BAB II TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG HAK MILIK (AL-MILKIYAH)
A. Pengertian Hak Milik Dalam Hukum Islam Islam menghargai dan mengakui hak milik pribadi. Karenanya Islam telah mengadakan sanksi hukum yang cukup berat terhadap siapa saja yang berani melanggar hak milik pribadi itu. Misalnya, pencurian, perampokan, penyerobotan, penggelapan dan sebagainya.1 Hukum Islam dalam mengatur pergaulan hidup manusia memberikan ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban agar ketertiban hidup masyarakat benar-benar dapat tercapai. Hak dan kewajiban adalah dua sisi dari sesuatu hal. Misalnya, dalam perikatan jual beli, pihak pembeli berhak menerima barang yang dibelinya, tetapi dalam waktu sama berkewajiban juga menyerahkan uangnya.2 Menurut Ahmad Azhar Basyir, hak adalah kepentingan yang ada pada perorangan atau masyarakat, atau pada keduanya, yang diakui oleh syarak. Berhadapan dengan hak seseorang terdapat kewajiban orang lain untuk menghormatinya. Hukum Islam mengenal berbagai macam hak yang pada pokoknya dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu hak Allah, hak manusia dan hak gabungan antara keduanya.3 Menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy, hak
1
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, jilid 3 Muamalah, Jakarta: CV.Rajawali, 1988, hlm. 85-86. Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2004, hlm. 19. 3 Ibid, hlm. 19-20. 2
13
14
mempunyai dua makna yang asasi. Pertama, hak adalah sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur dasar-dasar yang harus ditaati dalam hubungan manusia sesama manusia, baik mengenai orang, maupun mengenai harta. Kedua, hak adalah kekuasaan menguasai sesuatu atau sesuatu yang wajib atas seseorang bagi selainnya.4 Sedangkan milik adalah penguasaan terhadap sesuatu, yang penguasaannya dapat melakukan sendiri tindakan-tindakan terhadap sesuatu yang dikuasainya itu dan dapat menikmati manfaatnya apabila tidak ada halangan syarak.5 Milik (Arab, al-milk} secara bahasa berarti pemilikan atas sesuatu (almal, atau harta benda) dan kewenangan bertindak secara bebas terhadapnya".6 Milik dalam buku; Pokok-pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam,7 didefinisikan sebagai kekhususan terdapat pemilik suatu barang menurut syara untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar'i". Dengan demikian milik merupakan penguasaan seseorang terhadap suatu harta sehingga seseorang mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta tersebut. Berdasarkan definisi milik tersebut, kiranya dapat dibedakan antara hak dan milik, untuk lebih jelas dicontohkan sebagai berikut; seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah 4
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1977, hlm. 120. 5 Ibid, hlm. 45. 6 Musthafa Ahmad al-Zarqa', al-Madkhal al-Fiqh al-'Amm, Beirut: Dar-al Fikr, 1968, Jlid I, hlm, 240. ' 7 Abdul Madjid, Pokok-Pokok Fiqih Muamalah Dan Hukum Kebendaan Dalam Islam, Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, 1986, hlm. 36.
15
ampuannya, pengampu punya hak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada di bawah ampuannya. Dengan kata lain dapat dikatakan "tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki". Hak yang dijelaskan di muka, adakalanya merupakan sulthah, adakalanya merupakan taklif. a. Sulthah terbagi dua, yaitu sultbah 'ala al-nafsi dan sulthah 'ala syai'in mu'ayanin. - Sulthah 'ala al-Nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hak hadlanah (pemeliharaan anak). - Sulthah 'ala syai'in mu'ayanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti seseorang berhak memiliki sebuah mobil. b. Taklif adalah orang yang bertanggung jawab, taklif adakalanya tanggungan
pribadi
('ahdah
syakhshiyah)
seperti
seorang
buruh
menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta ('ahdah maliyah) seperti membayar hutang. Para fuqaha berpendapat bahwa hak adalah sebagai imbangan dari benda (a'yan), sedang ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hak adalah bukan harta (ina al-haqqa laisa bi al-mal).8 Dalam pengertian umum, hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu mal dan ghair mal. Hak mal ialah sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti pemilikan benda-benda atau hutang-hutang. Sedangkan Hak ghair mal
