BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karya Sastra dan Novel Pada zaman modern sekarang ini kedudukan sastra semakin meningkat dan semakin penting. Sastra tidak hanya memberikan kenikmatan dan kepuasan batin, tetapi juga sebagai sarana penyampaian pesan moral kepada masyarakat atas realitas sosial. Salah satu bentuk “susastra” sebagai penuangan ide kreatif pengarang adalah novel. Berikut penulis coba hadirkan beberapa pengertian karya sastra dan novel yang dapat digunakan sebagai pijakan untuk melangkah lebih jauh dalam melaksanakan penelitian.
2.1.1 Pegertian Karya Sastra Sastra selalu memiliki keterikatan dengan situasi dan kondisi di sekitarnya. Hal itu tersirat dalam pernyataan yang dikemukakan Wellek dan Warren (2014: 98), sebagai berikut:
Sastra adalah institusi masyarakat yang menggunakan medium bahasa. (…) Lagi pula sastra “menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan social, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. Penyair adalah warga masyarakat yang memiliki status khusus. Penyair mendapatkan pengakuan dan penghargaan masyarakat dan mempunyai massa-walaupun hanya secara teoritis. Sastra sering memiliki kaitan dengan institusi social tertentu. (…) Sastra mempunyai fungsi social atau “manfaat” yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. (Wellek dan Warren, 2014: 98) Dalam kutipan di atas, Wellek dan Warren merinci alasan mengapa sastra dan lingkungannya disebut mempunyai keterikatan yang erat satu sama lain. Pertama, sastra merupakan suatu institusi sosial yang juga menggunakan medium ciptaan
16
masyarakat, yaitu bahasa. Hal itu merupakan konsekuensi logis, sebab sastra memerlukan bahasa agar dapat tersampaikan pada masyarakat dengan baik.
Kedua, sastra mewakili “kehidupan”, yang dalam arti luas disebut sebagai sebuah realitas sosial. Meskipun hanya rekaan pengarang, ‘kehidupan’ dalam karya sastra dapat dikatakan sebagai sebuah tiruan (mimesis) yang disusun berdasarkan kehidupan nyata. Ketiga, pengarang adalah anggota masyarakat, implikasinya ia terikat status social tertentu serta berhubungan dengan pembaca yang mengakui dan mengapresiasi eksistensi pengarang melalui karya-karyanya.
Keempat, sastra mempunyai pertalian erat dengan institusi-institusi tertentu. Sering masyarakat menggunakan puisi dalam melakukan upacara adat, ritual tertentu, atau hanya sekadar permainan. Kelima, sastra juga berfungsi sosial atau memiliki “kegunaan” sosial.
Wellek dan Warren (1949:3) dengan tegas menyebutkan, “Pertama-tama kita harus membedakan sastra dan studi sastra. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan studi sastra adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan.” Jadi harus dibedakan antara sastra dan studi sastra. Sastra adalah hasil kreatifitas (kegiatan kreatif) dari sebuah karya seni. Studi sastra akan dipertanyakan, apakah karya sastra itu? Apa sajakah jenis karya sastra itu? Bagaimana sifat salah satu jenis karya sastra tertentu? Aspek-aspek spesifik apa sajakah yang dimiliki karya sastra itu?
17
Keterikatan sastra pada masyarakat dipertegas oleh Jabrohim (2003: 157), sastra bukan sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan. Merupakan suatu hal yang pasti bahwa semua penyair, pengarang, atau seniman mana pun pada umumnya selalu hidup dalam ruang dan waktu tertentu. Ruang dan waktu tersebut mempunyai bentuk riil dalam suatu masyarakat atau sebuah keadaan sosial yang pada saat bersamaan juga memuat berbagai macam permasalahan hidup. Di dalam masyarakat banyak elemen berinteraksi, bergumul satu sama lain.
Damono (2002: 2) menyatakan bahwa karya sastra menyajikan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri merupakan sebuah kenyataan sosial. Hal itu menjadi penjelasan mengapa karya sastra dapat dipakai pengarang untuk mencurahkan segala permasalahan kehidupan manusia di dalam masyarakat. Melalui karya sastra, pembaca dapat mengetahui dan memahami salah satu atau beberapa persoalan yang dapat ditemui dalam kehidupan. Dengan kata lain, sastra memiliki suatu fungsi, yaitu sebagai cermin dari kenyataan.
Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata-mata sebuah imitasi (Luxemburg, 1989: 5). Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah
pekerjaan
kreatif,
pada
hakikatnya
adalah
suatu
media
yang
mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatarbelakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya.
18
Jan van Luxemburg, dkk., (1989: 21) menyatakan bahwa sastra terikat oleh dimensi waktu dan budaya, karena sastra merupakan hasil kebudayaan. Dalam sastra terdapat penangganan bahan yang bersifat khusus, termasuk di dalamnya ialah bagaimana cara penanganan potensi bahasa bagi pengungkapan karya sastra. Seorang pengarang dapat mengolah dan mengeksploitasi potensi potensi yang terdapat pada bahasa untuk mencapai efek-efek tertentu.
Oleh karena itu, kekhususan dan keunikan pemakaian bahasa dalam karya sastra merupakan salah satu ciri khasnya. Fenomena yang khas terlihat pada cara pengolahan materi cerita. Karya sastra memiliki kebenaran cerita dan logika bercerita sendiri. Urutan penyajian cerita maupun logika bercerita dalam karya sastra juga memiliki kebenaran sendiri yang sama sekali berbeda dari kebenaran dan logika umum. Secara umum dapat dinyatakan bahwa semua teks sastra bersifat fiktif atau rekaan.
Kebenaran cerita dalam karya sastra bukanlah kebenaran faktual atau nyata, melainkan kebenaran fiksionalitas berdasarkan daya imajinasi dan kreatifitas pengarang. Tipe dan pola atau peristiwa dan karakter tokoh-tokoh serta nama tokoh barangkali dapat ditemukan dalam dunia objektif (dunia nyata). Oleh karena itu apa yang ada dalam karya sastra tertentu hanya bersifat rekaan (karangan) belaka.
Karya sastra dapat berupa fiksi, puisi, ataupun drama. Karya sastra yang dikategorikan karya sastra fiksi adalah roman sosial, roman sejarah, cerita pendek. Hal ini tidak terbatas pada segala sesuatu yang tercetak atau tertulis saja, akan
19
tetapi mencangkup segala sesuatu yang tidak tercetak atau tertulis (lisan). Karya sastra tidak tunduk pada metode-metode tertentu pada saat seorang sastrawa menciptakan karyanya sastra tersebut, meskipun sastra tersebut mengandung unsur-unsur kesejarahan. Hal itu berbeda dengan karya sejarah di mana penulis harus mengikuti prosedur tertentu yaitu harus tertib dalam penempatan ruang dan waktu, harus konsisten dengan unsur-unsur lain seperti topografi dan kronologi serta harus berdasarkan bukti-bukti (Kuntowijoyo, 2006: 3).
Dengan demikian penulis karya sastra mempunyai kebebasan imajinatif yang agak berlebih jika dibandingkan dengan penulis sejarah. Karya sastra sebagai seni kata mengandung estetika atau keindahan yaitu berupa estetika bahasa. Estetika atau keindahan yang terdapat dalam karya seni adalah hasil usaha seniman, bukan keindahan alamiah, dan juga bukan keindahan azali dan abadi.
Salah satu unsur yang mendukung keindahan karya sastra adalah adanya penggunaan bahasa yang bersifat konotatif. Bahasa ini banyak menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang. Lambang dan simbol tersebut beraneka warna sesuai dengan individu senimannya dimana ia berada di suatu tempat dan pada suatu jaman. Oleh karena itulah untuk memahami karya sastra dianjurkan untuk memahami tiga macam kode, yaitu kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra (Teeuw, 1984: 334).
2.1.2 Hakikat Novel Kata ‘novel’ berasal dari kata latin novellus yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru (Tarigan, 1994: 164). The American College Dictionary (dalam
20
Tarigan, 1994: 830) menyebutkan bahwa novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur.
Novel adalah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia yang imajiner dan fantastis. Dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya (Nurgiyantoro, 1995: 4). Oleh karenanya sangat wajar jika kita menemukan novel imajinatif fantastis yang kadang berada di luar nalar manusia dan dunia yang berusaha dibangun pun tak pernah lepas dari alam pikiran pengarang dari hasil mediasi antara subjek nyata dan imajiner yang ada.
Novel dalam arti umum adalah cerita berbentuk prosa dengan ukuran yang luas. Ukuran yang luas disini dapat berarti cerita dengan plot yang kompleks, multi karakter, tema yang kompleks, suasana cerita yang beragam dan setting cerita yang beragam pula. Keberagaman inilah yang membedakan novel dengan cerpen.
Novel merupakan salah satu genre sastra di samping cerpen dan roman. Novel menyajikan cerita yang lebih panjang daripada cerpen sehingga terbagi menjadi beberapa bagian. Cerita yang terdapat dalam novel diangkat dari realitas masyarakat. Di dalam novel terdapat plot tertentu, artinya tidak sekedar menyajikan sebuah cerita, peristiwa yang ada memiliki hubungan kausalitas.
Dilihat dari temanya, novel tidak hanya menyajikan tema pokok (utama). Ada tema-tema tambahan yang fungsinya mendukung tema utama. Tokoh yang ada
21
dalam sebuah novel memiliki karakter yang berbeda-beda. Pembedaan ini dapat ditandai
dengan
penggolongan-penggolongan
berdasarkan
fungsi
atau
peranannya. Terdapat tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis biasanya digambarkan dengan tokoh yang berkarakter tetap, sedangkan tokoh dinamis adalah sebaliknya.
Novel dapat dipandang sebagai hasil dialog, mengangkat dan mengungkapkan kembali berbagai permasalahan hidup dan kehidupan. Hal tersebut dapat tercapai setelah melewati penghayatan yang intens, seleksi subjektif; dan diolah dengan daya imajinatif-kreatif oleh pengarang ke dalam bentuk rekaan (Nurgiyantoro, 1995: 71).
Goldmann mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang tergradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang juga ikut tergradasi. Pencarian itu dilakukan oleh seorang tokoh utama (hero) yang problematik. Goldmann juga mengatakan bahwa novel merupakan satu bagian dari karya sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara sang hero dengan dunia. Keterpecahan itulah yang menyebabkan dunia dan hero menjadi sama-sama terdegradasi dalam hubungannya dengan nilai-nilai yang otentik yang berupa totalitas di atas. Keterpecahan itulah yang membuat sang hero menjadi problematik (Faruk, 1994: 18).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah bagian dari karya sastra berupa prosa yang mengungkapkan kembali permasalahan kehidupan yang luas melalui unsur-unsur yang saling berkaitan dan
22
memiliki hero yang mengemban misi-misi tertentu. Peristiwa yang terjalin pun sangat kompleks karena tidak hanya menceritakan hidup seorang tokohnya saja tetapi juga seluruh tokoh yang terlibat dalam cerita.
2.2 Sosiologi Sastra Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat refelektif. Penelitian ini banyak diminati karena kemampuannya untuk melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Kehidupan sosial senantiasa menjadi picu lahirnya karya sastra. Untuk itu, pada bagian ini penulis akan menyajikan beberapa pengertian sosiologi sastra dari para ahli, serta pendekatannya dalam upaya menganalisis karya sastra.
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari katasos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti
mengarahkan,
mengajarkan,
memberi
petunjuk
dan
instruksi.
Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.
Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan
23
sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan disini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu.
