BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Musa Paradisiaca
2.1.1
Definisi Musa paradisiaca merupakan tanaman yang berasal dari family Musaceae
yang juga tergolong dalam genus Musa (Kumar, 2012). Spesies ini juga merupakan salah satu tanaman paling tua yang diolah dan dibudidayakan (Kumar, 2012). Nama yang berkembang di masyarakat untuk spesies ini adalah pisang raja. Buah pisang raja memiliki beberapa variasi ukuran dan warna ketika matang yaitu kuning, merah, hingga ungu (Kumar, 2012). Pisang menjadi makanan pokok yang penting di beberapa negara bagian di Afrika Barat dan Tengah yang beriklim lembab. Tanaman ini merupakan tanaman paling penting kedua di dunia yang dibudidayakan setelah minyak palem (Akpabio, 2012). Tanaman ini tersebar di 130 negara di seluruh dunia dan mampu tumbuh tegap hingga mencapai tinggi lebih dari 9 meter. Puncak pohonnya diperpanjang dengan juntaian daun yang menggulung hingga mencapai 365 cm dengan lebar mencapai 61 cm (Kumar, 2012). Setiap pohon hanya menghasilkan satu bunga yang berbentuk seperti kantung dengan ujung bawah yang lancip dan berwarna merah hati. Buahnya berbentuk oval dengan ukuran panjang yang beragam, tergantung dari jenisnya (Kumar, 2012). Tanaman pisang memiliki batang semu yang tebal dan berair. Disebut semu karena batang pohon pisang ini tersusun dari lapisan pelepah yang sejatinya
10
11
merupakan tulang daun pisang (Sumardi, 2010). Daun pisang sendiri memiliki bentuk lonjong yang panjang dan lebar dengan tekstur lembab dan halus pada permukaannya serta tumpul
pada bagian ujungnya. Secara morfologi, daun
pisang terdiri dari tangkai daun, tulang daun, dan helai daun (Sumardi, 2010). Tangkai daun bermanifestasi menjadi batang semu, sedangkan bagian ujungnya berdiferensiasi menjadi tulang daun. Bentuk tulang daunnya menyirip dengan ibu tulang yang nyata dan cabang tulang yang halus (Hastari, 2012). Sebagian besar daun pisang memiliki ukuran yang berbeda satu dengan yang lainnya. Beberapa jenis dapat mencapai panjang hingga lebih dari 36 inchi (Gilman, 1994). Namun bentuk yang panjang dan lebar membuat daun pisang mudah robek jika diterpa angin. Tulang daun yang menonjol di bagian tengah daun cukup kuat untuk menopang daun yang panjang dan lebar (Gilman, 1994).
2.1.2
Klasifikasi Berikut ini merupakan taksonomi pohon pisang:
Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Zingiberales Famili : Musaceae Genus : Musa Species : Musa paradisiaca
2.1.3
Habitat Dan Perkembangbiakan
12
Tanaman Musa paradisiaca dapat tumbuh dengan baik di daerah beriklim tropis sehingga tanaman ini dapat tumbuh hampir di seluruh wilayah di Indonesia (Menteri Negara Agribisnis dan Teknologi, 2000). Beberapa syarat agar tanaman pisang dapat tumbuh dengan baik diantaranya:
a. Iklim Pisang terutama dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis basah, panas, dan lembab. Namun, dalam kondisi tanpa air, pisang masih dapat tumbuh dengan cadangan air yang tersimpan dalam batangnya, namun dalam hal ini, produksi buahnya tidak dapat diharapkan. Angin berkecepatan tinggi dapat merusak daunnya sehingga berpengaruh pada pertumbuhan bunga dan buahnya. Curah hujan optimum yang dibutuhkan tanaman pisang untuk tumbuh berkisar antara 1520-3800 mm/tahun ((Menteri Negara Agribisnis dan Teknologi, 2000).
b. Media Tanam Pisang dapat tumbuh di tanah yang kaya humus dan mengandung kapur. Pemupukan harus dilakukan secara teratur agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Air harus tersedia namun tidak boleh menggenang karena genangan air dapat membuat akar membusuk. Tanaman ini dapat tumbuh di dataran tinggi hingga pegunungan dengan ketinggian hingga 2000 m di atas permukaan laut (Menteri Negara Agribisnis dan Teknologi, 2000).