8
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 34
16
terbagi kepada dua bagian, yaitu hak syakhshi, dan Hak aini. Hak syakhshi ialah suatu tuntutan yang ditetapkan syara' dari seseorang terhadap orang lain. Hak ‘aini ialah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. Hak ‘aini ada dua macam; ashli dan thab'i. Hak 'aini ashli ialah adanya wujud benda tertentu dan adanya shahib al-haq seperti hak milkiyah dan hak irtifaq. Hak 'aini thab'i ialah jaminan yang ditetapkan untuk seseorang yang menghutangkan uangnya atas yang berhutang. Apabila yang berhutang tidak sanggup membayar, maka pemegang barang jaminan berhak menahan barang itu. Adapun macam-macam hak 'aini ialah: a. Haq al-Milkiyah ialah hak yang memberikan kepada pemiliknya, hak wilayah. Boleh dia memiliki, menggunakan, mengambil manfaat, menghabiskannya, merusakkannya dan membinasakannya, dengan syarat tidak menimbulkan kesulitan bagi orang lain. b. Haq al-Intifa' ialah hak yang hanya boleh dipergunakan dan diusahakan hasilnya. Haq al-lsti'mal (menggunakan) terpisah dari haq al-lstighal (mencari hasil), seperti rumah yang diwakafkan untuk didiami, maka si mauquf 'alaih hanya boleh mendiami, ia tidak boleh mencari keuntungan dari rumah itu. c. Haq al-lrtifaq ialah hak memiliki manfaat yang ditetapkan untuk suatu kebun atas kebun yang lain, yang dimiliki bukan oleh pemilik kebun pertama. Seperti saudara Ibrahim memiliki sawah, air dari solokan dialirkan ke sawahnya, sawah Tuan Ahmad berada di sebelah sawah
17
saudara Ibrahim. Sawah Tuan Ahmad membutuhkan air, maka air dari sawah saudara Ibrahim dialirkan ke sawah Tuan Ahmad, air tersebut bukan milik saudara Ibrahim.9 d. Haq al-lstihan ialah hak yang diperoleh dari harta yang digadaikan. Rahn menimbulkan hak 'aini bagi murtahin, hak itu berkaitan dengan harga barang yang digadaikan, tidak berkaitan dengan zakat benda, karena rahn hanyalah jaminan belaka. e. Haq al-lhtibas ialah hak menahan sesuatu benda. Hak menahan barang (benda) seperti hak multaqith (yang menemukan barang) menahan benda luqathah. f. Haq Qarar (menetap) atas tanah wakaf, yang termasuk hak menetap atas tanah wakaf ialah: - Haq al-Hakr iaiah hak menetap di atas tanah wakaf yang disewa, untuk yang lama dengan seizin hakim. - Haq al-Ijaratain ialah hak yang diperoleh karena ada akad Ijarah dalam waktu yang lama, dengan seizin hakim, atas tanah wakaf yang tidak sanggup dikembalikan ke dalam keadaan semula, misalnya karena kebakaran, dengan harga yang menyamai harga tanah, sedangkan sewanya dibayar setiap tahun. - Haq al-Qadar ialah hak menambah bangunan yang dilakukan olehpenyewa.
9
Ibid, hlm. 35.
18 - Haq al-Marshad ialah hak mengawasi atau mengontrol.10 g. Haq al-Murur ialah hak manusia untuk menempatkan bangunannya di atas bangunan orang lain. h. Haq Ta’ali ialah hak manusia untuk menempatkan bangunannya di atas bangunan oranglain. i. Haq al-Jiwar ialah hak-hak yang timbul disebabkan oleh berdempetnya batas-batas tempat tinggal, yaitu hak-hak untuk mencegah pemilik uqar dari menimbulkan kesulitan terhadap tetangganya. j. Haq Syafah atau haq syurb ialah: "Kebutuhan manusia terhadap air untuk diminum sendiri dan untuk diminum binatangnya serta untuk kebutuhan rumah tangganya". Ditinjau dari hak syirb, maka air dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. Air umum yang tidak dimiliki oleh seseorang, seperti air sungai, rawarawa, telaga dan yang lainnya. Air milik bersama (umum) boleh digunakan oleh siapa saja, dengan syarat tidak memadharatkan orang lain. 2. Air di tempat-tempat yang ada pemiliknya, seperti sumur yang dibuat oleh seseorang untuk mengairi tanaman di kebunnya, selain pemilik tanah tersebut tidak berhak untuk menguasai tempat air yang dibuat oleh pemiliknya. Orang lain boleh mengambil manfaat dari sumur tersebut atas seizin pemilik kebun. 3. Air yang terpelihara, yaitu air yang dikuasai oleh pemiliknya, dipelihara dan disimpan di suatu tempat yang telah disediakan, seperti air di kolam,
10
Ibid, hlm. 36.
