BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori Otonomi daerah yang dilaksanakan sejak tahun 2001 membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan. Di era otonomi daerah, Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas pengelolaan sektor pendidikan pada semua jenjang diluar perguruan tinggi (SD, SLTP, SLTA). Dari sisi substansi, Pemda bertanggung jawab atas hampir segala bidang yang terkait dengan sektor pendidikan kecuali kurikulum dan penetapan standar yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat memandang hubungan pusat dan daerah tidak dalam kerangka hierarkis tetapi konsultatif. Dengan tujuan memberdayakan daerah, pemerintah pusat menyalurkan bantuan dalam model block grant, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Alokasi dana APBN untuk membangun sektor pendidikan sebaiknya dilakukan melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK) sektor pendidikan, bukan melalui DIP departemen teknis (Depdiknas). Dalam rangka memberdayakan SD sampai SLTA, manajemen pengelolaan diserahkan ke kabupaten/kota provinsi. Pemerintah daerah juga mengalokasikan sebagian dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk sektor pendidikan. Salah satu kebijakan pembangunan pendidikan adalah peningkatan akses bagi anak usia 7 – 15 tahun terhadap pendidikan melalui peningkatan pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang bermutu, khususnya pemberian akses yang
9
lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat menjangkau layanan pendidikan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 (Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas) tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Sementara itu, kenaikan BBM telah menurunkan kemampuan daya beli penduduk miskin, termasuk kemampuan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Hal tersebut lebih lanjut dapat menghambat upaya penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan 9 Tahun karena penduduk miskin akan semakin sulit memenuhi kebutuhan biaya pendidikan. Sejak bulan Juli 2005, Pemerintah telah meluncurkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada seluruh sekolah setingkat SD/MI/SDLB/ dan SMP/MTs/SMPLB di Indonesia untuk meringankan atau menggratiskan biaya pendidikan yang ditanggung oleh masyarakat yang merupakan wujud dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 34 ayat 2 tentang wajib belajar. Semua sekolah setingkat SD/MI/SDLB/ dan SMP/MTs/SMPLB negeri wajib menerima dana BOS. Sedangkan semua sekolah swasta yang telah memiliki ijin operasional yang tidak dikembangkan menjadi bertaraf internasional atau berbasis keunggulan lokal wajib menerima dana BOS. Alokasi dana untuk pendidikan harus dipersiapkan sejak awal, bervariasinya bentuk sekolah membuat penerapan standar biaya dan pendanaan pendidikan menjadi sulit. Pendanaan pendidikan adalah penyediaan sumber daya keuangan yang
diperlukan untuk penyelenggaraan pendidikan (Bastian, 2007). Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 (Bastian, 2007) tentang Pendanaan Pendidikan, pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 juga menguraikan jenis-jenis biaya pendidikan yaitu : 1. Biaya Satuan Pendidikan adalah biaya penyelenggaraan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan yang meliputi; a. Biaya investasi adalah biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap. b. Biaya operasional, terdiri dari biaya personalia dan biaya nonpersonalia. Biaya personalia terdiri dari gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta tunjangan-tunjangan yang melekat pada gaji. Biaya nonpersonalia adalah biaya untuk bahan atau peralatan pendidikan habis pakai dan biaya tak langsung berupa listrik, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain-lain. c. Bantuan biaya pendidikan adalah dana pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang orang tua atau walinya tidak mampu membiayai pendidikan. d. Beasiswa adalah bantuan biaya pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang berprestasi. 2. Biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan adalah biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau penyelenggaraan/satuan pendidikan yang didirikan masyarakat. 3. Biaya pribadi peserta didik adalah biaya personal yang meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. 2.2. Bendahara Bantuan Operasional Sekolah Selama ini sekolah hanya memiliki laporan-laporan dan surat-surat pertanggung jawaban sebagai bentuk transparansi pengelolaan keuangan sekolah. Sekarang setelah sekolah menerima dana BOS diharapkan memiliki laporan
pertanggung jawaban, termasuk laporan nama-nama siswa miskin yang dibebaskan dari segala iuran, format rencana pengambilan dana, laporan bulanan pengeluaran dana BOS dan barang-barang yang dibeli oleh sekolah, laporan pelaksanaan perawatan ringan/pemeliharaan sekolah, laporan pajak penggunaan dana BOS, dan laporan penggunaan dana BOS kepada TIM Manajemen BOS kabupaten/kota. Informasi yang diperoleh dari laporan pertanggung jawaban tersebut diharapakan menyediakan informasi kuantitatif yang bersifat keuangan agar berguna dalam pengambilan keputusan dalam entitas pendidikan. Kepala sekolah sebagai pimpinan sekolah menggunakan infomasi tersebut untuk menyusun perencaaan sekolah yang dipimpinnya, mengevaluasi kemajuan yang dicapai dalam usaha mencapai tujuan, dan melakukan tindakan-tindakan koreksi yang diperlukan. Kepala sekolah dalam mengelola dana BOS menunjuk seorang guru disekolahnya untuk menjadi bendahara, hal ini sesuai dengan buku panduan operasional sekolah dimana seorang guru ditunjuk sebagai bendahara. Sehingga kepala sekolah bukan bendahara melainkan pimpinan sekolah yang mempertanggung jawabkan penggunaan dana BOS. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mendefinisikan bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas nama negara/daerah, menerima, menyimpan, dan membayar/menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara/daerah. Bendahara dalam penelitian ini adalah seorang guru atau karyawan yang diberi tugas tambahan dari tugas pokoknya
