BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Tanggapan dan Penanganan 2.1.1 Pengertian Tanggapan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanggapan berarti 1) sambutan terhadap ucapan (kritik, komentar, dsb), 2) apa yang diterima oleh pancaindra, bayangan di angan-angan. Tanggapan menurut Rakhmat (2007) adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. 2.1.2 Pengertian Penanganan Menurut penanganan
Kamus
adalah
Besar
proses,
Bahasa cara,
Indonesia
perbuatan
(KBBI),
menangani,
penggarapan. Tanggapan dan penanganan orang tua berarti adalah bagaimana
orangtua
menafsirkan
terhadap
suatu
hal
dan
bagaimana cara menangani terhadap suatu hal tersebut.
2.2. Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru merupakan
11
kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan zat gizi karena masih dalam taraf perkembangan dan kualitas hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama 2008). Di Indonesia anak kelompok balita menunjukkan prevalensi paling tinggi untuk penyakit kurang energi protein (KEP) dan defisiensi vitamin A serta anemia defisiensi Fe. Kelompok umur ini sulit dijangkau oleh berbagai upaya kegiatan perbaikan gizi dan kesehatan lainnya, karena tidak dapat datang sendiri ke tempat berkumpul yang ditentukan tanpa diantar, padahal yang mengantar sedang sibuk semua (Sediaoetama 2008).
2.3. Pola Makan Pola makan (food pattern) adalah kebiasaan memilih dan mengkonsumsi bahan makanan oleh sekelompok individu. Pola makan dapat memberi gambaran mengenai kualitas makanan masyarakat (Suparlan, 1993). Pola makan juga dikatakan sebagai suatu cara seseorang atau kelompok orang atau keluarga memilih makanan
sebagai
tanggapan
terhadap
pengaruh
fisiologis,
psikologis, kebudayaan dan sosial (Suhardjo, 2009). Pola makan yang baik mengandung makanan pokok, laukpauk, buah-buahan dan sayur-sayuran serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan. Dengan pola makan yang baik dan jenis hidangan yang beraneka ragam dapat menjamin
12
terpenuhinya kecukupan sumber tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang, sehingga status gizi seseorang akan lebih baik dan memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Baliwati, dkk., 2004).
2.3.1. Konsumsi Makan Anak Balita Konsumsi pangan dipengaruhi oleh kebiasaan makan. Selain itu juga akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan sehingga kecukupan konsumsi pangan perlu mendapat perhatian. Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah sangat rawan terhadap gizi kurang. 2.3.1.1 Tingkat Asupan Makanan Anak Balita Zat gizi adalah zat atau unsur-unsur kimia yang terkandung dalam pangan yang diperlukan untuk metabolisme dalam tubuh secara normal. Manusia memerlukan zat gizi agar dapat hidup dengan sehat dan mempertahankan kesehatannya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan internal dan eksternal, pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan, serta untuk aktivitas (Supariasa et al. 2002). Anak balita pada usia 1-3 tahun bersifat konsumen pasif dan usia 3-5 tahun bersifat konsumen aktif. Konsumen pasif artinya pada usia 1-3 tahun makanan yang dikonsumsi tergantung pada
13
apa yang disediakan oleh ibu, sedangkan konsumen aktif artinya anak dapat memilih makanan yang disukainya (Supriatin, 2004). Tahap awal dari kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan penilaian konsumsi pangan. Konsumsi pangan yang kurang akan berdampak terhadap kurangnya zat gizi dalam tubuh. Secara umum terdapat dua kriteria untuk menentukan kecukupan konsumsi pangan, yaitu konsumsi energi dan protein. Kebutuhan energi biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok, sedangkan kebutuhan protein dipenuhi dari sejumlah substansi hewan, seperti ikan, daging, telur dan susu (Supariasa et al. 2002). Tabel 2.1 Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Rata-Rata Per Hari Golongan
Berat
Tinggi
Energi
Protein
Vitamin
Besi/Fe
Umur
Badan
Badan
(Kkal)
(g)
A
(mg)
(Kg)
(cm)
0-6 bulan
5.5
60
560
12
350
3
7-12 bulan
8.5
71
800
15
350
5
1-3 tahun
12
90
1250
23
350
8
4-6 tahun
18
110
1750
32
460
9
(RE)
Sumber : Pudjiadi, 2003 : 30
2.3.1.2 Frekuensi Pola Makan Anak Balita Khomsan (2003) menyatakan bahwa frekuensi konsumsi pangan per hari merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi konsumsi pangan pada anak, ada yang terikat
14
pada pola makan 3 kali per hari tetapi banyak pula yang mengkonsumsi pangan antara 5 sampai 7 kali per hari atau lebih. Frekuensi konsumsi pangan bisa menjadi penduga tingkat kecukupan gizi, artinya semakin tinggi frekuensi konsumsi pangan, maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi semakin besar.