19 kendi dan bejana-bejana tertentu.11 Sebagaimana telah diutarakan di atas, hak dibedakan menjadi dua, yakni hak syahsiy dan hak 'ainiy. Kaitan dengan pembedaan hak tersebut, maka milkiyah merupakan bagian terpenting dari hak 'ainiy. Terdapat beberapa definisi tentang hak milik atau milkiyah yang disampaikan oleh para fuqaha', antara lain: Pertama, definisi yang disampaikan oleh Muhammad Musthafa alSyalabi,12 hak milik adalah keistimewaan (ihtishash) atas suatu benda yang menghalangi pihak lain bertindak atasnya dan memungkinkan pemiliknya bertasharruf secara langsung atasnya selama tidak ada halangan syara'". Kedua, ta'rif yang disampaikan oleh Musthafa Ahmad al-Zarqa'13 milik adalah keistimewaan (ihtishash) yang bersifat menghalangi (orang lain) yang syara' memberikan kewenangan kepada pemiliknya ber-tasharruf kecuali terdapat halangan. Ketiga, ta'rif yang disampaikan oleh Wahbah al-Zuhaily14 milik adalah keistimewaan (istishash) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung kecuali ada halangan syar'iy", Seluruh definisi yang disampaikan di muka menggunakan term ihtishash sebagai kata kunci milkiyah. Jadi hak milik adalah sebuah ihtishash (keistimewaan). Dalam definisi tersebut terdapat dua ihtishash atau 11
Ibid, hlm. 37 Musthata Ahmad al-Syalabi, al-Madkhal fi Ta'rif bil-fiqh Islami Waqawa'idud alMilkiyah wal-'Uqud fihi, Mesir: Dar al-Ta'rif, 1960, Jilid II, hlm. 16. 13 Musthafa Ahmad al-Zarqa', op.cit., hlm. 241. 14 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-lslamy wa Adillatuh, juz. 4, hlm. 57. 12
20
keistimewaan yang diberikan oleh syara' kepada pemilik harta: Pertama, keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya tanpa kehendak atau tanpa izin pemiliknya. Kedua, keistimewaan dalam bertasarruf. Tasarruf adalah sesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan iradah (kehendak)-Nya dan syara' menetapkan atasnya beberapa konsekuensi yang berkaitan dengan hak.15 Jadi pada prinsipnya atas dasar milkiyah (pemilikan) seseorang mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam bertasharruf (berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu) kecuali ada halangan tertentu yang diakui oleh syara. Halangan syara' (al-mani') yang membatasi kebebasan pemilik dalam bertasharruf ada dua macam:16 Pertama, halangan yang disebabkan karena pemilik dipandang tidak cakap secara hukum, seperti anak kecil, atau karena safih (cacat mental), atau karena alasan taflis (pailit). Kedua, halangan yang dimaksudkan untuk melindungi hak orang lain, seperti yang berlaku pada harta bersama, dan halangan yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan orang lain atau kepentingan masyarakat umum, sebagaimana yang telah disampaikan pada ta'assuf fi isti'malil al-haq pada bab terdahulu. Dari ta'rif dan uraian yang telah disampaikan di muka dapatlah digaris bawahi bahwa al-milk (hak milik) adalah konsep hubungan manusia terhadap harta ('alaqatul insan bil-mal) beserta hukum, manfaat dan akibat yang terkait
15 16
Musthafa al-Zarqa', op. cit, hlm. 288. Ibid
21
dengannya. Dengan demikian milkiyah (pemilikan) tidak hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat kebendaan (materi) saja.17 B. Sebab-sebab Kepemilikan (Al-Milkiyah) Menurut Ahmad Azhar Basyir, cara yang sah memperoleh milik sempurna ada empat macam, yaitu (1) menguasai benda mubah; (2) menghidupkan tanah mati; (3) berburu; (4) akad (perikatan) pemindahan milik.18 Dalam perspektif yang lain, milkiyah (hak milik) dapat diperoleh melalui satu di.antara beberapa sebab berikut ini: Pertama: Ihraz al-mubahat ("penguasaan harta bebas"): Yakni cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki pihak lain. Al-mubahat (harta bebas, atau harta tak bertuan) adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan hukum (mani’ al-syar'iy) untuk memilikinya.19 Misalnya, ikan di laut, rumput di jalan, hewan dan pohon kayu di hutan, dan lain-lain. Pada prinsipnya harta benda sejenis ini termasuk almubahat. Setiap orang berhak menguasai harta benda ini untuk tujuan dimiliki
17
Baik fuqaha Hanafiyah maupun fuqaha' Jumhur sependapat terhadap prinsip ini, yakni bahwasanya milkiyah tidak terbatas pada materi saja. Hanya saja menurut fuqaha Hanafiyah, manfaat (tidak bersifat materi) tidak merupakan komponen harta, melainkan sebagai milkiyah. Sedang menurut fuqaha' jumhur manfaat merupakan bagian dari al-mal. Sekalipun secara konseptual al-mal dan milkiyah merupakan dua hal yang berbeda, namun pada kenyataannya keduanya tidak dapat dipisahkan, bagaikan dua sisi mata uang. 18 Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 58-62. 19 Muthafa al-Zarqa'. op.cit., hlm. 244
22
