BAB II TUNJAUAN PUSTAKA
A.
Anak 1. Anak sebagai Pelaku tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 butir 1 merumuskan bahwa: Anak adalah orang yang dalam perkara Anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dari rumusan yang telah ada tersebut, Wagiati Soetodjo menyatakan bahwa pembentuk undang-undang telah mempunyai ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak di bawah umur, sehingga berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan khusus bagi kepentingan psokologi anak.1 Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig / person under age), orang yang dibawah umur/keadaan dibawah umur (minderjarig heid / inferiority) atau biasa disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarige under voordij). Kemudian jika dilihat
1
Wagiati Soetodjo, Oo.Cit. hal. 5
18
dari peraturan perundang-undangan yang ada maka terlihat perbedaan misalnya:2 1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.3 2) Pasal 1 Convention On The Rights of The Child, anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya. Yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental, fisik masih belum dewasa) 3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia menjabarkan pengertian tentang anak ialah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. 4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat (1) tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang berusia 18(delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan. 5) Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengertian anak adalah orang yang dalam 2
Thesis Novie Amalia Nugraheni “System Pemidaan Eduatif Terhadap Anak sebagai Pelaku tindak pidana”, FH UNDIP hal 27. 3 Abdussalam, Hukum perlindungan anak, Restu Agung, Jakarta. 2007. hal.5.
19
perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum pernah kawin. 6) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Pasal 330 ayat (1) memuat batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun, kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun dan Pendewasaan (venia aetetis, Pasal 419 KUHPer) Pasal ini senada dengan Pasal 1 Angka 2 UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan Anak. 7) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).KUHP tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 "Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun........" 8) Jika dilihat dari dalam lapangan Hukum Tata Negara, hak memilih dalam Pemilu misalnya seseorang dianggap telah mampu bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukannya kalau ia sudah mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun. Jika melihat perbedaan umur dari peraturan perundangundangan yang ada maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan umur tersebut adalah relatif tergantung pada kepentingan masing-masing, kemudian jika dilihat dari tingkatan usia diberbagai negara di
20
duniapun memiliki perbedaan tentang seseorang dikatagorikan sebagai anak dalam kaitan pertanggungjawaban pidana, antara lain:4 1) Di Australia, 27 negara bagian menentukan batas umur antara 8 – 18 tahun, sementara 6 negara bagian lain menentukan batas umur antara 8 – 17 tahun, sementara ada pula negara bagian yang lain menentukan batas umur antara 8 – 16 tahun; 2) Di Inggris, ditentukan batas umur antara 12 – 16 tahun; 3) Di Australia, kebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8 – 16 tahun; 4) Di Belanda, menentukan batas umur antara 12 – 18 tahun; 5) Di Iran, menentukan batas umur antara 6 – 18 tahun; 6) Di Jepang dan Korea, menentukan batas umur antara 14 – 20 tahun; 7) Di Negara-negara ASEAN lain, antara lain : Filipina (antara 7 – 16 tahun); Malaysia (antara 7 – 18 tahun); Singapura (antara 7 – 18 tahun).5
Menyangkut pengertian tentang anak nakal yaitu anak- anak yang dapat diajukan ke sidang anak merumuskan :6 1) Anak yang melakukan tindak pidana; 2) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perungang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Menyangkut anak yang melakukan kenakalan (anak nakal7), Pada hakekatnya, batasan anak dalam kaitan hukum pidana – yang berarti melingkupi pengertian anak nakal – menurut Maulana Hasan Wadong8 meliputi dimensi pengertian sebagai berikut : ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana; 4
Penelitian Mandiri Nashriana, Op. Cit., hal 14. Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan wanita dalam hukum, LP3ES, Jakarta. 1989. hal.1011 6 Lihat Undang-Undang RI No 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 ayat (2). 7 Istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 8 Maulana Hasan Wadong, Pengantar advokasi dan hukum perlindungan anak, PT. Grasindo, Jakarta. 2000. hal. 22 5
21
pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara, dengan maksud untuk mensejahterakan anak; rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapatkan perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri; hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan; hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu :9 1) Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukannoleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah ; 2) Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasadianggap kejahatan atau pelanggaran hukum. Kenakalan anak diambil dari istilah asing Juvenile Deliquency.10 Tetapi kenakalan anak ini bukan kenakalan yang dimaksut dalam Pasal 489 KUHP ayat (1) “Kenakalan terhadap orang atau barang, yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan denda paling banyak lima belas rupiah” Juvenile
artinya
young,anak-anak,
anak
muda,
cirri
karakteristik pada masa muda sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan Deliquency artinnya doing wrong terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinnya menjadi jahat,a-sosial, criminal,
9
Ibid., Ibid.,
10
22
pelanggaran aturan, pembuat rebut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.11 Para Ilmuwan mendevinisikan Juvenile delinquency sebagai berikut: 1) Paul Moedikno merumuskan Juvenile delinquency yaitu sebagai berikut:12 “Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan
suatu
kejahatan,
bagi
anak-anak
merupakan
deliquency. Jadi semua perbuatan yang dilarang hukum pidana seperti mencuri, membunuh dan sebagainnya” 2) menurut Romli Atmasasmita adalah : setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan13
2. Tugas Dan Kewajiban Hakim Menurut KUHAP dalam Pasal 1 ayat (8) Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok di bidang judisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam mengemban tugas penegakan hukum dan keadilan, hakim mempunyai kewajiban-kewajiban berat yang harus ditunaikan demi tercapainya 11
Ibid., Ibid., 13 Romli Atmasasmita, Problem kenakalan anak-anak remaja, Armico, Jakarta. 2983. hal.40. 12
23
tujuan yang ditentukan yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur.14 Tugas Hakim secara Normatif diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman yaitu: 1) Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 4 ayat (1)) 2) membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2)) 3) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1)) 4)
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1))
5)
Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8 ayat (2)
14
Rusli Muhammad, Op.Cit. hal. 49.
