BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Genus Streptomyces Streptomyces merupakan bakteri dari kelompok Actinomyces. Genus ini telah diexplorasi secara luas karena beberapa spesies diantaranya diketahui sangat potensial sebagai penghasil antibiotik (Hopwood et al., 2000). Streptomyces diketahui dapat memproduksi berbagai senyawa aktif diantaranya antibiotik, antiviral, enzim dan biofertilizer (Dhevendaran et al., 2004), pemicu pertumbuhan dan protein sel tunggal (Dhevendaran et. al., 2008) dan agen antitumor yang secara luas digunakan di bidang industri farmasi (Berdy, 2005). Karakterisasi Streptomyces didasarkan pada pertumbuhan koloni yang spesifik. Koloni Streptomyces bukan merupakan akumulasi dari kumpulan sel-sel tunggal dan seragam seperti bakteri, tetapi merupakan bentuk masa filamen bercabang (Rao, 2001). Koloni membentuk percabangan hifa yang kompleks dimana hifa aerial nantinya akan membentuk sporofor atau rantai spora aerial (Chaundary et al., 2013). Flardh (2003) menyatakan spora aerial Streptomyces tersusun berantai panjang dan bergelung. Koloni Streptomyces yang masih muda umumnya memiliki struktur permukaan yang halus dan setelah perkembangan selanjutnya koloni dapat terlihat padat dan memiliki karakteristik seperti kapas, bergranular, bertepung atau seperti beludru. Beberapa koloni juga memiliki ciri khas berupa adanya guratan pada koloni (Lanoot, 2004; Pelczar et al., 2002). Minas et al. (2001) juga menyatakan setiap spesies memiliki perbedaan respon
7
8
terhadap media pertumbuhan yang akan berpengaruh terhadap warna koloni. Pigmentasi ini terbentuk karena adanya produksi pigmen oleh hifa aerial vegetatif yang larut dan berdifusi ke media yang digunakan (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Morfologi dan perbedaan pigmentasi koloni Streptomyces sp. (Lanoot, 2004) Streptomyces merupakan kelompok bakteri Gram negatif dan bersifat tidak tahan asam. Koloni dapat tumbuh pada kisaran pH 5,9 - 9,0 dan pertumbuhan paling optimum pada pH netral (6,5 – 8,0). Berdasarkan pada kisaran suhu pertumbuhannya, Streptomyces termasuk bakteri mesofilik dengan suhu pertumbuhan optimum pada 280C (Lanoot, 2004). Streptomyces memiliki siklus hidup yang menyerupai siklus siklus hidup jamur berfilamen (Gambar 2.2). 2.2). Siklus dimulai dari spora yang juga disebut arthrospora atau konidia. Spora akan bergerminasi membentuk hifa multinukleid yang selanjutnya membentuk miselia vegetatif. Pada diferensiasi selanjutnya miselia vegetatif akan membentuk hifa aerial (miselia sekunder) yang tumbuh ke permukaan. Selanjutnya hifa aerial tersebut akan bersekat-sekat bersekat sekat menjadi bagianbagian bagian uninukleid dan terdiferensiasi menjadi rantai spora (sporofor). (sporofor). Spora yang
9
telah matang akan membentuk lapisan dinding yang tebal yang selanjutnya akan terlepas dari sporofor dan pada kondisi lingkungan yang sesuai akan bergerminasi (Lanoot, 2004). Spora Germinasi
Generasi Rantai spora
Spora bergerminasi
Siklus hidup Streptomyces Pertumbuhan vegetatif
Sporulasi Hifa aerial
Miselium vegetative Pertumbuhan aerial
Gambar 2.2 Siklus hidup Streptomyces sp. (Kiesar et al., 2000) Populasi Actinomyces tersebar luas di berbagai habitat, namun secara dominan paling banyak ditemukan di tanah terrestrial. Hampir 90% populasi Actinomyces pada tanah merupakan kelompok Streptomyces (Anderson dan Wellington, 2001). Penelitian tentang isolasi Streptomyces dari sampel tanah telah banyak dilaporkan. Sebagian besar spesies yang ditemukan diketahui memiliki kemampuan dalam memproduksi bahan metabolit (Euanorasetr et al., 2010; Ceylan et al., 2008). Belakangan ini explorasi terhadap kelompok Actinomyces banyak dilakukan pada tanah rhizosfer mangrove (Usha et al., 2010 ; Rao dan Rao, 2013).
