BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG IDDAH A. Iddah 1. Pengertian Iddah Beberapa pengertian Iddah menurut etimologi (bahasa), Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, al-„iddah artinya perhitungn. 1 Dalam Kamus Munawwir, al-„iddatu ( )العدةartinya jumlah.2 Dalam buku Fiqh Munakahat: Khitbah, nikah dan thalak menjelaskan definisi iddah menurut bahasa dari kata “al-„udd” dan “al-Ihsha‟” yang berarti bilangan atau hitungan, misalnya bilangan harta atau hari jika dihitung satu per satu dan jumlah keseluruhan.3 Allah berfirman:
“Sesungguhnya bilangan beberapa bulan di sisi Allah sebanyak dua belas bulan.” (QS.At-Taubah (9):36) Dalam Fikih Wanita: Perempuan dalam Pandangan Syari‟at Islam, „iddah ( ) عدةdengan huruf „ain yang berharakat kasrah, berarti “perhitungan”. Seperti dalam sebuah perkataan: ( )عددت عدة الشيءyang berarti “aku telah menghitung sesuatu. Sedangkan „uddah ( ) عدةdengan huruf „ain yang dibaca dhummah, berarti “persiapan untuk melakukan sesuatu”. Dalam
1
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm 637. 2 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm 903. 3 Abu Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, nikah dan thalak, penerjemah Abdul Majid Khon (Jakarta: Amzah, 2014), hlm 318.
26
27
penggunaan bahasa, „iddah juga berarti: “hari-hari sucinya seorang perempuan”.4 Iddah adalah bahasa Arab yang berasal dari akar kata adda-ya‟uddu„iddatan dan jamaknya adalah „idad yang secara arti kata (etimologi) berarti “menghitung” atau “hitungan”. Kata ini digunakan untuk maksud iddah karena dalam masa itu siperempuan yang ber-iddah menunggu berlalunya waktu.5 Sedangkan beberapa iddah menurut terminologi (istilah) adalah: iddah adalah masa dimana seorang wanita yang diceraikan suaminya menunggu. Pada masa itu ia tidak diperbolehkan menikah atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya.6 Dalam kasus cerai mati, Iddah merupakan masa berduka dan belasungkawa seseorang perempuan yang ditinggal mati suaminya. cerai karena kematian adalah suatu musibah yang berada di luar kekuasaan untuk menolaknya. Dalam hal ini pula, suami istri bercerai karena satu pihak meninggal dunia, mereka masih berada di dalam hubungan batin yang bgitu akrab, dalam suasana berkasih sayang dan saling mencintai. Berdasarkan Hal ini, dapat dipahami bahwa Islam menetapkan masa iddah yang lebih panjang untuk perempuan yang cerai mati, dari cerai thalak karena di
4
Ahmad al-Hajjiy al-Kurdiy, Fikih Wanita: Perempuan dalam Pandangan Syari‟at Islam, alih bahasa Muhammad Lutfi al-Anshori dan Munirul Ikhwan, (Damaskus: Dar al-Mustafa, 2013), hlm 99. 5 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), hlm 303. 6 Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita alih bahasa M.Abdul Ghoffar E.M, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2008) hlm 477.
28
samping pembuktian kesucian rahim, juga merupakan kesempatan untuk berduka cita.7 Ulama Syafi‟iyah mengemukakan definisi Iddah sebagai berikut:
“Iddah adalah suatu masa tenggang bagi perempuan untuk mengetahui kebersihan rahimnya atau untuk ta‟abbud atau untuk menyatakan duka citanya kepada suami.”8 Di dalam buku Fiqh Munakaht II karya Supriatna dkk, menurut Zakaria al-Anshariy sebagaimana dikutip oleh Abd Moqsith Ghozali, pengertian „iddah adalah:
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa Iddah adalah suatu tenggang waktu tertentu yang harus dihitung oleh seorang perempuan semenjak ia berpisah (bercerai) denga suaminya, baik perpisahan itu disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal dunia, dan dalam masa tersebut perempuan itu tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki lain.9 Zainuddin „Abd Al „Aziz Al-Malibari mengemukakan iddah adalah masa penantian perempuan untuk mengetahui apakah kandungan istri bebas dari kehamilan atau untuk ibadah, atau untuk masa kekagetan (penyesuaian) karena baru ditinggal mati oleh suami. Akan tetapi, menurut tujuan syari‟at 7
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Galia Indonesia, Februari 2010, t.tp) hlm 198-199. 8 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Galia Indonesia, Februari 2010, t.tp) hlm 199. 9 Supriatna dkk, Fiqh Munakahat II Dilengkapi dengan UU No.1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Teras, 2009) hlm 68.
