BAB III ANALISIS HAK MEMPEROLEH BANTUAN HUKUM BAGI TERSANGKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 56 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (STUDI KASUS DI POLDA JABAR)
A. Hak Memperoleh Bantuan Hukum Bagi Tersangka Dalam Proses Penyidikan Di Polda Jabar Dikaitkan Dengan Pasal 56 KUHAP 1. Pelaksanaan Hak Memperoleh Bantuan Hukum Di Polda Jabar Dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Polda Jabar, pemberian bantuan hukum bagi tersangka yang diancam dengan hukuman mati atau 15 (lima belas) tahun atau lebih, atau bagi mereka yang diancam 5 (lima) tahun penjara atau lebih dan tidak mampu membayar jasa hukum seorang advokat, telah diusahakan diberikan. Usaha pemberian bantuan hukum bagi tersangka yang dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal (Ditreskrim) Polda Jabar dilakukan melalui berbagai tahapan yaitu:75 a. Memberitahukan Tersangka Tentang Haknya Untuk Memperoleh Bantuan Hukum (Miranda Warning) Sebelum
memulai
melakukan
pemeriksaan
terhadap
tersangka yang diancam dengan pidana mati atau 15 (lima belas
75
Hasil wawancara tertulis dengan Bapak Dedi Budiyana, Penyidik dari Direktorat Reserse Kriminal Polda Jabar 14 November 2011.
48
49
tahun) atau lebih atau bagi tersangka yang masuk dalam kategori tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun, maka penyidik di Polda Jabar terlebih dahulu akan menanyakan mengenai ada tidaknya penasihat hukum yang akan mendampingi tersangka selama proses penyidikan. Jika tidak, penyidik akan menanyakan kembali apakah tersangka akan menggunakan penasihat hukum atau tidak lalu kemudian memberitahukan tersangka mengenai haknya untuk memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma. b. Bekerjasama Dengan Pos Bantuan Hukum Dan Lembaga Advokat Lainnya Dalam usahanya menyediakan penasihat hukum bagi tersangka sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 56 KUHAP, Polda Jabar bekerjasama dengan Pos Bantuan Hukum Dewan Pimpinan
Cabang
Ikatan
Advokat
Indonesia
Bandung
(POSBAKUM DPC IKADIN BANDUNG) yang berada di Pengadilan
Negeri
Bandung.
Selain
bekerjasama
dengan
POSBAKUM DPC IKADIN BANDUNG, Polda Jabar juga bekerjasama dengan beberapa kantor hukum lain seperti Yopi Gunawan, S.H. & Associates yang merupakan anggota dari salah satu lembaga advokat di Indonesia yaitu Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) dan kantor hukum Kristandar, S.H. & Associates. Tata cara dalam meminta bantuan hukum kepada beberapa kantor hukum diatas, dilakukan dengan cara sebagai berikut:
50
1) Penyidik dari Ditreskrim Polda Jabar mengirimkan surat permohonan penunjukan penasihat hukum kepada salah satu kantor hukum yang akan dimintai bantuan hukumnya. Surat tersebut berisi permohonan bantuan secara cumacuma untuk dapat mendampingi tersangka/para tersangka selama proses pemeriksaan. 2) Surat permohonan tersebut disertai dengan surat laporan polisi yang antara lain berisi: a) Nama pelapor; b) Hal yang dilaporkan, yaitu waktu kejadian, tempat kejadian, hal yang terjadi, nama terlapor (tersangka), nama saksi-saksi, dan tanggal pelaporan; c) Tindak pidana yang dilakukan tersangka; d) Barang bukti; e) Uraian singkat kejadian dan; f) Tindakan yang telah diambil kepolisian. 3) Setelah menerima surat permohonan penunjukan penasihat hukum yang diajukan oleh Direktorat Reserse Kriminal Polda Jabar, kantor hukum yang bersangkutan akan mengirimkan salah satu atau beberapa advokatnya untuk mendampingi tersangka/para tersangka dan kemudian bersama tersangka para advokat tersebut membuat surat penunjukan penasihat hukum yang ditandatangani oleh tersangka dan para advokat yang telah ditunjuk. Dengan
51
adanya surat penunjukan penasihat hukum tersebut maka secara sah tersangka telah mempunyai penasihat hukum yang akan mendampinginya. c. Dana Khusus Bagi Penyelenggaraan Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Dalam menjalankan kewajibannya untuk menyediakan penasihat hukum secara cuma-cuma bagi tersangka yang diancam dengan pidana diatas 5 (lima) tahun, tentunya masih tetap memerlukan biaya demi terlaksananya pemberian bantuan hukum tersebut. Oleh sebab itu Polda Jabar telah mengalokasikan dana khusus bagi pembiayaan bantuan hukum cuma-cuma. Dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Untuk mendapatkan dana tersebut ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh Polda Jabar terlebih dahulu. Pertama, seluruh satuan kerja Direktorat di Polda Jabar mengadakan rapat perencanaan untuk menyusun
anggaran
perencanaan bagi pelaksanaan kegiatan penyidikan di Polda Jabar, karena seluruh kegiatan yang akan dilaksanakan Polda Jabar harus berdasarkan
apa
yang
tertera
pada
anggaran.
