BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Adhesi Intraperitoneal dan Epidemiologinya
2.1.1
Adhesi Intraperitoneal Adhesi intraperitoneal adalah ikatan patologis yang biasanya terjadi antara
omentum, usus, dan dinding abdomen. Ikatan ini dapat berupa lapisan jaringan ikat tipis, sambungan fibrous tebal yang berisi pembuluh darah dan saraf, atau perlengketan langsung antara kedua organ. Berdasarkan etiologinya, adhesi intraperitoneal dibagi menjadi kongenital dan didapat, yang bisa diakibatkan radang atau post operasi (Arung et al., 2011). 2.1.2
Epidemiologi Adhesi Intraperitoneal Penilaian insiden yang sebenarnya dari terbentuknya adhesi intraperitoneal
sangat sulit dilakukan karena adhesi intraperitoneal yang asimptomatik jarang ditemukan kecuali pada pasien yang menjalani pembedahan abdomen di kemudian hari atau menjalani otopsi (Lauder et al., 2010). Adhesi intraperitoneal kebanyakan diinduksi oleh prosedur pembedahan dalam cavum peritoneum, dengan prevalensi sebesar 63%-97% setelah prosedur operasi abdomen mayor. Survei di Inggris pada tahun 1992 melaporkan total 12.000 – 14.400 kasus obstruksi karena adhesi intestinal pertahunnya. Pembedahan
kolorektal
sebagai
jenis
menyebabkan adhesi (Arung et al., 2011).
6
pembedahan
yang paling
sering
Pada tahun 1994 di Amerika Serikat, ditemukan bahwa adhesiolisis merupakan alasan 303.836 dari seluruh pasien dirawatinapkan (1% dari keseluruhan rawat inap di Amerika Serikat pada tahun 1994), menghabiskan biaya sebesar 1,33 milyar dolar, dan rawat inap selama 846.415 hari. Adapun pada tahun 2004, sebesar 342.000 prosedur adhesiolisis telah dilakukan di Amerika Serikat. Bahkan setelah dilakukan adhesiolisis, obstruksi yang rekuren sering terjadi (8% sampai 32%). Diketahui bahwa kematian terjadi pada 3% sampai 5% pasien dengan obstruksi sederhana, dan meningkat menjadi sebesar 30% jika usus terstrangulasi, nekrosis, dan perforasi (Ergul dan Korukluoglu, 2008). Penelitian oleh Surgical and Clinical Adhesion Research (SCAR) dengan mengikuti 29,790 pasien yang telah menjalani operasi abdomen dan pelvis di Skotlandia, dalam kurun waktu 10 tahun, dan diikuti readmisi ke rumah sakitnya. Sekitar sepertiga pasien direadmisi dengan rata-rata 2,1 kali, untuk komplikasi yang berhubungan langsung atau kemungkinan berhubungan dengan adhesi atau telah menjalani operasi yang dikomplikasikan oleh adhesi intraperitoneal yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun. Dan ditemukan pula bahwa resiko adhesi tertinggi diakibatkan oleh prosedur pembedahan kolon dan rektum di bidang bedah umum dan, ovarium dan tuba fallopi pada pembedahan ginekologi (Pados et al., 2010). 2.2
Penyembuhan Peritoneum dan Patofisiologi Adhesi Intraperitoneal
2.2.1
Penyembuhan Peritoneum Pembentukan adhesi sangat erat hubungannya dengan penyembuhan luka.
Penyembuhan luka, baik itu suatu permukaan ataupun suatu organ, akan melalui 3
fase. Fase pertama, inflamasi, ditandai dengan hemostasis dan inflamasi, aktivasi kaskade pembekuan, vasodiloatasi yang terjadi karena pelepasan histamine dan pelepasan vasokonstriktor seperti thromboxane A2 dan prostaglandin-2a. Fase kedua, proliferasi, ditandai dengan epitelialisasi, angiogenesis, pembentukan jaringan granulasi dan deposisi kolagen. Fase ketiga, maturasi, ditandai dengan kontraksi luka membentuk jaringan parut, penggantian kolagen tipe III oleh kolagen tipe I yang lebih kuat dan pembuangan pembuluh darah yang tidak lagi diperlukan melalui apoptosis (Vaze et al.,2010). Perbedaan penyembuhan peritoneum dengan penyembuhan luka pada kulit adalah di mana penyembuhan peritoneum terjadi epitelialisasi pada keseluruhan permukaan secara simultan, sedangkan pada kulit terjadi epidermalisasi secara bertahap dari tepi luka. Mesotel baru timbul pada pertengahan luka yang besar pada waktu yang sama dengan mesotel baru timbul pada pertengahan luka yang kecil (diZerega dan Campeau, 2001). Sel yang pertama kali muncul saat peritoneum cedera asalah sel Polymorphonuclear (PMN). Sel mesotel yang cedera menghasilkan kemokin interleukin-8 (IL-8) yang menarik sel PMN. Dua puluh empat sampai 36 jam setelah cedera, jumlah sel PMN menurun, dan monosit berubah menjadi makrofag yang direkrut oleh monocyte chemotactic protein-1(MCP-1) dan regulated upon activation normal T-cell expressed, and presumably secreted (RANTES) - yang juga disekresi oleh sel mesotel yang cedera. Asal makrofag ini adalah dari area submesotel di mana mereka diam sebagai monosit yang tidak aktif. Makrofag berfungsi membangun jaringan granulasi dan melakukan remodelling jaringan
yang cedera dengan mengsekresi sitokin-sitokin, seperti IL-1β dan tumor necrotizing factor α (TNFα) yang merangsang mesotel menghasilkan IL-6. Makrofag tetap berada pada lokasi cedera sampai 10-14 hari setelah cedera (Akerberg, 2013). Setelah 3 sampai 4 hari, muncul sel-sel mesenkim punca yang primitif pada luka yang berfungsi merestorasi peritoneum yang cedera. Pada saat yang sama, fibroblas yang berproliferasi muncul, yang diperkirakan berasal dari area lapisan submesotel atau dapat berasal dari sel mesenkim punca. Makrofag kemudian menstimulasi fibroblas melalui transforming growth factor β (TGFβ) dan substansi lain untuk menghasilkan extracellular matrix (ECM). Fibroblas penting untuk remodelling jaringan dan pembangunan ECM (Akerberg, 2013). Secara bertahap, matriks lapisan submesotel dibangun, sel mesotel mulai muncul secara tersebar pada permukaan luka dan menyatu antara 5 sampai 7 hari setelah cedera (Akerberg, 2013). Adapun sumber sel mesotel baru yang mengisi defek
peritoneum
masih
merupakan
kontroversi.
