ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB II TITIK SINGGUNG KOMPETENSI ABSOLUT PERMOHONAN KEPAILITAN DALAM TRANSAKSI EKONOMI SYARIAH
II.1. Kompetensi Absolut Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Transaksi Ekonomi Syariah Lingkungan Peradilan Agama adalah salah satu Sistem Pengadilan di Indonesia yang mempunyai absolut kompetensi terletak kepada justiciabelennya (pencari keadilan) dalam bidang hukum tertentu, dalam hal ini Warga Negara yang beragama Islam dan peristiwa hukum dan dasar hukum yang digunakan menyelesaikan sengketa adalah Hukum Islam.
34
Setelah pemberlakuan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang selanjutnya dirubah dengan UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009 dilakukan perluasan kompetensi absolut Peradilan Agama meliputi pula perkara dibidang Ekonomi Syariah. Landasan konseptual yang dijadikan dasar perluasan kompetensi absolut Peradilan Agama dapat dilihat pula dari Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang menetapkan bahwa: Pertama, Peradilan Agama berhak mengadili dan memutus sengketa kepemilikan suatu benda sekaligus sengketa perdata lain, apabila obyek yang disengketakan berkaitan dengan sengketa Ekonomi Syariah yang diajukan ke Peradilan Agama, dan jika pihak-pihak yang bersengketa memeluk Agama Islam; dan Kedua, pemberian kewenangan tersebut 34
Mahkamah Agung RI, Titik Singgung Kewenangan Pengadilan Dalam Lingkungan Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan Pengadilan Agama (Laporan Penelitian), Puslitbang Hukum Dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil, 2010, hal.2.
42 Tesis
42
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
43
berkaitan dengan
prinsip
penyelenggaraan
Peradilan,
yaitu agar
dapat
menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan sengketa milik atau sengketa keperdataan lainnya. Dengan demikian Peradilan Agama berwenang pula untuk menetapkan status kepemilikan benda yang disengketakan, yang semula menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum. Secara umum kompetensi absolut Peradilan Agama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang Pasal dan isinya tidak diubah dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) Perkawinan, (b) Waris, (c) Wasiat, (d) Hibah, (e) Wakaf, (f) Zakat, (g) Infaq, (h) Shadaqah, dan (i) Ekonomi Syariah. Dengan demikian kompetensi absolut Pengadilan Agama telah diperluas meliputi bidang Ekonomi Syariah. Mengenai definisi Ekonomi Syariah, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2008 tanggal 10 September 2008, mengatur dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa: Ekonomi Syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorangan, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut Prinsip Syariah. Selanjutnya berdasarkan Penjelasan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang Pasal dan isinya tidak diubah dalam Undang-Undang
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
44
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan Perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang Ekonomi Syariah, yang meliputi : (a) Bank Syari„ah, (b) Lembaga Keuangan Mikro Syariah, (c) Asuransi Syariah, (d) Reasuransi Syariah, (e) Reksa Dana Syariah, (f) Obligasi Syariah dan Surat berharga berjangka menengah Syariah, (g) Sekuritas Syariah, (h) Pembiayaan Syariah, (i) Pegadaian Syariah, (j) Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah, dan (k) Bisnis Syariah. Khusus mengenai kriteria sengketa di bidang Ekonomi Syariah yang menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama sebagaimana dikemukakan Ahmad Mujahidin, adalah meliputi : 35 1) Sengketa di Bidang Ekonomi Syariah antara Lembaga Keuangan dan Lembaga Pembiayaan Syariah dengan Nasabahnya. 2) Sengketa di Bidang Ekonomi Syariah antara sesama Lembaga Keuangan dan Lembaga Pembiayaan Syariah. 3) Sengketa di Bidang Ekonomi Syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad Perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan Prinsip-Prinsip Syariah. Lebih lanjut mengenai kompetensi absolut Pengadilan Agama dibidang Sengketa Ekonomi Syariah Ahmad Mujahidin menegaskan disamping kewenangan absolut, mengacu pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang Pasal dan isinya tidak diubah dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka pihak-pihak yang melakukan akad berdasarkan Prinsip35
Tesis
Ahmad Mujahidin, Op.Cit., hal. 19.
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
45
Prinsip Syariah telah tertutup untuk melakukan pilihan hukum melalui Pengadilan diluar Pengadilan Agama. Lebih tegas lagi dalam Penjelasan Umum UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 alinea ke-2 bahwa Pilihan Hukum telah dinyatakan dihapus. 36 Aspek penting dalam terkait dengan kompetensi Peradilan Agama yaitu Asas Personalitas Keislaman sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 yang Pasal dan isinya tidak diubah dalam UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sehingga segala sengketa antara orang-orang yang beragama Islam mengenai hal-hal yang diatur dalam Pasal 49 menjadi kewenangan Pengadilan Agama, dan menurut Mahkamah Agung RI Asas Personalitas Keislaman tetap berlaku dan menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya meskipun terjadi dalam kasus : 1. Sengketa bidang perkawinan yang perkawinannya tercatat di Kantor Urusan Agama, dimana salah satu pihak (suami atau isteri) keluar dari Agama Islam. 2. Sengketa bidang kewarisan yang pewarisnya beragama Islam, walaupun sebagian ahli waris non Islam. 3. Sengketa bidang Ekonomi Syariah dimana nasabahnya non Muslim. 4. Sengekta bidang wakaf walaupun para pihak atau salah satu pihak beragama non Muslim. 5. Sengketa bidang hibah dan wasiat yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam. 37 Dengan demikian untuk menjadi pihak dimuka Pengadilan Agama tidak disyaratkan harus seorang yang beragama Islam. Namun saat ini Pengadilan Agama merupakan sistem dari kekuasaan kehakiman yang merdeka guna 36
Ibid., hal.20. Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan (Buku II),Edisi 2007, hal. 372. 37
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
46
menegakkan hukum dan keadilan. Bahkan dimungkinkan perkara-perkara pidana atau jinayah pada Pengadilan Agama tertentu, misalnya pada Mahkamah Syariah di Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. 38 Perluasan kompetensi absolut Pengadilan Agama dibidang Ekonomi Syariah semula juga meliputi Pelaksanaan Putusan (Eksekusi) Putusan Arbitrase Syariah yang berkembang berdasarkan pemikiran kompetensi absolut Pengadilan Agama yang diatur Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang Pasal dan isinya tidak diubah dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang dikemukakan oleh CIK BASIR bahwa terhadap Putusan Arbitrase Syariah jika Para Pihak ternyata tidak mau melaksanakannya secara