mencatat rencana kerja, menerima dana, memungut pajak, membayar, dan membuat laporan penggunaan atas pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dana BOS. Beberapa tugas dan tanggung jawab sekolah yang diatur di dalam buku panduan BOS meliputi perencanaan, pengelolaan, dan pelaporan penggunaan dana BOS antara lain (Dirjen Depdikans, 2010); 1. Perencanaan a. Melakukan verifikasi jumlah dana yang diterima dengan data siswa yang ada b. Khusus bagi sekolah SBI dan RSBI serta sekolah swasta, Tim Sekolah mengidentifikasi siswa miskin dan membebaskan dari segala jenis iuran c. Mengumumkan daftar komponen yang boleh dan yang tidak boleh dibiayai oleh dana BOS d. Mengumumkan besar dana yang diterima dan dikelola oleh sekolah dan rencana penggunaan dana BOS 2. Pengelolaan a. Tidak diperkenankan melakukan manipulasi data jumlah siswa dengan maksud untuk memperoleh bantuan yang lebih besar b. Mengelola dana BOS secara transparan dan bertanggung jawab dengan cara mengumumkan besar dana yang diterima dan rencana penggunaan dana BOS di awal tahun ajaran c. Mengumumkan hasil pembelian barang dan jasa yang dilakukan oleh sekolah d. Bersedia diaudit oleh lembaga yang berwenang terhadap seluruh dana yang dikelola oleh sekolah, baik yang berasal dari dana BOS maupun dari sumber lain e. Dilarang bertindak menjadi distributor atau pengecer buku kepada peserta didik di sekolah yang bersangkutan 3. Pelaporan a. Membuat laporan nama-nama siswa miskin yang digratiskan b. Membuat laporan jumlah dana yang dikelola sekolah dan catatan penggunaan dana c. Melaporkan lembar pencatatan pertanyaan/kritik/saran d. Melaporkan pencatatan pengaduan e. Laporan pertanggung jawaban keuangan tersebut disampaikan setiap triwulan, semester, dan tahunan
2.3. Kinerja Bendahara Bantuan Operasional Sekolah Kata kinerja dalam bahasa Inggris disebut performance. Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa kinerja adalah tingkat pencapaian hasil kerja atas pelaksanaan tugas tertentu oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika. Sedangkan Gibson, et.al (1997) dan Alwi (2001) menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Mangkunegara (2005) kinerja adalah penampilan hasil karya personil baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personil, tidak terbatas pada personil yang memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga pada keseluruhan jajaran personil dalam organisasi. Penilaian kinerja adalah proses menilai hasil karya personil dalam suatu organisasi melalui instrumen kinerja dan hakikatnya merupakan evaluasi terhadap penampilan kinerja personil dengan membandingkan dengan standar baku penampilan. Suprihanto (2000) mengatakan bahwa penilaian kinerja adalah proses yang digunakan organisasi untuk menilai sejauh mana anggotanya telah melakukan pekerjaannya dengan memuaskan. Penilaian kinerja dapat saja dilakukan terhadap kinerja perorangan dan sekelompok orang yang bekerja secara terorganisir. Selanjutnya Suprihanto juga menjelaskan kinerja berdasarkan standar adalah hasil kerja seorang karyawan selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai
ukuran, misalnya standar, target/sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu atau telah disepakati bersama. Campbell dalam Jex (2002), mengemukakan ada delapan dimensi kinerja yaitu (1) pekerjaan
khusus menuntut keahlian contoh, akuntan dan guru, (2)
pekerjaan tidak specifik, (3) kecakapan dalam komunikasi lisan dan tulisan, (4) usaha mendemonstrasikan contohnya atlit, (5) disiplin pemeliharaan personal, (6) memberikan fasilitas kerja peer dan tim, (7) supervisi atau kepemimpinan,(8) manajemen atau administrasi. Dilihat dari pendapat Campbell efektifitas kinerja bendahara BOS termasuk pada kategori pekerjaan khusus menuntut keahlian. Selanjutnya peneliti menganalisis teori Path Goal yang dikembangkan oleh Robbins (2006) juga menjelaskan tentang bagaimana perilaku dari
seorang
pemimpin mempengaruhi kepuasan dan kinerja dari bawahan. Pengaruh dari tindakan kepala sekolah terhadap kepuasan bendahara tidaklah selalu sama seperti pengaruh pada kinerja bendahara. Bergantung pada situasinya, perilaku kepala sekolah dapat mempengaruhi kepuasan dan kinerja dengan cara yang sama, atau berbeda keduanya, atau salah satu. Kepemimpinan suportif menghasilkan kinerja dan kepuasan yang tinggi bila bendahara mengerjakan tugas yang terstruktur. Kepemimpinan yang berorientasi prestasi akan meningkatkan pengharapan bendahara bahwa upaya akan menghasilkan kinerja yang tinggi bila tugas –tugas itu tidak jelas strukturnya. Robbins membuat paradigma sebagai berikut.
Faktor Kontingensi Lingkungan • Struktur Tugas • Sistem otoritas/wewenang resmi • Kelompok Kerja Perilaku Pemimpin • Direktif • Partisipatif • Berorientasi prestasi • Suportif
Hasil • Kinerja • Kepuasan
Faktor Kontingensi Bawahan • Lokus kendali • Pengalaman • Persepsi Kemampuan
Gambar 2.1. Teori Path Goal (Robbins, 2006) Menurut teori Path Goal (Robbins, 2006) seseorang akan meningkat kinerjanya bila kepemimpinannya efektif, maksudnya pemimpin yang efektif adalah manajer yang mampu meningkatkan motivasi dengan cara menunjukkan jalan yang ditempuh oleh karyawan untuk mencapai tujuannya. Efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku kepala sekolah sebagai manajer dengan karakteristik situasi. Profil kepemimpinan kepala sekolah mempunyai peran yang penting dalam mempengaruhi performance bendahara. Perilaku pemimpin akan memberikan
dampak
positif
maupun
negatif
terhadap
kinerja
bendahara.
Kepemimpinan merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, dan kekuatan moral yang kreatif, mampu mempengaruhi para anggota untuk mengubah sikap, sehingga mereka konform dengan keinginan pemimpin.
Berbeda dengan teori yang dikembangkan Locke dan Latham (2002), penetapan tujuan dengan jelas akan mempengaruhi kinerja. Sedangkan upaya individu meraih tujuan sangat ditentukan oleh faktor-faktor spesifik dan kesulitan pekerjaan. Locke dan Latham menambahkan komitemen tujuan, kepentingan tujuan, efikasi diri, umpan balik, dan kompleksitas tugas yang akan memperkuat dan memperlemah kinerja dimana mekanisme ditentukan oleh pilihan/arah, usaha, ketekunan, dan strategi. Sehingga kinerja akan mempengaruhi kepuasan kerja. Gambar 2.2 menunjukkan model untuk menghubungan tujuan dengan kinerja dan kepuasan. Moderator Komitmen tujuan Kepentingan tujuan Efikasi diri Umpan balik Kompleksitas tugas Inti Tujuan Spesifik Kesulitan
Kinerja
Kepuasan
Mekanisme Pilihan/arah Usaha Ketekunan Strategi
Gambar 2.2. Model menghubungkan tujuan dengan kinerja dan kepuasan (Locke dan Latham, 2002) Berdasarkan pendapat di atas, peneliti menyimpulkan kinerja bendahara adalah tingkat keberhasilan bendahara secara keseluruhan untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan dengan derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu dengan
pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya selama rentang waktu tiga bulan.