2.1.4
Kandungan Senyawa Menurut penelitian yang dilakukan oleh Alisi (2008), daun pisang
memiliki kandungan senyawa glikosida, antosianin, tannin, flavonoid, dan
13
karbohidrat. Keberadaan tannin, flavonoid, dan saponin diperkirakan berhubungan dengan aktivitas antimikrobial yang dimiliki oleh daun pisang (Alisi, 2008). Unsur protein, alkaloid, sterol, flavonoid, dan karbohidrat yang terkandung di dalam ekstrak daun pisang diduga terkait dengan efek analgesik yang ditimbulkan oleh ekstrak daun pisang (Gupta, 2011)
2.2 Anatomi Kulit Kulit, atau yang sering disebut membran kutaneus, membungkus permukaan luar tubuh dan merupakan organ terluas. Pada dewasa, luas seluruh kulit mencapai 2 m2 dengan berat antara 4,5 kg hingga 5 kg. Ketebalan kulit berkisar antara 0,5 mm pada kelopak mata hingga 4 mm pada tumit (Tortora, 2011). Kulit dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis.
2.2.1. Epidermis Epidermis terdiri dari lapisan skuamosa pipih yang rapat. Terdapat empat sel utama di dalam lapisan ini, yaitu : keratinosit, melanosit, sel langerhans, dan sel merkel. Sembilan puluh persen sel epidermis merupakan keratinosit yang tersusun dalam empat hingga lima lapis ke bawah dan memproduksi protein keratin. Keratin merupakan protein fibrosa yang keras dan berguna dalam menjaga jaringan dibawahnya dari abrasi, panas, mikroba, dan zat kimia. Keratinosit juga memproduksi granula lamila yang menyekresi lapisan kedap air sehingga mengurangi kehilangan dan masuknya air ke dalam kulit.
14
Sekitar 8% dari lapisan epidermis merupakan melanosit yang merupakan penghasil pigmen melanin. Melanin adalah pigmen yang dihasilkan oleh sel melanosit yang memberi warna gelap pada kulit dan melindungi kulit dari sinar ultra violet. Lapisan epidermis terdiri dari: a. Stratum korneum: terdiri dari sel gepeng yang mati dan tidak mempunyai inti, mengandung keratin (sel tanduk). Lapisan ini merupakan lapisan paling luar dari epidermis. b. Stratum lusidum: merupakan sel gepeng tanpa inti yang jelas terlihat pada telapak tangan dan kaki. c. Stratum granulosum: terdiri dari sel gepeng yang berinti d. Stratum spinosum: merupakan lapisan paling tebal dan terdiri dari banyak glikogen. Sel-selnya disebut spinosum selnya berbentuk polygonal dan mempunyai banyak tanduk (spina) e. Stratum basale: bentuk selnya lonjong dengan inti yang lonjong, di dalamnya terdapat melanin. Pada lapisan ini terjadi pembelahan sel yang cepat dan sel baru akan naik ke lapisan yang lebih atas (Setiadi, 2007).
2.2.2. Lapisan Dermis Merupakan lapisan kedua setelah epidermis. Dermis dilapisi oleh membran basalis dan berbatasan langsung dengan subkutis. Dalam lapisan ini terdapat pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Terdapat juga folikel rambut. Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu:
15
a. Pars papilare: merupakan bagian atas dari dermis yang berbatasan dengan epidermis. Mengandung serabut saraf dan pembuluh darah yang memberi nutrisi pada epidermis di atasnya. b. Pars retikulare: merupakan bagian bawah dari dermis dan berbatasan dengan subkutan. Lapisan ini mengandung serabut kolagen, elastis, dan retikulus.
