BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertumbuhan Anak Sekolah dasar Usia sekolah dasar (6-12) merupakan puncak pertumbuhan tertinggi kedua setelah 0-3 tahun atau disebut dengan Adolescent Growth Spurt, hal ini merupakan masa terpenting dalam pembentukan kualitas fisik orang dewasa. Seiring dengan itu jika dilihat dari kebutuhan zat-zat gizi akan meningkat dengan pesat sehingga suatu kondisi difesiensi/kekurang gizi pada usia ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan anak tersebut (Soetjiningsih, 1995). Dapat dikatakan pada dasarnya pertumbuhan
anak
merupakan
dasar
kehidupan
berlangsung
secara
berkesinambungan, dalam arti setiap tahap ditentukan oleh tahap sebelumnya dan akan menentukan tahp berikutnya. Begitu juga halnya pertumbuhan tinggi badan anak laki-laki dan anak perempuan berbeda. Pertumbuhan merupakan parameter kesehatan dan gizi yang cukup untuk menilai kesehatan anak. Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel organ maupun individu, yang bisa di ukur dengan ukuran berat (gram, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh) (Soetjiningsih, 1995). Pertumbuhan dapat diukur dengan berbagai cara, salah satu yang paling umum adalah dengan metode antropometri. Pengukuran
antropometri
tampaknya
sangat sederhana dan mudah karena seolah-olah dianggap menyangkut kegiatan
Universitas Sumatera Utara
menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan dan sebagainya. Siapa sajapun dapat melakukan kegiatan ini hanya melakukan latihan-latihan sederhana. Namun dari segi ilmiah dan demi ketepatan perencanaan program gizi banyak masalah teknis yang perlu diperhatikan terutama tentang cara-cara pengukuran. Kesalahan teknis pengukuran menyebabkan akurasi data tidak dapat dipertanggung jawabkan dan masalah ini dapat menimbulkan keracunan. Di Indonesia jenis antropometri yang banyak digunakan dalam kegiatan penelitian dan program adalah berat badan dan tinggi badan. Diperlukan ketelitian pengukuran oleh karena kesalahan pengukuran akan mengakibatkan kesalahan data yang pada akhirnya akan mempengaruhi penilaian status gizi (Supariasa, 2001). Indeks antropometri yang umum dikenal dan dapat digunakan untuk pertumbuhan usia anak sekolah yaitu, tinggi badan menurut umur (TB/U). 2.1.1. Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Tinggi badan memberikan gambaran pertumbuhan tulang yang sejalan dengan pertumbuhan umur. Berbeda dengan berat badan, tinggi badan tidak banyak dipengaruhi oleh keadaan yang mendadak. Tinggi badan pada suatu waktu merupakan hasil pertumbuhan secara kumulatif semenjak lahir dan karena itu memberikan gambaran riwayat status gizi masa lalu. Tinggi badan merupakan indeks yang sangat baik digunakan untuk mengevaluasi dampak gizi berbagai program dan memantau perubahan status gizi jangka panjang. Sehingga dapat memberikan gambaran anak pendek, stabil dan tidak terpengaruh oleh perubahan status gizi yang sesaat (Supariasa, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Pertumbuhan tinggi badan menurut umur (TB/U) yang pendek salah satu penyebab yang dianggap normal adalah faktor keturunan dari salah satu orangtuanya. Berdasarkan faktor keturunan, seseorang bertubuh pendek karena dia mungkin memang mempunyai bakat pendek, atau dalam masa dan pola pertumbuhannya mengalami suatu penundaan yang cukup lama, yaitu karena kekurangan salah satu atau lebih dari hormon-hormon pertumbuhan. Anak laki-laki agaknya terpengaruh terhadap keadaan hormon dibanding anak perempuan (Aritonang, 1996). Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lau. Keadaan TB anak pada usia sekolah (7 tahun) misalnya, menggambarkan status gizi pada masa balita mereka (Basumi, 1988). Indek TB/U sebagai indikator status memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah: 1.
Baik untuk menilai status gizi masa lampau
2.
Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa.
Kekurangannya adalah: 1.
Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun.
2.
