BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NAFKAH DAN NUSYUZ
A. Tinjauan Umum Tentang Nafkah 1. Pengertian Nafkah Nafkah berasal dari kata nafaqatun ( )ﻧﻔﻘﺔyang artinya belanja,
ﻧﻔﻘﺔ ج ﻧﻔﻘﺎتyang mempunyai arti menafkahkan rizki, belanja buat makan.1 Menurut bahasa Indonesia nafkah mempunyai pengertian: a. Belanja untuk memelihara kehidupan b. Rizki, makan sehari-hari c. Uang belanja yang diberikan kepada istri d. Gaji uang pendapatan.2 Menurut para ahli hukum, pengertian nafkah adalah sebagai berikut: a. Uang belanja yang diperlukan guna memelihara kehidupan orang yang memerlukannya.3 b. Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, nafkah adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.4 1
M. Idris Abd. Rauf al-Marbawi, Kamus Idris al-Marbawi, Juz.I, t.th., hlm. 336.
2
W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976, hlm. 667. 3
R.Subekti, Kamus Hukum, Jakarta: Pradya Pramita, t.th., hlm. 68.
4
Abdul Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, 1996, hlm. 1281.
13
14 Sedangkan menurut fuqaha’ nafkah adalah:
ﺃﻣﺎ ﰲ ﺇﺻﻄﻼﺡ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻓﻬﻲ ﺇﺧﺮﺍﺝ ﺍﻟﺸﺨﺺ ﻣﺆﻧﺔ ﻣﻦ ﲡﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻧﻔﻘﺔ ﻣﻦ ﺧﺒﺰ 5
.ﺒﻊ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﲦﻦ ﻣﺎﺀ ﻭﺩﻫﻦ ﻭﻣﺼﺒﺎﺡ ﻭﳓﻮ ﺫﻟﻚﻭﺃﺩﻡ ﻭﻛﺴﻮﺓ ﻭﻣﺴﻜﻦ ﻭﻣﺎ ﻳﺘ
Artinya: “Nafkah menurut istilah ahli fiqh yaitu pengeluaran seseorang atas sesuatu sebagai ongkos terhadap orang yang wajib dinafkahinya terdiri dari roti, lauk-pauk, pakaian, tempat tinggal dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keperluan hidup sehari-hari seperti harga air, minyak, lampu dan sebagainya.” Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa nafkah adalah semua pengeluaran seseorang atas orang yang menjadi tanggung
jawabnya
untuk
memenuhi
kebutuhan
pokok
yang
diperlukannya. Mengenai dasar hukum nafkah adalah dalil atau hujjah yang menunjukkan adanya kewajiban seseorang untuk memberi nafkah kepada orang yang menjadi tanggung jawabnya. Adapun dalil dari nash Al-Qur'an yang menerangkan kewajiban memberi nafkah adalah di antaranya sebagai berikut:
ﺲ ِﺇﻟﱠﺎ ﻧ ﹾﻔ ﹶﻜﻠﱠﻒﻑ ﻻ ﺗ ِ ﻭﻌﺮ ﻤ ﻦ ﺑِﺎﹾﻟ ﻬﻮﺗ ﺴ ﻭ ِﻛ ﻬﻦ ﺯﹸﻗ ِﺭﻮﻟﹸﻮ ِﺩ ﹶﻟﻪ ﻤ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ ﻭ ... (233 : )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ...ﺎﻌﻬ ﺳ ﻭ Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 233).6 5
