BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengetahuan
Perawat
Tentang
Pemasangan
Terapi
Intravena / Infus Perawat profesional adalah perawat yang bertanggung jawab dan berwewenang memberikan pelayanan keperawatan secara
mandiri
dan
atau
berkolaborasi
dengan
tenaga
kesehatan lain sesuai dengan kewenanganya (Depkes RI, 2002). Menurut PerMenKes No HK.02.02/Menkes/148/1/2010, perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut PP No. 32 th 1996 tentang tenaga kesehatan, perawat adalah seseorang yang telah lulus dan mendapatkan ijazah dari pendidikan kesehatan yang diakui pemerintah. Definisi perawat menurut ICN (international council of nursing) tahun 1965, perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang memenuhi syarat serta berwenang di negeri bersangkutan untuk memberikan pelayanan
keperawatan
yan
bertanggung
jawab
untuk
meningkatkan kesehatan, pencegahan penyakit dan pelayanan penderita sakit. Dari beberapa pengertian diatas pendidikan dan tingkat pengetahuan sangat penting untuk mencetak perawat 10
11
yang profesional. Tingkat pengetahuan yang tinggi diperlukan untuk profesi keperawatan untuk dapat memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dengan baik dan dapat mampu berkolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain. Pengetahuan didapat dari proses pembelajaran baik secara formal maupun informal. Pembelajaran formal seperti Program Diploma 3 Keperawatan, Program Studi S1 Ilmu Keperawatan (PSIK), S2, maupun S3. Pembelajaran informal didapat dari pendidikan informal, seperti pembelajaran klinik, pelatihan khusus, seminar dan di dalam dunia kerja itu sendiri. Melalui pembelajaran tersebut baik formal maupun informal perawat seharusnya mempunyai dasar yang kuat dari segi pengetahuan sehingga dapat mampu bekerja berdampingan dan sepadan dengan tenaga kesehatan lainnya. Dengan pengetahuan yang didapat tersebut perawat dituntut untuk dapat melakukan segala bentuk tindakan keperawatan berdasar pada pengetahuan yang didapatkan, termasuk dalam tindakan tindakan invasif seperti pemasangan terapi intravena. Dalam pemasangan terapi intravena perawat dituntut tidak hanya terampil, tetapi juga harus
mampu
mengetahui,
memahami,
mengaplikasikan,
menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi dari setiap tahaptahap tindakan terapi intravena.
12
Menurut Notoatmodjo (2003), yang dimaksud dengan pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh individu dimana pengetahuan ini akan menimbulkan suatu atau pemahaman terhadap suatu objek. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, raba, dan rasa. Sebagian besar domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Bloom
dalam
Hurlock
(1999),
menyatakan
bahwa
pengetahuan yang tercakup dalam kognitif mempunyai enam aspek, yaitu : a. Tahu (know) ialah mengingat suatu materi yang yang telah dipelajari sebelumnya. b. Memahami
(comprehension)
ialah
sebagai
suatu
kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprretasikan materi secara benar c. Aplikasi (aplication) ialah mampu menggunakan rumusrumus, metode, dan lain sebaginya dalam situasi yang lain. d. Analisis (analysis) suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetati masih didalam suatu struktur organisasi sikap tersebut dan masih ada kaitannya satu dengan yang lain.
13
e. Sintesis
(syntesis)
ialah
menunjukkan
kepada
suatu
kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru f.
Evaluasi (evaluation) ialah berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, pengetahuan
perawat
tentang
bagaimana
terapi
seorang
intravena
perawat
dapat
dijabarkan
mengetahui,
dari
memahami,
mengaplikasikan, menganalisis, dan mengevaluasi dari setiap tahap-tahap tindakan terapi intravena. Dapat dijabarkan sebagai berikut : 2.1.1. Mengetahui. Perawat dituntut untuk dapat mengingat materi baik berupa urutan prosedur, persiapan alat, jenis komplikasi, dan lain-lain tentang terapi intravena yang yang telah dipelajari sebelumnya di dalam proses pendidikan formal maupun informal yang telah ditempuh. 2.1.2. Memahami Perawat harus mampu untuk menjelaskan secara benar tentang tentang tujuan pemberian terapi intravena, memahami tipe
dari cairan yang akan digunakan,
memahami pemilihan akses dan cara pemberian terapi intravena, dan memahami perawatan terapi intravena,
14
sehingga dapat menginterprretasikan materi secara benar. Dapat dijabarkan sebagai berikut: 2.1.2.1.