Ketepatan umur sulit didapat.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) Salah satu indikator gizi untuk menilai peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah ukuran pertumbuhan fisik yang dapat dilakukan melalui pengukuran Tinggi Badan Anak Baru Sekolah (TBABS). Dengan penilaian pencapaian tinggi badan secara periodik khususnya pada anak baru masuk sekolah, akanmemberikan informasi yang sangat penting bagi para penentu kebijakan setempat, dalam perencanaan dan intervensi upaya peningkatan status gizi, juga sebagai indikator pembangunan (Depkes, 1999). Manfaat pengukuran TBABS menurut Abunain (1988) antara lain : 1) cukup teliti digunakan sebagai suatu alat untuk memperoleh gambaran status gizi pada tingkat kabupaten /kota dan tingkat kecamatan; 2) Data TBABS dapat digunakan sebagai dasar untuk pemetaan daerah menurut status gizi dan sekaligus juga member gambaran perbedaan sosial ekonomi antar wilayah; 3) Pengukuran TBABS dapat merupakan alternatif alat pemantau status gizi masyarakat dengan biaya relatif murah dan sederhana, sehingga dapat dikembangkan secara luas (nasional, atau regional). TBABS dapat memberi gambaran tentang pertumbuhan yang diderita anak bersangkutan pada umur-umur sebelumnya. Keadaan tinggi badan anak pada usia sekolah 7 tahun dapat menggambarkan status gizi pada masa balita mereka (Atmarita, 2004). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada penderita kurang kalori protein (KKP) terutama KKP berat yang bersifat menahun selalu terlihat gangguan pertumbuhan, yang dapat diamati pada tinggi badan. Anak-anak tersebut sulit untuk
Universitas Sumatera Utara
mengejar ketinggalan pertumbuhannya dalam waktu singkat guna mencapai tinggi normal sesuai dengan umurnya (Desmita, 2005). TBABS di suatu wilayah yang ada di bawah baku pada tingkat tertentu dapat memberi petunjuk adanya gangguan pertumbuhan pada anak sebagai gambaran taraf kesehatan dan gizi penduduk di wilayah bersangkutan. Ada korelasi yang baik antara tinggi badan anak sekolah dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat daerah yang bersangkutan. TBABS tersebut merupakan refleksi pertumbuhan anak pada umur di bawah lima tahun dan sekaligus menjadi petunjuk bagi perbaikan kesehatan dan gizi dalam masa tersebut (Abunain, 1988). TBABS dapat merupakan salah satu indikator status gizi dan kesehatan masyarakat suatu daerah, yang erat pula hubungannya dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat di daerah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan perubahan dalam status gizi dan kesehatan berkaitan erat dengan perubahan dalam tingkat sosial ekonomi penduduk. Oleh karena itu pengukuran TBABS sebaiknya dilakukan secara berkala, misalnya setiap 3 – 5 tahun sekali, sehingga perubahan-perubahan kualitas fisik dan keadaan sosial ekonomi masyarakat di berbagai daerah dapat dipantau secara berkesinambungan (Jahari, 1999). 2.2.1. Alasan Pengukuran TBABS Abunain (1988) menyebutkan beberapa alasan digunakannya pengukuran tinggi badan anak baru sekolah (TBABS) adalah atas dasar : 1. Tinggi badan merupakan indikator yang paling baik untuk pertumbuhan tubuh dan juga tidak terbatas hanya pada golongan masa kanak-kanak saja.
Universitas Sumatera Utara
2. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penderita KKP, terutama KKP berat dan yang bersifat menahun, selalu ditandai oleh gangguan pertumbuhan. 3. Tinggi badan pada umur tertentu merupakan hasil kumulatif pertumbuhan semenjak lahir, sehingga menggambarkan riwayat status gizi di masa lalu. 4. Tinggi badan tidak mudah dipengaruhi oleh perubahan keadaan-keadaan yang terjadi dalam waktu singkat seperti halnya ukuran-ukuran yang berhubungan dengan massa jaringan. 5. Tinggi badan pada umur masuk sekolah dasar dapat merupakan refleksi status gizi pada umur-umur sebelumnya atau pada masa balita. Anak-anak dengan riwayat KKP berat dan menahun sukar mengejar ketinggalan pertumbuhan guna mencapai tinggi normal sesuai dengan umur mereka. Karena itu TBABS di suatu daerah dapat memberi gambaran prevalensi gangguan pertumbuhan yang dialami anakanak di daerah tersebut. 6. Anak baru masuk Sekolah Dasar relatif mudah dicapai dibandingkan dengan anak balita atau golongan rawan gizi lain. Dengan demikian pengukuran dalam skala luas dapat dilakukan serentak di semua tempat. 7. Anak sekolah merupakan sasaran penduduk, yang dapat memberi gambaran status kesehatan dan gizi penduduk, yang secara operasional dapat dicapai dengan mudah dalam jumlah besar dan dapat mencakup wilayah luas dalam waktu relatif singkat. 8. Pengukuran tinggi badan di sekolah-sekolah bukanlah merupakan hal baru di Indonesia, sudah banyak dilakukan baik melalui UKS atau kegiatan lain.
