi., 1995: 55). Keadan itu diperparah lagi dengan aksi pasukan Tartar yang suka merampas harta benda penduduk, sehingga mengakibatkan harga gandum naik tinggi dan juga belum musim panen buah-buahan (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 58-60). Penduduk Damsyiq diminta untuk menyerahkan kuda, pedang, dan semua hartanya dari kerajaannya dahulu kepada Tartar. Sedangkan kebutuhan untuk diri sendiri sangat minim. Pada tahun 700 H tentara Tartar datang kembali ke Damsyiq, sehingga keributan terjadi dan kondisi ekonomi semakin parah. Mereka menjual semua harta benda dengan harga sangat murah, sementara ongkos transportasi naik unta dan khimar naik melonjak sangat tinggi sampai lima ratus sampai seribu dirham (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 63).
2. Haji Abdul Malik Karim Amrullah a. Riwayat Hidup
50
Hamka adalah akronim kepada nama sebenarnya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, penulis Indonesia yang amat terkenal, ketua Majlis Ulama Indonesia yang pertama, juga seorang mubaligh besar yang berpengaruh di Asia Tenggara. Dia lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau. Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo (Departemen Pendidikan Nasional RI., 2002: 75). Pada tahun 1928, ia menjadi peserta Muktamar Muhammadiyah di Solo, dan ia pernah menjadi anggota pusat pimpinan Muhammadiyah. Sejak Muktamar di Solo ia hampir tidak pernah absen dari Muktanar Muhammadiyah hingga akhir hayatnya (Solichin Salam dkk., 1978: 283-284). Sejak tahun 1949, yaitu setelah tercapainya persetujuan RoemRoyen, ia pindah ke Jakarta. Pada tahun 1950 ia memulai karirnya sebagai pegawai golongan F di
51
Kementerian Agama yang pada masa itu dipimpin oleh KH. Abdul Wahid Hasyim. Dalam kepegawaian, ia diberi tugas memberi berbagai mata kuliah di perguruan tinggi, di antaranya: Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri di Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padang Panjang, Universitas Muslim Indonesia di Makassar, dan Unuversitas Islam Sumatera Utara di Medan (Departemen Pendidikan Nasional., 2002: 76). Dalam bidang politik, Hamka menjadi anggota Konstituante hasil pemilihan umum pertama pada tahun 1955. Ia dicalonkan Muhammadiyah untuk mewakili daerah pemilihan Masyumi Jawa Tengah. Pada waktu itu, Muhammadiyah sebagai anggota istimewa Masyumi. Dalam sidang Konstituante di Bandung, ia menyampaikan pidato penolakan gagasan presiden Soekarno untuk menetapkan Demokrasi Terpimpin yang mengakibatkan pada pembubaran Konstiuante pada tahun 1959 yang disusul pembubaran Masyumi pada tahun 1960 (Departemen Pendidikan Nasional., 2002: 77). Setelah keluar dari penjara pada tahun 1975 akibat dituduh mengadakan rapat gelap dalam rangka pembunuhan terhadap Soekarno, ia terpilih menjadi ketua umum Majlis Ulama Indonesia yang pertama. Ini adalah bukti mengenai jiwa independen Hamka. Meskipun ada kontroversi tentang gagasan pembentukan organisasi tersebut. Karena gagasan organisasi itu berkaitan dengan pemerintah, Hamka pernah dikatakan sebagai oportunis. Tetapi pada bulan
52
Mei 1981, Hamka meletakkan jabatannya sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia akibat fatwanya yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah mengenai perayaan Natal bersama (Sulaiman al-Kumayi., 2004: 30). Dua bula setelah meletakkan jabatannya sebagai ketua Majlis Ulama Indonesia, ia masuk rumah sakit karena serangan jantung yang cukup kuat sekitar satu minggu. Dan pada akhirnya ia meninggal dunia dengan tenang pada tanggal 24 Juli 1981 di rumah sakit Pertamina Pusat Jakarta pada saat orang-orang Islam bersiap-siap untuk menunaikan shalat jum‟at. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir Kebayoran Lama Jakarta dengan diantar ribuan umat muslim (Rusydi Hamka dkk., 1981: 21). Hamka banyak meninggalkan karyanya, yang sampai sekarang banyak dijadikan oleh para ilmuan sebagai bahan referensi dalam penelitian , selain itu juga masih banyak karyanya yang dikonsumsi oleh masyarakat luas, dengan bukti masih dicetaknya karya-karya Hamka. Akan tetapi penulis hanya mencatat beberapa karyanya saja, seperti: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Tasauf Modern (1939), Falsafah Hidup(1939), Lembaga Budi(1940), Ayahku (1950), Mandi Cahaya di Tanah Suci (1950), Perkembangan Tasauf darir Abad ke Abad (1952), Pelajaran Agama Islam (1956), Tafsir alAzhar Juz I-XXX, dan lain sebagainya (Muhammad Damami., 2000: 257). b. Kondisi Sosial
53
Stratifikasi sosial pada waktu itu sangat kental, bahkan sudah menjadi tradisi di berbagai penjuru Indonesia. Dengan kehadiran Belanda semata-mata meraup keuntungan dari Hindia tanpa mempengaruhi struktur masyarakat, mereka mulai melancarkan transformasi Indonesia modern. Keseimbangan antara elit negara, ulama, dan kaum petani mulai terganggu. Pemerintah Belanda memperlemah otoritas kaum priyayi, dan melahirkan beberapa kelas baru untuk memperebutkan pengaruh sosial dan politik dengan elit lama. Beberapa kebijakan Belanda di Jawa membuka kesempatan bagi tenaga profesional di bidang kedokteran, permesinan, hukum dan pendidikan, dan pegawai pemerintahan yang terlatih secara teknik dibidang kehutanan, pertambangan, pertanian, perkereta apian, telegraph, dan administrasi kesehatan. Para profesional dan administrator baru direkrut dari keluarga priyayi tingkat rendahan, keturunan keluarga kaya di Minangkabau dan di wilayah pinggiran, anak-anak pejabat propinsial, dan dari kalangan warga Kristen Ambon dan Manado. Para profesional dan administrator yang berpendidikan tersebut menempatkan diri di tengah-tengah antara aristokrasi lama dan petani, bersaing dengan ulama dan tokoh kampung, dan menuntut perluasan politik (Ira M Lapidus., 1999: 319). Kemudian kelas baru yang dibentuk oleh Belanda tersebut malah menentang pemerintah Belanda yang menempatkan mereka. Meskipun mendapat keuntungan mendapat pendidikan dan beberapa kebijakan administratif Belanda yang
54