Memahami tujuan terapi intravena
Memahami tujuan pemberian terapi intravena: 1. Untuk menyediakan air, elektrolit, dan nutrient untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 2. Untuk
menggantikan
air
dan
memperbaiki
kekurangan elektrolit. 3. Untuk menyediakan suatu medium untuk pemberian obat secara intravena (Smeltzer, 2002). 2.1.2.2.
Memahami tipe dari cairan
Dalam Perry & Potter (2005), Cairan intravena dibagi dalam
beberapa
kategori
seperti
cairan
isotonik,
hipotonik, dan hipertonik. Larutan elektrolit dianggap isotonik
jika
kandungan
elektrolit
totalnya
(anion
ditambah kation) kira-kira 310 mEq/L. Larutan elektrolit dianggap hipotonik jika kandungan elektrolit totalnya kurang dari 250 mEq/L. Larutan elektrolit dianggap hi pertonik jika kandungan elektrolit totalnya melebihi 375 mEq/L.
Perawat
juga
harus
mempertimbangkan
osmolalitas suatu larutan, tetap mengingat bahwa osmolalitas plasma adalah kira-kira 300 mOsm/L (SI : 300 mmol/L).
15
1. Cairan isotonik Cairan yang diklasifikasikan isotonik mempunyai osmolalitas total yang mendekati cairan ekstraseluler dan tidak menyebabkan sel darah merah mengkerut atau membengkak. Komposisi dari cairan isotonik meningkatkan volume cairan ekstraseluler. Satu liter cairan isotonik meningkatkan cairan ekstraseluler sebesar 1 liter. Meskipun demikian cairan ini meningkatkan plasma hanya sebesar ¼ liter karena cairan isotonic merupakan cairan kristaloid dan berdifusi dengan cepat kedalam kompartemen cairan ekstraseluler. Untuk alas an yang sama, 3 liter cairan isotonik dibutuhkan untuk menggantikan 1 liter darah yang hilang (Smeltzer, 2002). Larutan dekstrosa 5% dalam air mempunyai osmolalitas serum sebesar 252 mOsm/L. Sekali diberikan,
glukosa
dapat
langsung
cepat
dimetabolisme dan larutan yang pada awalnya merupakan isotonis kemudian berubah menjadi cairan hipotonis, sepertiga ekstraseluler, dan 2/3 intraseluler. Karena itu, dekstrosa 5% dalam air terutama dipergunakan untuk mensuplai air dan untuk
memperbaiki
osmolalitas
serum
yang
16
meningkat. Satu liter dekstrosa 5% dalam air memberikan kurang dari 200 kkal dan merupakan sumber kecil kalori untuk kebutuhan sehari-hari tubuh (Smeltzer, 2002). Normal
saline
(0,9
%
Natrium
klorida)
mempunyai osmolalitas total sebesar 308 mOsm/L. Karena osmolalitasnya secara keseluruhan ditunjang oleh elektrolit, larutan ini tetap dalam kompartemen ekstraseluler. Untuk alasan ini, normal salin sering digunakan untuk mengatasi kekurangan volume ekstraseluler. Meskipun disebut sebagai “normal”, cairan normal salin ini hanya mengandung natrium dan klorida dan tidak merangsang CES secara nyata (Smeltzer, 2002). Larutan Ringer mengandung kalium dan kalsium selain natrium klorida. Larutan Ringer Laktat juga mengandung prekusor bikarbonat (Smeltzer, 2002). 2. Cairan hipotonik Salah satu tujuan dari larutan hipotonik adalah untuk menggantikan cairan seluler, karena larutan ini bersifat hipotonis dibandingkan dengan plasma. Tujuan lainnya adalah untuk menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Pada saat tertentu,
17
larutan natrium hipotonik digunakan untuk mengatasi hipernatremia dan kondisi hiperosmolar yang lain. Larutan
salin
berkekuatan
menengah
(natrium
klorida 0,45%) sering digunakan. Infus larutan hipotonik yang berlebihan dapat
menyebabkan
terjadinya deplesi cairan intravascular, penurunan tekanan darah, edema seluler, dan kerusakan sel. Larutan ini menghasilkan tekanan osmotik yang kurang dari cairan ekstraseluler (Smeltzer, 2002). 3. Cairan hipertonik Dekstrosa 5% ditambahkan pada normal salin atau larutan ringer, osmolalitas totalnya melebihi osmolalitas
ekstraseluler.