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Daar al-Kutub alIlmiyah, hlm. 485. 6
hlm. 57.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989,
15 Yang dimaksud rizki dalam ayat di atas adalah makanan yang cukup, kiswah artinya pakaian, sedangkan arti bi al-ma’ruf adalah sesuai dengan adat dan batasan syari’at, tidak berlebihan dan tidak terlalu minim.7 Dalam surat an-Nisa’ ayat 34 disebutkan:
ﻦ ﻧ ﹶﻔﻘﹸﻮﺍ ِﻣﺎ ﹶﺃﻭِﺑﻤ ﺾ ٍ ﻌ ﺑ ﻋﻠﹶﻰ ﻢ ﻬ ﻀ ﻌ ﺑ ﻪ ﻀ ﹶﻞ ﺍﻟﱠﻠ ﺎ ﹶﻓﺎ ِﺀ ِﺑﻤﻨﺴﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟ ﻮ ﹶﻥﺍﻣﺎ ﹸﻝ ﹶﻗﻮﺮﺟ ﺍﻟ (34 : )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ...ﻪ ﻆ ﺍﻟﱠﻠ ﺣ ِﻔ ﹶ ﺎﺐ ِﺑﻤ ِ ﻴﻐ ﺕ ِﻟ ﹾﻠ ﺎِﻓ ﹶﻈﺎﺕ ﺣ ﺎﺕ ﻗﹶﺎِﻧﺘ ﺎﺎِﻟﺤﻢ ﻓﹶﺎﻟﺼ ﺍِﻟ ِﻬﻣﻮ ﹶﺃ Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS. An-Nisa’: 34).8 Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang laki-laki (suami) adalah kepala keluarga dalam sebuah rumah tangga dan bertanggung jawab atas nafkah keluarga. Adapun dalilnya menurut Sunnah adalah:
ﻦ ﻜﻢ ﺍﺧﺬﲤﻮ ﻫﺴﺎﺀ ﻓﺈﻧﺔ ﺍﻟﻮﺩﺍﻉ ﻓﺎﺗﻘﻮﺍﷲ ﰱ ﺍﻟﻨ ﻗﺎﻝ ﰲ ﺣﺠ.ﺍ ﹼﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ ﻡ ﻦ ﺍﻻﻳﻮﻃﺌﻦ ﻓﺮﺷﻜﻢ ﺍﺣﺪﺍ ﻦ ﺑﻜﻠﻤﺔ ﺍﷲ ﻭﻟﻜﻢ ﻋﻠﻴﻬ ﺑﻜﻠﻤﺔ ﺍﷲ ﻭﺍﺳﺘﺤﻠﻠﺘﻢ ﻓﺮﻭﺟﻬ ﻦ ﻦ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺭﺯﻗﻬ ﺡ ﻭﳍﻦ ﺿﺮﺑﺎ ﻏﲑﻣﱪ ﺗﻜﺮﻫﻮﻧﻪ ﻓﺈﻥ ﻓﻌﻠﻦ ﺫﻟﻚ ﻓﺎﺿﺮﺑﻮﻫ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ.ﻦ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﻛﺴﻮ 7
Abdul Hamid Krisyik, Bimbingan Islam Untuk Keluarga Sakinah, Jakarta: Mizan albayan, t.th., hlm. 128. 8
Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 123.
16 Artinya: “Bahwa Rasulullah saw sewaktu haji wada’ bersabda: hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah dalam urusan perempuan. Karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan kalimat Allah, kamu telah menghalalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah. Wajib bagi mereka (istri-istri) untuk tidak memasukkan ke dalam rumahmu orang yang tidak kamu sukai. Jika mereka melanggar yang tersebut pukullah mereka, tetapi jangan sampai melukai. Mereka berhak mendapatkan belanja dari kamu dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Muslim) 9 Hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya dengan cara yang ma’ruf.
ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﻠﺖ ﺟﺎﺀﺕ ﻫﻨﺪ ﺑﻨﺖ ﻋﺘﺒﺔ ﻓﻘﻠﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺇﻥ ﺃﺑﺎ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺭﺟﻞ ﻣﺴﻴﻚ ﻓﻬﻞ ﻋﻠﻰ ﺣﺮﺝ ﺃﻥ ﺃﻃﻌﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻯ ﻟﻪ 10
.ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ
ﻋﻴﺎ ﻟﻨﺎ ﻗﺎﻝ ﻻ ﺇﻻ
Artinya: “Dari Aisyah ra. berkata: datanglah Hindun binti Utbah dan bertanya: Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir, ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku, sehingga aku mengambil darinya apa yang mencukupi bagiku dan anakku, maka adakah dosa yang demikian itu? Rasulullah menjawab: Tidak, jika dengan cara yang baik.” (H.R. Bukhari). Hadits tersebut menjelaskan bahwa istri yang kebetulan suaminya kikir, maka ia boleh mengambil harta suaminya secukupnya untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) huruf a dan b dijelaskan sebagai berikut:
9
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, Beirut, Daar al-Fath, t.th., hlm. 278
10
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz III, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th., hlm. 2217.
17 Pasal 80 ayat (2), “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.” Ayat (4), “Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung a). Nafkah kiswah dan tempat kediaman bagi istri, b). Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.11 Sedangkan di dalam undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974 dijelaskan sebagai berikut: Pasal 34 ayat (1); “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”12 2. Sebab dan Syarat Memperoleh Nafkah Diantara
sebab-sebab
memperoleh
nafkah
adalah
adanya
hubungan perkawinan, adanya hubungan kekerabatan dan adanya hubungan kepemilikan.13 a. Sebab Perkawinan Seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya yang taat baik makanan, pakaian, tempat tinggal, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan hidup berumah tangga. Semua itu disesuaikan dengan kemampuan suami.
11
Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: 1999/2000, hlm. 150. 12
Ibid, hlm. 102.
13
Abdurrahman al-Jaziri, Loc. Cit.
18 Dijelaskan dalam fiqh al-sunnah syarat seorang istri menerima nafkah diantaranya: 1) 2) 3) 4)
Adanya akad pernikahan yang sah Istri harus menyerahkan dirinya kepada suaminya. Suaminya dapat menikmati dirinya. Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang dikehendaki suami kecuali kalau suami bermaksud merugikan istri atau membahayakan keselamatan diri dan hartanya. 5) Keduanya dapat saling menikmati.14 Nafkah yang diterima oleh seorang istri dari suaminya adalah tergantung dari ketaatannya. Dan ketaatan seorang istri hanya dalam batas-batas yang dibenarkan oleh agama. Oleh karena itu dalam hidup berumah tangga segala sesuatu harus terbuka dan dibicarakan bersama serta adanya pengertian satu sama lain. b. Sebab Kerabat Yang dimaksud dengan kerabat adalah orang yang masih ada hubungan keturunan atau nasab, sebab dan terjadinya suatu akad perkawinan, baik ke atas maupun ke bawah, baik yang termasuk ahli waris maupun tidak termasuk ahli waris. Sebutan lain dari kerabat adalah family.15 Adapun yang mewajibkan nafkah kerabat apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Mahramiyah, artinya kerabat yang haram dinikahi. 2. Adanya kebutuhan untuk meminta dari kerabat.
14 15
Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 279-280.
M. Abdul Mujieb Mabruri Tholhah, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. I, 1994, hlm. 155.
19 3. Disyaratkan lemahnya orang yang meminta nafkah kecuali dalam nafkah yang wajib bagi orang tua kepada anak.16 Dengan demikian nafkah kepada kerabat bagi seseorang juga merupakan kewajiban, apabila mereka cukup mampu dan kerabatnya tersebut benar-benar membutuhkan pertolongan karena miskin. c. Sebab Kepemilikan Sebab kepemilikan yang dimaksud adalah, pertama, apabila seseorang mempunyai budak baik laki-laki maupun perempuan dan kedua, binatang pemeliharaan, apakah itu binatang ternak (lembu, kerbau dan sebagainya) ayam, burung, dan kucing, maka binatang tersebut harus dipeliharanya dengan baik, diberi makanan yang cukup dan dibuatkan tempat tinggal (kandang). Dengan kata lain tidak boleh disia-siakan.17 3. Kadar Nafkah yang harus Diberikan Kepada Istri Mengenai ukuran minimal atau maksimal dari nafkah yang harus diberikan oleh suami kepada istrinya tidak ada nashnya secara pasti. Dalam Al-Qur'an dan Hadits Nabi hanya menerangkan secara umum saja, yaitu orang yang mempunyai kewajiban memberi nafkah disesuaikan dengan kemampuan orang tersebut.
