BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Civil society Sebagai sebuah konsep, civil society datang dari pemikiran ilmuan eropa (Barat). Proses demokratisasi yang lebih dulu berlangsung di Barat telah menjadikan civil society bagian penting dari kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta
kebudayaan
mereka.
Terutama
dalam
meretas
peradaban
yang
dibangunnya.Bagi mereka, kehidupan negara dan bangsa yang ideal itu terwujud dengan memberikan peran lewat pola bottom-upyang lebih kuat pada masyarakat.Seiring dengan hembusan demokrasi yang kian menguat, konsep ini terus berlanjut dan menguat di berbagai belahan bumi lainnya. Pada dasarnya tujuan dari civil societyakan mengkerucut pada upaya pemberdayaan (empowerment) sekaligus revitalisasi (enrichment) kemerdekaan masyarakat sipil, dalam melakukan kontrol terhadap negara secara sukarela, mandiri dan tetap terikat pada norma dan nilai hukum yang berlaku. Dalam konteks Indonesia, urusan civil society tidak dapat dilepaskan dari faktor historis, kearifan budaya, serta tingkat “penetrasi” penguasa politik Negara ke masyarakat.Faktor-faktor ini telah menyebabkan terjadi “pasang-surut”nya gerakan civil societydi Indonesia. Dalam kehidupan kenegaraan, kita mengenal apa yang disebut dengan Empat Konsensus Dasar Bangsa yakni; Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Dalam perspektif ini, konsep civil society di Indonesia harus dipahami oleh negara, masyarakat dan warganya dalam konteks Konsensus Dasar
10
Bangsa (Konsar Bangsa) bagi terjaminnya pertahanan dan ketahanan negara itu sendiri. Masalahnya kemudian, bagaimana penguatan peran civil society yang dikembangkan di Indonesia dapat dirumuskan melalui Empat Konsensus Dasar Bangsa guna kepentingan, kemajuan serta kedewasaan proses demokrasi yang sedang terus berjalan di negeri ini. Secara teoritis, paling tidak ada tiga model konsep civil society yang berbeda dalam tataran praksis, yakni; top-down of civil society, bottom-up of civil society, dan pararelism of civil society. Dalam budaya masyarakat Indonesia lebih (cocok) menganut kepada konsep pararelism of civil society.Konsep pararelisme, dimaksud di sini adalah pemahaman bahwa antara posisi “negara” di satu pihak, dengan warga-kelompok masyarakat di sisi lain, tidaklah berada dalam posisi yang saling berhadapan, melainkan dalam posisi kemitraan-kesejajaran dalam membangun dan mengimplementasikan kesepakatan (contract) (Keane, 2006). Konsep gotong royong adalah bukti bahwa civil society di Indonesia menganut paham kesejajaran (pararelism), bukan top-down sebagaimana yang dianut di negara totaliter-sosialis komunis, atau konsep bottom-up di negara yang berpaham individualisme, liberalisme dan kapitalisme. Civil society mengalami penguatan pada pascarevolusi kemerdekaan ditahun 1950-an. Ketika itu pemerintah memberi kebebasan yang luas kepada segenap rakyat Indonesia untuk mendirikan organisasi sosial maupun organisasi politik, seiring dengan komitmen kuat untuk mempraktekkan sistem demokrasi (parlementer). Civil society menciptakan relasi antara masyarakat sipil, masyarakat politik dan pemerintah dalam posisi masyarakat sipil menjadi penyeimbang untuk
11
melakukan fungsi kontrol terhadap kekuatan negara. Contoh konkret, keberadaan Muhammadiyah, NU, tumbuhnya pesantren-pesantren, Taman Siswa serta lahirnya LSM-LSM, dan FKUB sebagai kekuatan pengimbang sekaligus kekuatan yang memberdayakan masyarakat marjinal selain adanya pengintegrasian agama ke dalam Negara. Memasuki era Orde Baru, civil society mengalami penurunan, dimana elit penguasa kembali melanjutkan upaya memperkuat posisi negara di segala bidang.Akan tetapi saat yang bersamaan harus diakui, seiring dengan terjadinya mobilitas ekonomi secara vertikal, terjadi pula mobilitas vertikal di dunia pendidikan.Mobilitas sosial vertikal tersebut, memungkinkan lahirnya “kelas menengah” yang potensial mengambil peran di luar lingkaran kekuasaan. Kelompok ini kemudian melakukan apa yang dikenal dengan “gerakan kultural”, melakukan pemberdayaan dan penyadaran sosial politik
kepada warga
masyarakat, melalui lembaga sosial masyarakat (LSM). Pasca Orde Baru kepemimpinan Soeharto civil society mengalami penguatan kembali dimana negara memberikan ruang yang luas bagi tumbuhnya berbagai organisasi masyarakat. Ada beberapa istilah yang dilekatkan secara tumpang-tindih pada organisasi-organisasi semacam itu, seperti organisasi massa (ormas), NGO (Non-Governmental Organization)/ Ornop (Organisasi NonPemerintahan), masyarakat madani, organisasi masyarakat sipil (Civil society Organization/ CSO), dan masyarakat kewargaan. Civil society memiliki azas (ideologi), strategi, bentuk organisasi, isu, kegiatan, jaringan, dan sumber dana dari organisasi-organisasi yang beragam.
