BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TASBÎH
2.1. Pengertian Tasbîh Allâh SWT menurunkan Al-Qur’ân sebagai petunjuk bagi manusia, yang di dalamnya menjelaskan sesuatu dan tidak akan pernah sesat orang yang akan menjadikannya sebagai pedoman bagi kehidupan sehari-hari. Kata-kata dalam al-Qur’ân telah dipilih begitu rupa
sehingga tidak bisa
digantikan dengan kata-kata lain, walaupun semakna. Kehalusan bahasa dan uslub al-Qur’ân yang menakjubkan yang terlihat dari segi balaghoh dan fasohahnya. Ungkapan-ungkapannya yang singkat, padat, serta kaya dengan isi dan makna yang dalam. Setiap bentuknya mempunyai makna dan pesan khas yang berbeda dengan bentuk lainnya. Sehingga keindahan sajian serta susunannya, seolah-olah suatu bingkai yang dapat memukau akal dan memusatkan tanggapan dan perhatian. Oleh karena itu itulah Allâh memilih bahasa Arab sebagai bahasa alQur’ân. Dan al-Qur’ân selalu menjadi objek kajian oleh para cendikiawan Muslim dan non-Muslim sehingga ia tetap aktual sejak diturunkan empat belas abad yang lalu sampai sekarang. Salah satu masalah pokok yang banyak dibahas oleh al-Qur’ân adalah tasbîh.
18
Salah satu fenomena alam yang diungkap oleh al-Qur’ân adalah bahwa seluruh jagat raya telah bertasbih kepada Allâh SWT sejak diciptakan sampai hari akhir nanti. Alam semesta dengan segenap isi dan penghuninya. Senantiasa bershalawat, bersujud dan bertasbih kepada Allâh ‘Azza wa Jalla. Bertasbih kepada Allâh adalah fitrah seluruh makhluk. Semua diciptakan dengan naluri bertasbih, menyucikan Sang Pencipta. Naluri yang tidak dapat ditolak dan berlangsung secara ilmiah tanpa harus diupayakan. Tiada waktu tanpa alunan tasbîh. Bahkan, andai alam raya berhenti bertasbih, ia akan luluh lantak, lenyap dan binasa. Tasbîh ( ) ﺗﺴﺒﯿﺢdiambil dari kata sabbaha–yusabbihu–tasbîhan ( ﺗﺴﺒﯿﺤﺎ - ﯾﺴﺒﺢ- ) ﺳﺒﺢyang berasal dari kata sabh ()ﺳﺒﺢ. Secara etimologi Ar-Ragîb Al-Ashfahâni mengartikan kata as-Sabh ( )اﻟﺳﺑﺢsebagai “berenang” atau “terbang”. Itu dapat dipergunakan untuk perjalanan bintang di langit, akan tetapi kata tasbîh ( )ﺗﺳﺑﯾﺢyaitu segera pergi untuk beramal dalam rangka menyembah Allâh. Kata ini berlaku untuk melakukan kebaikan atau menjauhi kejahatan. Al-Ashfahâni juga mengatakan bahwa tasbîh bisa dalam wujud perkataan, perbuatan ataupun niat. 1 Sementara dalam bentuk entri kosa-kata dari tasbîh diantaranya adalah Kamus Al-Munjîd tasbîh berarti menyucikan dan memuliakan Allâh Swt2. Ini
1
Roghib Al-Ashfihani, Mu’jam li al-Mufradat li al-Fâdzil Qur’ân al-Karîm, hlm.226. Fr. Louis Ma’luf al- Yassu’i dkk, Kamus al-Munjîd, (Beirût Libanon : Dâru Al-Musyriq, 1908), hlm 317. 2
19
selaras dengan arti tasbîh dalam kamus Al-Munawwir3 dan Mu’jam al-Wasit yaitu pengagungan atau penyucian Allâh Swt.4 Begitu juga dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia tasbîh juga diartikan menyucikan dan mengagungkan Allâh Swt.5 Sedangkan secara Terminologi makna tasbîh adalah Menyucikan Allâh Swt dari segala keburukan dan dari segala perbuatan ataupun sifat yang tidak sesuai dengan keagungan, kemuliaan, kasih sayang, dan kekuasaan-Nya atas segala sesuatu.6 Para
ulama
tafsîr
banyak
menguraikan
pendapatnya
ketika
menafsirkan Qur’ân surat al-Isra` ayat 44 yang berbunyi:
Artinya : “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbîh kepada Allâh. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbîh mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”
3
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997), hlm 603. 4 Syauki dayif, Al-Mu’jam al-Wasit, (Mesir : Maktabah Syurud Dauliah, 2005), hlm 412. 5 Muhdlor Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab – Indonesia , (Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 1987), hlm 1044. 6 Niswah Al-Ulwani, Rahasia Istighfâr dan Tasbîh (Jakarta: Pustaka Al-Mawardi, 2008) hlm. 127.
20
Ibnu Katsîr menjelaskan dalam tafsîrnya bahwa langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allâh SWT. Semuanya memberikan kesaksian bagi ke-Esa-an-Nya dalam RubûbiyyahNya ( bahwa hanya Allâh lah yang satu-satunya yang menciptakan , mengatur, berkuasa, dan melakukan segalanya). Dan dalam Ulûhiyyah-Nya ( bahwa hanya Allâh lah satu-satunya yang berhak diibadahi dengan benar). Dan tidak ada makhluk apapun yang tidak bertasbîh kepada-Nya. Akan tetapi kita tidak mengetahui tasbîh binatang, tumbuhan, bahkan benda-benda mati.7 Hamka dalam Tafsîr Al Azhar, menafsirkan surat Al-Isrâ’ ayat 44 yaitu bertasbih adalah mengucapkan kesucian yang berarti juga tunduk akan perintah-Nya, melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya, baik dengan lidah atau perbuatan atau dengan bukti kepatuhan. Langit tujuh petala bertasbih, dan segala penduduk siapapun yang berdiam disemua langit dan bumi itu semuanya bertasbih kepada Allâh Swt.8 Pendapat Hamka ini hampir sama dengan pendapat M. Quraish Shîhab, yang terdapat di dalam tafsîr al-Misbah memahami ayat ini dengan mengutip pendapatnya thabatha’i yang mengatakan bahwa ayat di atas sebagai
7
Shafiyyur Rahmân al-Mubarrakfuri, Shahih TafsîrI bnu Katsîr Terj, (Jakarta : Pustaka AlKautsar, 2013), hlm 380. 8
Hamka, Tafsîral-Azhar Jilid 6, (Singapura : Pustaka Nasional Pte Ltd, 2007), hlm 4063.
