BAB II TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK
A. Pengertian Anak dan Pengangkatan Anak Anak adalah seorang laki-laki dan perempuan yang belum atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua dimana kata “anak’’ merujuk dari lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Walaupun begitu istilah ini sering merujuk pada perkembangan mental seseorang walaupun usianya secara biologis dan kronologis seseorang sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja di asosiasikan dengan istilah “anak”. 25 Menurut Pasal 1 angka (9) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Pengangkatan anak (adopsi) adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memberi status atau kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti anak kandung. Adanya anak angkat ialah karena seorang mengambil anak 25
http://wawan-junaidi.blogspot.com/2009/10/definisi-anak.html . di akses pada tanggal 23 November 2011.
Universitas Sumatera Utara
atau di jadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan. 26 Adapun maksud pengangkatan anak ini pada umumnya adalah untuk melanjutkan keturunan (klan), suatu fenomena baru dalam kehidupan masyarakat modern khususnya bagi orang-orang yang tidak mempunyai keturunan atau bagi para wanita yang tidak mampu karena terlambat melangsungkan perkawinan. Orang yang mengangkat anak tidak terbatas hanya orang-orang yang kawin saja atau orang-orang berkeluarga saja akan tetapi orang yang belum kawin pun dimungkinkan juga untuk mengangkat anak. Oleh karena itu pengangkatan anak biasanya dilakukan terhadap saudara dekat ataupun terhadap keponakan sendiri, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan bagi anak-anak yang ada di luar kerabat (klan). Memang bilamana anak yang diangkat berasal dari kerabat sendiri, tentu hal ini secara psikologis telah mempunyai suatu ikatan naluri, sehingga kehadirannya di tengah-tengah keluarga tersebut akan lebih harmonis. Pengangkatan anak biasanya dilaksanakan dengan upacara-upacara yang dihadiri penghulu, pengetua adat setempat serta disaksikan oleh anggota keluarga yang mengangkatnya dengan tujuan agar status dan kedudukan anak yang diangkat menjadi terang dan jelas. Biasanya dilingkungan kerabat yang mengangkatnya, banyak di jumpai di daerah-daerah antara lain: Jawa Timur, Bali, Minahasa, Palembang dan Batak. 27
26
B. Bastian Tafal, Op.Cit, h. 45. Rosmi Hamdan, Tinjauan Yuridis Tentang Status Anak Angkat, KamusJurnal Ilmu Hukum, Edisi Agustus Nomor 26 Tahun X , Darussalam – Banda Aceh, Fakultas Hukum Unsyiah Press, 2000, h. 891-892. 27
Universitas Sumatera Utara
Pengertian tentang adopsi, dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi. Secara etimologi, adopsi berasal dari kata “adoptie” Bahasa Belanda, atau “adpot” (adoption) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Pengertian dalam Bahasa Belanda menurut Kamus Hukum, berarti “pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri”. Jadi di sini penekanannya pada persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak sebagai anak kandung. Ini adalah pengertian secara literlijk, yaitu (adopsi) diover ke dalam bahasa Indonesia berarti anak angkat atau mengangkat anak. 28 Secara terminologi, para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi, antara lain: Surojo Wignjodipuro, dalam bukunya Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, memberikan batasan-batasan sebagai berikut: “Adopsi (mengangkat) Anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.” 29 Kemudian Mahmud Syaltut, seperti yang dikutip secara ringkas Fatchur Rahman dalam bukunya Ilmu Waris, beliau membedakan dua arti anak angkat yaitu: Pertama; penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang lain ke dalam kelurganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam
28
Muderis Zaini, Op.Cit, 1992, h. 4 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan asas-asas hukum adat , PT. Gunung Agung, Jakarta, 1982. h. 5 29
Universitas Sumatera Utara
segi kecintaan, pemberi nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri. Kedua yakni yang dipahamkan dari perkataan “tabanni” (mengangkat anak secara mutlak). Menurut “tabanni”dan kebiasaan yang berlaku pada manusia. Tabanni ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya, sebagai anak sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak. Pengertian kedua menurut Mahmud Syaltut tersebut persis dengan pengertian adopsi menurut hukum barat, yaitu di mana arahnya lebih menekankan kepada memasukkan anak yang diketahuimya sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya dengan mendapatkan status dengan fungsi yang sama persis dengan anak kandungnya sendiri. Pengertian kedua ini konsekuensinya sampai kepada hal untuk mendapatkan warisan dari orang tuanya yang mengangkat dan larangan kawin dengan keluarganya. 30 Meskipun ada yang membedakan antara pengertian adopsi dengan pengertian anak angkat, tapi hak ini hanyalah dilihat dari sudut etimologi dan sistem hukum negeri yang bersangkutan. Adopsi dalam bahasa Arab disebut tabanni mengandung pengertian untuk memberikan status yang sama, dari anak angkat sebagai anak kandung sendiri dengan konsekuensi ia mempunyai hak dan kewajiban yang persis sama pula. Sedang istilah anak angkat adalah pengertian