12
Dari sisi azas, ada yang nasionalis, kerakyatan, liberal, sosialis-relijius, Islam, dan sebagainya.Strategi perjuangannya merentang dari advokasi, kampanye, lobi hingga pemberdayaan masyarakat atau campuran dari berbagai strategi. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), yayasan, perkumpulan adalah beberapa bentuk organisasi yang kerap mereka ambil. Isu yang mereka perjuangkan bermacammacam, seperti pengembangan ekonomi rakyat, lingkungan, bantuan hukum, kependudukan dan kesehatan, perlindungan konsumen, kesetaraan gender, resolusi konflik, good governance, pluralism (Ali, 2008). Civil society memiliki kegiatan yang beraneka rupa dan kerap bertumpangtindih dengan strategi dan isu yang diperjuangkan.Jaringan mereka ada yang lokal, nasional hingga internasional. Sumber dana organisasi-organisasi itu juga beragam. Dalam konteks LSM, sekitar 90% sumber dana berasal dari bantuan asing (Kompas 26 April 2007). Menurut Diamond (dalam Wirutomo, 2012) Civil society didefinisikan sebagai, “… the realm of organized social life that is open, voluntary, selfgenerating, at least partially self-generating, autonomous from the state, and bond by a legal order or set of shared rules.” Dengan definisi tersebut, Diamond menyimpulkan bahwa civil society adalah fenomena penengah yang terletak diantara ruang pribadi dan negara.Civil society mewujud dalam beragam organisasi, baik yang bersifat formal maupun informal, seperti ekonomi, budaya, informasi
dan
pendidikan,
kelompok
kepentingan,
lembaga-lembaga
pembangunan, organisasi-organisasi berorientasi isu, dan kelompok-kelompok yang berfokus pada isu kewargaan. Secara umum, organisasi-organisasi tersebut dikenal dengan CSO (Civil society Organization).
13
Ada lima ciri yang membedakan antara organisasi masyarakat yang masuk ke dalam kategori civil society dan non-civil society (Diamond 1999). 1. Civil society bukanlah masyarakat parokial sebab berfokus pada tujuan-tujuan publik daripada privat. 2. Civil society berhubungan dengan negara dalam beberapa hal, tetapi tidak berupaya untuk merebutnya atau menjadi bagian darinya. 3. Civil society melekat pluralisme dan keragaman. 4. Civil society tidak berupaya untuk mempresentasikan seluruh kepentingan individu atau suatu komunitas. 5. Civil society berbeda dengan civic community. Civil society mengandung dua aspek, yaitu horisontal dan vertikal (Sujatmiko, 2001). Secara horisontal, ia berkaitan dengan budaya yang memuat gagasan civility (keberadaban), seperti pluralisme, toleransi dan sebagainya. Sedangkan secara vertikal, civil society berkaitan dengan politik yang mengandung ide otonomi masyarakat terhadap negara.
