BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Tanaman Karet Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) merupakan tanaman penghasil lateks yang menjadi sumber bahan karet dan spesies terpenting dalam genus Hevea, karena 99% karet alam dunia berasal dari spesies ini (Williams,1982). Klasifikasi tanaman karet adalah: Divisi : spermatophyta, Subdivisi: angiospermae, Kelas: dicotyledoneae, Ordo: euphorbiales, Family: euphorbiaceae, Genus: hevea, Spesies: Hevea brassiliensis Muell. Arg. (Setiawan dan Andoko, 2005)
2.2. Benih Karet untuk Sumber Bahan Tanaman Balai Penelitian Karet Sembawa telah menghasilkan klon-klon karet unggul yang direkomendasikan untuk periode tahun 2010-2014. Sistem rekomendasi disesuaikan dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman yang menyebutkan bahwa klon/varietas yang dapat disebarluaskan kepada pengguna harus berupa benih bina. Untuk memperoleh benih karet bermutu kriteria yang harus dipenuhi adalah: berasal dari klon yang sudah teruji baik sebagai batang bawah, mudah diokulasi, kompatibel, perakaran
yang baik, kemurnian klon minimal 95%, matang fisiologis dengan umur tanaman 10 - 25 tahun (Direktorat Tanaman Tahunan, 2013). Klon adalah tanaman yang diperoleh dari bagian–bagian vegetatif suatu pohon induk sehingga memiliki sifat yang sama dengan pohon induknya (Tumpal dan Suhendry, 2013). Balai Penelitian Karet Sembawa telah menghasilkan klonklon karet unggul yang direkomendasikan untuk periode tahun 2010-2014, di antaranya adalah klon PB 260. Klon ini telah teruji hingga 2,1 ton karet kering per hektar per tahun. Selain itu klon PB 260 juga memiliki ketahanan terhadap angin karena perakarannya yang kuat. Hal ini menjadikan klon PB 260 sangat baik dijadikan sebagai batang atas atau entres bahkan sebagai batang bawah. Sebagai klon yang unggul sebagai batang bawah dan batang atas, perbanyakan secara okulasi sangat penting dilakukan pada klon ini karena dapat mempercepat masa TBM dibandingkan perbanyakan melalui benih. Menurut Balai Penelitian Sembawa (2009), kesalahan penggunaan batang bawah dapat menurunkan produksi hingga 40%.
2.2.1. Perkembangan benih karet Tanaman karet berbunga dan berbuah dua kali dalam setahun. Balai Penelitian Sembawa (2009) melaporkan bahwa benih karet yang masih muda, yakni 16 minggu setelah penyerbukan mengandung kadar air 66%, tetapi terus menurun hingga mencapai masak fisiologis. Biasanya masa reseptif bunga jantan dan betina bunga tanaman karet tidak sama sehingga keberhasilan pembuahan secara alami pada tanaman karet sangat rendah, yaitu rata-rata 4% dari hasil persilangannya (Cicero dan Filho, 2007). Pada saat benih jatuh, kadar air benih
14
karet akan mencapai keseimbangan dengan lingkungannya, yaitu sekitar 30-55%. Didit dan Agus, (2006) menyatakan bahwa pemungutan dan pengumpulan benih untuk kebutuhan batang bawah dilakukan setiap dua hari sekali, agar benih yang diperoleh tetap segar dan daya tumbuhnya tinggi. Benih yang jatuh diluar areal pembatas kebun benih tidak dipungut, karena dikhawatirkan tercampur dengan benih dari klon yang bukan anjuran sebagai sumber batang bawah.
2.2.2. Benih Rekalsitran Banyak spesies tanaman yang memiliki benih tergolong rekalsitran yang mempunyai nilai ekonomi penting salah satunya adalah benih karet (Hevea brassiliensis, Muell-Arg). Benih rekalsitran mempunyai masa hidup yang singkat dan sukar untuk disimpan sebab kadar airnya tinggi sehingga mudah terkontaminasi serangan jamur dan lebih cepat mengalami kemunduran. Apabila disimpan pada suhu di bawah nol akan menyebabkan terbentuknya kristal es yang dapat merusak membran sel dan terjadi pecahnya dinding sel (Watson, 2000).
2.2.3. Permasalahan Sifat Benih Rekalsitran Kozeko dan Troyan, (2007) menyatakan bahwa permasalahan sifat fisiologi benih rekalsitran dalam pengelolaan benih adalah memiliki kadar air yang tinggi, yakni 30%-70% sehingga tidak memiliki masa dormansi. Benih rekalsitran tidak mampu menahan dehidrasi atau pengeringan berlebih (desikasi) dan akan segera kehilangan viabilitasnya pada kadar air 12-30%, dan akan mati bila kadar air hingga mencapai angka di bawah nilai titik kritis yaitu 12% (Delgado dan Barbedo, 2012), dan tidak toleran pada suhu rendah (Varghese et
15
al., 2004). Bila disimpan pada suhu di bawah 0°C akan menyebabkan terbentuknya kristal es yang dapat merusak membran sel (Mahardhika, 2015). Daya simpan yang rendah pada benih karet yang tergolong benih rekalsitran juga menjadi faktor pembatas, terutama benih-benih tersebut melalui masa simpan atau konservasi sebelum ditanam (Cochrane et al., 2002). Untuk mendapatkan daya kecambah benih karet yang cukup tinggi di lokasi penerimaan maka masalah pengawetan benih karet dan daya simpan memiliki arti sangat penting (Yardha et al., 2007).