24
Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat
tertentu
dan
menceritakan
kebudayaan-kebudayaan
yang
melatarbelakanginya.
Endraswara dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia, karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi (2003:79).
Faruk (1994:1) memberi pngertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses sosila. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Sosiologi dikatakan memperoleh gambaran mengenai cara-cara menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme
25
sosialitas, proses belajar secara kultural yang dengannya individu-individu dialokasikannya pada dan menerima peranan tertentu dalam struktur sosial itu. 2.3 Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan Menganalisis Karya Sastra Menurut Ratna (2003:2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain : 1. Pemahaman
terhadap
karya
sastra
totalitas
karya
dengan
pertimbangn
aspek
kemasyarakatannya. 2. Pemahaman
terhadap
yang
disertai
dengan
aspek
kemasyarakatan yang terkandung didalamnya. 3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatar belakangi. 4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat. 5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Wellek dan Warren (2014:111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut : 1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra, masalah yang berkaitan disini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang diluar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi
26
studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren, 2014:112)
2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 2014:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat, seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokohtokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989:3-4) yang meliputi hal-hal berikut : 1. Konteks Sosial Pengarang Ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat, pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat
27
mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan : 1) Bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya; 2) Profesionalisme dalam kepengaragannya; dan 3) Masyarakat apa yang dituju oleh pengarang. 2. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat Maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalah tafsirkan dan disalah gunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah : 1) Sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis; 2) Sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya; 3) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat; 4) Sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermatcermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat.
Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan
28
informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat. 3. Fungsi Sosial Sastra Maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan 1) Sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pengbaharu dan perombak; 2) Sastra sebagai penghibur saja; 3) Sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu : 1. Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal. 2. Karya dengan kondisi sosial yang direfleksikan didalamnya. 3. Audien atau pembaca (1981:178). Lain
halnya
dengan
Grebsten
(dalam
Damono,1989)
dalam
bukunya
mengungkapkan istilah pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra sebagai berikut : 1. Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri.
29
Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktorfaktor sosial dan kultural. Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit. Bagimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri. 2. Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada karya sastra yang besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal, dalam pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguh-sunggug. 3. Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang per orang. Karya sastra bukan merupakan moral dalam arti yang sempit, yaitu yang sesuai dengan suatu kode atau tindak tanduk tertentu, melainkan dalam pengertian bahwa ia terlibat didalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra adalah eksprimen moral. 4. Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama, sebagai sesuatu kekuatan atau faktor material, istimewa. Kedua, sebagai tradisi yakni kecenderungan spiritual kultural yang bersifat kolektif. Dengan demikian bentuk dan isi karya sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologi, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural. 5. Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik adalah kegiatan yang terpenting yang harus mampu mempengaruhi penciptaaan sastra tidak
30
dengan cara mendikte sastrawan agar memilih tema tertentu misalnya, melainkan dengan menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat bagi penciptaan seni besar. 6. Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus memilih yang sesuai untuk masa kini. Perhatiannya bukanlah seperti pengumpul benda-benda kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali, tetapi memberi penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh masa kini. Dan karena setiap generasi membutuhkan pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikus untuk menggali masa lalu tak ada habisnya.
Damono (1989:14) juga mengemukakan bahwa segala yang ada di dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu kenyataan.
Pandangan senada dikemukakan oleh Teeuw (1984:220) mengatakan bahwa dunia empiriris tak mewakili dunia sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, penelaahan, dan pembayangan ataupun peniruan. Lewat mimesis, penelaahan kenyataan mengungkapkan makna, hakikat kenyataan itu. Oleh karena itu, seni yang baik harus truthful, berani dan seniman harus bersifat modest, rendah hati. Seniman harus menyadari bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal. Menurut Ratna (2003:332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut:
31
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, dan ketiganya adalah anggota masyarakat. 2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. 3. Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan. 4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut. 5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisisnya
sebagai
sebuah
refleksi
kehidupan
masyarakat
dan
sebaliknya. Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
Sebagaimana
yang dikemukakan
Damono,
Swingewood
(1972:15)
pun
mengingatkan bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati dengan slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal ini melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Dalam melukiskan
32
kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara refleksi sebagai jalan belok. Seniman tidak semata melukiskan keadaan sesungguhnya, tetapi mengubah sedemikian rupa kualitas kreativitasnya.
Dalam hubungan ini Teeuw (1984:18-26) mengemukakan ada empat cara yang mungkin dilalui, yaitu: 1) Afirmasi, melupakan norma yang sudah ada; 2) Restorasi, sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang 3) Negasi, dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku; dan 4) Inovasi, dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada.
Berkenaan dengan kaitan antara sosiologi dan sastra tampaknya Swingewood (1972:15) mempunyai cara pandang bahwa suatu jagad yang merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, karena disamping sebagai makhluk sosial budaya akan sangat sarat termuat dalam karya sastra. Hal inilah yang menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra.
2.4 Hubungan Karya Sastra dengan Peristiwa Sejarah Fakta sejarah merupakan salah satu sumber inspirasi bagi para sastrawan untuk menuliskan karya-karya sastranya. Seperti pernah dikatakan oleh Damono (2002:1-2) bahwa karya sastra tidak pernah jatuh begitu saja dari langit, tetapi sastra berhubungan dengan sastrawan dan masyarakat yang melahirkannya. Di tangan seorang sastrawan peristiwa sejarah dapat menjadi sumber inspirasi untuk
33
untuk penulisan karya-karya sastranya. Oleh karena itu, dikenal adanya istilah sastra sejarah, novel sejarah atau pun puisi epik.
Peristiwa sejarah dalam hal ini mengacu pada peristiwa, tokoh, perbuatan, pikiran, dan perkataan yang pernah terjadi di masa lampau yang dipahami sebagai gejala yang memanjang dalam waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas (Kuntowijoyo, 2006:5). Sejarah, sebagai ilmu yang bersifat diakronik, menurut Kuntowijoyo (2006:10) harus didukung oleh data yang otentik, terpercaya, dan tuntas. Dengan ruang yang terbatas, maka sejarah dapat membahas berbagai pertumbuhan dan perkembangan sejumlah masalah, antara lain sejarah politik, sejarah keluarga, sejarah intelektual, sejarah moralitas, sejarah kesenian, dan sebagainya.
A. Teeuw (1984:221) menuturkan karya sastra sejarah adalah karya tulis yang bersifat ganda, yaitu bersifat sastra dan sejarah. Dilihat dari sudut sastra, karya sastra sejarah termasuk salah satu jenis sastra. Karya sastra yang bernilai sejarah biasanya bahannya diambil dari sejarah. Demikian halnya dengan penggunaan bahasa, antara tulisan sejarah dan karya sastra berbeda. Sejarah lebih cenderung menggunakan referential simbolism dengan menunjuk secara tegas kepada objek, pikiran, kejadian, dan hubungan-hubungan. Sedangkan sastra lebih banyak pesanpesan subjektif pengarang.
Sartono Kartodirdjo berpandangan bahwa karya sastra sejarah merupakan karya sejarah atau historiografi (Ekadjati, 1983:19). Hanya berdasarkan unsur-unsur yang dikandungnya karya sejarah tersebut digolongkan menjadi karya sejarah tradisional sehingga menghasilkan karya sejarah yang bersifat dan mengandung
34
unsur-unsur tradisonal. Sebagian besar sejarawan mengatakan bahwa karya sastra merupakan alat bantu dari ilmu sejarah. Akan tetapi, tidak bias dipungkiri bahwa karya sastra mempunyai sumbangsih besar untuk sejarawan dan historiografi. Dari karya sastra bisa diambil pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki oleh dokumen tertulis maupun arsip yang berperspektif pemerintah.
Dengan demikian dengan karya sastra sejarah pembaca dapat menerobos ruang kosong yang tidak dimiliki arsip maupun dokumen tertulis lainnya. Sastra, baik tertulis maupun lisan, yang memberikan keterangan tentang masa lampau yang memberikan informasi pantas untuk disebut sebagai bahanbahan dokumenter bagi studi sejarah. Sebagai sumber dokumenter, sastra mempunyai kekhasan yaitu sifatnya yang naratif sehingga dapat dikategorikan sebagai accepted history, misalnya babad, hikayat, tambo, atau kronik dan annals.
Berkaitan dengan karya sastra tersebut, seni sastra dianggap sebagai jejak sejarah yang mengandung informasi tentang apa yang dianggap terjadi dan bermakna dalam skala luas dan sempit. Sastra termasuk sumber sejarah dilihat dari corak informasinya dapat digolongkan menjadi sumber naratif. Sumber naratif ialah sumber yang berisi uraian lengkap, kebanyakan adalah sumber tertulis terutama yang menyangkut masalah sosial, politik, kultural, dan agama.
Sumber naratif juga di dalamnya memuat historiografi tradisional, biografi, kenang-kenangan (memoir), kronik, annals, atau inkripsi. (Sugihastuti, 2009:160) Relasi antara teks sastra dan kenyataan sejarah dibangun sesuai dengan teks itu sendiri, tetapi teks kesusastraan tidak dapat berhubungan simplistic dengan
35
kenyataan sejarah. Dalam beberapa novel (misalnya novel sejarah) pembaca akan lebih memahami sebagai wacana sejarah daripada karya sastra, artinya teks kesusastraan hanya dapat dipahami sebagai penanda langsung dari kenyataan sejarah. karya sastra mungkin berisi kenyataan dan akurasi data sejarah, namun operasi data tersebut tetap diperlakukan secara fiktif dan mengikuti hokum produksi realitas tekstual.
Relevansi antara realitas tekstual dan sejarah yang dirujuk menempatkan ideologi dalam realitas sejarah sebagai kekuatan produksi. Eagleton (1976:70) menegaskan bahwa bagian dari sejarah sudah difiksikan dan ditafsirkan sesuai dengan terminologi ideologi produksi sebagai model perantara sisipan ideology dalam karya sastra. Jadi realitas sejarah secara ideologis menjadi kekuatan kedua. Ketentuan masuknya sejarah dalam karya sastra tidak hanya sebagai kesejarahan teks, tetapi masuk secara ideologis sebagai ukuran pembuktian penentu kehadiran dan penyimpangannya. Sejarah dalam teks sastra berfungsi sebagai penanda akhir dalam kesusastraan (Eagleton, 1976:72). Hal ini terjadi karena secara ideologis sejarah menjadi struktur dominan yang menandai karakter teks dan pengaturan dari pembelokan kenyataan yang dibangun dalam karya sastra. Hal yang membedakan antara teks sastra dan penulisan sejarah yaitu objeknya.
Historiografi mempunyai objeknya sendiri yaitu sejarah itu sendiri. Sedangkan karya sastra merupakan hermeneutik dari historigrafi. Karya sastra merekontruksi kenyataan sejarah keluar dari kategori yang mengikatnya. Teks dikarakterkan oleh keganjilan antara abstrak dan kenyataan. Karya sastra berada dalam fenomena
36
wacana historiografi dan filsafat. Karya sastra menyerupai historiografi dalam kepadatan tekturnya dan juga beranalogi dengan wacana filsafat pada keadaan yang umum terjadi. Hanya saja kekurangan yang Nampak dalam karya sastra adalah kurangnya referensi nyata (Eagleton, 1976:78).