24
Di samping tugas hakim secara normatif, hakim juga mempunyai tugas secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara melalui tindakan secara bertahap yaitu:15 1)
2)
3)
Mengkonstatir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkrit. Hakim harus mengkonstatir peristiwa konkrit yang disengketakan. Untuk dapat mengkonstatir peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus dibuktikan lebih dahulu. Tanpa pembuktian hakim tidak boleh mengkonstatir atau menyatakan suatu peristiwa konkrit itu benar-benar terjadi. Mengkonstatir berarti menyatakan benar terjadinya suatu peristiwa konkrit. Mengkualifisir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa hukumnya. Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap benarbenar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana. Mengkualifisir adalah kegiatan untuk mencari dan menemukan hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada undangundangnya, sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan dengan peristiwanya yang konkrit. Mengkonstituir atau memberikan konstitusinya, yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Di sini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor (peraturan hukumnya) dan premis minor (peristiwanya). Dalam memberikan putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Hakim
mempunyai
peranan
menentukan
sehingga
kedudukannya dijamin undang-undang. Dengan demikian, diharapkan tidak adanya direktiva/campur tangan dari pihak manapun terhadap para hakim ketika sedang menangani perkara.16
15
Thesis Agustina Wati Nainggolan ” Analisis terhadap putusan hakim dalam tindak pidana penyalagunaan narkoba (Studi terhadap putusan pengadilan negeri medan). Pascasarjana universitas Sumatra Utara Medan 2009 hal
16
Lilik Mulyadi, Hukum acara pidana normative,teoritis, praktik dan permasalahannya, Alumni, Bandung. 2007. hal 75.
25
Hakim akan tetap bekerja dan berusaha untuk mewujudkan keadilan meskipun kasus yang dihadapi tidak ada hukumnya. Bila menemukan kasus yang tidak ada hukumnya, hakim berusaha mencari dengan menggali dan menemukan hukumnya dengan bersandarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hal ini harus dilakukan sebab sudah merupakan suatu kewajiban menurut undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009. Adapun kewajiban Hakim adalah: 1) Wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Pasal Pasal 5 ayat (3))
2) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 17 ayat (3) 3) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara ( Pasal 17 ayat (5)).
26
3.)
Beberapa
pendapat/kritikan
terhadap
Pidana
Penjara
Pendek17 Menurut Rekomendasi Kongres Kedua Perserikatan BangsaBangsa (PBB) mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” tahun 1960 di London yang menyatakan antara lain:18 1)
2)
3)
4)
Kongres mengakui bahwa pidana penjara jangka pendek mungkin berbahaya karena pelanggar dapat terkontaminasi dan sedikit atau tidak memberi kesempatan untuk menjalani pelatihan yang konstruktif, tetapi kongres mengakui bahwa dalam hal-hal tertentu penjatuhan pidana penjara jangka pendek mungkin diperlukan untuk tujuan keadilan. Dalam praktek, penghapusan menyeluruh pidana penjara jangka pendek tidaklah mungkin, pemecahan yang realistik hanya dapat dicapai dengan mengurangi jumlah penggunaannya. Pengurangan yang berangsur-angsur itu dengan meningkatkan bentuk-bentuk pengganti atau alternatif seperti pidana bersyarat, pengawasan atau probation, denda, pekerjaan di luar lembaga atau pidana kerja sosial dan tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung perampasan kemerdekaan. Dalam hal pidana penjara jangka pendek tidak dapat dihindarkan, pelaksanaannya harus terpisah atau tersendiri dari narapidana penjara jangka panjang, dan pembinaannya harus bersifat konstruktif, pribadi dan dalam lembaga terbuka (open institution). Menurut Wolf Middendorf mengemukakan bahwa:19
1)
2)
3)
Dalam penelitian mengenai efektivitas treatment terhadap juvenile delinquency, pidana penjara jangka pendek dapat menghasilkan residivis sama dengan pidana penjara dalam jangka waktu yang lama untuk semua tipe anak dalam kelompok umur yang sama. Pidana jangka pendek misalnya enam bulan ke bawah tidak mempunyai reputasi yang baik, tetapi pada umumnya diyakini lebih baik dan tidak dapat dihindari. Di banyak negara kebanyakan dijatuhkan dalam perkara lalu lintas, khususnya drinken driving (mengemudi dalam keadaan mabuk).