16 17
M. Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, Mesir: Daar al-Fikr, t.th., hlm. 487.
Taqiyuddin Abi Bakar, Kifayatul Akhyar, Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th., hlm. 580.
20 Sesuai dengan gambaran Al-Qur'an dan Hadits yang bersifat umum itu, maka para ulama memberikan penafsiran terhadap ayat itu berdasarkan kemampuan dan kondisi yang melingkupinya. Imam Syafi'i mengatakan:
ﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﳌﻌﺴﺮﻣ,ﺍﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻓﻌﻠﻰ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﺍﳌﻮﺳﺮﻟﺰﻭﺟﺘﻪ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺪ... 18
... ﻭﻧﺼﻒﺍﳌﺘﻮﺳﻂ ﻣﺪ
Artinya: “…Maka wajib bagi suami yang kaya untuk memberikan nafkah bagi istrinya setiap hari dua mud berupa bahan makanan, dan bagi suami yang miskin maka satu mud, serta bagi suami yang di antara keduanya adalah setengah mud …” Demikian pula halnya nafkah yang berhubungan dengan sandang dan tempat tinggal, suami diwajibkan memberi istrinya sandang dan menyediakan tempat tinggal sesuai dengan kemampuannya, ia tidak dapat dibebani dengan hal-hal yang di luar kemampuannya. Sementara Imam Malik dalam hal kadar nafkah mengatakan sebagai berikut:
ﻭﺍﻣﺎ ﻣﻘﺪﺍﺭ ﺍﻟﻨﻔﻘﺔ ﻓﺬﻫﺐ ﻣﺎﻟﻚ ﺍﱃ ﺃﳕﺎ ﻏﲑ ﻣﻘﺪﺭﺓ ﺑﺎﻟﺸﺮﻉ ﻭﺍﻥ ﺫﻟﻚ ﺭﺍﺟﻊ ﺍﱃ 19
ﻣﺎ ﻳﻘﺘﻀﻴﻪ ﺣﺎﻝ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻭﺣﺎﻝ ﺍﻟﺰﻭﺟﺔ
Artinya: “Mengenai kadar nafkah ini Imam Malik menjelaskan, bahwa ukuran nafkah itu tidak ditetapkan oleh syara’, dan sesungguhnya nafkah itu dikembalikan pada keadaan suami dan istri itu sendiri.”
18
Wahbah Az Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz VII, Beirut: Daar al-Fikr, t.th., hlm. 800. 19
Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Juz I, Daar al-Kutub al-Islamiyah, t.th., hlm. 41.
21 Selanjutnya ulama’ Hanafiyah juga berpendapat yang maksudnya hampir sama dengan madzhab Maliki sebagai berikut:
ﺭﳍﺎ ﻋﻠﻰ ﻭﺳﻴﺄﺗﻰ ﺍﻧﻪ ﻳﻘﺪ, ﻓﻬﻮ ﻭﺍﺟﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻟﺰﻭﺟﺔ, ﺃﻣﺎﺍﻻﻃﻌﺎﻡ:ﻗﺎﻟﻮﺍ 20
ﺣﺴﺐ ﺣﺎﳍﻤﺎ
Artinya: “Ulama Hanafiyah berkata: bahwa dalam hak makanan (nafkah) itu merupakan kewajiban seorang suami kepada istrinya, di mana ukurannya ditentukan berdasarkan kepada keadaan suami dan istri.” Jika keadaan keduanya sama, maka kewajiban dalam memberi nafkah itu disesuaikan berdasarkan keadaan mereka, tetapi kalau keadaan mereka berbeda, dalam arti salah satu di antara mereka ada yang kaya dan ada yang miskin maka ukuran nafkah itu diberikan menurut ukuran sederhana. Dalam hal ini kalau suami miskin, maka nafkah ditetapkan menurut kemampuan suami dan kekurangannya menjadi hutang suami. Dalam hal kemampuan suami memberikan nafkah kepada istrinya, maka dalam pemberian nafkah itu hendaklah diperhatikan bahwa: a. Jumlah nafkah itu mencukupi kebutuhan istri dan disesuaikan dengan keadaan suami, baik yang berhubungan dengan pangan, pakaian, maupun yang berhubungan dengan tempat tinggal. b. Nafkah itu ada pada waktu dibutuhkan, oleh sebab itu menetapkan cara-cara dan waktu-waktu pemberian nafkah kepada istrinya, apakah sekali seminggu, sebulan sekali atau tiap-tiap waktu panen.