2.2.4. Fisiologi Benih Rekalsitran Salah satu masalah yang dihadapi dalam penyediaan benih karet bermutu adalah penyimpanan. Menurut Pammenter dan Berjak (2008), masalah yang dihadapi dalam penyimpanan benih makin kompleks sejalan dengan tingginya kadar air benih. Beberapa faktor yang mempengaruhi ketahanan simpan benih rekalsitran antara lain: a)kadar air benih, b)viabilitas awal dari benih, c)suhu penyimpanan, - kelembaban, d) cahaya, e) mikroorganisme, dan f) akumulasi gas disekitar benih. Kadar air yang tinggi pada benih karet memacu laju respirasi benih sampai suatu saat lajunya dihambat karena terjadinya beberapa hal seperti kehabisan cadangan nutrisi, inaktivasi enzim, kekurangan oksigen, atau karena karbondioksida yang terakumulasi (Copeland dan Mc. Donald, 2001) dan (Suita, 2008). Menurut Saputra, et al., (2009), benih rekalsitaran sangat cepat kehilangan daya simpan dan viabilitasnya, karena: a) metabolisme yang tidak seimbang selama dehidrasi atau ketika disimpan dalam kondisi terhidrasi, b) pengeringan, mengakibatkan integritas intraseluler struktur berkurang, c) benih dibekukan.
16
Dalam proses konservasi, benih rekalsitran dipertahankan dalam keadaan lembab dengan kadar air 32-35%, kisaran suhu penyimpanan benih karet yang baik bila memakai cold storage 7-10°C, karena pada kondisi ini belum mengalami pembekuan sel. Mc. Cormack (2004) menyatakan bahwa mutu benih dipengaruhi oleh proses penanganannya dari produksi sampai akhir periode simpan. Dalam periode penyimpanan. Croft et al., 2012, melaporkan bahwa benih sebagai makhluk hidup akan mengalami penuaan dan kemunduran (deteriorasi), yang dapat dilihat dari indikasi fisik, fisiologis dan biokimia. Indikasi fisik adalah kemurnian benih, kadar air, dan bobot benih. Indikasi fisiologi benih yang mengalami deteriorasi adalah
terjadinya
perubahan
warna
benih,
tertundanya
perkecambahan,
menurunnya toleransi terhadap kondisi lingkungan sub optimum selama perkecambahan, rendahnya toleransi terhadap kondisi simpan yang kurang sesuai, peka terhadap radiasi, menurunnya pertumbuhan kecambah dan meningkatnya jumlah kecambah abnormal, diikuti dengan proses biokimia dengan perubahan aktivitas enzim, perubahan laju respirasi, perubahan dalam cadangan makanan, perubahan di dalam membran, kerusakan khromosom dan akumulasi bahan toksin (Rodo, 2003). Menurut Purnawati et al., (2014) bahwa mutu fisiologi benih dapat menurun dengan indikasi perubahan diantaranya benih berjamur, benih berkecambah pada penyimpanan, kadar air benih, aktivitas air, laju respirasi benih, perubahan permeabilitas membran yakni meningkatnya nilai konduktivitas, kekerasan benih meningkat, penurunan cadangan makanan kadar gula total, kadar protein, kadar lemak, kadar abu, peningkatan kadar asam lemak bebas, bilangan
17
peroksida, penurunan kekerasan benih. Hal ini berdampak pada penurunan daya berkecambah, kecepatan tumbuh, indeks vigor, potensi tumbuh maksimum dan fase pertumbuhan berikutnya.