30
Ibid
Universitas Sumatera Utara
menurut hukum adat, dalam hal ini masih mempunyai bermacam istilah dan pengertian, sesuai dengan keanekaragaman sistem peradatan di Indonesia. 31 Sebagaimana diketahui pada mulanya sering terjadi pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh warga negara asing yang dilakukan dengan menyerahkan anak secara langsung dari orang tua kandung kepada orang tua yang akan
mengangkat (private adoption) hanya dengan akte notaris seperti
halnya yang dilakukan pada pengangkatan anak dalam lingkungan penduduk golongan Tionghoa yaitu berdasarkan:
Bepaling voor geheel Indonesie
betreffende het Burgerlijk en Handelsrecht van de Chinezen, Stb. 1917-129 van Adoptie. Bahwa peraturan tersebut hanyalah meliputi pengangkatan anak yang dilakukan di Indonesia khususnya untuk melanjutkan keturunan laki-laki tetapi kemudian dengan yurisprudensi tetap pengangkatan anak perempuan dianggap pula sah.
B. Sejarah Lahirnya Pengangkatan Anak Pengangkatan anak bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak dulu pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan. Di Indonesia, pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut
31
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kepentingan orang perorang dalam keluarga. Oleh karena itu lembaga pengangkatan anak (adopsi) yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat, akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk
seiring dengan tingkat sendiri. Oleh karena itu,
membuat suatu aturan tersendiri
tentang adopsi tersebut, maka dikeluarkanlah oleh pemerintah Hindia Belanda Staatsblad No. 129 Tahun 1917, yang mengatur tentang pengangkatan anak, dalam Bab II diatur tentang pengangkatan anak yang berlaku khusus bagi orangorang Tionghoa. Dari ketentuan tersebut, disebutkan bahwa yang boleh mengangkat anak adalah sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak laki-laki, seorang duda ataupun janda yang tidak mempunyai anak laki-laki, dengan catatan bahwa janda yang bersangkutan tidak ditinggalkan berupa amanah berupa surat wasiat dari suaminya yang menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak. Dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 ini hanya sebagai pedoman bahwa yang boleh diangkat hanyalah anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan dengan tegas dikemukakan dalam Pasal 15 ayat (2) bahwa
“pengangkatan
terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan dengan cara lain daripada cara membuat akta autentik adalah batal karena hukum”. Setelah zaman kemerdekaan pada tahun 1958 dikeluarkan Undangundang Nomor 62 tentang
Kewarganegaraan Republik
Indonesia. Dalam
Undang-undang ini, mengenai hal yang berkaitan dengan pengangkatan anak diatur dalam Pasal 2. Kemudian pada tahun 1977 dikeluarkan Peraturan
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 yang mengatur tentang gaji pegawai negeri sipil yang memungkinkan pengangkatan anak
mengangkat anak di Pengadilan Negeri. Sejak itu
mulai banyak dilakukan oleh para pegawai negeri sipil
dengan berbagai motivasi. Pada Tahun 1978 dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman Nomor JHA Februari yang mengatur tentang prosedur
1/1/2 tanggal 24
pengangkatan anak warga negara
Indonesia oleh orang asing. Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak, khususnya anak angkat maka pada Tahun 1979 dikeluarkan Undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang
Kesejahteraan Anak, dalam undang-undang ini pun diatur secara tegas motif dan anak yang dikehendaki dalam pengaturan hukum tentang pengangkatan anak, yaitu untuk kepentingan kesejahteraan anak angkat tersebut seperti yang tertuang dalam pasal 12 Undang-undang tersebut. Kemudian pada Tahun 1983 dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983, yang merupakan penyempurnaan dari Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak. Surat Edaran tersebut merupakan petunjuk dan pedoman bagi para hakim dalam mengambil putusan atau penetapan bila ada permohonan pengangkatan anak. Pada Tahun 1984 dikeluarkan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak. Maksud dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Sosial ini adalah sebagai suatu pedoman dalam rangka pemberian izin, pembuatan laporan
Universitas Sumatera Utara
sosial
serta pembinaan dan pengawasan pengangkatan anak, agar terdapat
kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian, dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak. Maka pada tahun 2002 disahkannya Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan
merupakan
terhadap anak dan
merupakan salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak yang dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan melaksanakan pengangkatan anak
bagi orang tua yang mampu untuk
dengan tujuan pengangkatan anak tersebut
hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan/atau berdasarkan pada adat
kebiasaan setempat. Kemudian pada tahun 2005, setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Aceh dan Nias, yang
menimbulkan
masalah sosial berupa banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing untuk mengangkatnya sebagai anak angkat oleh LSM dan Badan Sosial Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak tersebut, maka dibentuklah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku mulai 8 Februari 2005. Mengingat banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas pelaksanaan pengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak
dilakukan tanpa
Universitas Sumatera Utara
melalui prosedur yang benar, pemalsuan data, perdagangan anak, bahkan telah terjadi jual beli organ tubuh anak. Untuk itu perlu pengaturan tentang pelaksanaan pengangkatan anak, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat, yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang merupakan
pelaksanaan dari
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Pengamatan
Mahkamah
Agung
menghasilkan
kesimpulan
bahwa
permohonan pengesahan dan/atau pengangkatan anak yang telah diajukan ke Pengadilan Negeri tampak kian bertambah, baik yang merupakan permohonan khusus pengesahan/pengangkatan anak yang menunjukan
adanya perubahan
pergeseran, dan variasi-variasi pada motivasinya. 32 Praktek
pengangkatan
anak
di
tengah-tengah
kehidupan
sosial
masyarakat telah melembaga dan menjadi bagian dari budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah melakukan pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbedabeda, sesuai dengan sistem hukum adat serta berkembang di
daerah yang
bersangkutan. 33
32
Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004. h. 28. 33 Ahmad Kamil, dan H.M. Fauzan., Op. Cit. h. 9.
Universitas Sumatera Utara
Pengamatan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak di tengah-tengah masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh kepastian hukum memperoleh putusan pengadilan. Pengadilan Negeri
hanya didapat setelah atau Pengadilan Agama
dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman, menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, antara lain permohonan pengesahan atau pengangkatan anak, harus mengacu kepada hukum terapannya. Ada beberapa peraturan hukum yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam
menjalankan tugas pokok kekuasaan
kehakiman tentang
pengangkatan anak, misalnya: 34 1. Staatsblad 1917, Pasal 5 sampai dengan 15 mengatur masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW yang ada; 2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak; 3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan SEMA Nomor 2 Tahun 1979; 4. Keputusan Menteri Sosial
RI Nomor 41/HUK/KPE/VII/1984 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak; 5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 6. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak;
34
Ibid., hal 52-53.
Universitas Sumatera Utara
7. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama; 8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak 9. Peraturan Mentri Sosial No. 110 /
HUK / 2009 tentang Peizinan
Pengangkatan Anak. 10. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktek peradilan telah diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama, secara berulang- ulang, dalam waktu waktu yang lama sampai sekarang.
D. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak 1. Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia. a. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. 1) Menurut Pasal 12 PP Nomor 57 Tahun 2007, adapun syarat-syarat pengangkatan anak meliputi:
a) belum berusia 18 (delapan belas) tahun; b) merupakan anak terlantar atau ditelantarkan; c) berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan d) memerlukan perlindungan khusus.
Universitas Sumatera Utara
e) anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama; f) anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan g) anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus. 2)
Menurut Pasal 13 PP Nomor 54 Tahun 2007, calon orang tua angkat (COTA) harus memenuhi syarat-syarat: a) sehat jasmani dan rohani; b) berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun; c) beragama sama dengan agama calon anak angkat; d) berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e) berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun; f) tidak merupakan pasangan sejenis; g) tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; h) dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial; i) memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
Universitas Sumatera Utara
j) membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan demi
kepentingan
terbaik
bagi
anak,
anak adalah
kesejahteraan
dan
perlindungan anak; k) adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat; l) telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan m) memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.