2.3.1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Bendahara Kinerja bendahara dipengaruhi oleh beberapa faktor, Suprihanto (2000) menyatakan sejumlah faktor yang mempengaruhi kinerja bendahara yaitu bakat, pendidikan dan pelatihan, lingkungan dan fasilitas, iklim kerja, motivasi dan kemampuan hubungan industrial, teknologi, manajemen, dan kesempatan berprestasi. Menurut Jex (2002) ada tiga variabel prediktor kinerja yaitu kemampuan kognitif, pengalaman kerja, dan sifat kepribadian dan ketelitian. Kemampuan kognitif dan pengalaman kerja menentukan pengetahuannya tentang kerja. Sifat kepribadian dan ketelitian akan menentukan keadaan tujuan. Kompleksitas tugas menentukan ketelitian dan kinerja. Untuk memudahkan lihat Gambar 2.3. General Cognitive Ability Job Experience Conscientiousness
Job Knowledge Job Performance Goal Setting Job Complexity
Gambar 2.3. Summary of the Most Important Individual Difference Predicators of Job Performance (Jex, 2002) Berbeda dengan Jex yang menjelaskan ada tiga variabel prediktor kinerja, Kuswandi (2004) menyatakan ada empat variabel yang secara bersama-sama
berpengaruh besar terhadap kinerja karyawan, yaitu kompetensi, kebutuhan tugas atau persyaratan kerja, gaya manajemen, dan iklim organisasi. Kemudian dijelaskan bahwa dari keempat variabel tersebut variabel yang paling kritis adalah iklim organisasi karena iklim organisasi merupakan cara yang sangat baik untuk menilai sampai seberapa jauh mutu kepemimpinan seseorang dalam mengelola atau mengoptimalkan sumber daya manusia yang dipimpinnya. Mathis dan Jackson (2002) menyatakan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja dari individu yaitu kemampuan mereka, motivasi, dukungan yang diterima, keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan dan hubungan mereka dengan organisasi. Sedangkan menurut Bernadin et.al (1993) bahwa pengetahuan, keterampilan, kapabilitas, sikap, dan perilaku karyawan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kinerja karyawan secara signifikan. Terdapat beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kinerja dijelaskan oleh kepuasan kerja. Besarnya pengaruh langsung kepuasan kerja terhadap kinerja didukung oleh beberapa pandangan dari para ahli, seperti yang dijelaskan oleh Cook dan Hunsaker (2001) bahwa penelitian sudah dengan jelas menegaskan bahwa adanya hubungan kausalitas antara kinerja dan kepuasan. Lebih tegas dikatakan oleh Mullins (2005) bahwa ada kecenderungan terdapat hubungan langsung antara kepuasan kerja dengan peningkatan kinerja. Bahkan dalam pendekatan hubungan manusia, kepuasan menimbulkan peningkatan kinerja. Hal serupa juga dibuktikan oleh Judge (2004) bahwa melalui hasil kajian yang komprehensif terhadap 300 studi memberikan kesimpulan bahwa ketika korelasi antara kepuasan kerja terhadap kinerja dikoreksi
atas pengaruh kesalahan sampling dan pengukuran, ternyata rata-rata skor korelasi keseluruhan antara kepuasan kerja dan kinerja adalah 0,30. Judge juga menambahkan bahwa karyawan yang puas terhadap pekerjaan cenderung memiliki kinerja yang lebih baik, tingkat pengunduran tinggi rendah, kemudahan memimpin, dan kenyamanan hidup. Organisasi yang memiliki karyawan yang puas terhadap pekerjaannya kemungkinan besar akan lebih produktif dan menguntungkan.
2.3.2. Mengidentifikasi dan Mengukur Kinerja Bendahara Panggabean (2002) menyatakan bahwa faktor yang dinilai dalam kinerja yaitu yang berkaitan dengan pekerjaan dan karakteristik pekerja. Faktor yang berkaitan dengan pekerjaan terdiri atas kuantitas pekerjaan, apakah kuantitas yang telah ditetapkan dapat dicapai, sedangkan yang berkaitan dengan karakteristik pekerjaan mencakup kemampuan untuk bertanggung jawab, inisiatif, kemampuan beradaptasi dan kerja sama. Mathis dan Jackson (2002) berpendapat bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi antara lain termasuk; (1) kuantitas output, (2) kualitas output, (3) jangka waktu output, (4) kehadiran di tempat kerja, dan (5) sikap kooperatif. Untuk mengetahui kinerja bendahara dalam melaksanakan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab bendahara, maka perlu dilakukan penilaian terhadap kinerja bendahara. Penilaian kinerja bertujuan untuk menilai seberapa baik bendahara telah
melaksanakan pekerjaannya dan apa yang harus mereka lakukan untuk menjadi lebih baik di masa mendatang. Ini dilaksanakan dengan merujuk pada isi pekerjaan yang mereka lakukan dan apa yang mereka harapkan untuk mencapai setiap aspek dari pekerjaan. Isi dari suatu pekerjaan merupakan dasar tetap untuk perumusan sasaran yang akan dicapai dari suatu tugas utama yang dapat dirumuskan sebagai target kuantitas, standar kinerja suatu tugas atau proyek tertentu untuk diselesaikan (Rivai, 2005). Dimensi yang dipergunakan di dalam melakukan penilaian kinerja karyawan menurut Prawirosentono (1999) sebagai berikut; 1.
Pengetahuan atas pekerjaan, kejelasan pengetahuan atas tanggung jawab pekerjaan yang menjadi tugas bendahara. 2. Perencanaan dan organisasi, kemampuan membuat rencana pekerjaan meliputi jadwal dan urutan pekerjaan, sehingga tercapai efisiensi dan efektivitas. 3. Mutu pekerjaan, ketelitian dan ketepatan pekerjaan. 4. Produktivitas, jumlah pekerjaan yang dihasilkan dibandingkan dengan waktu yang digunakan. 5. Pengetahuan teknis, dasar teknis dan kepraktisan sehingga pekerjaannya mendekati standar kinerja. 6. Judgement, kebijakan naluriah dan kemampuan menyimpulkan tugas sehingga tujuan organisasi tercapai. 7. Komunikasi, kemampuan berhubungan secara lisan dengan orang lain. 8. Kerjasama, kemampuan bekerja sama dengan orang lain dan sikap yang konstruktif dalam tim. 9. Kehadiran dalam rapat, kemampuan dan keikutsertaan (partisipasi) dalam rapat berupa pendapat atau ide. 10. Manajemen proyek, kemampuan mengelola proyek, baik membina tim, membuat jadwal kerja, anggaran dan menciptakan hubungan yang baik. 11. Kepemimpinan, kemampuan mengarahkan dan membimbing bawahan, sehingga tercipta efisiensi dan efektivitas. 12. Kemampuan memperbaiki diri sendiri, kemampuan memperbaiki diri dengan studi lanjutan atau kursus-kursus.