21
penyempurnaan argumentasi ayat yang lalu, dan dengan demikian hubungannya menjadi sangat erat, bahkan keduanya menjadi satu kesatuan. Seakan-akan ayat yang lalu dan ayat ini menyatakan seandainya ada tuhan-tuhan bersama-Nya pastilah kekuasaan-Nya menjadi rebutan, tetapi kekuasaan di langit dan di bumi serta siapa saja yang di dalamnya, semuanya mensucikan-Nya dan menyaksikan bahwa tiada sekutu bagi-Nya dan tidak berakhir kecuali kepada-Nya dan tidak pula sujud kecuali kepada-Nya, dan dengan demikian tidak ada yang memiliki kekuasaan dan tidak pula yang wajar menyandangnya kecuali Allâh Swt, karena tidak ada tuhan selain Dia Ayat di atas jelas dan tanpa diragukan lagi bahwa adanya pentasbihan itu dilakukan oleh alam semesta. Akan tetapi bagaimana caranya alam semesta bertasbîh ulama berbeda pendapat dalam memahami ayat di atas. 9 Sementara ada yang memahami bahwa tasbihnya alam semesta dalam arti majazi, yakni kepatuhannya mengikuti hukum-hukum Allâh yang berlaku atasnya. Keserasian dan kecermatan Allâh itu menunjukkan bukti bahwa ciptaan Allâh sangatlah sempurna10, dan serasi bukan saja pada wujudnya atau system kerjanya sebagai satu kesatuan, tetapi juga dalam bagian dan rincian masing-masing satuan. Keserasian itulah sebagai tasbihnya. 11
9
Ibid., Yang dimaksud sempurna adalah jauh dari segala kekurangan dan bahwa penciptaan dan penguasaannya hanya Allah, dan tiada sekutu bagi-Nya. Ibid., hlm. 4064. 11 Ibid., 10
22
Tapi semua manusia tidak mampu mengerti secara mendalam semua bukti-bukti yang terdapat pada rincian setiap ciptaan-Nya, atau dalam istilah ayat ini “tidak mengerti tasbîh mereka.” Al-Biqâ’i memahami bahwa kemampuan memahami tasbîh itu tertuju kepada kebanyakan orang, tetapi bagi yang taat dan kukuh ketakwaannya dapat memahaminya. Dengan demikian tasbîh tersebut dipahami oleh alBiqâ’i dalam arti hakiki. Dari sini kemudian al-Biqâ’i menyatakan bahwa orang-orang yang khusus dapat memahami tasbîh segala sesuatu, tapi tidak demikian dengan kebanyakan orang. Atas dasar ini al-Biqâ’i berpendapat bahwa kata kamu ditujukan kepada kebanyakan orang. Selanjutnya ulama ini menyatakan bahwa tasbîh itu sedemikian jelas sedangkan kebanyakan orang pada umumnya tidak memahaminya, maka semestinya mereka dihukum, tetapi Allâh Maha Pengampun , maka mereka tidak dihukum.12 Alam ini pun bernyawa layaknya manusia. Seperti pengetahuan kita tentang ilmu tumbuh-tumbuhan misalnya, tentang terjadinya pohon yang besar berasal daripada biji yang kecil berangsur dia hidup sejak dari dua helai daun, sampai berdahan, bercabang beranting, berdaun dan menghasilkan
12
Quraish Shîhâb, Tafsîr al-Misbah : Pesan, kesan dan keserasian al-Qur’ân , (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 473.
23
buah, dapatlah kita pahamkan bahwa itu pun adalah tasbihnya terhadap Tuhan. Jadi tidak diragukan lagi bahwa pada hakikatnya seluruh alam semesta bertasbih menyucikan Allâh Swt laksana semuanya berada dalam sebuah lingkaran yang indah. Semuanya bersujud, bertasbih, dan menguduskan Allâh Swt. Setiap butiran batu dan pasir, setiap butir biji dan setiap lembar daun diranting pepohonan , setiap kuntum bunga dan setiap butir buah , setiap ekor serangga dan setiap helai rumput, setiap binatang dan manusia, serta setiap binatang yang melata di bumi dan segala benda yang ada di angkasa semuanya bersujud, bertasbih, dan menguduskan Allâh Swt. 2.2. Kata-Kata Yang Semakna Dengan Tasbîh Ada beberapa kata-kata yang dianggap mempunyai makna sama dengan tasbîh. Diantaranya : 2.2.1. Kata “ Quddûs” Di antara nama-nama Allâh yang mulia adalah Al-Quddûs. Nama yang mulia ini menunjukkan bahwa Allâh Maha Suci, bersih dan jauh dari segala kekurangan dan kesalahan. Allâh Maha Suci dari sifat-sifat dan bentuk-bentuk yang mungkin melintas dalam pikiran manusia dan melintas di dalam hatinya, sepertinya khayalan dan imajinasi, bahwa Allâh itu seperti ini, dan seperti itu.