29
yang asli iddah memang digunakan untuk menjaga keturunan dari percampuran dengan benih lain. Dalam definisi ini, Zainuddin Al-Malibari menambahkan unsur ibadah sebagai alasan hukum iddah.10 Dari uraian di atas, iddah adalah masa tunggu bagi wanita yang dithalak maupun ditinggal mati suaminya dalam batas waktu yang telah ditentukan oleh syara‟ sebagai tujuan untuk rasa bela sungkawa atau perenungan kembali paska perceraian dan untuk mengetahui kebersihan rahim dalam kandungan wanita tersebut. 2. Dasar Hukum Iddah Dalam
Al-Qur‟an
telah
dijelaskan
beberapa
dasar
hukum
disyari‟atkannya iddah, yaitu: Dalam surat Al-baqarah ayat 228:
Artinya: “Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru‟.” (QS. Al-Baqarah (2):228) Dalam surat Al-baqarah ayat 234:
Artinya: “Dan orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaknya para istri) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tidak dosa bagi (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang 10
Tutik Hamidah, Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm 130-131.
30
patut. Allah mengetahui apa yang kalian perbuat.” (QS. Albaqarah (2):234) Dalam surat Al-Thalaq ayat 1: Artinya: “wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu pada mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh dia telah beruat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.” (QS. Al-Thalaq (65):1) Dalam surat Al-Thalaq ayat 4: Artinya: “perempuan yang tidak lagi haid (monopause) diantara istriistrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya tiga bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.”(QS. Al-Thalaq (65): 4) Dalam surat Al-ahzab ayat 49: Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu camurinya maka tidak ada masa iddah atas
31
mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun, berilah mut‟ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaikbaiknya.”(QS. Al-ahzab (33):49) Dalam hadits juga telah menjadi dasar hukum iddah, diantaranya yang dikutip oleh Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya yang berjudul koleksi hadits-hadits hukum jilid 4, Ummu Salamah ra. menerangkan:
Artinya: “Bahwasanya Subi‟ah seorang perempuan dari Aslam yang ditinggal mati oleh suaminya, saat dia tengah mengandung. Kemudian dia dipinang oleh Abus Sanaabin ibn Ba‟kak, pinangan itu ditolak. Maka Abus Sanaabin berkata: “Demi Allah, engkau tidak dapat bersuami sehingga engkau ber‟iddah dengan iddah yang terpanjang dari dua iddah. maka perempuan itu melewati kira-kira sepuluh malam, diapun bernifas. Sesudah berakhir masa nifas dia datang menemui Nabi, dan beliau berkata: Berikanlah engkau.” (HR. Al-Jama‟ah selain dari Abu Daud dan Ibnu Majah; Al-Muntaqa 2:639).11 Di dalam hadits lain juga menjadi landasan hukum, sebagaimana yang dikutip oleh Syaikh Faishol bin Abdul Aziz al-Mubarok, yaitu dari Umi Athiyah:
" .
: .
Artinya: “Umi Athiyah berkata: Nabi saw bersabda: „Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari kecuali terhadap suami, maka istri tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai pakaian yang dicelup 11
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi hadits-hadits hukum, jilid 4 (Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2011), hlm 239.
