BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NADZIR
A. Pengertian dan Dasar Hukum Nadzir 1. Pengertian Nadzir Kata nadzir secara etimologi berasal dari kata kerja nazira – yandzaru yang berarti “menjaga” dan “mengurus”.1 Di dalam kamus Arab Indonesia disebutkan bahwa kata nadzir berarti; “yang melihat”, “pemeriksa.”2 Dengan demikian kata
yang bentuk jamaknya
mempunyai arti “pihak yang melakukan pemeriksaan atau pihak yang memeriksa suatu obyek atau sesuatu hal yang berkaitan dengan obyek yang ada dalam pemeriksaannya itu. Dalam terminologi fiqh, yang dimaksud dengan nadzir
adalah
orang yang diserahi kekuasaan dan kewajiban untuk mengurus dan memelihara harta wakaf.3 Jadi pengertian nadzir menurut istilah adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf dengan sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuan harta wakaf.4
1
Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum Agraria Nasional, Jakarta: Tatanusa, 2003, hlm. 97 2
Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir al-Qur’an, 1973, hlm. 457 3
Ibnu Syihab al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Juz IV, Beirut: Daar al-Kitab al-Alamiyah, 1996, hlm. 610 4
M. Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, hlm. 91
18
19 Selain kata nadzir, dalam hukum Islam juga dikenal istilah mutawalli. Mutawalli merupakan sinonim dari kata nadzir yang mempunyai makna yang sama yakni orang yang diberi kuasa dan kewajiban untuk mengurus harta wakaf.5 Lebih jelas lagi dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 di dalam ketentuan umum, butir keempat menyebutkan bahwa nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Meskipun hukum Islam tidak membahas masalah nadzir dengan jelas, akan tetapi ada hal-hal yang mengisyaratkan tentang arti pentingnya kedudukan nadzir, karena nadzir merupakan salah satu dari unsur wakaf, tanpa nadzir maka wakaf tidak akan berjalan dengan baik. Unsur-unsur pembentuk wakaf antara lain: a. Wakif yaitu orang yang mewakafkan hartanya. Orang yang mewakafkan hartanya menurut Islam disebut wakif. Yang dimaksud dengan wakif adalah subyek hukum, yakni orang yang berbuat. Menurut peraturan perundang-undangan wakif ialah orang atau orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya.6 Bagi seseorang atau orang-orang yang hendak mewakafkan tanahnya harus memenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu: 1). Mukallaf, yakni orang atau orang-orang yang dianggap mampu untuk melaksanakan perbuatan hukum.
5
Abdir Rauf, al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm. 147
6
PP. Nomor 28 Tahun 1977, Pasal 1 ayat (2) jo Permenag Nomor 1 Tahun 1978, Pasal 1
Huruf (c).
20 2). Tidak karena terpaksa. Pelaksanaann wakafnya harus atas dasar kehendaknya sendiri. 3). Ia harus dapat mewakafkan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.7 b. Mauquf atau harta yang diwakafkan Barang atau benda yang diwakafkan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; 1). Harus tetap dzatnya, dan harus dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama (tidak habis sekali pakai), pemanfaatannya haruslah untuk hal-hal yang halal dan sah menurut hukum Islam. 2). Harta yang diwakafkan harus jelas wujud dan batas-batasnya. 3). Benda yang diwakafkan dapat berupa benda tidak bergerak dan dapat juga berupa benda yang bergerak. 4). Harta benda yang diwakafkan harus bebas dari segala beban.8 c. Mauquf ‘alaih Unsur yang ketiga ini merupakan unsur yang berbentuk tujuan wakaf itu sendiri, dimana tujuan wakaf harus untuk kepentingan peribadatan (masjid, mushala, langgar dan lain-lain) atau untuk kepentingan umum lainnya (lembaga pendidikan, yayasan atau lembaga sosial, pasar, jalan dan lain sebagainya) sesuai dengan ajaran Islam.9
7
Taufiq Hamami, op. cit., hlm. 71-72
8
Abi Yahya Zakaria al-Anshari, Fathul Wahab, Juz I, Semarang: Toha Putra, t.th., hlm.