sukarela
maka
Pengadilan
Agamalah
yang
berwenang
untuk
memerintahkan pelaksanaan Putusan tersebut. 39 Pemikiran kompetensi Pengadilan Agama dalam Pelaksanaan Putusan (Eksekusi) Putusan Arbitrase Syariah dipertegas dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah, yang pada Point 4 menegaskan bahwa dalam hal Putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka Putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang berwenang atas Permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan oleh karena
38
Mahkamah Agung RI (Laporan Penelitian), Op.Cit., hal.23. Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan Agama Dan Mahkamah Syariah, Kencana, Jakarta, 2009, hal. 110. 39
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
47
sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang Pasal dan isinya tidak diubah dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang Ekonomi Syariah, maka Ketua Pengadilan Agamalah yang berwenang memerintahkan Pelaksanaan Putusan Badan Arbitrase Syariah. Namun demikian dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dalam Pasal 59 menyebutkan : (1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. (2) Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. (3) Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Selanjutnya Ketentuan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang memberikan kewenangan Pengadilan Negeri sebagai pelaksana Putusan Arbitrase yang tidak dilaksanakan secara sukarela, diperjelas dengan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang
menyatakan:”Yang dimaksud dengan “Arbitrase”dalam ketentuan ini termasuk juga Arbitrase Syariah. Ketentuan baru Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, telah mereduksi dan sekaligus menghapus kewenangan Pengadilan Agama, dan dengan demikian secara tegas
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
48
mencabut sebagian kompetensi absolut Pengadilan Agama dalam Pelaksanaan Putusan (Eksekusi) Putusan Arbitrase Syariah. Kewenangan Pengadilan Negeri dalam Pelaksanaan Putusan (Eksekusi) Putusan Arbitrase Syariah dipertegas dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 08 Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitase Syariah yang menyatakan dalam alinea ketiga bahwa terhitung sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008 tersebut berdasarkan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasannya, dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian dalam transaksi Ekonomi Syariah ditekankan penyelesaian perselisihan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Pengadilan Agama terkait dengan Kompetensi Basyarnas, ditegaskan dalam memeriksa Sengketa Ekonomi Syariah harus meneliti akta akad (transaksi) yang dibuat oleh para pihak, jika dalam akta akad (transaksi) tersebut memuat klausul yang berisi bahwa bila terjadi sengketa akan memilih diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) maka Pengadilan Agama secara ex officio harus menyatakan tidak berwenang. 40 Berkaitan dengan kewenangan menerima, memeriksa dan memutus Permohonan Pernyataan Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Debitor dalam transaksi Ekonomi Syariah apakah menjadi kompetensi 40
Tesis
Mahkamah Agung RI (Buku II), Op.Cit., hal. 502.
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
49
absolut Pengadilan Agama, Ahmad Mujahidin menjelaskan bahwa sepanjang menyangkut persoalan perdata mengenai sengketa Ekonomi Syariah, sengketa perbankan syariah termasuk didalamnya mengenai Kepailitan yang semula akadnya berdasar pada Hukum Islam, maka tetap menjadi kewenangan Pengadilan Agama, kalau menyangkut persoalan pidana, peradilan umumlah yang berwenang untuk menyelesaikannya. 41 Namun berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Agama dalam menerima, memeriksa dan memutus Permohonan Pernyataan Pailit masih menjadi perdebatan diantara Para Ahli Hukum, hal ini mengingat pula bahwa dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang Pasal dan isinya tidak diubah dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama maupun Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sebagaimana ditetapkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2008 tanggal 10 September 2008, serta Mahkamah Agung RI melalui Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Dalam Empat Lingkungan Peradilan yang ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/032/SK/IV/ 2006 tertanggal 4 April 2006 memberikan pedoman bahwa Kepailitan adalah kompetensi absolut yang menjadi kewenangan tunggal dari Pengadilan Niaga dan tidak memberikan pedoman Kepailitan juga dapat diterima dan diperiksa oleh Pengadilan Agama. Penyelesaian perselisihan dalam transaksi Ekonomi Syariah juga membuka peluang pilihan hukum, tidak lagi hanya menjadi kompetensi absolut 41
Tesis
Ahmad Mujahidin, Op.Cit., hal. 97.
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
50
Pengadilan Agama, khususnya dalam penyelesaian sengketa Perbankan Syariah yang menjadi penggerak utama dalam pengembangan transaksi Ekonomi Syariah di Indonesia, hal ini merujuk pada Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang menyebutkan : (1) Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dilingkungan Peradilan Agama. (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain di Pengadilan Agama, dimaksud ayat (1) penyelesaian dilakukan sesuai dengan isi aqad. (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, terdapat hak opsi atau pilihan hukum bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian atau kontrak dengan sistem syariah, apakah sengketa diantara mereka akan diselesaikan di Peradilan Umum atau di Pengadilan Agama, karena Peradilan Umum juga diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syariah, akibatnya menimbulkan titik singgung kewenangan antara pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Umum dengan lingkungan dalam Pengadilan Agama.
42
Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum tetap diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syariah sepanjang penyelesaian sengketanya diperiksa dan diputus dengan hukum yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah Dalam praktek Perbankan Syariah sendiri terdapat pula perbedaan pilihan cara penyelesaian sengketa transaksi Perbankan Syariah yang timbul, dalam Akad Pinjaman Gadai (Rahn) dan Akad Sewa Tempat (Ijarah) dari PT. Bank Syariah BRI apabila terjadi sengketa salah satu klausulnya menyebutkan : 42
Tesis
Mahkamah Agung RI (Laporan Penelitian), Op.Cit., hal.42.