2.2.3. Lapisan Hypodermis Disebut juga lapisan subkutis. Terdiri dari kumpulan sel lemak dan terdapat pula serabut jaringan ikat dermis. Lapisan lemak yang terdapat di lapisan ini disebut penikulus adiposus yang berguna sebagai shockbeker bila terjadi tekanan trauma mekanis yang menimpa kulit. (Setiadi, 2007)
2.3 Luka Bakar
2.1.1
Definisi Luka bakar didefinisikan sebagai suatu trauma pada jaringan kulit atau
mukosa yang disebabkan oleh pengalihan termis baik yang berasal dari api, listrik, atau benda-benda panas lainnya ke tubuh (Smeltzer & Bare , 2002). Panas dapat dialihkan melalui hantaran maupun radiasi. Luka bakar dapat dikelompokkan menjadi luka bakar termal, kimia, dan radiasi. Panas dapat merusak jaringan dermis melalui proses koagulasi , denaturasi protein, atau ionisasi isi sel. Selain dermis, jaringan tubuh yang lebih dalam termasuk organ visera dapat mengalami kerusakan akibat pajanan yang lama dengan agen penyebab (Smeltzer & Bare , 2002).
16
2.1.2
Patofisiologi Pengalihan panas dapat menimbulkan kerusakan jaringan yang terjadi
akibat koagulasi, denaturasi protein, atau ionisasi isi sel. Kerusakan jaringan ini dapat berkembang menjadi nekrosis jaringan bahkan kegagalan fungsi organ (Smeltzer & Bare , 2002). Dalam dan luas luka bakar yang terjadi tergantung dari suhu dan lamanya kontak dengan agen penyebab. Perubahan patofisiologis akibat luka bakar yang berat selama awal periode syok mencakup hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ yang terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung yang kemudian diikuti dengan fase hiperdinamik dan hipermetabolik (Smeltzer & Bare , 2002). Pada pasien yang mengalami luka bakar dengan luas kurang dari 20% dari total luas tubuh biasanya menimbulkan respon yang terutama bersifat lokal dan respon maksimal terlihat pada luka bakar yang mengenai 60% atau lebih dari luas permukaan tubuh (Smeltzer & Bare , 2002). Respon sistemik awal pada kasus luka bakar yang berat meliputi ketidakstabilan hemodinamika akibat hilangnya integritas kapiler kemudian terjadi perpindahan cairan, natrium, dan protein dari ruang intravaskuler ke interstisial. Hal ini mengarah pada gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Smeltzer & Bare , 2002). Efek dari ketidakstabilan hemodinamika terutama terjadi pada curah jantung. Penurunan jumlah cairan intravaskular akan menurunkan curah jantung yang selanjutnya menimbulkan penurunan tekanan darah. Tubuh merespon dengan
melepaskan
katekolamin
yang
meningkatkan
resistensi
(vasokonstriksi) dan frekuensi denyut nadi (Smeltzer & Bare , 2002).
perifer
17
Umumnya kebocoran cairan terbesar terjadi dalam 24 jam hingga 36 jam pertama dan puncaknya terjadi pada 6 jam hingga 8 jam. Pada luka bakar dengan luas kurang dari 30% gangguan integritas kapiler dan perpindahan cairan hanya terjadi di area luka sehingga pembentukan edema hanya terjadi di daerah luka (Smeltzer & Bare , 2002). Pada luka bakar yang luas, edema sistemik yang masif dapat terjadi. Tekanan pada pembuluh darah dan saraf pada ekstremitas distal oleh edema menyebabkan obstruksi aliran darah dan terjadilah iskemia yang disebut dengan sindrom kompartemen. Pada kasus ini harus dilakukan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi efek konstriksi dari jaringan yang terbakar (Smeltzer & Bare , 2002). Selain penurunan integritas vaskuler, kehilangan cairan diperparah dengan evaporasi yang dapat mencapai 3 liter hingga 5 liter atau lebih selama periode 24 jam sebelum permukaan kulit yang terbakar ditutup. Selama fase syok, respon terhadap resusitasi cairan bervariasi. Hiponatremia kerap terjadi terutama pada minggu pertama fase akut karena cairan mulai berpindah dari interstisial ke intravascular (Smeltzer & Bare , 2002). Hiperkalemia tejadi akibat destruksi sel yang masif (Smeltzer & Bare , 2002). Kerusakan sel darah merah dan penghancuran sebagian sel darah merah menginisiasi terjadinya anemia pada pasien luka bakar. Meskipun hal ini terjadi, namun nilai hematokrit pasien dapat meningkat akibat kehilangan plasma. Transfusi darah diperlukan untuk mempertahankan kadar hemoglobin darah dalam kaitannya dengan distribusi oksigen (Smeltzer & Bare , 2002).