berupaya mengintegrasikan orang-orang Indonesia ke dalam budaya Barat dan administrasi Belanda, para administrator baru tersebut mementang dominasi Eropa. Priyayi baru memuntut peningkatan kesempatan pendidikan dan kekuasaan politik lebih banyak (Ira M Lapidus., 1999: 320). Untuk sebagian mereka para pedagang, tuan tanah, dan pimpinan agama di sejumlah wilayah pinggiran menentang pembatasan Belanda terhadap perdagangan dan perjalanan haji Sejak kehadiran Jepang (1942-1945) memberikan dukungan yang sangat besar kepada kelompok muslim yang kebanyakan dari golongan menengah ke bawah. Jepang menghancurkan kelompok aristrokrasi lama, dan secara cepat membawa pergerakan muslim ke dalam penguasaan mereka. Mengizinkan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mengelola pendidikan muslim di atas tingkat pendidikan dasar (Ira M Lapidus., 1999: 338). Itu artinya, stratifikasi sosial sejak itu sudah tidak menjadi hal penting dalam mendapatkan hak pendidikan dan hak yang lainnya. Semua disamaratakan hingga sekarang, jenjang kelas sosial sudah hampir lenyap di Indonesia, meskipun di sejumlah daerah masih mengikuti tradisi jenjang kelas sosial. c. Kondisi Politik Loyalitas masyarakat Indonesia kepada Islam pada periode prakemerdekaan adalah loyalitas bangsa-bangsa kepada negaranya. Bagi bangsa Indonesia waktu itu Islam dan Nasionalisme bukanlah dua sisi berlawanan,
55
bahkan seolah-olah nasionalisme Indonesia terpatri dalam loyalitas kepada Islam. Oleh sebab itulah, banyak orang Batak yang pada mulanya menganut agama penduduk setempat, penduduk Cina di Sumatera memeluk Islam hanya karena ingin bergabung dengan Indonesia. Mereka kemudian dikatakan telah meninggalkan sukunya dengan menjadi orang Indonesia lantaran memeluk Islam. Dengan adanya bukti munculnya berbagai partai Islam misalnya, Partai Syarekat Islam, Partai Muslimin Indonesia, Partai Islam Indonesia, yang didirikan oleh ulama, kiai tarekat, dan pengikutnya, sebagai bentuk kekuatan tersendiri dalam rangka menuju perlawanan kepada Belanda. Dan ini dianggap sebagai ancaman terhadap pemerintah Belanda (Alwi Shihab., 2001: 194). Dari segi berkiprah dalam politik, Islam mengalami maju mundur dalam menguasai panggung politik. Sampai pergantian orde baru, Islam juga mengalami kejayaannya, akan tetapi kejayaan itu tidak lama. Setelah pemerintah lebih berpihak pada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Banyak partaipartai Islam yang mengalami penciutan, akibat kekuasaan ABRI yang dekat pemerintah, misalnya ABRI tidak menyetujui berdirinya partai Masyumi yang sudah dibubarkan pada rezim Sukarno (Alwi Shihab., 2001: 210). Pada tahun 1940 PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang dipimpin oleh Sulaiman al-Rasuli, menyatakan sebagai partai politik yang membawahi pengamal tarekat Naqsyabandiyah. Sementara itu Jalaluddin di keluarkan dan mendirikan partai tersendir PPTI
56
(Partai Politik Tarekat Islam) yang juga mengklaim mewakili tarekat Naqsyabandiyah. Dan pada akhirnya Jalaluddin pada pemilu pertama tahun 1955 terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat tingkat pusat mewakili PPTI. Selama periode Demokrasi Terpimpin, ia menjalin hubungan baik dengan Presiden Sukarno, dan ia meyakinkan setiap orang dalam lingkaran Naqsyabandiyah di Sumatera agar mengetahui bahwa PPTI telah diakui secara resmi keberadaanya, dan juga PPTI mempunyai hubungan di kalangan atas. Banyak khalifah yang tidak yakin kepada Jalaluddin sebagai guru, tetapi mereka bergabung dengan PPTI demi rasa aman. Dan ia berhasil mewujudkannya, serta ia menganggap dirinya sebagai ketua umum PPTI seumur hidup. Setelah Sukarno dipaksa untuk mengundurkan diri, dan rezim juga berganti, PPTI merupakan salah satu organisasi yang pertama bergabung dengan Sekber Golkar (Martin van Bruinessen., 1992: 131-132). d. Kondisi Ekonomi Penaklukan Belanda terhadap masyarakat luar Jawa, pembentukan ekonomi kapitalis, involusi pertanian di Jawa, dan pertumbuhan sebuah ekonomi kapitalis dan komersial di wilayah pinggiran mengantarkan kepada pengalihan arah kebijakan pemerintahan Belanda menjelang abad XX. Selain dasar-dasar teori liberal, ekspansi pertanian kapitalis dan perusahaan industri juga memerlukan campur tangan negara. Kebijakan kapitalis liberal itu hanya menguntungkan kelompok kapitalis
57
individual, sedangkan kebijakan tersebut menyengsarakan kaum pribumi, mengurangi pendapatan pemerintah, dan mengganggu kepentingan usahawan pabrik Belanda di tengah perekonomian Indonesia yang makmur. Kalangan humanitarian, liberal, dan missionari bersama-sama menyerukan reformasi ekonomi, perlindungan terhadap kepentingan pribumi, dan pendidikan serta pemberian kesempatan kerja pada pegawai-pegawai pribumi dalam tugas kepemerintahan. Kalangan liberal menegaskan bahwasanya pemerintah Belanda mengemban tanggung jawab untuk meningkatkan kemakmuran kaum pribumi bahkan harus memberi ganti rugi atas eksploitasi ekonomi selama ini (Ira M Lapidus., 1999: 316). B. Problematika Tarekat Serta Tanggapan Ibnu Taimiyah dan Hamka Gerakan purifikasi atau permunian diusahakan untuk memurnikan ajaran-ajaran Islam, bersih dari pengaruh syirik, khurafat, dan takhayyul. Gerakan ini ditempuh karena selama terkungkung dalam penjajahan, kaum muslim terpecah belah, hubungan salah satu dengan yang lainnya terpisah. Dalam keadaan demikian, penyakit syirik, khurafat, takhayyul berkembang dengan pesatnya, sehingga menghalangi perkembangan pemikiran. Pengalaman keagamaan pun dipengaruhi oleh bid‟ah (M. Abdul Karim., 2007: 62-63). 1. Ibnu Taimiyah a. Anomali-anomali Tarekat Kebebasan berpikir yang terbatas pertama kali muncul dalam kehidupan umat Islam pada
58
abad II H., pada masa hidupnya Imam Abu Hanifah, ketika ia mendorong masyarakat untuk menggunakan akalnya dan memunculkan kelompok Ahl al-Ra‟y. Setelah itu, pemikiran tersebut dikembangkan oleh kelompok Mu‟tazilah yang menempatkan nalar intelek sebagai hukum untuk semua persoalan, termasuk dalam mengkaji wahyu al-Qur‟an. Pada saat itu umat Islam berada di tepi jurang keimanan kepada Allah swt. Mereka mulai meragukan alQur‟an sebagai Kalimat Allah (Muhammad Atiqul Haque., 1998: 111-112). Kemudian umat Islam diselamatkan dari krisis ini oleh Imam Abu Hasan al-Asy‟ari dan Imam Ghazali yang mengkritik kaum Mu‟tazilah dan para pemikir bebas lainnya. Penekanannya yang kuat terhadap keimanan buta (taqlid) pada takdir dan Hari Kemudian ini kelak bercampur aduk dengan ajaran sufisme. Ajaran ini memunculkan persoalan lain dengan banyaknya para “orang suci” atau syaikh. Kaum muslim melebih-lebihkan peran para “orang suci” dengan mencari berkah dan mengkultuskan kuburan mereka (Muhammad Atiqul Haque., 1998: 114). Banyak ekses tasawuf dengan jalan tarekat menemui keburukan, sebab orang-orang beruzlah karena taat kepada syaikh, pengaruh syaikh besar sekali, sehingga syaikh merupakan diktator rohaniah. Sehingga menurut mereka pintu ijtihad tertutup rapat, hal ini menghilangkan daya juang, inisiatif, kreatif, dan timbulnya apatis dan taqlid tanpa amandemen, serta harus menerima problem tanpa mencari solusi (Barmawie Umarie., 1967: 110).