2.3. Viabilitas Benih Selama Penyimpanan Viabilitas benih adalah daya hidup benih yang ditunjukkan oleh gejala fenomena metabolismenya atau fenomena pertumbuhan benih, mencakup viabilitas total diantaranya vigor daya simpan, viabilitas potensial, vigor kekuatan tumbuh (Camila, 2010) Viabilitas benih pada prinsipnya adalah salah satu sifat atau karakter benih sebagai perwujudan integral dari berbagai kondisi dari komponen-komponen penyusun benih sehingga nilai viabilitas ini sulit ditentukan secara langsung (Syahabuddin, et al., 2010). Pengujian viabilitas benih dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan melihat gejala metabolismenya atau secara langsung yaitu dengan menilai struktur-struktur penting kecambah. Menurut Mirjana et al., (2010) bahwa, viabilitas benih rekalsitran hanya dapat dipertahankan beberapa hari sampai beberapa minggu saja, meskipun disimpan pada kondisi optimum. Penurunan viabilitas benih rekalsitran sejalan dengan semakin lamanya periode pengeringan dan penyimpanan (Asep dan Widyani, 2011). Pengiriman dan penyimpanan benih rekalsitran dapat menyebabkan penurunan viabilitas benih bila kemasan, media, dan kondisi penyimpanan tidak sesuai. Menurut Pammenter and Berjak (2014), bila kadar air benih menurun drastis secara berlebihan akan terjadi penurunan viabilitas benih yang menyebabkan daya tumbuh benih dibawah 50%. Selama
18
penyimpanan, benih yang banyak mengandung lemak lebih cepat rusak dibandingkan dengan benih yang banyak mengandung pati atau protein (Naning et al., 2008). Benih karet memiliki kadar lemak cukup besar yaitu 32,3%, kadar protein 27%, karbohidrat 15,9% (Chhay and Chiev Phiny, 2001). Proses penuaan pada benih akan dipercepat jika disimpan pada suhu tinggi, sehingga kebocoran membran sel-sel benih semakin tinggi dan permeabilitas sel juga menurun, semakin tinggi tingkat kebocoran membran maka semakin rendah viabilitas dan vigor benih (Copeland dan McDonald, 2001). Bila integritas membran sel menurun maka konsentrasi metabolit tidak dapat dipertahankan dalam sitoplasma. Secara fisiologi benih, kerusakan membran yang terjadi selama pengeringan mengakibatkan pelepasan enzim-enzim hidrolitik selama absorbsi air. Oleh sebab itu jika benih disimpan pada suhu tinggi, terjadi pengeringan yang dapat mempercepat penurunan viabilitas benih (El-Abady et al., 2014). Menurut Pradhan dan Badola (2012); Sumayku (2002); Justice dan Bass (2002) dan Kartasapoetra (2003) bahwa mempertahankan viabilitas benih dalam periode simpan, agar benih memiliki cukup energi untuk tumbuh pada saat ditanam dengan kekuatan tumbuh dan daya kecambah yang semaksimal mungkin.
2.3.1. Vigor Benih Vigor benih dapat dilihat dari mampunya benih setelah berkecambah tersebut untuk bertahan hidup. Miloševic (2010), menyatakan vigor sebagai indikator kemampuan benih untuk tumbuh menjadi pemberi informasi mengenai kualitas fisiologi benih sementara viabilitas benih diartikan sebagai daya hidup benih yang ditunjukkan melalui gejala metabolisme dan fenomena pertumbuhan.
19
Vigor benih dicerminkan oleh dua informasi viabilitas, masing-masing kekuatan tumbuh dan daya simpan benih. Daya kecambah benih, potensi tumbuh benih, kecepatan berkecambah, dan indeks vigor hipotetik menggambarkan vigor atau tidaknya suatu benih. Kedua nilai fisiologis ini menempatkan benih pada kemungkinan kemampuannya untuk tumbuh menjadi tanaman normal meskipun keadaan biofisik lapangan produksi suboptimum atau sesudah benih melampaui suatu periode simpan yang lama (Nautiyal et al., 2010).
2.4. Dormansi Sekunder (Secondary Dormancy) Benih Bewley dan Black (2006); Leubner (2005), mendefenisikan bahwa dormansi benih adalah keadaan dimana benih mengalami istirahat total sehingga meskipun dalam keadaan media tumbuh benih optimum, benih tidak menunjukkan gejala atau fenomena hidup. Benih yang berkecambah memerlukan air, oksigen, suhu dan cahaya yang cukup. Terbatasnya salah satu dari keempat faktor tersebut dapat merintangi proses perkecambahan benih, sehingga pencegahan berkecambah selama penyimpanan dapat dilakukan dengan cara mengatur ketersediaan air, oksigen, suhu dan cahaya pada tingkat tertentu. Dormansi primer adalah dormansi yang paling sering terjadi, terdiri dari dua sifat: a) dormansi eksogenous yaitu kondisi dimana komponen penting perkecambahan tidak tersedia bagi benih dan menyebabkan kegagalan berkecambah, yang berhubungan dengan sifat fisik kulit benih dan faktor lingkungan selama perkecambahan; b) dormansi endogenous yaitu dormansi karena sifat-sifat tertentu yang melekat pada benih, seperti kandungan inhibitor yang berlebih pada benih, embrio benih yang rudimenter dan sensitivitas terhadap
20
suhu dan cahaya (Koornneef et al., 2002; Hilhorst, 2007; Finch-Savage et al., 2007). Disamping dormansi primer, benih juga mengalami dormansi sekunder (secondary dormancy) yakni benih yang pada keadaaan normal mampu berkecambah, tapi bila dipendar pada suatu keadaan tidak menguntungkan selama beberapa waktu dapat kehilangan kemampuannya untuk berkecambah (Leymarie, et al., 2008 dan Jayasuriya et al., 2012). Dormansi sekunder menurut Savage dan Metzger (2006), adalah sifat dormansi yang terjadi karena dihilangkannya satu atau lebih faktor penting pada proses perkecambahan. Menurut Bewley et al., (2006), dormansi sekunder dapat diinduksi oleh kegelapan (skotodormancy), suhu (thermodormancy), dan/atau cahaya (photodormancy). Mekanisme dormansi sekunder diduga terjadi karena adanya hambatan pada titik-titik krusial dalam sekuens metabolik menuju perkecambahan dan ketidak seimbangan antara zat pemacu pertumbuhan dan zat penghambat pertumbuhan (Ilyas, 2007; Leymarie, 2008; dan Hoang, et al., 2012). Hal ini juga dapat terjadi pada benih non dorman, dan mengalami kondisi yang menyebabkannya menjadi dorman (Hilhorst, 2007). Dormansi sekunder benih-benih rekalsitran karena perubahan fisik yang terjadi pada kulit benih yang diakibatkan dapat diinduksi oleh pengeringan yang berlebihan sehingga pertukaran gas-gas pada saat imbibisi menjadi terbatas (Haile dan Shirtliffe, 2014). Kadang-kadang dormansi sekunder ditimbulkan bila benih diberi semua kondisi yang dibutuhkan untuk berkecambah kecuali satu, misalnya kegagalan memberikan cahaya pada benih yang membutuhkan cahaya. Hoang et al., (2012) mengemukakan bahwa
kadar air benih merupakan kunci utama
mendorong dormansi sekunder.