10
Penelitian oleh Gupta et al. (2009) dapat mengisolasi sebanyak 105 jenis Streptomyces dari tanah di ekosistem mangrove Bhitarkanika India. Sebagian besar Streptomyces diketahui berasosiasi dengan jenis mangrove Excoecaria agallocha (45%), Sonneratia ceseolaris (35%), Bruguire parviflora dan Heritiera fomes (26%), Aglaia cucullata dan Sonneratia apetala (25%). Rao dan Rao (2013) juga melaporkan dapat mengisolasi Sreptomyces coelicoflavus BC 01 dari tanah mangrove di Visakhapatnam India. Di Indonesia beberapa penelitian telah berhasil melakukan isolasi Streptomyces sp. dari tanah mangrove seperti di kawasan mangrove Surabaya (Retnowati, 2010) dan Pulau Lombok (Lisdiyanti et al., 2012).
2.2 Streptomyces Sebagai Pengendali Hayati Potensi Streptomyces sebagai penghasil antibiotik telah banyak diteliti. Di bidang kesehatan khususnya, hampir 2/3 dari antibiotik yang digunakan diisolasi dari Streptomyces. Beberapa antibiotik tersebut diantaranya nistatin (S. noursei), amphotericin B (S. nodosus), natamycin (S. natalensis), streptomycin (S. griseus), neomycin (S. fradiae), erythromicin (S. erythraea), dan tetracycline (S. rimosus) (Sharma, 2014). Kemampuan kelompok Streptomyces dalam menghasilkan antibiotik telah mulai diaplikasikan sebagai agen kontrol biologis. Beberapa spesies Streptomyces telah diteliti memiliki kemampuan antagonistik terhadap patogen tumbuhan dan hewan sehingga sangat potensial dikembangkan sebagai agen biokontrol (Sharma, 2014; Xu et al., 2009). Produk Streptomyces sebagai agen biokontrol sudah mulai dikomersilkan seperti yang dilaporkan Lichatowich (2007). Produk dari S. lydicus
11
WYEC 108 telah berhasil diaplikasikan sebagai pengendali berbagai patogen tanaman seperti Phytium spp., Fusarium spp., Phytophthora spp., Rhizoctonia spp., Botrytis spp., downy mildew dan powdery mildew. Selain efektif sebagai kontrol biologis di bidang pertanian, Streptomyces juga dilaporkan efektif diaplikasikan di bidang peternakan. Streptomyces dilaporkan dapat menekan pertumbuhan jamur Aspergillus flavus dan A. ochraceus yang sering mengkontaminasi makanan ternak. Streptomyces torulosus dilaporkan dapat menurunkan kadar aflatoksin B1 secara in vivo pada pakan gandum yang dikontaminasi A. flavus dibandingkan kontrol (Hassan et al., 2011 ; Shaaban et al., 2013). Actinomyces
merupakan
agen
pengendali
hayati
yang
potensial
dikembangkan di bidang akuakultur. Beberapa penelitian telah menunjukkan kemampuan Actinomyces khususnya genus Streptomyces dalam menghambat pertumbuhan patogen pada ikan, udang dan hewan budidaya lain (Dharmaraj, 2011 ; Dharmaraj et al., 2010). Penelitian oleh Dharmaraj et al. (2010) dapat mengisolasi 4 jenis Streptomyces yang memiliki kemampuan daya hambat secara in vitro terhadap Vibrio sp. dan Aeromonas hydrophila yang merupakan patogen utama pada budidaya ikan dan udang. Bernal et al. (2015) juga melaporkan bahwa isolat S. panacagri dan S. flocculus yang diisolasi dari sedimen laut memiliki kemampuan antagonistik terhadap V. alginolyticus (CAIM 57), V. harveyi (CAIM 1793), V. vulnifucus (CAIM 157) dan V. parahaemolyticus (ATCC 17802).