b. Menurut Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor : 110/ HUK / 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak. 1) Menurut Pasal 4 Permensos No : 110 / HUK /2009, adapun syaratsyarat calon anak angkat ; a) anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun; b) merupakan anak terlantar atau diterlantarkan; c) berada dalam asuhan keluarga atau dalam Lembaga Pengasuhan Anak; dan d) memerlukan perlindungan khusus; e) Permohonan pengangkatan anak harus melampirkan persyaratan administratif CAA yang meliputi: a) copy KTP orang tua kandung/wali yang sah/kerabat
calon
anak angkat ( CAA ); b) copy kartu keluarga orang tua CAA; dan c) kutipan akta kelahiran CAA.
Universitas Sumatera Utara
f) Persyaratan CAA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dibagi dalam (tiga) kategori yang meliputi: a) anak belum berusia 6 (enam) tahun merupakan prioritas utama, yaitu anak yang mengalami keterlantaran, baik anak yang berada dalam situasi mendesak maupun anak yang memerlukan perlindungan khusus; b) anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun sepanjang ada alasan mendesak berdasarkan laporan sosial, yaitu anak terlantar yang berada dalam situasi darurat; c) anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun yaitu anak terlantar yang memerlukan perlindungan khusus. 2) Menurut Pasal 7 Permensos No : 110 / HUK /.2009 adapun syaratsyarat calon orang tua angkat meliputi ; a) Sehat jasmani dan rohani; b) berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun; c) beragama sama dengan agama calon anak angkat; d) berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e) berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun; f) tidak merupakan pasangan sejenis;
Universitas Sumatera Utara
g) tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; h) dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial; i) memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis dari orang tua atau wali anak; j)
membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik
bagi anak, kesejahteraan dan
perlindungan anak; k) adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial setempat; l) telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan m) memperoleh izin Menteri atau Kepala Instansi Sosial Propinsi. n) Umur COTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu perhitungan umur COTA o) pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak. p) Persetujuan tertulis dari CAA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, disesuaikan dengan tingkat kematangan jiwa dari CAA. q) COTA dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu paling singkat 2 (dua) tahun. r)
Jarak waktu pengangkatan anak yang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat dikecualikan bagi anak penyandang cacat.
Universitas Sumatera Utara
s)
Dalam hal calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat dilakukan sekaligus dengan saudara kembarnya oleh COTA.
2. Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing. a. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. 1) Mengenai syarat-syarat calon orang tua angkat sama dengan pengangkatan anak warga negara Indonesia warga negara Indonesia yaitu mengacu pada Pasal 12 Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak 2) Menurut Pasal 13 PP Nomor 57 Tahun 2007, adapun syarat-syarat calon orang tua angkat Warga Negara Asing meliputi: a) sehat jasmani dan rohani; b) berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun; c) beragama sama dengan agama calon anak angkat; d) berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e) berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun; f) tidak merupakan pasangan sejenis; g) telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun; h) mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon; dan
Universitas Sumatera Utara
i) membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada untuk Departemen a) Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. b. Permensos Nomor 110 / HUK /.2009 1) Syarat-Syarat Calon Anak Angkat ( CAA), mengenai persyaratan calon anak angkat sama seperti pengangkatan anak antar warga Negara Indonesia yaitu mengacu pada Pasal 4 Permensos Nomor 110/HUK/2009 2) Menurut Pasal 7 Permensos Nomor 110/HUK/2009 adapun syaratsyarat calon orang tua angkat meliputi; a) sehat jasmani dan rohani baik secara fisik maupun mental mampu untuk mengasuh calon anak angkat ; b) berada dalam rentang umur paling rendah 30 (tiga puluh ) tahun dan paling tinggi 55 (limapuluh lima) tahun pada saat calon orang tua angkat mengajukan permohonan pengangkatan anak; c) beragama sama dengan agama calon anak angkat; d) berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e) berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun; f)
tidak merupakan pasangan sejenis;
g) tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
Universitas Sumatera Utara
h) dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;memperoleh persetujuan dari anak, bagi anak yang telah mampu menyampaikan pendapatnya ; i)
membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah untuk kesejahteraan dan perlindungan anak serta demi kepentingan terbaik bagi anak;
j)
membuat pernyataan tertulis akan dan bersedia melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Indonesia melalui Perwakilan RI setempat setiap tahun hingga anak berusia 18 (delapan belas) tahun;
k) dalam hal CAA dibawa ke luar negeri COTA harus melaporkan ke Departemen Sosial dan ke Perwakilan RI terdekat dimana mereka tinggal segera setelah tiba di negara tersebut; l)
COTA bersedia dikunjungi oleh perwakilan RI setempat guna melihat perkembangan anak sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun
m) adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Propinsi dan Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak.