Universitas Sumatera Utara
9. Alat ukur tinggi badan relatif cukup teliti, dapat diperoleh dengan mudah dalam jumlah banyak dengan harga relatif murah dibanding harga timbangan berat badan. 10. Pengukuran dapat dilakukan oleh guru dan dapat dilakukan dengan menggunakan buku petunjuk yang sudah diuji tanpa melakukan pelatihan secara khusus. 11. Penelitian menunjukkan adanya korelasi yang baik antara tinggi badan anak sekolah dengan keadaan sosial ekonomi penduduk daerah yang bersangkutan. 12. Jika pengukuran tinggi badan anak baru masuk SD dilakukan secara periodik, akan dapat diamati perubahan-perubahan dalam tinggi badan anak pada umur yang sama dan perbaikan pertumbuhan anak juga merupakan petunjuk peningkatan status kesehatan dan gizi serta sekaligus memberi gambaran perbaikan dalam bidang sosial ekonomi masyarakat setempat. 2.2.2. Survei Nasional TBABS Di
Indonesia
pengukuran
TBABS
pertama
kali
dilakukan
pada
tahun1986/1987 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Bogor bekerja sama dengan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Jakarta di tiga Propinsi : Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat, meliputi 3450 sekolah dasar (652 kecamatan). Pengukuran tinggi badan dilakukan guru sekolah yang bersangkutan berdasarkan buku pedoman. Hasil penelitian menunjukkan pengukuran TBABS dengan cara tersebut memberi harapan untuk dilaksanakan secara luas, dapat digunakan untuk pemetaan gangguan pertumbuhan anak, status gizi, dan pencapaian tinggi pada umur tertentu. Dari penelitian ini berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
analisis data potensi desa bahwa TBABS dapat digunakan sebagai indikator tingkat sosial ekonomi penduduk antar wilayah (Abunain, 1988). Pada tahun 1994, untuk pertama kalinya dilaksanakan pemantauan TBABS di seluruh Indonesia, yang memberikan gambaran rata-rata tinggi badan dan prevalensi gangguan pertumbuhan anak usia sekolah. Secara nasional rata-rata TBABS adalah 114,9 cm (91,0% terhadap standar WHO – NCHS) untuk laki-laki, sementara untuk anak perempuan 114,0 cm (90,6 % terhadap standar WHO-NCHS). Adapun n prevalensi gangguan pertumbuhan adalah 32% untuk wilayah pedesaan, dan 18% untuk wilayah perkotaan. Prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6 – 9 tahun anak pendek adalah 38,8 %. Informasi ini dapat dijadikan sebagai data dasar evaluasi kecenderungan pertumbuhan berikutnya (Depkes, 1999). Pada tahun 1999 pengukuran TBABS secara nasional kedua dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan tidak terlihat perubahan perbaikan gizi yang bermakna dari hasil pengukuran tersebut. Prevalensi hasil pengukuran TBABS menjadi 36,1 % Rata-rata TBABS hasil survey tahun 1999 adalah : 1. umur 6 tahun, laki-laki 108,9 cm; perempuan 107,8cm 2. umur 7 tahun, laki-laki 111,0 cm; perempuan 110,0 cm 3. umur 8 tahun, laki-laki 113,2; perempuan 112,1 cm 4. umur 9 tahun, laki-laki 116,1 cm; perempuan 115,2 cm (LIPI, 2004) Hasil penelitian TBABS tahun 1999 menyimpulkan bahwa anak Indonesia yang baru masuk sekolah keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan. Masih sekitar 30 – 40 % anak dikategorikan pendek, dan masih dijumpai sekitar 9 –
Universitas Sumatera Utara
10 % anak dikategorikan sangat pendek. Hanya sedikit sekali peningkatan status gizi yang terjadi (Atmarita, 2004) Rata-rata tinggi badan anak baru masuk sekolah (umur 7 – 9 tahun) hasil perhitungan 2003 yang dilakukan Abbas Basuni Jahari dan Idrus Jus’at dari berbagai literatur dan hasil penelitian TBABS untuk penentuan AKG 2004 adalah perempuan 118,1 cm (SD : 4,86); laki-laki 119,2 cm (SD : 3,95) (Jahari, 2004). Dalam menginterpretasikan hasil pengukuran TBABS,dipakai baku rujukan WHO-NCHS yang membedakan jenis kelamin. Cutt off point (ambang batas) untuk klasifikasi status gizi berdasarkan TB/U adalah:Baku rujukan WHO-NCHS , dengan cara % dari median. Klasifikasi : Normal jika ≥ 90 % median; Stunted/malnutrisi kronis jika ≤ 90 % median. Dengan cara Standar Deviasi (SD) : Klasifikasi : Normal jika ≥-2 SD TB/U; Stunted/pendek jika < -2 SD TB/U. 2.3. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah Di seluruh dunia, penyebab tersering dari postur tubuh pendek adalah kemiskinan dan efek – efeknya. Jadi nutrisi yang buruk, higine yang buruk dan kesehatan yang buruk berefek pada pertumbuhan baik sebelum ataupun sesudah dilahirkan. Sering terdapat perbedaan postur tubuh antara kelas – kelas social dari kelompok etnis yang sama di area geografi yang sama akibat pengaruh – pengaruh tersebut. Prinsip – prinsip ini telah dibuktikan pada tinggi badan orang – orang Jepang di Amerika yang bertinggi badan lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi badan orang – orang Jepang yang lahir di Jepang. Sebaliknya, jika status social