12
Aplikasi Streptomyces pada kolam/ tangki pembiakan juvenile udang windu (P. monodon) telah dilaporkan oleh Vermurugan et al. (2015). Dalam penelitiannya dikemukakan bahwa isolat Streptomyces sp. yang diaplikasikan pada kolam pemeliharaan efektif dalam menekan populasi pertumbuhan patogen Vibrio sp. Setelah 22 hari perlakuan dengan inokulasi Streptomyces sp., total populasi Vibrio sp. mengalami penurunan dari 98 CFU/ml menjadi 22 CFU/ml. Sementara itu total populasi Streptomyces meningkat dari 180 CFU/ml menjadi 400 CFU/ml. Hal ini mengindikasikan isolat Streptomyces sp. yang diisolasi memiliki kemampuan berkompetisi secara efektif terhadap patogen Vibrio sp. Penelitian Aftabuddin et al. (2013) menggunakan S. fradiae juga menunjukkan
potensi
Streptomyces
sebagai
biokontrol
patogen
Vibrio.
Streptomyces fradiae dilaporkan efektif menghasilkan substansi aktif berupa antibiotik yang dapat mengurangi pertumbuhan dari Vibrio sp. pada kolam pengembangan larva P. monodon. Aktivitas ini juga berdampak pada peningkatan kesehatan dan penurunan angka kematian larva akibat infeksi vibriosis. Selain sebagai agen pengendali hayati, beberapa peneliti juga mulai mengembangkan Actinomyces sebagai sumber probiotik yang potensial dikembangkan di akuakultur (Chau et al., 2011). Actinomyces dianggap potensial karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya; (1) dapat memproduksi agen antimikroba dan antivirus (Oskay et al., 2004); (2) memiliki kemampuan kompetisi terhadap nutrisi terutama ion besi (Kesarcodi et al., 2008); (3) sebagian besar spesies Actinomyces tidak patogen pada hewan target (Yang et al., 2007) ; (4) Spora Actinomyces tahan terhadap berbagai formasi panas dan pengeringan
13
(desiccation) dan memiliki umur hidup yang panjang selama proses persiapan dan penyimpanan (Chao et al., 2011).
2.3 Mekanisme Pengendalian Biologis Biokontrol atau pengendalian hayati merupakan salah satu pendekatan alternatif dengan menggunakan agensia hidup dalam mengendalikan infeksi atau kejadian penyakit oleh patogen (Atalah et al., 2015). Pengendalian biologis di bidang akuakultur umumnya belum banyak dilakukan evaluasi, sehingga dianggap masih riskan diaplikasikan dalam skala luas. Meskipun demikian konsep biokontrol
dengan
menggunakan
organisme
indigenous
telah
banyak
didemonstrasikan dalam aplikasi eksperimental. Beberapa penelitian dapat menunjukkan bahwa penggunaan agen biokontrol ini dapat secara efektif menekan infeksi penyakit (Secord, 2003; Verschuere et al., 2000). Setiap agen biokontrol memiliki mekanisme penekanan tersendiri terhadap patogen. Adapun beberapa mekanisme umum yang terjadi dalam proses kontrol antagonis di bidang akuakultur diantaranya produksi substansi antimikroba, kompetisi dan modulasi sistem imun. 1. Produksi substansi antimikroba Mikroba antagonis dalam menghambat pertumbuhan patogen dapat memproduksi substansi antimikroba yang memiliki efek bakteriostatik atau bakteriosida. Substansi ini umumnya dapat berupa antibiotik, bakteriosin, enzim, hidrogen peroksida atau substansi asam organik seperti ammonia dan diasetil (Verschuere et al., 2000). Penelitian oleh Kumar et al. (2006) mampu mengisolasi produk antibiotik yang dihasilkan oleh Actinomyces laut. Pengujian secara in vivo