Penelitian-penelitian
memperkirakan bahwa sumber sel mesotel adalah transformasi dari sel-sel di dalam cairan peritoneum, transformasi sel-sel mesenkim punca di dasar dan atau transformasi sel-sel darah menjadi sel mesotel (Akerberg, 2013). Lapisan mesotel penting dalam deposisi dan pembersihan fibrin local dalam rongga serosal. Lapisan mesotel menghasilkan macam-macam faktor seperti Plasminogen Activating Inhibitor (PAI) dan urokinase Plasminogen Activator Inhibitor (uPAI). Penyembuhan lapisan mesotel merupakan tahap penting dalam pencegahan adhesi (Vaze et al., 2010).
Akhirnya, segala tipe cedera jaringan akan berujung pada satu dari empat kemungkinan. Pertama, tercapainya kesamaan jaringan melalui mekanisme perbaikan normal. Kedua, regenerasi yang terjadi dengan penggantian. Ketiga, kurangnya penyembuhan, seperti yang terjadi pada ulkus kronis. Terakhir, penyembuhan yang berlebihan, seperti yang terjadi pada jaringan parut dan kontraktur (Vaze et al., 2010). 2.2.2
Patofisiologi Adhesi Intraperitoneal Sampai saat ini, patofisiologi adhesi intraperitoneal masih belum jelas dan
menjadi kontroversi (Arung et al., 2011). Secara umum, keseimbangan antara deposisi
fibrin
dan
degradasinya
yang
akan
menentukan
mekanisme
penyembuhan peritoneum apakah akan berjalan normal atau terbentuk adhesi. Waktu yang dibutuhkan oleh mesotel untuk mengalami regenerasi komplit adalah 8 hari (Kamel, 2010). Cedera peritoneum akan merangsang terjadinya radang, dan kemudian mengaktivasi kaskade koagulasi, membentuk trombin, yang akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Pada pembedahan abdomen, terjadi gangguan keseimbangan sehingga sistem koagulasi lebih besar pengaruhnya daripada sistem fibrinolisis. Fibroblas menginvasi matriks fibrin dan membentuk ECM yang kemudian dikumpulkan. ECM ini masih dapat didegradasi oleh proenzim dari matriks metalloproteinase sehingga penyembuhan peritoneal menjadi normal. Jika proses ini diinhibisi oleh tissue inhibitor dari matriks metalloproteinase, maka terjadilah pembentukan adhesi. Secara umum, jika fibrinolisis tidak terjadi dalam 5-7 hari, maka matriks fibrin bertahan dan diorganisasi oleh fibroblas penghasil
kolagen, membentuk adhesi, yang kemudian diikuti oleh tumbuhnya pembuluh darah baru yang dimediasi oleh faktor angiogenik (Arung et al., 2011). Cedera peritoneum Inflamasi
Meningkatkan protein-protein, Sitokin-sitokin Meningkatkan sel-sel (makrofag, platelet, mesotel)
kerusakan dinding pembuluh darah Dan mesotel
protrombin fibrinogen trombin fibrin
tPA uPA
Plasminogen PAI-1 PAI-2
tPA uPA
Fibrin bertambah (fibroblas, sintesis kolagen) TIMPs (-) Pr-MMPs MMPs ECM produk degradasi penyembuhan normal
PAI-1 PAI-2
Plasmin
produk degradasi fibrin
pertumbuhan kapiler adhesi
penyembuhan normal (perbaikan peritoneum)
Gambar 2.1 Keseimbangan antara plasminogen activator dan plasminogen inihibitor. TIMP: Tissue inhibitors of metalloproteinases; MMP: Matrix metalloproteinase; ECM: Extracellular matrix; tPA: Tissue-type plasminogen activator; uPA: Urokinasetype plasminogen Activator; PAI: Plasminogen-activating inhibitor (Arung et al., 2011). Tabel 2.1
Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas fibrinolitik dari mesotel (Brugmann et al., 2010) Faktor
Aktivitas fibrinolitik
Urokinase-like plasminogen activator (u-PA)
↑
Tissue plasminogen activator (t-PA)
↑
Matrix metalloproteinases (MMP)
↑
Tissue-derived inhibitors (TIMP)
↓
Plasminogen activation inhibitors (PAI 1/ 2)
↓
Mechanical destruction of mesothelium
↓
Mesothelial ischemia
↓
Hypoxy
↓
Radical formation
↓
Bacterial lipopolysaccharide
↓
Interleukins (e.g., IL-1, IL-6)
↓
Neurokinin-1 receptor (NK-1)
↓
Substance P (SP)
↓