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
51
“segala sengketa yang timbul dari atau dengan cara apapun yang ada hubungannya dengan Akad ini akan diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat, dalam hal tidak tercapai mufakat, maka Para Pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui dan menurut Peraturan Produser BASYARNAS. Putusan BASYARNAS bersifat final dan mengikat Para Pihak”. Sedangkan PT. Bank BNI Syariah dalam praktek Akad Pembiayaan Gadai Emas (Rahn) salah satu klausulnya menyebutkan : “segala perselisihan yang timbul dari Akad ini yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dari Akad ini dilaksanakan secara musyawarah mufakat, apabila penyelesaiannya perselisihan secara musyawarah mufakat tidak berhasil maka penyelesaian perselisihan dilaksanakan melalui Pengadilan Agama diwilayah Kantor Cabang Bank berdomisili”.
II.2. Prinsip Umum Dan Konsep Penyelesaian Utang Piutang Dalam Transaksi Ekonomi Syariah Di Indonesia Prinsip Umum Penyelesaian Utang Piutang Transaksi Ekonomi Syariah didasarkan pada Al-Qur‟an dan Hadits sebagaimana dicantumkan pada bagian mengingat
Fatwa
Dewan
Syariah
Nasional
Majelis
Ulama
Indonesia
Nomor47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar, yaitu : QS. Al-Baqaroh (2) : 180, terjemahnya : „Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. Selanjutnya QS.An-Nisaa‟ (4) : 29, terjemahnya : “Hai orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
52
perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. 43 Sedangkan landasan Hadits sebagaimana dicantumkan pada bagian mengingat
Fatwa
Dewan
Syariah
Nasional
Majelis
Ulama
Indonesia
Nomor47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar, yaitu : Hadits Nabi riwayat Al-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak yang menyatakan bahwa Hadits ini Shahih sanadnya : Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi SAW, ketika Beliau memerintahkan untuk mengusir Bani Nadhir, datanglah beberapa orang dari mereka seraya mengatakan : “Wahai Nabiyallah, sesungguhnya engkau telah memerintahkan untuk mengusir kami sementara kami mempunyai piutang pada orang-orang yang belum jatuh tempo”. Maka Rasulullah SAW, berkata : “Berilah keringanan dan tagihlah lebih cepat”. Selanjutnya Hadits Nabi Riwayat Muslim : “Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat, dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya”. Dan terkait pula Hadits Nabi riwayat Al-Baihaqi dan Ibnu Majah dan di-shahih-kan oleh Ibnu Hibban dari Abu Sa‟id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak”. 44 Prinsip dalam ajaran Islam dalam Hukum Ekonomi Islam sebagaimana dikemukakan Abd. Shomad dan Trisadini P. Usanti bahwa Hukum Perbankan 43 44
Tesis
Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 201-202. Ibid.
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
53
Islam sebagai bagian dari Hukum Ekonomi Islam, Hukum Ekonomi Islam adalah bagian dari Hukum Islam, dengan demikian Prinsip Hukum Islam berlaku untuk Hukum Ekonomi Islam, dan Prinsip Hukum Ekonomi Islam berlaku dalam Hukum Perbankan Syariah, Prinsip Hukum Perjanjian dalam Akad di Bank Syariah ialah : Prinsip Aqidah, Prinsip Tasri‟iyah, Prinsip Kaffah, Prinsip Akhlaq, Prinsip transaksi yang meragukan dilarang, Prinsip transaksi yang merugikan dilarang, Prinsip mengutamakan kepentingan sosial, Prinsip Maslahat, Prinsip Konsensualisme, Prinsip suka sama suka, saling rela, An-taradhin, Prinsip Ridha‟iyyah, Prinsip saling menguntungkan, Prinsip Persamaan Hukum, Prinsip Manfaat, Prinsip Ta‟awun, Prinsip Keadilan, Prinsip Al-Kifayah (Sufficiency), Prinsip Keseimbangan, Prinsip Kebebasan Berkontrak, Prinsip Kemerdekaan, Prinsip Tertulis, Prinsip transaksi yang mengandung riba dilarang. 45 Prinsip dalam ajaran Islam juga dalam menyelesaikan perselisihan yang timbul mengajarkan agar pihak-pihak yang berselisih untuk melakukan perdamaian, dalam QS Al-Nisa: 128 secara implisit ditetapkan bahwa damai adalah cara terbaik dalam menyelesaikan masalah, sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Mujahidin bahwa Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan dengan melalui pendekatan islah (damai), sebab bagaimanapun juga adilnya suatu putusan, pasti akan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian. Seadil-adilnya putusan yang dijatuhkan Hakim akan tetap dirasa tidak adil oleh pihak yang merasa kalah.46
45
Abd. Shomad dan Trisadini P. Usanti, Asas-Asas Perikatan Islam Dalam Akad Pembiayaan, dalam Yuridika Volume 24 Nomor3 September-Desember 2009, hal. 216. 46 Ahmad Mujahidin, Op.Cit., hal. 34.