Berdasarkan teori tentang kinerja tersebut, maka dalam penelitian ini indikator untuk mengukur kinerja bendahara yang akan dipakai adalah kuantitas kerja, kualitas kerja, kerja sama, pemahaman terhadap tugas, inisiatif, disiplin, dan kehandalan.
2.4. Kepuasan Kerja Kepuasaan kerja pada umumnya diartikan sebagai sikap, ungkapan emosi, dan hasil persepsi individu terhadap pekerjaan. Seseorang yang memiliki kepuasan yang tinggi terhadap pekerjaan cenderung merasa positif, menyukai, dan menghargai pekerjaannya dengan baik. Para ahli mendefinisikan kepuasaan kerja dari beberapa sudut pandang, meskipun demikian tampak kesamaan makna di dalamnya. Kepuasan kerja menurut Kinicky dan Robert (2006) adalah kecenderungan emosi terhadap pekerjaan. Kecenderungan emosi ini dikemukakan Newstorm (2007) sebagai emosi suka atau tidak suka terhadap pekerjaan dan oleh Davis (1997) didefinisikan sebagai perasaan suka atau tidak suka terhadap pekerjaan. Robbins dan Timothy (2008) berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil evaluasi karakteristik-karakteristiknya. Pendapat ini sejalan dengan McShane dan Glinow (2008) yang mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah hasil penilaian seseorang terhadap pekerjaan. Meskipun demikian menurut McShane (2008) penilaian tersebut juga diberikan kepada konteks pekerjaan sesuai dengan persepsinya terhadap karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja dan pengalaman emosi di dalamnya. Menurut McShane dan Glinow seseorang tetap dapat menyukai teman kerjanya meskipun kurang puas pekerjaannya.
Kepuasan kerja sebagai sikap terhadap pekerjaan dikemukakan oleh Greenberg dan Baron (2008), sedangkan Luthans (2005) mendefinisikannya sebagai hasil persepsi individu terhadap pekerjaannya yang dapat dipahami dalam dimensi: (1) respon emosi terhadap situasi kerja, (2) ketergantungan pada kesesuaian outcome dengan harapan, (3) keterkaitannya dengan berbagai sikap yang saling berhubungan terhadap pekerjaan. Lebih lanjut dijelaskan Turner & Lawler dalam Feldman (1983), bahwa beberapa bentuk respon emosi terhadap pekerjaan yaitu merasakan pekerjaannya
bermakna,
merasa
bertanggung
jawab
terhadap
keberhasilan
pekerjaannya, mengetahui hasil dari pekerjaannya. Sedangkan karakteristik pekerjaan yang mempengaruhi respon emosi tersebut adalah variasinya, otonomi, interaksi sosial, peluang untuk pengembangan diri, pengetahuan, dan keterampilan serta tanggung jawab. Menurut Gibson (1997) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap seseorang terhadap pekerjaannya. Sikap tersebut berasal dan persepsi mereka mengenai pekerjaannya dan hal itu tergantung pada tingkat outcome instrinsik maupun ekstrinsik dan bagaimana pekerja memandang outcome tersebut. Kepuasan kerja akan mencerminkan perasaan mereka terhadap pekerjaannya. Sedangkan menurut Kuswadi (2004) menyatakan bahwa, “kepuasan karyawan merupakan ukuran sampai seberapa jauh perusahaan dapat memenuhi harapan karyawannya yang berkaitan dengan berbagai aspek dalam pekerjaan dan jabatannya”. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, karyawan yang tidak puas biasanya mempunyai motivasi kerja yang rendah sehingga dalam bekerja pun mereka biasanya
kurang bersemangat, malas, lambat bahkan bisa banyak melakukan kesalahan dan Iain-lain hal yang besifat negatif sehingga akan menimbulkan pemborosan biaya, waktu, tenaga dan sebagainya. Beberapa pendekatan ditemukan dari hasil eksplorasi teori kepuasan kerja. Pendekatan pertama berorientasi individu, menekankan pengkondisian lingkungan, dan pemberian reward untuk membangun kinerja personal di dalam organisasi. Pendekatan kedua menekankan pentingnya hubungan antar pribadi dan supervisi di dalam organisasi. Sejalan dengan ini maka organisasi membangun sistem permberian reward untuk mempengaruhi kepuasan dalam kelompok kerja. Pendekatan yang ketiga berorientasi pada pekerjaan dan pertumbuhan individu di dalam pekerjaan. Variasi tugas dan otonomi serta peluang untuk mengembangkan diri digunakan sebagai strategi untuk meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja. Sejalan dengan pendekatan-pendekatan ini diidentifikasi berbagai teori kepuasan kerja. Beberapa di antaranya adalah teori pemenuhan kebutuhan (need fulfilment), teori kesesuaian harapan (discrepancy), teori kesesuaian nilai kerja (value attaintment), teori keseimbangan (equity), teori disposisi pribadi (dispositional/genetic). Kepuasan kerja ditemukan juga dalam bentuk model informasi sosial. Model ini didasarkan pada konsep bahwa manusia mengadopsi sikap dan perilaku orang lain yang berinteraksi dengannya. Seseorang akan memandang positif atau negatif terhadap pekerjaannya sesuai dengan cara pandang orang-orang dilingkungan sekitarnya. Oleh karena itu kepuasan kerja menurut teori ini dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Kepuasan kerja juga berhubungan dengan lingkungan di luar
lingkungan kerja. Seseorang yang senang dengan pekerjaannya cenderung memiliki respon positif di rumah atau di tempat lainnya. Demikian juga dengan individu yang memiliki sikap positif di rumah dan lingkungan akan memberi respon positif di tempat kerjanya. Keadaan ini disebut sebagai spilover efect di dalam pekerjaan. Kepuasan kerja menurut teori ini berhubungan dengan mood positif
terhadap
pengalaman kerja. Kepuasan kerja berhubungan dengan keluarnya seseorang dari pekerjaannya. Seseorang yang puas terhadap pekerjaan cenderung akan tetap bertahan, sedangkan seseorang yang tidak puas cenderung akan keluar dari organisasi. Meskipun demikian, faktor ekonomi, usia, peluang kerja di tempat lain turut mempengaruhi kecenderungan untuk bertahan atau mundur dari organisasi. Newstorm (2007) menyebutkan bahwa manfaat kepuasan kerja terhadap organisasi antara lain adalah dapat menurunkan kondisi keluar-masuk dan keterlambatan pegawai, dapat meningkatkan dedikasi dan produktivitas kerja. Bateman dan Snel (2008) mengemukakan bahwa pegawai yang puas terhadap pekerjaan tidak selalu lebih produktif dari yang tidak puas terhadap pekerjaannya. Adakalanya seseorang senang dengan jabatannya karena tidak harus bekerja keras. Akan tetapi menurut Bateman ketidakpuasan kerja dapat menyebabkan tingginya keluar-masuk dalam organisasi, tingginya ketidakhadiran, kurang baiknya hubungan di antara pegawai, merasa kecil hati, perlawanan, mundurnya kondisi mental dan kesehatan, pelayanan yang kurang baik dan rendahnya produktivitas dan keuntungan. Semua ketidakpuasan kerja secara langsung dan tidak langsung akan berpengaruh terhadap organisasi. Satu