Tumor necrosis factor α (TNF α)
↓
Transforming growth factor β (TGF β)
↓
Intracellular adhesion molecule (ICAM 1)
↓
Vascular cell adhesion molecule (VCAM)
↓
Di sisi lain, aktivasi sistem fibrinolitik mengubah plasminogen menjadi plasmin yang bekerja mendegradasi fibrin. Plasminogen aktivator terdiri dari tissue type plasminogen activator (tPA) dan urokinase-type plasminogen Activator (uPA), yang diekspresikan oleh sel endotel, sel mesotel, dan makrofag. Di dalam peritoneum, 95% dari pengaktifan plasminogen diakibatkan oleh tPA. uPA sama efektifnya dalam mendegradasi fibrin, namun afinitas terhadap
fibrinnya lebih rendah, sehingga perannya lebih sedikit dalam mengaktivasi plasminogen (Arung et al., 2011). Aktivasi plasminogen dihambat oleh plasminogen activator inhibitor (PAI)–1 dan -2, dimana PAI–1 adalah glikoprotein yang lebih kuat dalam menginhibisi tPA dan uPA. PAI-1 dan PAI-2 diproduksi oleh sel endotel, sel mesotel, monosit, makrofag, dan fibroblas. Plasminogen activator inhibitor lain yang teridentifikasi yaitu PAI-3 dan protease nexin 1. Keseimbangan antara plasminogen activator dan plasminogen inhibitor penting dalam menentukan penyembuhan peritoneum. PAI-1 penting dalam pembentukan adhesi dan konsentrasi PAI -1 ditemukan tinggi pada pasien dengan adhesi yang luas (Arung et al., 2011). 2.3
Etiologi dan Faktor Resiko Adhesi Intraperitoneal Adhesi intraperitoneal dapat terjadi sebagai respon terhadap cedera, di
mana pembedahan sebagai penyebab terseringnya. Prosedur pembedahan yang sering menyebabkan adhesi intraperitoneal yaitu kolesistektomi, appendisektomi, repair hernia, pembedahan kanker, pembedahan hepar, dan pembedahan sistem reproduksi pelvis. Ovarium sering menjadi tempat terjadinya adhesi karena letaknya yang dekat dengan permukaan peritoneum lainnya (Kamel, 2010). Faktor resiko adhesi yaitu manipulasi kasar saat pembedahan, hipoksia dan iskemia jaringan, diseksi tumpul adhesi sebelumnya, keringnya permukaan jaringan dan serosa, infeksi, endometriosis peritoneal, adanya benda asing, dan adanya darah atau bekuan darah intraperitoneal (Kamel, 2010).
2.4
Konsekuensi dan Derajat dari Adhesi Intraperitoneal
2.4.1
Konsekuensi
klinis,
ekonomis,
dan
medikolegal
dari
Adhesi
Intraperitoneal Konsekuensi adhesi intraperitoneal secara klinis adalah obstruksi karena adhesi usus halus, nyeri pelvis atau abdomen, dan infertilitas. Adhesi intraperitoneal juga mempersulit pembedahan selanjutnya (Arung et al., 2011). Pasien
dengan
adhesi
intraperitoneal
dapat
menunjukkan
gejala
meteorismus, gerakan usus yang tidak teratur, nyeri abdomen kronis, gangguan pencernaan, infertilitas, dan obstruksi intestinal. Adhesi postoperatif ditemukan mengakibatkan 40% dari semua kasus obstruksi saluran cerna dan 65% sampai 75% dari semua kasus obstruksi usus halus. Tindakan kolektomi, dengan luka insisi peritoneum yang besar, meningkatkan kejadian obstruksi intestinal sebesar 11% (Brugmann et al., 2010). Penelitian oleh Sastry et al menemukan bahwa waktu rata-rata yang dibutuhkan dari operasi sampai terjadinya obstruksi usus halus adalah 24 bulan. Peningkatan resiko obstruksi usus halus terjadi dengan peningkatan lama operasi dan adanya operasi sebelumnya, sedangkan resiko obstruksi usus halus menurun pada pasien dengan kondisi fisik berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA) lebih dari 3 (Sastry et al., 2015). Adhesi intraperitoneal juga merupakan penyebab dari 15% sampai 20% kasus
inferitilitas
wanita
sekunder.
Adhesi
paratubal
dan
paraovarian
mengakibatkan terjebaknya folikel dan menurunkan mobilitas dan blokade dari tuba fallopi, sehingga membatasi gerakan oosit, meningkatkan resiko kehamilan ektopik (Brugmann et al., 2010).