14
menunjukkan antibiotik yang dihasilkan tersebut mampu mengendalikan infeksi penyakit white spot syndrome pada udang windu (P. monodon (Fabricus). 2. Kompetisi Kompetisi dalam mekanisme biokontrol terdiri atas kompetisi ruang dan kompetisi nutrisi. Mekanisme ini digunakan oleh bakteri antagonis untuk melakukan
kolonisasi
ruang
atau
nutrisi
sehingga
dapat
menghambat
pertumbuhan patogen (Janarthanam et al., 2012). Kompetisi nutrisi dapat berupa produksi siderophore atau melalui produksi enzim pendegradasi. Nour dan ElGhiet (2011) melaporkan Pseudomonas fluorescens strain AH2 dalam menghambat Aeromonas hydrophila memproduksi siderophore yang merupakan molekul bermassa rendah yang memiliki kemampuan untuk mengikat Fe3+ bebas. Chau et al. (2011) juga melaporkan Streptomyces sp. A1 yang diisolasi dari sedimen kolam di Vietnam memiliki kemampuan memproduksi siderophore dan enzim ekstraseluler yang dapat mendekomposisi senyawa organik seperti pati, protein dan selulase. Kemampuan Streptomyces sp. A1 tersebut diduga menyebabkan
terjadinya
kompetisi
nutrisi
yang
merupakan
mekanisme
penghambatan atau biokontrol bagi patogen Vibrio sp. Sementara itu kompetisi ruang menurut Janarthanam et al. (2012) merupakan mekanisme kolonisasi antagonis dalam habitat atau daerah infeksi yang sama. Dalam penelitiannya ditemukan bakteri Bacillus sp. dalam menghambat pertumbuhan V. harveyi melakukan kolonisasi pada saluran pencernaan larva P. monodon sehingga dapat menurunkan populasi V. harveyi. 3. Modulasi sistem imun
15
Bakteri antagonis diduga dapat bertindak sebagai imuno-stimulan pada hewan akuakultur khususnya pada ikan dan udang. Imuno-stimulan adalah senyawa kimia yang dapat mengaktivasi sistem imun dan meningkatkan ketahanan hewan terhadap patogen (Verschuere et al., 2000). Kemampuan modulasi sistem imun dilaporkan oleh Balcazar (2003) dengan mengaplikasikan kultur Bacillus sp. yang mampu meningkatkan ketahanan L. vannamei terhadap infeksi V. harveyi dan white spot syndrome. Rengpipat et al. (2000) juga menunjukkan bahwa aplikasi Bacillus sp. dapat mengaktifkan sistem imun dari larva P. monodon.
2.4 Taksonomi dan Karakteristik Bakteri Vibrio Genus Vibrio termasuk dalam famili Vibrionaceae dan terdiri dari 103 spesies yang telah diidentifikasi. Dua belas spesies diantaranya telah diklasifikasikan ulang ke dalam genus lain, namun masih dalam satu famili (Montieri et al., 2010). Adapun klasifikasi dari Vibrio sp. menurut Holt et al. (1994) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Prokaryota
Divisi
: Bacteria
Kelas
: Eubacteria
Ordo
: Eubacteriales
Famili
: Vibrionaceae
Genus
: Vibrio
Spesies
: Vibrio sp.
