BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengantar Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah menjadi suatu wilayah yang kompleks masyarakatnya. Keadaan ini terjadi karena sekarang semakin banyak penduduk yang datang dari daerah lain. Salah satunya adalah pendatang dari Banyuwangi yang jumlahnya semakin meningkat tiap tahun. Kedatangan mereka di semarang tidak lain adalah untuk belajar dan bekerja. Diantara mereka ada yang telah cukup lama tinggal di Semarang. Rata-rata mereka telah tinggal lebih dari tiga tahun di Semarang. Diantara para pendatang tersebut ada yang tinggal untuk sementara dan ada yang tinggal dalam jangka waktu yang lama. Dengan semakin banyaknya pendatang dari daerah lain dengan latar belakang budaya yang berbeda akan mempengaruhi pemakaian bahasa di antara mereka. Hal inilah yang akhirnya meyakinkan bahwa masyarakat Semarang merupakan masyarakat tutur bilingual. Dalam berinteraksi antara peserta tutur satu dengan peserta tutur yang lain akan terjadi persentuhan bahasa , sehingga menimbulkan bentuk tutur bahasa Indonesia yang bervariasi. Salah satu variasi dalam bahasa Indonesia yang mempunyai bentuk khas yaitu bahasa Indonesia yang digunakan oleh kalangan penutur bahasa yang berbahasa Jawa dialek Banyuwangi di Semarang. Pada pendatang tersebut telah menetap cukup lama di Semarang. Kebanyakan mereka berprofesi sebagai pelajar. Setiap tahun jumlah
mereka terus bertambah dan mulai membentuk suatu masyarakat yang berinteraksi dengan penduduk asli Semarang maupun pendatang dari daerah lain. Namun pada kenyataannya, meskipun mereka telah menyatu dengan masyarakat sekitarnya, mereka tidak pernah meninggalkan bahasa ibu yang telah mereka pergunakan di daerah asal mereka, terutama bila mereka mengadakan komunikasi dengan sesama pendatang dari Banyuwangi.
B. Bahasa dan Masyarakat Bahasa. Bahasa merupakan suatu hal yang sangat penting didalam kehidupan manusia. Bahasa didalam kehidupan manusia mempunyai peranan yang sangat penting untuk berkomunikasi. Dengan adanya bahasa maka komunikasi akan berjalan lancar. Bahasa memiliki beberapa fungsi khusus antara lain : 1. Sebagai alat komunikasi. 2. Merupakan cerminan dari masyarakat. 3. Bagian dari tingkah laku manusia. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak dapat dipisahkannya bahasa dengan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu bahasa tidak akan ada tanpa adanya pengguna, yaitu masyarakat. Dan masyarakat itu sendiri tidak akan dapat berkomunikasi jika tidak ada bahasa. Berbicara mengenai bahasa, tentu saja tidak bisa lepas dari masyarakat bahasa (speech
community).
Istilah
masyarakat
biasanya
diidentifikasikan
dengan
sekelompok individu sebagai anggota masyarakat yang saling mengadakan komunikasi. Bahasa bukanlah semata-mata sebagai sarana komunikasi, namun juga
mempunyai fungsi yang lain yaitu sebagai lambang identitas diri atau kelompok masyarakat pemakainya. Jadi dapat disimpulkan bahwa masing-masing masyarakat memiliki bahasa sendiri terutama masyarakat Banyuwangi yang menegaskan bahwa masyarakat bahasa terbentuk karena adanya saling pengertian (mutual intelligibility) diantara masyarakat pengguna bahasa tersebut.
C. Pengertian Kedwibahasaan Pelajar dan pekerja pada umumnya menguasai dan mengenal lebih dari satu bahasa, meskipun tingkat penguasaan bahasanya
berbeda satu dengan lainnya.
Masyarakat bahasa yang demikian disebut dengan masyarakat bahasa yang bilingual. Bloomfield (1973 : 56) memberikan definisi tentang bilingualisme sebagai penguasaan yang sama baik terhadap dua bahasa, seperti penguasaan bahasa oleh penutur asli. Sedangkan menurut Nababan (1985 : 32), seorang yang bilingual adalah orang yang memiliki kemampuan berbicara dengan dua bahasa, dialek, ragam bahasa, atau lebih yang meliputi perbedaan bunyi serta perbedaan kosakata. Sedangkan bilingualitas ditekankan pada seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempraktekkan dua bahasa ketika berinterakasi dengan sesama pengguna bahasa. Terdapat usaha untuk menjelaskan pengertian tentang bilingualisme yang lebih rinci yaitu tentang tingkat, fungsi, pergantian dan interaksi yang terkandung dalam pengertian bilingualisme.
