BAB II TINJAUAN UMUM PEKERJA DISABILITAS DAN PERJANJIAN KERJA
2.1.
Tinjauan Umum Tentang Pekerja
2.1.1.
Pengertian Pekerja dan Pekerja Disabilitas Tenaga kerja memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan
Indonesia, karena merupakan faktor produksi dari suatu perusahaan – perusahaan, sehingga tenaga kerja wajib untuk diberikan perhatian yang lebih oleh Pemerintah dan pihak – pihak yang terkait. Salah satu perhatian Pemerintah terhadap tenaga kerja adalah dengan diterbitkannya UU Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 1 angka 2 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.” Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Ketenagakerjaan maka pengertian tenaga kerja adalah pengertian yang umum, dalam arti bahwa setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan tanpa adanya hubungan kerja merupakan tenaga kerja. Pekerja adalah setiap orang yang melaksanakan pekerjaan di dalam hubungan kerja untuk menghasilkan barang dan/atau jasa. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “Pekerja/buruh adalah orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Pekerja dapat dibedakan menjadi 2 (dua) pekerja non disabilitas dan pekerja disabilitas. Pekerja disabilitas adalah pekerja yang memiliki perbedaan/keterbatasan 28
dengan orang pada umumnya yang berupa keterbatasan fisik maupun sistem biologisnya yang dapat mengganggu dalam menghasilkan barang dan/atau jasa untuk kebutuhan masyarakat. Disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari serapan kata bahasa Inggris yaitu disability yang artinya cacat atau ketidakmampuan. Disabilitas terdiri atas disabilitas fisik, disabilitas mental, dan disabilitas fisik dan mental sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 UU Penyandang Cacat, yang disebutkan bahwa: Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayak – layaknya, yang terdiri dari: a. Penyandang cacat fisik; b. Penyandang cacat mental; c. Penyandang cacat fisik dan mental Pasal 5 ayat (3) Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (selanjutnya disebut UU HAM) menyatakan bahwa penyandang disabilitas adalah kelompok masyarakat yang memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususan. Dalam Pasal 5 ayat (2) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (selanjutnya disebut UU Kesejahteraan Sosial) ditegaskan bahwa penyandang disabilitas digolongkan sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial.
29
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelemahan/kekurangan fisik dan/atau mental, yang dapat menggangu atau merupakan rintangan dan hambatan untuk melakukan kegiatan kehidupan dan penghidupan secara wajar. Dalam Convention On The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak – Hak Penyandang Disabilitas) sebagaimana yang telah disahkan dengan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights of Persons Disabilities (Konvensi Mengenai Hak – Hak Penyandang Disabilitas) disebutkan bahwa penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka di dalam masyarakat dengan berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Selain pengertian disabilitas secara yuridis sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang – undangan, terdapat beberapa pengertian tentang definisi disabilitas: 1.
Vash menyatakan bahwa “Disability mengacu pada kekurangan secara fisiologis, anatomis maupun psikologis yang disebabkan oleh luka, kecelakaan maupun cacat sejak lahir dan cenderung menetap”.
30
2.
Wright mengatakan bahwa “Disability merupakan kondisi yang tidak lengkap, baik secara fisik maupun mental”.
3.
The International Classification of Functioning (ICF) menyatakan bahwa “Disability as the outcame of the interaction between a person with impairment and the environmental and attitudinal barriers s/he may face”.1 Disabilitas dalam pengertian tersebut menunjukan sebagia hasil dari hubungan interaksi antara seseorang dengan penurunan kemampuan dengan hambatan lingkungan dan sikap yang ditemui oleh orang tersebut.
4.