21
2.5. Polyethylene Glycol 6000 (PEG 6000) 2.5.1. Kimia Ayranci dan Sahin (2008) melaporkan Polyethylene Glycol (PEG) dengan rumus molekul {(HO - CH2 - (CH2 - O - CH2)x - CH2 - OH)} merupakan senyawa polimer berantai panjang, tidak berubah (inert), bukan ionik dan tidak beracun. Memiliki
beberapa
keuntungan karena sifatnya yang inert, tidak mudah
terhidrolisis, tidak membantu pertumbuhan jamur. Bahan ini terdapat dalam berbagai macam berat molekul dan yang paling banyak digunakan adalah PEG 200, 400, 600, 1000, 1500, 1540, 3350, 4000, 6000 dan 8000. Pemberian nomor menunjukkan berat molekul rata-rata dari masing-masing polimernya. PEG dengan berat molekul rata-rata 200, 400, dan 600 adalah cairan bening yang tidak berwarna. PEG dengan berat molekul rata-rata lebih dari 1000 berbentuk lilin putih dan padat, yang kepadatannya bertambah dengan bertambahnya berat molekul.
2.5.2. Fisik Berdasarkan sifat fisik dan berat molekulnya PEG tersedia dalam berbagai formulasi, cairan, padat/lunak, serpih, bubuk, dan praktis tidak berbau dan tidak berasa dan memiliki titik lebur yang sangat tinggi (580°F). Menurut Hutanu et al., (2014) bahwa dalam industri farmasi, PEG digunakan untuk melarutkan obatobat yang
tidak
larut
air. Penggunaan
PEG
sebagai pelarut juga
dapat
meningkatkan penyebaran obat di dalam tubuh manusia. PEG merupakan salah satu jenis bahan pembawa yang sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam suatu formulasi untuk meningkatkan pelarutan obat yang sukar larut. Bahan ini
22
merupakan salah satu jenis polimer yang dapat membentuk komplek polimer pada molekul organik apabila ditambahkan dalam formulasi (Knowles et al., 2015). PEG dapat digunakan untuk melapisi kaca atau metal, dan sebagai campuran cat serta tinta. Di dalam kehidupan sekari-hari, PEG juga dimanfaatkan untuk
pembuatan kosmetik,perlengkapan
mandi,
dan
alat-alat
rumah
tangga. Selain itu, PEG juga banyak dimanfaatkan dalam industri kertas, bahan karet, kulit, dan tekstil. PEG dengan berat molekul cukup tinggi (5000 sampai 10.000) dipakai dalam skrining tanaman tahan kekeringan, karena akar mengalami kesulitan menyerap air pada konsentrasi PEG tertentu. Polimer PEG tidak bersifat racun dan tidak membahayakan protein aktif atau sel walaupun polimer sendiri berinteraksi dengan membran sel.