9
Ibid.
259-261
21 d. Sighat atau ikrar wakaf Ikrar wakaf dalam peraturan perundang-undangan merupakan “suatu pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya.” 10 Pengucapan ikrar wakaf ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: 1). Ikrar harus jelas dan tegas kepada siapa (nadzir) dan untuk apa tanah tersebut diwakafkan. 2). Ikrar wakaf harus disaksikan oleh dua orang saksi.11 Disamping kedua syarat ikrar wakaf tersebut, menurut perundangundangan yang berlaku pengucapannya harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) di Kecamatan setempat.12 Pernyataan wakaf yang merupakan tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan dapat dilakukan secara lisan maupun dalam bentuk tulisan. 13 2. Dasar Hukum Nadzir Meskipun nadzir adalah salah satu unsur pembentuk wakaf, namun al-Qur’an tidak menyebutkan dengan jelas mengenai nadzir,
bahkan
untuk wakaf sendiri al-Qur’an tidak menerangkan secara jelas dan terperinci. Tetapi ada beberapa ayat al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia berbuat baik
untuk kebaikan masyarakat. Ayat-ayat ini
10
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, pasal 1 ayat (3) jo Permenag Nomor 1 Tahun 1978, Pasal 1 Huruf (d). 11
Abi Yahya Zakaria al-Anshari, loc. cit.
12
Taufiq Hamami, op. cit., hlm. 74
13
M. Daud Ali, op. cit., hlm. 85-87
22 dipandang oleh para ahli hukum bisa dijadikan landasan atau dasar hukum perwakafan. Ayat-ayat al-Qur’an tersebut antara lain; surat al-Baqarah ayat 267 dan surat Ali Imran ayat 92.
! "# $%" " 0-./, + *) ) ) )& '( Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”(QS. Al Baqarah : 267)14
1213 4 56 78 9:;
<
5 % =<
<>?
<
0B-, 5 @A* 4 @ Artinya: “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kemu cintai. Dan apa yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”(QS. Ali Imran : 92)15 Selain kedua ayat al-Qur’an di atas, yang menganjurkan manusia untuk berbuat baik untuk kebaikan orang lain dengan membelanjakan (menyedekahkan) sebagian dari harta benda kekayaannya, ada beberapa hadits yang juga dapat dijadikan sebagai dasar hukum perwakafan, salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, sebagai berikut:
14
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1994,
15
Ibid., hlm. 91
hlm. 67
23
# $%&" 6 .78 9
! 6 ) 5 )1 !$"' ( )* +*!$,& - ./0& 12 34 16
> <$= ; 4 1 :4 14
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Apabila seseorang telah mati, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara; sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya.” Berdasarkan hadits tersebut di atas, para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud shadaqah jariyah dalam hadits tersebut adalah wakaf. Dengan demikian wakaf sama dengan shadaqah jariyah dalam hal pahalanya. Oleh karena wakaf merupakan shadaqah jariyah yang pahalanya terus-menerus mengalir, maka keutuhan dan kelestarian benda wakaf mutlak diperlukan dalam upaya mencapai tujuan wakaf sebagai shadaqah manfaat. Agar tujuan itu dapat tercapai, maka secara otomatis dibutuhkan seseorang atau badan hukum yang mengelola dan mengurus benda wakaf yaitu nadzir. B. Jenis-jenis dan Syarat-syarat Nadzir 1. Jenis-jenis Nadzir Berdasarkan definisi nadzir yang telah diuraikan di muka, dapat dipahami bahwa yang dapat ditunjuk sebagai nadzir
adalah harus
berbentuk kelompok perorangan atau badan hukum. Ketentuan ini
16
Abu al-Husaini Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz III, Beirut: Daar al-Fikr, t.th., hlm. 25