Dalam pembukaan Konvensi PBB mengenai hak – hak penyandang disabilitas menyatakan bahwa disabilitas adalah sebuah konsep yang terus berubah dan disabilitas
adalah
disabilitas/mental
hasil dengan
interaksi hambatan
antara
orang
perilaku
dan
yang
penyandang
lingkungan
yang
menghambat partisipasi di dalam masyarakat secara setara dengan orang lain. 5.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan disabilitas sebagai “A restriction or inability to perform an activity in the manner or within the range considered normal for a human being, mostly resulting frim impairment”.2 Definisi tersebut menyatakan bahwa disabilitas adalah pembatasan atau ketidakmampuan untuk melakukan kegiaan – kegiatan
1
UNESCO Bangkok, 2009, Teacing Children With Disabilities in Inclusive Settings, UNESCO Bangkok, Bangkok, hlm. 5 2 Barbotte, E. Guillemin, F. Chau, dan N Lorhandicap Group, 2011, Prevalence of Impairments, Disabilities, Handicaps and Quality of Life in The General Population: A Review of Recent Literature, Bulletin of The World Health Organization , Vol. 79, No. 11, hlm. 1047
31
dengan cara yang atau dalam rentang dianggap normal bagi manusia, sebagian besar akibat penurunan kemampuan. Disamping pengertian umum tersebut, WHO juga memberikan definisi disabilitas yang berbasisi pada model sosial sebagai berikut: a.
Impairment (kerusakan atau kelemahan) yaitu ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang disertai akibatnya terhadap fungsi tertentu. Misalnya kelumpuhan dibagian bawah tubuh disertai ketidakmampuan untuk berjalan dengan kedua kaki.
b.
Disability/handicap (cacat/ketidakmampuan) adalah kerugian/keterbatasan dalam aktivitas tertentu sebagai akibat faktor – faktor sosial yang hanya sedikit atau sama sekali tidak memperhitungkan orang – orang yang menyadang “kerusakan/kelemahan” tertentu dan karenanya mengeluarkan orang – orang itu dari arus aktivitas sosial”.3 Disabilitas yang dimiliki oleh pekerja disebabkan oleh berbagai faktor yaitu:
a.
Cacat didapat (Acquired), penyebabnya bisa karena kecelakaan lalu lintas, perang/konflik bersenjata atau akibat penyakit – penyakit kronis;
b.
Cacat bawaan/ sejak lahir (Congenital), penyebabnya antara lain karena kelainan pembentukan organ – organ (organogenesis) pada masa kehamilan,
3
Coleridge Peter, 2007, Pembebasan dan Pembangunan, Perjuangan Penyandang Cacat di Negara – Negara Berkembang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 132
32
karena serangan virus, gizi buruk, pemakaian obat – obatan tak terkontrol atau karena penyakit menular seksual.4 2.1.2. Klasifikasi Disabilitas. Disabilitas dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu disabilitas fisik, disabilitas metal, dan disabilitas fisik dan mental sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 UU Penyandang Cacat. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Penyandang Cacat, maka klasifikasi dan jenis disabilitas secara rinci adalah sebagai berikut: a.
Disabilitas fisik a) Tuna netra merupakan disabilitas fisik yang memiliki tipe A. Tuna nerta adalah seseorang yang terhambah aktivitas yang disebabkan oleh hilangnya/ berkurangnya fungsi penglihatan sebagai akibat dari kelahiran, kecelakaan dan penyakit yang terdiri dari: 1)
Buta total adalah kondisi seseorang yag tidak dapat melihat sama sekali objek;
2)
Persepsi cahaya adalah kondisi seseorang dimana ia tidak dapat membedakan adanya cahaya atau tidak, dan tidak dapat menentukan objek yang berada di depannya;
4
Sapto Nugroho dan Risnawati Utami, 2008, Meretas Siklus Kecacatan-Realitas Yang Terabaikan, Yayasan Talenta, Surakarta, hlm. 114
33
3)
Memiliki sisa penglihatan (low vision) adalah kondisi dimana seseorang hanya dapat melihat benda yang ada di depannya dan tidak dapat melihat jari – jari tangan yang digerakkan dalam jarak satu meter.