2.3.2
Status Gizi Balita Menurut Suhardjo (2003), status gizi adalah keadaan
kesehatan
individu-individu
atau
kelompok-kelompok
yang
ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri. Status gizi balita erat hubungannya dengan pertumbuhan anak, oleh karena itu perlu suatu ukuran/alat untuk mengetahui adanya kekurangan gizi dini, monitoring penyembuhan kurang gizi dan efektifitas suatu program pencegahan. Antopometri digunakan sebagai indikator pengukuran dalam penelitian ini. Tiga indeks antopometri sesuai standart baku WHO yang umum digunakan yaitu : 2.3.2.1 Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Berat badan merupakan salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang
penyakit
infeksi,
menurunnya
nafsu
makan
atau
15
menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik ini, maka indeks berat badan
menurut
umur
digunakan sebagai salah
satu
cara
pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariasa, 2002). 2.3.2.2 Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Tinggi badan merupakan antopometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu (Supariasa, 2002).
16
2.3.2.3 Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan tertentu. Berat badan menurut tinggi badan menggambarkan keadaan gizi pada saat ini (Supariasa, 2002).
2.4
Sulit makan
2.4.1 Pengertian Sulit makan (picky eater) adalah perilaku anak tidak mau atau
menolak
untuk
makan,
atau
mengalami
kesulitan
mengkonsumsi makanan atau minuman dengan jenis dan jumlah sesuai usia secara fisiologis (alamiah dan wajar), yaitu mulai dari membuka mulutnya tanpa paksaan, mengunyah, menelan, hingga sampai terserap di pencernaan secara baik tanpa paksaan dan tanpa pemberian vitamin dan obat tertentu (Judarwanto, 2006). Menurut Carruth B. R dkk (1998), picky eater adalah kesulitan makan dengan gejala seperti makan hanya sedikit, sulit untuk mencoba makanan baru, secara total menghindari beberapa jenis makanan, dan memiliki makanan yang sangat disukainya. Jadi menurut peneliti, sulit makan adalah keadaan dimana anak menolak untuk makan baik itu dipaksa maupun tidak dipaksa, atau anak hanya memakan sedikit dari porsi makan yang diberikan.
17
2.4.2 Faktor yang mempengaruhi terjadinya sulit makan 2.4.2.1
Nafsu makan Sulit makan pada anak yang disebabkan oleh hilangnya
nafsu makan dapat terjadi mulai dari tingkat yang ringan hingga yang berat. Gejala ringan dapat berupa kurangnya nafsu makan, pada anak terlihat dari minum susu botol yang sering sisa, mengeluarkan dan menyembur-nyemburkan makanan. Sedangkan gejala berat tampak dalam bentuk anak menutup mulutnya rapatrapat atau menolak makan dan minum susu sama sekali (Judarwanto, 2006). 2.4.2.2
Kondisi psikologis Terdapat banyak faktor psikologis yang mempengaruhi
nafsu makan. Menurut Illingworth (dalam Tasmin, 2002) anak yang merasa tidak bahagia, sedih, depresi, atau merasa tidak nyaman dapat mengalami gangguan nafsu makan. 2.4.2.3
Kondisi fisik Kondisi fisik yang menyebabkan anak menjadi sulit makan
yaitu karena adanya keterbatasan fisik, terutama organ-organ pencernaannya.