Universitas Sumatera Utara
ekonomi sama, perbedaan tinggi rata – rata antara bermacam – macam kelompok etnik hanya disebabkan factor genetik saja (Styne, 2000). Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain, pendapatan atau penghasilan, pendidikan dan pekerjaan orangtua. Ada hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi. Tingkat pendapatan menentukan pola konsumsi pangan dan apa yang dibeli baik kualitas maupun kuantitasnya. Pendapatan yang meningkat mendorong pengaruh yang menguntungkan bagi perbaikan gizi keluarga. Martorell et al.cit dalam Soekirman (2000), sosial ekonomi ini langsung berpengaruh terhadap kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan akan makanan, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta mencegah penyakit infeksi. 2.3.1. Pola Konsumsi Pangan Pola konsumsi pangan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jenis, frekuensi dan jumlah bahan pangan yang dimakan tiap hari oleh satu orang atau merupakan ciri khas untuk sesuatu kelompok masyarakat tertentu (Santoso, 2004). Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat penting dan tidak dapat tergantikan oleh kebutuhan yang lainnya. Terpenuhinya kebutuhan pangan merupakan hak asasi bagi setiap orang. Negara berkewajiban mewujudkan ketahanan pangan bagi setiap warga negara yaitu menyediakan pangan yang cukup, aman, beragam, bergizi, merata, terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya secara berkelanjutan (UU No. 18 Tahun 2012).
Universitas Sumatera Utara
Keadaan kesehatan tergantung dari tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kuantitas hidangan menunjukan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan hidangan dan perbandingannya yang satu terhadap yang lain. Kuantitas menunjukan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Jika susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari sudut kualitas maupun kuantitasnya, maka tubuh akan mendapat kondisi kesehatan gizi yang sebaik-baiknya. Konsumsi yang menghasilkan kesehatan gizi yang sebaik-baiknya disebut konsumsi adekuat. Bila konsumsi baik kuantitasnya dan dalam jumlahnya melebihi kebutuhan tubuh dinamakan konsumsi berlebih, maka akan terjadi suatu keadaan gizi lebih. (Sediaoetama, 2004). Pola konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh aspekaspek tersebut di atas. Agar dapat dikonsumsi penduduk, suatu komoditas pangan harus tersedia cukup baik melalui produksi pangan maupun melalui impor. Namun, tersedianya pangan belum mencukupi tanpa diikuti oleh adanya akses yang memadai terhadap pangan. Aksesibiltas penduduk terhadap pangan ditentukan oleh tingkat daya beli yang dalam hal ini menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk. Selain kedua hal tersebut, pola konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
2.3.1.1. Frekuensi Makan Frekuensi makan adalah jumlah makan sehari – hari baik kualitatif dan kuantitatif. Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat – alat pencernaan mulai dari mulut samapai usus halus. Lama makanan dalam lambung tergantung sifat dan jenis makanan. Jika dirata – rata, umumnya lambung kosong antara 3 – 4 jam. 2.3.1.2. Jenis makanan Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan, dicerna dan diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan sehat dan seimbang. Jenis makan yang dikonsumsi seseorang dapat dibedakan menjadi dua yaitu makanan utama dan makanan selingan (Sediaotama, 2004). 1. Makanan Pokok Makan pokok adalah yang dianggap memegang peran penting dalam susunan makanan. Pada umumnya makanan pokok berfungsi sebagai sumber energy (kalori) dalam tubuh dan member rasa kenyang. Makanan pokok yang bisa di konsumsi yaitu nasi, roti dan mie atau bihun. 2. Lauk pauk Lauk pauk berfungsi sebagai teman makan dari makanan pokok. Lauk pauk terdiri dari lauk pauk hewani dan nabati. Keduan jenis produk ini mempunyai protein hewani dan nabati yang mempunyai fungsi antara lain membangun sel – sel yang rusak dan membentuk zat pengatur seperti enzim dan hormon.