b) Tuna rungu adalah disabilitas yang dimiliki oleh seseorang sebagai akibat hilangnya/terganggunya
fungsi
pendengaran
yang
disebabkan
oleh
kecelakaan, penyakit, maupun kelahiran; c) Tuna wicara adalah disabilitas yang dimiliki oleh seseorang sebagai akibat hilangnya/terganggnya fungsi bicara baik yang disebabkan oleh kelahiran, kecelakaan, maupun penyakit; d) Tuna rungu – wicara adalah disabilitas yang dimiliki oleh seseorang sebagai akibat hilangnya/terganggungya fungsi dan pendengaran dan fungsi bicara, sehingga penderita tidak dapat mendengarkan dan berbicara; e) Tuna daksa dapat diartikan sebagai suatu keadaan rusak atau tergangu, sebagai akibat ganguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sifat lahir.5 Pada orang tuna daksa ini terlihat kelainan bentuk tubuh, anggota atau otot, berkurangnya fungsi tulang, otot sendi maupun syaraf – syarafnya.6 Tuna daksa dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu:
5
T. Sutjihati Soematri, 2006, Psikologi Anak Luar Biasa, Refika Aditama, Bandung, hlm. 121 Edang Warsiki, dkk, 2003, Hubungan Antara Kecacatan Fisik Anak Dan Depresi Ibu Dari Anak-Anak Tuna Daksa, YPAC, Surabaya,hlm.3 6
34
1) Tuna daksa syaraf adalah kelainan yang terjadi pada fungsi anggota tubuh yang disebabkan gangguan pada susunan syaraf di otak. Otak sebagai pengontrol fungsi tubuh memiliki sejumlah syaraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh, karena itu jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada organism fisik, emosi dan mental. Salah satu bentuk terjadi karena gangguan fungsi otak dapat dilihat pada anak celebral palsy yakni gangguan aspek motorik yang disebabkan oleh disfungsinya otak.7 2) Tuna daksa ortopedi adalah kelainan yang menyebabkan terganggunya fungsi tubuh. Kelainan tersebut dapat terjadi pada bagian otot tubuh, daerah persendian maupun pada bagian tulang yang dibawa sejak lahir maupun yang diperoleh karena kecelakaan ataupun penyakit. Misalnya kelainan pertumbuhan anggota badan atau cacat punggung, amputasi tangan, lengan, kaki, anggota badan yang tidak sempurna. b. Disabilitas mental. Disabilitas mental terdiri atas: 1. Tuna grahita Tuna grahita merupakan kemampuan mental yang berada di bawah normal. Tolak ukurnya adalah Intelligence Quotient (selanjutnya disebut IQ) atau tingkat kecerdasan. Tuna grahita dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) yaitu:
7
Muhammad Effendi, 2006, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 22
35
1) Tuna grahita ringan. Seseorang penyandang tuna grahita ringan dalam segi fisik terlihat normal. Kisaran IQ-nya adalah 50 sampai 70. Mereka yang termasuk tuna grahita ringan adalah kelompok mampu didik, masih dapat dididik membaca, menulis, dan berhitung. Pada umumnya penyandang tuna grahita ringan dapat menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV Sekolah Dasar Umum. 2) Tuna grahita sedang. Penyandang tuna grahita sedang apabila dilihat dari segi fisik sudah dapat terlihat, namun terdapat sebagian penyandang tuna grahita sedang yang mempunyai fisik normal. Kisaran IQ-nya adalah 30 sampai 50. Pada umumnya penyandang tuna grahita sedang ini dapat menyelesaikan pendidikan setingkat kelas II Sekolah Dasar Umum. 3) Tuna grahita berat. Penyandang tuna grahita berat termasuk kelompok mampu rawat. IQ-nya rata – rata 30 ke bawah. Kelompok penyandang tuna grahita berat adalah kelompok yang memiliki intelegensi sangat rendah dan tidak mampu menerima pendidikan secara akademis. Dalam kegiatan sehari – hari kelompok ini membutuhkan bantuan orang lain. 2. Tuna laras. Penyandang tuna laras adalah kelompok yang mengalami ganguan emosi atau sukar mengendalikan emosi. Gangguan yang timbul pada kelompok ini adalah gangguan perilaku seperti suka menyakiti diri sendiri, suka menyerang teman. 36
c. Disabilitas ganda. Disabilitas ganda adalah disabilitas yang menyandang lebih dari satu kelainan. Contohnya penyandang tuna netra dengan tuna daksa sekaligus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut: Nama
Jenis Disabilitas
Pengertian
Tuna netra
Disabilitas fisik
Tidak dapat melihat;buta
Tuna rungu
Disabilitas fisik
Tidak
dapat
dan/kurang
mendengar dalam
mendengar;tuli Tuna wicara
Disabilitas fisik
Tidak dapat berbicara;bisu
Tuna rungu-wicara
Disabilitas fisik
Tidak dapat mendengarkan dan berbicara
Tuna daksa
Disabilitas fisik
Tuna laras
Disabilitas mental
Cacat tubuh Sukar mengendalikan emosi dan sosial
Tuna grahita
Disabilitas mental
Cacat pikiran; lemah daya tangkap
Tuna ganda
Disabilitas ganda
Penderita cacat lebih dari satu kecacatan.