2.5.3. PEG 6000 Sebagai Pelapis Benih Technical Data Sheet (2011), melaporkan bahwa, senyawa-senyawa PEG yang paling umum digunakan dalam penelitian fisiologi tanaman dan benih adalah PEG 4000 dan PEG 6000. Menggantikan peran serbuk gergaji lembab untuk benih kakao telah dicoba menggunakan senyawa penghambat perkecambahan seperti PEG 6000, digunakan untuk membatasi ketersediaan air dan oksigen pada medium penyimpanan benih. Penggunaan PEG 6000 pada media konservasi benih kakao telah diteliti oleh (Raharjo, 1986) dan diperoleh bahwa PEG dapat digunakan sebagai absorben dan meningkatkan daya simpan benih kakao. Aniatul-Haq et al., 2010 mengemukakan bahwa sulitnya air masuk ke dalam sel makin besar dengan meningkatnya konsentrasi PEG yang digunakan karena semakin tinggi penurunan potensial air dalam medium. PEG sebagai Osmotic
23
Adjustment/OA dan molekul yang unabsorbable inert dan dapat membentuk senyawa kompleks yang stabil dan dapat mencegah terjadinya pengikatan dibandingkan dengan senyawa lain. Penambahan bahan kimia pada lapisan kulit luar benih rekalsitran kakao dilaporkan oleh Kurniawan (2011) bahwa bahan bersifat hidrogel berguna untuk perpindahan masa uap air, gas O2 & CO2 dan sebagai anti fungi sehingga benih yang terlapisi dapat mempertahankan viabilitasnya. Dengan mengatur konsentrasi PEG dapat diketahui konsentrasi yang sama atau hampir sama dengan nilai osmotik benih karet (isotonis) sehingga dapat digunakan untuk membatasi ketersediaan air dan oksigen medium perkecambahan sehingga perkecambahan benih tidak terjadi. Namun sebelumnya untuk benih karet belum ada dilakukan penelitian seperti itu demikian juga untuk benih karet yang telah dikupas. Pelapisan benih karet dengan PEG 6000 mulai digunakan oleh Charloq, (2004, 2008) untuk menemukan bahwa larutan PEG 6000 dapat digunakan sebagai penghambat perkecambahan benih karet GT1 dengan dua metode penyimpanan.
2.6. Pertumbuhan Berbasis Benih Pada Tanaman Karet 2.6.1. Perkecambahan Perkecambahan adalah proses pertumbuhan embrio dan komponenkomponen benih yang memiliki kemampuan untuk tumbuh secara normal menjadi tumbuhan baru. Dalam tahap ini, embrio di dalam benih yang semula berada pada kondisi dormansi mengalami sejumlah perubahan fisiologis yang berkembang menjadi tumbuhan muda. Perkembangan tanaman pada fase kecambah di
24
definisikan oleh Terzi (2009), sebagai munculnya embrio dari benih dan proses perkecambahan dipicu oleh berbagai kegiatan anabolik dan katalitik, ditandai oleh perubahan dinamika biomekanik bersama-sama dengan perubahan sangat awal dalam transkripsi, kadar protein, dan hormon yang mengatur fase untuk kejadian berikutnya. Perkecambahan benih karet berdasarkan posisi kotiledon dalam proses perkecambahan adalah perkecambahan epigeal. Pada epigeal hipokotil tumbuh memanjang, akibatnya kotiledon dan plumula terdorong ke permukaan tanah. Benih akan melewati proses perkecambahan yang kompleks, meliputi imbibisi, difusi diliputi penyerapan oksigen merupakan awal dari metabolisme (Manz et al., 2005). Hay et al. (2003) mengemukakan bahwa keadaan fisiologis benih ditentukan oleh mRNA yang ada di dalam benih yang dijabarkan setelah imbibisi, awal setelah imbibisi secara masif muncul perubahan transcriptome, yang diatur oleh suhu lingkungan, cahaya, dan hormon tanaman. Rajjou et al., (2012) menyatakan bahwa, hormon-hormon asam absisat dan giberelin memainkan peran utama dalam mengatur proses perkecambahan awal benih.
Gambar 2: Kecambah Karet
Gambar 3: Fase Perkecambahan Epigeal
Penurunan beberapa parameter perkecambahan pada benih dengan umur simpan mungkin terjadi akibat hilangnya kekuatan yang disebabkan oleh
25
pemecahan struktur-struktur pelindung. Hartawan et al., (2011) menyatakan bahwa penurunan cadangan makanan menyebabkan substrat untuk respirasi menurun sehingga energi yang dihasilkan tidak mencukupi proses perkecambahan fisiologis. Laporan Moncaleano-Escandon, et al., (2013), menyatakan sejalan dengan masa penyimpanan benih, kandungan cadangan makanan benih menurun dan diikuti dengan menurunnya viabilitas dan vigor benih.
2.6.2. Bahan Tanaman untuk Batang Bawah Pedoman Teknis Pengembangan Tanaman Karet Tahun 2013 (Nasir, 2013) bahwa pertumbuhan dan perkembangan bibit di tingkat nurseri merupakan tahapan penyiapan bibit bagi pengembangan tanaman
perkebunan sebab
produktivitas tanaman karet salah satu ditentukan oleh mutu bahan tanaman yang ditanam. Pengujian fase pembibitan di lapangan dapat menggambarkan kondisi nyata bagi pertumbuhan bahan tanaman sebagai bahan batang bawah (rootstock). Persiapan batang bawah pada usaha tanaman karet adalah suatu kegiatan untuk memperoleh bibit yang perakarannya kuat dan daya serap hara yang baik. Pemilihan klon untuk batang bawah menjadi salah satu kunci sukses menghasilkan bibit okulasi yang dikemudian hari bisa menghasilkan produksi yang tinggi. Oleh sebab itu dianjurkan untuk batang bawah sebaiknya berasal dari benih klon anjuran dari sumber-sumber yang jelas. Balai Penelitian Karet Sembawa Sumatera Selatan, menganjurkan agar menggunakan batang bawah yang berasal dari benih propeligitim. Yakni benih yang tetua betinanya dapat dikenal, sedangkan tetua jantannya dapat diperkirakan, yaitu klon yang berada disekitar tetua betina. Untuk batang bawah digunakan benih propeligitim dari
26
klon-klon diantaranya AVROS 2037, GT1, PB 260 DAN PB 330. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut maka akan diperoleh bibit unggul, jika batang bawah yang diperoleh diokulasi dengan entres dari klon-klon ungulan.