Meskipun
demikian,
dekstrosa dengan cepat dimetabolisme dan hanya tersisa larutan isotonik. Oleh karena itu, efek kompartemen intraseluler sifatnya hanya sementara. Sama
halnya
dengan
cairan
dekstrosa
yang
ditambahkan larutan elektrolit multiple hipotonik. Dekstrosa 40% dalam air diberikan untuk membantu memenuhi kebutuhan kalori. Larutan ini sangat hipertonis dan harus diberikan pada vena sentral (Smeltzer, 2002).
18
Larutan salin juga tersedia dalam konsentrasi osmolar yang lebih tinggi dari ekstraseluler. Larutan ini menarik cairan dari intraseluler ke ekstraseluler dan menyebabkan sel-sel mengkerut. Jika diberikan dengan cepat atau dalam jumlah yang besar, dapat menyebabkan
kelebihan
volume
ekstraseluler,
kelebihan cairan sirkulatori dan dehidrasi. Larutan hipertonik menghasilkan tekanan osmotik lebih tinggi dari cairan ekstraseluler (Smeltzer, 2002).
2.1.2.3.
Memahami pemilihan akses dan cara pemberian terapi intravena
1. Akses pemberian terapi intra vena Banyak tempat yang dapat digunakan untuk terapi intravena. Vena di daerah ekstermitas dipilih sebagai lokasi perifer dan pada mulanya merupakan tempat satu-satunya yang digunakan oleh perawat. Terdapat beberapa jalur penusukan yang biasa dilakukan oleh perawat yaitu : lengan, punggung tangan dan punggung kaki. Penggunaan vena didaerah kaki biasanya digunakan pada pasien anakanak,
tetapi pada
orang
dewasa
juga
dapat
digunakan pada kasus-kasus tertentu seperti resiko
19
tromboemboli. Vena-vena yang biasanya dihindari adalah vena dibawah infiltrasi vena sebelumnya atau dibawah area flebitis, vena yang sklerotik atau bertrombus, lengan dengan pirai arteriovena atau vistula, lengan yang mengalami edema, infeksi, bekuan darah, atau kerusakan kulit, lengan yang mengalami mastektomi. Idealnya, kedua lengan dan tangan harus di inspeksi dengan cermat sebelum melakukan pungsi vena. Lokasi di pilih dimana tidak menggangu mobilisasi fisik. Lokasi yang dipilih adalah yang paling distal dari lengan dan tangan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan tempat penusukan vena : 1. Kondisi vena 2. Jenis cairan atau obat yang akan diberikan 3. Lama terapi 4. Usia pasien 5. Riwayat kesehatan dan status kesehatan pasien sekarang 6. Ketrampilan tenaga kesehatan (Smeltzer, 2002).
20
Vena-vena yang dapat dijadikan sebagai tempat penusukan : 1. Jalur
akses
Peripherally
Inserted
Central
Catheter (PICC or PIC line) dan Midline Catheter (MLC) Adalah terapi yang menggunakan kateter sentral yang terpasang secara perifer (PICC) atau katerer midline (MLC). PICC digunakan pada pasien yang membutuhkan rawat jalan dalam jangka waktu menengah sampai jangka panjang. Tempat pemasangan PICC pada vena fosa antekubital, diatas atau dibawah vena basilica, sefalika, atau aksilaris. Vena basilica merupakan
vena
yang
lazim
digunakan.