2.1.3. Perlindungan Hukum Teknis Terhadap Hak Penyandang Disabilitas Fisik.
37
Negara Indonesia sebagai Negara hukum memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak – hak asasi yang dimiliki oleh warga Negara termasuk hak – hak yang dimiliki oleh penyandang disabilitas. Secara yuridis, dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 memberikan perlindungan bahwa setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dalam Pasal 6 UU Ketenagakerjaan memberikan perlindungan kepada setiap warga Negara untuk mendapatkan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Penyandang disabilitas seperti disabilitas fisik merupakan kelompok masyarakat yang memiliki kekurangan atau kelainan fisik, mental, fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan untuk dapat melakukan kehidupan dan penghidupan secara selayak – layaknya dalam masyarakat. Kekurangan atau kelainan yang terdapat dalam penyandang disabilitas fisik tersebut menjadikan penyandang disabilitas fisik sebagai kelompok yang dominan mendapatkan perlakuan yang diskriminasi oleh rekan kerja dan atau dari pengusaha. Negara Indonesia sebagai negara hukum memiliki kewajiban untuk melindungi penyandang disabilitas dari perlakuan yang diskriminasi, sehingga hak – hak asasi manusia yang dirugikan oleh orang lain tersebut dapat terlindungi oleh hukum. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak – hak yang diberikan oleh hukum.
38
Penyandang disabilitas yang sudah bekerja atau pekerja disabilitas tentunya memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan pekerja. Perlindungan pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan tuntunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak – hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja itu.8 Menurut Imam Soepomo, perlindungan pekerja dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu: a.
Perlindungan ekonomis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha – usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari – hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar keehndaknya. Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial;
b.
Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan prikehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarkat dan anggota keluarga; atau yang biasa disbeut kesehatan kerja.
c.
Perlindungan teknis adalah suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha – usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh pesawat – pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh badan
8
Kartasapoetra, G. dan Rience Indraningsih, loc.cit
39
yang diolah atau dikerjakan perusahaan. Perlindungan jenis ini disebut keselamatan kerja. Keselamatan kerja meliputi keselamatan kerja yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat – alat kerja bahan dan proses pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan serta cara – cara melakukan pekerjaan.9 Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum itu sendiri yaitu memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, dan kedamaian. Asas perlindungan atau pengayoman dikemukakan oleh Suhardjo, yang pada intinya: Tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan penegakan atas upaya yang sewenang – wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil. 10 Suharjo mengemukakan bahwa fungsi hukum adalah untuk mengayomi atau melindungi manusia dalam bermasyarakat, berbangsa serta bernegara, baik jiwa dan badannya maupun hak – hak pribadinya, yaitu hak asasinya, hak kebendaannya maupun hak perorangannya. 11
9
Zainal Asikin et.al., loc.cit., Abdul Manan, 2005, Aspek – Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 23
10
11
Ibid
40
Menurut Phipilus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak – hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep – konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak – hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan – pembatasan dan pelekatan kewajiban masyarakat dan pemerintah.12 Pengusaha memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan hukum teknis untuk melindungi hak – hak yang dimiliki oleh pekerja disabilitas fisik yang dipekerjakan. Perlidungan hukum teknis yang wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja disabilitas fisik diatur secara tegas dalam Pasal 67 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan Pasal 31 Perda Bali tentang Perlidungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Pasal 67 ayat (1) UU Ketenagakerjaan disebutkan “Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya”. Pasal 31 Perda Bali tentang Perlidungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas disebutkan “Perusahaan berkewajiban memberikan fasilitas kerja yang aksesibel sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja penyandang disabilitas.”