16
Beberapa spesies Vibrio yang baru ditemukan sebagian besar diisolasi dari lingkungan akuatik dan organisme laut (Thompson et al., ., 2005). Setidaknya diketahui terdapat 12 spesies Vibrio yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia diantaranya V. cholerae, V. parahaemolyticus dan V. vulnificus (Morris, 2003). Di Amerika Serikat, sebanyak 20% kasus penyakit yang disebabkan oleh konsumsi makanan laut disebabkan oleh non-epidemik non V. cholerae cholerae, V. parahaemolyticus dan V. vulnificus (Sethi, 2014). Morfologi dari bakteri Vibrio diantaranya berbentuk batang lurus atau bengkok dengan ukuran panjang 1,4 1,4-2,6 µm dan lebar 0,5-0,8 0,8 µm, Gram negatif, tidak membentuk spora dan bersifat aerob fakultatif. Koloni dapat dikultur dengan baik pada blood agar dan Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose (TCBS) agar. Kultur pada blood agar akan berwarna abu dan bulat sedangkan kan pada TCBS agar akan tumbuh berwarna kuning atau hijau (Thompson et al.,., 2005). Spesies yang dapat menfermentasi sukrosa akan tumbuh berwarna kuning pada media TCBS, sedangkan yang tidak dapat menfermentasi sukrosa berwarna hijau (Sethi, 2014).
Koloni berwarna kuning (sucrose fermentor bacteria)
Koloni berwarna hijau (non non sucrose fermentor bacteria) a)
Gambar 2.3.. Pertumbuhan bakteri Vibrio pada media selektif TCBS (Sethi, 2014)
17
2.5 Vibriosis Pada Akuakultur Bakteri Vibrio merupakan salah satu patogen utama pada akuakultur. Infeksi Vibrio pada budidaya dapat menyebabkan tingkat kematian larva atau individu yang signifikan. Selain sebagai patogen primer, bakteri ini juga dapat berasosiasi dengan patogen lain sebagai penyebab penyakit sekunder atau sebagai patogen opportunistic. Penyakit vibriosis merupakan penyakit yang hampir menginfeksi sebagian besar tambak di seluruh dunia (Saulnier et al., 2000 ; Chythanya et al., 2002). Pada beberapa dekade terakhir infeksi bakteri vibrio pada akuakultur termasuk pembenihan menyebabkan kerugian yang cukup signifikan (Won dan Park, 2008; Rattanachuay et al., 2010). Vibriosis dilaporkan dapat menginfeksi berbagai hewan budidaya seperti udang windu (P. monodon) (Widanarni et al., 2003), udang vanamei (Litopeneus vannamei) (Yudiati et al., 2010), udang air tawar (M. rosenbergii) (Jayaprakash et al., 2006), ikan air payau seperti Tilapia sp., Anguilla sp., dan Mulet sp. (Nermeen et al., 2006), abalone (Haliotis diversicolor supertexta L.) (Cai et al., 2006) dan kerang (Crassostrea gigas) (Lafferty et al., 2014). Di Indonesia vibriosis juga dilaporkan menginfeksi ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) pada budidaya jaring apung (Ilmiah et al., 2012). Vibriosis pada budidaya udang baik di pambenihan atau pembesaran dapat disebabkan oleh berbagai spesies Vibrio. Vibriosis pada udang Penaeid dilaporkan dapat disebabkan oleh berbagai jenis Vibrio seperti V. parahaemolyticus, V. harveyi, V. vulnificus dan V. penaeicida (Austin dan Zhang, 2000). Menurut
18
Jayaprakash et al. (2006), infeksi vibriosis pada udang juga dapat disebabkan oleh V. alginolyticus. Beberapa spesies yang juga dilaporkan sebagai patogen pada hewan laut diantaranya V. spendidus (Lacoste et al., 2001), V. anguillarum (Otta et al., 2001), dan V. fischeri (Azizunnisa dan Sheeramulu, 2013).