24 merupakan pembaharuan dari ketentuan yang ada dalam fiqh, yang menyebutkan bahwa nadzir dapat berupa perorangan secara sendiri asalkan ditunjuk oleh wakif, dan bahkan wakif sendiri dapat menunjuk dirinya sendiri menjadi nadzir.17 Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, bahwa jika wakif mensyaratkan nadzir kepada dirinya maka ikutilah atau jika mensyaratkan kepada orang lain juga penuhilah syarat itu. Tetapi jika wakif tidak mensyaratkan kepada seorang pun, maka yang bertindak sebagai nadzir adalah qadli.18 Qadli yang dimaksud di sini harus berasal dari negeri pihak yang berhak menerima hasil wakaf. a. Nadzir yang berupa kelompok perorangan Nadzir dalam bentuk kelompok perorangan berarti sekumpulan orang yang merupakan satu kesatuan atau merupakan suatu pengurus yang sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan camat setempat.19 Melalui ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa sistem peraturan perundang-undangan Indonesia tidak mengenal dan tidak memperkenalkan adanya nadzir yang bersifat perorangan secara
17
Taufiq Hamami, op. cit., hlm. 99
18
Ibnu Syihab al-Ramli, op. cit., hlm. 613
19
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978, pasal 8 ayat (1)
25 pribadi, sebagaimana dalam fiqh. Katentuan ini, selain sebagai upaya memaksimalkan tugas nadzir juga mempunyai tujuan khusus, yaitu: 1). Menghindari terjadinya manipulasi atas harta wakaf oleh perorangan. 2). Menghindari perselisihan di kemudian hari. 3). Memudahkan koordinasi serta bimbingan bagi nadzir .20 b. Nadzir berupa Badan Hukum Selain nadzir yang berupa kelompok perorangan, nadzir juga bisa berbentuk badan hukum, yakni suatu bentuk perkumpulan orangorang
yang
bergabung
dalam
organisasi
yang
oleh
hukum
diperlakukan seperti halnya seorang manusia, sebagai pengemban hakhak dan kewajiban-kewajiban, dimana penunaiannya diwakili oleh para pengurusnya.21 2. Syarat-syarat Nadzir Sebagaimana disebutkan terdahulu bahwa nadzir merupakan salah satu unsur penting dalam wakaf. Oleh karena itu, untuk menjadi nadzir diperlukan syarat-syarat yang telah ditentukan hukum Islam, meskipun pada dasarnya semua orang bisa menjadi nadzir asalkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Menurut Pasal 219 Kompilasi Hukum Islam, syarat-syarat nadzir adalah sebagai berikut:
20
Taufiq Hamami, op. cit., hlm. 100
21
Ibid., hlm. 101
26 a. Warga Negara Indonesia b. Beragama Islam c. Sudah dewasa d. Sehat jasmani dan rohani e. Tidak berada di bawah pengampuan f. Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkan.22 Bagi nadzir yang berbentuk suatu badan hukum, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Badan Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. b. Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan. c. Badan Hukum yang tujuan dan usahanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. d. Para pengurusnya harus memenuhi syarat-syarat sebagai seorang nadzir.23 Sedangkan dalam kitab Fathul Wahab disebutkan bahwa syaratsyarat nadzir adalah:
22
Saekan Erniati Effendi, et. all., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Arkola Offset, 1997, hlm., 141; lihat: Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan Perkembangannya, Bandung: Piara, 1997, hlm. 43 23
Taufiq Hamami, op. cit., hlm. 102
27 a. Mempunyai sifat adil b. Mampu membelanjakan apa yang ada padanya sebagai nadzir, menjaga ashalnya, mengumpulkan hasilnya serta membagikan kepada yang berhak.24 C. Beberapa Ketentuan tentang Nadzir (Pengelola Wakaf) 1. Hak dan Kewajiban Nadzir (Pengelola Wakaf) Nadzir, baik berupa kelompok perorangan atau berupa badan hukum, sebagai pemegang amanat untuk memelihara, mengurus dan mengelola harta wakaf, sudah sepantasnya mempunyai kewajibankewajiban yang harus dilaksanakannya, di samping juga mempunyai hakhak yang mesti diterimanya atas tugas-tugasnya tersebut. Kewajiban nadzir meliputi hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan, pengurusan dan pengawasan harta wakaf serta hasil-hasilnya. Untuk lebih jelasnya mengenai kewajiban-kewajiban nadzir adalah sebagai berikut: a. Pemeliharaan
dan
pengurusan,
yaitu
suatu
kewajiban
untuk
memelihara, mengurus, dan mengawasi harta wakaf serta hasilhasilnya. Kewajiban ini meliputi: -
Menyimpan dengan baik salinan Akta Ikrar Wakaf, sebagai bukti autentik yang akan digunakan untuk berbagai kepentingan, termasuk ketika diperkarakan di Pengadilan.