17
Barda Nawawi Arief, Kapita selekta hukum pidan, Citra Aditya Bakti, bandung.2010. hal 38 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm.38-39 19 Ibid., hal.39-40 18
27
4)
5)
6)
Penggunaan pidana penjara jangka pendek seharusnya dikenakan untuk white collar crime dimana pidana denda sering tidak berpengaruh. Di beberapa negara misalnya Belanda, pidana penjara jangka pendek dilaksanakan dalam lembaga minimum security dengan keberhasilan yang memadai. Narapidana pidana penjara jangka pendek harus dipisah dari narapidana penjara dalam jangka waktu yang lama, dan seharusnya dikirim ke open camp dimana mereka dipekerjakan untuk keuntungan atau kepentingan masyarakat.
Adapun
Johannes
Andenaes20mengemukakan
pendapatnya
mengenai pidana penjara jangka pendek adalah sebaga berikut: 1) Walaupun telah menjadi dogma di dalam penologi bahwa pidana penjara jangka pendek merupakan pemecahan yang buruk karena tidak memberikan kesempatan untuk melakukan rehabilitasi, tetapi sedikit bukti bahwa pidana penjara yang lama memberikan hasil yang lebih baik dari pidana penjara jangka pendek (there is little evidence that longer prison sentences give better results than short ones). 2) Pidana penjara jangka pendek yang tidak memberi kemungkinan untuk merehabilitasi pelanggar tetapi cukup mencap dia dengan stigma penjara dan membuat atau menetapkan kontak-kontak yang tidak menyenangkan. Pendapat ahli lainnya yaitu Barnes and Teeters21 menjelaskan pidana penjara jangka pendek adalah sebagai berikut: Penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran yang justru oleh penyokong-penyokong penjara dicoba untuk dihindari, sebab di tempat ini penjahat-penjahat kebetulan, pendatang baru di dunia kejahatan dirusak melalui pergaulan dengan penjahatpenjahat kronis. Sekalipun pidana penjara itu berjangka pendek, maka justru akan sangat merugikan sebab di samping kemungkinan terjadinya hubungan-hubungan yang tidak dikehendaki, maka pidana penjara jangka pendek jelas tidak mendukung kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi
20 21
Ibid., hal 40-41 Barnes and Teeters dalam buku Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, hlm.142
28
narapidana di satu pihak, dan di lain pihak bahkan menimbulkan apa yang disebut stigma atau cap jahat.
B.
Prosedur Peradilan Anak Prosedur peradilan Anak dapat dilihat dalam undang-undangundang Republik Indonesia No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, khususnya pada Pasal 5, Pasal 8, Pasal 41 ayat (1), Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, 45, Pasal 53 ayat (1), Pasal 56 ayat(1), Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, adapun penjelasan dari Pasal-Pasal tersebut adalah sebagai berikut: Dalam Pasal Pasal 5 menjelaskan mengenai pemeriksaan oleh penyidik, penjelasan lebih lengkapnnya sebagai berikut:
1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik 2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orangtua, wali, atau orangtua asuh, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orangtua, wali, atau orangtua asuhnya. 3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orangtua, wali, atau orangtua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing Kemasyarakatan. Adapun Pasal 8 menjelaskan mengenai siapa saja yang bias hadir dalam proses persidangan anak, dan tata cara dalam persidangan, adapun penjelasan lengkapnya adalah sebagai berikut:
29
(1) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dalam sidang terbuka. (2) Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta orangtua, wali, atau orangtua asuh, penasihat hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan. (3) Selain mereka yang disebut dalam ayat (3) orang-orang tertentu atas ijin hakim atau mejelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Pemberitaan mengenai perkara anak melalui sejak penyidikan sampai saat sebelum mengucapkan putusan pengadilan menggunakan sidang singkatan dari nama anak, orangtua, wali, atau orangtua asuhnya. (5) Putusan pengadilan dalam memeriksa perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapakan dalam sidang terbuka untuk umum. Pasal 41 (1) Penyidikan terhadap Anak Nakal, dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Dalam Pasal Pasal 42 menjelaskan mengenai tata cara penyidakan,penjelasannyaadalah sebagai berikut: (1) Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan. (2) Dalam melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. (3) Proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan.
Dalam Pasal 43 disini menjelaskan mengenai tata cara penangkapan Anak yang melakukan tindak pidana
30
(1) Penangkapan Anak Nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undangundang Hukum acara Pidana (2) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari.