Jika diamati dengan seksama, teks narasi dan teks sejarah memiliki suatu persamaan. Keduanya sama-sama dikonstruksi dengan berdasarkan pada waktu lampau (past time). Hal itu lebih terlihat jika kalimat-kalimat yang menyusun kedua jenis teks tersebut ditulis dalam bahasa asing, misalnya bahasa Inggris. Kebanyakan kalimat dalam kedua jenis teks itu menggunakan pola yang dalam tata bahasa Inggris disebut sebagai past tense. Pola itu harus digunakan untuk menunjukkan pada pembaca bahwa suatu hal atau peristiwa terjadi atau bereksistensi di masa lalu.
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa meskipun teks narasi (fiksional) dan teks sejarah (faktual) bertolak belakang dalam hal sifat, keduanya mempunyai struktur yang sama. Sebagai konsekuensi logis dari persamaan tersebut, terdapat kemungkinan untuk saling tertukar dan saling berbaur karena sulitnya mengidentifikasi teks mana yang tergolong fiksional dan mana yang tergolong faktual. Walaupun memiliki kesamaan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, sejarah dan sastra mempunyai tujuan yang sama sekali berbeda, tetapi pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain (Ratna, 2005:337).
Pernyataan itu telah disinggung sebelumnya oleh Jauss (1983:25) bahwa sejarah sastra (suatu rangkaian peristiwa sastra) berperan sebagai suatu metode resepsi
37
sastra dan memposisikan sejarah dan sastra sebagai dua entitas yang saling melengkapi. Hutcheon (Ratna, 2005:337-338), mengemukakan bahwa sejarah, menurut Aristoteles, sastra sejarah tidak hanya mampu menceritakan masa lalu saja tetapi juga mampu menceritakan hal-hal yang belum terjadi karena sastra dihasilkan dengan perenungan atau kontemplasi yang menjadikannya lebih bersifat filosofis sejarah yang hanya menceritakan masa lalu tanpa perenungan. Perbedaan di atas diwariskan pada dua macam karya sastra yang berkaitan erat dengan sejarah; yaitu sastra sejarah dan novel sejarah. Keduanya berbeda menurut konsep hubungan yang terjadi di antaranya, sesuai dengan zamannya.
Kelahiran karya sastra tidak lepas dari kemampuan intersubjektivitas pengarang untuk menggali kekayaan masyarakat, memasukkannya ke dalam karya sastra, yang pada akhirnya dapat dinikmati oleh pembaca. Kemampuan pengarang dalam melukiskan pengalaman yang diperoleh dalam masyarakat dan kemampuan pembaca untuk memahami suatu karya sastra menjadi unsur penting yang menentukan kekayaan suatu karya sastra. Hubungan karya sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra mempunyai tugas penting baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan.
Kebebasan sekaligus kemampuan karya sastra untuk memasukkan hampir seluruh aspek kehidupan manusia menjadikan karya sastra sangat dekat dengan aspirasi masyarakat.
Demikian
juga
dengan
cara-cara
penyajian
yang
berbeda
38
dibandingkan dengan ilmu sosial dan humaniora membawa ciri-ciri tersendiri terhadap sastra. Penyajian secara tak langsung, dengan menggunakan bahasa metaforis konotatif, memungkinkan untuk menanamkan secara lebih intens masalah-masalah kehidupan terhadap pembaca. Artinya, ada kesejajaran antara ciri-ciri karya sastra dengan hakikat kemanusiaan. Fungsi sosial karya sastra sesuai dengan hakikatnya yaitu imajinasi dan kreativitas adalah kemampuannya dalam menampilkan dunia kehidupan yang lain yang berbeda dengan dunia kehidupan sehari-hari. Selama membaca karya sastra pembaca secara bebas menjadi raja, dewa, perampok, dan berbagai sublimasi lain.
Penggunaan karya sastra dari sebuah peristiwa sejarah diharapkan akan membuat pembelajaran sejarah semakin dinamis dengan mengajarkan sejarah dari pendekatan arus bawah masyarakat yang terpinggirkan oleh sejarah dan kekuasaan (history from bellow). Berbagai bentuk karya sastra baik novel dan yang lainnya menjadi lebih dari sekedar alat bantu karena bisa menjelaskan lebih detail dinamika yang terjadi dalam peristiwa sejarah, artinya bahwa karya sastra merupakan alat untuk berdialektika dalam sejarah dengan semangat zaman (zeit gheist) yang terkandung didalamnya.
Kuntowijoyo (2006:171), yang akrab dengan dunia karya sastra mengatakan bahwa sastra dan sejarah pada era sekarang mempunyai perbedaan yang tipis. Bahkan tidak sedikit pula karya sastra seperti novel memuat fakta-fakta dalam suatu peristiwa sejarah. Hal itu seakan-akan menunjukkan sastra dan sejarah mempunyai hubungan yang erat. Karya sastra sebagai simbol verbal mempunyai
39
beberapa peranan di antaranya cara pemahaman (model of comprehension), cara perhubungan (mode of communication), dan cara penciptaan (mode of creation). Objek karya sastra adalah realitas yaitu realitas yang dimaksudkan oleh pengarang itu sendiri.
Karya sastra sejarah ditulis berdasarkan bukti sejarah dan dengan sendirinya nilai kesejarahan dapat lebih dipertangungjawabkan. Tentu saja dalam karya sastra di dalamnya secara sengaja pencipta memasukkan hal-hal yang sifatnya fiktif, terutama dalam penokohan. Di samping memang terdapat tokohtokoh yang memang diakui keberadaannya dalam peristiwa sejarah, dalam karya sastra juga muncul tokoh-tokoh tambahan yang muncul dan lahir dari daya cipta pengarang. Dalam hal-hal tertentu, tidak mustahil seluruh tokoh yang muncul merupakan tokoh fiktif (misalkan namanya).
Dalam konteks ilmu sastra, hubungan antara karya sastra dengan peristiwa sejarah telah lama menjadi perhatian para ilmuwan sastra. Munculnya berbagai pendekatan dalam kajian sastra, seperti sosiologi sastra, sastra perbandingan, dan sejarah baru (new historicism), yang mencoba memahami hubungan tersebut merupakan bukti adanya upaya memahami hubungan antara karya sastra dengan peristiwa sejarah.
Meneliti karya sastra dengan menggunakan pendekatan historisme harus mengacu pada catatan-catatan dan teks lain di luar karya sastra, yaitu keseluruhan informasi yang berhubungan dengan karya itu. Dalam buku 9 Jawaban Sastra Indonesia, Mahayana menekankan pada beberapa hal berikut, yang dijadikan acuan dalam
40
menyusun catatan-catatan tersebut : (1) teks atau catatan yang menjadi acuan pastilah teks yang dapat dipercaya; (2) bahasa dari karya sastra yang bersangkutan berfungsi pada waktu dan tempat tertentu; (3) penelitian terhadap sebuah karya pastilah berkaitan dengan kehidupan pengarangnya, keadaan materialnya, dan perlu juga dipertimbangkan konteks karya yang bersangkutan dalam keseluruhan karier pengarang; (4) kehadiran sebuah teks sangat mungkin diilhami, dipengaruhi, atau bahkan ada kaitannya dengan teks sebelumnya; (5) diyakini pula bahwa sebuah karya tidak lain merupakan milik zamannya; dan (6) sebuah karya yang diteliti mesti ditempatkan dalam tradisi, konvensi, dan kecenderungan yang sering kali ikut menentukan hubungan-hubungannya dengan karya-karya lain yang sejenis.
Dalam pandangan Historisme Baru, sastra dan sejarah merupakan dua teks yang saling berkaitan dan saling mengisi (Mahayana, 2005:369). Sejarah dapat menjadi inspirasi pengarang untuk membuat karya sastra, dan sastra dapat menjadi dokumenter sejarah. Di samping saling mengisi, sejarah itu sendiri terdiri atas berbagai teks yang masing-masing menyusun satu versi tentang kenyataan (Budianta, 2006:4). Mengenai hubungan antara teks sejarah dan teks sastra, Sugihastuti (2009:164) menulis, telah banyak bukti menunjukkan bahwa teks-teks sastra, dapat dipakai sebagai pelengkap studi sejarah, misalnya A History of Malaya.
Hubungan yang saling menguntungkan dalam kritik historis ini sebenarnya hendak menekankan pentingnya pengetahuan (historis) dalam kegiatan kritik
41
sastra (Mahayana, 2005:368). Persoalannya adalah bahwa hubungan antara karya sastra dan sejarah, itu negatif atau positif, atau bagaimana? Relasi positif berarti referensial, ada referensi yang nyata pada struktur intrinsik sastra dengan realitas. Relasi negatif berarti nonreferensial (Sugihastuti, 2009:167).
Sejarah sering
ditafsirkan sebagai fotokopi, nostalgia masa lalu atau sebuah idealisme yang masing-masing mempunyai signifikasi, akurasi, dan kewajarannya dalam teks (Mahayana, 2005:372). Begitu pula dengan teks sastra. Dalam perspektif yang baru, karya sastra ikut membangun, mengartikulasikan dan mereproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinatif kreatifnya (Budianta, 2006:4).
Wolfgang Iser (Teeuw, 1984:249) telah menegaskan “rekaan bukan merupakan lawan kenyataan, tetapi memberitahukan sesuatu mengenai kenyataan”. Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam karya sastra adalah hubungan dialektik (bertetangga). Mimesis tidak mungkin tanpa kreasi tetapi kreasi tidak mungkin tanpa mimesi. Takaran dan perkaitan antara kedua-duanya dapat berbeda menurut kebudayaannya, menurut jenis sastra, jaman, pribadi pengarang dan banyak lagi.
Terakhir, perpaduan antara mimesis dan kreasi tidak hanya berlaku dan benar untuk penulis sastra. Hal ini pun penting bagi pembaca. Pembaca harus sadar menyambut karya sastra menharuskan dia untuk memperpadukan aktifitas mimetic dan kreasi. Pemberian makna pada karya sastra adalah perjalanan bolakbalik tanpa henti antara dunia kenyataan dan dunia khayalan.
42
2.5 Analisis Struktur Pendekatan struktural adalah pendekatan yang digunakan dalam usaha memahami karya sastra dengan memperhitungkan struktur atau unsur-unsru pembentuk karya sastra sebagai jalinan yang utuh. Pendekatan struktural yang digunakan di dalam analisis bermaksud untuk membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterjalinan dan keterkaitan semua unsur-unsur karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, 1984:36).
Pendekatan yang bertolak dari dalam karya sastra itu disebut pendekatan objektif. Analisis struktural adalah bagian yang terpenting dalam merebut makna di dalam karya sastra itu sendiri. Penelitian struktural dipandang lebih objektif karena hanya berdasarkan sastra itu sendiri. Peneliti strukturalis biasanya mengandalkan pendekatan egosentrik yaitu pendekatan penelitian yang berpusat pada teks sastra itu sendiri. Penekanan strukturalis adalah memandang karya sastra sebagai teks mandiri. Penelitian dilakukan secara objektif yaitu menekankan aspek intrinsik karya sastra (Endraswara, 2013:25).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan analisis struktural adalah penguraian karya sastra atas bagian-bagian atau norma-normanya, atau atas unsur-unsur yang membangunnya. Dengan pendekatan tersebut karya sastra yang kompleks dan rumit dapat dipahami. Lewat pendekatan ini pula, dimungkinkan orang untuk memberikan penilaian terhadapnya. Karya sastra mempunyai sebuah sistem yang terdiri atas berbagai unsur pembangunnya. Untuk mengetahui unsur yang ada
43
dalam karya sastra itu sangat tepat jika penelaahan teks sastra diawali dengan pendekatan struktural.