orang yang puas terhadap pekerjaannya tidak begitu berpengaruh pada berbagai dimensi organisasi. Akan tetapi suatu organisasi yang penuh dengan orang-orang yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi akan memberi pengaruh yang baik terhadap organisasi dalam berbagai hal. Berdasarkan pembahasan tentang teori kepuasan kerja maka dapat dikemukakan bahwa kepuasan kerja adalah pernyataan tercapainya suatu harapan yang menimbulkan perasaan senang terhadap pekerjaan. Secara operasional kepuasan kerja adalah pernyataan tercapainya suatu harapan yang menimbulkan perasaan senang terhadap pekerjaan yang diungkap dalam bentuk skor melalui kuesioner tentang pernyataan bendahara sekolah tentang tercapainya harapan pada pekerjaan dengan indikator tercapainya tujuan pelaksanaan tugas sesuai dengan harapan, kesesuaian ketersediaan fasilitas kerja dengan harapan, terpenuhinya kebutuhan, dan diperolehnya penghargaan atas prestasi kerjanya. Kepuasan karja dipengaruhi oleh beberapa faktor, Luthans (2005) mengidentifikasi lima faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu, pekerjaan itu sendiri, penghasilan dari pekerjaan tersebut, peluang promosi, supervisi dan rekan kerja serta lingkungan kerja. Lebih lanjut, dijelaskannya bahwa meskipun individu puas terhadap pekerjaannya seseorang dapat pindah dari pekerjaannya, jika melihat peluang di tempat lain. Kemudian jika seseorang tidak melihat peluang di tempat lain maka seseorang tetap dapat bertahan pada pekerjaannya meskipun kepuasan kerjanya rendah.
Kinicky dan Robert (2006) menyebutkan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh terpenuhinya kebutuhan (need fulfilment), perbedaan antara hasil yang diharapkan dengan perolehannya dari tempat kerja, nilai pekerjaan terhadap individu, keseimbangan penghargaan dan faktor genetik. Newstorm
(2007) menjelaskan
bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh penghasilan yang diterima individu, supervisi, profil pekerjaan (task performance), sejawat, dan kondisi pekerjaan. Selanjutnya menurut Newstorm (2007) bahwa pekerjaan adalah salah satu bagian dari kehidupan individu. Oleh karena itu kepuasan kerja adalah satu bagian dari kepuasan dalam kehidupan individu. Davis (1977) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu umur, tingkat jabatan, dan kondisi masyarakat. Sedangkan Lowrer dan Porter dalam Greenberg dan Baron (2008) mengemukakan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh variabel persepsi individu terhadap reward yang diterimanya baik secara intrinsik dan ekstriksik Lancaster dalam Mathis dan Jackson (2002) menyatakan bahwa kepuasan kerja mempunyai banyak dimensi. Secara umum tahap yang diamati adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, pengakuan, hubungan antara supervisor dengan tenaga kerja dan kesempatan untuk maju. Setiap dimensi menghasilan perasaan puas secara keseluruhan dengan pekerjaan itu sendiri, namun pekerjaan juga mempunyai definisi yang berbeda bagi orang lain. Sedangkan Robbins (2001) menyatakan bahwa faktor-faktor yang lebih penting yang mendorong kepuasan kerja adalah kerja yang secara mental menantang,
ganjaran yang pantas, kondisi kerja yang mendukung, dan rekan kerja yang mendukung. Kerja yang secara mental menantang, karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka, menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai
betapa baik mereka bekerja.
Pekerjaan yang kurang
menantang menciptakan kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan. Kondisi kerja yang mendukung, karyawan peduli akan hngkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik. Karyawan lebih menyukai keadaan fisik sekitar yang tidak berbahaya, temperatur, dan faktor-faktor lingkungan Iain seharusnya tidak ekstrim (terlalu banyak atau terlalu sedikit), misalnya terlalu panas atau terlalu remang-remang. Disamping itu kebanyakan karyawan lebih menyukai bekerja dekat dengan rumah, dengan fasilitas yang bersih dan relatif modern serta peralatan yang memadai. Rekan kerja yang mendukung, orang-orang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang berwujud dan pekerjaan mereka. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu memiliki rekan kerja yang ramah dan mendukung akan memberikan kepuasan kerja yang meningkat. Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dan kepuasan seperti bersikap ramah dan dapat memahami, memberikan pujian untuk kinerja yang
baik, mendengarkan pendapat karyawan dan menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka. Berdasarkan dari beberapa penjelasan teori kepuasan kerja, maka kepuasan kerja yang akan diteliti pada penelitian ini adalah kepuasan kerja bendahara sekolah dengan indikator tercapainya tujuan pelaksanaan tugas sesuai dengan harapan, kesesuaian fasilitas dengan yang diharapkan, dorongan yang kuat untuk menyelesaikan tugas, terpenuhinya kebutuhan, dan penghargaan atas keberhasilan. Sehubungan dengan ini perlu dianalisis karakteristik jabatan bendahara sekolah. Jabatan bendahara sekolah adalah jabatan manajer pada level teknis sebuah sekolah. Mengacu pada pendapat Lussier (2009) tentang tugas manajer pada level teknis, maka bendahara sekolah adalah individu yang bertanggung jawab untuk mencapai tujuan sekolah melalui pemanfaatan sumber daya secara efisien dan efektif. Sumber daya yang dapat dimanfaatkan adalah sumberdaya manusia yaitu : guru, pegawai dan siswa, finansial, fisik, dan sumber daya informasi. Sedangkan perannya adalah membangun relasi interpersonal, informasi dan pengambilan keputusan. Karakteristik lain yang dapat dikemukakan adalah jabatan bendahara sekolah merupakan tugas tambahan dari jabatan guru.