Dalam Pasal Pasal 44 sampai Pasal 45 menerangkan bagaimana jangka waktu penahanan terhadap anak yang melakukan Tindak Pidana tetapi dalam penahan yang dilakukan oleh penyidik, penyidik juga harus tetap memperhatikan kepentingan Anak dan tentunya tempat penahan Anak harus terpisah dari orang dewasa, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 45.
(1) Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang berwenang, untuk paling lama 10 (sepuluh) hari. (4) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum. (5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum (6) Penahanan terhadap anak dilaksanakan ditempat khusus untuk anak dilingkungan Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan Negara, atau ditempat tertentu. Pasal 45
31
(1) Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. (2) Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. (3) Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa. Pasal 53 menerangkan bahwa tuntutan terhahadap Anak dilakukan oleh Penuntut Umum, (1) Penuntutan terhadap Anak Nakal dilakukan oleh penuntut Umum, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Adapun Pasal 56, Pasal 57 Pasal 58 dan Pasal 59 menerangkan bagaimana proses persidangan yang harus dilakukan oleh Hakim dalam ruang Sidang. bagimana Hakim membuka sidang dengan mempersilahkn terdakwa masuk beserta orang tua, wali Penasihat Hukum dan tentunnya beserta pembimbing Kemasyarakatan. (1) Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian Kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan. Pasal 57 (1) Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, terdakwa dipanggil masuk beserta orangtua, wali, atau orangtua asuh, penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan. (2) Selama dalam persidangan, terdakwa didampingi orangtua, wali, atau orangtua asuh, penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan. Pasal 58 (1) Pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar terdakwa dibawa keluar ruang sidang. (2) Pada waktu pemeriksaan saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), orangtua, wali, atau orangtua asuh, penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir.
32
Pasal 59 (1) Sebelum mengucapkan putusannya Hakim memberikan kesempatan kepada orangtua, wali, atau orangtua asuh untuk mengemukakan segala hal ihwal yang bermanfaat bagi anak. (2) Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing Kemasyarakatan. (3) Putusan pengadilan wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Inilah Proses Peradilan Pidana yang dapat menjadi pedoman bagi para Petugas dalam menangani tindak pidana yang dilakukan oleh Anak.
C.
Pemidanaan bagi Anak Menurut Undang-Undang RI No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Pedoman pemidanaan Bagi anak dapat dilihat dalam UndangUndang Republik Indonesia No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak . Pengadilan anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan Umum.22Sidang Pengadilan anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak.23 Secara garis besar, sanksi yang dapat dijatuhkan bagi anak yang telah melakukan kenakalan, terdiri dari dua yaitu : sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan (Pasal 22). Perumusan kedua jenis sanksi ini menunjukkan bahwa UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak telah menganut apa yang disebut dengan Double Track System. Dengan kata
22 23
Undang-undang Ri No 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak Pasal 2. Ibid., Pasal 3.
33
lain, UU ini telah secara eksplisit mengatur tentang jenis sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan sekaligus. Menurut Muladi,24 penggunaan sistim dua jalur (Zweipurigkeit) merupakan konsekuensi dianutnya Aliran Neo Klasik25. Pemikiran bahwa pendekatan tradisional seolah-olah sistim Tindakan hanya dikenakan bagi orang yang tidak mampu harus ditinggalkan.
Kemudian Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa: Anak adalah orang yang dalam perkara Anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dengan diaturnya batasan ini, Wagiati Soetodjo menyatakan bahwa pembentuk undang-undang telah mempunyai ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak di bawah umur, sehingga berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan khusus bagi kepentingan psikologi anak.26 Selanjutnya Pedoman pemidanaan bagi anak dapat dilihat dalam Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 1997 Tentang pengadilan Anak yaitu sebagai berikut: Dalam Pasal 4 ini menjelaskan tentang usia Anak yang dapat diajukan ke sidang Anak 24
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistim Peradilan Pidana, Cetakan II, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. 2002. hal. 156 25 Dalam Aliran Neo Klasik, berusaha untuk memanfaatkan kelebihan kedua aliran sebelumnya (aliran Klasik dan aliran Modern) dan meninggalkan kelemahan yang ada. Asas pembalasan diperbaiki dengan teori kesalahan yang bertumpu pada usia, patologi, dan pengaruh lingkungan. Dikembangkan alasan-alasan yang memperingan dan memperberat pemidanaan; kesaksian ahli (expert testimony) ditonjolkan; diaturnya sistim dua jalur (Double Track System). Ibid, hal. 153 26 Wagiati Soetodjo, Loc.Cit.
34
(1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. (2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetap diajukan ke Sidang Pasal 7 menjelaskan bagaiman tata cara persidangan ketika anak melakukan Tindak Pidana bersama-sama dengan Orang dewasa
(1) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa ke sidang bagi orang dewasa. (2) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer.
Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 menjelaskan pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak yang melakukan Tindak Pidana dan menguraikan mengenai pidana yang dapat dijatuhkan, misalanya Pidana Pokok, dan Tindakan penjelasannya adalah sebagai berikut: (1) Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau
tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini. Pasal 23 (1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan. (2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : b. pidana penjara; c. pidana kurungan; d. pidana denda; atau e. pidana pengawasan. 35
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barangbarang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. Pasal 24 (1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : a. mengembalikan kepada orangtua, wali, atau orangtua asuh; b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim. Kemudian
Berkaitan dengan putusan anak nakal perlu
dikemukakan penjelasan Pasal 25 UU No. 3 tahun 1997 yang menegaskan: Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak, hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan anak yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Disamping itu, hakim juga wajib memperhatikan keadaan anak,keadaan rumah orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan antara anggota keluarga, dan keadaan lingkungannya.Demikian pula hakim wajib memperhatikan laporan Pembimbing Kemasyarakatan. Berdasarkan pada penjelasan Pasal 25 Undang-Undang Pengadilan anak diisyaratkan bahwa dalam menjalani proses peradilan anak, anak nakal tidak ditempatkan pada suatu keadaan sebagaimana pelaku tindak pidana yang di kelompokkan sebagai orang dewasa. Selain itu, dalam penjatuhan sanksi terhadap anak nakal, diperlukan suatu kajian yang melindungi dan memperhatikan anak nakal dari segi sosial budaya. Hak ini tentunya menjadi pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi pidana.
36
Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 30 menjelaskan mengenai banyaknya atau lamannya pidana yang harus dijalankan oleh Anak baik itu Pidan penjara, Pidana Kurungan Atupun benyaknya denda yang harus dibayarkan Oleh Anka, ketika Anak melakukan Tindak Pidana (1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. (2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b. (4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Pasal 27 (1) Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Pasal 28 (1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. (2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja.
37
(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling
lama 90(sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari. Pasal 30 (1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3 tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
Pada hakikatnya anak dalam persidangan anak dapat dijatuhi Sanksi Pidana atau Sanksi Tindakan. Pidana tersebut adalah pidana pokok yang berupa pidana penjara, kurungan, denda, dan pengawasan; pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. Sementara Tindakan yang dapat diberikan adalah pengembalian kepada orangtua, wali, atau orangtua asuhnya, menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, atau menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, latihan kerja.27 Inilah pedoman pemidaan yang dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan dan juga pedoman pemidaan tersebut dapat diterapkan kepada Anak yang melakukan tindak pidana.
27
Lihat Pasal 22, 23 ayat (1), (2), (3) , 24 ayat (1) huruf a,b,c Undang-Undang RI No 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
38
D.
Tujuan Pemidanaan terhadap Anak Pemidanaan
mempunyai
beberapa
tujuan
yang
bisa
diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan. Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masingmasing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view).
28
Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan
sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggungjawab moralnya masing-masing. Pandangan
ini
dikatakan
bersifat
melihat
ke
belakang
(backwardlooking). Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatanyang serupa.
28
Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California. 1968. hlm.9.
39
Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).29 Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu:30 1) Teori absolut (retributif) Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana.31 Pidana tidak usah mempunyai tujuan lain selain dari pada pidana saja. Karena kejahatan tidak diperbolehkan, dan tidak diijinkan menurut susila dan hukum, maka tidak boleh terjadi, maka kejahatan itu seharusnya dipidana. Pidana mempunyai fungsi sendiri yaitu bantahan terhadap kejahatan. Hanya dengan membalas kejahatan itu dengan penambahan penderitaan, dapat dinyatakan bahwa perbuatan itu tidak dapat dihargai.32 Teori memandang sanksi pidana yang dijatuhkan sematamata karena orang telah melakukan kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagi suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi ditujukan untuk memuaskan adanya tuntutan keadilan.
2) Teori relatif atau teori tujuan Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari penjatuhan pidana adalah sebagai berikut: Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakutnakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif umum). Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat (preventif khusus)33
29
Herbert L. Packer,Op.Cit.,hal 10. Bambang Poernomo dan Van Bemmelen juga menyatakan ada 3 teori pemidanaan sebagaimana yang dinyatakan oleh Muladi, yakni teori pembalasan (absolute theorien), teori tujuan (relatieve theorien) dan teori gabungan atau (verenigings theorien). Lihat Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 27. 31 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Op., Cit., Hal. 10 32 Van Bemmelen, Hukum pidana 1, Terjemahan, Bina Cipta, Bandung. 1987. hal. 25. 33 Ruslan Saleh, Stelsel pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1983. hal. 26. 30
40
Sedangkan prevensi khusus, dimaksudkan bahwa pidana adalah pembaharuan yang esensi dari pidana itu sendiri. Sedangkan fungsi perlindungan dalam teori memperbaiki dapat berupa pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu. Dengan demikian masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang akan terjadi. Oleh karena itu pemidanaan harus memberikan pendidikan dan bekal untuk tujuan kemasyarakatan. 3) Teori retributive-teleologis Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan tersebut. Atas dasar itu kemudian baru dapat ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan. Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah : a) Pencegahan umum dan khusus; b) Perlindungan masyarakat; c) Memelihara solidaritas masyarakat dan d) Pengimbalan/pengimbangan atas suatu tujuan yang titik berat bersifat kasusistis.