Universitas Sumatera Utara
Lauk pauk hewani mencakup semua bahan makanan yang berasal dari hewan terutama dari hewan ternak, unggas, ikan, susu, telur dan daging. Sedangkan lauk pauk nabati merupakan bahan makanan yang bersumber dari protein nabati. Bahan makanan ini tergolong dari kacang – kacangan dan hasil olahannya sperti tempe dan tahu. 3. Sayur – sayuran Sayuran merupakan sebutan umum bagi bahan pangan yang berasal dari tumbuhan yang biasanya mengandung kadar air tinggi dan dikonsumsi dalam keadaan segar atau setelah di olah secara minimal, misalnya sawi, bayam dan brokoli. 4. Buah Buah merupakan jenis hidangan yang dimakan sebagai cuci mulut yaitu dimakan setelah makan nasi. Berupa buah masak segar seperti semangka, melon, pisang, durian dapat juga berupa masakan berupa buah cocktail, sale, setup dan sebagainya. Buah-buahan berfungsi sebagai sumber vitamin dan mineral tetapi pada buah-buah tertentu yang menghasilkan banyak energi. 5. Makanan selingan Makanan selingan juga perlu diperkenalkan dan dapat diberikan diantara makan pagi dan makan siang serta diantara makan siang dan makan malam. Makanan selingan dapat membantu jika anak tidak cukup menerima porsi makan karena anak susah makan. Salah satu contoh
Universitas Sumatera Utara
makanan selingan sehat misalnya, buah – buahan, bubur kacang hijau dan biskuit. 2.3.1.3. Jumlah Zat Gizi Jumlah zat gizi merupakan jumlah kandungan gizi yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi pada tiap kali makan (Sediaoetama, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Nanik (2005) menyatakan bahwa rendahnya TB/U anak dikarenakan rendahnya masukan atau asupan konsumsi energy dan protein yang tentunya ditunjang oleh konsumsi yodium dan seng dimana ini dipengaruhi oleh pola konsumsi anak yang tidak seimbang. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Erni (2013) menyatakan bahwa ada hubungan pola konsumsi pangan anak dengan status gizi (BB/U, TB/U, BB/TB) anak dikarenakan rendahnya konsumsi anak. 2.3.2. Status Sosial Ekonomi Keluarga Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fisik anak adalah faktor genetis, beberapa hormon yang mempengaruhi hormon pertumbuhan dan penyakit akut atau kronis. Selain factor tersebut terdapat pula factor makanan dan status sosial ekonomi keluarga, factor sosial ekonomi keluarga antara lain yang berhubungan dengan pendidikan, pekerjaan dan pendapatan keluarga, dan lain – lain (Soetjiningsih, 1995). Dan hasil penelitian Myrnawati (1993) yang mengajukan beberapa variabel yang dapat mempengaruhi status gizi anak usia sekolah dasar diantaranya yaitu
Universitas Sumatera Utara
pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, dan pendapatan orangtua dan lain- lain (Anwar 2000) 2.3.2.1. Tingkat Pendidikan Ibu Pendidikan sebagai usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Pendidikan
menuju
pada
suatu
perubahan
perubahan
tingkah
laku
individu/masyarakat, meningkatkan pengetahuan/pengertian, menimbulkan sikap positif serta memberikan dan meningkatkan keterampilan tentang aspek-aspek yang bersangkutan sehingga tercapai suatu masyarakat yang berkembang (GBHN). Angka melek huruf ibu merupakan salah satu indikator penting yang membawa pengaruh positif terhadap anak. Hal ini dapat memudahkan ibu untuk memperoleh dan menyerap informasi yang ada khususnya dalam hal kesehatan dan gizi anak. Pendidikan gizi ibu bertujuan untuk meningkatkan penggunaan sumber daya makanan yang tersedia. Dari hal terebut dapat diasumsikan bahwa tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada balita relatif tinggi bila pendidikan gizi ibu tinggi (Kemenkes RI, 2013). Ibu yang pendidikannya lebih rendah atau tidak berpendidikan biasanya mempunyai anak yang lebih banyak dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih tinggi. Selain itu, ibu yang berpendidikan rendah lebih susah diajak untuk mendapatkan dan menyerap informasi yang ada. Ibu yang mempunyai pengetahuan baik tentang pangan dan gizi, maka dalam hal pemilihan makanan keluarga akan memperhatikan faktor gizi termasuk memperbaiki keadaan gizi balita. Pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