20
Abdurrahman Al-Jaziri, Op. Cit, hlm. 486.
22 c. Sebaliknya kadar nafkah didasarkan atas jumlah-jumlah kebutuhan pokok yang diperlukan, hal ini mengingat harga atas suatu barang kebutuhan pokok yang kadang-kadang naik turun. Adapun keperluan hidup manusia pada dasarnya sama, yaitu makanan, pakaian, dan tempat tinggal, tetapi macam, jenis serta ukurannya tiap suku bangsa dan negara berbeda-beda. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa untuk menentukan kadar nafkah harus disesuaikan dengan kemampuan suami, tidak berlebihan dan tidak berkekurangan agar dapat mencapai keharmonisan dalam hidup berumah tangga antara suami istri. B. Tinjauan Umum Tentang Nusyuz 1. Pengertian Nusyuz Secara etimologis nusyuz berasal dari kata ﻧﺸﻮﺯﺍ-ﻳﻨﺸﺰ-ﻧﺸﺰ
yang
artinya durhaka, menentang dan membenci.21 Yaitu jika istri atau suami telah meninggalkan kewajiban-kewajibannya. Istri dipandang nusyuz jika istri meninggalkan rumah tanpa izin suami dengan maksud membangkang kepada suami.22 Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 83 ayat (1) dijelaskan bahwa: “Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam”. Dalam pasal 84 ayat (1) dijelaskan bahwa: “istri dapat 21
Luwis Ma’luf, al- Munjid, al-Taba’ah al-Jadidah, t.th., hlm. 89.
22
M.Abdul Mujieb Mabruri Tholhah, Op. Cit, hlm. 251-252.
23 dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.23 Menurut fuqaha’, nusyuz adalah:
ﺇﺫﺍ ﺍﻣﺘﻨﻌﺖ ﻋﻦ ﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ ﺇﱃ ﻣﱰﻝ ﺍﻟﺰﻭﺟﻴﺔ ﺑﻐﲑ ﺳﺒﺐ:ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻨﺸﻮﺯﻣﺎﻳﺄﺗﻰ ﺷﺮﻋﻰ ﻭﻗﺪ ﺩﻋﺎﻫﺎ ﺇﱃ ﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ ﻭﺃﻋﺪ ﺍﳌﺴﻜﲔ ﺇﻋﺪﺍﺩﺍ ﻛﺎﻣﻼ ﻳﻠﻴﻖ ﺑﻪ ﻭﻛﺬﻟﻚ 24
ﺇﺫﺍ ﺧﺮﺟﺖ ﻣﻦ ﻣﱰﻟﻪ ﺑﻐﲑ ﺇﺫﻧﻪ
Artinya: “Sebagian dari nusyuz adalah jika istri menolak diajak pindah tanpa sebab syar'i padahal suami sudah menyediakan tempat yang layak, begitu juga jika isteri keluar dari rumah tanpa izin suaminya”. Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nusyuz adalah istri mengingkari (maksiat terhadap) kewajibannya kepada suami, perkara yang membuat salah satu dari pasangan suami istri benci, dan pergi dari rumah tanpa izin suami bukan untuk mencari keadilan pada hakim.25 Dari beberapa pengertian di atas yang dimaksud dengan pergi tanpa izin suami adalah istri tidak setia lagi dan meninggalkan semua kewajiban sebagai seorang istri. Misalnya istri selingkuh dengan laki-laki lain padahal suami telah melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya.