-
Memelihara, mengurus dan mengelola tanah wakaf serta berusaha meningkatkan produktifitas manfaatnya. Dalam hal ini nadzir
24
Abi Yahya Zakaria al-Anshari, op. cit., hlm. 259
28 berwenang melakukan hal-hal yang dapat mendatangkan kebaikan dan keuntungan terhadap harta wakaf. -
Menggunakan
dan
membelanjakan
hasil-hasil
harta
wakaf
sebagaimana mestinya sesuai dengan ikrar dan kehendak pewakaf.25 Agar pelaksanaan kewajiban-kewajiban di atas berjalan dengan baik, maka nadzir harus memiliki catatan pembukuan, yakni berupa buku
catatan keadaan tanah wakaf dan buku catatan tentang
pengelolaan tanah wakaf. b. Nadzir wajib membuat laporan secara berkala atau tahunan atas semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf. Laporan ini menyangkut tentang hasil pencatatan keadaan tanah wakaf dan hasil-hasil dari tanah wakaf yang diperlihara dan diurusnya. Laporan berkala atau laporan tahunan ini merupakan rekapitulasi dari pembukuan wakaf. c. Laporan Insidentil Laporan insidentil bersifat tidak menentu, artinya nadzir wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang ketika sewaktu-waktu terjadi sesuatu hal yang berhubungan dengan anggota nadzir. Hal-hal yang mengharuskan nadzir untuk membuat laporan insidentil jika ada salah seorang anggota nadzir yang:
25
-
Meninggal dunia
-
Mengundurkan diri
Taufiq Hamami, op. cit., hlm. 107-108; lihat: Juhaya S. Praja, op. cit., hlm. 44
29 -
Melakukan tindak pidana kejahatan yang berhubungan dengan kedudukannya sebagai nadzir .
-
Tidak memenuhi syarat lagi sebagai nadzir.