59
Latar belakang umat Islam, khususnya di daerah di mana Ibnu Taimiyah hidup menunjukkan berbagai kebekuan dan penyimpangan dalam berpikir dan ajaran-ajaran Islam mulai bergeser dari arah kemurnian ke arah sinkretisme berlebihan, umat Islam terpecah belah dan dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan asing yang telah menghancurkan Islam. Hidup dan kegiatan-kegiatan kerohanian yang bertitik tolak dari ajaran -ajaran sufi, telah bercampur baur antara berbagai filsafat dan berbagai ajaran kaum sempalan orde-orde tarekat. Kebanyakan orang demikian berlebihan percaya kepada waliwali dan berbondong-bondong meminta berkat kepada mereka. Kagum atas cerita-cerita keramat sampai meminta berkat di kubur-kubur para wali dan bersemedi. Ekses demikian itu adalah kelanjutan dari ekses yang lahir dari sistem tarekat yang berjenjang naik atau turun menuju Tuhan yang membutuhkan sang wali pemandu para anggota baik kala hidup maupun sudah mati (M. Laily Mansur., 1996: 230). Tarekat dengan zawiyah-zawiyahnya merupakan dunia tersendiri dan berbagai peraturan dan disiplin yang amat ketat menghantarkan orang ke arah hidup eksklusifisme dan ekstrimitas kelompok. Semua itu membawa kelemahan kepada persatuan dan ukhuwah islamiyah di kalangan kaum muslimin dan membawa ajaran Islam semakin kabur, karena semua itu tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam yang sejat (M. Laily Mansur., 1996: 231). Beberapa anomali yang terjadi yang dianggap sudah keluar dari aqidah Islam yaitu
60
antara lain, pertama; pengkultusan kepada imam dan syaikh. Pada masa itu suasana kebanyakan kaum muslim telah terseret kepada aqidah yang rusak dan berbagai amal perbuatan yang berbau syirik. Mereka telah bercampur baur dengan kaum non-muslim, memuliakan orang asing dan meremehkan ulama. Agama yang suci dan aqidah yang murni berada dibalik tabir. Muncullah suatu sikap aqidah yang berlebihan terhadap para wali dan orang-orang shalih sebagaimana ulah kaum Yahudi dan Nasrani. Kemudian muncullah aqidah tawassuth dan taqarrub dengan para wali yang berlebihan (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 23). Menurut mereka, bahwa wali itu lebih utama dari pada nabi, penutup para wali lebih utama dari pada penutup para nabi. Sebab nabi itu berhubungan dengan manusia, sedangkan wali berhubungan dengan Tuhan (Fazlur Rahman., 2000: 120). Aqidah-aqidah dan tradisi-tradisi syirik telah berkembang pesat di kalangan muslim melalui pembauran mereka dengan non-muslim dan orang-orang „Ajam, serta pengaruh pemerintahan golongan Bathiniyah dan Isma‟iliyah. Maka tersebarlah ajaran-ajaran kebodohan dan kesesatan dari kalangan sufi yang mewarnai berbagai aktivitas mereka. Pada masa itu umat Islam mengkultuskan para Imam, para syaikh, para wali, dan para orang shalih di antara mereka, berupa aqidah-aqidah yang sesat. Mereka membawa pemikiran syirik sebagaimana ajaran Yahudi dan Nasrani terhadap Uzair dan Isa al-Masih, serta pembesar-pembesar dan pendetapendetanya. Masing-masing berkerumunan di
61
sekitar kuburan-kuburan para syaikh dan wali mereka (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 163). Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa setiap rizki itu tidak akan dilimpahkan selama syaikhnya tidak menghendakinya. Mereka juga menyembelih kurban atas nama syaikhnya. Ada juga yang mengatakan syaikhnya lebih mulia dibanding nabi dan rasul. Mereka menjadikan imam dan syaikh sebagai pengatur atau pengendali alam yang meliputi makhluk dan rizki, penopang hajat-hajat, dan pembuka berbagai kesusahan. Kedua; pengkultusan terhadap kuburankuburan imam dan syaikh. Model pola pikir jahiliyah ini telah tumbuh subur di kalangan kaum muslim, sampai-sampai banyak dari kalangan ulama yang tidak lagi menganggap adanya bahaya dalam ber-istighatsah kepada selain Allah. Mereka menjadikan kubur-kubur para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid. Di antara mereka ada yang memohon pertolongan dan perlindungan kepada para wali dan syaikh, sambil memperpanjang doa dan merendahkan diri kepadanya. Semua itu telah merata dan tersiar di kalangan mereka, sebagaimana meratanya tradisi-tradisi membangun tempat sujud di kubu-kubur mereka, serta dilaksanakannya berbagai macam perayaan tahun demi tahun. Ada segolongan mereka shalat kepada orang mati, dan salah satu dari mereka berdoa kepada orang mati. Ia bersujud kepada kuburannya. Ada juga di antara mereka melakukan shalat menghadap kuburan dan
62
membelakangi Ka‟bah seraya berkata “Kubur adalah kiblat yang khusus, sedangkan Ka‟bah adalah kiblat yang umum.” Pernyataan ini dikatakan oleh mayoritas mereka yang abid dan zuhud. Ia adalah syaikh yang diikuti dengan harapan sama dengan itba‟ syaikhnya. Sementara pihak lain dari sebagian kecil syaikh yang diikuti memiliki kebenaran dan kesungguhan dalam beribadah dan berzuhud. Ia menyuruh orang yang hendak bertobat pergi ke kubur-kubur syaikh, kemudian beri‟tikaf di atasnya (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 165). Ada yang mengatakan salah satu dari mereka bahwa, “Jika kamu menziarahi kubur syaikh sebanyak dua atau tiga kali, maka sama dengan haji.” Di antara mereka ada yang menjadikan tempat kubur syaikh untuk menggantikan kedudukan Arafah. Mereka menuju ke sana pada musim haji. Mereka mempercayainya sebagaimana orang-orang Islam mengakui Arafah. Mereka memprioritaskan pergi ke masyhad1 dan kuburan yang diagungkan dari pada menunaikan haji ke Baitullah. Mereka enggan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah. Mereka beranggapan bahwa berziarah kepada imam-imam dan para syaikh mereka lebih utama dari pada menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Mereka juga enggan melaksanakan shalat lima waktu di masjid. Mereka menganggap doa syaikh mereka lebih utama dari pada melaksanakan shalat lima waktu di masjid (Abul Hasan Ali alNadawi., 1995: 166-170).
1
Bangunan-bangunan yang didirikan di atas kuburan yang dikeramatkan.
63
Kemudian muncul kepercayaan tentang wilayah atau wali berikut keistimewaanya. Dalam kenyataannya kepercayaan tersebut adalah bagian dari konsep yang lebih luas tentang kekuasaan wali yang disebarkan melalui jama‟ah tarekat. Kekuasaan ini memancar dari seorang wali pemimpin spiritual yang dipercayai dapat mempengaruhi nasib seseorang baik spiritual maupun material. Akhirnya terjadi pemujaanpemujaan, penghormatan-penghormatan kepada makam-makam dan peninggalannya. Maka, lahirlah istilah wisata spiritual ke makam-makan wali dengan tujuan mendapatkan barakahnya (Fazlur Rahman., 1979: 153). Sementara yang lain telah menjadikan orang yang sudah mati sama dengan kedudukan Tuhan dan syaikh yang masih hidup menggantungkan kepadanya seperti nabi. Dari yang mati itu ia meminta hajat dan tersingkapnya segala kesusahan. Demikian juga para ahli tasawuf juga telah pengaruh filsafat ketimuran yang datang dari Yunani dan India. Filsafat tersebut telah bercampur aduk dengan aqidah Islam tanpa adanya saringan. Sebagian cabang aliran Ahmadiyah2 misalnya yang dalam akhir-akhir ini 2
Aliran tersebut nama lain dari aliran al-Rifa‟iyah. Karena pendirinya adalah al-Sayyid Ahmad al-Rifa‟i al-Kabir yang terkenal mempunyai kelakuan-kelakuan aneh. Syaikh al-Munaiba‟ berbisik kepada Syaikh Shalih seraya bebrkata, “Perilaku kami memang berlaku menurut Tatar, bukan berlaku menurut agama.” Para hadirin menggarisbawahi katakata itu dan kemudian menyatakan ingkar kepada mereka. Aliran ini sangat dekat dengan penjajah Tatar, sehingga semua kebijaksanaan ikut kebijaksanan Tatar,dan kebanyakan perbuatan aliran tersebut sesuai dengan perilaku bangsa Tatar yang banyak menyimpang dari al-Kitab dan al-Sunnah (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 74).