23
Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 151.
24
M. Abu Zahrah, Op. Cit, hlm. 277.
25
Wahbah Zuhaili, Op. Cit, hlm. 338-340.
24 Dalam konteks sekarang ini, izin suami perlu dipahami secara proporsional. Karena izin secara langsung untuk setiap tindakan istri tentu suami tidak selalu dapat melaksanakan. Misalnya dikarenakan suami masih bekerja di luar rumah. Untuk itu perlu dilihat macam tindakannya, sepanjang tindakan ataupun tindakan tersebut positif dan tidak mengundang kemungkinan timbulnya fitnah maka dugaan izin suami memperbolehkannya dapat diketahui oleh istri tersebut. Dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34 dijelaskan:
ﻫﻦ ﻮﺿ ِﺮﺑ ﺍﺎ ِﺟ ِﻊ ﻭﻤﻀ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﻫﻦ ﻭﺠﺮ ﻫ ﺍ ﻭﻫﻦ ﹶﻓ ِﻌﻈﹸﻮﻫﻦ ﺯ ﻮﻧﺸ ﺎﻓﹸﻮ ﹶﻥﺗﺨ ﺍﻟﻠﱠﺎﺗِﻲﻭ.... 26
(34 : )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ...ﻼ ﺳﺒِﻴ ﹰ ﻦ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﻮﺍﺒﻐﺗ ﻢ ﻓﹶﻼ ﻨﻜﹸﻌ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﺃ ﹶﻃ
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehati lah mereka dan pisahkan lah mereka di tempat tidur, dan pukul lah mereka, kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An-Nisa’: 34) Kalau kita lihat dalam ayat di atas bahwa apabila istri nusyuz maka tindakan pertama yang boleh diambil oleh suami adalah menasehati istri dengan tetap mengajaknya tidur bersama, karena tidur bersama ini merupakan simbol masih harmonisnya sebuah rumah tangga. Apabila tindakan pertama tidak berhasil, maka tindakan kedua adalah memisah tempat tidurnya. Ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada istri untuk memikirkan tindakannya, apakah nusyuz yang dilakukannya itu cukup beralasan. Dan yang lebih penting adalah agar si istri mengubah
26
Departemen Agama RI, Loc. Cit.
25 sikapnya dan kembali bergaul secara baik kepada suaminya. Apabila tindakan kedua tersebut dilakukannya dan istri tetap melakukan nusyuz, suami boleh melakukan tindakan ketiga yaitu memukulnya dengan pukulan yang tidak membahayakan. Semua hal tersebut bertujuan untuk memberi pengajaran kepada istri yang nusyuz agar tidak melakukan lagi.27 Di dalam hadits dijelaskan sebagai berikut:
ﺇﺫﺍ ﺑﺎﺗﺖ ﻫﺎﺟﺮﺓ ﻓﺮﺵ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﻟﻌﻨﺘﻬﺎﺍﳌﻼﺋﻜﺔ:ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ 28
ﺣﱴ ﺗﺼﺒﺢ
Artinya: “Nabi bersabda: Jika seorang laki-laki mengajak istrinya ke ranjang (bersetubuh) dan istrinya menolak, maka malaikat akan mengutuknya (istri) hingga pagi hari.” Hadits tersebut perlu dijelaskan bahwa menolaknya seorang istri ketika diajak bersetubuh dengan suaminya harus disertai dengan alasan yang jelas. Misalnya istri sedang haid atau istri terlalu lelah setelah bekerja seharian dan sebagainya, sehingga tidak akan menyakiti hati suaminya. Karena segala sesuatu dalam rumah tangga harus terbuka dan dibicarakan bersama serta adanya saling pengertian antara suami istri. Perlu ditegaskan bahwa kewajiban taat kepada suami hanya dalam hal-hal yang dibenarkan oleh agama. Karena tidak boleh taat kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah. Jika suami memerintah istri untuk berbuat maksiat maka ia wajib menolak.