12
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hlm. 38
41
Hak – hak yang dimiliki oleh penyandang disabilitas fisik telah tertuang dalam peraturan perundang – undangan Indonesia yang terdiri atas: 1.
Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945;
2.
Hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, yang terdapat dalam Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945;
3.
Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemeritahan, yang dapat ditemukan dalam Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945;
4.
Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, ini didasari dalam Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945;
5.
Hak untuk mendapatkan perlakuan yang tidak diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif itu, yang terdapat pada Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945;
6.
Hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan, yang terdapat dalam Pasal 5 UU Ketenagakerjaan;
7.
Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 6 UU Ketenagakerjaann;
8.
Hak untuk mendapatkan pelatihan kerja dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan dan kemampuannya, terdapat dalam Pasal 19 UU Ketenagakerjaan;
42
9.
Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah keahlian dan keterampilin, ketentuan ini dapat ditemukan dalam Pasal 9 sampai Pasal 30 UU Ketenagakerjaan;
10.
Hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di
luar
negeri,
sebagaimana
yang terdapat
dalam
Pasal
31 UU
Ketenagakerjaan; 11.
Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya yang dapat ditemukan dalam Pasal 32 ayat (1) UU Ketenagakerjaan;
12.
Hak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya, yang terdapat dalam Pasal 67 ayat (1) UU Ketenagakerjaan;
13.
Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan, yang dijelaskan dalam Pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan;
14.
Hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (1) UU HAM;
15.
Hak untuk memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus, yang terdapat dalam Pasal 41 ayat (2) UU HAM
16.
Hak untuk memiliki kedudukan, hak, kewajiban, serta peran yang sama, ketentuan ini terdapat dalam konsideran huruf A UU Penyandang Cacat;
17.
Hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama alam segala aspek kehidupan dan penghidupan, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 5 UU Penyandang Cacat; 43
18.
Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya, pendidikan, dan kemampuannya, terdapat dalam Pasal 6 angka 2 UU Penyandang Cacat;
19.
Hak untuk mendapatkan kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 13 UU Penyandang Cacat;
20.
Hak untuk dipekerjakan oleh Perusahaan Negara dan Swasta sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, kemampuan yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kwalifikasi perusahaan, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 14 UU Penyandang Cacat;
21.
Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena – mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisik berdasarkan kesamaan dengan orang lain. Termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat, hal ini terdapat dalam Penjelasan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convenstion On The Right Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak – Hak Penyandang Disabilitas);
22.
Hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya, terdapat dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah 44
Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat; 23.
Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama, terdapat dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat;
24.
Hak untuk dipekerjakan sekurang – kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada perusahaannya untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja perusahaannya, sebagaimana terdapat dakam Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat;
25.
Hak untuk dipekerjakan sekurang – kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja, bagi orang yang memiliki pekerja kurang dari 100 (seratus) orang tetapi usaha yang dilakukan berteknologi tinggi, yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat;
26.
Hak untuk mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama untuk dipekerjakan oleh perusahaan yang telah mempekerjakan 100 orang pegawai, sekurang – kurangnya 1 (satu) orang tenaga kerja penyandang disabilitas, disesuaikan dengan pendidikan dan kemampuan serta persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan yang dibutuhkan perusahaan, sebagaimana terdapat 45
dalam Surat Edaran Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor: SE-01/MBU/2014
Tentang
Penempatan
Tenaga
Kerja
Penyandang
Disabilitas; 27.