Anggaran
perencanaan ini dibuat untuk jangka waktu satu tahun. Kedua, melalui Biro Perencanaan dan Pengembangan (Rorenbang), anggaran perencanaan tersebut dikirimkan ke Markas Besar Polisi Republik Indonesia (MABES POLRI) kemudian MABES POLRI mengirimkannya ke Badan Pembendaharaan Keuangan Negara
52
(BPKN). Ketiga, setelah disetujui, dana tersebut diberikan ke MABES POLRI terlebih dahulu untuk kemudian diserahkan ke Polda Jabar. Setiap dana yang digunakan harus dituliskan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) karena apabila ada kelebihan dana yang diberikan oleh pemerintah, maka dana tersebut harus segera dikembalikan. Dari dana APBN yang diberikan pemerintah, Ditreskrim Polda Jabar rata-rata mendapatkan Rp. 115.000.000 (seratus lima belas juta rupiah) setiap bulannya. Dana tersebut digunakan bagi seluruh kegiatan pelaksanaan yang dilakukan oleh Ditreskrim Polda Jabar, termasuk bagi kegiatan pemberian bantuan hukum bagi tersangka. Dana bagi pemberian bantuan hukum cuma-cuma masuk dalam dana penyidikan Ditreskrim Polda Jabar. Dana yang diberikan bagi pemberian bantuan hukum cuma-cuma adalah sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) bagi setiap pengacara. Mengenai jumlah total yang diberikan bagi pemberian bantuan hukum tidak ditetapkan karena jumlah yang diberikan tergantung pada banyaknya jumlah dana yang tersisa.76 Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat beberapa tahapan yang telah dilakukan oleh penyidik dari Ditreskrim Polda Jabar dalam usahanya menyediakan bantuan hukum cuma-cuma bagi tersangka, akan tetapi dalam usahanya tersebut penyidik masih mengalami beberapa kendala
76
Ibid,
53
yang menyebabkan pemberian bantuan hukum belum dapat terlaksana sepenuhnya. Adapun kendala yang dihadapi oleh penyidik di Polda Jabar disebabkan oleh dua faktor, yaitu:77
1) Faktor Yang Berasal Dari Instansi Polda Jabar Faktor ini merupakan kendala yang berasal dari instansi Polda Jabar sendiri. Kendala tersebut terbagi menjadi dua, yaitu: a) Minimnya Anggaran Bantuan hukum dalam Pasal 1 angka (9) UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat adalah “Jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu”. Berdasarkan Pasal tersebut dapat terlihat bahwa seseorang yang tidak mampu dapat meminta bantuan hukum dari seorang advokat tanpa mengeluarkan biaya sama sekali. Selain itu, dalam Pasal 56 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa “Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.” Berdasarkan Pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa seharusnya
pemberian
bantuan
hukum
bagi
tersangka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP tidak memerlukan biaya apapun. Namun dalam kenyataannya seorang 77
Ibid,
54
advokat masih tetap meminta pembayaran, pembayaran ini ditujukan untuk pembayaran jasa mereka dan untuk membiayai biaya operasional mereka, seperti biaya transportasi, biaya makan, dan biaya-biaya lain yang harus keluarkan diluar biaya jasa mereka. Dana untuk membiayai para advokat tersebut tentunya bukan berasal dari tersangka, melainkan dari pemerintah. Hal ini dikarenakan
adanya
kewajiban
bagi
pemerintah
untuk
menyediakan penasihat hukum bagi tersangka sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 56 KUHAP. Namun, dana yang disediakan pemerintah belum mencukupi untuk pembiayaan pelaksanaan bantuan hukum cuma-cuma. Hal ini dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara besarnya jumlah kasus yang ditangani Polda Jabar yang membutuhkan bantuan hukum dengan minimnya anggaran yang tersedia. b) Kelalaian Penyidik di Polda Jabar Kendala kedua yang berasal dari instansi Polda Jabar sendiri adalah berupa kelalaian penyidik dalam memberitahukan tersangka mengenai haknya untuk memperoleh bantuan hukum cuma-cuma. Menurut Dedi Budiyana, penyidik dari Ditreskrim Polda Jabar, kelalaian penyidik dalam memberitahukan tersangka mengenai haknya untuk memperoleh bantuan hukum biasanya dilakukan oleh aparat penyidik yang baru memulai kariernya sebagai seorang penyidik.