Yang dimaksud dengan tingkat adalah sejauh mana seseorang
mengetahui
bahasa yang digunakan, atau dengan kata lain sejauh mana ia menjadi seorang bilingual. Semakin banyak unsur yang dikuasai oleh seseorang semakin tinggi tingkat bilingualnya. Sedangkan fungsi mengandung pengertian untuk apa ia menggunakan bahasa-bahasa itu. D. Alih Kode Sebelum mengetahui tentang alih kode, kita terlebih dahulu sebaiknya mengetahui tentang kode. Menurut Suwito (1983 : 67 ), kode adalah salah satu varian didalam hierarki kebahasaan yang meliputi varian regional (dialek), varian kelas sosial (dialek sosial), Sedangkan Menurut pendapat Kridalaksana (1982 : 87 ) kode adalah 1. lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu. 2. sistem bahasa di dalam suatu masyarakat. Poedjosoedarmo (1979 : 87 ) memaparkan pendapat Appel bahwa kode hanya dipergunakan untuk menyebut hierarki kebahasaan tertinggi yaitu bahasa. Selain itu, Poedjosoedarmo (1979 : 34 ) juga mengutip pendapat Hymes bahwa kode tidak hanya meliputi bahasa tetapi dapat juga berupa variasi-variasi dalam bahasa. Menurut Kridalaksana (1993 : 113) istilah kode digunakan untuk menyebut sistem ucapan yang digunakan untuk menggambarkan makna tertentu. Kode juga merupakan sistem bahasa dalam suatu masyarakat serta merupakan variasi tertentu dalam bahasa.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kode adalah varian tertentu dari suatu bahasa. Alih kode adalah peristiwa peralihan dari satu kode yang satu ke kode yang lain, Alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling ketergantungan bahasa didalam masyarakat multilingual. Appel (dalam Suwito, 1985 : 69) berpendapat bahwa alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih. Alih kode terjadi jika keadaan berbahasa menuntut penutur untuk mengganti bahasa atau ragam yang sedang dipergunakan. Alih kode dikenali terutama pada masyarakat yang dwi bahasa atau multi bahasa akan tetapi juga dapat terjadi pada masyarakat monolingual. Didalam masyarakat monolingual alih kode ini terjadi dari variasi bahasa satu ke variasi variasi bahasa yang lain (Poedjosoedarmo, 1986 : 13 ). Hal ini akan tampak jelas pada masyarakat yang bahasanya mengenal tingkat tutur misalnya bahasa Jawa. Peristiwa alih kode
biasanya dikaitkan dengan kedwibahasaan atau keaneka
bahasaan. Berdasarkan keterangan diatas dapat dipahami peristiwa alih kode tidak hanya terjadi pada masyarakat bilingual dan multi bilingual saja, akan tetapi juga dapat terjadi pada masyarakat monolingual. Alih kode pada masyarakat
monolingual
ini adalah peralihan atau pergantian dari satu variasi ke variasi bahasa yang lain, karena pada masyarakat ini berupa varian-varian dari bahasa yang lain. Disamping itu adanya latar belakang munculnya alih kode. Dalam pambahasan latar belakang terjadinya alih kode hanya akan diuraikan maksud atau kehendak hati
penutur terhadap lawan bicara dan persepsi terhadap kedudukan sosial dan relasinya dengan orang kedua atau hubungan setara dan hubungan tidak setara. 1.
Maksud atau kehendak hati penutur (orang 1) dapat dikelompokkan dalam dua motif sbb : a. Motif penyesuaian adalah untuk menyesuaikan atau untuk mengimbangi tuturan terhadap bahasa yang dipergunakan. b. Motif emotif adalah untuk mengungkapkan kemarahan dan menetralisir keadaan, selain untuk mengungkapkan kemarahan juga untuk mengungkapkan rasa cinta, sayang, benci, dan lain sebagainya.
2.