32
kecuali kain genggang da tidak boleh memakai wangi-wangian kecuali apabila bersuci (dengan menggunakan) sedikit qust atau azfar12 (sejenis kayu yang erbau harum).” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).13 Dari dalil-dalil al-qur‟an dan hadits di atas, menunjukkan bahwa iddah adalah masa menunggu bagi wanita yang dithalak maupun suaminya meninggal. Perbedaan perceraian (talak maupun meninggalnya suami) ini yang menjadi salah satu faktor penentu jenis iddah dan batas waktu pelaksanannya masing-masing. 3. Macam-macam Iddah Iddah terbagi menjadi beberapa bagian, dilihat dari berbagai sisi yang berbeda: a. jika dilihat dari sisi sebab, iddah terbagi menjadi dua bagian, yaitu: iddah istri yang diceraikan atau karena rusaknya akad nikah, atau karena ditinggal sang suami dan iddah istri yang ditinggal mati. b. jika dilihat dari sisi tabiat atau karakteristiknya, terbagi menjadi 3 hal: iddah dengan haid, iddah dengan bulan atau hari dan iddah dengan melahirkan.14 Macam-macam iddah akan dijalankan oleh wanita yang dithalak maupun yang ditinggal mati suaminya. hal tersebut sudah ada ketentuan batas waktu masing-masing iddah sesuai dengan syara‟. 12
Qust dan Azhfar itu dua macam dupa atau barang wangi biasa dipakai oleh perempuan untuk membersihkan bekas haidnya. 13 Syaikh Faishol bin Abdul Aziz al-Mubarok, Terjemah Nailul Authar: himpunan haditshadits hukum, jilid 5, penerjemah Mu‟ammal Hamidy dkk (Surabaya: PT. Bina Ilmu, tt), hlm 2423. 14 Ahmad al-Hajjiy al-Kurdiy, Fikih Wanita: Perempuan dalam Pandangan Syari‟at Islam, penerjemah Muhammad Luthfi al-Anshori dan Munirun Ikhwan, hlm 103.
33
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, iddah terbagi dilihat sesuai dari keadaan dan kondisi wanita tersebut. Yaitu: 1. Wanita yang dithalak suaminya - Apabila wanita yang dithalak dalam kondisi hamil, maka iddahnya yaitu sampai dia melahirkan. Landasan hukumnya QS. Ath-Thalaq ayat 4: Artinya: “Dan bagi perempuan-perempuan yang hamil, maka masa iddahnya adalah sampai melahirkan”.(QS.Ath-thalaq(65): 4). - Apabila wanita yang dithalak masih mempunyai haid, maka iddahnya yaitu tiga kali suci. Landasan hukumnya QS. Al-baqarah ayat 228:
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang dicerai suaminya, hendaklah dia menunggu selama tiga kali quru‟.”(QS.Al-Baqarah(2): 228). - Apabila wanita yang dithalak ba‟da dukhul tidak hamil dan tidak haid maka iddahnya menggunakan hitungan bulan yaitu 3 bulan. Landasan hukumnya QS. Ath-thalaq ayat 4: Artinya: “Dan perempuan yang tidak lagi haid (monopause) diantara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya tiga bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa bertakwa kepada Allah,
34
niscaya Dia menjadikan kemudahan urusannya.”(QS. Ath-thalaq(65): 4) .
baginya
dalam
2. Wanita yang ditinggal mati suaminya - Apabila wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil, maka iddahya sampai melahirkan. Landasan hukumya QS. Ath-thalaq ayat 4: Artinya: “Dan perempuan yang tidak lagi haid (monopause) diantara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya tiga bulan dan begitu (pula) perempuanperempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuanperempuan hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.”(QS. Ath-thalaq(65): 4) - Apabila wanita yang ditinggal mati suaminya belum pernah dicampuri oleh suaminya yang meninggal tersebut atau wanita itu sudah monopause, maka iddahnya empat bulan sepuluh hari. Landasan hukumnya: Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteriisterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau
35
waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.Al-baqarah (2): 240).
Artinya: “Dan orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan
meninggalkan istri-istri (hendaknya para istri) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tidak dosa bagi (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kalian perbuat.” (QS. Al-baqarah (2):234) Firman Allah tersebut di atas, ulama telah ijmak denga menyatakan bahwa ayat ini menasakhkan ayat iddah wafat yang menyebutnya setahun walaupun ayat ini lebih dahulu tilawahnya bukan turunnya.15 Karena
kematian
dianggap
secara
hukum
seperti
telah
bersenggama (berbeda denga thalak, fasakh dan istri yang ditinggal pisah oleh suaminya, yang mana perempuan tak wajib menjalani iddah letika suaminya belum menyenggamainya, berbeda dengan kematian). Hal ini berlaku jika pernikahan yang ada telah sah. Jika pernikahan tersebut tidak sah, kemudian suami meninggal, maka istri wajib menjalani iddah selama dia belum disenggamai oleh suami secara pasti. Namun jika suami telah
15
Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam (Jakarta: Kencana, 2006), hlm 139-140.