Nyeri kronis perut bagian bawah menurunkan kualitas hidup dan merupakan alasan dilakukannya 30% sampai 50% dari semua laparoskopi dan 5% histerektomi. Penelitian oleh DiZerega menemukan bahwa adhesi merupakan penyebab dari hanya 40% nyeri kronis perut bagian bawah pada wanita yang sebelumnya menjalani operasi, dan 25% kasus masih belum jelas penyebabnya (Brugmann et al., 2010). Keltz, et al (2006) menemukan pula bahwa gejala nyeri perut kronis menurun secara signifikan setelah dilakukan adhesiolisis parakolik sisi kanan, namun penelitian lain oleh Swank, et al (2003) menemukan tidak adanya penurunan gejala nyeri perut setelah adhesiolisis secara laparoskopik. Suatu penelitian menemukan adanya serat saraf secara histologi, ultrastruktural, dan imunohistokimia pada semua adhesi intraperitoneal yang diperiksa. Dan serat saraf ini mengekspresikan protein yang berhubungan dengan gen calcitonin dan substansi P - penanda neuron sensoris. Penelitian ini mensugesti bahwa struktur ini mempunyai kemampuan mengkonduksi nyeri dengan stimulasi yang sesuai (Arung et al., 2011). Seorang ahli bedah memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi yang cukup sehubungan dengan resiko operasi abdomen termasuk resiko adhesi intraperitoneal. Ini memiliki implikasi langsung untuk praktek klinis dan klaim medikolegal (Rajab et al., 2009; Solomon et al., 2010). Pasien yang akan menjalani operasi juga harus diinformasikan dengan pemahaman secara tertulis mengenai kemungkinan operasi ulangan adhesiolisis dan komplikasinya, dengan menyebutkan pula ekstensi operasi, lama anestesi, kehilangan darah, dan resiko cedera omentum, buli, ureter, dan pembuluh darah. Reoperasi mempunyai angka
enterotomi sebesar 20%. Dan adhesi intraperitoneal akan menyulitkan operasi ataupun tindakan minimal invasif berikutnya, ultrasonografi diagnostik, pengambilan oosit untuk IVF (In Vitro Fertilization), pemberian kemoterapi intraperitoneal, dan dialisis peritoneal (Brugmann et al., 2010). Penelitian oleh Van Goor menginformasikan bahwa hanya 25% dari pasien yang menjalani operasi yang diberitahu akan kemungkinan terjadinya adhesi intraperitoneal dan kemungkinan perlunya dilakukan adhesiolisis di masa yang akan datang, dan adhesi hanya disebutkan pada 10% persetujuan praoperasi (Van Goor, 2007). Dari sudut pandang ekonomi, adhesi intraperitoneal menghabiskan dana sebesar $13 juta pertahunnya di Swedia dan $1,3 miliar pertahunnya di Amerika (Arung et
al.,
2011).
Klaim
medikolegal
sehubungan dengan
adhesi
intraperitoneal yang berhasil di Inggris di antaranya yaitu kasus perforasi usus saat dilakukan adhesiolisis secara laparoskopik, keterlambatan diagnosis obstruksi usus halus karena adhesi, dan infertilitas dan nyeri akibat adhesi (Ellis dan Crowe, 2009). Adapun dampak yang diakibatkan oleh adhesi intraperitoneal adalah signifikan, namun Clinical Adhesion Research and Evaluation (CARE) di Jerman menemukan bahwa tidak semua, yaitu sebesar 83,1% ahli bedah memberitahu pasien mereka akan resiko terjadinya adhesi intraperitoneal sebelum melakukan pembedahan (Hackethal et al., 2010). 2.4.2
Derajat dari Adhesi Intraperitoneal Ada beberapa sistem derajat yang digunakan untuk menilai beratnya
adhesi intraperitoneal. Sistem derajat adhesi intraperitoneal yang sering dipakai
sampai saat ini adalah sistem derajat berdasarkan Zulhke et al., di mana derajat 0 berarti tidak ada adhesi, dan derajat 4 berarti adhesi yang kuat dan luas yang hanya dapat dipisahkan dengan instrumen tajam dan tidak dapat dipisahkan tanpa merusak organ.
Tabel 2.2 Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal (Zulhke et al., 1990) Derajat 0 1
2
3
4
Observasi Tidak ada adhesi Adhesi tipis, mudah dipisahkan dengan diseksi tumpul, tanpa vaskularisasi Adhesi yang lebih kuat, sebagian dapat dipisahkan dengan diseksi tumpul dan sebagian lagi dengan diseksi tajam, mulai ada vaskularisasi Adhesi yang kuat, lisis hanya bisa dilakukan dengan diseksi tajam, vaskularisasi jelas Adhesi sangat kuat, lisis hanya bisa dilakukan dengan diseksi tajam, organ melekat kuat dan tidak dapat dipisahkan tanpa merusak organ
Tabel 2.3 Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal Berdasarkan Densitas (Frederick et al., 1986) Derajat
Observasi
0
Tidak ada adhesi
1
Adhesi terlokalisir dan tipis
2
Adhesi terlokalisir dan padat
3
Adhesi luas dan tipis
4
Adhesi luas dan padat
Tabel 2.4 Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal Berdasarkan Area Cedera (Guvenal et al.,2001) Derajat