27 28
Ibid. Imam Bukhari, Op. Cit, Juz V, hlm. 479.
26 2. Akibat Hukum Nusyuznya Istri Salah satu hak yang wajib dipenuhi oleh seorang suami terhadap istrinya adalah bertanggung jawab untuk memberikan nafkahnya. Hal ini telah ditetapkan oleh Al-Qur'an, Hadits dan juga Ijma’. Ada kaidah umum yang mengatakan bahwa setiap orang yang ditahan untuk hak dan manfaat lainnya, maka nafkahnya atas orang yang menahannya ini. Kaidah inilah yang dianut Islam dengan syari’at-Nya yang agung.29 Persoalan muncul ketika istri tersebut nusyuz kepada suaminya. Di dalam fiqh, ketika istri meninggalkan kewajiban yang ada dalam hubungan suami istri, ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh seorang suami, yaitu: a. Menasehati istri dengan tetap mengajak tidur bersama b. Memisah tempat tidurnya c. Memukul dengan pukulan yang tidak membahayakan. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 80 ayat (4) huruf a dan b dijelaskan “sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a) nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri, b) biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak, ayat (5) kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya,
29
Abdul Hamid Krisyik, Op. Cit, hlm. 134.
27 ayat (7) kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.30 C. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Kewajiban Suami Atas Pemberian Nafkah Istri Yang Nusyuz Berikut ini adalah beberapa pendapat ulama tentang pemberian nafkah kepada istri yang nusyuz: Wahbah berpendapat bahwa bila istri melakukan nusyuz maka hak atas nafkah dan hak atas qasm menjadi gugur. Ini merupakan akibat hukum yang harus ditanggung istri bila melakukan nusyuz.31 Selanjutnya Wahbah menjelaskan apabila istri nusyuz maka tahaptahap yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Suami menasehati istri bahwa nusyuz yang ia lakukan dapat menggugurkan hak nafkah dan qasm (bagian, jika suami beristri lebih dari satu). 2. Pisah ranjang. Selama pisah ranjang suami istri tidak boleh mendiamkan pasangannya lebih dari tiga hari. 3. Memukul dengan pukulan yang tidak membahayakan. 4. Menyerahkan masalah mereka pada hakim. Hakim yang dimaksud di sini adalah pihak penengah yang terdiri dari wakil keluarga atau pihak istri atau suami.32 Imam Taqiyudin berpendapat bahwa jika istri pergi tanpa izin suami atau pergi dengan izin suami tetapi untuk kepentingan istri, atau tidak mau pergi dengan suaminya, atau tidak mau menemani di ranjang (istimta’) maka hak nafkah dan qasm gugur.33 30
Depag RI Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Loc. Cit.
31
Wahbah Zuhaili, Loc. Cit..
32 33
Ibid. Imam Taqiyuddin, Op. Cit, hlm. 80.
28 Sayyid Sabiq berpendapat bahwa istri yang tidak mau menyerahkan dirinya kepada suaminya, atau suami tidak dapat menikmati dirinya atau istri enggan pindah ke tempat yang dikehendaki suami, maka dalam keadaan seperti itu tidak ada kewajiban nafkah, karena penahanan yang dimaksud sebagai dasar hak penerimaan nafkah tidak terwujud.34 Sedangkan Ibnu Hazm berbeda dengan ulama lain, ia berpendapat bahwa suami wajib menafkahi istrinya sejak terjalinnya akad nikah, baik suami mengajak hidup serumah atau tidak, bahkan istri yang berbuat nusyuz tetap mendapatkan nafkah.35
34 35
Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 280.
Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, al-Mukhalla, Juz. 10, Daar alFikr, t.th., hlm. 88.