2.5. Kejelasan Peran Individu
yang
menjadi
anggota
organisasi
kerja akan memenuhi
kewajiban tertentu kepada organisasi dan organisasi memberikan tempat tertentu di dalam organisasi. Memenuhi kewajiban disebut peranan sedangkan tempat di dalam
organisasi adalah jabatan. Dalam konteks pekerjaan, Udai (1985) mendefinisikan peran sebagai sekumpulan fungsi yang dilakukan seseorang sebagai tanggapan terhadap harapan-harapan dari para anggota penting di dalam sistem organisasi yang bersangkutan dan harapan-harapan sendiri dari jabatan yang ada diduduki panitia. Peran dan jabatan menurut Udai merupakan dua hal yang saling berkaitan meskipun konsepnya berbeda. Jabatan merupakan relasional yang menentukan setiap kedudukan dalam kaitannya dengan kedudukan-kedudukan lain dan dengan keseluruhan sistem. Pada setiap jabatan terkandung sekumpulan kegiatan atau perilaku yang diharapkan. Kegiatan-kegiatan ini merupakan peranan yang harus dilakukan, setidaknya mendekati keharusan itu, oleh seseorang yang menduduki jabatan tersebut. Jabatan merupakan suatu konsepsi relasional dan berkaitan dengan kekuasaan, peranan merupakan suatu konsepsi kewajiban. Jabatan berkaitan dengan kedudukan dan hak-hak, sedangkan peranan berkenaan dengan kewajiban dari kedudukan tersebut. Jabatan merupakan titik di dalam struktur sosial yang menentukan kekuasaan si pemegang jabatan, peranan merupakan sekumpulan perilaku terpadu yang diharapkan dari orang yang menduduki jabatan tersebut. Peran dapat juga dipandang dari segi fungsi, tindakan, posisi dan persepsi. Peran sebagai fungsi menurut Newstorm (2007) adalah sekumpulan fungsi yang dilakukan seseorang sebagai tanggapan terhadap harapan-harapan penting dari para anggota sistem sosial yang bersangkutan dan harapan-harapannya sendiri dari jabatan yang ia duduki dalam sistem sosial. Sedangkan peran dari segi tindakan menurut
Newstorm (2007) adalah bentuk tindakan yang diharapkan dari individu pada aktivitasnya bersama orang lain. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Greenberg dan Mullins. Greenberg dan Baron (2008) menyatakan bahwa peran adalah refleksi posisi seseorang di dalam sistem sosial dengan hak dan kewajibannya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa peran adalah tingkah laku seseorang pada konteks sosial. Menurut Mullins (2005) peran adalah pola tingkah laku yang diharapkan dari orang yang menduduki posisi tertentu di dalam struktur organisasi dan peran mencerminkan cara seseorang mempersepsi
pekerjaannya. Selanjutnya menurut Mullins peran
persepsi adalah cara seseorang yang berpikir dan bertindak sesuai dengan perannya sendiri dan cara sebaiknya orang lain berperan. Ketika seseorang persepsi
mempunyai
yang berbeda dengan yang diharapkannya maka kecenderungannya orang
tersebut akan menghadapi konflik peran. Lebih lanjut Mullins mendeskripsikan tentang beberapa konsep peran. Pertama adalah person's role set yaitu sekumpulan peran yang dimiliki individu dalam kaitan interaksinya dengan berbagai situasi kerjanya, misalnya: peran sebagai pemimpin kelompok, pelayan administrasi, bagian keuangan, konsumer, kolega, senior manajer, teman dan sebagainya. Kedua adalah role incongruen yaitu persepsi terhadap peran yang tidak setara di dalam organisasi, misalnya peran dokter dan perawat.
Ketiga adalah role expectation yaitu peran
yang diharapkan untuk dilakukan individu pada tugas rutin yang menjadi kewajibannya. Peran ini sesuai dengan kontrak kerja, deskripsi kerja, peraturan, dan standar regulasi. Peran formal ini sesuai dengan rincian tugas jabatannya. Selain
peran formal terdapat juga peran informal di dalam organisasi, misalnya adalah sikap terhadap atasan, pakaian dan penampilan dan sebagainya. Perbedaan peran pada organisasi adalah kecenderungan peran spesialisasi yang dimunculkan dalam pengembangan kelompok. Bateman dan Snel (2008) menyatakan terdapat dua peran penting yang perlu diwujudkan di dalam organisasi, yaitu task specialist dan team maintenance specialist. Task specialist adalah peran seseorang yang berhubungan dengan skill dan ability. Peran dan jabatan di dalam organisasi berkaitan erat. Meskipun menurut Newstorm (2007) peran dan jabatan merupakan dua konsep yang berbeda. Jabatan pada dasarnya merupakan konsepsi relasional yang menentukan setiap kedudukan dalam kaitannya dengan kedudukan lain dan dengan keseluruhan sistem. Pada setiap jabatan terkandung sekumpulan kegiatan atau perilaku yang diharapkan. Kegiatan ini merupakan peranan yang harus dilakukan, setidaknya mendekati keharusan itu oleh seseorang yang menduduki jabatan itu. Jabatan berkaitan dengan kekuasaan, peranan berkaitan dengan kewajiban. Jabatan berkenaan dengan kedudukan dan hak-hak sedangkan peranan berkenaan dengan kewajiban dari kedudukan itu. Jabatan merupakan titik di dalam struktur sosial yang menentukan si pemegang jabatan, peranan merupakan sekumpulan perilaku terpadu yang diharapkan dari orang yang menduduki jabatan itu. Greenberg dan Baron (2008) berpendapat bahwa peran jabatan adalah peranan yang disandang individu sesuai dengan jabatan tertentu. Peranan yang diharapkan adalah peran yang diharapkan terhadap seseorang pada jabatan tertentu. Lebih lanjut
menurut Greenberg dan Baron bahwa peranan dapat membingungkan jika terjadi ketidakjelasan antara yang diharapkan dan dilakukan sebagai penanggungjawab peran. Kebingungan peran terjadi jika seseorang tidak yakin apa yang harus dilakukannya pada beberapa situasi. Individu akan lebih puas dengan pekerjaannya ketika peran dan penampilan mereka didefinisikan dan dideskripsikan dengan jelas. Konflik peran muncul apabila terjadi ketidaksesuaian antara perilaku dengan peran yang diharapkan, meskipun peran tersebut jelas dan sudah dipahami. Beberapa bentuk konflik peran menurut Mullins (2005) adalah role incompatible (ketidak sesuaian) harapan seseorang terhadap peran yang dilakukannya dengan yang diharapkan orang lain. Misalnya, seorang manajer pada level teknis menganut faham pendekatan teori Y yang memandang manusia memiliki kemauan untuk berhasil sementara atasannya pada level menengah menganut faham teori X yang memandang manusia tidak memiliki kemauan dan harus diperlakukan keras. Akibatnya, terjadi ketidak singkronan dalam menjalankan peran, manajer cenderung berinteraksi secara lebih rileks sedangkan atasannya menghendaki interaksi formal. Bentuk yang kedua adalah role ambiguity, hal ini terjadi akibat ketidakjelasan tugas dan tanggung jawab serta standar kerja dan penilaian kinerja. Role overload merupakan bentuk konflik peran yang ketiga. Keadaan ini terjadi akibat individu dihadapkan pada berbagai peran yang bervariasi, sehingga yang bersangkutan tidak dapat menjalankannya secara memuaskan. Bentuk konflik yang keempat adalah role underload. Hal ini diakibatkan oleh persepsi individu terhadap peran yang diberikan kepadanya berada di bawah kapasitasnya.