64
telah menyimpang jauh dari kaidah dasarnya. Ajaran-ajaran peletaknya sendiri serta lebih condongnya kepada tokoh yang sebenarnya tidak begitu menguasai ilmu syariat dan aqidah Islamiyah. Mereka melakukan amalan-amalan ritual yang bersifat insidental dan itu akan dapat mempengaruhi jiwa orang-orang Mongol dan bangsa Tartar serta membuat mereka suka terhadap Islam (Ibnu Katsir al-Dimasyqi., 2001: 36-37). Pada masa itu pula, setelah hilangnya huru-hara bangsa Tartar, banyak amalan jahiliyah yang masuk dalam kehidupan kaum muslim, di samping bentuk-bentuk upaya kaum musyrik dan para penyembah berhala, akibat pergaulan dengan bangsa Yahudi dan Nasrani. Misalnya di sungai Quluth, di pinggiran kota Damaskus ada sebuah batu besar yang dikeramatkan. Banyak orang bernadzar dengan batu ajaib yang katanya memiliki seribu satu kisah. Tentunya batu dan perbuatan tersebut menjadi fitnah yang amat besar bagi orang Islam yang beraqidah lemah. Mereka sering datang menziarahinya untuk menyampaikan nadzar. Pada waktu itu para pejabat dan ulama kurang respon terhadap penyimpangan-penyimpangan aqidah yang akan menjerumuskan orang Islam dalam jurang kemusyrikan (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 70-71). Ada juga fitnah yang berkembang dan tersiar di kalangan masyarakat, bahwa masyahid dan kubur-kubur dapat memberikan kesembuhan bagi orang yang sakit sudah cukup lama sebagai bukti dikabulkannya doa di sisi masyahid dan kubur-kubur tersebut. Banyak orang yang
65
bercerita tentang pengalaman dan penyaksiannya secara perorangan. Dan ini terus berkembang, sehingga timbul keyakinan pada masyarakat atas kebenaran cerita tersebut. Adapun yang ketiga; masalah tawassul. Bertawassul kepada Nabi saw, para imam dan syaikh itu melanggar konsekuensi terhadap ajaran Islam, bahwa seseorang tidak boleh menyembah, memanjatkan doa, meminta bantuan dan menyerahkan diri kepada selain Allah. Jika seseorang berdoa kepada Malaikat, Nabi, imam, syaikh atau meminta bantuan kepadanya, jelas ini merupakan perbuatan musyrik. Tidak boleh seorang muslim mengatakan, “Wahai Jibril”, atau “Wahai Ibrahim atau Wahai Muhammad”, ampunilah aku, berilah aku rizki, tolonglah aku, atau berilah aku kekayaan, jauhkan aku dari musuh. Semuanya itu merupakan kekhususankekhususan ilahiyah. Singkatnya bertawassul kepada Nabi saw memang baik, akan tetapi memanjatkan doa dan meminta pertolongan kepada beliau adalah haram. Ada pula paham tentang “orang penengah” (penyambung kebutuhan) antara Allah dan manusia. Hal ini telah telah banyak melahirkan banyak bid‟ah yang dapat membawa umat Islam kepada kemusyrikan.(Muhammad Atiqul Haque., 1998: 115). Keempat; penolakan terhadap paham wahdal al-wujud yang dipelopori oleh Ibnu Arabi. Banyak pengikut tarekat yang mengikuti paham tersebut. Paham ini dipandang menyeleweng dari ajaran Islam. Pembuktian dan ilham-ilhamnya sama sekali bertentangan dengan
66
ajaran yang dibawa oleh para nabi, bahkan bertentangan dengan ajaran yang dibawa para nabi. Ajarannya yang terkenal bahwa, Khaliq itu adalah makhluk, dan makhluk itu adalah Khaliq. Wujud makhluk adalah wujud Khaliq. Mereka juga sangat mengagungkan Fir‟aun yang dianggap telah mencapai puncak otoritasnya, dialah pemilik kurun waktu, sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur‟an Fir‟aun berkata, “Akulah Tuhanmu yang tertinggi.” (al-Nazi‟at: 24). Jelas sekali pada masa Ibnu Taimiyah, banyak orang tersesat dalam aqidah wahdatalwujud. Mereka melanggar batas-batas agama, akal, dan moral dalam aqidah ini (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 77-78). Selain itu, Ibnu Taimiyah juga menentang ajaran hulul dan ittihad. Ajaran tersebut juga merusak aqidah muslim. Dan yang meyakini dan mengamalkan ajaran tersebut adalah kafir. Dan selamanya Allah tidak mungklin bersatu, menyatu, ataupun menyerupai dengan makhluk. Karena ajaran tersebut berasal dari Nasrani (Ibnu Taimiyah., 1972: 60). Dari anomali-anomali di atas, secara faktual bahwa kepercayaan tersebut adalah bagian dari konsep dan praktek yang disebarkan melalui jama‟ah tarekat (Fazlur Rahman., 1979: 153). b. Tanggapan Ibnu Taimiyah Tarekat yang dibawa Ibnu Taimiyah mengacu pada satu point yaitu menghidupkan kembali ajaran para sahabat yang diambil secara orisinil dari Rasul pada masa awal dakwah Islam,
67
karena seutama-utamanya tarekat adalah apa yang dilakukan oleh nabi Muhammad dan para sahabatnya (Ibnu Taimiyah., 2000d: 8), serta belum tercampur oleh pemikiran-pemikiran asing, belum tercampur oleh ajaran agama-agama sesat yang ingin dimasukkan oleh penganut agama-agama tersebut ke dalam akidah dan aktivitas mereka. Ibnu Taimiyah selalu berusaha untuk membangun kembali prinsip-prinsip dasar Islam yang telah diwariskan para salaf. Ia menganjurkan dan mengajarkan agar kaum muslimin kembali untuk mengamalkan apa yang dikerjakan oleh nabi Muhammad dan para sahabatnya, karena para sahabat mengamalkan dan taat kepada al-Qur'an dan al-Sunnah Rasulullah. Ia menegaskan bahwa amal ibadah dan keimanan yang tidak mengikuti nabi Muhammad dan para sahabatnya merupakan perbuatan bid‟ah (Ibnu Taimiyah., 2000d: 9). Secara singkat, tarekat sebagaimana diakui Ibnu Taimiyah adalah suatu ajaran, pengertian-pengertian, arah dan tujuan tarekat hanya didasarkan kepada al-Qur'an dan alSunnah, seperti apa yang dilakukan oleh nabi Muhammad dan para sahabatnya (Ibnu Taimiyah., 2000d: 286), bukan didasarkan kepada hayalan-hayalan atau teori-teori pribadi sang sufi atau syaikh. Meskipun ada yang mengatakan banyaknya tarekat itu sebanyak nafas manusia, tetapi bagi Ibnu Taimiyah selama tarekat itu tidak keluar dari al-Qur'an dan alSunnah, dan jika tarekat tersebut keluar dari kedua sumber tersebut adalah bathil (Ibnu Taimiyah., 2000c: 232).
68
Dengan demikian, bagi Ibnu Taimiyah (2000d: 286) pengembalian segala masalah di dalam berbagai hal yang berkenaan dengan tarekat dapat dikembalikan kepada salaf al-saleh yang senantiasa melaksanakan Wahyu dan Sunnah Rasulullah (al-thariqah al-syar‟iyyah). Meskipun perkembangan yang datang kemudian karena pengaruh berbagai agama seperti Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Zarathustra dan berbagai paham filsafat, sementara para salaf al-saleh satu persatu meninggal dunia, membuat diantara kaum muslim ada yang terpengaruh dan telah menyimpang dari ajaran al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah, adaptif dan sinkretis. Ibnu Taimiyah juga mengkritisi bahkan menolak pengkultusan terhadap syaikh atau imam. Bermula dari sebagai guru spiritual yang lama kemudian timbul pengkultusan terhadap syaikh, seolah-olah syaikh adalah sebagai Tuhan . perkataan syaikh adalah sabda Tuhan. Yang tak lama kemudian lahirlah istilah wali yang keluar dari batas syariat. Mereka menganggap wali adalah segalanya. Sedangkan wali menurut Ibnu Taimiyah adalah mereka yang beriman dan bertakwa kepada Allah (Ibnu Taimiyah., 2000d: 88). Sumber energi yang menumbuhkan almahabbah dan al-qurb3 seorang wali dengan 3
Faktor al-mahabbah dan al-qurb merupakan dua variabel yang mengaktualisasikan relasi sehingga hubungan menjadi lebih intim. Untuk memperkuat pandangan ini Ibnu Taimiyah menunjuk ayat sebagai argumentasinya, “Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah itu tidaklah merasa takut dan tidaklah mereka berduka cita. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa (Yunus: 62-63). Dalam hadits qudsi juga disebutkan: Muhammad ibnu Usman ibnu Karamah menuturkan kepadaku, Khalid ibnu Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman ibnu Bilal bercerita
69