Hak untuk memperoleh rehabilitasi vokasional setelah mendapat rehabilitasi medis, sosial dan atau edukasional, yang terdapat dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor : KEP-205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat. Selain hak – hak khusus tersebut, penyandang disabilitas fisik juga memiliki
hak – hak lainnya sebagai pekerja sebagaimana yang dimiliki oleh orang – orang non disabilitas yang terdiri atas: a.
Hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, hal ini terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
b.
Hak untuk mendapatkan jaminan sosial untuk pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, hal ini ditemukan dalam Pasal 28 H ayat (3) UUD 1945;
c.
Hak untuk mendapatkan upah atau gaji, yang terdapat dalam Pasal 88 sampai dengan 98 UU Ketenagakerjaan;
d.
Hak atau upah penuh selama istirahat tahunan, yang didasari dalam Pasal 88 sampai Pasal 98 UU Ketenagakerjaan;
e.
Hak untuk mendapatkan waktu istirahat dan cuti kepada pekerja, yang terdapat dalam Pasal 79 UU Ketenagakerjaan; 46
f.
Hak atas suatu pembayaran penggantian istirahat tahunan, apabila pada saat diputuskan hubungan kerja, pekerja telah memiliki masa kerja paling sedikit 6 (enam) bulan terhitung dari saat pekerja berhak atas istirahat tahunan yang terakhir; yaitu dalam hal apabila hubungan kerja diputuskan oleh pengusaha tanpa adanya alasan – alasan mendesak yang diberikan kepada pekerja, atau pekerja karena adanya alasan yang mendesak yang diberikan oleh pengusaha, hal ini ditemukan dalam Pasal 150 sampai Pasal 172 UU Ketenagakerjaan.
g.
Hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja, yang terdapat dalam Pasal 104 UU Ketenagakerjaan;
h.
Hak untuk mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama, yang terdapat dalam Pasal 3 Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut UU Jamsostek);
i.
Hak untuk melakukan perundingan atau penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipatride, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan penyelesaian melalui pengadilan, ketentuan ini dapat ditemukan dalam Pasal 6 sampai Pasal 115 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
2.2.
Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kerja.
2.2.1. Pengertian Perjanjian Kerja 47
Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverereenkoms, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak satu mengikatkan diri dengan pihak yang lain, majikan/pengusaha memberikan suatu perintah berupa pekerjaan kepada pekerja dan majikan/pengusaha berkewajiban memberikan upah (imbalan kepada pekerja), sedangkan pekerja melakukan perintah berupa pekerjaan dari majikan/pengusaha dan pekerja memiliki hak untuk menerima upah (imbalan). Dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata disebutkan “Perjanjian kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu”. Berdasarkan Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan mengatur mengenai perjanjian kerja yang disebutkan sebagai berikut “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat – syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.” Disamping dilihat dari pengertian perjanjian kerja berdasarkan peraturan perundang – undangan, terdapat beberapa sarjana yang memberikan pengertian mengenai perjanjian kerja yaitu: a.
H. Chairuman Pasaribu dan Suhrawawardi K. Lubis mengemukakan bahwa “Perjanjian kerja adalah perjanjian yang diadakan oleh 2 orang (pihak) atau
48
lebih, yang mana satu pihak berjanji untuk memberikan pekerjaan dan pihak yang lain berjanji untuk melakukan pekerjaan tersebut”.13 b.
Imam Soepomo menyatakan bahwa “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh buruh dan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan dimana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah”.14
c.