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
54
Penyelesaian Piutang dalam transaksi Ekonomi Syariah di Indonesia tidak lepas dari peran MUI (Majelis Ulama Indonesia), meskipun tidak dibentuk berdasarkan Undang-Undang namun peran MUI dalam mengembangkan dan menjalankan Ekonomi Syariah di Indonesia sangatlah besar. Fatwa MUI melalui Komisi Fatwa yang berkaitan dengan pelaksanaan Ekonomi Syariah menjukkan keterkaitan antara pelaku usaha perorangan dan atau badan usaha Syariah dengan MUI. Oleh karena itu, sejumlah lembaga dibentuk oleh MUI dalam rangka menjalankan Ekonomi Syariah. MUI membentuk wadah yang dikenal dengan Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN telah menetapkan banyak fatwa yang berkaitan dengan perannya dalam mengkoordinasikan Ulama dalam menanggapi isu-isu yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan Keuangan Syariah. Secara lebih rinci, tugas-tugas DSN dalam Lampiran Keputusan MUI Nomor Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI masa bakti Tahun 2000-2005, tentang Pedoman DSN-MUI adalah: (a) menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya, (b) mengeluarkan fatwa mengenai jenisjenis kegiatan keuangan syariah, (c) mengeluarkan fatwa mengenai produk dan jasa keuangan syariah dan (d) mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan. Kewenangan-kewenangan DSN antara lain adalah : (a) mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing Lembaga Keuangan Syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak-pihak terkait, (b) mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan atau peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, (c) memberikan dan mencabut rekomendasi nama-
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
55
nama yang akan duduk sebagai DPS pada suatu Lembaga Keuangan Syariah, (d) mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter (lembaga keuangan dalam dan luar negeri), (e) memberikan peringatan kepada Lembaga Keuangan Syariah untuk memberhentikan penyimpangan dari fatwa yang dikeluarkan oleh DSN dan selanjutnya (f) mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan, apabila peringatan DSN diabaikan. Di samping pedoman substansial, usaha-usaha di bidang ekonomi yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha perlu dikontrol agar sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah. Oleh karena itu, MUI membentuk institusi Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ditempatkan pada setiap Lembaga Keuangan Syariah. Yang mana para anggota Dewan Pengawas Syariah DPS tersebut terikat dengan fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Tugas Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam Lampiran Keputusan MUI Nomor Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI masa bakti Tahun 2000-2005, tentang Pedoman DSN-MUI antara lain adalah : (a) melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya, (b) mengajukan usul-usul pengembangan Lembaga Keuangan Syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN, (c) melaporkan perkembangan produk dan operasional Lembaga Keuangan Syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun
anggaran
dan
(d)
merumuskan
permasalahan-permasalahan
yang
memerlukan pembahasan DSN.
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
56
Dan dalam rangka menganitisipasi perselisihan dalam transaksi Ekonomi Syariah, MUI membentuk Badan Arbitrase (Tahkim) pada tanggal 21 Oktober 1993 yang disebut Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), sementara gagasan pendiriannya mulai berkembang sejak tanggal 22 April 1992. Dalam perjalanannya, BAMUI berubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) pada tanggal 24 Desember 2003. Badan Arbitrase ini didirikan dengan bentuk ”Yayasan” dengan Akte Nomor 175 Notaris Yudo ParipurNomor Kewenangan Basyarnas adalah menyelesaikan sengketa perdata secara Islam, baik antara Bank Syariah dengan nasabahnya, maupun antara bank-bank Syariah. Tugas Basyarnas (seperti ditetapkan pada tanggal 21 Oktober 1993) yang ditandatangani oleh ketua Dewan Pembina BAMUI (Basyarnas) adalah : Pertama, menyelesaikan sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, dan jasa yang disepakati oleh para pihak secara tertulis untuk menyelesaikan masalahnya kepada Basyarnas dan Kedua, memberikan pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan perjanjian atas permintaan para pihak. 47 Fungsi dan Peran MUI yang membentuk DSN, DPS dan Basyarnas tersebut, menunjukkan bahwa MUI menggariskan pedoman kegiatan Ekonomi Syariah di Indonesia didasarkan pada Fatwa DSN, sedangkan praktek ekonomi lembaga 5euangan Syariah diawasi oleh DPS, selanjutnya Sengketa dan perselisihan yang timbul dalam transaksi Ekonomi Syariah oleh MUI tersirat 47
Asro, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah dengan Nasabah melalui Putusanputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) Dikaitkan Dengan Lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Tesis PPs-Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2006, hal. 103-104.
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
57
diharapkan diselesaikan melalui Basyarnas. Hal ini dapat dilihat dari Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar, Bagian Kedua : Ketentuan Penutup, ayat (1) dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mam[u Yang Menunda-nunda Pembayaran, Bagian Kedua, menyebutkan bahwa jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari‟ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Dengan demikian jelas bahwa Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia tidak satupun yang memberikan pedoman penyelesaian perselisihan transaksi Ekonomi Syariah melalui Pengadilan Agama, termasuk kepailitan debitor dalam transaksi Ekonomi Syariah, selain menekankan penyelesaian perselisihan secara musyawarah mufakat dan apabila tidak tercapai diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Penyelesaian perselisihan piutang dalam transaksi Ekonomi Syariah melalui Pengadilan Agama harus dipahami dan disadari dalam proses penyelesaiannya tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah, hal ini mengingat definisi Ekonomi Syariah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2008 tanggal 10 September 2008, mengatur dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa: Ekonomi Syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorangan, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
58
tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut Prinsip Syariah. Penegasan kompetensi absolut penyelesaian perselisihan utang piutang dalam transaksi Ekonomi Syariah melalui Pengadilan Agama sebagaimana dikemukakan pula oleh Cik Basir yang menyatakan bahwa perselisihan berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas tidak mungkin diselesaikan dengan cara-cara yang justeru bertentangan dengan Prinsip Syariah, hal ini mengingat hukum formil dan bahkan mungkin sebagian hukum materiil yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa Ekonomi dan Perbankan Syariah di lingkungan Peradilan Agama pada awalnya memang bukan dibuat dengan tujuan untuk menegakkan dan melindungi Hukum Materiil Islam. Oleh karena itu, meskipun ketentuanketentuan hukum tersebut secara umum tidak banyak bertentangan dengan Hukum Islam, tetapi tidak mustahil masih ada bagian-bagian dari ketentuan tersebut yang apabila diterapkan justeru akan bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan Prinsip Syariah yang menjadi dasar Perbankan Syariah dalam menjalankan segala aktivitasnya sehingga hal itu menimbulkan persoalan baru. 48 Penyelenggaraan transaksi Ekonomi Syariah khususnya Perbankan Syariah yang yang juga dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini bahwa Prinsip Syariah yaitu prinsip pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing principle atau PLS principle) yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan bunga (interest free) 49 justeru mendapat banyak kecaman dengan menyatakan :
48
Cik Basir, Op.Cit., hal. 149. Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Pustaka Utama Graviti, Jakarta, 1999, hal.1. 49
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
59
“…bank-bank Islam dalam menyelenggarakan transaksi-transaksi perbankan Syariah justeru telah melaksanakannya bertentangan dengan konsepnya. Dengan kata lain, bertentangan dengan kata-kata dan semangat dari Ketentuan Syariah. Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan usaha bankbank Islam tersebut telah menimbulkan masalah moralitas. Dipertanyakan apakah penyelenggaraan kegiatan-kegiatan usaha tersebut, yang nota bene bermaksud menghindarkan pemungutan bunga dan bermaksud agar para pihak memikul resiko bersama, memang telah diselenggarakan sesuai dengan tujuan tersebut ataukah dalam pelaksanaannya ternyata hanya sekedar penggantian istilah belaka…” 50 Pertumbuhan dan semangat pengembangan Ekonomi Syariah di Indonesia perlu terus mendapat dukungan dari segenap komponen Bangsa Indonesia, namun demikian penyelenggaraan dan pelaksanaan serta penyelesaian perselisihan yang timbul tidak boleh justeru bertentangan dengan Prinsip Syariah, dengan menerapkan begitu saja seluruh konsep dan perangkat Hukum Ekonomi Konvensional khususnya dalam penyelesaian perselisihan utang piutang dalam transaksi Ekonomi Syariah melalui Lembaga Kepailitan, tanpa menilai apakah Konsep Lembaga Kepailitan tersebut telah sesuai dengan Prinsip Syariah sebagaimana yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Prinsip Pembagian Keuntungan dan Kerugian (Profit and Loss Sharing Principle atau PLS Principle) yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan bunga (Interest Free).