Allah adalah keimanan dan ketakwaannya kepada Allah. Oleh sebab itu, seorang wali menyukai dan membenci apa yang disukai dan yang dibenci Allah atau dengan kata lain beriman dan bertakwa seperti para sahabat. Dan mereka merupakan khair auliya‟ al-muttaqin (Ibnu Taimiyah., 2000d: 286). Seorang wali menurut Ibnu Taimiyah tidak harus ma‟shum, bahkan mungkin saja ia keliru dalam memahami syariat atau salah dalam mempersepsikan karamat4 para wali. Juga kepada kami, telah menuturkan kepadaku Syarik ibnu Abdillah ibnu Abi Namir dari Atha‟ dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulallah saw bersabda: “Sesungghnya Allah swt berfirman: “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh Aku telah mengizinkan kepadanya untuk menyatakan perang kepada (orang-orang yang memusuhinya). Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku, kecuali dengan menunaikan semua yang Aku perintahkan kepadanya. Dan seorang hamba mendekatka diri kepada-Ku dengan mengerjakan al-kawafil (berbagai ibadah sunah) sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintai seorang hamba, maka Aku menjadi pendengarannya yag dengan pendengaran itu ia mendengar; Aku-pun menjadi penglihatannya yang dengan penglihatan itu ia memandang; Akupun menjadi tangannya yang dengan tangan itu ia meraba; dan Aku-pun menjadi kakinya yang dengan kaki itu ia berjalan. Jika hamba itu memohon kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya. Dan jika hamba itu memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku melindunginya. Dan Aku tidak mempunyai keraguan seperti keraguan-Ku berkenaan dengan jiwa seorang beriman; ia takut mati dan Aku takut menyakitinya” (HR. Bukhari). (Usep Usman Ismail., 2005: 174-175). 4
Ibnu Taimiyah tidak menolak adanya karamat pada wali Allah. Konsep karamat menurut Ibnu Taimiyah dapat disamakan dengan mu‟jizat. Keduanya merupakan khawariq al-adat. Mu‟jizat untuk para nabi, sedangkan karamat untuk para wali Allah. Selama sesuatu yang diluar adat ini dituntut dalam agama (mathlub fi al-din), maka termasuk amal saleh yang diperintahkan, baik perintah itu dalam bentuk wajib maupun sunah. Sedangkan jika menghasilkan yang mubah dalam agama, maka hal itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya jika sesuatu yang
70
seorang wali adakalanya samar-samar dalam memahami beberapa persoalan agama sehingga mengira suatu perkara termasuk apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang Allah. Boleh saja ia mengira suatu perkara yang bertentangan dengan adat kebiasaan termasuk karamat para wali; padahal itu dari setan. Setan telah menjadikannya samar-samar baginya untuk mengurangi derajatnya. Ia tidak mengetahui itu dari setan. Keadaan demikian itu tidak menyebabkan ia keluar dari kewalian Allah (Ibnu Taimiyah., 1991: 354). Dalam kaitannya dengan karamat, Ibnu Taimiyah menganjurkan supaya beristiqamah dalam beragama, bukan berusaha mencari karamat; padahal Tuhan menuntut beristiqamah. Pandangan ini menurut dia merupakan prinsip utama tentang karamat, tetapi sering diabaikan oleh para ahl al-suluk. Adapun tujuan karamat pada diri para wali menurut Ibnu Taimiyah adalah untuk mengokohkan keyakinan, menanamkan sikap zuhud terhadap dunia, dan menjauhi dorongan rendah (Ibnu Taimiyah., 2000d: 152). Sebagaimana telah dijelaskan dalam keterangan sebelumnya, yaitu pada abad VII dan VIII, masyahid dan kubur-kubur telah masuk ke dalam kehidupan kaum muslim secara religius. Oleh mereka ia dipandang sebagai tumpuan dan pusat yang melebihi keagungan Allah. dilarang, baik dalam bentuk tahrim maupun tanzih; maka hal itu merupakan sebab untuk mendapatkan adzab dan murka Allah (Ibnu Taimiyah., 2000: 152). Tegasnya Ibnu Taimiyah memandang karamat yang ada pada diri para wali Allah tersebut apabila sesuai dengan ajaran al-Qur‟an dan Sunnah Rasul.
71
Kebanyakan yang terjadi adalah akibat kebodoha kaum muslim dan peluang-peluang ketergantungan yang mendalam terhadap masyahid dan kubur-kubur. Kelompok kaum sufi bagian dalam yang jauh dari pendidikan Islam pada masa yang terakhir juga menjadikan masyahid dan kubur-kubur, serta pusara-pusara tempat khusus sebagai sarana yang amat penting dan suci. Bagian atasnya mereka jadikan arena pertemuan tahunan. Karena terlalu berlebihan memuja terhadap masyahid dan kubur-kubur, mereka menjadikannya sebagai salah satu di antara berbagai sarana kesyirikan dan bid‟ah. Sampai dijadikan sebagai pengganti Baitullah apabila musim haji. Dalam menanggapi masalah berziarah ke kuburan, Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang ziarah ada dua macam, yang sesuai dengan syariat dan yang berlawanan dengan syariat atau disebut juga perbuatan bid‟ah. Berziarah yang diatur oleh syariat5 adalah maksud orang yang berziarah itu untuk mendoakan si mayat sebagaimana maksud menyembahyangkan jenazah. Dalam hal menyembahyangkan mayat orang muslim dan berdiri di atas pekuburan itu adalah sunnah mutawatir dari nabi. Nabi sendiri yang menyembahyangkan orang mukmin. Hal ini disyariatkan kepada umatnya. Apabila nabi menguburkan umatnya, setelah mayat itu dikuburkan, maka beliau berdiri di atas kubur dan berpidato dihadapan orang banyak. Dalam pidatonya beliau mengatakan, “Mintalah olehmu 5
Lihat juga komentar Ibnu Taimiyah tentang ziarah kubur yang disyariatkan sebagaimana yang dikutib Mahrus Ali (2007: 567).
72
pahala untuk si mayat ini, karena dia sekarang sedang ditanya”. Selain itu, nabi juga sering berziarah ke Baqi‟ dan ke pekuburan Syuhada‟ di Uhud. Juga diperbolehkan berziarah ke kuburan orang kafir. Sebagaimana dilakukan oleh nabi ketika berziarah ke makam ibunya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, ketika nabi berziarah ke makam ibunya, beliau menangis, dan orang-orang di sekelilingnya juga ikut menangis, sesudah itu nabi bersabda: “Aku minta izin kepada Tuhanku untuk menziarahi kuburnya (ibu nabi), dalam hal ini aku diizinkannya. Sedah itu aku minta izin untuk mendoakan, di sini aku tidak diizinkan. Berziarahlah kamu ke kubur, karena kubur itu mengingatkan orang kepada akhirat”. Berziarah ke pekuburan itu sangat bermanfaat untuk mengingat mati. Karena itu nabi sendiri mensyariatkan kepada umatnya sekalipun ke pekuburan orang kafir. Sedangkan mendoakan orang kafir itu tidak disyariatkan (Ibnu Taimiyah., 1990: 32-33). Sedangkan berziarah ke kubur yang berbentuk bid‟ah yaitu dengan maksud untuk meminta kepada roh yang dikubur di sana. Atau minta didoakannya atau minta syafaat. Atau sengaja berdoa di samping kubur dengan maksud doanya itu dikabulkan oleh Allah. Berziarah yang seperti ini hukumnya bid‟ah, dan tidak disyariatkan oleh nabi, tidak pernah diperbuat oleh sahabat, baik dipekuburan nabi maupun dipekuburan orang lain. Hal ini termasuk syirik dan merupakan sebab-sebab yang membawa orang kepada kesyirikan. Kalau ada orang yang
73
sengaja berziarah dan sembahyang di pekuburan nabi-nabi maupun orang-orang shaleh yang dianggap keramat, bukan sengaja untuk mendoakannya, seperti mengambil untuk tempat sembahyang, maka hal ini dilarang dan haram hukumnya. Orang yang berbuat demikian akan dilaknat oleh Allah. Sabda nabi, “Allah marah kepada orang-orang yang membuat pekuburan nabi-nabi mereka itu menjadi tempat sujud. Orang-orang yang sebelum kamu berbuat yang demikian. Ingatlah, kamu tidak boleh membuat kubur itu menjadi tempat sujud, aku melarang kamu berbuat demikian” (Ibnu Taimiyah., 1990: 34).Ibnu Taimiyah juga mengkritik terhadap batu-batu nisan, dan tempat-tempat yang diziarahi. Semua itu telah mengubah umat Islam menjurus ke arah kesyirikan, bid‟ah, fasik, dan aneka bentuk kemungkaran. Kesemuanya itu menentang syariat, dan tidak dianjurkan dalam Islam. Kemudian Ibnu Taimiyah memberikan perhatian terhadap tawassul dalam dua macam pengertian. Pertama, tawassul berarti taat dan patuh, hal ini diwajibkan guna kesempurnaan iman. Kedua, berarti doa dan syafaatnya nabi Muhammad. Ini dilakukan di waktu nabi masih hidup dan pada hari kiamat. Di sini orang bertawasul dengan syafaatnya nabi Muhammad.6 6
Menurut madzdhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah-para sahabat, tabi‟in, para imam-bahwa nabi Muhammad itu mempunyai sejumlah syafaat di hari kiamat. Beliau akan memberi syafaat kepada siapa saja yang diizinkan Allah, termasuk umatnya yang berdosa besar. Syafaat beliau ini tidak akan berguna kecuali bagi orang-orang yang meng-Esakan Allah, bukan orangorang musyrik kepada-Nya. Sekalipun ada orang musyrik yang mencintai dan menghormati nabi Muhammad, syafaat beliau tetap tak akan