Menurut Subekti mengemukakan bahwa: Perjanjian kerja/perburuhan adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri – ciri: adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu “hubungan diperatas” (bahasa Belanda dienstverhoulding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah – perintah yang harus ditaati oleh yang lain.15 Dengan adanya perjanjian kerja, tentunya akan timbul hubungan kerja
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan yaitu “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh”. Hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh minimal dua subjek hukum mengenai suatu pekerjaan.16 Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “Hubungan kerja adalah hubungan antara
13
H.Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian dalam Islam, Cet.III, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 153 14 Imam Soepomo, op.cit, hlm. 56 15 Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cet. X, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Subekti II), hlm.58 16 Asri Wijayanti, op.cit. hlm 36
49
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah”. 2.2.2. Unsur – Unsur Perjanjian Kerja. Perjanjian kerja merupakan bagian dari perjanjian, sehingga di dalam membuat suatu perjanjian kerja terdapat unsur – unsur yang harus diperhatikan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu: 1. Adanya persetujuan kehendak antara pihak yang membuat perjanjian; 2. Adanya kecakapan pihak – pihak untuk membuat perjanjian; 3. Adanya suatu hal tertentu; 4. Adanya suatu sebab hal. Selain mengacu kepada Pasal 1320 KUHPerdata, tentang syarat sahnya suatu perjanjian, Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Dari ketentuan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan, maka terlihat unsur – unsur perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja terdiri atas: 1.
Adanya pekerjaan (arbeid) Perjanjian kerja harus memuat suatu pekerjaan dan dipekerjakan sendiri oleh
pekerja yang membuat perjanjian kerja tersebut. Pekerjaan yang dikerjakan oleh pekerja harus berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian kerja. 2.
Di bawah perintah (gezag ver houding)
50
Kedudukan pengusaha dalam suatu hubungan kerja adalah pemberi kerja, sehingga pengusaha memiliki hak sekaligus berkewajiban untuk memberikan perintah terkait dengan pekerjaan. Kedudukan pekerja dalam hubungan kerja adalah sebagai pihak yang menerima perintah dan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan perintah dari pengusaha. Hubungan antara buruh dan majikan adalah hubungan yang dilakukan antara atasan dan bawahan, sehingga bersifat subordinasi (hubungan yang bersifat vertikal, yaitu atas dan bawah).17 3.
Terdapatnya upah (loan) Pasal 1 angka 30 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “Upah adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang – undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjan dan/atau jasa yang telah dilakukan.” 4.
Dalam waktu (tijd) yang ditentukan. Bahwa dalam melakukan hubungan kerja tersebut, haruslah dilakukan sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundang – undangan.18 2.2.3. Substansi Perjanjian Kerja
17
Asri Wijayanti, op.cit. hlm. 37 Djumadi, op.cit, hlm. 39
18
51
Perjanjian kerja adalah dasar yang menentukan hal – hal yang diperlukan antara pengusaha dan pekerja. Dalam Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, ditentukan substansi perjanjian kerja yang harus dimuat antara pengusaha dan pekerja yaitu: a.
nama, alamat perusahaan dan jenis usaha;
b.
nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c.
jabatan atau jenis pekerjaan;
d.
tempat pekerjaan;
e.
besarnya upah dan cara pembayarannya;
f.
syarat – syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g.
mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h.
tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
i.
tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Perjanjian kerja yang memuat hal – hal sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dibuat dalam rangkap 2 (dua) yang mempunyai kekuatan yang sama, dan diberikan kepada pengusaha dan pekerja, dimana pengusaha dan pekerja masing – masing mendapatkan 1 (satu) perjanjian kerja. Perjanjian kerja tersebut tidak dapat ditarik kembali atau dirubah, kecuali atas persetujuan para pihak sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 55 UU Ketenagakerjaan. 2.2.4. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja. 52
Suatu perjanjian kerja adalah suatu dasar dari adanya hubungan kerja. Perjanjian kerja dikatakan sah apabila memenuhi syarat sahnya perjanjian dan asas – asas hukum perikatan. Keberadaan suatu perjanjian kerja dapat diakui oleh undang – undang, apabila perjanjian kerja sesuai dengan syarat – syarat yang ditentukan oleh undang – undang. Dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan beberapa hal yang harus ada dalam suatu perjanjian kerja yaitu terdiri atas: 1.
Adanya persetujuan kehendak antara pihak yang membuat perjanjian (consensus);
2.
Adanya kecapakan pihak – pihak untuk membuat perjanjian (capacity);
3.
Adanya suatu hal tertentu (object);
4.