Observasi
0
Tidak ada adhesi
1
Adhesi 25% area cedera
2
Adhesi 50% area cedera
3
Semua area terlibat
Tabel 2.5 Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal Berdasarkan Vaskularitas dan Densitas (Canbaz et al., 2005) Derajat
Observasi
0
Tidak ada adhesi
1
Adhesi tipis, mudah dipisahkan dengan jari
2
3 4
2.5
Adhesi ringan, berkelanjutan tanpa vaskuler, dapat dipisahkan secara tumpul Adhesi sedang, berserat, vaskularisasi sedang, memerlukan diseksi tajam Jaringan parut padat, di mana bidang jaringan tidak jelas
Pencegahan Adhesi Intraperitoneal Pencegahan adhesi intraperitoneal postoperative meliputi 3 tahap yaitu:
pendekatan
operasi
(laparoskopik
versus
laparotomi),
teknik
operasi
(konvensional versus mikrosurgikal), dan adjuvan pembedahan (Kamel, 2010). 2.5.1
Pendekatan Pembedahan Laparaskopik dengan akses minimal ke cavum abdomen atau pelvis
berhubungan dengan adhesi postoperatif yang lebih rendah dibandingkan dengan pembedahan terbuka jika teknik laparoskopik benar. Keuntungan pembedahan
laparoskopik yaitu kecilnya insisi peritoneum parietal, benda asing yang lebih sedikit, lingkungan yang lembab, trauma dan pendarahan jaringan yang lebih sedikit, lebih sedikit manipulasi struktur lain yang jauh, lebih cepat kembalinya motilitas usus dan ambulasinya (Kamel, 2010). Adapun kekurangan pendekatan secara laparoskopik yaitu cedera jaringan karena kesalahan pemilihan dan pemakaian instrumen, adhesi masih terjadi setelah
laparoskopik,
pneumoperitoneum
dengan
gas
CO2
yang
tidak
dihumidifikasi adalah kofaktor adhesi, pembentukan adhesi berhubungan dengan lama pneumoperitoneum, dan iskemia subserosal sebagai konsekuensi tekanan tinggi gas intraperitoneal (Kamel, 2010). Gas CO2 berhubungan dengan penurunan kadar oksigen jaringan, asidosis, dan pelepasan spesies oksigen reaktif yang diperkirakan adhesiogenik (Pados et al., 2013). 2.5.2
Teknik Pembedahan William Steward Halsted, seorang ahli bedah Amerika, menyatakan
prinsip-prinsip pembedahan, yang akhirnya disebut “Prinsip Halsted”, yang meliputi teknik aseptik, penanganan jaringan dengan halus, diseksi tajam jaringan, hemostasis dengan menggunakan seminimal mungkin jahitan yang non-iritatif, menghilangkan ruang kosong, dan, menghindari ketegangan. Sebagai tambahan adalah irigasi yang terus-menerus, mempertahankan kelembaban jaringan, penggunaan instrumen mikro dan atraumatik, yang juga terbukti efektif (Omer dan Al-Harizi, 2014). Tambahan terhadap teknik pembedahan yaitu teknik pembedahan mikro yang pertama kali diterapkan oleh Swolin pada tahun 1967. Prinsip dari
mikrosurgikal yaitu dengan pembesaran untuk visualisasi yang lebih baik, menggunakan instrumen yang lebih kecil, dan jahitan yang lebih halus. Prinsip pembedahan mikro lainnya termasuk penanganan jaringan yang lebih minimal, mencegahnya mengeringnya jaringan, menghindari benda asing, dan hemostasis yang lebih baik (Kamel, 2010). Teknik pembedahan baru saat ini yaitu penggunaan laser, kebanyakannya ultra-pulse carbon dioxide. Menghilangkan jahitan peritoneum adalah salah satu upaya untuk menghindari adanya benda asing dalam cavum peritoneum dan ditemukan menurunkan durasi operasi, kejadian demam, dan menurunkan penggunaan analgetik serta kembalinya aktivitas usus yang lebih cepat (Kamel, 2010). 2.5.3
Adjuvan Pembedahan
Tabel 2.6 Adjuvan dalam mencegah adhesi postoperatif (Kamel, 2010) Agen Fibrinolitik Thrombokinase, fibrinolysin, streptokinase, urokinase, hyaluronidase, chymotrypsin, trypsin, papain and pepsin. Tissue plasminogen activators and recombinant t-PA Thromboxane synthetase inhibitors: imidazole and ridogrel Thrombin inhibitor (rec-Hirudin 1) Anti-proliferative medications: Paclitaxel and Camptothecin Polypeptides: lysozyme, polylysine, and polyglutamate Antikoagulan Heparin Low molecular weight heparin (Enoxaparin-Na) Agen antiinflamasi Low-dose aspirin Anti-inflammatory peptides: retinoic acid, quinacrine, or dipyridamole Antihistamines: Promethazine Corticosteroids: dexamethasone, hydrocortisone and prednisolone Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID): Ketorolac, Tolmetin, Ibuprofen and Indomethacin Antibiotik Systemic antibiotics (cephalosporins or tetracyclines) Peritoneal irrigation (cefazolin or tetracycline) Pemisahan mekanis Peritoneal instillates Crystalloid solutions: normal saline and Ringer’s lactate Viscous solutions: 32% Dextran-70 (Hyskon 1) Carboxymethylcellulose (CMC): high MW