Strukturalisme sering digunakan oleh peneliti untuk menganalisis seluruh karya sastra dimana kita harus memperhatikan unsur-unsur yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Struktur yang membangun sebuah karya sastra sebagai unsur estetika dalam analisis struktur dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1998:37).
Mulanya proses identifikasi terhadap plot, tokoh, penokohan, latar dan sudut pandang. Tahap selanjutnya penjelasan terhadap fungsi masing-masing unsur dalam menunjang makna keseluruhannya serta hubungan antar unsur intrinsik. Namun, penelitian ini menekankan pada dua unsur pembentuk karya sastra yang bersifat intrinsik. Unsur intrinsik tersebut adalah alur atau plot dan tokoh. Tetapi, tidak sampai pada fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik. Dipilihnya kedua unsur tersebut karena keduanya merupakan unsur isi dari sebuah karya sastra yang dapat membangun sebuah cerita yang menarik. Sehubungan dengan hal di atas, diharapkan dengan menganalisis kedua unsur tersebut dapat membantu mengungkapkan unsur pembangun cerita dalam karya sastra.
2.5.1 Strukturalisme Robert Stanton Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama- sama menghasilkan makna
44
menyeluruh (Teeuw, 1988:135). Pendekatan struktural yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural model Robert Stanton. Robert Stanton (2007:97), menyatakan bahwa untuk menganalisis novel sebaiknya dilihat terlebih dahulu prinsip kepaduan sebuah novel. Kepaduan di sini berarti seluruh aspek dari karya sastra harus berkontribusi penuh pada maksud utama atau tema.
Dengan demikian, pendekatan struktural memandang karya sastra sebagai suatu kesatuan yang utuh, terdiri dari unsur-unsur yang memiliki suatu keterkaitan dan dapat membentuk suatu makna yang menyeluruh. Robert Stanton menyatakan bahwa struktur karya sastra meliputi 3 kategori, yaitu: fakta cerita, sarana cerita, dan tema.
2.5.1.1. Fakta Cerita Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual cerita. Struktur faktual bukanlah hal terpisah dari sebuah cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22). 1. Alur Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena
45
akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan
sikap
karakter,
kilasan-kilasan
pandangannya,
keputusan-
keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya (Stanton, 2007:26).
Alur merupakan tulang punggung cerita. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa danya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya dengan elemen-elemen lain, alur memiliki hukum-hukum sendiri; alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis, dapat menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan (Stanton, 2007:28).
Dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Konflik utama selalu bersifat fundamental, membenturkan sifat-sifat dan kekuatankekuatan tertentu. Konflik semacam inilah yang menjadi inti struktur cerita, pusat yang pada gilirannya akan tumbuh dan berkembang seiring dengan alur yang terus-menerus mengalir dan disebut klimaks. Klimaks adalah saat ketika konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan
titik
yang
mempertemukan
kekuatan-kekuatan
konflik
dan
menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan (Stanton, 2007:32).
Sementara itu Nurgiyantoro (1995: 153-156) membedakan alur berdasarkan kriteria urutan waktu yaitu sebagai berikut.
46
1. Alur lurus yaitu jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa pertama diikuti oleh peristiwaperistiwa yang kemudian. Secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan
konflik),
tengah
(konflik
meningkat,
klimaks),
dan
akhir
(penyelesaian). Jika dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar plot tersebut akan berwujud sebagai berikut. A
B
C
D
E
Simbol A melambangkan tahap awal cerita, B-C-D melambangkan tahap tengah atau inti cerita, dan E merupakan tahap penyelesaian cerita. 2. Alur sorot balik yaitu jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat tidak kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Jika dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar plot tersebut akan berwujud sebagai berikut. D1
A
B
C
D2
E
Simbol D1 berupa awal cerita, A-B-C adalah peristiwa yang disorot balik, D2 (sengaja dibuat demikian untuk menegaskan pertalian kronologisnya dengan D1), dan E berupa kelanjutan langsung peristiwa cerita awal D1. 3. Alur campuran merupakan gabungan dari alur lurus dan alur sorot balik. Jika dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar plot tersebut akan berwujud sebagai berikut. E
D1
A
B
C
D2
47
A-B-C berisi inti cerita, diceritakan secara runtut-progresif kronologis yang mengantari adegan D1 dan D2 yang juga lurus kronologis, dan E merupakan kelanjutan dari D2 yang ditempatkan di awal dan menjadikan sebuah novel sorot balik atau flash back.
2. Karakter Karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, kartakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut (Stanton, 2007:33). Karakter utama yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Biasanya, peristiwa-peristiwa ini menimbulkan perubahan pada diri sang karakter atau pada sikap kita terhadap karakter tersebut. Alasan seorang karakter untuk bertindak sebagaimana yang ia lakukan dinamakan motivasi (Stanton, 2007:33). Karakter merupakan seseorang yang ada dalam sebuah cerita maupun sebuah drama. Karakter cerita menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam sebuah karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro 2002: 165). Penokohan atau penetapan karakter seseorang sebagai sosok berpengaruh sangatlah mewakili keberagaman masyarakat dalam sebuah perubahan sosial.Tak bisa dipungkiri, dalam sejarah dunia, perubahan sosial di masyarakat kerap
48
dilakukan seorang karakter yang dianggap berpengaruh, karismatis, jenius, atau berpandangan politik yang mampu memengaruhi publik.
Penokohan sebenarnya karakter yang kita ciptakan ditentukan oleh perwatakan yang kita berikan pada karakter tersebut. Mungkin saja nama karakternya sama, tetapi ketika kita beri perwatakan yang berbeda, maka karakter tersebut akan menjadi berbeda. Pemberian watak karakter ini merupakan seni tersendiri, yaitu seni ”mencipta” manusia. Karena dengan memberikan perwatakan seperti yang kita inginkan kita menciptakan ”manusia baru” dalam dunia yang kita ciptakan, yaitu ”dunia fiksi”.
Nurgiyantoro (2002: 176-194) membedakan karakter menjadi beberapa jenis, antara lain sebagai berikut. 1. Karakter Utama dan Karakter Tambahan 1). Karakter utama adalah karakter yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan karakter yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. 2). Karakter tambahan adalah karakter yang dalam keseluruhan cerita paling sedikit muncul, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan karakter utama baik secara langsung maupun tidak langsung. 2. Karakter Protagonis dan Karakter Antagonis 1). Karakter Protagonis adalah karakter yang dikagumi, yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero, karakter yang merupakan pengejawantahan norma-
49
norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. Karakter protagonist menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita. 2). Karakter Antagonis adalah karakter penyebab terjadinya koflik. Karakter Antagonis barangkali bisa disebut, beroposisi dengan karakter protagonis, secara langsung maupun tak langsung, bersifat fisik maupun batin. 3. Karakter Sederhana dan Karakter Bulat 1). Karakter Sederhana adalah karakter yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, suatu sifat-watak yang tertentu saja. Karakter sederhana adalah karakter yang stereotip, karakter yang tidak memiliki unsur kebaruan atau keunikannya sendiri. Karakter ini bersifat statis, wataknya sedikit sekali berubah, atau bahkan tidak berubah sama sekali (misalnya karakter kartun, kancil, film animasi). 2). Karakter bulat adalah karakter yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian, dan jati dirinya. Karakter bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena disamping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan (Abrams, 1981:20-21). 4. Karakter Statis dan Karakter Berkembang 1). Karakter Statis adalah karakter cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwaperistiwa yang terjadi. Karakter jenis ini tampak seperti kurang terlibat dan tak terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antarmanusia.
50
2). Karakter Berkembang adalah karakter cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun yang lain, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya. 5. Karakter Tipikal dan Karakter Netral 1). Karakter Tipikal adalah karakter yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya , atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Karakter tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau penunjukkan terhadap orang, atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga atau seorang individu sebagai bagian dari suatu lembaga, yang ada didunia nyata. 2). Karakter Netral adalah karakter cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan karakter imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi.
3. Latar Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah. Meski tidak langsung merangkum sang karakter utama, latar juga dapat merangkum orang-orang yang menjadi dekor dalam cerita (Stanton, 2007: 35).
51
Latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mood emosional yang melingkupi sang karakter. Tone emosional ini disebut dengan istilah atmosfer. Atmosfer bisa jadi merupakan cermin yang merefleksikan suasana jiwa sang karakter atau sebagai salah satu bagian dunia yang berada di luar diri sang karakter (Stanton, 2007: 36).
2.5.1.2 Sarana Cerita Sarana kesastraan (literary devices) adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi (Stanton, 2007: 46 47).
1. Judul Judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada sang karakter utama atau satu latar tertentu. Akan tetapi, bila judul tersebut mengacu pada satu detail yang tidak menonjol. Judul semacam ini acap menjadi petunjuk makna cerita bersangkutan (Stanton, 2007:51).
2. Sudut Pandang Pusat kesadaran tempat kita dapat memahami setiap peristiwa dalam cerita, dinamakan sudut pandang. Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama, yaitu (1) orang pertama-utama, sang karakter utama bercerita dengan
52
kata-katanya sendiri, (2) orang pertama-sampingan, cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan), (3) orang ketiga-terbatas, pengarang mengacu pada semua karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja, (4) orang ketiga-tidak terbatas, pengarang mengacu pada setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga (Stanton, 2007:53-54). Pengarang juga dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir saat tidak ada satu karakter pun hadir.
3. Gaya dan Tone Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjangpendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan metafora. Di samping itu, gaya juga bisa terkait dengan maksud dan tujuan sebuah cerita. Seorang pengarang mungkin tidak memilih gaya yang sesuai bagi dirinya akan tetapi gaya tersebut justru pas dengan tema cerita (Stanton, 2007:61-62).
Satu elemen yang amat terkait dengan gaya adalah tone. Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, atau penuh perasaan (Stanton, 2007:63).
53
4. Simbolisme Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Dalam fiksi, simbolisme dapat memunculkan tiga efek yang masing-masing bergantung pada bagaimana simbol bersangkutan digunakan. Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna peristiwa tersebut. Dua, satu simbol yang ditampilkan berulang- ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam semesta cerita. Tiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menemukan tema (Stanton, 2007:64-65).
5. Ironi Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya (Stanton, 2007:71). Dalam dunia fiksi, ada dua jenis ironi yang dikenal luas yaitu ironi dramatis dan tone ironis. Ironi dramatis atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan seorang karakter dengan hasilnya, atau antara harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi Tone ironis atau ironi verbal digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna dengan cara berkebalikan (Stanton, 2007:72).
2.5.1.3 Tema Tema merupakan aspek cerita yang sejajr dengan makna dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Sama seperti
54
makna pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir cerita akan menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema. Tema merupakan elemen yang relevan dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita (Stanton, 2007:37).
Tema hendaknya memenuhi beberapa kriteria: (1) selalu mempertimbangkan berbagai detail menonjol dalam sebuah cerita, (2) tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita yang saling berkontradiksi, (3) tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit), (4) diujarkan secara jelas oleh cerita bersangkutan (Stanton, 2007:45).
2.6 Representasi Perkembangan zaman yang semakin pesat membuat manusia semakin mudah mendapatkan sumber informasi dari segala sumber baik itu melalui media cetak, media elektronik, hingga sebuah karya sastra seperti cerpen, puisi atau novel. Media-media tersebut memiliki andil yang besar dalam membentuk dan membangun stereotip dalam pikiran masyarakat melalui bingkainya masingmasing yang merepresentasikan kehidupan sekitar masyarakat. Penyampaian yang dikemas sedemikian apik sehingga terkadang tidak menyadari bahwa sebenarnya itulah fakta yang terjadi di lingkungan sekitar.