sebatas kemampuan masing-masing. Perbuatan menguasai harta bebas ini untuk tujuan pemilikan, inilah yang dinamakan al-ihraz. Dengan demikian upaya pemilikan suatu harta melalui ihraz almubahat harus memenuhi dua syarat:20 (1). Tidak ada pihak lain yang mendahului melakukan ihraz almubahat. Dalam hal ini berlakukah kaidah barangsiapa lebih dahulu menguasai 'harta bebas' maka sungguh ia telah memilikinya".21 Jika seseorang mengambil ikan dari laut "dan mengumpulkannya di tempat penyimpanan, misalnya di atas perahu, lalu ia meninggalkannya maka ikan tersebut tidak lagi dalam status al-mubahat dan orang lain terhalang untuk memilikinya melalui cara yang sama. (2) Penguasaan harta tersebut dilakukan untuk tujuan dimiliki. Menangkap ikan dari laut lalu dilepaskan di sungai, menunjukkan tidak adanya tujuan untuk memiliki. Dengan demikian status ikan tersebut tetap sebagai al-mubahat. Jadi kalimat kunci dari ihraz al-mubahat adalah "penguasaan atas almubahat (harta bebas) untuk tujuan dimiliki. Penguasaan tersebut dapat dilakukan melalui cara-cara yang lazim, misalnya dehgan menempatkannya pada tempat yang dikuasainya atau dengan memberi batas, atau dengan memberi tanda pemilikan. Seekor burung yang bersarang di atas pohon tetap sebagai harta al-mubahat, sampai seseorang dapat menguasainya dengan
20
Wahbah al-Zuhaily, juz. 4, hlm. 70; Musthafa al-Zarqa', juz.l, hlm. 244. . Wahbah al-Zuhaily menyebut al-mubahat dengan al-istila 'alal mubah dengan pengertian "harta yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada halangan syara' untuk memilikinya. Wahbah al-Zuhaily, juz, 4. hlm. 69-70. 21
23
menangkap dan memasukkannya ke dalam sebuah sangkar. Demikian juga segerombol walet yang bersarang pada sebuah gedung. Pemilik pohon dan pemilik gedung tidak dapat mengklaim burung tersebut sebagai miliknya. Ketika burung tersebut terbang ia benar-benar tidak menguasainya. Berbeda dengan getah walet yang menempel di rumah atau disebuah gedung yang sengaja dibuat untuk keperluan ini. Wahbah al-Zuhaily mencatat empat cara penguasaan harta bebas: (1) ihya' al-mawat atau membuka ladang (kebun) baru, (2) berburu hewan, (3) dengan mengumpulkan kayu dan rerumputan di rimba belukar, dan (4) melalui penggalian tambang yang tersimpan diperut bumi.22 Dalam masyarakat bernegara, konsep ihraz al-mubahat menjadi terbatas. Yakni terbatas pada harta benda yang ditetapkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku sebagai harta yang dapat dimiliki secara bebas. Demi melindungi kepentingan publik (al-maslahah al-'ammah} negara atau penguasa berhak menyatakan harta-benda atau sumber kekayaan alam tertentu sebagai milik negara atau dikuasai oleh negara. Misalnya kekayaan tambang, pohon kayu di hutan, binatang langka, hutan lindung, cagar alam dan lain sebagainya. Dengan demikian seseorang tidak lagi bebas menebang pohon kayu di hutan; seseorang tidak boleh menguasai atau memiliki tanah atau kebun milik
22
Wahbah al-Zuhaily, al-FIqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut Dar al-Fikr, 1989, juz. 1, hlm. 69-72.
24
negara kecuali dengan izin, seseorang tidak boleh berburu satwa langka dan lain sebagainya.23 Term mani' al-syar'iy (larangan hukum) dalam definisi al-mubahat yang telah disampaikan di muka mencakup juga kebijak- an yang diterbitkan negara yang mengatur perihal pemilikan harta kekayaan. Dengan demikian konsep al-mubahat menjadi terbatas. Harta-benda atau sumber-sumber kekayaan alam yang ditetapkan sebagai milik negara atau harta benda yang ditegaskan tidak dapat dimiliki atau dikuasai oleh perorangan tidak termasuk al-mubahat. Penguasan seseorang untuk memiliki harta-benda atau sumbersumber kekayaan alam tersebut tergolong penjarahan hak dan kepentingan masyarakat umum. Sekiranya sumber kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak bebas dimiliki secara perorangan dan tidak dikuasai oleh negara niscaya akan terjadi kesewenangan dalam penguasaan dan pemilikan sehingga akan menimbulkan kerusakan alam dan malapetaka di muka bumi ini. Termasuk pemilikan melalui ihraz al-mubahat adalah penguasaan terhadap harta ghanimah24 (rampasan perang). Karena dalam pandangan Islam harta pihak musuh luar termasuk harta al-mubahat.
23
Misalnya mengenai kekayaan tambang, fuqaha Malikiyah berpendapat seluruh jenis kekayaan tambang tidak dapat dimiliki berdasarkan ihraz al- mubahat, sebagaimana pendapat mereka mengenai tanah yang sepenuhnya dikuasai oleh negara untuk ditasharrufkan untuk almaslahah al-ammah. Sedang menurut jumhur fuqaha Hanafiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah, pemilikan tambang mengikuti pemilikan tanahnya. Lihat Wahbah al-Zuhaily, juz 4, hlm 73 24
Ghanimah, jamaknya ghana'im, adalah harta yang diperoleh dari musuh Islam melalui pertempuran dan peperangan. Sedang harta yang ditinggalkan musuh tidak karena peperangan atau pertempuran dinamakan harta fai'.