Adanya suatu sebab hal (causa);
Ad.1. Adanya persetujuan kehendak antara pihak yang membuat perjanjian (consensus) Adanya persetujuan berarti adanya kesepakatan di antara para pihak. Kesepakatan yang terjadi harus bebas, tidak ada cacat kehendak yang meliputi adanya dwang, dwaling, dan bedrog (penipuan, paksaan, dan kekhilafan). Ad.2. Adanya kecapakan pihak – pihak untuk membuat perjanjian (capacity). Pihak yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata ditentukan pihak – pihak yang tidak cakap dalam persetujuan – persetujuan seperti: 1.
Orang yang belum dewasa; 53
2.
Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3.
Orang – orang perempuan yang telah kawin dalam hal ditentukan undang – undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang – undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu. Ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata tidak belaku semuanya karena
berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) yaitu hak dan kewajiban istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Dalam Pasal 31 ayat (2) UU Perkawinan yaitu masing – masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum, sehingga dengan demikian apabila seorang wanita dewasa yang telah menikah tidak akan mengakibatkan status kedewasaannya hilang. Dalam Pasal 433 KUHPerdata disebutkan “Setiap orang dewasa, yang selalu berada di dalam keadaan dungu, gila, atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, walaupun terkadang ia dapat menggunakan pikirannya dengan baik. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.” Ad.3. Adanya suatu hal tertentu (object) Hal tertentu yang dimaksudkan adalah adanya pekerjaan yang jelas, dalam arti setiap orang dapat melakukan hubungan kerja dengan memiliki objek pekerjaan yang jelas yaitu melakukan pekerjaan. Ad.4. Adanya suatu sebab hal (causa).
54
Adanya suatu sebab hal (causa) artinya bahwa causa yang dibenarkan memandang kepada objek hubungan kerja yang dapat melakukan pekerjaan apapun, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Disamping merujuk kepada Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya suatu perjanjian kerja juga ditentukan dalam Pasal 52 UU Ketenagakerjaan yang disebutkan “Perjanjian kerja dibuat atas dasar: a.
Kesepakatan kedua belah pihak;
b.
Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang – undangan yang berlaku.”
2.2.5. Jenis – Jenis Perjanjian Kerja Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, jenis perjanjian kerja dibedakan dalam perjanjian kerja dibuat waktu tertentu atau waktu untuk tidak tertentu. Dipertegas dalam Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagakerjaan disebutkan “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas: a.
Jangka waktu;atau
b.
Selesainya suatu pekerjaan tertentu”. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pengusaha
dan pekerja untuk mengadakan hubungan kerja dalam jangka waktu tertentu dan pekerjaan yang tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis 55
dan diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 57 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan masa percobaan kerja. Apabila dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu disyaratkan dengan masa percobaan kerja, maka masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerja yang bersifat tetap. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan – pekerjaan yang bersifat tertentu berdasarkan sifat dan jenis atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu yaitu:19 a.
Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.
Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.
Pekerjaan yang bersifat musiman;atau
d.
Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu adalah perjanjian kerja antara
pengusaha dan pekerja untuk mengadakan hubungan kerja tetap. Berdasarkan ketentuan Pasal 57 ayat (2) UU Ketenagakerjaan disebutkan “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak
19
Asri Wijayanti, op.cit, hlm.50
56
tertentu.” Selanjutnya dalam Pasal 57 ayat (3) UU Ketenagakerjaan disebutkan “Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.” Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja selama 3 (tiga) bulan, namun selama masa percobaaan kerja tersebut, pengusaha dilarang untuk membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
2.2.6. Berakhirnya Perjanjian Kerja Suatu perjanjian kerja yang dibuat oleh pekerja dan pengusaha dapat berakhir karena beberapa faktor. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan ditentukan beberapa faktor yang dapat menyebabkan suatu perjanjian kerja berakhir yang terdiri atas: a.
Pekerja meninggal dunia;
b.
Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c.
Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d.
Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. 57
2.2.7. Perpanjangan Dan Pembaharuan Perjanjian Kerja Perpanjangan dan pembaharuan suatu perjanjian kerja diatur dalam Pasal 59 ayat (5), (6) UU Ketenagakerjaan yang ditentukan sebagai berikut: (5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan; (6) Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
58