Sedangkan MLC digunakan pada pasien yang tidak
mempunyai
akses
perifer
tetapi
membutuhkan antibiotika IV, darah dan nutrisi parenteral. Tampat pemasangan MLC dilakukan selebar 2-3 jari diatas fosa antekubital atau selebar 1 jari dibawah fosa antekubital kedalam vena sefalika, basilica atau kubital mediana. 2. Lengan : basilic vein (vena basilika), cephalic vein (vena sefalika), median cubital vein (vena
21
kubital mediana), median vein of fore arm (vena antebrakialis
mediana),
radial
vein
(vena
radialis), vena sefalika asesorius, 3. Punggung tangan : superficial dorsal veins (vena metakarpal), dorsal vein arch (vena dorsalis), vena digitalis 4. Punggung kaki : great saphenous vein, dorsal plexus, dorsal arch (Perry & Potter, 2005).
2. Cara pemberian terapi intravena / Pungsi Vena Kemampuan untuk memilih vena yang akan digunakan untuk memberikan cairan dan obat merupakan
ketrampilan
keperawatan
yang
diharapkan. Termasuk dalam memilih tempat pungsi yang sesuai dan jenis kanula, dan mahir/terampil dalam teknik penusukan vena. Vena harus dikaji dengan palpasi dan inspeksi. Vena harus teraba kuat, elastic, besar, bulat, tidak keras, datar, dan tidak bergelombang. Pedoman umum untuk memilih kanul sebagai berikut : a. Panjang kanul 1,8 cm – 3 cm b. Kateter dengan diameter yang kecil untuk memenuhi ruang minimal dalam vena
22
c. Ukuran 20-22 untuk kebanyakan cairan IV, ukuran yang lebih besar digunakan pada larutan yang mengiritasi atau kental. Ukuran 18 biasanya digunakan
untuk transfusi darah
(Smeltzer,
2002). Ukuran kateter nomor 16 biasanya digunakan untuk bedah mayor atau trauma, ukuran kateter nomor 18 untuk produk darah, ukuran kateter nomor 20-22 biasanya digunakan pada kebanyakan pasien namun ukuran kateter nomor 22 terutama digunakan pada anak-anak dan orang tua, dan ukuran kateter nomor 24 biasanya digunakan pada pasien pediatrik dan neonatus (Rocca, 1998).
2.1.2.4.
Memahami Perawatan terapi intravena.
Mempertahankan
terapi
intravena
yang
sudah
terpasang merupakan tanggung jawab keperawatan yang menuntut pengetahuan tentang larutan yang sedang diberikan dan prinsip-prinsip aliran. Selain itu, pasien harus dikaji dengan teliti dari komplikasi local maupun sistemik (Smeltzer, 2002). Perawat setelah selesai
memasang
harus
selalu
mengontrol
dan
23
merawat infus yang sudah terpasang. Yang harus diperhatikan oleh perawat adalah : 1. Mengganti cairan jika sudah habis 2. Mendampingi aktivitas pasien agar tidak terganggu dengan pemasangan infus (Perry & Potter, 2005). 3. Menjaga agar tetap steril Penggunaan cairan antiseptik yang benar dibutuhkan agar
tetap
menjaga
terapi
intravena/infus
yang
terpasang maupun saat memasang infus tetap dalam keadaan steril. a. Cairan Anti septik Antiseptik terutama digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi pada luka. Sediaan antiseptik dapat digunakan untuk mengobati luka memar, luka iris, luka lecet dan luka bakar ringan. Penerapan antiseptik pada luka mungkin perlu diikuti tindakan lain seperti pembersihan dan penutupan luka dengan pembalut agar tetap bersih dan terjaga. b. Jenis-jenis antiseptik Ada banyak sekali agen kimia yang dapat digunakan sebagai antiseptik. Beberapa antiseptik yang
umum
digunakan
adalah etakridin
laktat
(rivanol), alkohol, yodium, dan hidrogen peroksida.
24
Sebagian
besar
produk
antiseptik
di
pasar
mengandung satu atau lebih campuran zat tersebut. 1. Etakridin laktat (rivanol) Etakridin laktat adalah senyawa organik berkristal
kuning
orange
yang
menyengat.