55
2) Faktor Yang Berasal Dari Tersangka Selain faktor yang berasal dari instansi, faktor yang berasal dari tersangka juga menjadi kendala dalam usaha pemberian bantuan hukum bagi tersangka. Kendala ini berupa penolakan tersangka untuk menggunakan penasihat hukum. Alasan penolakan tersangka untuk menggunakan penasihat hukum, disebabkan oleh beberapa hal antara lain: a) Latar Belakang Pendidikan Masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat akan menyebabkan terbatasnya pula pengetahuan mereka. Sebagian besar tersangka yang ditangani oleh Polda Jabar adalah masyarakat yang masuk dalam golongan berpendidikan rendah, bahkan ada diantara mereka yang buta huruf. Rendahnya
tingkat
pendidikan
para
tersangka
menyebabkan terbatasnya pengetahuan mereka mengenai hakhaknya, terutama haknya untuk memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma. Sehingga ketika seorang tersangka ditanya oleh penyidik mengenai apakah akan menggunakan penasihat hukum atau tidak, maka tersangka akan langsung menolak dan mengatakan tidak akan menggunakan seorang pengacara. Faktor Ekonomi (kemiskinan) Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa barat menunjukkan bahwa banyak penduduk di Jawa Barat hidup dalam kemiskinan. Jumlah penduduk miskin (penduduk
56
yang berada dibawah garis kemiskinan) di Jawa Barat pada bulan Oktober 2011 sebesar 4.983.570 (11.96 persen).78 Banyaknya
masyarakat
miskin
di
Jawa
Barat
akan
menyebabkan meningkatnya tingkat kriminalitas di Jawa Barat. Oleh sebab itu, banyak tersangka yang ditangani oleh Polda Jabar yang berasal dari masyarakat miskin atau tidak mampu. Para
tersangka
yang
berasal
dari
golongan
masyarakat miskin atau tidak mampu ini tentunya tidak mau menggunakan pengacara untuk membelanya. Mereka khawatir mengenai besarnya biaya yang akan mereka keluarkan untuk membayar jasa seorang pengacara. Sebagai contoh dalam perkara tindak pidana perjudian dengan tersangka Ida Farida. Tersangka mengaku menolak untuk menggunakan penasihat hukum dikarenakan tersangka khawatir akan besarnya jumlah biaya yang akan ia keluarkan jika menggunakan seorang penasihat hukum sedangkan pekerjaan tersangka hanyalah sebagai pemilik sebuah warung internet kecil.
b) Rasa Bersalah Setiap manusia tentunya memiliki hati nurani, begitu pula dengan seorang tersangka. Seorang tersangka 78
Berita Resmi Statistik Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Tingkat Kemiskinan Jawa Barat Oktober 2011 www.bpsjabar.com yang diunduh pada tanggal 8 Oktober 2011, pada pukul : 15.48 WIB.