Keterbatasan
fisik
dapat
ditandai
dengan
ketidaknormalan pada sistem saluran cerna, diantaranya yaitu gangguan penyerapan atau gangguan enzim sehingga nutrisi tidak terserap dengan baik. Beberapa gangguan saluran cerna yang biasa dialami yaitu alergi makanan, celiac, reflux, kolik, pancreatic
18
insufficiency,
diare,
hepatitis,
sirosis,
bibir
sumbing,
dan
sebagainya. Hal itu menyebabkan anak akan merasa tidak nyaman dan cenderung menolak makan sehingga menyebabkan resiko tinggi untuk gizi buruk (Dorfmann, 2008 ; Judarwanto, 2006) 2.4.2.4
Interaksi Ibu-Anak Interaksi ibu dan anak merupakan hal penting dalam proses
makan. Interaksi yang positif seperti kontak mata, komunikasi dua arah, pujian, dan sentuhan, sedangkan interaksi negatif seperti memaksa makan, membujuk, mengancam, dan perilaku yang mengganggu anak (melemparkan makanan) dapat berpengaruh terhadap nafsu makannya (Claude, Anne & Bernard Bonning, 2006). 2.4.2.5
Perilaku makan orang tua Orang tua banyak mempengaruhi perkembangan pola
makan pada anak. Studi kuantitatif yang dipublikasikan tahun 1998 menguji pemilihan makan pada balita yang berhubungan dengan pemilihan makan anggota keluarganya (Skinner et al., 1998). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa praktek pemberian makan yang salah dari orang tua atau karena kurang pengalaman dapat menyebabkan anak gagal tumbuh (Williams, 2005). 2.4.2.6
Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan penelitian diketahui bahwa anak dengan sulit
makan, diberi ASI kurang dari 6 bulan. Perilaku sulit makan
19
dibentuk karena anak terlalu dini mengenal makanan. Anak yang menyusu ASI cenderung tidak sulit makan karena anak sudah dipajankan dengan variasi rasa melalui ASI. (Galloway, 2003).
2.4.3 Gejala sulit makan Anak yang sulit makan memiliki gejala sebagai berikut : (1) Kesulitan mengunyah, menghisap, menelan makanan atau hanya bisa memakan makanan lunak atau cair, (2) Memuntahkan atau menyembur-nyemburkan makanan yang sudah masuk di mulut, (3) Makan berlama-lama dan memainkan makanan, (4) Sama sekali tidak mau memasukkan makanan ke dalam mulut atau menutup mulut rapat, (5) Memuntahkan atau menumpahkan makanan, menepis suapan dari orang tua, (6) Tidak menyukai banyak variasi makanan (Judarwanto, 2006).
2.4.4 Dampak sulit makan Sulit
makan
merupakan
fase
yang
umum
pada
perkembangan anak yang tidak selalu menyebabkan masalah kesehatan atau sosial, namun sulit makan yang ekstrem dapat berakibat buruk, seperti gagal tumbuh, penyakit kronis, dan kematian jika tidak ditangani (Manikam & Presman, 2000). Sulit makan dapat menyebabkan anak akan kekurangan mikro dan makronutrien yang pada akhirnya dapat mengganggu
20
pertumbuhan fisik yang ditandai dengan berat badan dan tinggi badan kurang atau kesulitan untuk meningkatkan berat badan dan juga gangguan pertumbuhan kognitif (Lewinsohn, et al., 2005; Daniel, 2008; Dubois, 2007; Wright, 2008; Judarwanto, 2006).
2.5
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Makan dan Status Gizi Anak Balita
2.5.1
Umur Ibu Orang
tua
muda,
terutama
ibu,
cenderung
kurang
pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak sehingga mereka umumnya merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas perawatan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock dalam Gabriel, 2008). 2.5.2
Pendidikan dan Pengetahuan Ibu Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup seharihari, khususnya dalam kesehatan dan gizi. Seseorang yang
21
mempunyai tingkat pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai pengetahuan gizi yang tinggi pula (Atmarita & Fallah, 2004) Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga sulit menerima informasi baru bidang gizi. Tingkat pendidikan ikut menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan, semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima informasi-informasi
gizi.