25
Luqathah pada prinsipnya tidak termasuk harta mubahat. Luqathah (lit, sesuatu yang diperoleh setelah diusahakan) atau suatu harta yang ditemukan di jalan yang mengandung indikasi bahwa harta tersebut sebelumnya telah dikuasai dan dimiliki orang lain. Jadi pada prinsipnya luqathah tidak termasuk harta mubahat, kecuali jika harta tersebut belum pernah dikuasai atau dimiliki oleh pihak lain, seperti menemukan seekor binatang liar di jalan. Jika diketahui pemiliknya, harta benda tersebut harus segera diserahkan kepada pemiliknya, karena barang temuan tersebut bersifat amanat. Jika
tidak
diketahui
pemiliknya,
maka
laqith
(orang
yang
menemukan), berdasarkan hadis Nabi, wajib mengumumkan di tempat-tempat orang banyak berkumpul, kurang lebih selama satu tahun. Mengenai hal ini Nabi Muhammad bersabda: "Tidak halal memakan barang temuan. Barang siapa yang menemukan barang di Jalan, hendaklah mengumumkannya satu tahun (HR. Daru Quthni).25 Dalam Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, bahwasanya seseorang pernah bertanya kepada Nabi tentang barang temuan, Rasulullah SAW. menjawab: "Umumkan selama satu tahun".26 Dalam zaman sekarang ini, seruan Nabi tersebut dapat dilakukan melalui media cetak atau elektronik dalam batas waktu secukupnya. Jika masih belum diketahui pemiliknya, maka orang yang menemukan tersebut
25
Muhammad ibn Isma'il al-Shan'ani, Subulus Salam, juz.3, Maktabah al-Dahlan, tt,
hlm. 93. 26 Ibid.
26
diperbolehkan mengambil manfaat sebagai imbalan atas perawatan harta benda tersebut. Kedua: al-Tawallud (anak pinak atau berkembang biak) Lengkapnya adalah al-tawallud minal mamluk. Sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang lainnya dinamakan tawallud. Dalam hal ini berlaku kaidah "setiap peranakan atau segala suatu yang tumbuh (muncul) dari harta milik adalah milik pemiliknya".27 Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada harta benda yang bersifat produktif (dapat menghasilkan sesuatu yang lain atau baru) seperti binatang yang dapat bertelur, beranak, menghasilkan air susu, dan kebun yang menghasilkan buah dan bunga-bunga. Benda mati yang tidak bersifat produktif, seperti rumah, perabotan rumah dan uang, tidak berlaku prinsip tawallud. Keuntungan (laba, sewa, bunga) yang dipungut dari benda-benda mati tersebut sesungguhnya tidak berdasarkan tawallud,, karena betapapun rumah atau uang sama sekali tidak bisa berbunga, berbuah, bertelur, apalagi beranak. Keuntungan tersebut haruslah dipahami sebagai hasil dari usahakerja (tijarah). Dalam hal ini tijarah seharusnya tidak dipahami dalam pengertian sempit, terbatas pada usaha kerja yang dilakukan dengan mengerahkan SDM, baik melalui kerja otot maupun kerja pikir. Tijarah sesungguhnya juga mencakup usaha-kerja memanfaatkan asset barang (modal) untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain. Tijarah seperti ini lazimnya dinamakan usaha27
Musthafa al-Zarqa', op. cit, 252. Wahbah al-Zuhaily dalam kitabnya menuliskan sebuah kaidah mengenai hal ini, yaitu, inna malikal asli huwa malikul fara , artinya sesungguhnya pemilik pokok (induk) adalah pemilik cabangnya, Wahbah al-Zuhaily, op. cit, juz. 4, hlm. 77. . : .
27
kerja di sektor jasa. Seperti menyewakan rumah atau perabotan rumah tangga. Meminjamkan atau mengutangkan uang (modal) seharusnya dihargai sebagai tijarah (usaha kerja) sehingga pemilik modal berhak memungut keuntungan. Ketiga: al-Khalafiyah (penggantian). Al-Khalafiyah adalah "penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati posisi pemilikan yang lama".28 Dengan demikian khalifiyah dibedakan menjadi dua. Pertama, adalah penggantian atas seseorang oleh orang lain, misalnya pewarisan. Dalam pewarisan seorang ahli waris menggantikan posisi pemilikan orang yang wafat terhadap harta yang ditinggalkannya (tirkah). Jika seseorang wafat sama sekali tidak mempunyai harta, atau harta yang ditinggalkannya tidak cukup untuk melunasi hutangnya. Dalam hal ini menurut Musthafa al-Zarqa', seorang fuqaha Hanafiyah, ahli warisnya tidak dapat dituntut melunasi hutang tersebut dengan harta-kekayaan sendiri. Sebab al-irs (pewarisan) ditetapkan oleh syara' sebagai sebab penggantian pemilikan, bukan sebagai sebab penggantian piutang.29 Kedua, penggantian benda atas benda yang lainnya, seperti terjadi pada tadhmin (pertanggungan) ketika seseorang merusakkan atau menghilangkan hartabenda orang lain, atau pada ta'widh (pengganti kerugian) ketika seseorang mengenakan atau menyebabkan penganiayaan terhadap pihak lain, Melalui
28
Musthafa al-Zarqa' juz l, op. cit, hlm. 249.Wahbah al-Zuhaily, op. cit, juz. 4, hlm. 76. Musthafa al-Zarqa' juz. 1 hlm. 250
29
28