57
tetaplah manusia yang memiliki hati nurani, hal inilah yang seringkali membuat seorang tersangka merasa bersalah dan menyesali setiap kesalahan yang pernah dilakukannya. Rasa bersalah yang dirasakan oleh tersangka inilah yang
membuat
seorang tersangka
merasa
tidak
perlu
didampingi oleh seorang penasihat hukum dan menerima segala hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya tanpa adanya pembelaan.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa kendala yang dihadapi aparat penyidik dalam usahanya memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada tersangka disebabkan oleh 2 (dua) faktor, yaitu faktor yang berasal dari instansi dan faktor yang berasal dari tersangka. Apabila kendala tidak terlaksananya pemberian bantuan hukum berasal dari tersangka, yaitu berupa penolakan tersangka untuk didampingi oleh penasihat hukum, maka seorang tersangka harus menandatangani suatu surat pernyataan penolakan untuk didampingi oleh penasihat hukum. Surat pernyataan penolakan pendampingan penasihat hukum tersebut antara lain berisi: (1) identitas tersangka; (2) pernyataan tersangka yang menyatakan untuk sementara tidak akan menggunakan haknya untuk didampingi oleh penasihat
58
hukum dan akan menghadapi proses pemeriksaan seorang diri dan; (3) tandatangan tersangka di atas materai Rp. 6000 (enam ribu rupiah). Surat pernyataan penolakan pendampingan penasihat hukum ini akan dimasukkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka. Dengan adanya surat ini maka penyidik merasa telah terlepas dari kewajibannya untuk menyediakan penasihat hukum bagi tersangka karena menurutnya hak untuk memperoleh sejajar dengan hak untuk menolak.79 2. Penanganan Kendala Dalam Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Pasal 56 KUHAP Permasalahan-permasalahan
atau
kendala-kendala
dalam
pemberian bantuan hukum dalam perkara tindak pidana diatas 5 (lima ) tahun sebagaimana telah diuraikan sebelumnya di atas pada dasarnya terjadi karena adanya kekurangan dalam ketentuan Pasal 56 UndangUndang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Penanganan atas kendala yang dihadapi tersebut dapat dilakukan antara lain sebagai berikut: a. Mengenai sanksi yang dapat dikenakan kepada penyidik apabila lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk menyediakan bantuan hukum bagi tersangka; Dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP dikatakan bahwa :
79
Ibid,.
59
“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan
dalam
proses
peradilan
wajib
menunjuk penasihat hukum bagi mereka”. Berdasarkan bunyi Pasal di atas, dapat diketahui bahwa terdapat kewajiban bagi aparat penegak hukum pada semua tingkat proses pemeriksaan untuk menyediakan penasihat hukum bagi tersangka yang telah memenuhi syarat untuk diberikan bantuan hukum. Akan tetapi, kewajiban tersebut tidak diimbangi dengan adanya sanksi bagi aparat penegak hukum apabila tidak memenuhi kewajibannya. Dengan ketiadaan sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi administratif, menyebabkan kewajiban ini sering diabaikan oleh aparat penegak hukum. Pemecahan permasalahan ini tentunya dapat dilakukan dengan sesegera mungkin menetapkan mengenai sanksi bagi aparat penegak hukum apabila dengan sengaja tidak menyediakan penasihat hukum atau merekayasa sedemikian rupa sehingga tersangka atau terdakwa tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh bantuan hukum padahal tersangka atau terdakwa telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHAP
60