Dengan
pendidikan
gizi
tersebut
diharapkan tercipta pola kebiasaan makan yang baik dan sehat, sehingga
dapat
mengetahui
kandungan
gizi,
sanitasi
dan
pengetahuan yang terkait dengan pola makan lainnya (Suhardjo, 2009). Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena dengan
tingkat
pendidikan
yang
lebih
tinggi
diharapkan
pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai (Berg, 2002). Makin
tinggi
pendidikan,
pengetahuan,
keterampilan
terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pula pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada demikian
22
juga sebaliknya (Depkes, 2004). Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI (2007), bahwa seseorang dengan pendidikan rendah pun akan mampu menyusun makanan yang memenuhi
persyaratan
gizi,
kalau
orang
tersebut
rajin
mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi. Pengetahuan tentang gizi sangat diperlukan agar dapat mengatasi masalahmasalah yang timbul akibat konsumsi gizi. Wanita khususnya ibu sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap konsumsi makanan bagi keluarga. Ibu harus memiliki pengetahuan tentang gizi baik diperoleh melalui pendidikan formal, maupun non formal (Berg, 2002). 2.5.3
Pekerjaan Ibu Pekerjaan orang tua turut menentukan kecukupan gizi
dalam sebuah keluarga. Pekerjaan berhubungan dengan jumlah gaji yang diterima. Semakin tinggi kedudukan secara otomatis akan semakin tinggi penghasilan yang diterima, dan semakin besar pula jumlah uang yang dibelanjakan untuk memenuhi kecukupan gizi dalam keluarga (Sediaoetama, 2008). Bertambah luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum wanita yang bekerja terutama di sektor swasta. Di satu sisi hal ini berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian terhadap pemberian makan pada
23
anak yang kurang, dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang anak dan perkembangan otak mereka (Mulyati, 2008). Orang tua yang bekerja terutama ibu akan mempunyai waktu yang lebih sedikit untuk memperhatikan dan mengasuh anaknya. Pada umumnya di daerah pedesaan anak yang orang tuanya bekerja akan diasuh oleh kakaknya atau sanak saudaranya sehingga pengawasan terhadap makanan dan kesehatan anak tidak sebaik jika orang tua tidak bekerja (Sediaoetama, 2008). 2.5.4
Jumlah Anggota Keluarga Anggota keluarga adalah semua orang yang biasanya
bertempat tinggal di suatu keluarga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota keluarga yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota keluarga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah atau akan meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap anggota keluarga. Orang yang telah tinggal di suatu keluarga 6 bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di suatu keluarga kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap di keluarga tersebut, dianggap sebagai anggota keluarga (BPS, 2004). Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo (2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing
24
keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar. Seperti juga yang dikemukakan Berg (2002) bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga beranggota banyak, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga beranggota sedikit. Dalam hubungannya dengan pengeluaran rumah tangga, Sanjur (2002) menyatakan bahwa besar keluarga yaitu banyaknya anggota suatu keluarga, akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Harper (2008), mencoba menghubungkan antara besar keluarga dan konsumsi pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan keluarga dengan jumlah anak sedikit. Lebih lanjut dikatakan bahwa keluarga dengan konsumsi pangan yang kurang, anak balitanya lebih sering menderita gizi kurang.
25
2.5.5
Pendapatan Keluarga Tingkat pendapatan adalah rata-rata pendapatan per bulan
keluarga yang dihitung dari total pengeluaran makanan dan non makanan kemudian dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Dari data pendapatan per kapita dikelompokkan lagi berdasarkan batas garis kemiskinan untuk daerah pedesaan (BPS, 2009). Pada keluarga dengan pendapatan rendah, 60-80% dari pendapatannya
dibelanjakan
untuk
makanan.
Elastisitas
pendapatan untuk makanan yang digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan untuk tiap 1% perubahan pendapatan, lebih besar pada keluarga yang miskin dibandingkan pada keluarga kaya (Soekirman, 2001). Dalam kaitannya dengan status gizi Soehardjo (2009) menyatakan bahwa pendapatan mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan, tetapi pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin
keadaan
gizi
yang
baik.
Menurut
Berg
(2002),
pertambahan pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada konsumsi pangan, karena walaupun banyak pengeluaran uang untuk pangan, mungkin akan makan lebih banyak, tetapi belum tentu kualitas pangan yang dibeli lebih baik. Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa antara pendapatan dan gizi, jelas ada hubungan yang menguntungkan.