Penggunaannya
antiseptik dalam
larutan
dengan
dagang
merk
bakteriostatik
rivanol
0,1%
berbau sebagai
lebih
rivanol.
dikenal Tindakan
dilakukan
dengan
mengganggu proses vital pada asam nukleat sel mikroba. Efektivitas rivanol cenderung lebih kuat pada bakteri gram positif daripada gram negatif. Meskipun fungsi antiseptiknya tidak sekuat jenis lain, rivanol memiliki keunggulan tidak mengiritasi jaringan, sehingga
banyak
digunakan
untuk
mengompres luka, bisul, atau borok bernanah. 2. Alkohol Alkohol adalah antiseptik yang kuat. Alkohol membunuh kuman dengan cara menggumpalkan protein dalam selnya. Kuman dari jenis bakteri, jamur, protozoa dan virus dapat terbunuh oleh alkohol.
Alkohol
yodium)
sangat
(yang umum
biasanya
dicampur
digunakan
untuk
25
mensterilkan
kulit
sebelum
dan
sesudah
pemberian suntikan dan tindakan medis lain. Alkohol kurang cocok untuk diterapkan pada luka terbuka karena menimbulkan rasa terbakar. Jenis
alkohol
yang
digunakan
sebagai
antiseptik adalah etanol (60-90%), propanol (6070%) dan isopropanol (70-80%) atau campuran dari ketiganya. Metil alkohol (metanol) tidak boleh digunakan sebagai antiseptik karena dalam kadar rendah pun dapat menyebabkan gangguan saraf dan masalah penglihatan. 3. Yodium Yodium atau iodine biasanya digunakan dalam larutan beralkohol (disebut yodium tinktur) untuk
sterilisasi
tindakan
medis.
direkomendasikan
kulit
sebelum
Larutan untuk
dan sesudah
ini
tidak
lagi
mendisinfeksi
luka
ringan karena mendorong pembentukan jaringan parut dan menambah waktu penyembuhan. Generasi
baru
yang
disebut
iodine
povidone (iodophore), sebuah polimer larut air yang mengandung sekitar 10% yodium aktif, jauh lebih
ditoleransi
kulit,
tidak
memperlambat
26
penyembuhan luka, dan meninggalkan deposit yodium aktif yang dapat menciptakan efek berkelanjutan. Keuntungan
antiseptik
berbasis
yodium
adalah cakupan luas aktivitas antimikrobanya. Yodium
membunuh
semua
patogen
utama
berikut spora-sporanya, yang sulit diatasi oleh disinfektan dan antiseptik lain. Beberapa orang alergi
terhadap
yodium.
Tanda
alergi
yodium adalah ruam kulit kemerahan, panas, bengkak dan terasa gatal. 4. Hidrogen peroksida Larutan hidrogen peroksida 6% digunakan untuk membersihkan luka dan borok. Larutan 3% lebih
umum
digunakan
untuk pertolongan
pertama luka gores atau iris ringan di rumah. Hidrogen peroksida sangat efektif memberantas jenis kuman anaerob yang tidak membutuhkan oksigen.
Namun,
oksidasi
kuat
yang
ditimbulkannya merangsang pembentukan parut dan menambah waktu penyembuhan. (Majalah kesehatan.com, 2011).
27
2.1.3. Mengaplikasi Perawat diharap mampu untuk memahami dan mengaplikasi Standar Operasional Prosedur Tindakan Terapi Intravena sesuai dengan standard yang berlaku di rumah sakit. Ketampilan perawat dalam pemasangan terapi dapat diukur dari bagaimana perawat tersebut melakukan pemasangan infus sesuai dengan SOP yang berlaku. Ketampilan tersebut meliputi ketrampilan dalam tahap pre interaksi, tahap orientasi, tahap kerja, dan tahap terminasi. Kemampuan untuk memilih vena yang akan digunakan
untuk
memberikan
cairan
dan
obat
merupakan ketrampilan keperawatan yang diharapkan. Termasuk dalam memilih tempat pungsi yang sesuai dan jenis kanula, dan mahir/terampil dalam teknik penusukan vena. 1. Pengertian Terapi Intravena Terapi intra vena adalah terapi yang bertujuan untuk mensuplai cairan ketika pasien tidak mampu mendapatkan cairan lewat mulut, untuk menyediakan kebutuhan garam untuk menjaga keseimbangan cairan,