74
Atau dalam kata lain, wasilah yang diperbolehkan adalah wasilah yang diperintahkan Allah yang disampaikan dengan perantara Malaikat, dan nabi-nabi. Artinya, wasilah yang dipakai untuk mendekatkan diri kepada Allah berupa yang wajib dan sunnat dikerjakan. Tidak pernah seorang sahabat yang menghadap ke kubur nabi Muhammad di saat berdoa untuk dirinya. Begitu juga meminta syafaat dengan mengatakan, “Ya Rasulallah, syafaatkanlah aku, dan doakanlah aku”. Atau mengadu kepada nabi karena mengalami musibah atau meminta kepadanya. Juga tidak meminta kepada nabi-nabi lainnya, ataupun orang-orang shaleh. Hal ini merupakan perbuatan orang-orang Nasrani, orang-orang musyrik, dan ahli bid‟ah (Ibnu Taimiyah., 1990: 72). Paham wahdat al-wujud, ittihad, dan hulul juga menjadikan Ibnu Taimiyah angkat bicara. Bagi Ibnu Taimiyah, mereka mengikuti aqidah yang sesat dan musyrik. Mereka menyekutukan Allah, mereka menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Sedangkan ajaran yang dibawa oleh Ibnu Taimiyah agar mereka mentauhidkan Allah sebagaimana ajaran nabinabi dan mereka dituntut untuk mengikuti ajaranajarannya. Tauhid yang dimaksud Ibnu Taimiyah adalah pengakuan tentang ke-uluhiyahan dan kerububiyahan Allah. Artinya, uluhiyah dan
menyelamatkannya dari neraka. Yang menyelamatkannya hanyalah tauhid dan iman kepada Allah (Ibnu Taimiyah., 2006: 22).
75
rububiyah yang ada dalam hati hanyalah Allah7 (Ibnu Taimiyah., 1972: 155).
2. Hamka a. Anomali-anomali Tarekat Sesuai perkembangannya banyak tarekat yang mengadopsi budaya lokal yang dicampurkan dengan ajaran dasar atau ajaran awal dari pendirinya baik secara konsep maupun praktek, sehingga ajaran tarekat yang diusung sudah tidak murni lagi, dan banyak yang menyimpang dari ajaran Islam. Misalnya tarekat Qadiriyah di Afrika Utara sering disebut sebagai para gilani telah mengembangkan konsep khalwat dengan aturan-aturan khusus. Yaitu pohon ilalang yang ditancapkan ditumpukan batu, para wanita menyampirkan kain-kain di situ, kemudian disiran bensin dan styrax disulut. Baik wanita maupun pria melakukan jenis khalwat ini dan memohon agar keinginan terpenuhi. Seiring dengan timbulnya praktik yang tidak tepat tersebut muncul pula konsep pengkultusan yang berlebihan terhadap Abd. Qadir al-Jilani. Segala ucapan dan perbuatan Syaikh digunakan untuk melegitimasi dan memantapkan keunggulannya pada hirarki spiritual (Sri Mulyati dkk., 2004: 45). Selama perluasan dan penyebarannya, tarekat Qadiriyah mengembangkan konsep ritual dan wirid, khususnya ketika menyebar di Turki, India, Mesir, dan Afrika. Sebagian merupakan 7
Untuk lebih detail mengenai pendapat Ibnu Taimiyah tentang tauhid uluhiyah dan rububiyah, terdapat pada Majmu‟ Fatawanya juz I dan II.
76
konsep yang diajarkan Abd. Qadir al-Jilani, dan sebagian merupakan penambahan yang dilakukan kemudian. Simbol-simbol diadopsi untuk menggarisbawahi keutamaan khusus dalam tarekat ini di daerah-daerah yang berbeda. Qadiriyah Turki menggunakan mawar hijau sebagai simbol mereka. Ketika seorang calon murid akan diterima ditarekat, Syaikh Qadiri menyampirkan pada peci bulunya sebentuk mawar yang terdiri dari delapan belas bagian dengan segel sulaiman di tengahnya. Peci ini disebut taj (mahkota), hal yang amat didambakan kelompok mistik. Tarekat Qadiriyah Mesir menggunakan sorban putih dan panji-panji putih. Sejumlah nelayan yang menjadi pengikut tarekat ini membawa jaring galah beraneka ragam warna tatkala mengikuti prosesi. Di Maroko pengikut Qadiriyah melakukan dzikir diiringi instrumen musik di zawiyah tatkala diambil sumpahnya. Tak luput pula, sejumlah peninggalan Abd.Qadir al-Jilani dikeramatkan dan dibawa di berbagai wilayah. Para pengikut tarekat ini mempunyai kepercayaan peninggalan tersebut membawa cahaya kesucian dan menerangi daerah-daearah mereka (Sri Mulyati dkk., 2004: 46). Sedangkan di Kurdistan bagian Irak dan Iran, tempat tarekat Qadiriyah punya banyak penganut, dzikir biasanya digabungkan dengan pertunjukan kekebalan tubuh, yang di Indonesia lazim disebut debus. Hal ini, dalam konsep tarekat mengajarkan tawakkal kepada pengikutnya; dengan main benda tajam, murid bisa membuktikan bahwa, ia menyerahkan diri
77
secara total kepada Allah dan wali-Nya, Syaikh Abd. Qadir al-Jilani. Karena dengan kekebalan tersebut, murid meraskan karamah Syaikh Abd. Qadir yang dikaruniai Allah sangat ampuh dan sanggup mengalahkan hukum alam dan kebendaan; dengan demikian, ia menghayati langsung dengan adanya wasilah. Sebagaimana juga pengikut tarekat Syadziliyah yang menganggap bahwa al-Syadzili seorang wali dan dikultuskan pengikutnya yang banyak memiliki karamah. Suatu ketika alSyadzili melakukan i‟tikaf dan beribadah di gunung Zaghwan. Di sini ia membaca surat alAn‟am. Sampai pada bacaan ...wa in ta‟dil kulla „adlin la yu‟khadz minha....(al-An‟am ayat 70), terjadilah sesuatu yang hebat pada dirinya. Ia mengulang-ulang ayat tersebut dan bergerakgerak. Setiap kali ia miring ke suatu arah, ternyata gunung Zaghwan ikut miring ke arah tersebut (lebih lanjut baca kitab Durrat al-Asrar). Permainan debus di Banten dan beberapa tempat di Indonesia dipengaruhi sebagian tarekat. Kekebalan dan kesaktian sejak pra Islam memang sudah merupakan bagian terpenting, terutama untuk menandingi pengaruh jampijampi Hindu dan Budha. Di samping itu, amalan tarekat ini juga digunakan untuk memerangi penjajah Belanda (Martin van Bruinessen., 1995: 214). Ada pula pengikut tarekat Qadiriyah yang menjadikan Abd Qadir al-Jilani menjadi tumpuan bagi para pencari ilmu kekebalan dan pelindung dari benda tajam. Segala kehebatan dan kekeramatannya selalu menjadi legenda yang diceritakan dari generasi ke generasi. Konsep
78
rabithah dalam ajaran tarekat juga perlu perhatian khusus di mana tauhid bisa berunah menjadi syirik. Konsep rabithah8 tersebut yaitu menghadirkan rupa syaikh ketika hendak berdzikir merupakan kegiatan atau ajaran yang rancu dan bisa menyebabkan syirik. Misalnya yang dijelaskan oleh Sri Mulyati dkk (2005: 111112), dalam suatu ajaran tarekat ada enam tata cara melakukan rabithah, yaitu: 1) Menghadirkan syaikh di depan mata dengan sempurna. 2) Membayangkan syaikh di kiri dan kanan, dengan memusatkan perhatian kepada rohaniah sampai terjadi sesuatu yang gaib. Apabila rohaniah mursyid yang dijadikan rabithah itu lenyap, maka murid dapat menghadapi peristiwa yang terjadi. Tetapi jika peristiwa itu lenyap, maka murid harus 8
Mengenai rabithah, yang artinya hubungan atau ikatan, dalam tarekat terbagi menjadi tiga rabithah, yaitu pertama;rabithah wajib adalah seperti yang terdapat pada waktu orang sembahyang menghadap ke Baitullah. Menghadapkan dada dan muka ke Baitullah itu wajib hukumnya, padahal yang disembah bukanlah Ka‟bah yang dihadapi itu, tetapi Allah semata. Ka‟bah hanya menjadi rabithah wajib. Kedua;rabithah sunnat. Seperti yang terdapat pada seorang ma‟mum, yang harus memandang kepada imamnya dalam sembahyang berjama‟ah. Sekali-kali tidak dimaksudkan berpaling kepada Allah. Ketiga;rabithah harus, diterangkan seperti melihat barangbarang yang baik pada waktu hendak mengerjakan yang baik pula. Murid diibaratkan orang buta yang harus mengikuti gurunya yang matanya melihat jelas. Sedangkan hakikat rabithah adalah bersahabat atau sebanyak mungkin dengan mursyid, dengan guru-guru yang pandai, yang hatinya selalu ingat kepada Allah, melihat kepada orang-orang yang demikian atau kasih sayang kepada orang-orang itu, tidaklah dimaksudkan memperhambakan diri kepadanya atau memperserikatkan dia dengan Allah. Tetapi ada tarekattarekat yang mengartikan rabithah itu menggambarkan rupa guru dalam kehendaknya kepada Allah (Abubakar Aceh., 1996: 104-105).