E . Kedudukan Anak Angkat Menurut Yurisprudensi Terdapat bermacam-macam ketentuan yang mengatur mengenai anak angkat, sehingga bagaimana hak dan kedudukan anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua yang mengangkatnya belum ada terdapat keseragaman.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum melihat kedudukan anak angkat dalam beberapa yurisprudensi, terlebih dahulu dilihat beberapa pendapat sarjana yang mengemukakan tentang kedudukan anak angkat. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa : “anak angkat mempunyai kedudukan hukum terhadap yang mengangkatnya, yang sama sekali tidak berbeda dari kedudukan hukum anak keturunannya sendiri juga perihal hak anak itu untuk mewarisi kekayaan yang kemudian ditinggalkan oleh orang yang mengangkat anak itu pada waktu mereka meninggal dunia”. 35 Ter Haar berpendapat bahwa : “Anak angkat dipelihara seperti halnya anak sendiri, tetapi di samping itu haruslah dibedakan kedudukan anak angkat dengan orang tua angkat dan dengan orang tua kandungnya dan juga dengan keluarga orang tua angkatnya, oleh orang tua angkat diperlukan sebagai anak kandung sendiri, terhadap harta dari orang tua angkat, anak angkat hanya berhak atas harta pencaharian, terhadap harta asal, anak tidak berhak”. 36 Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa: “Di daerah Lampung anak angkat tegak tegi yang merupakan penerus keturunan bapak angkatnya merupakan ahli waris dari orang tua angkatnya, dan ia tidak mewaris lagi dari orang tua kandungnya, sedangkan di daerah Jawa anak angkat itu Ngangsu Sumur Loro artinya mempunyai dua sumber warisan, karena ia mendapat warisan dari orang tua angkatnya dan juga mendapat warisan dari orang tua kandungnya”. 37 Selain dari pendapat-pendapat di atas, juga dilihat dalam putusan Mahkamah Agung R.I yang memuat hak dan kedudukan anak angkat terhadap harta orang tua angkatnya. Dalam hal ini Mahkamah Agung tidak seragam dalam memberi putusan tentang hak-hak anak angkat sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya:
35
h. 78.
R. Wirjono Projodikoro, Warisan Hukum Di Indonesia, Penerbit Sumur, Bandung 1983,
36
Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Penerbit Pradya Paramita, Jakarta, 1974, h. 184. 37 Hilman Hadikusuma, Op.Cit, h. 80.
Universitas Sumatera Utara
1. Keputusan MA No. 82 K/Sip/1957 dalam perkara di Bandung diputuskan bahwa anak angkat hanya berhak atas harta gono-gini orang tua angkatnya, sedangkan harta pusaka (barang asal) kembali kepada waris keturunan darah, jadi tidak jatuh kepada anak angkat atau anak pungut; 2. Keputusan MA No. 416 K/Sip/ 1958, mengalami perubahan di mana perkara hukum terjadi di Sumatera Timur, Keputusan tersebut berpedoman kepada hak adat Sumatera Timur, yaitu anak angkat tidak berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, hanya dibenarkan menerima hibah, selama hidup anak angkat.
Pertimbangan MA: Hukum Islam tidak mengenal anak angkat, tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam mengenal anak angkat yaitu Pasal 171 bagian h. Undang-Undang Peradilan Agama: No. 7 Tahun 1989. 3. Keputusan MA No. 997 K/Sip/ 1972, menegaskan bahwa: anak angkat berhak atas harta gono-gini dan harta bawaan orang tua angkatnya; 4. Keputusan MA No. 1002 K/Sip/1976, mengatakan bahwa janda dan anak angkat berhak atas harta gono-gini, sedangkan barang asal (bawaan) anak angkat tidak berhak. 5. Keputusan MA No. 3832 K/Sip/1985, MA memutuskan: a. Prinsip tentang anak angkat: MA memutuskan bahwa anak angkat mempunyai kedudukan yang sama dengan janda dan anak kandung yaitu ahli waris.