-
Tidak dapat lagi melaksanakan kewajibannya sebagai nadzir. Selain berbagai kewajiban di atas, sebagai orang yang mengurus
dan mengelola harta wakaf nadzir baik berupa kelompok perorangan maupun
berupa
badan
hukum
juga
mempunyai
hak-hak
untuk
mendapatkan bagian dan menerima penghasilan yang pantas dari hasil tanah wakaf sebagai imbalannya. 26 Hak-hak tersebut antara lain: 1. Menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang besarnya ditetapkan oleh Kepala Kandepan cq. Kepala Seksi Urusan Agama Islam (Kasi Urais), dengan ketentuan tidak lebih dari 20% dari penghasilan bersih harta wakaf. 2. berhak menggunakan fasilitas benda wakaf dalam menjalankan tugasnya sebagai nazir, yang jenis dan jumlah fasilitasnya ditentukan oleh Kepala Dandepag, cq. Kasi Urais.27 Pemberian imbalan sebagai hak yang harus diterima nadzir ini dimaksudkan agar pemeliharaan pengurusan dan penyelenggaraan harta wakaf dapat berjalan secara lebih baik lagi. Di samping itu diberinya
hak
tersebut
akan
dapat
menghindari
penyimpangan terhadap hasil wakaf oleh nadzir. 26
Peraturan Menteri Agama nomor 1 Nomor 1978, pasal 11
27
Juhaya S. Praja, op. cit., hlm. 45
dengan
penyimpangan-
30 2. Pengangkatan dan Pemberhentian Nadzir Pada hakekatnya siapa saja bisa menjadi nadzir, asalkan orang itu memenuhi kriteria atau syarat-syarat untuk menjadi nadzir. Tetapi yang menjadi persoalan adalah siapa yang berhak menunjuk atau mengangkat nadzir. Menurut fiqh, seorang wakif bisa menunjuk dirinya-sendiri atau orang lain untuk menjadi nadzir, tetapi jika wakif tidak menunjuk siapapun untuk menjadi nadzir, maka yang bertindak sebagai nadzir adalah qadli dari pihak desa tempat wakaf tersebut.28 Sedangkan dalam peraturan perundangan tidak ada suatu ketentuan yang menyebutkan siapa yang berhak mengangkat nadzir (pengelola wakaf). Namun jika dilihat dari beberapa ketentuan yang diatur dalam PP. No. 28 Tahun 1977, secara tersirat dapat dipahami bahwa yang berhak menunjuk dan mengangkat nadzir adalah adalah pihak wakif dengan mengajukan ke pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat, untuk didaftar dan disahkan dengan melihat persyaratan yang ada.29 Namun jika di suatu desa telah ada nadzir yang telah didaftar dan disahkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, maka untuk wakif-wakif selanjutnya, tidak boleh menunjuk dan mengangkat nadzir yang baru di desa tersebut. Dengan demikian kebebasan wakif untuk menunjuk dan mengangkat nadzir sebagaimana menurut fiqh tidak bisa dipenuhi, karena demi tertibnya lembaga perwakafan di Indonesia.
28
Ibnu Syihab al-Ramli, op. cit., hlm. 397
29
Taufiq Hamami, op. cit., hlm. 103
31 Di sinilah nampak bahwa peraturan perwakafan yang dikeluarkan pemerintah lebih menekankan pada aspek prosedural dan formalitas. Berkaitan dengan masa kerja nadzir,meskipun jabatan nadzir tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu, tetapi masa kerja nadzir tidak mutlak seumur hidup. Dalam fiqh disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu nadzir dapat diambil kekuasaannya dan diberhentikan dari jabatannya sebagai nadzir jika berbuat khianat, gila atau sakit ingatan dan fasid.30 Sedangkan berdasarkan PP. No. 28 Tahun 1977, seorang nadzir atau anggota nadzir bisa dan akan dianggap berhenti dari jabatannya apabila: 1. Meninggal dunia 2. Mengundurkan diri 3. Dibatalkan kedudukannya sebagai nadzir oleh KUA, baik karena alasan tidak memenuhi syarat seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) PP. No. 28 Tahun 1977, melakukan tindak pidana kejahatan, maupun karena tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai nadzir.31 Seorang anggota nadzir juga bisa diberhentikan dari jabatannya sebagai nadzir jika: 1. Meninggal dunia 2. Mengundurkan diri
3. Tidak dapat menjalankan tugasnya 30
Ibnu Abidin Hasyiyah, Rad al-Mukhtar, Juz IV, Beirut: Daar al-Kitab al-Alamiyah,
31
Juhaya S. Praja, op. cit., hlm. 43-44
hlm. 425
32 4.
Dibatalkan. 32 Ketika terjadi hal-hal di atas, maka anggota nadzir lainnya wajib
segera melaporkan kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat, untuk kemudian dicarikan penggantinya berdasarkan syaratsyarat yang telah ditentukan. CCC
32
Taufiq Hamami, op. cit., hlm. 106