2.6 Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii (de Man))
2.6.1 Klasifikasi dan penyebaran udang galah Udang galah (M. rosenbergii (de Man)) merupakan kelompok udang air tawar yang merupakan spesies indigenous di Asia Tenggara dan Asia Selatan (New, 2002). Udang galah secara umum dikenal dengan sebutan giant freshwater prawn karena memiliki ukuran tubuh besar. Sedangkan di Indonesia lebih dikenal dengan udang galah sebab spesies ini memiliki ciri khas terdapatnya “kaki jalan kedua” yang tumbuh besar dan memanjang menyerupai galah (Fauzan, 2009). Penggambaran spesies M. rosenbergii pertama kali diperkenalkan pada tahun 1705. Pemberian nama M. rosenbergii dilakukan oleh De Man pada tahun 1879. Adapun klasifikasi dari udang galah adalah sebagai berikut (New, 2002) : Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Famili
: Palaemonia
Genus
: Macrobrachium
Spesies
: M. rosenbergii (de Man)
19
Populasi Macrobachium tersebar di beberapa wilayah Asia Tenggara dan Selatan khususnya India, Teluk Bengal, Thailand, Malaysia, Papua New Guinea dan Indonesia (Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya). Pada habitat aslinya, udang galah banyak terdapat di badan perairan air tawar seperti sungai, danau, kanal, kolam dan estuari. Saat ini spesies M. rosenbergii telah terdistribusi di beberapa negara untuk keperluan budidaya. Komuditas ini telah dikembangkan secara luas sebagai udang budidaya di beberapa negara seperti Bangladesh, Brazil, Ekuador, India, Malaysia, Taiwan, Cina dan Thailand (New, 2002). Di Indonesia, sentra budidaya udang galah banyak dikembangkan di wilayah Jawa, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali (Priyono et al., 2011).
2.6.2 Morfologi udang galah Macrobrachium rosenbergii (de Man) merupakan spesies yang memiliki ukuran tubuh paling besar dibandingkan spesies lain dari genus Macrobachium. Panjang tubuh udang galah dewasa dapat mencapai 33 cm untuk jantan sedangkan yang betina berkisar antara 29 cm atau lebih (New, 2002). Morfologi badan udang galah terdiri dari 2 bagian yaitu cephalotorax (kepala dan dada) dan abdomen (Gambar 2.4). Bagian cephalothorax dibungkus oleh kulit keras yang disebut karapas. Pada bagian depan kepala terdapat tonjolan karapas yang bergerigi (rostrum). Pada rostrum bagian atas terdapat 11 – 13 buah duri dan di bagian bawah rostrum terdapat 4 – 9 buah duri. Pada kedua bagian rostrum terdapat antena yang merupakan alat sensor penerima rangsang (Priyono et al., 2011).
20
Gambar 2.4. Gambaran morfologi external dari udang galah (M. rosenbergii (de Man)) dewasa (Ali, 2009).
Udang galah memiliki 5 pasang kaki jalan atau pereiopoda yang terletak di bagian cephalotrax. Sepasang kaki jalan kedua disebut cheliped karena dilengkapi dengan chelae atau capit. Cheliped berfungsi untuk menangkap makanan, alat pertahanan dan membantu proses kawin (mating). Cheliped pada udang galah jantan tumbuh panjang mencapai 1,5 kali panjang badan sedangkan pada udang galah betina ukuran cheliped relatif lebih kecil (New, 2002). Bagian abdomen terdiri dari 6 ruas. Pada ruas pertama sampai kelima terdapat lima pasang kaki renang (pleopoda). Ruas terakhir merupakan ruas badan yang kaki renangnya berfungsi sebagai pengayuh atau biasa disebut ekor kipas (uropoda). Uropoda terdiri dari bagian luar (exopoda), bagian dalam (endopoda) dan bagian ujungnya yang meruncing disebut telson (Fauzan, 2009). Udang galah jantan dan betina memiliki beberapa perbedaan karakteristik terutama pada ukuran badan. Jantan dewasa memiliki ukuran badan dan chelipeds yang lebih besar dan panjang dibandingkan betina dewasa (Hadie dan Hadie, 2002 ; New, 2000).
21
2.6.3 Siklus hidup Udang galah dalam perkembangannya memerlukan dua habitat untuk hidup. Pemijahan telur terjadi di muara sungai (estuari). Telur yang telah menetas awalnya bersifat planktonik (zoea), kemudian mengalami fase larva, postlarva hingga menjadi udang dewasa. Pada fase larva perubahan stadium larva terjadi sebanyak 11 kali dan berlangsung selama 30-35 hari (Fauzan, 2009). Adapun karakteristik tahapan masing-masing stadium larva disajikan pada Gambar 2.5.