36
menyenggamainya kemudian etelah itu meninggal, maka dia wajib menajalani iddah.16 4. Hak dan Kewajiban wanita dalam masa Iddah Di dalam Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq diterangkan tentang kewajiban istri yang sedang menjalani masa iddah, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Kamil „Uwaidah yang isinya adalah: “Istri yang sedang menjalani masa iddah berkewajiban untuk menetap di rumah di mana ia dahulu tinggal bersama sang suami sampai selesai masa iddahnya dan tidak diperbolehkan baginya keluar rumah dari rumah tersebut. Sedangkan suaminya juga tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan ia dari rumahnya. Apabila istri yang ditalak itu melakukan perbuatan keji secara terang-terangan memperlihatkan sesuatu yang tidak baik bagi keluarga suaminnya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya dari rumah tersebut. Para fuqaha‟ berbeda pendapat mengenai keluarnya istri dalam masa iddah. Ulama penganut madzhab Hanafi berpendapat, tidak diperbolehkan bagi seorang istri yang dithalak raj‟i maupun ba‟in keluar rumah pada siang maupun malam hari. Sedangkan bagi istri yang ditinggal suaminya boleh keluar pada siang dan sore hari. Ulama madzhab Hanbali membolehkannya keluar pada siang hari, baik karena thalak maupun ditinggal suaminya. sedangkan Ibnu Qudamah berpendapat bagi istri yang sedang masa iddah
16
Ahmad Hajjiy al-Kurdiy, Fikih Wanita: Perempuan dalam Pandangan Syari‟at Islam, penerjemah Muhammad Luthfi al-Anshori dan Munirun Ikhwan, hlm 109.
37
boleh keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya pada siang hari, baik karena thalak maupun ditinggal masti suaminya.17 kewajiban perempuan yang sedang iddah untuk tidak berhias atau menggunakan perhiasan selama masa berkabung. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa larangan berhias ini wajib bagi perempuan yang tengah iddah karena sebab kematian suaminya atau karena thalak ba‟in. Adapun perempuan yang iddah karena thalak raj‟i, maka tak dilarang untuk berhias, karena secara hukum ikatan suami istri masih ada (belum sepenuhnya putus). Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa secara mutlak tak ada larangan untuk berhias bagi perempuan yang diceraikan, baik talak raj‟i maupun ba‟in. Akan tetapi larangan ini hanya berlaku bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya saja. Akan tetapi syafi‟iyah hanya menganjurkan kepada perempuan yang dithalak ba‟in untuk tidak berhias, bahkan dalam qaul qadim (pendapat lama) madzhab Syafi‟i, mereka mewajibkan perempuan yang dithalak ba‟in untuk tidak berhias sebagaimana golongan Hanafi. Adapun perempuan yang menjalani masa iddah dari sebuah pernikahan yang rusak atau karena bersetubuh secara syubhat, maka tak ada larangan sam asekali bagi mereka untuk merias diri, menurut kesepakatan ulama.18
17
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita penerjemah M. Abdul Ghoffar E.M (Jakarta: Al-Kautsar, 2008) hlm 479-480. 18 Ahmad al-Hajjiy al-Kurdiy, Fikih Wanita: Perempuan dalam Pandangan Syari‟at Islam, penerjemah Muhammad Lutfi al-Anshori dan Munirul Ikhwan, (Damaskus: Dar al-Mustafa, 2013), hlm 116.