24
Semuanya harus dibersihkan dari pikiran dan hati kita bahwa Allâh itu Quddûs.13
Dalam Al-Qur’ân Allâh berfirman dalam Q.S. Al- Hasyr (59) 23 :
Artinya :“Dialah Allâh Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allâh dari apa yang mereka persekutukan.
Dalam ayat lain Allâh SWT juga berfirman Q.S. Al-Jumu’ah (62) : 1
Artinya :“Senantiasa bertasbih kepada Allâh apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 13
Muhammad Ali Hasan, Memahami dan Meneladani Asmâul Husna, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 70.
25
Berbeda manusia dengan makhluk lainnya, yang memiliki sifat serba kekurangan dalam segala hal, sering melakukan kesalahan dan kekeliruan dari zaman ke zaman. Betapapun berkuasanya manusia dia tetap memerlukan orang lain untuk memenuhi keinginannya. Disitulah letak kesempunaan manusia itu. Jadi perlu disadari bahwa manusia paling tinggi hanya dapat memberikan kepada Allâh sifat-sifat kesempurnaan yang diduga oleh manusia, serta mensucikan Allâh dari sifat kekurangan.14 Konsekuensi dalam mengimani nama
Allâh al-Quddûs adalah
membersihkan hati dari kesyirikan, kemunafikan dan riya’. Begitu pula membersihkan lisan dari dusta dan kata-kata kotor, dan menjauhkan diri dari perbuatan bid’ah. Karena nama Al-Quddûs berarti mensucikan atau membersihkan sehingga hal-hal tadi adalah perenungan dari nama mulia tersebut. Jadi meneladani Allâh dalam sifat kekudusan-Nya bukan saja menuntut untuk menjadi ilmuan saja tetapi juga menuntut untuk menghadirkan Allâh pada ilmu yang dipikirkan dan diamalkan. 15
2.2.2. Kata “ Tanzîh ” Tanzîh adalah menjauhkan diri dari sesuatu yang dibenci atau yang tidak baik. Tanzîh berasal dari kata nazzaha, yang berarti menjauhkan atau 14 15
Ibid., hlm 71. M. Quraish Shîhâb, “Menyingkap Tabir Ilâhi”, (Jakarta : Lentera Hati, 2001). hlm. 35
26
membersihkan sesuatu dari sesuatu yang mengotori yang digunakan untuk menyatakan atau menganggap bahwa Tuhan secara mutlak bebas dari semua ketidaksempurnaan.16 Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa dalam mengenal Allâh, manusia harus melihat tanzîh-Nya (kesucian Allâh dari segala sifat yang baru) pada tasybihNya (keserupaan-Nya dengan yang baru). Karena jika seseorang hanya mengenal aspek tanzîh, berarti dia telah membatasi kemutlakan-Nya. Karena tanzîh berarti menafsirkan segala sifat bagi Allâh. Kemudian jika mengenal Allâh dalam aspek tasybih saja maka akan mengakibatkan keserupaan Tuhan dengan
sesuatu
yang
baru.
Artinya
untuk
mengenal
Allâh
harus
menggabungkan dua aspek tadi sekaligus.17 Allâh Swt berfirman dalam Q.S. Asy-Syûra (42) : 11 :
Artinya :“Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasanganpasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” 16 17
Ahmad Warson Munawir, Op, Cit, hlm 1406. Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2007), hlm 279.
27
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’ân yang berbicara tentang tanzîh (mensucikan Allâh dari menyerupai makhluk). Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allâh Maha Suci dari berupa benda. Dan Allâh Maha Suci dari sifat-sifat benda yang bergerak, diam, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain dan sifat-sifat benda yang lain. Dengan kata lain tanzîh menyatakan bahwa Allâh melebihi sifat atau kualitas apa pun yang dimiliki oleh makhluk-Nya. 2.2.3. Kata “ Tabârak” ( )ﺗﺒﺎرك Al-Laits menafsirkan kata tabârak ( )ﺗﺒﺎركadalah pemuliaan dan pengagungan. Sedangkan Ar-Roghîb berkata tabâruk atau barakah berarti tetapnya kebaikan Allâh terhadap sesuatu. Berkah itu datangnya dari Allâh Swt, baik dalam hal rezki, pertolongan, kesembuhan, dan lain-lain. Maka tidak boleh meminta barakah kecuali kepada Allâh karena Dialah pemberi barakah. Allâh berfirman dalam surah Al-Mulk ayat 1 :
Artinya : “Maha suci Allâh yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
28
Hamka menjelaskan bahwa segala kerajaan dan kekuasaan yang ada di muka bumi ini adalah milik Allâh Swt. Allâh pembahagi kekuasaan kepada sekalian raja dan penguasa yang ada di dunia diseluruh alam ini, baik di bumi maupun di langit. Allâh lah yang menentukan sesuatu. Itulah makna dai sifat Allâh yang disebut dengan Qâdir, yang biasa diartikan Maha Kuasa. Demikian bahwa hidup dan mati manusia, bala bencana atau keselamatan, semuanya itu adalah pertemuan antara ketentuan dengan ketentuan, baik ketentuan yang besar maupun yang kecil, ada yang diketahui manusia dan ada pula yang tidak diketahui manusia. Namun seluruh keadaan dalam alam ini tidaklah ada yang terlepas dari ketentuan yang telah ditentukan Allâh Swt.18 Kalau sudah jelas bahwa segala sesuatu itu datangnya dari Allâh Swt. Maka meminta kepada selain Allâh adalah perbuatan syirik seperti meminta rezki, mendatangkan manfaat serta menolak mudharat kepada selain Allâh Swt. Sesuatu yang digunakan untuk bertabaruk seperti benda-benda, ucapan, ataupun
perbuatan
yang
telah
jelas
ketetapannya
dalam
syari’at,
kedudukannya hanya sebagai sebab, bukanlah yang mendatangkan barakah. Bertabâruk dapat dilakukan dengan perkara yang dapat dicapai dengan panca indra seperti ilmu, doa, dan lain-lain.19 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bertabâruk adalah mencari barakah dalam hal tambahan kebaikan dan pahala serta semua yang 18 19
Hamka, Op., Cit, hlm. 7531. Ibid.,
29
dibutuhkan seorang hamba dalam urusan agama dan dunianya melalui sebabsebab dan cara yang telah ditetapkan dalam syari’at. Jadi tidak diragukan lagi bahwa barakah itu termasuk kebaikan, sedang kebaikan itu semuanya datang dari Allâh Swt.