II.3. Kompetensi Absolut Pengadilan Niaga Atas Permohonan Kepailitan Debitor Dalam Transaksi Ekonomi Syariah Substansi Putusan Pailit mengandung Prinsip Debt Collection dan Prinsip Debt Pooling yang pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari
50
Tesis
Ibid, hal.117.
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
60
Ketentuan Pasal 1131 BW dan Pasal 1132 BW, bahwa Kepailitan merupakan sarana daya paksa yang dapat digunakan oleh kreditor untuk memperoleh pembayaran segala Utang debitor melalui Sitaan Umum Kepailitan (Gerechtelijk Beslag) dan sekaligus mengatur pembagian hasil pendapatan Sitaan Umum sebagaimana Prinsip Pari Passu Prorata Parte ditekankan pada pembagian hasil lelang dari harta kekayaan debitor yang seimbang menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila diantara Para Kreditor ada alasan-alasan yang sah menurut hukum untuk didahulukan, yang menurut M. Hadi Shubhan sebagai penagihan yang tidak lazim (oneigenlijke incassoprocedure).
51
Dan dalam
Permohonan Pailit tidak memperhitungkan bagaimana kemampuan membayar dari debitor yang termohon pailit. Bahkan menurut M. Hadi Shubhan sistem hukum kepailitan di Indonesia tidak dikenal Prinsip Debt Forgiveness, sehingga tidak dikenal adanya pengampunan utang terhadap debitor pailit, sistem hukum kepailitan Indonesia lebih menekankan pada prinsip pembalasan dendam terhadap debitor. 52 Prinsip dan sifat dari substansi kepailitan tersebut merupakan konsep penyelesaian perselisihan utang-piutang konvensional yang tidak diharapkan dan cenderung bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Umum Penyelesaian Piutang transaksi Ekonomi Syariah yang didasarkan pada Al-Qur‟an dan Hadits sebagaimana dicantumkan pada bagian mengingat Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor47/DSN-MUI/II/2005 yang pada pokoknya menggariskan jika orang berutang dalam kesukaran maka berilah tangguh sampai 51 52
Tesis
M. Hadi Shubhan, Op.Cit., hal. 100. Ibid., hal. 147.
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
61
berkelapangan, dan menyedekahkan sebagian atau semua utang itu lebih baik, dan diperintahkan pula agar jangan mengambil harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antara kamu. Serta diamanatkan pula bahwa Jual beli itu hanya boleh dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak. Hal ini selaras dengan Prinsip Syariah yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini bahwa Prinsip Syariah yaitu prinsip pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing principle atau PLS principle) yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan bunga (interest free) 53 yang pada intinya kesepakatan untuk memikul resiko dan keuntungan secara bersama dan berimbang antara kreditor dan debitor. Substansi Putusan Pailit sebagai sarana daya paksa yang dapat digunakan oleh kreditor untuk memperoleh pembayaran segala utang debitor melalui Sitaan Umum Kepailitan (Gerechtelijk Beslag), yang mana sistem hukum kepailitan di Indonesia tidak mengenal Prinsip Debt Forgiveness, sehingga tidak ada pengampunan utang terhadap debitor pailit, bahkan sistem hukum kepailitan Indonesia yang menekankan pada prinsip pembalasan dendam terhadap debitor. Dengan
demikian
dalam
Sistem
Hukum
Kepailitan
Indonesia
tidak
memperhatikan aspek secara sukarela sebagaimana dianut dalam Prinsip Syariah, khususnya apabila Permohonan Pailit diajukan oleh Pihak Kreditor dapat dipahami telah memaksa pemenuhan piutangnya kepada debitor melalui sita umum dan pelelangan, jelas bertentangan dengan Prinsip Syariah yang menganut prinsip pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing principle), 53
Tesis
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal.1.
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
62
kecuali dalam hal debitor dengan persetujuan kreditor secara sukarela mengajukan sendiri Permohonan Pailit untuk menyelesaikan pembayaran utangnya melalui proses Kepailitan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Kepailitan. Demikian pula terkait dengan aspek substansi, konsep pemberian sanksi bagi debitur dalam transaksi Ekonomi Syariah sebagaimana disebutkan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor17/DSNMUI/IX/2000 tentang Sanksi Bagi Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran, menurut Maftukhatusolikhah dan M. Rusdi keabsahan hukumnya hingga saat ini di kalangan Ulama masih kotroversial, disatu pihak terdapat Ulama-Ulama yang menentang pemberian Sanksi berupa denda sejumlah uang terhadap keterlambatan tersebut karena sanksi semacam itu dianggap mengandung unsur riba yang secara qat’i dilarang syara’, sementara hal mendasar yang membedakan Bank Syariah dengan Bank Konvensional justeru unsur yang mengandung riba itu sendiri. Di pihak lain, terdapat Ulama yang mendukung pemberian sanksi semacam itu terhadap nasabah tersebut karena beralasan untuk menegakkan maqasid asy-syariah. 54 Secara Sruktur Kelembagaan Kewenangan Pengadilan Niaga dengan wewenang khusus, sebagai Jurisdiction Spesific, Substantive dan Ekslusif untuk menerima, memeriksa dan memutus Permohonan Pailit sebagai Kompetensi absolut, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, mengatur bahwa Putusan atas Permohonan Pernyataan Pailit dan hal-hal 54
Maftukhatusolikhah dan M. Rusdi, Riba Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah, Politea Press, Yogyakarta, 2008, hal.6.