tadhmin dan ta'widh ini terjadilah penggantian atau peralihan milik dari pemilik pertama kepada pemilik baru.30 Keempat: al-'Aqd Akad (al-'Aqd) adalah pertalian antara ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syara' yang menimbulkan pengaruh terhadap obyek akad. Akad merupakan sebab pemilikan yang paling kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi harta kekayaan, dibandingkan dengan tiga pemilikan terdahulu. Dari segi sebab pemilikan dibedakan antara uqud jabariyah dan tamlik jabariy31 Uqud jabariyah (akad secara paksa) yang dilaksanakan oleh otoritas pengadilan secara langsung atau melalui kuasa hukumnya. Seperti paksaan menjual harta untuk melunasi hutang, kekuasaan hakim untuk memaksa menjual harta timbunan dalam kasus ihtikar demi kepentingan umum. Tamlik jabari (pemilikan secara paksa) dibedakan menjadi dua. Pertama, adalah pemilikan secara paksa atas mal'uqar (harta tidak bergerak) yang hendak dijual. Hak pemilikan paksa seperti ini dalam fikih mu'amalah dinamakan 'syufah. Hak ini dimiliki oleh sekutu dan tetangga. Kedua, pemilikan secara paksa untuk kepentingan umum. Ketika ada kebutuhan memperluas bangunan masjid, misalnya, maka Syari'at Islam membolehkan pemilikan secara paksa terhadap tanah yang berdekatan dengan masjid, sekalipun pemiliknya tidak berkenan menjualnya. Demikian juga ketika terjadi
30 31
Wahbah al-Zuhaily, juz. 4. hlm..76. Musthafa al-Zarqa' juz.l. hlm. 251 Musthafa al-Zarqa', juz. 1, op. cit, hlm. 246
29
kebutuhan peduasan jalan umum dan lain sebagainya. Tentunya pemilikan tersebut dilakukan dengan harga yang sepadan, yang berlaku.32 Dari empat sebab yang telah diuraikan di muka seseorang menjadi pemilik suatu harta. Pemilikan ini merupakan kekhususan atau keistimewaan (al-ihtishash) bagi seseorang untuk secara bebas mengambil tindakan hukum terhadap miliknya. Namun begaimanapun juga ihtishash tersebut tidak bersifat mutlak. Terutama jika dihadapkan pada benturan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Dalam hal ini Syari'at Islam menghormati dan melindungi kebebasan atas pemilikan harta. Seorang pemilik harta bebas memanfaatkan dan mengembangkan hartanya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsipprinsip syari'at Islam, sebab dalam teologis Islam pemilik harta yang sejati adalah Allah. Di tangan manusia harta merupakan amanat Allah, sehingga dalam pemanfaatannya tidak boleh melanggar ketentuan syari'at Allah. Islam menggariskan bahwa setiap individu merupakan bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu dalam setiap harta yang dimiliki oleh setiap individu terdapat hak-hak orang lain yang harus dipenuhi, seperti zakat dan shadaqah. Selain itu juga terdapat hak publik, sehingga kebebasan seseorang dalam bertindak terhadap milik pribadinya dibatasi atau tidak boleh melanggar hak publik yang berkaitan dengan kepentingan umum.
32
Mustafa al-Zarqa, juz I, op. cit, hlm. 247-248
30
C. Klasifikasi Kepemilikan (Al-Milkiyah) Milik yang dibahas dalam fiqh Muamalah secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Milk Tam, yaitu suatu pemiiikan yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus, aninya bentuk benda (zat benda) dan kegunaannya dapat dikuasai, pemiiikan tarn bisa diperoleh dengan banyak cara, jual, beli misalnya. 2. Milk Naqishah, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda tersebut, memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya atau memiliki manfaat (kegunaan)nya saja tanpa memiliki zatnya. Milik naqish yang berupa penguasaan terhadap zat barang (benda) disebut milik raqabah, sedangkan milik.naqish yang berupa penguasaan terhadap kegunaannya saja disebut milik manfaat atau hak guna pakai, dengan cara i'arah, wakaf dan washiyah. Dilihat dari segi mahal (tempat), milik dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Milk al-'Ain atau disebut pula milk al-raqabab, yaitu memiliki semua benda, baik benda tetap (ghair manqul) maupun benda-benda yang dapat dipindahkan (manqul) seperti pemilikan terhadap rumah, kebun, mobil dan motor, pemilikan terhadap benda-benda disebut milk al-‘ain. 2. Milk al-Manfaah, yaitu seseorang yang hanya memiliki manfaatnya saja dari suatu benda, seperti benda hasil meminjam, wakaf dan lainnya.33
33
Hendi Suhendi, op. cit, hlm. 40-41
31
3. Milk al-Dayn, yaitu pemilikan karena adanya hutang, seperti sejumlah uang dipinjamkan kepada seseorang atau pengganti benda yang dirusakkan, hutang adalah sesuatu yang wajib dibayar oleh orang yangberhutang. Dari segi shurah (cara berpautan milik dengan yang dimiliki), milik dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Milk al-Mutamayyiz, yang dimaksud milk al-mutamayyiz adalah sesuatu yang berpautan dengan yang lain, yang memiliki batasan- batasan, yang dapat memisahkannya dari yang lain. Maka di sini dapat dimisalkan memiliki sebuah mobil dan memiliki seekor kerbau sudah jelas batasbatasnya. 2. Milk al-Syai' atau milk al-musya, yaitu milik yang berpautan dengan sesuatu yang nisbi dari kumpulan sesuatu, walaupun betapa besar atau betapa kedlnya kumpulan itu. Memiliki sebagian rumah, seperti daging domba dan harta-harta yang dikongsikan lainnya, seperti seekor sapi yang dibeli oleh empat puluh orang, untuk disembelih dan dibagikan dagingnya.34 D. Beberapa Prinsip Dalam Kepemilikan (Al-Milkiyah) Pemilikan dalam berbagai jenis dan corak sebagaimana yang telah disampaikan di muka memiliki beberapa prinsip yang bersifat khusus. Prinsip tersebut berlaku dan mengandung implikasi hukum pada sebagian jenis