2.3. Identifikasi Ayat-Ayat Tasbîh Dalam Al-Qur’ân Adapun kata tasbîh diambil dari Madhi “sabbaha” dengan seluruh turunannya dan sabbaha – yasbahu - Tasbiihan. Dalam Kamus Mu’jamul Fahras Li alfâdhil Qur’ân tasbîh diulang sebanyak 91 kali dalam al-Qur’ân.20 Untuk lebih jelasnya lagi dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Sighat Madhi QS. Al-Hadîd [57]: 1 QS. Al-Hasyr [59]: 1 QS. Ash-Shaff [61]: 1
20
Mudhari’ QS. Al-Baqarah [2]: 30 QS. Ar-Ra‘d [13]: 13, QS.Al-A’la [17]: 44 (dua kali) QS.Al-Anbiyâ’ [21]: 20 dan 79 QS.An-Nûr [24]: 36 dan 41
Muhammad Fuad ‘Abdul Bâqi. Op. Cit. hlm. 339-340
30
Masdar QS. Al-Isrâ’ [17]: 44 QS. An-Nûr [24]: 41, QS. Al-Muzammil [73]: 7 QS. An-Nazi’ât [79]: 3 QS. Yusuf [12]: 108 QS. Al-Isrâ’ [17]: 1 93, dan 108
QS. AsSajadah [32]: 15.
QS. Al-Qalâm [68]: 28 QS. Al-Fath [48]: 9 QS.Thâhâ[20]: 33 QS. Al-Hasr[59]:24, QS. AlJum’at[62]: 1 QS. At-Taghabûn[64]: 1, QS. al-Anbiyâ’[21]: 79, QS. Shâd[38]: 18 QS. az-Zumar[39]: 75 QS. Ghafîr[40]: 7 QS.Fushilat[14]: 38 QS. an-Nûr[42]:5 QS. al’Arâf[7]:206.
31
QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 22 QS.Al-Mu’minûn [23]: 91 QS. An-Naml [27]: 8 QS.Al- Qashâsh [28]: 68 QS. Ar-Rûm[30]:17 QS. Yasîn [36]:32 QS. Nûn[32]:83 QS.As-Shafat[37]:159 dan 130 QS. Az-Zuhkrûf [43]:13 dan 82 QS.at-Thûr [52]:43 QS. Al-Hashr[56]:23 QS. Al-Qalâm[68]:22 QS.Al-Baqarah[2]:32 QS.Ali Imrân[3]:161 QS. Al-Maidah[5]:116 QS. Al-A’raf[7]:143 QS. Yusuf[10]:10 QS. an-Nisâ’[21]:87 QS.an-Nûr [24]:16 QS. Al-Furqân[25]:17 QS.As-Saba’ [34]:14 QS. Al-Baqarah[2]:116 QS.Al-Anbiyâ’ [4]:171 QS.al-An’am[6]:100 QS.An-Taubah[9]:31 QS.Yunûs[10]:18 dan 68 Q.S. Anbiyâ’[21]:126 QS.ar-Rûm [30]:40 QS.Az-Zumar[39]:40 dan 67. QS.an-Nahl [16]:1 dan 57 QS.al-Isrâ’ [17]:43 QS.Maryam
[19]:35
Tabel 1 : Ayat-ayat tasbîh secara keseluruhan di dalam al-Qur’ân.
Dari tabel di atas telah jelas bahwa semua kata tasbîh di temukan dalam al-Qur’ân dengan bergai macam variasi. Kata Tasbîh diulang sebanyak 91 kali. Dalam bentuk Madhi diulang sebanyak 4 kali, Mudhâri’ diulang sebanyak 22 kali, Masdar diulang sebanyak 45 kali.
Ayat-Ayat Tentang Tasbîh Manusia QS. Al-Ahzab (33) : 41-42
ﯾﻼ ً َﺻ ِ َو َﺳﱢﺑﺣُوﻩُ ُﺑﻛ َْرةً َوأ...
QS. Al-Qalam (68) : 28-29
....ﺴﺒﱢﺤُﻮ َن َ َُﺎل أ َْو َﺳﻄُ ُﻬ ْﻢ أَﻟَ ْﻢ أَﻗُ ْﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻟَﻮَْﻻ ﺗ َﻗ
QS. An-Nur (24 ) : 36-37
ُُﻮت أَ ِذ َن اﻟﻠﱠﻪُ أَ ْن ﺗـ ُْﺮﻓَ َﻊ َوﻳُ ْﺬ َﻛ َﺮ ﻓِﻴﻬَﺎ ا ْﺳ ُﻤﻪ ٍ ﻓِﻲ ﺑـُﻴ َﺎل ِ َاﻵَﺻ ْ ُو و ﺴﺒﱢ ُﺢ ﻟَﻪُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺑِﺎﻟْﻐُﺪ ﱢ َ ُﻳ
و َﺳﺒﱠﺤُﻮا ﺑِ َﺤ ْﻤ ِﺪ َرﺑﱢ ِﻬ ْﻢ َو ُﻫ ْﻢ َﻻ ﻳَ ْﺴﺘَ ْﻜﺒِﺮُو َن.. َ
QS. As-Sajadah (32 ) : 15
Ayat-Ayat Tentang Tasbîh Nabi dan Rasûl
ﱠل اﻟْﻤ ُْﺆِﻣﻨِﻴ َﻦ ُ ْﻚ َوأَﻧَﺎ أَو َ ْﺖ إِﻟَﻴ ُ َﻚ ﺗُـﺒ َ َﺎل ُﺳ ْﺒﺤَﺎﻧ َ ﻗ...