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
63
lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Yang mana menurut Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang RI Nomor 37 Tahun 2004, pengertian Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan Peradilan Umum. Dengan demikian Undang-Undang RI Nomor 37 Tahun 2004, secara tegas menentukan bahwa Pengadilan Niaga adalah satu-satunya Pengadilan yang memiliki kompetensi absolut atas Permohonan Pailit. Undang-Undang Kepailitan tidak membedakan klasifikasi debitor yang menjadi Termohon Pailit, dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Kepailitan disebutkan debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan (untuk dimohonkan Pailit). Pengertian debitor mencakup seluruh pengertian debitor yang berlaku menurut Hukum Nasional, tidak membedakan
debitor dengan
personalisasi keislaman atau tidak untuk debitor personlijke, maupun debitor Badan Hukum (rechtpersoon) yang tidak tercakup dalam pengertian Konsep Personalisasi Keislaman yaitu perkara dari orang-orang yang beragama Islam yang menjadi Kompetensi Pengadilan Agama. Dengan demikian baik Badan Hukum berupa Perbankan Syariah, Asuransi Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah lainnya termasuk Badan Hukum umum lainnya, yang melaksanakan transaksi Ekonomi Syariah merupakan Badan Hukum (rechtpersoon), berkaitan dengan status hukumnya tidak termasuk dalam klasifikasi personalisasi keislaman sehingga tunduk pada Ketentuan Hukum Nasional yang berlaku umum.
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
64
Sifat dan kedudukan pengaturan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, atas Putusan Permohonan Pernyataan Pailit memberikan makna bahwa Permohonan Pernyataan Pailit bukanlah Perkara yang berkarakter perselisihan / persengketaan (dispute case) namun Perkara Permohonan yang berkarakter Volunteer yang tidak mengadung perselisihan/persengketaan (non-dispute case) sebagai prosedur administrasi keperdataan, untuk menentukan kebijakan hukum, apakah seseorang atau badan hukum selaku debitor memenuhi syarat menurut hukum untuk dapat ditempatkan dalam keadaan status hukum pailit. Dimana berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, debitor dinyatakan Pailit dengan Putusan Pengadilan Niaga apabila debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Sifat dan kedudukan atas Putusan Permohonan Pernyataan Pailit sebagai Perkara Permohonan yang berkarakter Volunteer yang tidak mengadung perselisihan/persengketaan (non-dispute case) dihadapkan dengan Kompetensi Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, digunakan istilah hukum „sengketa‟ (dispute) mengacu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang pada Pasal 55 menyebutkan : (1) Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dilingkungan Peradilan Agama ; (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain di Pengadilan Agama, dimaksud ayat (1) penyelesaian dilakukan sesuai dengan isi aqad;
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
65
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah ; Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Undang-Undang Perbankan Syariah yang menjadi penggerak utama dalam pengembangan transaksi Ekonomi Syariah di Indonesia menggunakan istilah hukum „Sengketa Ekonomi Syariah‟ yang berkarakter sengketa (dispute) yang penyelesaian perkaranya menjadi Kompetensi absolut Pengadilan Agama, dan secara terminologi yuridis pengertian sengketa (dispute) tidak termasuk Permohonan Pernyataan Pailit debitor transaksi Ekonomi Syariah sebagai Perkara Permohonan yang berkarakter Volunteer yang tidak mengadung perselisihan/persengketaan (non-dispute case). Dengan demikian secara acontrario Pengadilan Agama tidak memiliki kompetensi absolut atas Permohonan Pernyataan Pailit debitor dalam transaksi Ekonomi Syariah karena bukan tidak termasuk dalam sengketa Ekonomi Syariah. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bahkan juga memberikan peluang hak opsi atau pilihan hukum bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian atau kontrak dengan sistem syariah, apakah sengketa diantara mereka akan diselesaikan di Peradilan Umum diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syariah, sehingga akibatnya menimbulkan titik singgung kewenangan antara pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Umum dengan lingkungan dalam Pengadilan Agama.
55
Dengan
demikian secara hukum pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dalam hal ini Pengadilan Niaga tetap memiliki kompetensi absolut untuk memeriksa dan mengadili selain Permohonan Kepailitan debitor transaksi ekonomi syariah, 55
Tesis
Mahkamah Agung RI (Laporan Penelitian), Op.Cit., hal.42.