79
berhubungan dengan rohaniah syaikh kembali, sampai peristiwa yang dialami tadi atau peristiwa yang sama dengan itu muncul kembali. Demikianlah dilakukan murid berulang kali sampai ia fana‟ dan menyaksikan peristiwa gaib tanda kebesaran Allah. 3) Menghayalkan rupa syaikh di tengah-tengah dahi. Memandang rabithah di tengah-tengah dahi itu menurut kalanganntarekat lebih kuat dapat menolak getaran dan lintasan dalam hati yang melalaikan ingat kepada Allah. 4) Menghadirkan rupa syaikh di tengah-tengah hati. 5) Menghayalkan rupa syaikh di kening, kemudian menurunkannya ke hati. Menghadirkan rupa syaikh dalam bentuk ini agak sulit melakukannya, tetapi lebih berkesan. 6) Menafikan dirinya dan menetapkan keberadaan syaikh. Persoalan istighatsah juga mewarnai semakin hitamnya ajaran tarekat. Karena istighatsah dilaksanakan dalam rangka meminta pertolongan kepada syaikhnya. Selain itu pembacaan ratib seperti yang dilakukan penganut Samaniyah akan memberikan efek kesaktian dan kekebalan, sehingga banyak orang jahat yang mempraktekannya untuk tujuan yang tidak baik (Sri Mulyati dkk., 2005: 194). Kemudian dalam masalah wasilah mereka menggunakan perantara para nabi, auliya‟, sampai dukun-dukun juga ada yang dijadikan wasilah. Karena mereka semua dianggap orang-orang keramat. Kubur-kubur mereka juga dijadikan tempat pemujaan, tempat
80
berkhalwat, tempat pengaduan, tempat meminta pertolongan dan perlindungan (M. Yunan Nasution., 1988: 37-39). Sementara ada juga ajaran tarekat yang menyimpang dari ajaran aslinya, disebabkan karena akulturasi dengan budaya lokal. Misalnya pembaiatan yang dilakukan oleh Haji Jamaluddin. Dalam upacara pembaiatan itu mula-mula murid harus melaksanakan mandi suci di malam hari, dan dilanjutkan dengan tobat. Kemudian tubuh sang murid dibalut dengan kain kafan, dan ia tidur sebagaimana posisi mayat sampai dia mengalami kejadian yang gaib (Martin van Bruinessen., 1992: 214). Selain itu, ada yang terang-terangan memadukan antara ajaran tarekat dengan ajaran mistik tradisional, hipnotis, teosofi, seperti yang dilakukan Kadirun Yahya. Mereka mengaitkan wirid-wirid tarekat dengan magis, untuk kesaktian dan kekebalan tubuh. Sehingga perbedaan antara ajaran tarekat, perdukunan, dan ilmu kesaktian sangat tipis. Serta ada juga dalam tarekat, setelah berdzikir dan mengalami ekstase, para murid menyayat tubuhnya dengan pisau, menusuk tubuh mereka dengan paku dan besi runcing untuk membuktikan bahwa mereka semua sama sekali tak terluka. Ada pula yang mengamalkan dzikir diam yang digabung dengan latihan pernafasan dan wirid, digunakan sebagai sarana untuk mencapai daya tahan yang hebat, kekebalan terhadap senjata tajam, bahkan peluru (Martin van Bruinessen., 214-216). Selain itu menurut Hamka, paham wahdat al-wujud telah dibelokkan untuk kepentingan ilmu sihir. Pembelokan ke arah kepentingan ilmu
81
sihir ini makin menghebat gejalanya, jika didaerah Minangkabau terjadi kerusuhan sosial, seperti ketika terjadi pembangkangan terhadap peraturan belasting di Minangkabau yang pernah diberlakukan penjajah Belanda pada tahun 1908. Praktek-praktek kesufian ini nampaknya terus meluas ke dalam masyarakat dan cenderung menjadi keyakinan baru. Artinya, ilmu sihir yang dihasilkan dari pembelokan paham itu semakin lama semakin kental dan menguasai keadaan (Muhammad Damami., 2000: 121). Hal lain yang dirasakan sebagai hal yang melanda masyarakat muslim Minangkabau dalam hal agama adalah meluasnya pengalaman tarekat Naqsyabandiyah. Karena masyarakat telah begitu lekat dengan hal-hal yang sifatnya sihir, ilmu kebal, yang khariq al-adah, maka terjadilah sikap memuja-muja tokoh agama secara berlebihan, sampai tingkat kultus, dan kalau tokoh tersebut meninggal dunia maka makamnya menjadi tempat pemujaan roh tokoh agama tersebut. Akibatnya sangat umum, bahwa masyarakat muslim Minangkabau tatkala berziarah ke makam bukan lagi dimaksudkan untuk mendoakan yang telah meninggal atau mengingat peristiwa kematian yang mesti dialami setiap orang, melainkan untuk meminta berkah (Muhammad Damami., 2000: 122). Selain itu, tarekat Syattariyah sebagai saingan dari Naqsyabandiyah juga dipandang telah menyeleweng dari ajaran Islam. Menurut Karel A. Steenbrink (1984:174), bahwa Syattariyah pada umumnya tidak mementingkan segi syariat dan juga tidak
82
menekankan sekali kewajiban shalat lima waktu, dan lebih mengajarkan shalat permanen. Sebab terjadinya pengkultusan juga adanya konsep rabithah dan wasilah kepada mursyid. Sebagaimana keterangan di atas, menghadirkan rupa guru atau mursyid, seolaholah sang murid melihat seberkas cahaya dari diri sang mursyid. Teknik penghadirn rupa mursyid seperti ini menuntut adanya konsentrasi penuh terhadap apa yang diajarkan oleh sang mursyid, dan patuh dengan mursyid secara mutlak. Dan inilah yang menyebabkan terjadinya pengkultusan terhadap seseorang, dalam hal ini kepada sang mursyid. Lebih jauh dari itu, murid menganggap sang mursyid adalah segalanya. Kemudian muncullah konsep wasilah yang sebenarnya terjadi pada hampir semua tarekat (Mohammad Damami., 2000: 123). Di antara ahli tarekat itu ada yang berkata bahwa orang yang telah mengenal Allah (ma‟rifat), gugurlah dari dirinya tuntutan mengerjakan syariat. Dan katanya selanjutnya, di kalangan para wali itu ada yang lebih tinggi dan lebih mulia dibanding para nabi dan rasul. Kata mereka, barang siapa telah mencapai ke puncak kewalian itu, gugurlah syariat dari dirinya (Hamka., 2005b: 206). Kemudian terjadi kagum melihat kemajuan rohaniah yang dicapai seorang yang dianggap wali, lalu timbullah putus asa atas kesanggupan diri sendiri menuju langsung kepada Allah. Doa-doa, munajat, dan dzikir yang diajarkan nabi Muhammad tidak begitu diperdulikan lagi. Yang lebih penting adalah tawassul dan wasilah, serta rabithah. Yaitu
83
berjalan menuju Allah dengan perantara guru. Menghadirkan guru dalam ingatan seketika memulai dzikir. Akhirnya menuju guru di kala hidupnya dan menuju kuburnya setelah mati. Sehingga hilanglah kebebasan murid yang tadinya telah diciptakan karena tauhid, dan terikatlah dia kepada guru dan wali, ditambah lagi dengan kesan pada lapangan yang lain. Dan timbullah ajaran wajib taqlid, dan haram bebas (Hamka., 2005b: 204). b. Tanggapan Hamka Kritik Hamka terhadap tarekat bermula dari Ahmad Khatib Minangkabau yang mengkritisi tarekat di Minangkabau terutama tarekat yang berkembang pesat di sana yaitu Naqsyabandiyah. Ahmad Khatib mengkritisai tentang khalwat dan suluk, keduanya bukanlah ajaran nabi Muhammad. Khalwat dan suluk yang memasukkannya ke dalam tarekat adalah Syaikh Khalid Kurdi. Sedangkan khatam khaujaqan yang memasukkannya adalah Syaikh Abdul Khaliq alFajduani. Dan semuanya itu adalah bid‟ah. Ahmad khatib juga mengkritisi tentang silsilah; dia tidak membenarkan silsilah yang ada pada tarekat Naqsyabandiyah. Menurutnya silsilah tersebut tidak dari dan sampai nabi Muhammad. Dengan alasan, bahwa Ja‟far Shadiq (w. 148 H) langsung diberikan kepada Abu Yazid alBusthami (188-261 H). Kemudian juga praktek suluk yang mengharamkan makan daging, adalah selundupan dari agama Kristen yang tidak mempunyai dasar. Juga tentang masalah rabithah, sangat ditentangnya.