QS. Al-‘A’raf (07) : 143
ْﺖ َ ْﺖ ﻗُـﻠ َ َﺎل اﻟﻠﱠﻪُ ﻳَﺎ ﻋِﻴﺴَﻰ اﺑْ َﻦ ﻣ َْﺮﻳَ َﻢ أَأَﻧ َ َوإِ ْذ ﻗ
QS. Al-Maidah (05 ) : 116
َﺎل َ ﱠﺨﺬُوﻧِﻲ َوأُﱢﻣ َﻲ إِﻟَ َﻬﻴْ ِﻦ ِﻣ ْﻦ دُو ِن اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻗ ِ ﱠﺎس اﺗ ِ ﻟِﻠﻨ ْﺲ ﻟِﻲ ﺑِ َﺤ ﱟﻖ َ ُﻮل ﻣَﺎ ﻟَﻴ َ َﻚ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮ ُن ﻟِﻲ أَ ْن أَﻗ َ ُﺳ ْﺒﺤَﺎﻧ
32
ﺿﺒًﺎ ﻓَﻈَ ﱠﻦ أَ ْن ﻟَ ْﻦ ﻧَـ ْﻘ ِﺪ َر َﺐ ُﻣﻐَﺎ ِ َوذَا اﻟﻨﱡﻮ ِن إِ ْذ ذَﻫ َ
QS. Al-Anbiyâ’ (21) : 87
ْﺖ َﺎت أَ ْن َﻻ إِﻟَﻪَ إ ﱠِﻻ أَﻧ َ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ ﻓَـﻨَﺎدَى ﻓِﻲ اﻟﻈﱡﻠُﻤ ِ ْﺖ ِﻣ َﻦ اﻟﻈﱠﺎﻟِﻤِﻴ َﻦ َﻚ إِﻧﱢﻲ ُﻛﻨ ُ ُﺳ ْﺒﺤَﺎﻧ َ
Ayat-Ayat Tentang Tasbîh Malaikat
ﺴﺒﱢﺤُﻮ َن ْش ﻳُ َ ْل اﻟْﻌَﺮ ِ َﻼﺋِ َﻜﺔَ ﺣَﺎﻓﱢﻴ َﻦ ِﻣ ْﻦ ﺣَﻮ ِ َوﺗَـﺮَى اﻟْﻤ َ
QS.Az-Zumar (39) : 75
ﻀ َﻲ ﺑَـ ْﻴـﻨَـ ُﻬ ْﻢ ﺑِﺎﻟْ َﺤ ﱢﻖ َوﻗِﻴ َﻞ اﻟْ َﺤ ْﻤ ُﺪ ﻟِﻠﱠ ِﻪ ﺑِ َﺤ ْﻤ ِﺪ َرﺑﱢ ِﻬ ْﻢ َوﻗُ ِ
َب اﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴ َﻦ رﱢ
َﻼﺋِ َﻜﺔُ َات ﻳَـﺘَـ َﻔﻄ ْﱠﺮ َن ِﻣ ْﻦ ﻓـ َْﻮﻗِ ِﻬ ﱠﻦ وَاﻟْﻤ َ ﺴﻤَﻮ ُ ﺗَﻜَﺎ ُد اﻟ ﱠ
QS. As-Syûra’ (42) : 5
ْض ﺴﺒﱢﺤُﻮ َن ﺑِ َﺤ ْﻤ ِﺪ َرﺑﱢ ِﻬ ْﻢ َوﻳَ ْﺴﺘَـﻐْ ِﻔﺮُو َن ﻟِ َﻤ ْﻦ ﻓِﻲ ْاﻷَر ِ ﻳُ َ
ﱠﺣﻴ ُﻢ ُﻮ اﻟْﻐَﻔُﻮُر اﻟﺮِ أ ََﻻ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻫ َ
ْض َﻼﺋِ َﻜ ِﺔ إِﻧﱢﻲ ﺟَﺎ ِﻋ ٌﻞ ﻓِﻲ ْاﻷَر ِ ﱡﻚ ﻟِ ْﻠﻤ َ َﺎل َرﺑ َ َوإِ ْذ ﻗ َ
QS. Al-Baqarah ( 02) : 30
ِﻚ ْﺴ ُﺪ ﻓِﻴﻬَﺎ َوﻳَ ْﺴﻔ ُ َﺧﻠِﻴ َﻔﺔً ﻗَﺎﻟُﻮا أَﺗَ ْﺠ َﻌ ُﻞ ﻓِﻴﻬَﺎ َﻣ ْﻦ ﻳـُﻔ ِ
َﺎل إِﻧﱢﻲ َﻚ ﻗ َ سﻟ َ ِك َوﻧـُ َﻘ ﱢﺪ ُ ﺢ ﺑِ َﺤ ْﻤﺪ َ ﺴﺒﱢ ُ اﻟ ﱢﺪﻣَﺎءَ َوﻧَ ْﺤ ُﻦ ﻧُ َ
أَ ْﻋﻠَ ُﻢ ﻣَﺎ َﻻ ﺗَـ ْﻌﻠَﻤُﻮ َن
ﺴﺒﱢﺤُﻮ َن اﻟﻠﱠْﻴ َﻞ وَاﻟﻨﱠـﻬَﺎ َر َﻻ ﻳَـ ْﻔﺘُـﺮُو َن ﻳُ َ
QS. Al-Anbiyâ’ (21) : 20
Ayat Tentang Tasbîh Gunung dan Burung QS. Al-Anbiyâ’ (21) : 79
ﺴﺒﱢ ْﺤ َﻦ وَاﻟﻄﱠْﻴـ َﺮ َﺎل ﻳُ َ ْﺠﺒ َ َو َﺳﺨ ْﱠﺮﻧَﺎ َﻣ َﻊ دَاوُو َد اﻟ ِ َوُﻛﻨﱠﺎ ﻓَﺎ ِﻋﻠِﻴ َﻦ )Ayat Tentang Tasbîh Guruh (Petir
33
ْﺳ ُﻞ ِ َﻼﺋِ َﻜﺔُ ِﻣ ْﻦ ِﺧﻴ َﻔﺘِ ِﻪ َوﻳـُﺮ َ ﺢ اﻟ ﱠﺮ ْﻋ ُﺪ ﺑِ َﺤ ْﻤ ِﺪﻩِ وَاﻟْﻤ ُ ﺴﺒﱢ َ َُوﻳ
QS. Ar-Ra’d (13) : 13
ِﻴﺐ ﺑِﻬَﺎ َﻣ ْﻦ ﻳَﺸَﺎءُ َو ُﻫ ْﻢ ﻳُﺠَﺎ ِدﻟُﻮ َن ﻓِﻲ ُ اﻟﺼﱠﻮَا ِﻋ َﻖ ﻓَـﻴُﺼ
َﺎل ِ ُﻮ َﺷﺪِﻳ ُﺪ اﻟْ ِﻤﺤ َ اﻟﻠﱠ ِﻪ َوﻫ
Tabel 2 : Ayat-ayat tentang tasbîh manusia, nabi, malaikat, gunung, burung, dan guruh (petir)
Jadi, tidak diragukan lagi bahwa semua yang ada di jagat raya ini, dari semut sampai gajah, dari molekul hingga galaksi, seluruhnya bertasbih kepada Sang pencipta yang Maha Agung. Semua makhluk itu bertasbih semenjak awal diciptakan sampai masa sekarang dan masa yang akan datang, semuanya tak henti-henti mensucikan Allâh swt di setiap waktu dan saat. 2.4. Hakikat Tasbîh dalam Al - Qur’ân Tasbîh merupakan at-Tanzîh Ilallâh (Memahasucikan Allâh) dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya. Kalimat tasbîh berbunyi “Subhânallâh” (Maha Suci Alah), Subhânallâh walhamdulillah walâilâha illallâh wallâhu akbar (Maha Suci Allâh, segala puji bagi Allâh tidak ada Tuhan selain Allâh dan Allâh Maha Besar), Lâ ilâha illa anta Subhanaka Innî kuntu Minazhzhâlimîn