yaitu melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana diatas 5 tahun. b. Mengenai sanksi yang dapat dikenakan kepada advokat, apabila lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada tersangka; Dalam Pasal 56 ayat (2) KUHAP dinyatakan bahwa “Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cumacuma”. Berdasarkan ketentuan di atas diketahui bahwa bantuan hukum yang diberikan oleh penasihat hukum yang telah ditunjuk haruslah cuma-cuma dan tanpa pemungutan biaya apapun. Namun, dalam praktiknya masih banyak advokat yang masih meminta biaya dalam memberikan bantuan hukumnya kepada tersangka. Selain itu adapula advokat yang mendampingi tersangka hanya secara formal saja guna menjalankan kewajibannya sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 56 KUHAP. Akan tetapi, secara materil advokat tersebut tidak pernah mendampingi tersangka selama proses penyidikan. Sekali lagi, masalah ini timbul dikarenakan tidak adanya ketentuan dalam Pasal 56 KUHAP yang mengatur mengenai sanksi yang dalam hal ini adalah sanksi bagi advokat yang tidak memberikan bantuan hukumnya secara cuma-cuma maupun sanksi bagi advokat yang telah ditunjuk oleh penyidik, namun menolak untuk mendampingi tersangka. Hal ini tentunya
61
menjadi hambatan bagi terlaksananya pemberian bantuan hukum bagi tersangka. Advokat akan dengan mudahnya mengabaikan kewajibannya karena tidak ada sanksi yang akan menjeratnya apabila ia lalai dalam menjalankan kewajibannya tersebut. Apabila sanksi atas pelanggaran kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada tersangka tidak dapat dicantumkan dalam Pasal 56 KUHAP, maka dapat digunakan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2009 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma untuk mengatasi permasalahan yang timbul berkenaan dengan pemberian bantuan hukum cuma-cuma dan memberikan sanksi terhadap para advokat yang lalai dalam menjalankan kewajibannya. Ketentuan
diatas
dapat
mengatasi
permasalahan-
permasalahan mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh advokat berkenaan dengan pemberian bantuan hukum cuma-cuma, antara lain sebagai berikut: 1) Mengenai advokat yang hanya menjalankan kewajibannya memberikan bantuan hukum cuma-cuma secara formal, akan tetapi secara materil tidak pernah mendampingi tersangka selama proses pemeriksaan; Permasalahan mengenai hal ini telah diatur dalam Pasal 10 PP No. 83 Tahun 2008 menyatakan bahwa:
62
“Advokat dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma harus memberikan perlakuan yang sama dengan pemberian bantuan hukum yang dilakukan dengan pembayaran honorium”. 2) Mengenai Advokat yang menolak memberikan bantuan hukumnya secara cuma-cuma; Larangan penolakan advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma diatur dalam Pasal 12 ayat (1) PP No. 83 Tahun 2008 yang berbunyi “Advokat dilarang menolak permohonan bantuan hukum secara cuma-cuma”. Kemudian mengenai terjadinya penolakan yang dilakukan oleh advokat diatur dalam Pasal 12 ayat (2) yang berbunyi : “Dalam
hal
terjadi
penolakan
permohonan
pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1),
pemohon
dapat
mengajukan
keberatan kepada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum yang bersangkutan”. 3) Mengenai masih adanya advokat yang meminta pembayaran meskipun advokat tersebut telah dimintai bantuan hukumnya secara cuma-cuma; Permasalahan mengenai hal ini pun telah diatur dalam Pasal 13 PP no. 83 Tahun 2008 yang berbunyi “Advokat dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-
63
cuma dilarang menerima atau meminta pembayaran dalam bentuk apapun dari pencari keadilan”. 4) Mengenai
sanksi
yang
pelanggaran-pelanggaran
dapat
dikenakan
terhadap
yang dilakukan oleh advokat
berkenaan dengan pemberian bantuan hukum cuma-cuma; Pelanggaran-pelanggaran
sebagaimana
telah
diuraikan diatas dapat dikenakan Pasal 14 ayat (1) dan (2) PP No. 83 Tahun 2008 yang antara lain berbunyi : (1) Advokat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 dijatuhi sanksi oleh Organisasi Advokat. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; c. pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan berturut-turut; atau d. pemberhentian tetap dari profesinya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh advokat dalam menjalankan kewajibannya dimasukkan dalam kategori pelanggaran terhadap kode etik advokat, hal ini terlihat dari penentuan penjatuhan sanksi yang diserahkan kepada organisasi advokat yang bersangkutan.