2.6.3. Pembuatan bibitan karet pada masa sekarang. Pembuatan bibit karet pada masa sekarang umumnya dilakukan melalui
2 cara
yaitu: 1. Ground Nursery, adalah pembibitan dimana biji karet dari persemaian langsung di tanam ke tanah, dan sesudah mencapai umur tertentu tanaman tersebut diokulasi. Setelah okulasi berhasil, tanaman dicabut dan kemudian ditanam lagi ke dalam polybag, Dari tanaman polybag tersebut dihasilkan bibit yang siap untuk ditanam langsung ke lapangan, saat penanaman tentu saja bibit harus sudah memenuhi syarat dan kriteria tertentu. 2. Polybag Nursery. Berbeda dengan polybag langsung, pada system pembibitan ini, biji yang sudah di semai langsung di tanam ke dalam polybag, sesudah memenuhi kriteria tertentu, tanaman kemudian di okuasi. Dan dari hasil okulasi tersebut, tanaman bisa langsung ditanam ke lapangan sesudah memenuhi syarat dan kriteria tertentu.
2.6.4. Pemindahan Bibit dari Pre-Nursery ke Main-Nursery (Pedoman Teknis Pengembangan Tanaman Karet Tahun 2013) Pemindahan sebaiknya dilakukan pada umur yang tepat yaitu 3-3,5 bulan (atau bibit berdaun 3-4 helai). Pemindahan bibit berumur muda dapat meningkatkan resiko kematian/kerusakan bibit, sedangkan pemindahan bibit
27
berumur > 5 bulan menyebabkan stagnasi dan biasanya bibit telah mengalami etiolasi di pembibitan pre-nursery. Menggunakan bahan tanam karet yang bermutu merupakan kunci sukses menuju agribisnis karet yang menguntungkan secara berkesinambungan. Kesalahan dalam memilih bahan tanam karet akan dirasakan selama umur ekonomis tanaman. Dalam Pedoman Teknis Pengembangan Tanaman Karet Tahun 2013 (Nasir, 2013) menyatakan bahwa penggunaan bibit tidak bermutu akan berakibat: 1. Tanaman yang tidak berkualitas memiliki heterogenitas tinggi 2. Pertumbuhan lambat dan produktivitas lambat 3. Pemeliharaan yang optimal tetap tidak memberikan manfaat 4. Tidak ada sistem eksploitasi yang mampu memberikan hasil tinggi dalam jangka panjang secara konsisten. Sehingga penggunaan benih berkualitas yang membawa sifat genetik unggul (klon unggul) mutlak harus dilaksanakan. Bibit bermutu haruslah secara fisik memenuhi ukuran pertumbuhan yang normal, secara fisiologi memiliki daya hidup yang baik dan secara genetis terdiri dari klon yang asli dan murni.
2.6.5. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Bibit Batang Bawah Cardinal et al., 2007.menyatakan bahwa semua proses tumbuh dan perkembengan tanaman tergantung pada air. Unsur hara yang diperlukan tanaman dari tanah terlarut kedalam air sebelum dapat diserap oleh akar yang seterusnya diangkut kesemua bagian tanaman. Jika suplai hara terhambat maka juga akan menghambat pertumbuhan tinggi tanaman karena fosintesis akan terganggu maka
28
dengan itu jaringan meristematiknya juga akan kekurangan energi untuk menghasilkan sel-sel baru. Pertambahan ukuran sel menghasilkan pertambahan ukuran jaringan, organ dan akhirnya meningkatkan ukuran tubuh tanaman secara keseluruhan maupun berat tanaman tersebut. Peningkatan pembelahan sel menghasilkan jumlah sel yang lebih banyak. Jumlah sel yang meningkat, termasuk di dalam jaringan pada daun, memungkinkan terjadinya peningkatan fotosintesis penghasil karbohidrat, yang dapat mempengaruhi bobot tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan bibit di tingkat nurseri merupakan tahapan penyiapan bibit bagi pengembangan tanaman perkebunan sebab produktivitas tanaman karet ditentukan salah satu oleh mutu bahan tanaman/bibit yang ditanam. Pengujian fase pembibitan di lapangan dapat menggambarkan kondisi nyata bagi pertumbuhan bahan tanaman sebagai bahan batang bawah (rootstock). Persiapan batang bawah pada usaha tanaman karet adalah suatu kegiatan untuk memperoleh bibit yang perakarannya kuat dan daya serap hara yang baik. Pertambahan tinggi hanya bisa diperoleh dari bibit klon unggul yang telah melewati uji coba di lapangan. Metode penentuan fase pertumbuhan bibit karet yang umum digunakan antara lain adalah, menganalisis fase pertumbuhan berdasarkan tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang.