(Tiada
Tuhan
selain
Engkau,
Maha
Suci
Engkau
sesungguhnya aku termasuk orang yang menzhalimi diri sendiri )”. 21 Sumber lain juga menjelaskan pengertian yang senada dengan tasbîh adalah menyucikan dan mengagugkan Allâh. Bila kita mengucapkan Subhânallâh, berarti kita menyucikan Allâh Swt, dari segala sesuatu yang
21
Misbahus as-surûr, Dahsyatnya Shalat Tasbîh (Jakarta : Qultum Media, 2009, hlm 52.
34
tidak layak bagi-Nya. Tasbîh juga merupakan cara kerja dan fitrah segenap jagat raya. Dari situlah kita dapat memahami tasbîh segala sesuatu, sebagaimana firman Allâh Swt Q.S. Yasiin (36) : 40
Artinya :“ Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak akan mendahului siang, dan masing-masing bertasbîh (yasbahuun) pada garis ederannya.” Arti bertasbih pada ayat tersebut adalah bergerak sesuai dengan ketentuan dan fitrah yang Allâh tetapkan bagi mereka masing-masing. Jadi, gerakan matahari, bulan, dan bumi mengandung pengertian sujud dan bertasbîh kepada Allâh. Karena itulah, ayat ini biasanya diterjemahkan menjadi “ Masing-masing beredar ( bertasbih) pada garis edarannya.” Jika ditinjau dari segi bahasa, kata subhana berbentuk isim masdar. Dalam al-Qur’ân, ia disebut secara mufrad atau juga mudhâf (disandarkan dengan kata yang lain). Makna Subhânallâh berstatus nashab yang berposisi mashdar. Dengan demikian, seolah-olah orang yang mengucapkannya berkata, “ Aku memahasucikan Allâh Swt. Dengan pemahasucian yang pasti, menafikan setiap apa yang tidak layak bagi ketinggian dan keagunganNya dengan tanpa menyerupakan, tanpa permisalan, tanpa penakwilan, dan tanpa pengabaian. Dan aku menetapkan pada keagungan-Nya apa saja yang
35
diajelaskan tentang Dzat-Nya sendiri dan apa saja yang telah ditetapkan Rasûlullah Saw dari berbagai sifat kesempurnaan yang mutlak.22 Tasbîh juga bisa diartikan sebagai “ Do’a” dan “ Shalawat” kepada Allâh Swt. Allâh berfirman tentang Nabi Yunûs As ketika ia ditelan oleh ikan besar dalam Q.S. Ash-Shaffât (37) : 142-145 dengan menyatakan:
Artinya : “Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allâh, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit, Kemudian Kami lemparkan dia ke daerah yang tandus, sedang ia dalam keadaan sakit.” Ibnu Abbas dan Abdullah bin Mas’ud berpendapat, sesungguhnya Nabi Yunûs banyak membaca doa dan shalawat kepada Allâh pada saat ia di perut ikan. Ia tidak tergesa-gesa dan panik ketika berada di dalam perut ikan. Karena ia mengerti bahwa Allâh Swt tengah memberinya hukuman penjara dalam perut ikan atas kesalahannya karena telah meninggalkan tugas dakwah kepada kaumnya tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Tuhannya. 23
22 23
Zaglul an-Najjar, Ketika Alam Bertasbîh, (Jakarta : Gemala Ilmu, 2008), hlm. 2 Ahmad Syawqi Ibrâhîm, Op, Cit, hlm 141.