64
Berkenaan dengan hal ini, pada dasarnya penulis tidak sependapat karena pelanggaran yang dilakukan adalah pelanggaran terhadap undang-undang yang dalam hal ini adalah pelanggaran terhadap Pasal 56 KUHAP. Maka, seharusnya penjatuhan sanksi kepada advokat dilakukan oleh negara dengan pemberian sanksi berupa sanksi pidana. Hal di atas pada dasarnya terjadi karena sampai saat ini masih belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum. Saat ini ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai pemberian bantuan hukum cuma-cuma hanya diatur melalui Peraturan Pemerintah, yakni dalam PP No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma. Pengaturan melalui Peraturan Pemerintah saja tentunya tidak cukup, perlu adanya jaminan yang tegas tentang akses untuk dapat dibela oleh Advokat dan diberikan bantuan hukumnya secara cuma-cuma. Oleh sebab itu, pembentukan UU Bantuan Hukum mutlak diperlukan. Penulis berharap agar RUU Bantuan Hukum ini dapat segera disahkan karena dengan adanya UU Bantuan Hukum dapat memberikan
jaminan
bagi
setiap
warga
negara
masyarakat miskin termasuk tersangka atau terdakwa
terutama untuk
mendapatkan bantuan hukum. c. Mengenai pemberian bantuan hukum, apabila tersangka menolak untuk menggunakan penasihat hukum;
65
dapat dilihat beberapa kendala dalam pemberian bantuan hukum disebabkan tersangka menolak untuk menggunakan penasihat hukum. Apabila tersangka menolak untuk menggunakan penasihat hukum, maka tersangka hanya tinggal menandatangani surat pernyataan penolakan untuk menggunakan penasihat hukum yang telah disediakan oleh penyidik. Dengan ditandatanganinya surat peryataan tersebut, maka penyidik merasa telah terlepas dari kewajibannya untuk menyediakan penasihat hukum bagi tersangka, karena menurutnya hak memperoleh sejajar dengan hak menerima. Mengenai hal di atas, patut dipertanyakan apakah benar dengan adanya surat pernyataan penolakan yang ditandatangani oleh tersangka berarti secara otomatis penyidik telah terlepas dari kewajibannya untuk menyediakan penasihat hukum bagi tersangka. Selain itu, bagaimanakah kekuatan hukum dari surat pernyataan penolakan pendampingan penasihat hukum ini, mengingat perintah mengenai kewajiban pendampingan penasihat hukum bagi tersangka dengan ancaman pidana mati atau ancaman pidana 15 (lima belas) tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun, diperintahkan langsung oleh undang-undang dalam Pasal 56 KUHAP. Namun, tidak terdapat ketentuan tegas dan memadai mengenai hal ini. Menurut penulis, penolakan tersangka untuk menggunakan penasihat hukum tidak menggugurkan kewajiban penyidik atau pejabat pada setiap tingkat pemeriksaan dalam sistem peradilan
66
pidana untuk menyediakan penasihat hukum, melainkan kewajiban tersebut tetap melekat terhadap penyidik maupun para pejabat tersebut untuk menunjuk penasihat hukum guna mendampingi tersangka selama proses pemeriksaan.
B. Akibat Hukum Yang Timbul Sehubungan Dengan Tidak Diterapkannya Pasal 56 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP Bantuan hukum adalah instrumen penting dalam Sistem Peradilan Pidana karena merupakan bagian dari perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya terhadap hak atas kebebasan dan hak atas jiwa-raga.80 Penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa pemberian bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa sejak proses penyidikan hingga proses persidangan bertujuan agar proses pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa dapat berjalan secara adil (fair) dan terbuka sehingga hak asasi tersangka atau terdakwa dapat terlindungi, terutama dalam proses penyidikan. Kehadiran seorang penasihat hukum untuk mendampingi tersangka selama proses penyidikan dapat menghindarkan tersangka dari penggunaan kekerasan yang berupa penyiksaan dan pemaksaan yang dilakukan oleh penyidik dalam usahanya memperoleh pengakuan dan keterangan dari tersangka. Hak tersangka atau terdakwa untuk memperoleh bantuan hukum dikenal luas dengan istilah Miranda Rule atau Miranda Principle. Miranda Rule adalah hak-hak konstitusional yang dimiliki tersangka atau terdakwa yang meliputi hak untuk tidak menjawab atas pertanyaan pejabat bersangkutan dalam proses 80
O.C. Kaligis, op.cit., hlm. 237.