Peran seseorang di dalam kelompok menurut Mullins (2005) dipengaruhi perpaduan beberapa faktor situasional seperti; tuntutan tugas, gaya kepemimpinan, posisi di dalam jaringan komunikasi dan faktor personal: value, sikap, motivasi, ability dan personality. Sedangkan dari segi orientasinya, peran individu pada organisasi menurut Greenberg dan Baron (2008) berorientasikan pada tugas, relasi, orientasi diri. Peran berorientasi tugas menunjukkan pemegang peran menjadi inisiator dan kontributor, penggali informasi, pemberi gagasan, dan pemberi semangat. Pada peran yang berorientasi relasi, peran dilakukan harmonis, kompromis, dan bersemangat. Sedangkan peran yang berorientasi pada diri sendiri ditandai dengan upaya mencari penghargaan, pemblokiran peran, mendominasi, dan penghindar. Tugas-tugas di dalam organisasi pada umumnya didistribusi sesuai dengan perannya. Karakteristik tugas-tugas yang dijalankan individu akan berjalan sesuai dengan peran. Oleh karena itu kejelasan peran dan karakteristik
tugas
sangat
diperlukan pada organisasi. Greenberg dan Baron (2008) berpendapat bahwa, karakteristik tugas dapat dibedakan atas identitas dan signifikansinya. Identitas tugas adalah karakteristik yang mengacu kepada keadaan pekerjaan mulai dari awal sampai akhir, sedangkan signifikansinya mengacu kepada tingkatan
dampak
pekerjaan
tersebut pada seseorang. Kedua ciri tugas ini memberikan makna menjalankan tugas bagi individu di dalam organisasi. Henry Mintzberg dalam Lussier (2009) mengidentifikasi sepuluh peran manajemen dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen dalam perencanaan,
pergorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian. Peran-peran ini dikategorikanya dalam tiga yaitu peran interpersonal, informasi, dan pengembilan keputusan. Peran interpersonal mencakup peran sebagai pimpinan yang menjadi perwakilan organisasi dalam menerima tamu ataupun dalam mengikuti upacara atau perayaan tertentu. Peran sebagai pemimpin dilakukan dalam memotivasi, melatih, berkomunikasi dan mempengaruhi orang lain. Peran sebagai perwakilan resmi (liaison) dalam berhubungan dengan orang atau instansi di luar pekerjaannya. Peran informasional dijalankan dalam bentuk peran monitoring untuk memperoleh informasi tentang situasi dan keadaan pekerjaan sehingga seluruhnya terkendali. Peran diseminasi dilakukan dengan memberi informasi kepada orang lain sedangkan peran sebagai pembicara dilakukan ketika menyampaikan informasi tentang pekerjaan kepada pihak luar organisasi. Peran sebagai pengambil keputusan dilakukan dalam melakukan inovasi dan pengembangan, dalam mengatasi kritis, dalam mengalokasikan sumberdaya. Sedangkan sebagai negosiator dilakukan pada kesempatan tertentu dengan institusi atau orang dari luar organisasi. Kejelasan peran dan tugas menurut Yulk (2002) adalah pemahaman individu terhadap tanggung jawab pekerjaannya dan pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan dan kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan peran tersebut. Kejelasan peran dan tugas ditandai dengan kemampuan mengkomunikasikan rencana kerja, kebijakan serta peran yang diharapkan dari pekerja dan petunjuk untuk mengerjakan tugas. Penjelasan tentang peran dan tugas dapat dilakukan dengan menjelaskan tanggungjawab pekerjaan, menjelaskan peraturan dan prosedur,
mengkomunikasikan prioritas, membuat tugas latihan, menetapkan batas waktu penyelesaian kerja, menetapkan standar kinerja, mendorong individu untuk menyusun rencana pencapaian tujuan,
menunnjukkan bagaimana cara mengerjakan atau
mengulangi beberapa prose dianggap yang kompleks. Berdasarkan penjelasan tentang peran dan tugas di dalam organisasi dapat dikemukakan bahwa secara konseptual kejelasan peran adalah ketepatan dalam menginterpretasikan tugas-tugas yang dikerjakan sesuai dengan tujuan. Secara operasional kejelasan peran adalah ketepatan dalam menginterpretasi tugas-tugas yang dikerjakan sesuai dengan tujuan yang diungkap dalam bentuk skor yang diperoleh dari kuesioner tentang pernyataan bendahara sekolah terhadap keadaan dirinya dengan indikator menyusun rencana pencapaian tujuan, menetapkan batas waktu penyelesaian pekerjaan, komunikasi eksternal, penyusunan anggaran dana BOS, pengelolaan dana BOS, dan pelaporan dana BOS.