36
Oleh karena itu, disunnahkan bagi orang yang berdo’a untuk memulainya dengan pujian dan sanjungan kepada Allâh (Hamdalah), serta membaca shalawat kepada Rasûlullah Saw pada saat memanjatkan do’a, baru kemudian menyampaikan permintaannya. Diriwayatkan bahwa Rasûlullah SAW pernah mendengar seorang lakilaki yang berdoa dalam shalatnya tanpa mengucapkan ”hamdalah” dan shalawat kepada Nabi SAW terlebih dahulu, maka beliau pun bersabda, “ Ini shalat orang yang tergesa-gesa!” Kemudian Rasûlullah memanggil orang itu dan berkata kepadanya, “Jika salah seorang dari kalian sedang berdoa, maka hendaklah ia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allâh Swt, kemudian hendaklah ia membaca shalawat kepada Nabi Saw, kemudian barulah ia berdoa dengan apa saja yang ia mau.” Sesungguhnya ucapan “al-hamdulillâh” yang diucapkan oleh manusia itu dianggap tasbîh, sebagaimana dianggap tasbîh pula setiap dzikir yang mensucikan Allâh, ataupun segala ucapan yang di dalamnya seorang hamba yang beriman mengagungkan sifat-sifat Allâh yang mulia. Mengulang-ulang pengucapan Asmâ al-Husna dianggap pula sebagai satu bentuk tasbîh yang paling disukai oleh Allâh SWT. Jika semua kaum muslimin mengetahui kadar pahala yang demikian besar sehingga balasan dari setiap bacaan tasbîh, dan tahu pula bahwa bacaan tasbîh akan mengantar mereka masuk dalam lautan kebajikan serta menjauhkan mereka dari terjerumus dalam tindak keburukan. Jika saja mereka 37
tahu semua itu, niscaya mereka akan banyak bertasbîh agar mendapatkan anugrah dan pahala dari Allâh yang demikian besar.24 Dari Mus’ab bin Sa’ad, dari bapaknya r.a. katanya Rasûlullah Saw, beliau pernah berkata: “sanggupkah kalian mengerjakan seribu kebajikan setiap hari?, maka bertanya salah seorang yang duduk dalam majlis, bagaimana kami mengerjakan seribu kebajikan setiap hari, sabda nabi bacalah tasbîh seratus kali niscaya Allâh ta’ala mencatat bagimu seribu kebajikan atau dihapus dari padanya seribu kesalahan (dosa)”.25 Bahkan dalam surat an-Nasr ayat 3, Nabi Muhammad Saw diperintahkan untuk bertasbih dengan memuji nama Tuhan-Nya. Memuji Allâh adalah formula kesyukuran yang sangat penting.26 Dalam al-Qur’ân dikatakan, “Fasabbih bihamdi rabbika.” membaca tasbîh ”Subhânallâh” dapat dipandang sebagai pendahuluan logis bagi Tahmîd (yaitu memabaca hamdalah/memuji Allâh). Sebab tasbîh sendiri mengandung makna pembebasan diri dari buruk sangka kepada Allâh, atau “pembebasan” Allâh dari buruk sangka kita. Jadi tasbîh adalah sesungguhnya permohonan ampun kepada Allâh atas dosa buruk sangka kita kepada-Nya.27
24 25
Ibid, hlm. 129. H.R. Muslim. Terj: Hadist Shahih Muslm, (Malaysia: Klang Book Centre, 1997), hlm. 262-
263 26
Niswah Al-Ulwani, Op, Cit, hlm 173.
27
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, (Jakarta : Paramdina, 2000), hlm 166 .
38
Di kalangan ulama fiqih ada yang berpendapat bahwa bukanlah suatu keharusan untuk mengucapkan lafazh-lafazh tasbîh seratus kali secara berturut-turut dalam satu majlis, akan tetapi boleh hukumnya untuk mengucapkan secara terpisah dalam sejumlah majlis (tempat). Begitu juga tidak merupakan suatu keharusan untuk mengucapkannya sepanjang siang sampai malam hari, akan tetapi yang lebih utama adalah mengucapkan pada permulaan hari, agar dapat menjadi benteng pemelihara bagi seorang muslim sepanjang hari. Berdasarkan penjelasan panjang tentang makna kalimat tasbîh tersebut, dapat disimpulkan bahwa kalimat tasbîh adalah ucapan “Subhânallâh” yang memiliki arti “Maha Suci Allâh” dari semua sifat yang tidak layak disandarkan kepada-Nya. Memahasucikan-Nya dan mengikhlaskan ibadah hanya
untuk-Nya
dalam
keyakinan,
niat,
ucapan
dan
perbuatan,
memahasucikan-Nya dari setiap sifat yang tidak layak dengan ketinggian rubûbiyah-Nya dan ulûhiyah-Nya dan ke-Esaan-Nya serta mengakui ketunggalan-Nya dalam kekuasaan di kerajaan-Nya, tanpa ada sekutu, tanpa ada yang menyerupai dan tanpa ada yang menyainginya. Dengan demikian yang dimaksud dengan bertasbih adalah berdzikir secara berulang-ulang kepada Allâh Swt di setiap waktu dan keadaan. Sekalipun makna tasbîh bermakna umum mencakup seluruh ibadah, baik ucapan, perbuatan, dan niat. Dan juga tasbîh bermakna khusus yaitu dzikir lafazh dengan menyebut Asmâ’ul Husna, dan sifat-sifat-Nya yang tinggi 39
sebagaimana yang telah diturunkan-Nya dalam al-Qur’ân atau apa yang diberitahukan oleh Rasûlullah Saw. Bertasbîh meliputi Shalat dan Dzikir. Allâh Swt berfirman dalam Q.S. Thaha (20) : 130.