polysaccharide gel Hyaluronic acid (HA): a naturally occurring glycosaminoglycan HA with phosphate-buffered-saline HAPBS: (Sepracoat 1) HA with iron 0.5% ferric hyaluronate gel: (Lubricoat 1) Auto-cross-linked hyaluronan solution or gel (ACP-gel) N,O-carboxymethyl chitosan (NOCC): gel and solution Barrier Barrier endogen: Fetal amniotic membranes Peritoneal transplants Omental grafts Bladder strips Barrier eksogen: 0.5% ferric hyaluronate gel (Intergel 1): withdrawn from market HA with carboxymethylcellulose HA-CMC: (Seprafilm 1) AdhibitTM: gel used after cardiac surgery Adept 1: is an intra-peritoneal fluid Polyethylene glycol-PEG: (SprayGel 1) Poloxamer 407 of (FlowGel 1) Polytetrafluoroethylene: (Gore-Tex 1) Fibrin glue: composed of fibrinogen, thrombin, calcium, and factor-VIII Oxidized-regenerated cellulose-ORC: (Surgicel 1)
i
Interceed 1 (TC7) Modified neutralized Interceed (nTC7) Mineral oil, silicone, vaseline, gelatin, rubber sheets, metal foils, plastic hoods (abandoned) Agen Baru Films of polyethylene oxide and carboxymethylcellulose: (Oxiplex 1) Shelhigh dome pericardial patch no-react Pluronic F127/F68 alginate–buprofen mixture (Sol–Gel 1) Aloe vera gel Agen yang masih diteliti Colchicine Medroxyprogesterone acetate (MPA) Calcium channel blockers Phosphatidylcholine instillation Vitamin E D-Penicillamine Methylene blue Pentoxifylline Statin Epidermal growth factor (EGF)
Terbentuknya adhesi intraperitoneal masih tidak dapat dihindari pada pembedahan pelvis reproduktif walau dengan teknik laparoskopi yang baik, pembedahan mikro, dan penggunaan laser, sehingga dicari bahan yang dapat mencegah pembentukan adhesi (Kamel, 2010). Macam-macam
adjuvan
pembedahan
ditemukan
untuk
mencegah
pembentukan adhesi intraperitoneal, namun tidak semuanya efektif. Adjuvan yang dapat digunakan untuk mencegah adhesi di antaranya adalah agen fibrinolitik, antikoagulan, agen antiinflamasi, antibiotik, pemisahan secara mekanis, penghalang (barrier), agen-agen baru maupun agen-agen yang masih dalam penelitian (Kamel, 2010). Suatu penelitian yang dikerjakan oleh Clinical Adhesion Research and Evaluation (CARE) di Jerman, mendapatkan bahwa 38,4% ahli bedah menggunakan agen antiadhesi secara rutin (Hackethal et al., 2010). 2.6
Pemisahan secara mekanis
Pemisahan permukaan peritoneum yang telanjang pada awal proses penyembuhan adalah metode yang ideal dalam pencegahan adhesi intraperitoneal. Larutan kristaloid banyak digunakan untuk instilasi cavum abdomen setelah pembedahan. Ringer laktat yang dimasukkan ke dalam intraperitoneal hewan mempunyai efek penyeimbang yang lebih baik, ditemukan menurunkan pembentukan adhesi dibandingkan normal saline. Sayangnya cairan ini diserap dengan kecepatan 35 ml/jam, sehingga jika dihitung maka diperlukan 5 liter cairan untuk mempertahankan kondisi pemisahan sampai 6 hari postoperasi. Kendala lainnya yaitu resiko infeksi, edema paru, dan kebocoran pada lokasi punksi. Untuk memperpanjang lama cairan di intraperitoneal maka digunakan larutan dengan viskositas yang lebih tinggi, seperti dextran, yang bekerja melapisi peritoneum yang telanjang dan sebagai larutan osmotik yang mengakibatkan melayangnya (hydrofloatation) viscera. Selanjutnya, ditemukan pula CMC yang lebih efektif dibandingkan dextran. Larutan lain yang termasuk dalam pemisah mekanis yaitu Hyaluronic acid dan N,Ocarboxymethyl chitosan (NOCC) (Kamel, 2010). Selain instilasi peritoneal di atas, mekanisme pemisahan lain yaitu dengan memberi barrier (pelindung). Pelindung mekanis yang ideal harus aman dan efektif, tidak merangsang peradangan, tidak merangsang reaksi imun, bertahan selama masa kritis penyembuhan peritoneum, terfiksasi pada lokasi aplikasinya tanpa dijahit atau distapler, tetap aktif walaupun ada darah, dan dapat didegradasi secara biologis tanpa perlu dikeluarkan. Sebagai tambahan, barrier tidak boleh menghalangi penyembuhan luka dan meningkatkan resiko infeksi (Kamel, 2010; Cimen et al., 2013). Barrier
eksogen yang bisa digunakan yaitu graft membran amnion dan transplan peritoneum autolog. Sedangkan barrier eksogen contohnya gel 0,5% ferric hyaluronate, dan gel HA-CMC (Kamel, 2010). Penelitian-penelitian menemukan bahwa kebanyakan adhesi adalah sementara dan lisis secara alami dalam waktu 72 jam. Pembentukan adhesi yang menetap terjadi 3 hari setelah operasi, sehingga agen barrier diharapkan dapat bertahan pada tempat cedera selama beberapa hari setelah operasi (Cimen et al., 2013).