38
Istri yang dithalak raj‟i maupun bai‟in berhak mendapatkan nafkah dari suaminya selama masa iddah. Jika istrinya dithalak tersebut dalam keadaan hamil, maka wajib diberikan nafkahnya sampai ia bersalin. Hal ini sesuai denga sabda Rasulullah saw yang artinya “Ketahuilah hak mereka (para istri) atas kalian (para suami) adalah kalian harus berbuat sebaik mungkin untuk memberikan pakaian dan makanan kepada mereka“ (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dan sebagaimana firman Allah “Jika mereka (istri-istri yang sudah dithalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (At-thalaq : 6). 19 Jika istri yang dicerai dalam bentuk thalaq raj‟i, hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan juga tempat tinggal. Hal ini merupakan kesepakatan ulama. Istri yang dicerai dalam bentuk thalak ba‟in, baik ba‟in sughra atau ba‟in kubra dan ia sedang hamil, dalam hal ini ulama sepakat bahwa dia berhak atas nafaqah dan tempat tinggal. Dasar hukumnya adalah firman Allah surat al-Thalaq (65) ayat 6: Artinya: “Berikanlah kepada mereka tempat tinggal setara dengan tempat kediamanmu sesuai dengan kemampuanmu. Janganlah kamu menyakiti mereka untuk menyempitkan mereka. Bila mereka dalam keadaan hamil beri nafkahlah mereka sampai dia
19
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita penerjemah M. Abdul Ghoffar E.M (Jakarta: Al-Kautsar, 2008), hlm 481
39
melahirkan anak. Bila dia menyusukan anak untukmu berilah mereka upah.” Bila ia tidak dalam keadaan hamil ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama diantaranya Umar dan anaknya, Ibnu Mas‟ud, Ibnu Abbas, Imam Malik, al-Syafi‟i dan Ahmad berpendapat bahwa perempuan itu berhak atas tempat tinggal tetapi tidak berhak atas nafkah. Pendapat kedua dari Ali, Ibnu Abbas, Jabir, „Atha‟, Thawus dan Daud al-Zhahiriy dan pendapat bahwa perempuan itu tidak mendapat nafkah dan juga tidak mendapatkan tempat tinggal. Alasannya ialah perkawinan telah putus sama sekali dan tidak ada pula kehamilan yang mesti dibiayai oleh suaminya. pendapat ini diperkuat dengan atsar sahabi dari Fathimah bin Qais yang mengatakan ال نفقة لك و اال أن تكونى حامالtidak ada nafkah bagimu kecuali bila kamu hamil. Pendapat ketiga dari kebanyakan ulama di antaranya Abu Hanifah, al-Tsauri, al-Hasan, Ibnu Syubrumah yang berpendapat bahwa perempuan itu tidak berhak atas nafaqah dan tempat tinggal. Para Fuqaha bersepakat bahwa seorang istri yang menjalani masa iddahnya dari talak raj‟i berhak mendapatkan nafkah dari suami yang menceraikannya secara utuh selama masa iddah. Adapun istri yang menjalani masa iddah talak ba‟in, golongan Hanafiyah berpendapat bahwa dia
berhak
mendapatkan
nafkah
secara
utuh
dari
suami
yang
menceraikannya selama dalam masa iddah. Golongan Syafi‟iyah berpendapat bahwa nafkah istri yang diceraikan hanya berhak mendapat nafkah dari suami yang tetap tinggal bersamanya. Untuk selain itu maka istri tidak berhak mendapat nafkah, jika
40
dia dalam kondis bersih dan tidak hamil. Namun jika dia dalam kondisi hamil, maka suami wajib memberi nafkah kepadanya secara utuh, sebagaimana madzhab Hanafi. Adapun jika yang menyebabkan iddah adalah terjadinya fasakh, maka jika fasakh tersebut dari pihak suami, wajib baginya memeberi nafkah kepada isrti secara utuh. Namun jika penyebb terjadinya fasakh dari pihak istri, seperti jika dia melakukan maksiat, murtad, maka dia tidak wajib mendapatkan nafkah sedikitpun kecuali jika masih menetap. Namun jika penyebab bukan karena perbuatan maksiat,maka dia tetap berhak mendapatkan nafkah secara utuh. Hal ini adalah menurut golongan Hanafiyah. Sedangkan menurut golongan Safi‟iyah jika fasakh tersebut disebabkan karena sesuatu yag diketahui bersamaan dengan akad nikah, seperti „aib lama misalnya, maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah. Namun jika hal itu disebabkan karena unsur luar yang kemudian merusak akad nkah seperti murtad atau ternyata diketahui saudara sepersusuan, wajib bagi suami memeberi nafkah, jika dia dalam kondisi hamil. Namun jika tidak hamil, maka nafkah hanya wajib bagi yag tetap tinggal di rumah saja, seperti istri yang diceraikan dengan talak ba‟in. Tak ada kewajiban nafkah bagi selain kondisi hamil tersebut. Jika iddah disebabkan karena kematian suami, maka secara mutlak dia tak berhak mendapatkan nafkah, karena dia dianggap cukup dengan