34
Ibid, hlm. 41
32
pemilikan yang berbeda pada sebagian pemilikan lainnya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagaimana disampaikan di bawah ini. Prinsip pertama, bahwa pada prinsipnya milk al-ain (pemilikan atas benda) sqak awal disertai milk al-manfaat (pemilikan atas manfaat) dan bukan sebaliknya. Maksudnya, setiap pemilikan benda pasti diikuti dengan pemilikan atas manfaat. Dengan pada prinsip setiap pemilikan atas benda adalah milk altam (pemilikan sempurna). Sebaliknya, setiap pemi-likan atas manfaat tidak mesti diikuti dengan pemilikan atas bendanya, sebagaimana yang terjadi pada ijarah (persewaan) atau i'arah (pinjaman). Dengan demikian pemilikan atas suatu benda tidak dimaksudkan sebagai pemilikan atas zatnya atau materinya, melainkan maksud dari pemilikan yang sebenarnya adalah pemanfaatan suatu barang. Tidak ada artinya pemilikan atas suatu harta (al-mal) jika harta tersebut tidak mempunyai manfaat. Inilab prinsip yang dipegang teguh oleh fuqaha' Hanafiyah keiika menderiniskah al-mal (harta) sebagai benda materi bukan manfaatnya. Menurut tuqaha' hana- fiyah manfaat merupakan unsur utama milkiyah (pemilikan). Prinsip Kedua, bahwa pada prinsipnya pemilikan awal pada suatu benda yang belum pernah dimiliki sebeluipnya senantiasa sebagai milk al-tam (pemilikan sempurna). Yang dimaksud dengan pemilikan pertama adalah pemilikan diperoleh berdasarkan prinsip ihraz al-mubahat dan dari prinsip tawallud minal-mamluk. Pemilikan sempurna seperti ini akan terus berlangsung sainpai ada peralihan pemilikan. Pemilik awal dapat mengalihkan
33
pemilikan atas benda dan sekaligus manfaatnya melalui. jual-beli, hibbah, dan cara lain yang menimbulkan peralihan milk al-tam. kepada pihak lain; mengalihkan manfaat saja atau bendanya saja kepada orang lain melalui caracara yang dibenarkan syara'. Pemilikan oleh orang lain ini merupakan pemilikan naqish. Berdasarkan uraian di muka dapat disimpulkan bahwa pemi- likan sempurna adakalanya diperoleh melalui pemilikan awal (thraz al-mubahat dan al-tawallud), sedang pemilikan naqish hanya dapat diperoleh melalui sebab peralihan dari pemilik awal, yakni melalui akad. Prinsip ketiga, bahwa pada prinsipnya pemilikan sempurna tidak dibatasi waktu, sedang pemilikan naqish dibatasi waktu. Milk al-'ain berlaku sepanjang saat (mu'abbadah) sampai terdapat akad yang mengalihkan pemilikan kepada pihak lain. Jika tidak muncul suatu akad barn dan tidak terjadi khalafiyah, pemilikan terus berlanjut. Adapun milk al-manfaat yang tidak disertai pemilikan bendanya berlaku dalam waktu yang terbatas, sebagaimana yang berlaku pada persewaan, peminjaman, wasiat manfaat selama batas waktu tertentu. Ketika sampai batas waktu yang telah ditentukan maka berakhirlah milk al-manfaat. Batas waktu dalam milk al manfaat ini jika bersumber dari akad mu'awwadhah seperti ijarah (persewaan) maka sebelum berakhir batas waktunya pemilik benda tidak berhak menuntut pengembalian, karena sesungguhnya ijarah merupakan bai' al-manfaat (jual beli atas manfaat) dalam batasan waktu tertentu. Apabila milk al-manfaat tersebut bersumber dari akad
34
tabarru seperti pada i'arah (peminjaman), biasanya tidak diikuti batas waktu yang pasti. Namun pada umumnya pihak yang meminjamkan menghendaki pengembalian dalam waktu dekat, sehingga setiap saat ia dapat meminta pengembalian benda yang dipinjamkannya. Sekalipun demikian para fuqaha juga memperhatikan batas waktu pengembalian ariyah yang menimbulkan kerugian pada pihak peminjam. Seperti jika seorang pemilik meminjamkan tanah untuk kepentingan bercocok tanam, berkebun atau untuk mendirikan bangunan. Kemudian pemilik menghendaki pengembalian tanah tersebut sebelum pekerjaan tersebut diselesaikan. Mengenai hal ini fuqaha menetapkan kebijakan dengan perincian perkasus, sebagaimana berikut ini:" (i)
Dalam kasus pinjaman untuk pertanian, pemilik tanah tidak berhak menuntut pengembalian sebelum masa panen, sebab pertanian berlangsung dalam satu musim tanam. Berbeda dengan kasus persewaan tanah untuk pertanian. Dalam hal ini penggunaan melebihi batas waktu sampai masa panen diganti dengan penambahan ongkos sewa. Dengan cara demikian terpeliharalah hak pemilik sedang pihak penyewa tidak dirugikan.