yang diperoleh akan memberikan sikap yang menguntungkan bagi dirirnya, keluarga dan masyarakat (Adisasmito, 2007). Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang. Kesemuanya itu berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik,dan juga pekerjaan ibu (Adisasmito, 2007). 2.3.2.2. Status Pekerjaan Orangtua a. Status Pekerjaan Ibu Menurut Masri Singarimbun, ada istilah dalam membagi wanita dalam dua kategori, yaitu “pekerja” dan “bukan pekerja”. Dari ketentuan tersebut, pekerjaan sering didefenisikan sebagai tugas – tugas yang dilakukan oleh laki – laki, sehingga pekerjaan diluar rumah tangga dianggap bukan suatu pekerjaan. Ibu yang mempunyai kegiatan diluar rumah tangga disebut dengan wanita pekerja. Selain bekerja diluar rumah, wanita tidak terlepas dari kodratnya sebagai ibu rumah tangga. Dalam hal ini dituntut tanggungjawabnya kepada suami, anak dan anggota keluarga lainnya. Gambaran tersebut menunjukkan betapa pentingnya fungsi seorang ibu dalam membina keluarga khususnya memelihara anak, sehingga seoarang ibu berhasil berperan ganda sebagai ibu rumah tangga dan wanita pekerja. (Singarimbun, 1988) Didaerah kota banyak ibu – ibu yang bekerja dari pagi hingga sore, sehingga waktunya untuk anak – anak dan keluarga tersita di luar rumah. Keadaan yang
Universitas Sumatera Utara
demikian dapat mempengaruhi keadaan gizi keluarga khususnya anak balita dan anak usia sekolah. Ibu – ibu yang bekerja tidak cukup waktu untuk memperhatikan makanan anak yang sesuai dengan kebutuhan dan kecukupannya serta kurangnya perhatian dan pengasuhan kepada anak. Bahkan tak jarang tuntutan pekerjaan dapat mempengaruhi perilaku ibu – ibu, dimana perhatian dan pemenuhan makanan untuk keluarga khususnya anak lebih bersifat praktis. (Berg, 1986) Selama bekerja ibu cenderung mempercayakan bayi mereka kepada pembantu atau kepada anak yang lebih besar, sehingga pola pengasuhan dapat menjadi kurang diutamakan. Tidak terdapatnya undang – undang yang mengatur waktu untuk menyusui bayinya pada jam kerja mendorong ibu pekerja tidak menyususkan bayinya bahkan beralih kepada pemberian susu botol ataupun mempercepat waktu penyapihan. Makanan sapihan yang tidak sesuai serta pemberian susu botol merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekurangan gizi pada bayi dan pada umur selanjutnya, hal ini akan mempengaruhi fisik anak nantinya (Abunain, 1978). b. Status Pekerjaan Ayah Penelitian Hartil (2001) menunjukkan bahwa pekerjaan ayah yang bekerja dalam kategori swasta mempunyai konsumsi makanan keluarga yang lebih baik dibandingkan ayah yang bekerja sebagai buruh dan hasil uji statistiknya menunjukkan hubungan yang bermakna antara keduanya. Begitu pula dengan penelitian Alibbirwin (2001) menemukan hubungan yang bermakna antara pekerjaan ayah dengan status gizi balita. Dikatakan bahwa ayah yang bekerja sebagai buruh memiliki resiko lebih
Universitas Sumatera Utara
besar mempunyai anak kurang gizi dibandingkan dengan balita yang ayahnya bekerja wiraswasta. Proporsi ayah yang bekerja sebagai PNS/Swasta cenderung memiliki anak dengan status gizi baik dibandingkan ayah dengan pekerjaan lainnya (Sukmadewi, 2003). Hal ini didukung dengan penelitian Sihadi (1999) yang menyatakan ayah yang bekerja sebagai buruh memiliki balita dengan proporsi status gizi buruk terbesar yaitu 53%. 2.3.2.3. Tingkat Pendapatan Keluarga Salah satu penyebab tidak langsung dari gizi kurang adalah status sosial ekonomi keluarga. Masalah kesehatan dan keadaan gizi di negara berkembang sebagian besar penduduknya berstatus sosio ekonomi rendah. Banyak keluarga terutama yang berstatus ekonomi rendah beranggapan bahwa menu makanan yang sehat dan bergizi itu harganya mahal, padahal tidak selamanya makanan yang sehat dan bergizi itu mahal. Perubahan pendapatan keluarga dapat mempengaruhi perubahan pola asuh gizi yang secara langsung berpengaruh terhadap konsumsi pangan balita. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan penurunan kuantitas pangan yang dibeli (Farida B, 2004). Standar hidup layak dihitung dari pendapatan per kapita (tingkat ekonomi). Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Tingkat pendapatan akan menunjukkan jenis pangan yang akan
Universitas Sumatera Utara
dibeli. Status sosial ekonomi
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan karena orang