Menyimak lebih jauh tentang penggambaran atau representasi. Banyak hal yang sebenarnya dikiaskan dengan tanda atau simbol lain dengan maksud tertentu.
55
Maksud dan tujuan digunakannya tanda pun bermacam ada yang dengan sengaja untuk mengalihkan atau memberikan isyarat atau memberikan semacam sinyal yang hanya diketahui oleh individu, kelompok ataupun masyarakat dimana mereka memiliki pengetahuan yang sama.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia representasi dimaknai sebagai perbuatan mewakili (penggambaran) terhadap suatu objek (KBBI, 1989:744). Representasi merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta sebuah objek sehingga eksplorasi makna dapat dilakukan dengan maksimal (Ratna, 2005: 612). Jika dikaitkan dengan bidang sastra, maka representasi dalam karya sastra lebih diartikan sebagai penggambaran karya sastra terhadap suatu fenomena sosial. Penggambaran ini tentu saja melalui pengarang sebagai kreator. Representasi dalam sastra muncul sehubungan dengan adanya pandangan atau keyakinan bahwa karya sastra sebetulnya hanyalah merupakan cermin, gambaran, bayangan, atau tiruan kenyataan. Dalam konteks ini karya sastra dipandang sebagai penggambaran yang melambangkan kenyataan (mimesis) (Teeuw, 1984:220).
Plato mengungkapkan bahwa seni (sastra) melalui mimesis melakukan penggambaran melalui ide pendekatan sehingga apa yang dihasilkan tidak sama persis dengan kenyataan. Seni hanya dapat menggambarkan dan membayangkan hal-hal dalam kenyataan, seni berdiri di bawah kenyataan itu sendiri (Teeuw, 1984: 220). Aristoteles juga mengungkapkan bahwa seni melalui mimesis melakukan proses representasi fakta-fakta sosial. Proses representasi yang terjadi
56
dalam seni tidak semata-mata meniru kenyataan seperti pantulan gambar cermin, tetapi melibatkan renungan yang kompleks atas kenyataan alam.
Dalam pandangan Aristoteles, seni bekerja seperti sejarah, yakni menghadirkan peristiwa atau kenyataan faktual dan khusus. Di samping itu, seni juga harus mampu menunjukkan ciri-ciri general dan universalnya yang berlaku untuk zaman kapan pun (Teeuw, 1984:222). Karya sastra sebagai bagian dari seni mengambil bahan dari masyarakat, bahan yang dimaksud adalah fakta-fakta sosial. Faktafakta sosial yang ada dengan sendirinya dipersiapkan dan dikondisikan oleh masyarakat, eksistensinya selalu dipertimbangkan dalam antarhubungannya dengan fakta sosial yang lain, yang juga telah dikondisikan secara social.
Poses representasi yang dilakukan pengarang dalam karyanya menggunakan bahasa sebagai media. Karya sastra memiliki kelebihan dalam menggambarkan kenyataan sosial. Dengan memanfaatkan kualitas manipulatif medium bahasa, karya sastra mampu menggambarkan sesuatu yang sama dengan cara yang berbeda. Melalui bahasa, dunia sosial dikukuhkan dan sekaligus dipelihara. Melalui bahasa pula, dunia sosial yang objektif diinternalisasikan ke dalam kesadaran subjektif para warga dunia sosial.
Representasi yang merupakan kajian utama dalam cultural studies sendiri dimaknai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu. Giles dan Tim Middleton setidaknya memberikan tiga definisi dari kata ‘to represent’, yakni:
57
1. to stand in for. Hal ini dapat dicontohkan dalam kasus bendera suatu negara, yang jika dikibarkan dalam suatu event olahraga, maka bendera tersebut menandakan keberadaan negara yang bersangkutan dalam event tersebut. 2. to speak or act on behalf of. Contoh kasusnya adalah Paus menjadi orang yang berbicara dan bertindak atas nama umat Katolik. 3. to re-present. Dalam arti ini, misalnya tulisan sejarah atau biografi yang dapat menghadirkan kembali kejadian-kejadian di masa lalu. (Giles dan Tim Middleton, 1999:55-57)
Dalam prakteknya, ketiga makna dari representasi ini dapat saling tumpang tindih. Oleh karena itu, untuk mendapat pemahaman lebih lanjut mengenai apa makna dari representasi dan bagaimana caranya beroperasi dalam masyarakat budaya, teori Hall akan sangat membantu.
Menurut Hall dalam bukunya Representation: Cultural Representation and Signifying Practices, “Representation connects meaning and language to culture. . . . Representation is an essential part of the process by which meaning is produced and exchanged between members of culture.” (Hall, 2003:17)
Melalui representasi, suatu makna diproduksi dan dipertukarkan antar anggota masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa, representasi secara singkat adalah salah satu cara untuk memproduksi makna. Representasi bekerja melalui sistem representasi. Sistem representasi ini terdiri dari dua komponen penting, yakni konsep dalam pikiran dan bahasa. Kedua komponen ini saling berelasi. Konsep
58
dari sesuatu hal yang kita miliki dalam pikiran kita, membuat kita mengetahui makna dari hal tersebut.
Namun, makna tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa. Sebagai contoh sederhana, kita mengenal konsep ‘gelas’ dan mengetahui maknanya. Kita tidak akan dapat mengomunikasikan makna dari ‘gelas’ (misalnya, benda yang digunakan orang untuk minum) jika kita tidak dapat mengungkapkannya dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh orang lain. Oleh karena itu, yang terpenting dalam sistem representasi ini pun adalah bahwa kelompok yang dapat berproduksi dan bertukar makna dengan baik adalah kelompok tertentu yang memiliki suatu latar belakang pengetahuan yang sama sehingga dapat menciptakan suatu pemahaman yang (hampir) sama.
Menurut Stuart Hall, berpikir dan merasa juga merupakan sistem representasi. Sebagai sistem representasi berarti berpikir dan merasa juga berfungsi untuk memaknai sesuatu. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan hal tersebut, diperlukan latar belakang pemahaman yang sama terhadap konsep, gambar, dan ide (cultural codes).
Dalam Theory of Representation, Stuart Hall (1997:25) memberikan tiga pendekatan untuk menjelaskan bagaimana representasi dari bahasa menghasilkan sebuah makna. Ketiga pendekatan tersebut adalah the reflective, the intentional dan the constructionis (contructionist approach). Di dalam the reflective approach, makna ditujukan untuk mengelabuhi objek yang dimaksudkan, baik itu orang, ide ataupun suatu kejadian di dunia yang nyata, dan fungsi bahasa sebagai
59
cermin, untuk merefleksikan maksud sebenarnya seperti keadaan yang sebenarnya di dunia. Sedangkan intentional approach merupakan pendekatan yang berkaitan erat dengan pembicara atau penulis yang menekankan pada diri sendiri mengenai pemaknaan yang unik di dunia ini melalui bahasa. Kata-kata yang dihasilkan memiliki makna sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis.
Terakhir, contructionist approach menurut Hall yaitu: " Konstruktivis tidak menyangkal keberadaan dunia materi . Namun, bukan dunia materi yang menyampaikan makna: itu adalah sistem bahasa atau apa pun sistem yang kita gunakan untuk mewakili konsep-konsep kita. Ini adalah aktor sosial yang menggunakan sistem konseptual budaya dan sistem representasi linguistik lainnya untuk membangun makna, untuk membuat dunia yang berarti dan untuk berkomunikasi tentang dunia yang penuh makna kepada orang lain." (Hall, 2003:27) Pemaknaan terhadap sesuatu dapat sangat berbeda dalam budaya atau kelompok masyarakat yang berlainan karena pada masing-masing budaya atau kelompok masyarakat tersebut ada cara-cara tersendiri dalam memaknai sesuatu. Kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang pemahaman yang tidak sama terhadap kode-kode budaya tertentu tidak akan dapat memahami makna yang diproduksi oleh kelompok masyarakat lain.
Makna tidak lain adalah suatu konstruksi. Manusia mengonstruksi makna dengan sangat tegas sehingga suatu makna terlihat seolah-olah alamiah dan tidak dapat diubah. Makna dikonstruksi melalui sistem representasi dan difiksasi melalui kode. Kode inilah yang membuat masyarakat yang berada dalam suatu kelompok budaya yang sama mengerti dan menggunakan nama yang sama, yang telah melewati proses konvensi secara sosial.
60
Misalnya, ketika kita memikirkan ‘rumah’, maka kita menggunakan kata RUMAH untuk mengkomunikasikan apa yang ingin kita ungkapkan kepada orang lain. Hal ini karena kata RUMAH merupakan kode yang telah disepakati dalam masyarakat kita untuk memaknai suatu konsep mengenai ‘rumah’ yang ada di pikiran kita (tempat berlindung atau berkumpul dengan keluarga). Kode, dengan demikian, membangun korelasi antara sistem konseptual yang ada dalam pikiran kita dengan sistem bahasa yang kita gunakan.
Teori representasi seperti ini memakai pendekatan konstruksionis, yang berargumen bahwa makna dikonstruksi melalui bahasa. Menurut Stuart Hall dalam
artikelnya,
“things
don’t
mean:
we
construct
meaning,
using
representational systems-concepts and signs.” (Hall, 2003:25). Oleh karena itu, konsep (dalam pikiran) dan tanda (bahasa) menjadi bagian penting yang digunakan dalam proses konstruksi atau produksi makna.
Jadi dapat disimpulkan bahwa representasi adalah suatu proses untuk memproduksi makna dari konsep yang ada dipikiran kita melalui bahasa. Proses produksi makna tersebut dimungkinkan dengan hadirnya sistem representasi. Namun, proses pemaknaan tersebut tergantung pada latar belakang pengetahuan dan pemahaman suatu kelompok sosial terhadap suatu tanda. Suatu kelompok harus memiliki pengalaman yang sama untuk dapat memaknai sesuatu dengan cara yang nyaris sama.
61
2.7 Teori Pemerintahan Negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat (Mahfud, 2000:64). Mengenai tugas negara dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, negara harus memberikan perlindungan kepada penduduk dalam wilayah tertentu. Kedua, Negara mendukung atau langsung menyediakan berbagai pelayanan kehidupan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Ketiga, negara menjadi wasit yang tidak memihak antara pihak-pihak yang berkonflik dalam masyarakat serta menyediakan suatu sistem yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam hubungan kemasyarakatan (Pudyatmoko, 2009:1).
Tugas negara menurut faham modern sekarang ini (dalam suatu Negara Kesejahteraan atau Social Service State), adalah menyelenggarakan kepentingan umum untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya berdasarkan keadilan dalam suatu Negara Hukum. Dalam mencapai tujuan dari negara dan menjalankan negara, dilaksanakan oleh pemerintah. Mengenai pemerintah, terdapat dua pengertian, yaitu pemerintah dalam arti luas dan pemerintah dalam arti sempit.
Pemerintah dalam arti luas (regering) adalah pelaksanaan tugas seluruh badanbadan, lembaga-lembaga dan petugas-petugas yang diserahi wewenang mencapai tujuan Negara Sedangkan, pemerintah dalam arti sempit (bestuur) mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan (Purbopranoto,
62
1981:1).
Mengenai pembagian pengertian dari pemerintah ini, juga terdapat dalam
buku SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, namun terdapat sedikit perbedaan rumusan mengenai arti pemerintah dalam arti luas maupun dalam arti sempit.