E.
Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan terhadap anak Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Penjara terhadap anak Tindak pidana anak merupakan tindak pidana yang khas apabila dibandingkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa pada umumnya menginagt sifat-sifat emosional anak masih belum stabil serta masih belum dapat membedakan perbuatan mana yang baik dan yang buruk oleh karena itu perlu ditangani secara khusus dalam
41
rangka memberikan perlindungan dan kesejahteraan anak.34 Salah satu aspek yang terkait dalam peranan hakim dalam peradilan pidana adalah terkait dengan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak. 35
Untuk itu hakim dalam memutus perkara pidana anak perlu mengetahui
faktor-faktor yang melatarbelakanginya termasuk masa lalu si anak, sehingga dalam hal ini hakim harus benar-benar bijaksana dalam bertindak untuk itu dibutuhkan pengetahuan yang luas dan mendalam bagi seorang hakim agar putusan yang dijatuhkan dapat mecerminkan keadilan, terhindar dari kesewenang-wenangan dan sesuai dengan kebutuhan anak.36 Di Indonesia, dengan diberlakukannya UU No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak , telah membawa perubahan baru terakait dengan pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak sebagai pelaku kejahatan sperti yang terdapat dalam Pasal 6, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 8, Pasal 23, dan Pasal 24, secara otomatis ketentuan didalam Pasal 10, Pasal 45, 46 dan 47 KUHP tidak lagi digunakan untuk anak. Untuk memberikan jenis pidana yang sesuai bagi anak maka hendaknya hakim harus memperhatikan beberapa hal yaitu:37 1.
Keadaan dan berat ringannya tindak pidana yang dilakukan
2.
Keadaan dan kebutuhan fisik serta kejiwaan anak
34
Elfa Murdiana” Efektifitas Pidana Penjara Dalam Upaya Untuk Menanggulangi Kejahatan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Kejahatan”artikelku (http://elfamurdiana.blogspot.com/2009_02_01_archive.html) selasa, 03 feburuari 2009 35 Ibid. 36 Peran Hakim Dalam Peradilan Pidana Untuk Mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum UNIBRAW, 1998, Malang hal 4 37 Elfa Murdiana” Op.Cit selasa, 03 feburuari 2009
42
3.
Keadaan dan kebutuhan masyarakat
Pidana penjara merupakan bagian dari penegakan hukum pidana terhadap anak sebagai konsekwensi atas tindak pidana yang dilakukan dan dalam
penjatuhan
putusan
pidana
penjara
sepenuhnya
menjadi
kewenangan hakim. Adapun yang menjadi dasar-dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap anak adalah :38 1. 2. 3. 4.
Anak tersebut melakukan tindak pidana lebih dari satu kali Anak tersebut melakukan suatu tindak pidana yang tergolong dalam kejahatan berat Dipandang bahwa nak tersebut sudah tidak dapat diperbaiki lagi dengan upaya lainnya Anak tersebut membahayakan masyarakat.39
Dasar pertimbangan Hakim menurut Hakim di Pengadilan Negeri Salatiga yaitu pada intinnya Hakim harus membuktikan unsure perbuatan, apakah unsure-unsur terpenuhi, dalam arti secara Hukum perbuatan terpenuhi, danakalau tidak terpenuhi hakim juga harus melihat kondisi anak, apakah kondisi anak tersebut orang tua memperhatikan, apakah ada peran serta orang tua dalam perkembangan pendidikan si anak, kalau perhatian orang tua kurang tentunnya itu sangat mempengaruhi Isi Putusan yang akan dijatuhkan kepada si Anak, dan pada pokoknya jika peran orang tua kurang maka kemungkinan anak tidak akan dikembalikan kepada orang tua, Hakim juga memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
38
Ibid. Madhe Sadhi Astuti, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP, Malang. 1997. hal 117
39
43
Dalam perkembangan hukum pidana khususnya terkait dengan penjatuhan
pidana
terhadap
anak
hendaklah
memiliki
landasan