18
Kerusakan sel darah merah akan menghasilkan hemoglobin bebas yang kemudian dieksresikan melalui urin. Myoglobin juga akan dilepaskan melalui urin jika terjadi kerusakan otot misalnya pada luka bakar akibat aliran listrik. Penggantian volume cairan yang adekuat akan menormalkan aliran darah renal. Jika aliran darah yang melewati tubulus renal tidak memadai, maka hemoglobin dan myoglobin akan menyumbat tubulus sehingga dapat terjadi nekrosis tubuler dan gagal ginjal (Smeltzer & Bare , 2002). Hilangnya lapisan kulit menyebabkan hilangnya kemampuan tubuh untuk mengatur suhu pasien cenderung berada pada kondisi hipotermi pada fase awal setelah luka bakar, namun setelah fase hipermetabolisme terjadi, pasien akan mengalami kondisi hipertermi meskipun tidak terjadi infeksi (Smeltzer & Bare , 2002)
2.1.3
Klasifikasi Luka bakar dapat diklasifikasikan menurut dalamnya kerusakan jaringan
yang terjadi yaitu superficial partial-thickness, deep partial-thickness, fullthickness. Istilah lain yang juga digunakan dalam menglasifikasikan luka bakar adalah luka bakar derajat I, derajat II, dan derajat III (Smeltzer & Bare , 2002).
a. Luka bakar derajat I (superficial partial-thickness) Kerusakan terjadi di lapisan epidermis dan sebagian lapisan dermis. Luka terasa nyeri, tampak merah dan kering, atau mengalami lepuh/bullae.
b. Luka bakar derajat II (deep partial-thickness)
19
Kerusakan yang terjadi tidak hanya meliputi epidermis dan dermis bagian atas, tapi hingga lapisan dermis yang lebih dalam. Luka terasa nyeri, tampak merah dan terdapat eksudasi cairan. Folikel rambut masih utuh.
c. Luka bakar derajat III (full-thickness) Destruksi total pada lapisan epidermis dan dermis, bahkan beberapa hingga jaringan dibawahnya. Warna luka bakar bervariasi mulai dari putih, merah, coklat, atau hitam. Daerah luka tidak terasa nyeri karena serabut saraf sudah hancur. Folikel rambut dan kelenjar keringat turut hancur (Smeltzer & Bare , 2002).
Dalam
menentukan
kedalaman
luka
bakar,
hal-hal
yang
perlu
dipertimbangkan yaitu: riwayat terjadinya luka bakar, penyebab luka bakar (api, air mendidih, sengatan listrik, dll), suhu agen yang menyebabkan luka bakar, lamanya kontak dengan agen, dan tebalnya kulit (Smeltzer & Bare , 2002).