2.2
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan pendirian rumah ibadat, menjadi sangat penting untuk direalisasikan di daerah, dalam bentuk Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat yang difasilitasi oleh Pemerintah (dalam hal ini pemerintah
14
daerah) dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. Jauh sebelum FKUB ini dibentuk secara formal melalui Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, di Bali pada tahun 1998 ketika masa reformasi, para pemuka agama, tokoh-tokoh agama dari berbagai agama di Bali telah memikirkan hal ini. Ketika itu, Pertemuan para tokoh Agama di Bedugul diantaranya Ketut Suda Sugira, I Dewa Ngurah swasta,SH, AA G Oka Wisnumurti, Putu Alit Bagiasna (Unsur Hindu), H. Hasan Ali, H. Sunhaji Rofii, H. Roihan (unsur Islam) Pdt. I Wayan Mastra, Pndt. J. Waworuntu, Prof. Aron Meko Bete, Hendra Suharlin dan tokoh-tokoh lainnya bersepakat untuk membentuk Forum Kerukunan Antar Umat Beragama di Bali yang kemudian disingkat FKAUB. Hal ini didasarkan pada situasi kritis ketika itu masa reformasi dan menjelang pemilu 1999, dimana agama sangat rentan dijadikan alat politik praktis dan apabila kemasan itu bermuara pada konflik, tidak tertutup kemungkinan akan menjadi kemasan konflik agama. Forum ini ketika itu sangat berperan besar untuk ikut menjaga dan mensosialisasikan kerukunan antar umat beragama melalui konsep menyama braya sehingga tidak terjebak pada tunggangan politik praktis. Sumber: (http://www.yayasankorpribali.org/artikeldan-berita/63-peranan-forum-kerukunan-umat-beragama-dalam-memelihara-danmemantapkan-kerukunan-umat-beragama-di-kabupaten-tabanan.html)
diakses
pada 9 Mei 2015. Terbentuknya FKAUB ketika itu adalah murni dari aspirasi dan kehendak bersama para tokoh-tokoh agama yang didasarkan atas keprihatinan dan rasa tanggungjawab dengan kesadaran kolektif yang terbangun memandang perlu
15
adanya forum bersama sebagai wadah untuk berkomunikasi, berinteraksi dan saling bertukar pikiran dan pengalaman satu dengan yang lainnya.Berbagai persoalan yang mengarah pada konflik antar umat beragama tentunya dapat diselesaikan dengan cara-cara yang beragama.
2.3
Organisasi Keagamaan Organisasi keagamaan adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang
berfungsi
untuk
melestarikan,
menafsirkan,
memurnikan,
dan
mendakwahkan agama (Lubis, 2010). Sementara itu berdasarkan Buku Panduan dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Medan (2014) menjelaskan bahwa Organisasi keagamaan adalah organisasi non pemerintahan bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara suka rela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik. Berdasarkan
definisi
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa organisasi
keagamaan merupakan bentuk aspirasi masyarakat yang dituangkan dalam bentuk wadah perkumpulan dari umat agama yang sama dengan berlandaskan hukum yang bertujuan untuk mendakwahkan agama. Di Indonesia terdapat begitu banyak organisasi keagamaan, diantaranya adalah sebagai berikut : a. Ormas keagamaan Islam antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), Mathlaul Anwar.
16
b. Ormas keagamaan Kristen antara lain Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Persatuan Injil Indonesia (PII), Persatuan Gereja Pentakosta Indonesia (PGPI). c. Ormas keagamaan Katholik antara lain Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). d. Ormas keagamaan Hindu antara lain Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Prajaniti Hindu Indonesia (Prajaniti), Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Pemuda Hindu Indonesia, Widyapit. e. Ormas keagamaan Buddha antara lain Perwakilan Buddha Indonesia (WALUBI). f. Ormas keagamaan Khonghucu antara lain Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), Generasi Muda Khonghucu (GEMAKU), Perempuan Khonghucu Indonesia (PERKHIN).
2.4
Definisi Konsep Definisi konsep merupakan batasan penelitian dan rangkuman peneliti
dalam menjelaskan peristiwa yang akan diteliti. Adapun yang menjadi definisi konsep pada penelitian ini yaitu : 1. Harmonisasi merupakan sebuah kondisi yang dinamis dan mengarah pada progresivitas. Keadaan yang harmonis jauh dari unsur-unsur negatif seperti pertentangan, pertikaian ataupun perselisihan.
17
2. Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Sementara pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula. 3. Organisasi sosial merupakan organisasi yang mengatur hubungan antara orang dan antar kelompok berdasarkan jenis kegiatan dan pembagian fungsional untuk menyelesaikan kewajiban bersama dalam masyarakat sosial. 4. Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama
yang
dilandasi
toleransi,
saling
pengertian,
saling
menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 5. Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan (Ormas Keagamaan) adalah organisasi non pemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara suka rela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik. 6. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat yang difasilitasi oleh Pemerintah (dalam hal ini pemerintah daerah) dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.
18