2.6.1
Peran HA – CMC (Hyaluronic acid – Carboxymethylcellulose) dalam
Mencegah Adhesi Intraperitoneal 2.6.1.1 Hidrogel Berbasis Polisakarida Hidrogel adalah materi yang terbentuk dengan interaksi fisik atau ikatan kimiawi rantai polimer yang hidrofilik, memampukannya menyerap air dalam jumlah banyak. Molekul air berpenetrasi ke dalam ruang interstisial dari jaringan polimer tiga dimensi, membuat hidrogel menyerupai jaringan biologis. Jumlah air yang terabsorbsi tergantung pada seberapa berporinya hidrogel dan seberapa hidrofilnya kelompok fungsional polimer tersebut (Camponeschi et al., 2015). Hidrogel dibagi menjadi hidrogel fisik, di mana ikatan polimer dipegang oleh kaitan-kaitan molekul dan atau interaksi ion, ikatan hidrogen, dan atau dipolar, dan, hidrogel kimiawi, yang terdiri dari jaringan yang terikat kovalen dari ikatan kimia rantai polimer melalui tambahan agen-agen lain yang diikat bersama yang mampu bereaksi dengan kelompok fungsional spesifik pada rantai polimer. Sebagai
tambahan, hidrogel kimiawi juga menunjukkan interaksi fisik sampai batas tertentu sebagai bagian dari polimer tersebut. Tidak seperti hidrogel fisik, ikatan mekanis hidrogel kimiawi dapat terbentuk kembali dengan baik, memungkinkannya untuk dimodulasi dari derajat ikatannya, sehingga hidrogel kimiawi lebih disukai (Camponeschi et al., 2015). Hidrogel berbasis polisakarida adalah hidrogel kimiawi yang sangat menjanjikan dalam dunia kedokteran. Bahan ini digunakan dari pembuatan jaringan sampai mengendalikan pelepasan obat untuk terapi lokal. Bagian paling menarik dari bahan ini adalah bahwa bahan ini mampu diaplikasikan tanpa mengubah struktur kimia, mekanis, dan biologisnya. Hal ini dikarenakan sifatnya yang thixotropic. Thixotropic adalah sifat cairan di mana jika diaduk maka viskositasnya turun dan semakin kuat pengadukannya maka viskositasnya akan semakin turun. Apabila pengadukan dihentikan, viskositas cairan akan naik kembali. Modulasi kekentalan dan fisik kimia bahan ini dapat dilakukan dengan mengikatnya dengan agen-agen lain dan memanfaatkan sifat thixotropic-nya (Camponeschi et al., 2015). 2.6.1.2 Hyaluronic Acid – Carboxymethylcellulose (HA-CMC) sebagai Hidrogel Berbasis Polisakarida Beberapa polimer alami dapat digunakan sebagai bahan hidrogel kimiawi. Polisakarida adalah salah satu yang paling baik karena mereka memiliki kelompok ionik, memudahkan modifikasi struktur kimianya dengan kelompok fungsional baru atau enzim lainnya. Hidrogel polisakarida yang diikat secara kimia menunjukkan bahwa sifat mekanis dan pori-pori mereka dapat dikendalikan berdasarkan derajat
ikatan, bahwa mereka mampu menyerap banyak air sesuai berat (kemampuan membengkak) mereka menentukan sifat mekanis dan kimianya, dan, bahwa kebanyakan bersifat thixotrophic, membuatnya memungkinkan untuk diinjeksi melalui jarum suntik, sehingga cocok untuk aplikasi biomedis (Camponeschi et al., 2015). Hidrogel berbasis polisakarida saat ini banyak diminati penggunaannya sebagai matriks untuk perbaikan dan regenerasi macam-macam jaringan dan organ. Karakteristik hidrogel ini yaitu permeabilitasnya yang tinggi sehingga mengizinkan pertukaran oksigen, nutrisi, dan metabolit larut air, yang penting dalam mendukung pertumbuhan sel (Camponeschi et al., 2015). Hyaluronic acid (HA) adalah polisakarida linier dengan unit disakarida berulang yang terdiri dari D-glucuronate dan N-acetyl-D-glucosamine. HA merupakan komponen yang alami ada di dalam jaringan dan cairan tubuh seperti kulit, cairan sendi, dan jaringan ikat interstitial, dan berfungsi melindungi secara
Gambar 2.2 Struktur Kimia Hidrogel Polisakarida yang Sering Digunakan: HYAL (Hyaluronic Acid) dan CMC (Carboxymethylcellulose) (Camponeschi et al., 2015) mekanis, lubrikasi sel, dan menopang secara fisik (Pados et al., 2010; Primariawan, 2010). HA dalam bentuk alami adalah cairan yang akan termetabolisme setelah 12 jam di dalam tubuh. HA ini bisa diikat secara kimiawi (cross-linked), menjadi bentuk gel. Kepadatan gel tergantung dari derajat ikatan tiap rantai HA yang membuat metabolismenya lebih lambat di dalam tubuh, sehingga efek HA lebih lama (Mettler, 2014). Suatu penelitian menemukan bahwa larutan HA berdosis kecil (0,2 dan 0,4%) mengurangi kejadian adhesi intraperitoneal secara signifikan, adapun efektivitas sebagai anti-adhesi dari larutan HA ini adalah bergantung pada volume, di mana volume tinggi terlihat paling efektif (Reijnen et al., 2001). Carboxymethylcellulose (CMC) adalah polisakarida dengan berat molekul tinggi, derivat dari cellulose. Mekanisme absorpsinya belum jelas (Pados et al., 2010). CMC tersedia dalam berbagai macam berat molekul, dan diformulasikan dalam campuran cairan dengan viskositas tertentu. CMC dalam bentuk cairan