Artinya : “Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbîhlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbîh pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang”. Tasbîh di dalam al-Qur’ân bermakna “Shalat”, karena shalat mencakup sujud dan tasbîh dan karena tasbîh adalah mengagungkan, membesarkan, dan menyucikan Allâh dari segala keburukan. Raga manusia, yang terdiri dari organ, molekul, dan atom, seluruhnya tanpa kecuali, secara fitrah bertasbih kepada Allâh. Ketika seorang mukmin bertasbih kepada Allâh di dalam shalatnya, ia telah bertasbîh baik secara fitrah maupun secara ikhtiar. Oleh karena itu, ketika ia bersujud kepada Allâh, ia telah bersujud dengan dua dimensi sekaligus. Yang pertama adalah sujud fitrawi yang dilakukan oleh segenap raganya dan yang kedua adalah sujud ikhtiari sebagai manifestasi
40
kepatuhan kepada Allâh Swt. Sehingga terciptalah keseimbangan antara jiwa dan raganya, sehingga tercapailah ketenangan batin dan ketentraman hati. Allâh Swt berfirman dalam Q.S. Al-Insan (76) : 26.
Artinya : “Hanya kepada Allâh lah bersujud segala yang ada di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa, dan bayang-bayang mereka di waktu pagi dan petang.” Ibnu ‘Abbas menafsirkan (bi al- ghuduww wa al-ashal) bahwa bayangbayang orang mukmin bersujud kepada Allâh dengan ikhtiar kepatuhan, sedangkan bayang-bayang orang kafir bersujud atas paksaan fitrah untuk bersujud. Maksud “ bayangannya kembali (bolak-balik)” ialah bahwa bayangan itu condong dari satu arah ke arah yang lain seiring pergerakan matahari dari pagi hingga petang. Bolak-baliknya bayangan dari satu sisi ke sisi lainnya memanifestasikan ketundukan kepada Allâh Swt, bukan upaya menghindari dan pembangkangan terhadap Allâh. Karena sesunggungnya hikmah tasbîh itu diperuntukkan kepada manusia dan alam itu sendiri. Karena manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini. Seandainya manusia dan alam ini tidak bertasbih kepada Allâh maka kehancuranlah bagi manusia itu sendiri. Supaya manusia itu bisa berpikir atas
41
jagat raya yang pada hakikatnya semuanya selalu bertasbih tanpa ada hentihenti.
2.5. Hikmah Bertasbih dalam Al-Qur’ân Dilihat dari makna tasbîh alam dengan memberikan penafsiran makna majazi yang artinya bahwa tasbîh alam adalah tunduk dan patuh atas takdir tuhan. Maka, dengan adanya pentasbîhan seluruh alam itu, maka alam ini bisa berjalan dengan kebersamaan bersama-sama yang saling membutuhkan satu sama lainnya, artinya tidak berlawanan dengan hukumnya masing-masing yaitu tidak menyalahi takdir Allâh Swt yang pada akhirnya bahwa semua itu berpusat pada satu yaitu pada tuhan yang Maha Esa.
Pada hakikatnya hikmah tasbihnya alam itu diperuntukkan kepada manusia itu sendiri karena manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini. Seandainya alam tidak bertasbîh maka kehancuranlah bagi manusia itu sendiri. Supaya manusia itu bias berpikir atas jagat raya yang pada hakikatnya semuanya selalu bertasbîh tanpa ada henti-henti. Dengan begitu manusia pun harus bertasbîh supaya manusia menjadi sabar, ridha, bertawakkal, menerima ketetapan Allâh. Setidaknya dalam hikmah bertasbih yang terdapat dalam AlQur’ân antara lain : 1. Dengan bertasbih manusia menjadi sabar dan selalu memohon ampun atas segala cobaan. 42
2. Menjadikan manusia sebagai orang yang ahli ibadah dan selalu minta ampunan. 3. Bertawaqal kepada Allâh. 4. Ridha dan menerima ketetapan Allâh Swt. 5. Tidak takabbur. 6. Menambah keimanan. 7. Dihapuskan segala dosanya.28 Adapun cara yang bertasbih bagi manusia yang telah disebutkan dalam al-Qur’ân yaitu bertasbih dengan nama-nama Allâh yang maha besar yaitu yang terdapat dalam al-Qur’ân dengan asmâul husna yaitu pada QS. Al-A’râf: 180
Artinya : “ Hanya milik Allâh asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. Semua makhluk selain manusia berpotensi selalu bertasbîh kepada Allâh dan tidak pernah mendurhakai-Nya. Akan tetapi bagi manusia yang diberi 28
Rizem Aizid, Dahsyatnya Istighfâr, hamdalah dan tasbîh, (Jogjakarta : Sabil, 2013), hlm.
152
43
akal, ada yang bertasbih dan ada yang menyekutukannya dan tidak tunduk atas perintah tuhan maka kehancuranlah yang akan menimpa pada manusia itu sendiri. Jika seandainya semua manusia itu mau tunduk dan patuh atas perintah dan larangan dan selalu bertasbih kepada Allâh niscaya tidak ada musibah atau bencana di muka bumi ini. Adapun waktu yang ditentukan untuk bertasbih kepada Allâh yang terdapat dalam al-Qur’ân yaitu siang dan malam dan pagi dan sore. Akan tetapi ulama ahli tafsîr menafsirkan ayat tersebut kebanyakan mereka memaknai dengan waktu yang begitu panjang dan lama terus menerus tiada henti-hentinya. Karena tubuh manusia, dengan seluruh selnya secara fitrah diciptakan untuk bersujud kepada Allâh Swt. 29
29
Ahmad Syawqi Ibrâhîm, Op, Cit, hlm 89.
44