2.6. Review Penelitian Terdahulu Kinerja bendahara dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berasal dari kuantitas kerja, kualitas kerja, kerja sama, pemahaman terhadap tugas, inisiatif, disiplin, tanggung jawab dan kehandalan. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kinerja seseorang. Penelitian yang berkaitan dengan kinerja yang telah dilakukan antara lain penelitian yang dilakukan Muslim (2008), dengan meneliti pengaruh gaya kepemimpinan dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan Politeknik Negeri
Lhokseumawe. Penelitian ini bersifat deskriptif explanatory dengan pendekatan studi kasus yang didukung oleh metode survey dengan jumlah sampel yang digunakan berjumlah 60 orang. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linnier berganda. Hasil dari penelitian adalah gaya kepemimpinan dan kepuasan kerja mernpunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Koefisien determinasi hasil regresi adalah 44,1% rnenunjukkan bahwa variabel bebas dapat menjelaskan sebesar 44,1% terhadap variabel terikat. Berdasarkan nilai standardized coefficient diketahui secara parsial bahwa variabel kepuasan kerja mempunyai pengaruh lebih dorninan dibandingkan variabel gaya kepernimpinan. Lubis (2008) juga meneliti tentang kinerja dengan judul pengaruh pelatihan dan motivasi kerja terhadap kinerja karyawan PT Perkebunan Nusantara IV (Persero) Medan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh pelatihan dan motivasi kerja terhadap kinerja karyawan PT Perkebunan Nusantara IV (Persero) Medan, baik secara parsial maupun secara simultan. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linnier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan dan motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja karyawan baik secara parsial maupun simultan. Nilai koefisien determinasi (R) diperoleh sebesar 8.81%. hal ini berarti bahwa kemampuan variabel independen (pelatihan dan motivasi kerja) menjelaskan pengaruhnya terhadap variabel dependen (kinerja karyawan) sebesar 8.81%, sedangkan sisanya merupakan variabel yang tidak terungkap.
Ikwansyah (2009) dengan judul analisis pengaruh kepuasan kerja dan disiplin kerja terhadap kinerja pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan. Penelitian ini bersifat diskriptif eksplanatori dengan pendekatan studi kasus yang didukung oleh metode survey. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 72 orang petugas pengaman. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan disiplin kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja petugas pengaman di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan. Koefisien determinasi (R Squars) hasil regresi adalah 0,416 artinya bahwa variabel kepuasan kerja dan disiplin kerja menjelaskan pengaruhnya terhadap kinerja petugas pengaman sebesar 41,6%. Secara parsial ternyata variabel disiplin kerja memiliki pengaruh yang dominan dibandingkan variabel kepuasan kerja. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Muslim (2008), Lubis (2008), dan Ikwansyah (2009) dimana ketiga peneliti tersebut menggunakan kinerja karyawan atau petugas sebagai variabel dependent, Milfayetty (2009) menggunakan kepuasan kerja sebagai variabel dependent dengan judul pengaruh kebutuhan transendensi, kesadaran berorganisasi, kejelasan peran, dan pencapaian tujuan terhadap kepuasan kerja. Penelitian ini dilakukan di tujuh fakultas di Universitas Negeri Medan, Universitas Sumatera Utara, dan Institut Agama Islam Medan dengan sampel sebanyak 60 ketua jurusan. Metode penelitian menggunakan metode survey dengan teknik kausal. Teknik analisis data yang digunakan analisis jalur. Terdapat lima kesimpulan dari hasil penelitian sebagai berikut: Pertama, kebutuhan
transendensi
ketua
jurusan
mempengaruhi
secara
langsung
kesadaran
berorganisasinya. Kedua, kebutuhan transendensi mempengaruhi secara langsung peran pada ketua jurusan. Ketiga, kesadaran berorganisasi memberi pengaruh terhadap pencapaian tujuan kerja secara langsung. Keempat, kejelasan peran berpengaruh secara langsung terhadap pencapaian tujuan kerja. Kelima, pencapaian tujuan kerja berpengaruh secara langsung terhadap kepuasan kerja ketua jurusan. Penelitian-penelitian terdahulu mempunyai persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Muslim (2008), memiliki persamaan dengan penelitian ini, yaitu kepuasan kerja dan kinerja. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah Muslim mengunakan variabel independen yang lain berupa
gaya
kepemimpinan, tetapi dalam penelitian ini menggunakan variabel independen yang lain berupa kejelasan peran dan kinerja yang diteliti dalam penelitian ini adalah kinerja bendahara BOS sedangkan kinerja pada penelitian Muslim adalah kinerja karyawan. Penelitian Ikwansyah (2009) memiliki persamaan dengan penelitian ini dimana mengunakan kepuasan kerja sebagai variabel independen dan kinerja sebagai variabel dependen. Penelitian Khairul Ikwansyah juga menggunakan teknik analsis regresi linnier berganda yang sama dengan penelitian ini. Perbedaannya adalah Ikwansyah menggunakan disiplin kerja sebagai variabel independen sedangkan dalam penelitian ini menggunakan kejelasan peran dan kinerja yang diteliti adalah kinerja bendahara BOS.
Milfayetty (2009) memiliki persamaan dengan penelitian ini dimana menggunakan variabel kejelasan peran sebagai variabel independen. Teknik analisis yang digunakan berbeda dengan penelitian ini, dimana Milfayetty menggunakan analisis jalur. Variabel dependen yang ingin diteliti pada penelitian ini adalah kinerja bendahara, sedangkan Milfayetty menggunakan kepuasan kerja sebagai variabel dependen. Ringkasan penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Review Penelitian Terdahulu Nama Peneliti Khairul Muslim (2008)
Judul Penelitian Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Politeknik Negeri Lhokseumawe
Variabel Yang Digunakan Variabel independen: 1. Gaya kepemimpinan 2. Kepuasan kerja
Kesimpulan Terdapat pengaruh gaya kepemimpinan dan kepuasan kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan
Variabel dependen:
Khairul Akhir Lubis (2008)
Pengaruh Pelatihan dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT Perkebunan Nusantara IV (Persero) Medan
Kinerja karyawan Variabel independen: 1. Pelatihan 2. Motivasi kerja
Pelatihan dan motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja karyawan baik secara parsial maupun simultan
Variabel dependen:
Ikwansyah (2009)
Analisis Pengaruh Kepuasan Kerja dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan
Kinerja karyawan Variabel independen: 1. Kepuasan kerja 2. Disiplin kerja
Kepuasan kerja dan disiplin kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja petugas pengaman di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan
Variabel dependen:
Sri Milfayetty (2009)
Pengaruh Kebutuhan Transendensi, Kesadaran Berorganisasi, Kejelasan Peran, dan Pencapaian Tujuan Terhadap Kepuasan Kerja
Kinerja pegawai Variabel independen: 1. Kebutuhan transendensi 2. Kesadaran berorganisasi 3. Kejelasan peran 4. Pencapaian tujuan
1. Kebutuhan transendensi ketua jurusan mempengaruhi secara langsung kesadaran berorganisasinya 2. Kebutuhan transendensi mempengaruhi secara langsung peran pada ketua jurusan 3. Kesadaran berorganisasi memberi pengaruh terhadap pencapaian tujuan kerja secara
Variabel dependen: Kepuasan kerja
langsung 4. Kejelasan peran berpengaruh secara langsung terhadap pencapaian tujuan kerja 5. Pencapaian tujuan kerja berpengaruh secara langsung terhadap kepuasan kerja ketua jurusan