dengan pendidikan tinggi semakin besar peluangnya untuk mendapatkan penghasilan yang cukup supaya bisa berkesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat,sedangkan pekerjaan yang lebih baik orang tua selalu sibuk bekerja sehingga tidak tertarik untuk memperhatikan masalah yang dihadapi anak-anaknya, padahal sebenarnya anak-anak tersebut benar-benar menbutuhkan kasih sayang orangtua (Adriani, 2012). Status sosial ekonomi juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga, apabila akses pangan ditingkat rumah tangga terganggu, terutama akibat kemiskinan, maka penyakit kurang gizi (malnutrisi) pasti akan muncul. Bagi negaranegara yang sedang mengalami trasnsisi gizi seperti Indonesia, masalah yang dihadapi juga mencakup kegemukan yang dialami anak-anak sekolah akibat kemakmuran orangtuanya (Khomsan,2002). Pada kondisi ekonomi terbatas biasanya pemenuhan gizi pada anak jadi terabaikan. Namun, pada negara-negara maju masyarakatnya lebih mengonsumsi kalori dan lemak jenuh melebihi kebutuhan tubuh disebabkan tingkat pendapatan yang tinggi. Hal tersebut dapat menyebabkan kegemukan, kegemukan sangat terkait dengan pola makan dan gaya hidup. Penghasilan yang cukup ketika diimbangi dengan pengetahuan gizi yang memadai,
dan pemanfaatan pangan yang
baik,kebutuhan gizinya akan terpenuhi secara kualitas maupun kuantitas. Keluarga yang tingkat pendapatannya meningkat tidak selalu membelanjakan untuk kebutuhan gizi tapi sebaliknya dibelanjakan untuk barang yang dapat meningkatkan status
Universitas Sumatera Utara
sosial.Banyak terdapat anak dengan status gizi kurang pada ayah dan ibu yang secara ekonomi
seharusnya
dapat
mencukupi
kebutuhan
makanan
yang
bergizi
(Sediaoetama, 2004). Menurut Berg (1986), pola perbelanjaan keluarga yang ekonomi rendah dan yang tingkat ekonomi yang berstatus menengah ke atas memiliki perbedaan. Pada keluarga kurang mampu biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatan tambahannya untuk membeli makanan terutama beras, sedangkan keluarga kaya sudah tentu akan lebih kurang dari jumlah itu. Bagian untuk makan padi-padian akan menurun dan untuk makanan yang dibuat dari susu akan bertambah jika keluarga beranjak kependapatan menengah ke atas, pada keluarga yang mampu semakin tinggi pendapatan semakin bertambah pula persentase pertambahan perbelanjaan termasuk untuk buah-buahan, sayu-sayuran, dan jenis makanan lainnya (Nugraheni,2003). 2.4. Status Sosial Ekonomi Keluarga dan Pola Konsumsi Pangan Faktor-faktor yang ikut menentukan pola konsumsi keluarga antara lain tingkat pendapatan keluarga, ukuran keluarga, pendidikan kepala keluarga dan status kerja wanita. Untuk mendukung pernyataan tersebut, telah banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendapatan dan pola konsumsi keluarga. Teori Engel’s yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga semakin rendah persentasi pengeluaran untuk konsumsi makanan (Sumarwan, 1993). Berdasarkan teori klasik ini, maka keluarga bisa dikatakan lebih sejahtera bila persentasi pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dari persentasi pengeluaran untuk bukan makanan. Artinya proporsi alokasi pengeluaran untuk pangan akan
Universitas Sumatera Utara
semakin kecil dengan bertambahnya pendapatan keluarga, karena sebagian besar dari pendapatan tersebut dialokasikan pada kebutuhan non pangan. Jumlah anggota keluarga atau ukuran keluarga juga mempengaruhi pola konsumsi. Hasil Survei Biaya Hidup (SBH) tahun 1989 membuktikan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga semakin besar proporsi pengeluaran keluarga untuk makanan dari pada untuk bukan makanan. Ini berarti semakin kecil jumlah anggota keluarga, semakin kecil pula bagian pendapatan untuk kebutuhan makanan (Sumarwan, 1993). Selebihnya, keluarga akan mengalokasikan sisa pendapatannya untuk konsumsi bukan makanan. Dengan demikian, keluarga dengan jumlah anggota sedikit relatif lebih sejahtera dari keluarga dengan jumlah anggota besar. Selain jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan formal kepala keluarga juga berpengaruh terhadap pola konsumsi keluarga. Pendidikan dapat merubah sikap dan prilaku seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin mudah ia dapat menerima informasi dan inovasi baru yang dapat merubah pola konsumsinya. Disamping itu makin tinggi tingkat pendidikan formal maka kemungkinannya akan mempunyai tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi (Sumarwan, 1993). Penelitian yang dilakukan oleh Yunida (2005) menyatakan bahwa status sosial ekonomi yang rendah akan berdampak kepada status gizi anak terutama tingkat pendapatan keluarga yang rendah. Penelitian ini juga dilakukan oleh Wulansari (2005) yang dilakukan kepada anak berumur 5 tahun menyatakan bahwa status sosial