2.6.6. Pertumbuhan tinggi bibit, diameter batang dan daun batang bawah Sesuai hasil laporan Dongling Qi (2014) bahwa hasil produk pertumbuhan dapat diukur secara sederhana dengan pertambahan keseluruhan tanaman atau bagian-bagian tanaman lain. Pertumbuhan dalam pengertian yang lebih luas
29
merupakan perkembangan sel-sel baru sehingga terjadi pertambahan ukuran dan differensiasi jaringan. Pertumbuhan berarti pertambahan ukuran. Pertambahan ukuran pada batang merupakan hasil perbesaran ke satu arah, yaitu ke arah memanjangnya, sehingga tanaman tampak memanjang atau bertambah tinggi; dan Menurut Rodrigues et al., (2010) bahwa peningkatan jumlah sel menyebabkan pertumbuhan batang lebih cepat, sehingga dihasilkan batang yang lebih panjang. Giberelin akan menstimulasi pemanjangan sel karena adanya hidrolisis pati yang dihasilkan dari giberelin akan mendukung terbentuknya amilase. Sebagai akibat dari proses tersebut, maka konsentrasi gula meningkat yang mengakibatkan tekanan osmotik di dalam sel menjadi naik, sehingga ada kecenderungan sel tersebut berkembang. Menurut Nieminen et al., (2015) bahwa, kombinasi IAA dan GA3 akan meningkatkan aktivitas pembelahan kambium dan diferensiasi penuh pada xilem dan floem. Meristem apikal secara langsung membentuk jaringan ikatan pembuluh yang berupa xilem primer dan floem primer. Pertumbuhan diameter batang terjadi akibat pembelahan dan perkembangan sel kambium pembuluh dan sangat dipengaruhi oleh suplai hara dari media tumbuh. Hal ini diperkuat oleh pendapat Miyashima et al., (2013) yang menyatakan bahwa pertambahan lebar batang juga disebabkan oleh aktivitas kambium dalam menghasilkan xilem dan floem sekunder. Peningkatan pembelahan sel dan pertumbuhan sel pada fase bibit mengarah kepada pemanjangan batang dan juga perkembangan daun muda (Chih Liang et al., 2014). Jumlah daun dipengaruhi juga oleh genotip yang merupakan faktor internal dari tanaman dan lingkungan, menurut Blue et al., (2015) tanaman
30
yang berasal dari induk berdaun sedikit dan lebar biasanya menghasilkan anakan yang tidak jauh berbeda dengan induknya, begitu juga sebaliknya. Salah satu pengaruh faktor lingkungan adalah cahaya, tanaman yang berada pada lingkungan dengan penyinaran yang baik bisa menghasilkan jumlah daun yang lebih banyak sebagai akibat dari proses fotosintesis yang berjalan lancar sehingga fontosintat yang dihasilkan banyak. Adanya fotosintat yang banyak salah satunya digunakan untuk meningkatkan aktivitas meristematis pada pembentukan primordia daun. Adanya pembesaran sel mengakibatkan ukuran sel yang baru lebih besar dari sel induk. Peningkatan pembelahan sel menghasilkan jumlah sel yang lebih banyak. Jumlah sel yang meningkat, termasuk di dalam jaringan pada daun, memungkinkan terjadinya peningkatan fotosintesis penghasil karbohidrat, yang dapat mempengaruhi bobot tanaman.
2.7. Okulasi
2.7.1. Saat Pelaksanaan okulasi Okulasi adalah suatu proses penempelan mata tunas dari klon-klon anjuran pada batang bawah yang terpilih sehingga dapat memberikan hasil sesuai harapan. Pelaksanaan okulasi pada tanaman karet didasarkan pada ukuran diameter batang dan umur batang bawah. Okulasi dini (2 – 3 bulan), okulasi hijau (4 – 6 bulan) dan okulasi coklat (8 – 10 bulan). Okulasi yang telah berumur 21 hari dibuka verban okulasinya dan diperiksa apakah tunas okulasi hidup atau mati. Okulasi yang berhasil ditandai dengan perisai yang masih hijau, apabila digores sedikit perisai masih terlihat segar. Apabila menunjukkan warna hitam dan perisai terlihat membusuk berarti okulasi tidak berhasil (Boerhendy, 2013). Menurut Lahoty,
31
2013 bahwa dalam melakukan grafting, perlu diperhatikan polaritas batang atas (rootstock) dan batang bawah (scion).