41
mendapatkan warisan. Hal ini sebagaima yang disepakati oleh para ahli fikih.20 Hak istri yang ditinggal mati oleh suaminya, dalam hal istri dalam keadaan hamil ulama sepakat mengatakan bahwa dia berhak atas nafkah dan tempat tinggal, namun bila istri tidak dalam keadaan hamil ulama beda pendapat. Sebagian ulama diantaranya Imam Malik, al-Syafi‟i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa istri dalam iddah wafat berhak atas tempat tinggal. Mereka mendasarkan pendapatnya dengan umum ayat 180 surat albaqarah yang menyusruh istri beriddah di rumah suaminya, yang sejauh berkenaan dengan tempat tinggal tidak dinasakh. Sebagian ulama diantaranya Imam Ahmad berpendapat bahwa istri dalam iddah wafat yang tidak hamil tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, kerna Allah hanya menentukan untuk yang kematian suami itu adalah peninggalan dalam bentuk harta warisan.21 Menurut aturan fiqh klasik, perempuan yang sedang menjalani masa iddah tidak diperkenankan keluar rumah apapun alasannya, kecuali darurat. Akibatnya, iddah dipahami sebagai sebuah bentuk domestifikasi terhadap kaum perempuan dengan menggunakan dalil keagamaan. Waktu penantian yang dimaksudkan dalam definisi iddah tidak lain adalah waktu penantian yang benar-benar menjemukan karena banyak aturan di dalamnya, seperti
20
Ahmad al-Hajjiy al-Kurdiy, Fikih Wanita: Perempuan dalam Pandangan Syari‟at Islam, penerjemah Muhammad Lutfi al-Anshori dan Munirul Ikhwan (Damaskus: Dar al-Mustafa, 2013) hlm 120-121. 21 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm 322-324.
42
tidak boleh keluar, tidak boleh memakai pakaian yang bagus, dan memakai wangi-wangian.22 Tabel 1. Hak dan kewajiban wanita dalam masa iddah No 1.
Hak Bagi yang perempuan dithalak raj‟i
Perempuan yang dithalak raj‟i,
berhak mendapatkan pembelanjaan
tidak boleh keluar rumah siang
pangan, pakaian dan tempat tinggal.
maupun malam.
Perempuan
2.
Kewajiban
yang
dithalak
ba‟in, Tidak
boleh
keluar
rumah,
mendapatkan nafkah dan tempat walaupun halaman depan. tinggal. 3.
Boleh keluar rumah siang hari baik Tidak thalak maupun kematian suami.
boleh
bersolek
dan
berhias
diri/
tidak
boleh
memakai perhiasan juga wangiwangian. 4.
Jika
iddah
disebabkan
karena Tidak boleh menerima pinangan
kematian suami, maka istrinya boleh atau
menikah
selama
keluar siang dan sore hari untuk iddah. memenuhi kebutuhan. 5.
Jika perempuan tersebut hamil, baik thalak
maupun
suaminya
ditinggal
berhak
masti
mendapatkan
nafkah sampai melahirkan. 6.
Jika tidak kondisi hamil, maka berhak tempat tinggal tetapi tidak berhak mendapatkan nafkah.
7.
Jika perempuan yang ditinggal mati suaminya,
22
bukan
berhak
Tutik Hamidah, Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, hlm 132.
masa
43
No
Hak mendapatkan nafkah tetapi
Kewajiban berhak
mendapatkan warisan. 8.
Jika perempua yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil, maka berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Sedangkan dalam buku Fatwa-fatwa tentang Wanita karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim Asy-Syaikh dkk, menjelaskan: Perempuan yang ditinggal mati suaminya, dia harus berkabung selama masa iddah, yaitu menjauhi segala sesuatu yang mengundang hasrat orang lain dan membuat orang lain tertarik memperhatikannya, sebagai berikut rinciannya; Pertama, wajib bagi waita tersebut untuk tinggal di rumah suaminya yang meninggal dunia, tinggal di dalamnya tanpa keluar, kecuali untuk kebutuhan darurat atau keperluan. Dan keluar untuk sesuatu keperkuan tidak boleh dilaksanakan, kecuali pada siang hari. Kedua, hendaklah dia menjauhi semua wangi-wangian, baik itu parfum ataupun minyak, kecuali pada saat suci dari haid, maka dia boleh menggunakan wangi-wangian seperti parfum untuk menghilangkan bau busuk yang muncul karena haid. Ketiga, hendaklah dia menjauhi perhiasan dengan segala macam bentukya, baik di tangan, dada, kaki, telinga atau di kepala.