Stadium 1 (usia 2 hari) : Mata belum bertangkai (sesil)
Stadium 2 (usia 3 hari) : mata bertangkai
Stadium 5 (usia 12 hari) : Antennal flagellum dengan 2-3 segmen, telson berbentuk persegi panjang dan menyempit
Stadium 6 (usia 18 hari) : Antennal flagellum dengan 4 segmen, telson menyempit, pleopoda berbentuk kuncup
Stadium 9 (usia 29 hari) : Antennal flagellum dengan 9 segmen
Stadium 10 (usia 34 hari) : antennal flagellum dengan 12 segmen, rostrum dengan 3-4 gigi dorsal.
Stadium 3 (usia 5 hari) : Rostrum memiliki 1 gigi dorsal, uropoda mulai terbentuk.
Stadium 7 (usia 22 hari) : Antennal flagellum dengan 5 segmen, pleopoda biramous
Stadium 4 (usia 9 hari) : rostrum dengan dua gigi dorsal, uropod biramous dengan septat
Stadium 8 (usia 25 hari): Antennal flagellum dengan 7 segmen, pleopoda biramous dengan septat
Stadium 11 (usia 37 Post larva : rostrum hari) : antennal dengan gigi ventral flagellum dengan dan dorsal. 15 segmen, rostrum denggan 9 gigi dorsal
Gambar 2.5 Tahapan stadium larva M. rosenbergii (de Man) (Ismael dan New, 2000)
22
2.7 Infeksi Penyakit Pada Pembenihan Udang Galah Infeksi penyakit pada budidaya udang beberapa tahun terakhir menyebabkan beberapa kerusakan di sentra tambak dunia. Kerusakan tersebut berdampak pada penurunan angka produksi dan kualitas udang di pasaran (Sung et al., 2002; Phatarpekar et al., 2002). Penyakit pada budidaya M. rosenbergii (de Man) umumnya terjadi karena kurangnya sanitasi pada proses pembenihan atau pemeliharaan seperti regulasi air yang buruk, pemeliharaan tambak yang buruk, sanitasi yang rendah serta peralatan yang kurang memadai (New, 2002). Serangan penyakit pada budidaya udang galah dapat terjadi ketika pembenihan atau pembesaran (New, 2002). Infeksi patogen pada tingkat benih dapat terjadi pada tingkat stadium larva yang bervariasi. Hal ini terkait pada tingkat ketahanan larva, jenis patogen, kondisi lingkungan (salinitas, temperatur, pH) dan manajemen pemeliharaan. Infeksi penyakit pada tingkat ini dapat disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, jamur dan parasit (Shailender, 2012). Larva udang galah dapat terinfeksi beberapa penyakit seperti white tail disease (nodavirus (MrNV)), extra small virus (XSV) (Ravi et al., 2009), White Muscle Disease (Vijayan et al., 2005), parasit ; Zoothamnium, Epistylis, Vorticella, Lagnophyrus dan Aceneta (Shailender et al., 2012), Mid Cycle Disease (Bashar et al., 2012), infeksi jamur seperti Lagenidium sp. (Krishnika dan Ramasamy, 2014) dan infeksi bakteri seperti bacterial necrosis (Pseudomonas sp., Leucothrix sp.), luminescent larval syndrome (Vibrio harveyi), white postlarval syndrome (Rickettsia sp.) (FAO, 2002).
23
Kematian larva tertinggi menurut Sharsar et al. (2008) disebabkan oleh adanya infeksi bakteri luminescent yang termasuk kelompok Vibrio spp. Penelitian oleh Shailender (2012) melaporkan bahwa bakteri luminescent dari kelompok Vibrio spp. dapat menginfeksi larva M. rosenbergii (de Man) dari stadia zoea hingga post larva. Jayaprakash et al. (2006) melaporkan bakteri Vibrio alginolyticus (MRNL-3) yang diisolasi dari Rosen Fisheries Kerala, secara signifikan menyebabkan kematian pada larva (stadium 9) M. rosenbergii (de Man).