67
peradilan pidana dan hak untuk didampingi atau dihadirkan penasihat hukum sejak dari proses penyidikan sampai dan/atau dalam semua tingkat proses peradilan. Miranda Rule adalah merupakan hak konstitusional yang bersifat universal dihampir semua negara yang berdasarkan hukum. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum pada dasarnya sangat menghormati Miranda Rule. Komitmen terhadap penghormatan Miranda Rule dibuktikan dengan Miranda Rule ke dalam sistem Hukum Acara Pidana yaitu sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP.81 Salah satu tujuan pokok yang hendak dicapai atas penegakan Pasal 56 ayat (1) KUHAP adalah agar terjaminnya proses peradilan yang adil (fair) dan menjunjung tinggi HAM.82 Namun dalam praktiknya, penegakan Pasal 56 KUHAP belum dapat terlaksana sepenuhnya.83 Hal ini dikarenakan kendalakendala yang telah Penulis uraikan sebelumnya di atas. Tidak diterapkannya Pasal 56 KUHAP merupakan suatu pelanggaran terhadap undang-undang, suatu pelanggaran terhadap undang-undang tentunya akan menimbulkan suatu akibat hukum. Guna mengetahui akibat hukum yang timbul terhadap suatu proses penyidikan yang disebabkan kelalaian penyidik dalam memberikan bantuan hukum kepada tersangka sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 56 KUHAP, dapat kita lihat dalam salah satu putusan Mahkamah Agung No. 1565 K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993. Dalam kasus ini, proses pemeriksaan pada tingkat
81
Sofyan Lubis dalam Miranda Rule Dalam KUHAP, op.cit. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 237. 83 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Penulis di 82
Jabar.
Ditreskrim Polda
68
penyidikan melanggar Pasal 56 ayat (1) KUHAP, yakni penyidikan berlanjut terhadap tersangka tanpa didampingi oleh penasihat hukum. Pelanggaran ini dijadikan alasan kasasi, dan dibenarkan oleh peradilan tingkat kasasi, yang menyatakan : “Apabila syarat-syarat penyidikan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima”. Berdasarkan putusan di atas, maka dapat diketahui mengenai akibat hukum yang akan timbul sehubungan dengan diabaikannya Pasal 56 ayat (1) KUHAP, yaitu penyidikan yang telah dilakukan menjadi tidak sah (illegal) atau batal demi hukum (null and void). Sejalan dengan hal di atas, penulis memiliki pendapat yang sama mengenai putusan tersebut karena sekalipun tidak terdapat ketentuan yang secara tegas memuat mengenai akibat hukum yang akan timbul sehubungan dengan tidak diterapkannya Pasal 56 KUHAP, namun seorang hakim wajib menggali nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat sebagaimana diatur pula dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalik bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
69
Ada beberapa metode
yang dapat
dilakukan dalam melakukan
penemuan/penafsiran hukum. Dalam hal ini penulis berpendapat untuk menggunakan metode penafsiran teologis (sosiologis) yaitu suatu metode yang menafsirkan mengenai apa yang menjadi maksud dan tujuan suatu ketentuan atau undang-undang dibentuk. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa salah satu tujuan pokok yang hendak dicapai atas penegakan Pasal 56 ayat (1) KUHAP adalah agar terjaminnya proses peradilan yang adil (fair) dan menjunjung tinggi HAM. Kewajiban pemberian bantuan hukum dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa agar terhindar dari tindakan sewenang-wenang yang mungkin akan dilakukan oleh aparat penegak hukum dikarenakan besarnya kekuasaan yang diberikan kepadanya. Maka, apabila ketentuan Pasal ini dilanggar maka tujuan undang-undang ini untuk melindungi tersangka tidak tercapai. Sehingga terhadap pelanggarannya akan menimbulkan suatu akibat hukum. Namun, patut disayangkan bahwa sampai saat ini belum ada aturan maupun putusan hakim yang secara tegas memberikan sanksi bagi aparat penegak hukum yang mengabaikan Pasal 56 KUHAP. Jadi sampai saat ini belum ada akibat hukum bagi aparat penegak hukum yang tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana diperintahkan oleh undang-undang dalam Pasal 56 KUHAP. Hal inilah yang menjadi kendala besar dalam penegakan Pasal 56 KUHAP, karena tanpa adanya sanksi ataupun akibat hukum bagi aparat penegak
70
hukum maka selamanya akan sulit untuk merealisasikan pemberian bantuan hukum cuma-cuma yang ditujukan bagi perlindungan terhadap hak-hak tersangka sebagaimana dicita-citakan oleh undang-undang di negara kita. Hal di atas seharusnya menjadi pertimbangan bagi para pembuat undangundang, karena sia-sia menciptakan suatu hukum atau aturan tanpa adanya sanksi bagi pelanggaran atas kelalaian penegakannya. Tanpa adanya penegakan hukum, maka hukum itu tidak akan pernah berfungsi.