berfungsi sebagai lubrikan mengakibatkan hydrofloatation. Karena cairan ini mudah keluar dari rongga peritoneal secara in vivo, sehingga saat ini banyak dikembangkan barrier membrane berbasis CMC (Primariawan, 2010). Penelitian menemukan bahwa efektivitas sebagai anti-adhesi dari 1,7% larutan CMC, yang kekentalannya setara dengan 0,4% larutan HA, tidak bergantung pada volume (Reijnen et al., 2001). Campuran hidrogel diperoleh dengan mengikat 2 polimer berbeda melalui reaksi kimia. Hyaluronic acid dan carboxymethylcellulose (HA-CMC) adalah kombinasi dari hyaluronic acid dan carboxymethylcellulose, yang dapat diserap yang larut dan membentuk gel yang hidrofilik lebih kurang 24 jam setelah diaplikasikan. Dia merupakan barrier yang spesifik terhadap lokasi dan bekerja secara mekanik memisahkan jaringan yang bersebelahan dan bertahan 7 hari. HA akan dieliminasi dalam tubuh setelah 4 minggu, namun absorpsi CMC masih belum diketahui jelas (Pados et al., 2010). Penelitian oleh Reijnen et al.(2001) menemukan bahwa Larutan HA dan CMC konsentrasi rendah dapat pula menurunkan pembentukan abses intraabdomen. Kemampuan menurunkan kejadian abses oleh larutan HA maupun CMC ini tidak tergantung pada volum, malah ditemukan bahwa volum larutan CMC yang kecil menurunkan kejadian dan ukuran abses lebih baik dibandingkan dengan volum yang besar. Kelihatannya penurunan pembentukan abses tidak dapat diaplikasikan seperti konsep hydrofloatation pada pencegahan adhesi. Kemampuan HA dalam mengurangi abses diketahui merupakan bagian dari peran biologisnya dibandingkan peran mekanisnya. Peran HA secara biologis yang telah diketahui sejak lama yaitu kerjanya
dalam mendukung dan menjaga batas proses radang. HA dapat memperkuat respon imun humoral dan menginduksi pembentukan interleukin (IL)-1, IL-8 dan tumor necrosis factor. HA diketahui pula mempunyai efek antioksidan, membantu dalam pembuangan radikal bebas, dan menghambat proteinase radang. HA ditemukan meningkatkan proliferasi sel mesotel peritoneum manusia dan menurunkan produksi PAI. Kerja terhadap PAI inilah yang berperan utama dalam pendauran fibrin, mendukung pencegahan pembentukan abses (Reijnen, 2001). Seprafilm merupakan bahan yang mengandung HA dan CMC dalam bentuk membran. Seprafilm ini telah disetujui penggunaannya oleh FDA pada tahun 1996 dan banyak digunakan untuk mencegah adhesi. Bahan ini bersifat biokompatibel, nonimunogenik, dan melekat pada permukaan jaringan. Bahan ini dapat digunakan walau ada darah dan irigasi. Perlindungan permukaan jaringan terjadi selama 7 hari dengan pembentukan gel gelatin yang kental dan hidrofilik yang akan terabsorpsi seluruhnya setelah 28 hari (Primariawan, 2010; Chu et al., 2010, Akerberg, 2013, Omer dan Al-Harizi, 2014). Penelitian menunjukkan bahwa Seprafilm tidak mengganggu pelepasan TGF-β dan serine protease jaringan yang berperan dalam memperbaiki jaringan (Akerberg, 2013). Kekhawatiran sehubungan dengan penggunaan Seprafilm adalah peningkatan kejadian abses dan kebocoran anastomosis saat reseksi dan anastomosis usus. Untuk menurunkan kejadian kebocoran anastomose, disarankan agar anastomose tidak dibungkus dengan lembaran Seprafilm (Akerberg, 2013).
Namun penelitian keamanan dan efikasi seprafilm menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan akan morbiditas secara keseluruhan, kebocoran anastomose, dan pembentukan abses, antara pemakaian Seprafilm dengan placebo (Kumar et al., 2009). Pembentukan fistula, reaksi benda asing, terkumpulnya cairan intraperitoneal adalah komplikasi lain yang dilaporkan (Omer dan Al-Harizi, 2014). Guardix-sol merupakan bahan yang mengandung HA dan CMC dalam bentuk cair. Bahan ini mempunyai biokompatibilitas, non-imunogenik, dapat diserap dan mudah diaplikasikan (Primariawan, 2010). Bahan ini membentuk barrier dengan cara disemprotkan ke tempat cedera peritoneum yang rentan terhadap adhesi. Larutan yang sangat kental ini melekat ke jaringan tersebut, dan setelah beberapa hari, terhidrolisis, terabsorpsi, dan diekskresi oleh ginjal. Bahan ini juga bersifat spesifik terhadap lokasi aplikasi sehingga bisa digunakan untuk cedera peritoneum yang multiple (Park et al., 2011). 2.6.2
Peran Dextran dalam Mencegah Adhesi Intraperitoneal Dextran merupakan larutan yang larut dalam air. Dengan berat molekul yang
besar sehingga dextran tidak langsung diserap dari permukaan peritoneum, ia mengakibatkan terjadinya hydrofloatation (melalui osmosis) dan memisahkan jaringan-jaringan yang cedera (Akerberg, 2013). Selain itu, perubahan struktur fibrin yang terjadi akibat pemberian dextran juga turut berperan dalam mencegah adhesi, sehingga dextran pernah sering digunakan secara intraperitoneal dalam pembedahan fertilitas sebagai bagian dari protokol pencegahan adhesi pada tahun 1980-an (Cimen et al., 2013).
Efek samping yang dilaporkan sehubungan dengan penggunaan dextran yaitu ascites, syok anafilaktik, dan koagulopati. Kondisi yang terakhir diperkirakan terjadi karena peningkatan tPA dan penurunan faktor koagulasi yang terjadi setelah pemberian dextran (Akerberg, 2013). Dextran diperkirakan mempunyai efek antitrombotik dan antiplatelet, namun mekanismenya belum diketahui dengan jelas. Dextran diperkirakan menghambat uptake tPa oleh mannose receptor pada lapisan endotel, sehingga tPA terus mengaktivasi fibrinolisis dengan mengubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin mengandung pula von Willebrand factor (vWF) dan platelet protease-activated receptor-1 (PAR-1), yang mendesensitisasi respon platelet terhadap thrombin (Jones et al., 2008). Dextran dapat melepaskan TGF β dari bentuk tidak aktifnya yang terikat plasma, sehingga meningkatkan efeknya dan malah meningkatkan kejadian adhesi. Dextran dapat pula mengaktivasi dan menginduksi pelepasan IL-1β oleh peritoneum, mengaktivasi sel imun di daerah tersebut, sehingga memodulasi respon imun ketika diaplikasikan ke dalam rongga peritoneum (Akerberg, 2013).