Universitas Sumatera Utara
b. Jika anak angkat bersekutu dengan janda, anak kandung berhak atas harta gono-goni, kesannya bagian anak anagkat adalah sama dengan bagian anak kandung atau janda. c. Anak angkat mewarisi seluruh harta gono-gini, bila tidak ada anak kandung dan janda . 6. Keputusan MA No. 246 K/Sip/1980 menegaskan bahwa di Nganjuk seorang anak angkat dilihat dari kenyataan yaitu apabila anak angkat dipelihara sejak ia bayi, dikhitankan, dikawinkan, disahkan oleh orang tua angkatnya, maka ia berhak menjadi ahli waris orang tua angkatnya, dan atas harta bersama. 7. Keputusan MA No. 210 K/Sip/1973, menyatakan bahwa keabsahan seorang anak angkat tergantung kepada acara adat, tanpa menilai secara obyektif, realita, dan keberadaan anak angkat dalam kehidupan orang tua angkatnya; 8. Keputusan MA No. 912 K/Sip/1995, bahwa tanpa upacara adat tidak sah pengangkatan anak meskipun anak itu sejak kecil dipelihara, dikawinkan oleh orang tua angkatnya.; 9. Keputusan MA No. 281 K/Sip/1993, bahwa pengangkatan anak sah mana kala dipengaruhi beberapa syarat, dan harus dibarengi upacara “Widi Widina” (upacara peras) dihadiri oleh pendeta, disaksikan klan adat, klan suku, kepala desa serta diumumkan di depan ulama. 10. Keputusan MA No. 849 K/Sip/1979 menyatakan bahwa: Pengangkatan anak salah satu syarat upacara tidak lagi dipedomani, sejak tahun 1976, ditegaskan bahwa anak yang diambil sejak bayi dilahirkan dan
Universitas Sumatera Utara
pemeliharaannya dilakukan secara terus menerus sampai besar dan dikawinkan, sah sebagai anak angkat, meskipun tidak melalui upacara adat. Pengangkatan anak menurut hukum adat biasanya dilakukan menurut adat setempat dan tidak ada suatu kesatuan cara yang berlaku
bagi seluruh
wilayah/daerah Indonesia. Menurut hukum adat Indonesia, anak angkat ada yang menjadi pewaris bagi orang tua angkatnya, tetapi ada pula yang tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya, tetapi ada pula yang tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Hal ini tergantung dari daerah mana perbuatan pengangkatan anak itu dilakukan. Dalam hal kedudukan anak angkat terhadap akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat adalah kedudukan anak angkat di dalam masyarakat yang sifat susunan kekerabatannya parental seperti di Jawa, berbeda dengan kedudukan anak angkat dalam masyarakat yang susunan kekerabatan patrilineal seperti Bali. Perbedaannya adalah di Jawa perbuatan pengangkatan anak hanya diambil dari keluarga terdekat, sehingga keadaan tersebut tidak memutuskan hubungan pertalian kekerabatan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung. Akibatnya anak itu tetap berhak mewarisi harta peninggalan dari orang tua angkat, di samping itu berhak pula mewarisi harta warisan dari orang tua kandungnya. Di Bali tindakan mengangkat anak merupakan kewajiban hukum untuk melepaskan anak yang diangkat dari keluarganya masuk ke dalam keluarga yang mengangkatnya, sehingga anak itu selanjutnya berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan garis keturunan dari orang tua angkatnya.
Universitas Sumatera Utara
Pengangkatan anak merupakan istilah yang digunakan didalam hukum adat sedangkan didalam hukum barat disebut adopsi. Adopsi berasal dari kata adoptie (Bahasa Belanda) atau adoption(Bahasa Inggris). Menurut kamus Inggris–Indonesia, adoption
artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi dan
untuk sebutan pengangkatan anak disebut adopsi, dan sebutan pengangkatan anak disebut adoption of child.38 Pengangkatan anak dibedakan dengan pemeliharaan anak karena pengangkatan anak menimbulkan akibat–akibat hukum, sebagaimana yang dikatakan Soepomo, diseluruh wilayah hukum (Jawa Barat) bilamana dikatakan manupu, mulung atau mungut anak yang dimaksud ialah mengangkat anak orang lain menjadi anak sendiri.
38 39
39
Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris, Pionir Jaya, Bandung, 1992 , h.24 Ibid
Universitas Sumatera Utara