Pengertian pemerintah dalam arti sempit adalah organ/alat perlengkapan negara yang diserahi tugas pemerintahan atau melaksanakan undang-undang. Dalam pengertian ini pemerintah hanya berfungsi sebagai badan Eksekutif (Bestuur). Pemerintah dalam arti luas adalah semua badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan di dalam negara baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif dan yudikatif (Marbun, 2006:8). Dari uraian mengenai pengertian pemerintah di atas, maka dalam tulisan ini yang dimaksud pemerintah adalah pemerintah dalam arti luas.
Hal ini mengingat, bentuk pemerintahan Indonesia saat pasca kemerdekaan, tepatnya dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia saat itu masih berbentuk parlementer. Dimana seorang Mohammad Hatta bertindak sebagai kepala pemerintahan yang mengatur Negara secara absolut. Sedangkan Ir Soekarno kala itu merupakan sosok kepala Negara yang menjadi presiden sekaligus simbol Negara.
Artinya, pada saat itu hingga diberlakukannya sistem pemerintahan presidensial tahun 1950 dan diberlakukannya kembali UUD 1945, seluruh kebijakan politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan dan keamanan berada di tangan perdana
63
menteri. Dalam hal ini, ditangani oleh kepala departemen yang bertanggungjawab kepada perdana menteri.
2.7.1 Konsep Pemerintahan Darurat Pemerintahan darurat berasal dari dua kata yaitu pemerintahan dan darurat. Pemerintahan adalah perbuatan, cara, hal dan urusan dalam memerintah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia darurat adalah keadaan terpaksa yang terjadi akibat peperangan ataupun bencana (Poerwadarminta, 2006 : 267).
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintahan darurat adalah pemerintahan yang dibentuk karena dalam keadaan terpaksa yang terjadi akibat perang.
Keadaan darurat atau biasa dikenal dengan sebagai staat van oorlog en beleg (SOB). Yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai state of emergency adalah suatu pernyataan dari pemerintah yang bisa mengubah fungsi fungsi pemerintahan, memperingatkan warganya untuk mengubah aktfitas atau memerintahkan badan badan pemerintah atau negara untuk menggunakan rencana-rencana penanggulangan terhadap keadaan darurat yang mengancam. (Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Keadaan_darurat diakses tanggal 25 Mei 2015 Pukul 21.10 WIB)
Menurut Herman Sihombing hukum tata negara dalam keadaan bahaya yakni : Sebuah rangkaian pranata dan wewenang secara luar biasa dan istimewa untuk dalam waktu sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan keadaan darurat atau
64
bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan biasa menurut perundangundangan dan hukum yang umum dan biasa. Dalam sebuah pemerintahan kadangkala terjadi sebuah keadaan yang tidak dapat diprediksi dan bersifat mendadak. Keadaan demikan sering menimbulkan keadaan darurat. Keadaan darurat disini berarti keadaan yang dapat menimbulkan akibat yang tidak dapat diprediksi. Ketika keadaan darurat terjadi maka pranata hukum yang ada terkadang tidak berfungsi untuk menjangkaunya. Untuk itulah dibutuhkan perangkat aturan hukum tertentu yang dapat melakukan pengaturan dalam keadaan darurat.( http://id.wikipedia.org/wiki/Keadaan_darurat diakses tanggal 25 Mei 2015 Pukul 21.10 WIB).
Menurut Jimly Asshidiqie ada delapan asas dalam pemberlakuan keadaan darurat suatu negara, yaitu: 1. Asas Proklamasi Keadaan darurat harus diumumkan atau diproklamirkan kepada seluruh masyarakat, dan apabila keadaan darurat tersebut tidak diproklamirkan maka tindakan yang diambil tidak mendapat keaabsahan. 2. Asas Legalitas Asas legalitas disini berkaitan dengan tindakan yang diambil oleh negara dalam keadaan darurat, tindakan yang diambil harus tetap dalam koridor hukum baik hukum nasional maupun hukum internasional.
65
3. Asas Komunikasi Negara yang mengalami keadaan darurat harus mengkomunikasikan keadaan tersebut kepada seluruh warga negara.Selain itu juga harus memberitahukan kepada negara lain secara resmi. 4. Asas Kesementaraan Dalam penetapan keadaan darurat harus ada kepastian hukum yakni jangka waktu pemberlakuan keadaan darurat.Yaitu mengenai awal pemberlakuan hingga waktu berakhirnya. 5. Asas Keistimewaan Ancaman Krisis menimbulkan keadaan darurat harus benar benar terjadi atau minimal mengandung potensi bahaya yang siap mengancam negara.Ancaman tersebut harus bersifat istimewa karena menimbulkan ancaman terhadap kehidupan. 6. Asas Proporsional Tindakan yang diambil harus sesuai dengan gejala yang terjadi.Jangan sampai negara mengambil tindakan yang tidak sesuai dan cenderung berlebihan. 7. Asas Intangibility Asas ini terkait dengan Hak Asasi Manusia.Dalam keadaan darurat pemerintah tidak boleh tidak boleh membubarkan organ pendampingnya yakni legislatif dan yudikatif. 8. Asas Pengawasan Pemberlakuan keadaan darurat juga harus mendapatkan pengawasan dan kontrol. Harus
mematuhi
prinsip
negara
hukum
dan
demokrasi
66
(http://id.wikipedia.org/wiki/Keadaan darurat diakses tanggal 25 Juni 2015 Pukul 21.10 WIB).
Sementara itu, substansi pengertian negara dalam keadaan darurat diterjemahkan kedalam tiga kategori yaitu: 1. Keadaan Darurat Sipil (KDS) Keadaan ini merujuk pada suatu peristiwa yang timbul dari pergerakan sosial arus bawah ke atas,sebagai suatu gerakan yang timbul dari gejala kesenjangan sosial. 2. Keadaan Darurat Militer (KDM) Keadaan ini merujuk pada suatu peristiwa yang berasal dari dalam internal angkatan bersenjata sendiri oleh fenomena dualisme dalam puncak pimpinan kemiliteran yang pro dan kontra. 3. Keadaan Darurat Perang (KDP) Keadaan ini lebih merujuk pada suatu keadaan yang tergolong genting, yang harus segera ditindaklanjuti melalui suatu komando dipundak presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan beserta MenHanKam dalam hal pengambilan keputusan menyatakan perang dan tindakan lainnya yang berguna untuk menyelamatkan Negara. (Amos, 2005:201).
Berdasarkan teori darurat tersebut maka pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia adalah sesuai dengan teori tentang Keadaan Darurat Perang (KDP) yaitu terjadinya Agresi Militer Belanda. Hal ini dapat dilihat dari bahwa yang melatar belakangi keluarnya mandat presiden Soekarno kepada Mr.Sjafrudin
67
Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera adalah terjadinya perang antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi di Yogyakarta.
2.7.2 Pelaksanaan Pemerintahan Darurat Pelaksanaan adalah perbuatan atau usaha untuk melaksanakan (Poerwadarminta, 2006:650). Jadi pelaksanaan pemerintahan darurat adalah perbuatan atau usaha untuk melaksanakan pemerintahan yang terjadi karena dalam keadaan darurat. Menurut teori tentang asas pemberlakuan keadaan darurat yaitu asas pengawasan bahwa dalam keadaan darurat juga harus mendapat pengawasan, kontrol dan harus mematuhi prinsip hukum dan demokrasi. Indonesia adalah negara demoksasi, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Menurut Hans Kelsen seperti dikutip Kansil terdapat tiga cara untuk melaksanakan sistem demokrasi : 1. Yang melaksanakan kekuasaan negara demokrasi adalah wakil rakyat yang terpilih dimana rakyat yakin bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan dalam melaksanakan keputusan tersebut 2. Caranya melaksanakan kekuasaan negara demokrasi adalah senantiasa mengingat kehendak dan keinginan rakyat. Jadi dalam melaksanakan kekuasaan negara tidak bertentangan dengan kehendak dan kepentingan rakyat 3. Banyaknya kekuasaan negara demokrasi yang boleh melaksanakan tidaklah dapat ditentukan dengan angka angka akan tetapi sebanyak mungkin untuk memperoleh hasil yang diinginkan rakyat (Kansil, 1986:40).
68
Berdasarkan
pendapat
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
pelaksanaan
pemerintahan darurat harus sesuai dengan prinsip demokrasi. Pada penelitian ini pelaksanaan pemerintahan darurat yang dilaksanakan di Bukit Tinggi tahun 1948 – 1949 adalah harus sesuai dengan prinsip Demokrasi mengingat Syarifuddin Prawiranegara yang merupakan Ketua PDRI dipilih secara langsung oleh pejabat tinggi yang ada di Sumatera Barat. Prawiranegara dinilai sosok paling cakap diantara kandidat lain yang memiliki kematangan dalam karier politik.
2.7.3 Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Pemimpin republik di Jawa telah menduga kemungkinan agresi Belanda II dan telah membuat rencana menghadapi kemungkinan itu. Pada bulan November 1948, wakil presiden Hatta mengajak Mr. Syafruddin Prawiranegara yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran ke Bukittinggi. Sementara Hatta kembali ke Yogyakarta, Syafruddin tetap tinggal untuk mempersiapkan kemungkinan pembentukan sebuah pemerintahan darurat di Sumatra seandainya ibu kota Republik di Jawa jatuh ke tangan Belanda.
Pertengahan Desember 1948, perdana menteri India Jawaharlal Nehru mengirim sebuah pesawat untuk membawa Soekarno dan Hatta keluar Jawa. Dalam perjalanan keluar Jawa, pesawat itu akan singgah di Bukitinggi, di sini Hatta akan tinggal untuk mengepalai pemerintahan darurat sementara presiden Soekarno terbang ke New Delhi, dan dari sana ke New York mengajukan masalah Republik ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tetapi sebelum pesawat Nehru sampai di Yogyakarta, pesawat tersebut tertahan di Singapura karena pemerintah Belanda
69
menolak member izin melintasi daerah mereka dan memberikan hak mendarat di Jakarta. Jadi, Soekarno dan Hatta masih berada di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember ketika belanda menyerang dan menduduki kota itu.
2.7.3.1 Masa Sebelum Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Awal mula lahirnya pemerintahan darurat republik Indonesia tidak bisa lepas dari agresi militer Belanda kedua. Sebuah serangan yang yang menjadi awal pengkhianatan Belanda atas apa yang disepakati dalam perundingan Renville, dimana Belanda dan Indonesia harus melaksanakan gencatan senjata dan menyerahkan urusan perdamaian kepada Komisi Jasa Baik atau Komisi Tiga Negara bentukan PBB.
Alih-alih menerima menyepakati dan patuh atas perjanjian yang telah dibuat, Belanda justru memilih melancarkan aksi polisionil bersandi Gagak Hitam pada 19 Desember 1948 di Yogyakarta. Syafruddin Prawiranegra yang merupakan menteri kemakmuran sedang berada di Bukitinggi, kala itu mendengar berita serangan Belanda ke Yogyakarta hanya bualan. Syafruddin pada mulanya tidak percaya bahwa pemerintahan Republik dapat hancur sedemikian cepatnya atau bahwa hampir semua anggota cabinet, termasuk Soekarno dan Hatta telah membiarkan diri mereka tertahan.