Persepsi terhadap kedudukan sosial yaitu adanya hubungan setara dan tidak setara didalam hubungan tersebut adanya hubungan akrab dan hubungan berjarak sedangkan pengertiannya adalah sebagai berikut : - Hubungan setara adalah hubungan antara penutur yang tingkat sosialnya sama. - Hubungan tidak setara adalah hubungan antara penutur yang tingkat sosialnya tidak sama atau tidak setara. - Hubungan akrab adalah pada saat mereka berkomunikasi dengan sesama pendatang dari Banyuwangi yang sudah dikenal akrab. - Hubungan berjarak adalah hubungan yang belum saling mengenal. Faktor-faktor penyebab alih kode dapat ditelusuri melalui keterkaitan suatu
pembicaraan dengan konteks dan situasi berbahasa. Hymes (1964) mengemukakan
faktor-faktor dalam suatu interaksi pembicaraan yang dapat mempengaruhi penetapan makna, yaitu : •
Siapa pembicara atau bagaimana pribadi pembicara?
•
Dimana atau kapan pembicaraan itu berlangsung?
•
Apa modus yang digunakan?
•
Apa topik atau subtopik yang dibicarakan?
•
Apa fungsi dan tujuan pembicaraan?
•
Apa ragam bahasa dan tingkat tutur yang digunakan?
Alih kode dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu: 1. Jenis alih kode : alih bahasa, alih ragam bahasa, alih tingkat tutur 2. Tataran alih kode : tataran fonologi, tataran fonem, tataran kata atau fase 3. Sifat alih kode : alih kode sementara, alih kode tetap atau permanen 4. Faktor penyebab alih kode : pribadi pembicara, hubungan dengan mitra pembicara, topik atau subtopik. Variasi-variasi bahasa adalah bentuk-bentuk pola umum bahasa. yang masingmasing mempunyai pola yang menyerupai pola umum bahasa. Variasi bahasa tersebut dapat berupa dialek. Ideolek merupakan variasi bahasa yang bersifat individual. Ideolek adalah bagian dari suatu bahasa yang latar belakang terjadinya disebabkan oleh faktor fisik dan psikis individu yang berbeda dengan individu yang lain. Jadi ideolek berupa kekhasan tuturan tiap-tiap orang, Kekhasan tuturan ini tidak hanya pada tuturan lisan saja tetapi juga dalam hal tulisan.
Kekhasan yang dimiliki secara bersama-sama oleh sejumlah orang sehingga membentuk suatu varian tutur yang berbeda dengan varian tutur kelompok lain dalam suatu masyarakat bahasa disebut sebagai dialek. Martin Joos (dalam Nababan, 1993 : 22) merinci ragam menjadi lima macam yaitu ragam baku (frozen), Ragam formal, Ragam usaha (consultative), Ragam santai (casual), dan ragam intim (intimate). Ragam baku yaitu Ragam bahasa yang dipakai dalam situasi khidmat, Ragam formal yaitu ragam bahasa yang dipakai dalam situasi formal, Ragam santai dipakai dalam situasi yang tidak resmi, Ragam santai dipergunakan dalam situasi yang lebih akrab dan kekeluagaan.
E. CAMPUR KODE Kridalaksana (1982; 32) memberikan batasan campur kode atau interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Nababan (1989:32) menegaskan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan atau kebiasannya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Ciri yang menonjol dari campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan demikian, hal ini disebabkan
karena tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa lain (bahasa asing). Sifat campur kode dibedakan antara interferensi dengan kalimat integratif. Interferensi merupakan masuknya unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain yang belum diserap, jadi bersifat sementara. Kalimat integratif merupakan masuknya unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain dan diserap, jadi bersifat tetap atau permanen (Beardsmore,1982 : 44). Hamers dan Blanc (1983: 78) mengemukakan bahwa interferensi dapat terjadi dalam bidang fonologi, sintaksis dan semantik. Jika interferensi dalam bidang semantik tidak dianggap sebagai pengaruh asing, maka campur kode ini bersifat permanen dan disebut kalimat integratif. Haugen dan Beardsmore (1982: 46) melaporkan bahwa kebanyakan hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur nomina paling mudah bercampur dari satu bahasa ke dalam bahasa lain, sedangkan struktur atau fungsi bahasa agak sukar mengalami campur kode. Selanjutnya, Haugen dan Beardsmore (1982: 46) melaporkan bahwa unsur bahasa yang mudah bercampur setelah nomina adalah verba, adjektiva, adverbial, preposisi dan interjeksi; sedangkan pronomina dan artikel menunjukkan kekokohan untuk tidak bercampur dengan unsur bahasa lain. Seperti halnya alih kode, campur kode juga dapat dilihat dari berbagai sudut pandang : 1. Jenis campur kode : campur bahasa, campur ragam, campur tingkat tutur.