26
Berlaku
hampir
universal,
peningkatan
pendapatan
akan
berpengaruh terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga dan
selanjutnya
berhubungan
dengan
status
gizi.
Namun
peningkatan pendapatan atau daya beli seringkali tidak dapat mengalahkan pengaruh kebiasaan makan terhadap perbaikan gizi yang efektif. Faktor penyebab kurang gizi, pertama makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Engel dkk (1999) menambahkan faktor ketersediaan sumber daya keluarga seperti pendidikan dan pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, pola pengasuhan, sanitasi dan kesehatan rumah, ketersediaan waktu serta dukungan ayah, sebagai faktor yang mempengaruhi status gizi. Faktor sosial ekonomi ikut mempengaruhi pertumbuhan anak. Faktor sosial ekonomi tersebut antara lain: pendidikan, pekerjaan, teknologi, budaya, dan pendapatan keluarga (Supariasa, 2001).
2.6
Kemiskinan Menurut Suparlan (1995), kemiskinan dapat didefinisikan
sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku
27
dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara tidak langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin. BAPEDA menetapkan 14 indikator yang bisa disebut keluarga miskin. 14 kriteria tersebut diantaranya adalah : 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 2. Jenis
lantai
rendah/murahan,
rumah jenis
tanah/bambu/kayu dinding
tempat
berkualitas
tinggal
bambu,
rumbia/kayu kualitas rendah/tembok tanpa plester 3. Fasilitas buang air besar, tidak punya/bersama rumah tangga lain/ umum 4. Sumber air minum, sumur/mata air tak terlindung, sungai/air hujan 5. Sumber penerangan rumah tangga bukan listrik 6. Bahan bakar untuk masak sehari-hari kayu/arang/minyak tanah 7. Kemampuan membeli ayam/daging/susu per minggu/tidak pernah membeli, hanya satu kali dalam seminggu 8. Konsumsi makan/pangan kurang dari atau sama dengan 2100 kalori 9. Frekuensi makan per hari setiap anggota rumah tangga hanya satu/dua kali sehari
28
10. Kemampuan membeli baju baru untuk setiap anggota rumah tangga dalam setahun tidak bisa membeli baju setahun sekali/ hanya sekali dalam setahun 11. Kemampuan untuk membayar berobat di Puskesmas/Poliklinik, tidak mampu membayar untuk berobat 12. Lapangan pekerjaan terutama kepala rumah tangga, petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 ha/ buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lain yang layak miskin 13. Pendidikan tertinggi kepala keluarga, tidak pernah sekolah/tidak tamat SD/hanya tamat SD 14. Pemilikan aset atau tabungan, tidak punya tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,(seperti emas, TV, ternak, sepeda motor atau berupa modal lainnya) Untuk menentukan keparahan kemiskinan dalam sebuah keluarga ditentukan dengan cara menghitung jumlah skor yang diperoleh dari kriteria-kriteria tersebut, jika setiap kriteria sesuai dengan kondisi sebuah rumah tangga maka diberi nilai 1, kemudian setelah semuanya diberi skor maka dijumlahkan. Disebut dengan rumah tangga miskin bila skor 14, disebut rumah tangga sangat miskin bila skor 12-13, disebut rumah tangga
29
mendekati miskin bila skor 9-11, dan disebut rumah tangga tidak miskin bila skor kurang dari 9. BAPPENAS menguraikan beberapa permasalahan yang sering dihadapi oleh masyarakat miskin seperti : 1.
Buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu karena rendahnya asupan kalori. Asupan kalori yang rendah karena stok pangan yang terbatas.
2.
Kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar, yang menyebabkan terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan.
3.
Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung.
4.
Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha dan perbedaan upah.
5.
Terbatasnya
akses
layanan
kesehatan
dan
sanitasi.
Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan pemukiman yang sehat dan layak
30
6.
Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan
air
bersih
terutama
disebabkan
oleh
terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air. 7.
Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur
penguasaan
dan
pemilikan
tanah,
serta
ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. 8.
Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam.
9.
Lemahnya jaminan rasa aman. Hal ini terkait dengan permasalahan yang terjadi di daerah konflik.
10.
Lemahnya partisipasi. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan
maupun
mekanisme
perumusan
yang
melibatkan mereka. 11.
Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
31