Pada kenyataannya, Belanda hanya butuh kurang dari sehari menghancurkan Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu. Serangan ini dilakukan oleh pihak Belanda sebagai serangan terakhir yang bertujuan untuk menghancurkan Republik Indonesia. Dengan pasukan lintas udara, serangan langsung ditujukan ke ibu kota
70
Republik Indonesia, Yogyakarta. Lapangan terbang Maguwo dapat dikuasai Belanda, dan selanjutnya seluruh kota Yogyakarta. Dengan keberhasilan ini maka Belanda beranggapan bahwa mereka dapat dengan mudah menduduki dan melumpuhkan ibu kota Republik Indonesia. Dengan adanya Agresi Militer II ini secara fisik Belanda berhasil menangkap dan menawan Presiden Soekarno yang diterbangkan ke Prapat dan kemudian dipindahkan ke Bangka, Wakil Presiden Mohammad Hatta yang diasingkan di Bangka, dan beberapa petinggi lainnya seperti Agus Salim (Menteri Luar Negeri), Mohammad Roem dan beberapa menteri lainnya.
Sebelum para petinggi Republik Indonesia ini di tawan oleh pihak Belanda, mereka mengadakan sidang Kabinet dan mengambil sebuah keputusan untuk memberikan mandat melalui radiogram yang akan dikirimkan kepada Menteri Kemakmuran yaitu Mr. Syarifuddin Prawiranegara
yang sedang berada di
Sumatera. Mandat atau materi kawat ini dikirim pada menit-menit terakhir sebelum Soekarno-Hatta ditawan. Mandat tersebut berisikan agar Mr. Syarifuddin Prawiranegara mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Dengan tertangkapnya para petinggi Republik Indonesia lantas tidak berarti bahwa pemerintah Republik Indonesia telah berakhir. Pada umumnya tentara Republik Indonesia tidak dapat memahami alasan menyerahnya para politisi sipil pada Belanda sementara para prajurit mengorbankan jiwa mereka demi Republik. Seluruh kekuatan TNI yang ada di Yogyakarta di perintahkan keluar kota untuk bergerilya. Pasukan-pasukan Republik Indonesia mengundurkan diri ke luar kota-
71
kota dan memulai perang gerilya secara besar-besaran di kedua belah garis Van Mook. Selain menteri kawat yang dikirimkan kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara, wakil presiden Mohammad Hatta dan Menteri Luar Negeri Hadji Agoes Salim mengirim Kawat kedua kepada Dr. Soedarsono, A.N. Palar, Mr. A.A. Maramis di New Delhi.
Materi kawat atau radiogram itu ternayata tidak pernah diterima oleh Mr. Syarifuddin, hal ini diperkirakan bahwa dalam keadaan perang itu sangat dituntut mobilitas yang tinggi dengan berpindah-pindah kedudukan yang dimaksudkan untuk menghindari serangan dari lawan. Kekhawatiran inilah yang menyebabkan Hatta mengirimkan radiogram kepada Dr. Sudardono, A.N. Palar, Mr. A.A. Maramis. Namun, kontroversi mengenai sampai tidaknya radiogram itu berhenti pada tanggal 22 Desember 1948, ketika di desa Halaban, dekat Payakumbuh, Sumatra Barat, diadakan rapat dengan beberapa tokoh, yang akhirnya memutuskan
untuk
membentuk
pemerintah
darurat.
Mr.
Syafruddin
Prawiranegara, terpilih sebagai PDRI dan pada tanggal 31 Maret 1949 berhasil membentuk pemerintah darurat. Susunan Kabinet PDRI 1.
Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan
Penerangan 2.
Mr. Soesanto Tirtoprodjo: Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan
Menteri Pembangunan dan Pemuda 3.
Mr. AA. Maramis: Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India)
4.
dr. Soekirman: Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan
72
5.
Mr. Loekman Hakiem: Menteri Keuangan
6.
Mr. IJ. Kasimo: Menteri Kemakmuran dan Pengawas Makanan Rakyat
7.
KH. Masjkoer: Menteri Agama
8.
Mr. T. Moh. Hasan: Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
9.
Ir. Indratjahja: Menteri Perhubungan
10. Ir. Mananti Sitompoel: Menteri Pekerjaan Umum 11. Mr. St. Moh. Rasjid: Menteri Perburuhan dan Sosial
Sejak itu PDRI memainkan peranan penting dan menjamin bahwa perjuangan melawan Belanda tetap di pimpin oleh pemerintahan yang sah yang di akui oleh republik di seluruh nusantara. PDRI merupakan symbol nasional dan faktor pemersatu, khususnya bagi pasukan gerilya yang terpencar di seluruh Jawa dan Sumatra, karena pemerintahan Syafruddin diakui oleh pasukan Republik (dibawah panglima besar sudirman). Sebagai pengganti yang sah dari pemerintahan Soekarno dan Hatta.
2.7.3.2 Masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Pemerintahan darurat republic Indonesia secara resmi dibentuk di bukit Halaban. Di tengah hutan Sumatera ini, Syafruddin Prawiranegara dan tokoh republic melanjutkan roda pemerintahan Indonesia yang baru saja mendapatkan kemerdekaannya. Namun ditengah agresifnya serangan Belanda yang juga menyasar Bukittinggi yang tidak termasuk dalam daerah garis Van Mook, Syafruddin dan tokoh lain harus meninggalkan Halaban.
73
Pemimpin republik berpencar. Syafruddin dan kebanyakan menterinya berangkat ke selatan untuk mendirikan pemerintahan mobil di Bidar Alam, di perbatasan Sumatra barat dengan Jambi. Kolonel Hidayat dan komandemen militer Sumatra berangkat ke utara, berhenti untuk beberapa minggu di Rao, di bagian utara Sumatra barat dan kemudian melanjutkan “long march” ke Aceh disana Hidayat membentuk markas komando, militer Sumatra di daerah yang tidak pernah terjamah oleh Belanda. Mr. Rasjid dan anggota pemerintahan Sumatra Barat pindah ke Kototinggi, suatu nagari di pegunungan di luar Suliki, sebelah utara Payakumbuh. Ia ditemani oleh Chatib Sulaiman dan Anwan Sutansaidi, sampai disana 24 desember dan membentuk pemerintahan militer Sumatra barat di kantor perwakilan nagari.
Setelah ditawannya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta dan beberapa Menteri lainnya. Sesuai dengan rencana awal dalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948 bahwa seluruh kekuatan TNI yang masih ada di Yogyakarta diperintahkan ke luar kota untuk melakukan gerilya. Angkatan perang yang telah membagi wilayah pertahanan republik menjadi dua komando, yaitu Jawa dan Sumatra siap melaksanakan rencana di bidang pemerintahan tersebut. Untuk melancarkan rencananya telah disiapkan konsepsi baru dalam bidang pertahanan. Konsepsi tersebut dituangkan dalam perintah siasat nomor 1 tahun 1948 yang pokok isinya adalah sebagai berikut: 1.
Tidak melakukan pertahanan yang linear
2.
Memperlambat setiap majunya serbuan musuh dan pengungsian total, serta
bumi hangus total
74
3.
Membentuk kantong-kantong di tiap onderdistrik yang mempunyai
kompleks di beberapa pegunungan, dan 4.
Pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal menyusup ke
belakang garis musuh dan membentuk kantong-kantong sehingga seluruh pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.
Siasat ini berhasil untuk melawan Belanda yang bersenjatakan lengkap. Perlahan TNI bergerilya ke luar Yogyakarta. Di Jawa, berdasarkan siasat tersebut berlangsung long march Siliwangi yang sangat terkenal. Sejumlah 11 Bathalion Divisi Siliwangi dengan keluarga mereka dan penduduk lainnya mulai bergerak kembali ke Jawa Barat dengan jalan kaki. Namun, setibanya di Jawa Barat mereka dihadang oleh Tentara Islam Indonesia yang dipimpin oleh Kartosuwiryo. Namun, setelah dua bulan melakukan long march, mereka berhasil untuk menguasai atau memperoleh kedudukan di Jawa Barat sesuai dengan yang diharapkan.
Berkat Perjuangan Mr. Syafruddin Prawiranegara dengan PDRI di Bukittinggi Sumatra Barat dan exile government di India, serta perjuangan A.N. Palar selaku wakil Indonesia di PBB, menyebabkan dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi pada tanggal 28 Januari 1949.
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1949 terjadilah serangan umum terhadap kota Yogyakarta yang diduduki oleh Belanda ketika itu. Penyerangan inii dilakukan oleh TNI dan dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Komandan Brigade 10 daerah
wehrkreise ketiga
yang membawahi
daerah
Yogyakarta.
Awal
penyerangan ini dibentuk sektor-sektor untuk mempermudah pengepungan.
75
Seckor barat dipimpin oleh major Fentje Sumual, sektor untuk selatan dan timur dipimpin oleh major Sarjono, sektokr utara dipimpin oleh major Kusno. Untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki. Serangan dilakukan dari berbagai penjuru kota, sehingga dalam waktu 6 jam Yogyakarta behasil di kepung dan di kuasai oleh TNI. Dan serangan umum ini berhasil mencapai tujuannya yaitu mendukung perjuangan secara diplomasi dan meninggikan moral rakyat serta TNI
yang sedang bergerilya, menunjukkan
kepada dunia Internasional bahwa TNI mempunyai kekuatan yang mampu mengadakan ofensif serta mematahkan moral pasukan Belanda.
2.7.3.3 Masa Akhir Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Belanda menerima himbauan PBB supaya mengadakan gencatan senjata pada tanggal 31 Desember 1948 di Jawa dan tanggal 5 Januari 1949 di Sumatra, tetapi perang gerilya terus berlangsung. Sebagian besar satuan tentara beroperasi secara otonom selama perang gerilya ini. Di samping banyak kemenangan kecil mereka atas pihak Blanda, pasukan-pasukan Republik yang berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto mendapat suatukemenangan besar ketika mereka berhasil merebutkembali dan menguaasai Yogyakarta selama eman jam pada tanggal 1 Maret 1949. (Ricklefs, 349)
PBB dan Amerika Serikat mulai mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Belanda. Dengan memberikan berbagai tekanan dan ancaman yang dilakukan oleh militer Rrepublik dan Amerika Serikat, akhirnya pada bulan April Belanda telah sepakat untuk menyerah , tetapi mendesak untuk mengadakan perbincangan-
76
perbincangan dengan pemerintah Republik. Pada tangal 6 Juli 1949 pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.
Berakhirnya keperintahan PDRI ini kemudian berkaitan erat dengan perundingan Roem-Royen dimana Belanda menyetujui pemerintahan republik ke Yogyakarta. Dan membebaskan tahanan
politik yang ditahan sejak 19 Desember 1948
tersebut, hal ini juga berarti pemerintahan kedaulatan akan segera di serahkan oleh Belanda kepada Padaris, ditambah dengan menginggalnya Panglima Militer Belanda Simon H. Spoor yaitu salah satu tokoh yang memprakarsai perebutan kedaulatan pemerintah Indonesia.
Walaupun begitu, pertahanan Indonesia di Sumatra tak sepenuhnya aman Belanda yang berkubu di Bukittinnggi beruasaha berkali-kali mengusir pasukan kita yang berpangkal di Palupuh. Hingga sampai pada penyerahan kedaulatan oleh Belanda ke Republik Indonesisa. Pertempuran-pertempuran tidak sering terjadi terlebih setelah gerakan gencatan senjata Belanda yang tertuju pada keamanan saja.