Doelmatigheid (kegunaan) dan Rechmatigheid (landasan hukumnya)40 sehingga perlu mendapatkan tempat yang layak agar dapat memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat sekalipun masih dalam upaya kerja keras baik dari pemerintah, kalangan akademisi, organisasi masyarakat maupun tokoh masyarakat untuk menemukan solusi terbaik tanpa mengabaikan kebijakan dan keputusan-keputusan kongres internasional yang ada.41 Kita ketahui bahwa pidana penjara dan kurungan merupakan bentuk pidana perampasan kemerdekaan dimana pidana penjara ini merupakan pidana utama diantara pidana-pidana yang lainnya, Namun dalam prakteknya ternyata hakim lebih cenderung untuk menjatuhkan pidana penjara terhadap anak yang terbukti bersalah.42 Dalam jurnal Crime and Delliquency , terkait dengan penjatuhan pidana penjara terhadap anak, Pama L, Griset mengatakan bahwa perlu adanya pembaharuan dalam penjatuhan pidana terhadap anak sebagai pelaku kejahatan.43 Karena menurut Frank E Hartung dalam individual rights and the rehabilitative ideal bahwa penahanan pada suatu rumah pada seorang anak sebagai pelaku tindak pidana akan membawa dampak yang buruk
40
Elfa Murdiana” Op. Cit selasa, 03 feburuari 2009 Ibid.,hal 1-2 42 Ibid., hal 1-2 43 Ibid.,hal 1 -2. 41
44
bagi perkembangan jiwa si anak selain itu pula hal tersebut dapat memberikan stigma buruk terhadap anak.44 Menurut Speiser bahwa pemberian hukuman terhadap anak hendaknya dijadikan sarana untuk merehabilitasi anak nakal tersebut dan melindunginya dari stigma buruk terhadapnya untuk itu negara harus tampil sebagai pelindung dan teman bagi sang anak bukannya sebagai pelaksana pembalasan masyarakat yang marah atas perbuatan jahat yang dilakukan oleh sianak. Penjatuhan pidana penjara menimbulkan dampak negatif dan kerugian khususnya terhadap terpidana anak, Adapun dampak dari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan diantaranya adalah:45 1. Anak akan akan terpisah dari keluarganya sehingga akan berdampak pada gangguan terhadap gangguan hubungan keluarga seperti terlalu singkatnya dalam memberikan pendidikan, pengarahan, bimbingan yang positif dari orang tua terhadap terpidana anak 2. anak menjadi lebih ahli tentang kejahatan, hal ini dikarenakan adanya pengaruh yang didapat dari terpidana lainnya dimana hal ini membuka kemungkinan bagi terpidana untuk mempelajari prilaku kriminal terpidana yang lainnya sehingga anak akan menjadi lebih ahli tentang kejahatan 3. anak tersebut diberi cap oleh masyarakat , hal ini dapat kita kaitkan dengan teori labeling yang dikemukakan oleh Matza dimana memandang para kriminal bukanlah sebagai orang yang bersifat jahat tetapi mereka adalah individu-individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai pemberian system peradilan pidana maupun masyarakat luas46 4. masyarakat menolak kehadiran mantan terpidana anak, terkait dengan stigma yang diberikan masyarakat dimana anak yang pernah menjalani hukuman penjara maka anak tersebut tetap disebut sebagai anak yang nakal dan memiliki peringai buruk sehingga masyarakat menolak kehadirannya sebab masyarakat khawatir kalau anak tersebut akan mengulangi kejahatan sama dan akan memberikan pelajaran yang tidak 44
Ibid., hal 1-2. Ibid.,hal 1-2. 46 Topo santoso, Eva Achjani, Kriminologi, PT.Radja Grafindo Persada, Jakarta. 2003. hal 45
45
baik terhadap anak-anak yang lain , padahal belum tentu demikian adanya. 5. masa depan anak menjadi lebih suram. Dan Pada kenyatannya anak yang telah dijatuhi pidana penjara mereka justru tidak menjadi lebih baik dari sebelumnya tetapi justru akan melakukan kembali tindak pidana, maka dari sini dapat dikatakan bahwa ternyata penjatuhan pidana penjara tidaklah efektif dalam upaya menanggulangi kejahatan yang terjadi tetapi justru menimbulkan dampakdampak yang merugikan bagi anak.47
F.
Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Anak 1.
Declaration The Right Of The Child Jo Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 Tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (Keppres No 36/1990)48 Hak anak merupakan bagian intergral dari hak asasi manusia dan konvensi hak anak (KHA) merupakan bagian integral dari instrumen internasional tentang hak asasi manusia. Konvensi hak anak merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsipprinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai hak-hak anak yang merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukan unsur-unsur hak anak sipil politik serta hak-hak ekonomi dan budaya.