2. Tataran campur kode : tataran fonem, tataran morfem, tataran kata atau frasa, tataran kalimat. 3. Sifat campur kode: campur kode sementara, campur kode tetap atau permanen. 4. Faktor penyebab campur kode: kesantaian atau situasi informal, kebiasaan, tidak menemukan ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai. F. TIPE ALIH KODE ATAU CAMPUR KODE Tipe alih kode dapat dikelompokkan dua macam yaitu alih kode intern dan ekstern. Alih kode intern apabila bahasa jawa dialeknya bersumber dari bahasa daerah dengan bahasa Indonesia. Sedangkan alih kode ekstern merupakan peralihan kode yang terjadi antara kode bahasa Indonesia dengan bahsa asing. G. FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB DAN TUJUAN MELAKUKAN ALIH KODE ATAU CAMPUR KODE.
Beberapa faktor penyebab terjadinya alih kode atau campur kode dipengaruhi oleh konteks dan situasi berbahasa yang dapat diuraikan sebagai berikut: a.
Pembicara dan pribadi pembicara Pembicara kadang-kadang sengaja beralih kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan beralih kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi nonformal yang tidak terikat ruang dan
waktu. Pembicara kadang-kadang melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan atau kesantaian. b.
Mitra bicara Mitra bicara dapat berupa individu atau kelompok. Dalam masyarakat bilingual, seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat beralih kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang mempunyai latar belakang bahasa daerah yang sama. Seorang bawahan yang berbicara dengan seorang atasan mungkin menggunakan bahasa Indonesia dengan disisipi kata-kata dalam bahasa daerah yang nilai tingkat tuturnya tinggi dengan maksud untuk menghormati. Sebaliknya, seorang atasan yang berbicara dengan bawahan mungkin menggunakan bahasa Indonesia dengan disisipi kata-kata daerah (Jawa ngoko) yang memiliki tingkat tutur rendah dengan maksud untuk menjalin keakraban. Pertimbangan mitra bicara sebagai orang ketiga juga dapat menimbulkan alih kode jika orang ketiga ini diketahui tidak dapat menggunakan bahasa yang mula-mula digunakan kedua pembicara. Misalnya, pembicara dan mitra bicara menggunakan bahasa Jawa dialek Banyuwangi beralih kode menggunakan bahasa Jawa dialek Semarang karena hadirnya seorang penutur yang memasuki situasi pembicaraan.
c. Tempat Tinggal dan Waktu Pembicaraan Berlangsung Pembicaraan yang terjadi di Tlogosari Semarang, misalnya, dilakukan oleh masyarakat dari berbagai etnis. Komunikasi dalam masyarakat yang begitu kompleks semacam itu timbul banyak alih kode dan campur kode. Alih
bahasa atau campur kode itu dapat terjadi dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dan dari tingkat tutur suatu bahasa ke tingkat tutur bahasa yang lain.
d.
Modus Pembicaraan Modus pembicaraan merupakan sarana yang digunakan untuk berbicara. Modus lisan (tatap muka, melalui telepon,atau melalui audio visual) lebih banyak menggunakan ragam nonformal dibandingkan dengan modus tulis (surat dinas, surat kabar, buku ilmiah) yang biasanya menggunakan ragam formal. Dengan modus lisan lebih sering terjadi alih kode dan campur kode daripada dengan menggunakan modus tulis.
e. Topik Dengan menggunakan topik tertentu, suatu interaksi komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Alih kode dan campur kode dapat terjadi karena faktor topik. Topik ilmiah disampaikan dalam situasi formal dengan menggunakan ragam formal. Topik nonilmiah disampaikan dalam situasi "bebas", "santai" dengan menggunakan ragam nonformal. Dalam ragam nonformal kadang kadang terjadi "penyisipan" unsur bahasa lain, di samping itu topik pembicaraan non ilmiah (percakapan sehari-hari) menciptakan pembicaraan yang santai. Pembicaraan yang santai juga dapat menimbulkan campur kode. f. Fungsi sosial Alih Kode
Alih kode mempunyai fungsi sosial yaitu, sebagai alat untuk adaptasi, intregasi. Selain itu fungsi sosial alih kode dipergunakan sabagai penyesuaian diri dan berbaur dengan lingkungan baru. Hal ini berhubungan dengan pekerjaan dan studi mereka mengingat tujuan kedatangan mereka di Semarang adalah untuk mencari nafkah dan menuntut ilmu. Fungsi sosial alih kode sangat penting bagi para pendatang dan yang asli tinggal di tempat tersebut.