44
Keempat, dia harus menjauhkan diri dari berhias dan berdandan seperti celak, pemerah bibir, inai (pacar) dan sebagainya. Empat perkara tersebut di atas harus dilaksanakan oleh wanita yang berkabung atas kematian suaminya.23 5. Hikmah Iddah Dalam buku Fiqh Munakahat II karya Drs. Supriatna dkk dijelaskan menurut Al-Juwaini sebagaimana yang dikutip oleh Rahmat Hakim bahwa iddah memiliki hikmah sebagai berikut: a.
Kita dapat mengetahui kebersihan rahim si perempuan tersebut
b.
Memperpanjang masa kembali bagi suami pertama untuk meruju‟ mantan istri (jika talak raj‟i).
c.
Masa berkabung bagi istri yang ditinggal mati suaminya digunakan sedikit mengenang kembali kenangan lama denga suaminya. sangat tidak etis, seandainya sang istri dengan cepat melangsungkan perkawinan denga laki-laki lain, sementara sang suami baru saja meninggalkannya. Oleh karena itu iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya merupakan masa berkabung.
d.
Suatu masa yang harus dipergunakan calon terutama calon suami yang akan menikahinya, untuk tidak cepat-cepat masuk dalam kehidupan si perempuan yang baru berpisah dari mantan suaminya, karena kemungkinan dia masih memiliki persoalan dengan mantan suaminya,
23
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Asy-Syaikh dkk, Fatwa-fatwa wanita, penerjemah Amir Hamzah Fahrudin, Zaenal Abidin Syamsuddin, Ahmad Amin Sjihab (Jakarta: Darul Haq, 2014), hlm 660-661.
45
mungkin persoalan harta dan lain sebagainya, biarkan mereka selesaikan persoalan pada masa iddah tersebut.24 Mayoritas fuqoha‟ berpendapat bahwa semua iddah tidak lepas dari sebagian maslahat yang dicapai, yaitu sebagai berikut: a. Mengetahui kebersihan rahim dari percampuran nasab. b. Memberikan kesempatan suami agar dapat introspeksi diri dan kembali kepada istri yang tercerai. c. Berkabungnya wanita yang ditinggal meninggal suami untuk memenuhi dan menghormati perasaan keluarganya. d. Mengagungkan urusan nikah, karena ia tidak sempurna kecuali dengan terkumpulnya kaum laki-laki dan tidak melepas kecuali dengan penantian yang lama.25 Ibnu Al-Qayyim berpendapat bahwa iddah adalah di antara perkara yang bersifat ibadah (ta‟abbudi) yang tidak menemukan hikmahnya selain Allah karena kita berhajat mengetahui kebebasan rahim wanita yang mandul ketika dicerai dan tidak ada kesempatan rujuk dalam talak ba‟in.26
24
Supriatna, Fatma Amalia dan Yasin Baidi, Fiqh Munakat II dilengkapi UU NO.1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Teras, 2009) hlm 71. 25 Abu Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, nikah dan thalak, penerjemah Abdul Majid Khon (Jakarta: Amzah, 2014), hlm 320. 26 Abu Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, nikah dan thalak, penerjemah Abdul Majid Khon (Jakarta: Amzah, 2014), hlm 320.
46
B. Iddah Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam KHI disebutkan dalam bab XVII Pasal 151 : bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Waktu tunggu dijelaskan dalam Pasal 153, yang terdiri dari 6 ayat yaitu: 1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. 2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari. b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari. c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
47
4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tanggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. 5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedamg pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. 6) Dalam keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci. Dalam pasal 154 berbunyi: apabila istri tertalak raj‟i kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.27 Dalam bab XIX pasal 170 dijelaskan: 1) Istri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah. 2)
Suami yang ditinggal mati istrinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.28
27
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), hlm 70-71. 28 Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, hlm 78.