47
Elfa Murdiana” Efektifitas Pidana Penjara Dalam Upaya Untuk Menanggulangi Kejahatan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Kejahatan”artikelku (http://elfamurdiana.blogspot.com/2009_02_01_archive.html) selasa, 03 feburuari 2009 48 Saraswati Rika. (2009). Hukum perlindungan anak di Indonesia. Bnadung:Citra Aditya Bakti, hal 16
46
Perumusan naskah KHA dimulai sejak 1979 dan dalam waktu sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 20 november 1989, naskah akhir konvensi dapat diterima dan disetujui dengan suara bulat oleh majelis umum PBB. Sesuai ketentuan Pasal 49 ayat (1), KHA diberlakukan sebagai hukum HAM internasional pada 2 september 1990. Deklarasi jenewa tahun 1924 tentang hak-hak asasi anak menyatakan perlunya perluasan pelayanan khusus bagi anak. Ini disetujui oleh majelis umum PBB pada tahun 1959 dan diakui dalam deklarasi
HAM sedunia,perjanjian internasional tentang
hak-hak sipil dan politik. Indonesia meratifikasi KHA melalui keputusan president nomor 36 tahun 1990 tertanggal 25 agustus 1990. Dengan ratifikasi itu, indonesia secara teknis telah dengan sukarela mengikatkan diri pada ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam KHA. Sesuai dengan Pasal 49 ayat (2), konvensi hak anak dinyatakan berlaku di indonesia sejak tanggal 5 oktober 1990. Selanjutnya , ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam konvensi hak anak jo Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 adalah sebagai berikut: 1. Hak hidup (survival rights) Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk
47
memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Konsekuensinya menurut konvensi hak anak Negara harus menjamin kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Disamping itu, Negara berkewajiban untuk menjamin hak atas taraf melakukan
kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau dan pelayanan
kesehatan
dan
pengobatan,
khususnya perawatan kesehatan primer (Pasal 24 ) 2. Hak
perlindungan,
yaitu
perlindungan
anak
dari
diskriminasi, tindak kekerasan, dan ketelantaran bagi anak yang tdiak mempunyai keluarga dan bagi anak pengungsi. Hak
perlindungan
dari
diskriminasi,
termasuk
perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan, perawatan, dn pelatihan khusus, serta hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan masyarakat Negara. a. Larangan diskriminasi anak: Non diskriminasi terhadap anak (Pasal 2) Hak mendapat nama dan kewarganegaraan (Pasal 7) Hak anak cacat (Pasal 23) Hak anak kelompok minoritas (Pasal 30) b. Larangan eksploitasi anak Hak berkumpul dengan orang tua (Pasal 10)
48
Kewajban Negara melindungi yang
mengancam
anak dari pekerjaan
kesehatan,
pendidikan,
dan
perkembangan anak (Pasal 32) Hak perlindungan dari semua bentuk eksploitasi yang belum tercantum dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 35 Larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan terhadap anak (Pasal 37) Kewajiban Negara menjamin anak korban konflik bersenjata, penganiayaan, penelantaran salah perlakuan atau eksploitasi untuk memperoleh perawatan yang layak demi penyembuhanreintegrasi sosial mereka (Pasal 39) Hak anak yang telah didakwa ataupun yang telah diputuskan telah melakukan pelanggaran untuk tetap dihargai hak asasinya dan khususnya untuk tetap menerima manfaat dari segala bantuan
hukum
lainnya
proses hukum atau
dalam
penyiapan
dan
pengajuan pembelaan mereka. Prinsip demi hukum dan institusional sedapat mungkin dihindari (Pasal 40)
49
Kekerasan dan penelantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga. c. Perlindungan anak dalam keadaan krisis dan darurat a. Anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict in the law) Prosedur peradilan anak (Pasal 40) Anak –anak yang berada dalam penekanan kebebasan (Pasal 37) Reintegrasi sosial anak-anak dalam penyembuhan fisik dan psikologis anak (Pasal 39)
2.
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang maha esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa dimasa mendatang
dan sebagai sumber harapan
bagi
generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani , jasmani dan sosial. Perlindungan anak merupakan
usaha dan
kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan
50
bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan fisik
maupun
mental
dan
sosialnya,
maka
tiba
saatnya
menggantikan generasi terdahulu. Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik,mental, dan sosial. UUPA Pasal 1 ayat 1 memberikan pengertian bahwa anak adalah
seorang yang belum berusia delapan belas (18) tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan. UUPA Pasal 1 ayat 2 memberikan pengertian bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak
dan
hak-haknya
agar
dapat
hidup,
tumbuh,berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. UUPA Pasal 1 ayat 12 memberikan pengertian bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuh oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara. UUPA Pasal 4 , Pasal 14, Pasal 16 ayat (3) penjelasannya antara lain sebagai berikut:
51
Pasal 4 mengatakan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 14 menjelaskan setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tua sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau tindakan aturan hukum yang sah yang menunjukan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik baik anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Pasal 16 ayat (3) menjelaskan bahwa penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Menurut Pasal 25 UU no 23 tahun 2002, kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak di laksankan
melalui
kegiatan
peran
masyarakat
dalam
penyelenggaraan perlindungan anak. Sedangkan menurut Pasal 72 masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak. Peran masyarakat
tersebut
dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha dan media massa. Peran masyarakat tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 52