(ii)
Dalam kasus pinjaman untuk tujuan perkebunan dan untuk mendirikan bangunan, pemilik tanah berhak menarik kembali tanahnya setiap saat ia suka. Ketika itu peminjam wajib mencabut kebun atau merobohkan bangunan dan menyerahkan tanah kepada pemiliknya dalam keadaan kosong. Karena perkebunan pendirian bangunan berlangsung tidak
35
terbatas masa tertentu, tidak seperti pertanian yang berakhir dengan masa panen. Namun jika sejak semula pinjaman tersebut di batasi dengan waktu, sedang pemilik menarik kembali tanahnya sebelum usaha yang dilakukan pihak peminjam selesai dilakukan, maka pemilik benarbenar telah berbuat curang (gharar) yang sangat merugikan. Dalam kasus seperti ini pihak peminjam berhak menuntut kerugian yang terhitung sejak pengosongan tanah sampai batas akhir waktu, dengan mempertimbangkan harga jual bangunan atau perkebunan. Prinsip keempat, bahwa pada prinsipnya pemilikan benda tidak dapat digugurkah, namun dapat dialihkan atau dipindah. Sekalipun seseorang bermaksud menggugurkan hak miliknya atas suatu barang, tidak terjadi pengguguran, dan pemilikan tetap berlaku baginya. Berdasarkan prinsip ini Islam melarang saibah (melepaskan), yaitu perbuatan semata menggugurkan atau melepaskan suatu milik tanpa pengalihan kepada pemilik baru. Secara umum perbuatan ini termasuk dalam kategori tabdzir (menyia-nyiakan) karuniaTuhan. Prinsip kelima, bahwa pada-prinsipnya mal al-masya' (pemilikan campuran) atas benda materi, dalam hal tasharruf, sama posisinya dengan milk al-mufayyaz, kecuali ada halangan (al-mani'). Berdasarkan prinsip ini dibolehkan menjual bagian dari milik campuran, mewakafkan atau berwasiat atasnya. Karena tasharruf atas sebagian harta campuran sama dengan bertasharruf atas pemilikan benda secara keseluruhan. Kecuali bertasharruf dengan tiga jenis akad: rahn (jaminan utang), hibah dan ijarah (persewaan).
36
Halangan bertasharruf pada rahn dikarenakan tujuan rahn adalah sebagai agunan pelunasan hutang, sehingga marhun (benda agunan) harus diserahkan kepada murtahin (pemegang gadai/agunan). Yang demikian tidak sah dilakukan atas sebagian dari milik campuran. Halangan bertasharruf dengan hibbah dikarenakan kesempurnaan hibbah harus disertai penyerahan (al-qabdhu), sedang penyerahan hanya dapat dilakukan pada milk al-mutayyaz. (harta dapat dipisahkan dan yang lainnya). Adapun halangan tasharruf dengan ijarah, menurut pandangan fuqaha Hanafiyah adalah jika akad ijarah tersebut dilakukan terhadap sebagian dari harta campuran. Namun jika ijarah dilakukan oleh masing-masing sekutu atas keseluruhan harta campuran, yang demikian ini tidak ada halangan. Prinsip keenam, bahwa pada prinsipnya milik campuran atas hutang bersama yang berupa suatu beban pertanggungan tidak dapat dipisahpisahkan. Apabila pemilikan atas hutang berserikat telah dilunasi (diserahkan) maka telah berubah menjadi milk al-'ain bukan lagi sebagai milk al-dain. Kemudian dapat dilakukan pembagian bagi masing-masing pemiliknya, sebagaimana yang dapat dilakukan terhadap setiap harta campuran yang dapat menerima pembagian. Berdasarkan prinsip ini, apabila salah seorang dari sejumlah orang yang memiliki piutang bersama menerima pelunasan hutang yang sepadan dengan bagian yang dimilikinya, maka pelunasan tersebut harus dibagi di antara sekutunya. Sebab kalau seorang di antara mereka dapat melepaskan diri dari sekutunya dalam hal pelunasan hutang harus dinyatakan sebelumnya
37
bahwa telah terjadi pembagian atas piutang bersama dalam bentuk pertanggungan sehingga tidak lagi sebagai piutang bersama, melainkan telah berubah menjadi piutang mumayyazah. Demikianlah maksud dari "piutang bersama tidak dapat pisah-pisahkan".