untuk
menyediakan
kebutuhan
gula
(glukosa/dekstrosa) sebagai bahan bakar untuk
28
metabolisme, dan untuk menyediakan beberapa jenis vitamin yang mudah larut melalui intravena (Kozier, 1983). 2. Tujuan Terapi Pemberian obat melalui terapi intravena memiliki keuntungan dimana dalam situasi darurat ketika obat-obat yang dapat bekerja cepat bias diberikan melalui intravena. Sehingga efektifitas kerja obat bisa langsung ke tujuan pengobatan (Perry & Potter, 2005). Sedangkan menurut Smeltzer 2002, tujuan terapi intravena adalah untuk menyediakan air, elektrolit, dan nutrient untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, untuk menggantikan air dan memperbaiki kekurangan elektrolit, dan untuk menyediakan suatu medium untuk pemberian obat secara intravena. 3. Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhi
Terapi
Intravena Faktor-faktor yang mempengaruhi termasuk jenis larutan
yang
akan
diberikan,
lamanya
terapi
intravena yang diharapkan, keadaan umum pasien. Pertimbangan memilih tempat penusukan vena sebaiknya melihat kondisi vena, jenis cairan atau obat yang digunakan, lama terapi, usia/ukuran
29
pasien, riwayat kesehatan/status kesehatan pasien sekarang, dan ketrampilan dan pengetahuan tenaga kesehatan (smeltzer, 2002). 4. Tahap-Tahap Terapi Intravena Tahap-tahap terapi intravena yang digunakan diambil dari buku Fundamental Of Nursing Potter and Perry dan mengambil SOP dari Rumah Sakit Citarum Semarang,
yang
nanti
akan
menjadi
bahan
perbandingan tentang prosedur terapi intravena.
30
2.1.4. Memahami,
mengevaluasi,
menganalisis
dan
mengidentifikasi komplikasi terapi intravena Terapi
intravena
menimbulkan
kecenderungan
menimbulkan berbagai bahaya seperti trombosis dan emboli kateter. Selain itu juga dapat menyebabkan komplikasi lokal maupun sistemik. Komplikasi sistemik seperti
kelebihan
beban
cairan,
emboli
udara,
septicemia, infeksi, lebih jarang terjadi tetapi seringkali lebih serius dibanding komplikasi lokal seperti infiltrasi, flebitis, tromboflebitis, dan hematoma. 1. Komplikasi terapi intravena Komplikasi menurut smeltzer (2002) adalah : A. Komplikasi lokal Komplikasi lokal yang mungkin terjadi adalah: a. Infeksi lokal Infeksi lokal yang berhubungan dengan terapi
intravena
dikarenakan
kontaminasi
pada
saat
pemasangan,
pemberian
obat
terjadinya persiapan, intravena,
penggantian balutan, atau penggantian cairan infus. Tanda dan gejala meliputi nyeri, sumbatan aliran darah, bengkak, merah,
31
pengerasan
dan
panas
pada
tempat
darah
yang
penusukan. b. Hematoma Hematoma
adalah
mengumpul dalam jaringan atau dibawah kulit yang biasanya diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah pada tempat penusukan terapi intravena. Ditandai dengan perubahan warna kulit, bengkak, dan nyeri. c. Infiltrasi Infiltrasi adalah masuknya cairan kedalam jaringan sekitar (bukan pembuluh vena) yang biasanya
terjadi
karena
jarum
melewati
pembuluh vena. Ditandai dengan edema, ketidaknyamanan, dan rasa dingin didaerah infiltrasi, tidak terdapat aliran darah dan penurunan kecepatan aliran yang signifikan. Jika larutan bersifat iritatif
maka dapat
menyebabkan kerusakan jaringan. Tindakan perawatannya dengan menghentikan terapi dan mengganti jalur penusukan, kompres dengan
air
hangat,
dan
meninggikan
ekstermitas agar cepat diserap oleh tubuh.