2.7.2. Fisiologi Pertautan Okulasi Pengertian kompabilitas adalah kemampuan dua jenis tanaman yang disambung untuk menjadi satu tanaman baru. Bahan tanaman yang disambung akan menghasilkan presentase kompabilitas tinggi jika masih dalam satu spesies atau satu klon, atau bahkan satu famili, tergantung jenis tanaman masing-masing (Stoltz and Strang, 2005). Cholid et al., (2014) melaporkan bahwa keberhasilan okulasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain daya gabung, hubungan kekerabatan antara rootstock dan scion. Keadaan ini diduga dapat mengindikasikan adanya interaksi antara rootstock dengan scion pada okulasi tanaman karet. scion akan dapat tumbuh baik apabila mendapat hara dari rootstock dalam bentuk dan perbandingan yang tepat. Syarat ini akan dapat dipenuhi apabila sifat rootstock dan scion tidak jauh berbeda. Dalam melakukan okulasi (grafting), perlu diperhatikan polaritas batang atas (scion) dan batang bawah (rootstock). Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penyambungan adalah kompabilitas. Gonçalves dan Martins, (2002) menyatakan bahwa kompatibilitas rootstock dan scion disebabkan kesesuaian pada okulasi yang menunjukkan hubungan jaringan vaskular, kesinambungan pembuluh yang baik dan adaptasi floem yang baik, perpaduan jaringan vaskular dapat mendorong kelancaran aliran mineral, nutrisi dan mengasimilasi aliran dalam tanaman.
32
Dalam laporan Janick
et al., (2009) mengenai okulasi bahwa proses
pertautan dalam okulasi diawali dengan terbentuknya lapisan nekrotik pada permukaan sambungan yang membantu menyatukan jaringan sambungan terutama di dekat berkas vaskular. Pemulihan luka dilakukan oleh sel-sel meristematik yang terbentuk antara jaringan yang tidak terluka dengan lapisan nekrotik. Lapisan nekrotik ini kemudian menghilang dan digantikan oleh kalus yang dihasilkan oleh sel-sel parenkim. Sel-sel parenkim batang atas dan batang bawah masing-masing mengadakan kontak langsung, saling menyatu dan membaur. Sel parenkim tertentu mengadakan diferensiasi membentuk kambium sebagai kelanjutan dari kambium batang atas (scion) dan batang bawah (rootstock) yang lama. Hartman et al., (2011) and Zhang (2011), melaporkan bahwa, agar proses pertautan tersebut dapat berlanjut, sel atau jaringan meristem antara daerah potongan harus terjadi kontak untuk saling menjalin secara sempurna. Hal ini hanya mungkin jika kedua jenis tanaman cocok (kompatibel) dan irisan luka rata, serta pengikatan sambungan tidak terlalu lemah dan tidak terlalu kuat, sehingga tidak terjadi kerusakan jaringan. Sejalan dengan laporan Cardinal et al., 2007 mengenai okulasi bahwa pada bekas pelukaan okulasi area sel parenkim yang berdekatan dengan lapisan nekrotik mulai membelah diri di berbagai titik sepanjang permukaan dalam dari jaringan yang terluka, secara eksklusif pada bagian scion, membentuk kalus. Selsel parenkim batang atas (scion) dan batang bawah (rootstock) masing-masing mengadakan kontak langsung, saling menyatu dan membaur. Sel parenkim tertentu mengadakan diferensiasi membentuk kambium sebagai kelanjutan dari
33
kambium batang atas dan batang bawah yang lama. Kegiatan pembelahan sel intensif terjadi pada kedua rootstock dan scion di wilayah okulasi diindikasikan tidak hanya oleh proliferasi kalus di zona langsung okulasi tetapi juga oleh hilangnya zona nekrotik. Tingginya daya kompatibilitas antara rootstock dengan scion, rootstock mampu melakukan pertautan tempelan yang baik yang diawali oleh pembentukan kalus, deferensiasi kalus menjadi kambium baru membentuk jaringan vaskuler yaitu xilem dan floem, dan dengan demikian aliran mineral dan unsur hara mampu ditranslokasikan dari tanah ke scion melalui rootstock. Dalam hal ini roostock karet yang telah diberi perlakuan benih dapat beradaptasi dengan baik terhadap scion ketika pertautan terjadi hal ini sesuai dengan pernyataan Zhang (2009) dan Darikova, et al., 2011, mengemukakan bahwa pada planlet walnut (Junglans regia) urutan penyembuhan hingga bertautnya jaringan pembuluh batang bawah dan batang atas meliputi mulai dari tidak berkalus, inisiasi kalus, pertemuan kalus batang bawah dengan kalus batang atas, diferensiasi kalus menjadi kambium, disusul pertautan kedua kambium, serta diferensiasi menjadi jaringan pembuluh dan pertautan antara keduanya. Pada akhirnya pada variabel keberhasilan okulasi ini terbentuk jaringan atau pembuluh dari kambium yang baru sehingga proses translokasi hara dari rootstock ke scion dan sebaliknya dapat berlangsung kembali, sehingga jaringan kalus dan kambium dapat tumbuh dengan baik.
34