Universitas Sumatera Utara
ekonomi yaitu tingkat
pendapatan keluarga dan pengetahuan ibu sangat
mempengaruhi status gizi anak terutama pada komposisi tubuh anak. 2.5. Pola Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Pada masa usia sekolah, anak membutuhkan lebih banyak zat gizi untuk pertumbuhan dan beraktivitas. Hal ini disebabkan karena pada masa ini terjadi pertumbuhan fisik, mental, intelektual, dan sosial secara cepat, sehingga golongan ini perlu mendapat perhatian khusus. Faktor kecukupangizi ditentukan oleh kecukupan konsumsi pangan dan kondisi keluarga. Unicef dan Johnson (1992) membuat model interelasi tumbuh kembang anak dengan melihat penyebab langsung, sebab tidak langsung dan penyebab dasar. Sebab langsung adalah kecukupan makanan dan keadaan kesehatan.Penyebab tidak langsung meliputi ketahanan makanan keluarga, asuhan bagi ibu dan anak, sanitasi lingkungan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan.Penyebab yang paling mendasar dari tumbuh kembang anak adalah masalah struktur politik dan ideologi serta struktur ekonomi yang dilandasi oleh potensi sumber daya. Fakor-faktor tersebut berinteraksi satu dengan yang lainnya sehingga dapat mempengaruhi masukan zat gizi dan infeksi pada anak. Pada akhirnya ketersediaan zat gizi pada tingkat seluler rendah dan mengakibatkan pertumbuhan terganggu (Supariasa, 2001). Gizi kurang yang terjadi pada anak-anak, dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap penyakit infeksi dan rendahnya tingkat kecerdasan anak. Konsekuensi membiarkan anak-anak tersebut menderita kurang gizi berarti
Universitas Sumatera Utara
“mempersiapkan”
sebagian
mereka
menjadi
generasi
yang
hilang
karena
terbentuknya potensi intelektual dan produktivitas yang tidak mampu menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Notoadmojo, 2003). Status gizi kurang atau status gizi lebih, merupakan suatu gangguan gizi yang disebabkan oleh faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer adalah apabila susunan makanan seseorang salah dalam kualitas maupun kuantitasnya, yang merupakan akibat dari kurangnya penyediaan pangan, kemiskinan, ketidaktahuan, kebiasaan makan yang salah dan sabagainya. Sedangkan faktor sekunder meliputi semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai ke sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi. Begitu pentingnya faktor gizi sehingga pembentukan kebiasaan makan yang baik harus ditanamkan sejak dini, karena hal ini sangat menentukan kebiasaan makannya pada saat remaja dan dewasa (Utomo, 1998). Berdasarkan penelitian Simanjuntak (2012) menyatakan bahwa ada hubungan yang sidnifikan antara pola konsumsi pangan dengan status gizi, hal ini juga didukung oleh penelitian Maulina (2013) yang menyatakan bahwa pola konsumsi pangan sangat berpengaruh terhadap status gizi balita. 2.6.
Kerangka Konsep Pola konsumsi dan status sosial ekonomi keluarga dihubungkan dengan
pertumbuhan anak baru masuk sekolah dilihat dari indikator TB/U. Dengan demikian kerangka konsep digambarkan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Status sosial ekonomi keluarga - Tingkat pendidikan orangtua - Status pekerjaan orangtua - Tingkat pendapatan keluarga
Pertumbuhan: TB/U
Pola Konsumsi pangan - Jenis makanan - Frekuensi makan - Jumlah zat gizi Gambar 1: Kerangka Konsep Keterangan: Tidak dianalisa Dianalisa Hipotesis Penelitian 1.
2.
Ho
:Tidak ada hubungan status sosial ekonomi keluarga dengan TB/U
Ha
:Ada hubungan status sosial ekonomi keluarga dengan TB/U
Ho
:Tidak ada hubungan pola konsumsi pangan dengan TB/U.
Ha
:Ada hubungan pola konsumsi pangan dengan TB/U.
Universitas Sumatera Utara