32
d. Flebitis Flebitis adalah suatu reaksi lokal yang berupa peradangan pada pembuluh darah vena di tunika intima yang ditandai dengan panas,
nyeri,
bengkak,
dan
kemerahan
(Rubor, Dolor, Kalor, Tumor, Fungsi laesa) dengan
atau
tanpa
pus
pada
daerah
penusukan yang timbul 3 x 24 jam atau kurang dari waktu tersebut bila infus masih terpasang (Depkes RI, 2001). e. Tromboflebitis Tromboflebitis peradangan
pada
adalah pembuluh
adanya darah
dan
adanya bekuan darah. Biasanya merupakan gejala sisa dari kejadian flebitis. Ditandai dengan nyeri yang terlokalisasi, kemerahan, rasa hangat, bengkak, aliran melambat, sianosis
pada
ekstermitas
ekstermitas,
karena
bengkak,
imobilisasi demam,
malaise, dan lekositosis. Tindakan perawatan dengan
menghentikan
terapi
intravena,
memberikan kompres hangat, meninggikan ekstermitas, mengganti jalur penusukan.
33
f.
Bekuan pada jarum Bekuan ini desebabkan karena selang IV yang tertekuk, kecepatan aliran yang terlalu lambat, kantong IV yang kosong/habis, atau tidak memberikan aliran setelah pemberian obat atau larutan intermiten. Tanda dan gejalanya adalah penurunan kecepatan aliran dan darah kembali ke selang IV. Jika
terjadi
bekuan,
jalur
IV
harus
dihentikan, perawat harus segera mengganti infus yang lama dengan yang baru. Perawat tidak boleh mengirigasi atau melakukan pemijatan pada selang, tidak mengembalikan aliran dengan meningkatkan kecepatan atau menggantungkan cairan lebih tinggi, dan tidak boleh melakukan aspirasi bekuan dari kanul. g. Ekstravasasi Ekstravasasi adalah keluarnya cairan dari pembuluh darah vena ke jaringan sekitar. Ditandai dengan nyeri, rasa terbakar, kaku, teraba dingin, aliran melambat / terhenti, dan merembes/balutan basah.
34
h. Trombosis Thrombosis adalah adanya trauma pada sel
endothelial
dinding
vena
yang
menyebabkan menempelnya fibrin dan sel darah merah pada dinding tersebut yang menyebabkan penyumbatan aliran darah (smeltzer, 2002). B. Komplikasi sistemik a. Kelebihan beban cairan Menyebabkan peningkatan tekanan darah dan tekanan vena sentral, dipsnea berat, dan sianosis.
Tanda
dan
gejala
tambahan
termasuk batuk dan kelopak mata yang membengkak, berat badan meningkat, sakit kepala. Penyebabnya kemungkinan karena infus yang terlalu cepat, penyakit jantung, hati, dan ginjal. b. Emboli Emboli adalah penyumbatan secara tibatiba dari pembuluh darah vena oleh benda asing seperti bekuan darah, maupun udara ke aliran darah. Dapat ditandai dengan dipsnea, sianosis, hipotensi, nadi lemah
35
cepat, hilangnya kesadaran, nyeri dada, bahu, dan punggung bawah c. Pulmonary edema Dapat terjadi karena kelebihan cairan yang diakibatkan oleh terlalu cepatnya cairan infus yang menyebabkan tekanan ke vena sentral meningkat dan menyebabkan edema paru. d. Septisemia Septisemia adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh adanya mikroorganisme yang masuk kedalam tubuh. Ditandai dengan kenaikan
suhu
tubuh
mendadak,
sakit
punggung, sakit kepala, peningkatan nadi (takikardi),
peningkatan
frekuensi
nafas,
mual, muntah, diare, demam, menggigil, tremor, malaise umum, kolaps vascular (jika parah), hipotensi.
36
2.2. Infeksi Flebitis 2.2.1. Infeksi Nosokomial Infeksi
Flebitis
merupakan
satu
dari
infeksi
nosokomial. Menurut Bennet & Brachman (dalam Gould D & Brooker C, 2003), infeksi yang di dapat di rumah sakit (infeksi nosokomial) adalah infeksi yang tidak ada atau berinkubasi pada saat masuk rumah sakit. Dengan kata lain, Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang terjadi di rumah sakit atau infeksi oleh kuman yang didapat
selama
berada
di
rumah
sakit.
Infeksi
nosokomial tidak saja menyangkut penderita tetapi juga yang kontak dengan rumah sakit termasuk staf rumah sakit, sukarelawan, pengunjung dan pengantar. Suatu Infeksi dikatakan di dapat rumah sakit apabila: 1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut. 2. Pada waktu penderita dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut. 3. Tanda-tanda klinik tersesut baru timbul sekurangkurangnya setelah 3 x 24 jam sejak dimulainya perawatan.