84
Pada waktu itu, istilah wali dan karamahnya menjadi ternd dalam dunia tarekat. Para wali dianggap orang paling suci, bahkan disejajarkan dengan para nabi, bahkan derajatnya ada yang melebihi nabi. Dalam hal itu , Hamka dalam bukunya berpendapat (1978: 183), “pasal mu‟jizat rasul ditopangi oleh penganut tasawuf untuk membenarkan keramat para wali. Lalu dimasukkan pula ke dalam ilmu kalam sebagai tambahan dari soal mu‟jizat, sehingga harus diterima pula sebagai dasar kepercayaan. Selanjutnya paham keramat para wali disejajarkan dengan mu‟jizat para nabi. Lamalama penuhlah dikitab-kitab sufi yang terakhir cerita-cerita keramat wali yang wajib dipercayai. Meskipun keramat para wali itu tidak mendapat kesaksian dari orang banyak dan tidak dituliskan oleh al-Qur‟an. Praktek penghormatan yang berlebihan terhadap wali adalah menjadi pokok ajaran dalam tarekat-tarekat. Mereka menganggap bahwa, para wali dapat berhubungan dengan alam gaib, dengan dunia rohani, dengan malaikat dan jin. Sedangkan ajaran tauhid memang meyakini adanya waliyullah, namun yang dimaksud wali menurut Hamka (2005b: 203) adalah orang-orang yang karena kesungguhannya mengadakan mujahadah, riyadhah, dzikir, taubat, tawakkal, ikhlas, sabar dan sebagainya. Mereka juga membuktikan imannya dengan amal shaleh. Orang-orang tersebut telah menempuh beberapa perjuangan hidup dan akan diberi Allah kekebalan jiwa. Wali yang benar secara syariat adalah siapa saja tidak pilih-pilih, sebab agama
85
Islam adalah agama untuk semua orang. Jadi semua orang bisa saja menjadi waliyullah, bukan hanya orang yang luar biasa saja, Hamka mengutip ayat al-Qur‟an yang artinya “Yang semulia-mulia kamu di sisi Allah, ialah yang setakwa-takwa kamu” (Hamka, 2005b: 104-105). Akan tetapi, dalam realitasnya muncul kepercayaan tentang wali berikut keramatnya, yang kemudian lahir wisata spiritual ke makammakam wali untuk “ngalap berkah”, dan terjadilah kultus yang berlebihan sebagaimana yang dikembangkan oleh aliran-aliran tarekat. Hamka juga menolak setiap ide tentang keistimewaan guru tarekat atau wali sebagai perantara (wasilah) dalam berhubungan dengan Allah, sebagaimana yang dikembangkan oleh aliran-aliran tarekat. Hamka menegaskan bahwa, bagi orang muslim hanya ada satu jalan dalam berhubungan dengan Tuhannya, yaitu menyerahkan langsung urusannya, hidup matinya hanya kepada Allah semata (Hamka., 1984a: 224225). Hamka juga menegaskan untuk berusahalah sendiri dan jangan mengharapkan orang lain. Di dalam agama berkali-kali diterangkan, bila terjadi perhitungan di akhirat esok, tiap-tiap manusia akan ditanyai buah usaha dan amalannya sendirisendiri. Tidak ada advokat yang sanggup menolong. Tidak ada hubungan turunan yang berpengaruh (Hamka., 1984b: 247). Dalam artian lain, Hamka menegaskan untuk tidak taqlid buta. Atau sepenuhnya berasal, terikat, dan disandarkan kepada orang lain dalam arti guru atau wali.
86
Hamka juga mengajarkan untuk taat dan patuh terhadap ajaran nabi Muhammad. Bukan terhadap para wali, kemudian mengesampingkan ajaran nabi. Menurutnya, memang bahwa nabi itu hanyalah seorang biasa seperti kita juga, tetapi beliau diberi kelebihan dan keutamaan, sehingga berbeda dengan manusia biasa. Akalnya dituntun dengan wahyu, sebab itu akalnya tidak sama dengan akal manusia biasa. Orang muslim juga tunduk dan patuh segala perintahnya, sebab segala perintahnya itu datang dari Tuhan, menjauhi apa yang dilarangnya, percaya segala yang dibawanya, siarkan pengajarannya dan sampaikan serta luaskan syariatnya ke seluruh bumi, pegang teguh-teguh ilmu yang ditinggalkannya; karena dia diutus ke dunia untuk menyempurnakan budi pekerti (Hamka., 2005a: 134). Barang siapa yang durhaka kepada nabi, maka durhaka kepada Tuhan, sebab perintah nabi itu berasal dari Tuhan. Dan kalau nabi menjatuhkan hukuman, wajiblah hukumannya itu dijunjung tinggi (Hamka., 1984b:131). Selain itu, Hamka juga menganjurkan untuk bertauhid yang sesungguh-sungguhnya. Artinya, harus ikhlas kepada Allah; hanya semata-mata percaya kepada-Nya, Dia tidak boleh dipersekutukan dengan yang lain, pada zat, sifat, dan pada kekuasan-Nya. Hadapkan kepadaNya segala sifat-sifat kesempurnaan yang penuh, hindarkan dari persangkaan sifat-sifat kekurangan. Taat mengikuti perintah-Nya, jauhi segala larangan-Nya, dan jangan durhaka kepadaNya. Cinta kepada segala sesuatu karena Dia, benci kepada sesuatu yang dibenci-Nya, berteman
87
kepada orang yang taat kepada-Nya, bermusuh dengan orang yang melawan Dia. Lawan orang yang kafir kepada-Nya, akui nikmat dan kebesaran-Nya, syukuri segala pemberian-Nya, sabar di atas cobaan yang ditimpakan-Nya. Seru dan mohon pertolongan-Nya di waktu kesempitan dan pujilah Dia di waktu lapang. Cinta sesama manusia, bukan lantaran mereka manusia saja, tetapi lantaran mereka itu makhluk Allah (Hamka., 2005a: 132).
88