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
66
sekaligus sengketa ekonomi syariah sepanjang penyelesaian sengketanya diperiksa dan diputus dengan hukum yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Kedudukan debitor transaksi ekonomi syariah dalam permohonan kepailitan, sama dengan debitor lainnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyebutkan bahwa debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka Pengadilan, demikian pula kreditor transaksi ekonomi syariah dalam permohonan kepailitan, sama dengan kreditor lainnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka Pengadilan. Dalam Kepailitan tidak dikenal personalisasi keislaman baik untuk debitor maupun kreditor, sehingga permohonan pailit debitor baik perseorangan maupun badan hukum yang terikat dalam transaksi ekonomi syariah memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan debitor dan kreditor lainnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Kepailitan. Khususnya terkait dengan Kepailitan Badan Hukum Indonesia yang tidak terikat dengan Azas Personalitas Keislaman yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama. Mahkamah Agung RI meskipun tidak secara tegas menggariskan bahwa Permohonan Pailit debitor Perseorangan maupun Badan Hukum yang terikat dengan transaksi Ekonomi Syariah apakah tetap hanya dapat diajukan ke
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
67
Pengadilan Niaga atau juga dapat diajukan melalui Pengadilan Agama, namun Mahkamah Agung RI melalui Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Dalam Empat Lingkungan Peradilan yang ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 tertanggal 4 April 2006 memberikan pedoman bahwa Permohonan Kepailitan hanya menjadi Kompetensi absolut Pengadilan Niaga tanpa melihat apakah debitor adalah debitor transaksi konvensional atau transaksi ekonomi syariah, 56 sedangkan Pengadilan Agama tidak diberikan pedoman untuk menerima, memeriksa dan memutus Permohonan Pailit meskipun debitor memenuhi kriteria personalisasi keislaman dan terikat dalam transaksi ekonomi syariah. 57 Secara formil maupun materiil tidak terdapat ketentuan petunjuk teknis sekaligus perangkat yang menyebutkan dan mengatur bahwa mengenai Konstruksi Hukum Kepailitan menjadi Kewenangan Pengadilan Agama sekalipun terkait dengan sengketa Ekonomi Syariah. Khususnya pula terkait dengan Kepailitan Badan Hukum Indonesia yang tidak terikat dengan Azas Personalitas Keislaman yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama. Sehingga status hukum dan kewenangan (legal status and power) Pengadilan Agama tidak memiliki kapasitas hukum (legal capacity) untuk menyelesaikan permohonan pailit. Dan tata cara penyelesaian (settlement method) yang diajukan dalam bentuk Permohonan Kepailitan kepada Pengadilan Niaga adalah cara penyelesaian yang berkarakter extra ordinary court melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, dari suatu cara penyelesaian yang bersifat konvensional melalui gugatan perdata 56 57
Tesis
Mahkamah Agung RI (Buku II), Op.Cit., hal.109-132. Ibid, hal.319-505.
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
68
kepada Pengadilan Negeri. Dengan demikian, status hukum (legal status) dan kapasitas hukum (legal capacity) Pengadilan Niaga yang berkarakter extra ordinary court yang khusus menyelesaikan permohonan pailit tidak dapat dikesampingkan kewenangannya oleh Pengadilan Agama. Dalam praktek Perbankan Syariah terhadap debitor yang terikat dalam transaksi ekonomi syariah yang tidak membayar utangnya, Pihak Bank selaku kreditor memilih mengajukan Permohonan Pailit pada Pengadilan Niaga bukan pada Pengadilan Agama, sebagaimana dalam Perkara Permohonan Pailit PT. Lintas Sarana Komunikasi beserta Para Penjaminnya (borgtocht) dengan Bank CIMB Niaga, Tbk. selaku Pemohon di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang terdaftar dalam Register Perkara Nomor : 07/Pailit/2011/ PN.NIAGA. JKT.PST. meskipun terikat dalam transaksi ekonomi syariah berupa Perjanjian Musyarakah, namun Permohonan Kepailitannya melalui Pengadilan Niaga. Perkara Permohonan Pailit PT. Lintas Sarana Komunikasi beserta Para Penjaminnya dengan Bank CIMB Niaga, Tbk. Register Perkara Nomor : 07/Pailit/2011/PN.NIAGA.JKT.PST. terikat dalam transaksi ekonomi syariah berupa Perjanjian Musyarakah, hal ini diketahui dari Eksepsi dari Termohon Pailit I, II, III dan IV yang salah satunya mengenai Kompetensi absolut. Termohon Pailit I dan II menyatakan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Termohon (PT. Lintas Sarana Komunikasi) telah membuat perjanjian fasilitas pinjaman (kredit) berupa sebuah perjanjian yang dibuat berdasarkan
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
69
prinsip-prinsip perbankan syariah sebagaimana dimuat dalam akta perjanjian pembiayaan musyarakah berdasarkan prinsip musyarakah nomor : 45 tanggal 15 April 2008 yang dibuat oleh dan dihadapan Dra. Rr. Haryanti Poerbiatari, SH. Notaris di Jakarta, yang menyepakati bahwa para pihak tunduk pada ketentuanketentuan syariah dan Undang-Undang yang berlaku. Sehingga permasalahan yang diajukan oleh Pemohon Pailit pada dasarnya adalah sengketa atau perkara Perbankan Syariah yang penyelesaiannya dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama (Vide Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008) karenanya Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili Perkara a-quo. Sedangkan Termohon Pailit III dan IV menambahkan bahwa Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang secara absolut dalam memeriksa dan mengadili, karena yang berwenang absolut ada pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Selanjutnya atas Eksepsi Pemohon I, II, III dan IV, Majelis Hakim Pengadilan Niaga memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya : 58 1. Bahwa substansi permohonan Pemohon Pailit adalah mengenai adanya Utang dari Termohon I kepada Pemohon yang dijamin secara personal quarantee oleh Termohon II, III dan IV, yang menurut dalil Pemohon Utang tersebut tidak dibayar hingga permohonan diajukan ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meskipun Utang tersebut telah jatuh tempo pada tanggal 15 April 2010. 2. Bahwa pada hakekatnya proses Kepailitan dan PKPU adalah suatu mekanisme penyelesaian Utang dari Debitor kepada para Kreditornya yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebaimana diatur dalam UndangUndang Kepailitan dan PKPU. 58
hal.39-40.