37
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya. 5. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah terdapat tanda-tanda infeksi dan dapat dibuktikan infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial. (Parhusip, 2005)
2.2.2. Flebitis 2.2.2.1.
Pengertian flebitis Flebitis adalah suatu reaksi lokal yang berupa
peradangan pada pembuluh darah vena di tunika intima yang ditandai dengan panas, nyeri, bengkak, dan kemerahan (Rubor, Dolor, Kalor, Tumor, Fungsi laesa) dengan atau tanpa pus pada daerah penusukan yang timbul 3 x 24 jam atau kurang dari waktu tersebut bila infus masih terpasang (Depkes RI, 2001). Flebitis di definisikan sebagai inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini dikarakteristikan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat di sekitar
38
daerah penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak di daerah penusukan atau sepanjang vena, dan pembengkakan. Insiden flebitis
meningkat
sesuai
dengan
lamanya
pemasangan jalur intravena, komposisi cairan, atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitas),
ukuran
dan
tempat
kanula
dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan. Flebitis dapat dicegah dengan menggunakan teknik
aseptik
selama
pemasangan,
menggunakan ukuran kateter dan jarum yang sesuai
untuk
vena,
mempertimbangkan
komposisi cairan dan medikasi ketika memilih daerah
penusukan,
mengobservasi
tempat
penusukan akan adanya komplikasi apapun setiap jam, dan menempatkan kateter atau jarum dengan baik (Smeltzer, 2002).
39
2.2.2.2.
Penyebab Flebitis
a. Flebitis Kimia 1.
pH dan osmolaritas cairan pH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko flebitis tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara 3 – 5, di mana keasaman diperlukan untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral
bersifat
lebih
flebitogenik
dibandingkan normal saline. Obat suntik yang
bisa
menyebabkan
peradangan
vena yang hebat, antara lain kalium klorida,
vancomycin,
cephalosporins,
amphotrecin
diazepam,
B,
midazolam
dan banyak obat khemoterapi. Larutan infus dengan osmolaritas > 900 mOsm/L harus diberikan melalui vena sentral. 2.
Obat-obatan Mikropartikel
yang
terbentuk
bila
partikel obat tidak larut sempurna selama
40
pencampuran
juga
merupakan
faktor
kontribusi terhadap flebitis. 3.
Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi dibanding politetrafluoroetilen permukaan
(teflon)
lebih
karena
halus,
lebih
thermoplastik dan lentur. Risiko tertinggi untuk flebitis dimiliki kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietilen. b. Flebitis Mekanis Flebitis
mekanis
penempatan dimasukkan
dikaitkan
kanula. ada
daerah
dengan
Kanula lekukan
yang sering
menghasilkan flebitis mekanis. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik (Smeltzer, 2002). c. Flebitis Bakterial Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap flebitis bakteri meliputi : 1. Teknik pencucian tangan yang buruk. 2. Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak atau tidak steril. 3. Teknik aseptik tidak baik
41
4. Teknik pemasangan kanula yang buruk 5. Kanula dipasang terlalu lama 6. Tempat suntik jarang diinspeksi visual (Smeltzer, 2002).
2.2.2.3. Tanda dan Gejala Flebitis Tanda dan gejala flebitis adalah : a. Rubor (Kemerah-merahan) Kulit kemerahan timbul dengan cepat di atas vena. b. Dolor (Nyeri) Nyeri yang terlokalisasi. c. Kalor (Panas) panas tubuh cukup tinggi, pada saat diraba terasa hangat d. Tumor (Bengkak) Pembengkakan / oedema dengan kulit pucat, panas, dan keras. e. Fungsi laesa (Perubahan fungsi).
42
2.3. Kerangka Konseptual
Terjadi flebitis Pengetahuan Perawat
Pemberian Terapi Intravena Tidak terjadi flebitis Bagan 1.1 Kerangka Konseptual
2.4. Hipotesis Ha: Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat tentang pemasangan terapi intravena dengan angka kejadian flebitis. H0: Tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat tentang pemasangan terapi intravena dengan angka kejadian flebitis.