Beberapa tokoh agak sedikit bertentangan dengan delegasi-delegasi Belanda yang berdampak pada putusan pengembalian mandat PDRI kepada pemerintahan di Yogyakarta. Pemerintahan yang berlangsung kurang lebih selama 7 bulan ini berakhir ketika penyerahan mandat dari PDRI kepada Hatta pada tanggal 14 Juli 1948. Setelah perjanjian Roem-Royen disahkan dimana Hatta dan Natsir meyakinkan
Prawiranegara
untuk
pemerintahan yang ada pada saat itu.
datang
dan
menyelesaikan
duailisme
77
Dengan adanya PDRI dan Mr. Sjafruddin dipilih sebagai pejabat Presiden sementara maka eksistensi Negara Indonesia tetap ada serta merdeka dan berdaulat karena dihadapan pemerintah Belanda, pemerintahan RI de facto di pimpin oleh Soekarno dari penjara, meskipun sebenarnya de jure pemerintahan berada di tangan Syafruddin Prawiranegara dan kedudukan Soekarno yang berada dalam tahanan bukan lagi sebagai kepala Negara yang merdeka dan berdaulat. Jadi, dengan diberikan mandat dari Presiden kepada kepala pemerintahan darurat RI maka posisi Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat Presiden sementara (Ketua PDRI) dan bukan dianggap sebagai Presiden RI yang utuh karena ia hanya sebagai pemegang jabatan sementara saja berdasarkan mandat yang diterimanya dari mandatory yaitu Presiden Pertama RI sendiri. Maka dari fakta sejarah ini, Mr. Syafruddin
Prawiranegara
tidak
menyalahgunakan
amanah
pembentukan
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) untuk mengangkat dirinya sebagai Presiden PDRI melainkan hanya sebagai ketua PDRI.
2.7.4 Representasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dalam Novel
Presiden Prawiranegara. Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia karya Akmal Nasery Basral
Kaitannya dengan representasi pemerintahan darurat, penulis menjelaskan landasan berpikir yang akan dituangkan pada Bab Pembahasan. Landasan berpikir yang penulis pilih ialah pengambilan arti berbagai bidang yang termasuk dalam kebijakan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia seperti politik, ekonomi,
78
sosial,
dan pertahanan keamanan yang diambil dari Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) dan kemudian diartikan secara teknis. Artinya penulis menjelaskan arti bidang kebijakan pemerintahan tersebut secara leksikal dan secara teknis. 1. Politik, secara leksikan memiliki arti berupa pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti sistem pemerintahan dan dasar pemerintahan (KBBI,886). Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain: politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles) Pengertian Politik atau definisi dan makna politik secara umum yaitu sebuah tahapan dimana untuk membentuk atau membangun posisi-posisi kekuasaan didalam masyarakat yang berguna sebagai pengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan kondisi masyarakat. Kata Politik ini berasal dari bahasa Yunani yaitu polis dan teta. Arti dari kata polis sendiri yaitu kota/negara sedangkan untuk kata teta yaitu urusan. Jika dilihat secara Etimologis yaitu kata "politik" ini masih memiliki keterkaitan dengan kata-kata seperti "polisi" dan "kebijakan". Melihat kata "kebijakan" tadi maka "politik" berhubungan erat dengan perilaku-perilaku yang terkait dengan suatu pembuatan kebijakan. Sehingga "politisi" adalah orang yang mempelajari, menekuni, mempraktekkan perilaku-perilaku didalam politik tersebut.
79
Oleh karena itu secara garis besar definisi atau makna dari politik adalah sebuah perilaku atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan dalam tatanan Negara agar dapat merealisasikan cita-cita Negara sesungguhnya, sehingga mampu membangun dan membentuk negara sesuai rules agar kebahagian bersama didalam masyarakat disebuah negara tersebut lebih mudah tercapai.
2. Ekonomi secara leksikal memiliki pengertian ilmu mengenai asas asas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan seperti hal keuangan, perindustrian dan perdagangan (KBBI, 287). Ekonomi adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia mencukupi kebutuhannya hidupnya seperti produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Kata ekonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu οἶκος (oikos) yang berarti “keluarga, rumah tangga” dan νόμος (nomos) yang berarti “peraturan, aturan, hukum”. Jadi pengertian ekonomi pada dasarnya adalah ilmu yang mengatur rumah tangga. Dari penggabungan kedua kata tersebut, juga dapat diartikan menunjukkan sebuah kondisi yang merujuk pada pengertian tentang aktivitas manusia. Terutama pada usaha agar mampu mengolah sumber daya di lingkungan sekitarnya. Ekonomi juga dikategorikan sebagai Ilmu Sosial. Karena terkait dengan masalah manusia yang menjadi pokok bahasan dalam kajian ilmu sosial.
3. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sosial memiliki arti berkenaan dengan masyarakat (KBBI, 1085). Di kehidupan kita sebagai anggota masyarakat
80
istilah sosial sering dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan manusia dalam masyarakat, seperti kehidupan kaum miskin di kota, kehidupan kaum berada, kehidupan nelayan dan seterusnya. Sering juga diartikan sebagai suatu sifat yang mengarah pada rasa empati terhadap kehidupan manusia sehingga memunculkan sifat tolong menolong, membantu dari yang kuat terhadap yang lemah, mengalah terhadap orang lain, sehingga sering dikataka sebagai mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Sosial disini yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai acuan dalam berinteraksi antar manusia dalam konteks masyarakat atau komunitas, sebagai acuan berarti sosial bersifat abstrak yang berisi simbolsimbol berkaitan dengan pemahaman terhadap lingkungan, dan berfungsi untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan oleh individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga dengan demikian, sosial haruslah mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada satu kesatuan interaksi, karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak dan kewajiban dari masing-masing individu yang saling berfungsi satu dengan lainnya. Sehingga dapat dimaksudkan bahwa sosial merupakan rangkaian norma, moral, nilai dan aturan yang bersumber dari kebudayaan suatu masyarakat atau komuniti yang digunakan sebagai acuan dalam berhubungan antar manusia agar tercipta kehidupan yang harmonis.
4. Pertahanan memiliki kata dasar, yaitu tahan. Tahan sendiri memiliki pengertian tetap pada tempatnya tidak beranjak (KBBI, 1119). Sedangkan
81
pertahanan diartikan perihal bertahan mempertahankan, pembelaan negara (KBBI,1120). Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah sebuah negara dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Pertahanan negara dilakukan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara. Pertahanan nasional merupakan kekuatan bersama (sipil dan militer) diselenggarakan oleh suatu negara untuk menjamin integritas wilayahnya, perlindungan dari orang dan/atau menjaga kepentingankepentingannya. Pertahanan nasional dikelola oleh Departemen Pertahanan. Angkatan bersenjata disebut sebagai kekuatan pertahanan seperti TNI dan POLRI.
5. Keamanan memiliki kata dasar yaitu aman dengan rti leksikal yaitu bebas dari bahaya (KBBI, 35). Keamanan adalah kemampuan bangsa melindungi nilainilai nasionalnya terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam. Keamanan dan ketahanan suatu negara akan menimbulkan kesejahteraan bagi negara itu sendiri.
Dimana
kesejahteraan
berarti
kemampuan
bangsa
dalam
menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya demi sebesarbesarnya kemakmuran yang adil dan merata rohani dan jasmani.
82
2.8 Pembelajaran Sastra di Perguruan Tinggi Karya sastra adalah karya seni yang berbicara tentang masalah hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Esten, 1980). Seirama dengan itu (Rusyana, 1982) menyatakan, “Sastra
adalah
hasil
kegiatan
kreatif
manusia
dalam
pengungkapan
penghayatannya tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa.” Dari kedua pendapat itu dapat ditarik makna bahwa karya sastra adalah karya seni, mediumnya (alat penyampainya) adalah bahasa, isinya adalah tentang manusia, bahasannya adalah tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan. Dari situ pun dapat dimunculkan pertanyaan, “Apakah peserta didik perlu belajar sastra?” Jika ia, apa hasil akhir yang diharpkan dari pembelajaran ini? Bagaimana pembelajaran itu dilaksanakan? Pembelajaran sastra tidak dapat dipisahkan dengan pembelajaran bahasa. Namun, pembelajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pembelajaran bahasa. Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya.
Oemarjati (1992), seperti berikut ini. “Pengajaran sastra pada dasarnya mengemban
misi
efektif,
yaitu
memperkaya
pengalaman
siswa
dan
menjadikannya (lebih ) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai baik dalam konteks individual, maupun sosial.”
83
Jika disimak ketiga pendapat di atas, dapat diungkapkan bahwa pembelajaran sastra sangatlah diperlukan. Hal itu bukan saja ada hubungan dengan konsep atau pengertian sastra, tetapi juga ada kaitan dengan tujuan akhir dari pembelajaran sastra. Dewasa ini sama-sama dirasakan, kepekaan manusia terhadap peristiwaperistiwa di sekitar semakin tipis, kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi semakin berkurang. Apakah ada celah alternatif melalui pembelajaran sastra untuk mengobatai kekurangpekaan itu?
Inilah barangkali yang perlu menjadi bahan renungan sebagai dasar untuk mempersiapkan pembelajaran sastra di kelas. Pembelajaran sastra adalah pembelajaran apresiasi. Efendi dkk. (1998), “Apresiasi adalah kegiatan mengakrabi karya sastra secara sungguh-sungguh. Di dalam mengakrabi tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan setelah itu penerapan.” Pengenalan terhadap karya sastra dapat dilakukan melalui membaca, mendengar, dan menonton. Hal itu tentu dilakukan secara bersungguh-sungguh. Kesungguhan dalam kegiatan tersebut akan bermuara kepada pengenalan secar bertahap dan akhirnta sampai ke tingkat pemahaman. Pemahaman terhadap karya sastra yang dibaca, didengar, atau ditonton akan mengantarkan peserta didik ke tingkat penghayatan. Indikator yang dapat dilihat setelah menghayati karya sastra adalah jika bacaan, dengaran, atau tontonan sedi ia akan ikut sedih, jika gembira ia ikut gembira, begitu seterusnya. Hal itu terjadi seolah-olah ia melihat, mendengar, dan merasakan dari yang dibacanya. Ia benar-benar terlibat dengan karya sastra yang digeluti atau diakrabinya.
84
Setelah menghayati karya sastra, peserta didik akan masuk ke wilayah penikmatan. Pada fase ini ia telah mampu merasakan secara mendalam berbagai keindahan yang didapatkannya di dalam karya sastra. Perasaan itu akan membantunya menemukan nilai-nilai tentang manusia dan kemanusiaan, tentang hidup dan kehidupan yang diungkapkan di dalam karya itu.
Rusyana (1984:322), “kemampuan mengalami pengalaman pengarang yang tertuang di dalam karyanya dapat menimbulkan rasa nikmat pada pembaca.” Selanjutnya dikatakan, “Kenikmatan itu timbul karena: (1) merasa berhasil dalam menerima pengalaman orang lain; (2) bertambah pengalaman sehingga dapat menghadapi kehidupan lebih baik; (3) menikmati sesuatu demi sesuatu itu sendiri, yaitu kenikatan estetis.” Fase terakhir dalam pembelajaran sastra adalan penerapan. Penerapan merupakan ujung dari penikmatan. Oleh karena peserta didik merasakan kenikmatan pengalaman pengarang melalui karyanya, ia mencoba menerapkan nilia-nilai yang ia hayati dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan itu akan menimbulkan perubahan perilaku. Itulah yang diungkapkan oleh Oemarjati (1992), “Dengan sastra mencerdaskan siswa: Memperkaya Pengalaman dan Pengetahuan.”
Hal yang dikemukakan di atas ternyata sangat relevan dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yang tertuang pada standar isi (Permendiknas Nomor 22/2006) nomor lima dan enam sebagai berikut
85
(5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.