Tesis
Pertimbangan Hukum Putusan Sela Nomor : 07/Pailit/2011/PN.NIAGA.JKT.PST,
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
70
3. Bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU bersifat lex spesialis dan Undang-Undang tersebut tidak mengecualikan apakah permohonan Kepailitan dan PKPU yang diajukan pemohon didasarkan perjanjian utang-piutang yang berbasis Prinsip Musyarakah atau Prinsip Konvensional, bahkan di dalam Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur secara khusus bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan Permohonan Pernyataan Pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat Klausul Arbitrase, sepanjang Utang yang menjadi dasar Permohonan Pernyataan Pailit telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. 4. Bahwa dengan tidak adanya ketentuan yang mengatur secara khusus tentang dasar / prinsip Perjanjian Utang-Piutang dalam UndangUndang Kepailitan dan Ketentuan Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Majelis Hakim berpendapat bahwa Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan memutus perkara a quo karena perkara a quo adalah bukan kewenangan Pengadilan Agama atau Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Dalam Putusan Sela Perkara Nomor : 07/Pailit/2011/PN.NIAGA.JKT.PST. telah diuraikan pula tanggapan Pemohon Pailit Bank CIMB Niaga, Tbk. yang pada pokoknya mengemukakan : 1. Bahwa permohonan pailit tidak bisa disamakan dengan sebuah sengketa, karena berdasarkan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah untuk mengatur bila terjadi sengketa dalam Sistem Perbankan Syariah, dimana Undang-Undang tersebut mengatur bahwa “Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkup Pengadilan Agama”. 2. Bahwa Kepailitan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Uang tidak berbicara mengenai sengketa namun berfungsi untuk mengatur tentang utang-piutang. Kaidah hukum dari Perkara Kepailitan PT. Lintas Sarana Komunikasi beserta Para Penjaminnya dengan Bank CIMB Niaga, Tbk. dalam Register Perkara Nomor : 07/Pailit/2011/ PN.NIAGA.JKT.PST. bahwa proses Kepailitan adalah suatu mekanisme penyelesaian Utang dari Debitor kepada para
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
71
Kreditornya, yang tidak sama dengan sebuah sengketa (dispute). Undang-Undang Kepailitan bersifat lex spesialis yang tidak mengecualikan permohonan Kepailitan yang diajukan berdasarkan perjanjian utang-piutang yang berbasis Prinsip Syariah atau Prinsip Konvensional. Kaidah hukum dari Perkara Kepailitan PT. Lintas Sarana Komunikasi beserta Para Penjaminnya dengan Bank CIMB Niaga, Tbk. dalam Register Perkara Nomor : 07/Pailit/2011/ PN.NIAGA.JKT.PST. diperkuat oleh Putusan pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung RI dalam Register Perkara Nomor : 346 K/PDT.SUS/2011 yang pada pokoknya mempertimbangkan alasanalasan Kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena ternyata Judex Facti tidak salah dan tidak keliru dalam menerapkan hukum serta tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang. Mengacu pada Pasal 303 Undang-Undang Kepailitan yang mengatur Pengadilan Niaga berwenang memeriksa dan menyelesaikan Permohonan Pernyataan Pailit para pihak yang terikat perjanjian yang memuat Klausul Arbitrase, sepanjang Utang yang menjadi dasar Permohonan Pernyataan Pailit telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan. Sehingga Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan memutus, karena bukan kewenangan Pengadilan Agama atau Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Khususnya terkait dengan Kepailitan PT. Lintas Sarana Komunikasi yang merupakan Badan Hukum Indonesia yang tidak terikat dengan Azas Personalitas Keislaman yang menjadi kompetensi
absolut
Pengadilan
Agama.
Disamping memang
tata
cara
penyelesaian (settlement method) Permohonan Kepailitan pada Pengadilan Niaga
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
72
adalah cara penyelesaian perselisihan utang piutang yang bersifat khusus sehingga berkarakter extra ordinary court, yang tidak dapat dikesampingkan kompetensi absolutnya oleh Badan Peradilan dan Badan Penyelesaian Perselisihan lainnya. Praktek Permohonan Kepailitan di Malaysia yang lebih sistematis dalam penerapan dan dukungan pengembangan ekonomi syariahnya dari Indonesia, dapat dikaji sebagai perbandingan hukum (Comparative Law) dari UndangUndang Kepailitan Malaysia yaitu Bankruptcy Act 1967 Part V Section 88 yang menyebutkan bahwa
High Court to be the court having jurisdiction in
bankruptcy. Dengan demikian Permohonan Kepailitan di Malaysia hanya menjadi kewenangan absolut Pengadilan Tinggi dan tidak berada di bawah kewenangan Pengadilan Syariah. Hal ini dapat dipahami sebagaimana dikemukakan Gatot Sugiharto bahwa sebagai bekas jajahan Inggris, Jenis Sistem Hukum Malaysia tetap mempertahankan tradisi hukum kebiasaan Inggris. Tradisi ini berdiri ditengah-tengah Sistem Hukum Islam (yang dilaksanakan oleh pengadilan Syari‟ah) dan hukum adat berbagai kelompok penduduk asli. Pengadilan Tinggi di Malaysia terdapat 2 (dua), satu di Semenanjung Malaysia, yang dikenal sebagai Pengadilan Tinggi di Malaya, dan yang lain di Malaysia Timur, yang dikenal sebagai Pengadilan Tinggi di Sabah dan Sarawak. Dengan pengecualian segala persoalan dalam yurisdiksi Pengadilan Syari‟ah, pengadilan ini memiliki yurisdiksi murni tidak terbatas pada wilayahnya. Mereka juga dapat menerima pengajuan banding dari Session Courts dan Magistrates‟ Courts. 59
59
Gatot Sugiharto, Sistem Hukum Malaysia dalam http://www.gats.blogspot.com/2008/ 12/sistem-hukum-malaysia.html.
Tesis
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
73
Selanjutnya Gatot Sugiharto menyatakan pula bahwa Pengadilan Syari‟ah Malaysia adalah Pengadilan di Negara Bagian yang agak terpisah dari Pengadilan Federal yang tidak memiliki yurisdiksi atas orang Islam berkaitan dengan hukum perseorangan dan keluarga misalnya pertunangan, pernikahan, perceraian, perwalian, adopsi, legitimitasi, suksesi, beserta sedekah dan wakaf. Yurisdiksi pada hukum pidana terbatas pada apa yang sudah ada pada Pengadilan Federal dan terbatas hanya pada kaum muslim yang melanggar Hukum Syari‟ah dimana pelaku dapat dikenai hukuman maksimal 3 tahun penjara, dan denda sebesar 5.000 ringgit, hukum cambuk maksimal 6 kali atau gabungan atas dua atau lebih. 60
60
Tesis
Ibid.
KESATUAN SISTEM HUKUM ........
MOHAMMAD AMRULLAH