2.1.4
Proses Penyembuhan Proses penyembuhan pada semua luka sama, dengan variasi sesuai dengan
luas dan tingkat keparahan luka. Ada dua jenis luka, yaitu luka dengan jaringan yang hilang dan luka tanpa jaringan yang hilang (Potter & Perry, 2006). Luka insisi merupakan contoh luka tanpa jaringan yang hilang. Tepi luka pada luka insisi menempel sehingga akan mengalami proses penyembuhan primer dengan waktu penyembuhan yang lebih singkat. Pada luka dengan jaringan yang hilang seperti pada luka bakar, luka tekan, atau luka laserasi yang parah cenderung akan mengalami proses penyembuhan sekunder dengan waktu penyembuhan yang lebih panjang sehingga pada luka ini rentan terjadi infeksi. Pada luka ini tepi luka
20
tidak saling berdekatan sehingga luka akan tetap terbuka dan terisi oleh jaringan parut. Jaringan parut yang luas akan mengganggu fungsi jaringan. Penyembuhan luka terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap hemostasis dan perbaikan jaringan (Carville, 2005).
a. Hemostasis Hemostasis terdiri dari tiga komponen yaitu:
1. Respon vasokonstriksi Respon ini muncul untuk mengurangi perdarahan dengan adanya spasme arteri, arteriol, dan kapiler di sekitar luka.
2. Respon platelet Merupakan proses pembentukan platelet. Jaringan vaskuler yang luka akan membentuk serat kolagen. Platelet yang berada di area luka akan menempel pada serat kolagen. Platelet kemudian menghasilkan serotonin dan prostaglandin yang bertanggung jawab terhadap spasme vaskuler dan penurunan aliran darah ke area luka.
3. Respon biokimia Merupakan tahap pembentukan dan penurunan bekuan darah. Proses ini terkait dengan pembentukan bekuan darah untuk membantu penutupan luka hingga peluruhan bekuan darah melalui fibrinolisis (Carville, 2005)
21
b. Perbaikan Jaringan Proses perbaikan jaringan merupakan proses normal pada penyembuhan luka. Proses ini terdiri dari fase inflamasi, proliferasi, dan maturasi.
1. Fase Inflamasi Fase ini merupakan fase reaksi tubuh terhadap luka yang berlangsung mulai beberapa menit setelah cedera hingga selama kurang lebih tiga hari. Fase inflamasi diawali dengan mengontrol perdarahan (hemostasis) yaitu peningkatan suplai aliran darah menuju ke area luka yang akan menimbulkan warna kemerahan pada luka. Peningkatan aliran darah ini juga akan meningkatkan suhu di area luka. Selanjutnya akan terjadi pelepasan sel leukosit dan serum dari intravaskular ke area luka sehingga menimbulkan bengkak. Pembengkakan ini menekan saraf perifer sehingga timbul rasa nyeri. Jadi pada fase inflamasi akut akan muncul tanda-tanda rubor (kemerahan), kalor (peningkatan suhu), tumor (bengkak), dolor (nyeri), dan fungsio laesa (penurunan fungsi). Leukosit dapat tiba di area luka setelah beberapa jam. Leukosit yang mati akan meninggalkan eksudat enzim berwarna bening yang mampu membunuh bakteri atau membantu perbaikan jaringan. Pada kondisi inflamasi kronis, leukosit yang mati akan membentuk pus (eksudat berwarna putih). Hal ini merupakan tanda awal terjadinya infeksi (Potter & Perry, 2006)
2. Fase Proliferasi Pada fase ini telah terbentuk pembuluh darah baru dari hasil rekonstruksi. Fase proliferasi berlangsung 3 hari hingga 24 hari. Aktifitas utama pada fase ini
22
adalah mengisi luka dengan jaringan granulasi dan menutup bagian atas luka dengan epitelisasi. Fibroblast bekerja dengan menyintesis kolagen yang akan menutup defek luka. Fibrolast membutuhkan vitamin B, C, oksigen, dan asam amino untuk dapat bekerja dengan baik. Kolagen memberikan kekuatan pada integritas kulit sehingga luka mulai tertutup dengan jaringan baru (Potter & Perry, 2006)
3. Fase Maturasi Fase ini merupakan fase akhir dari proses penyembuhan luka primer dan memerlukan waktu hingga satu tahun tergantung dari keparahan luka. Jaringan kolagen akan semakin kuat dan melakukan reorganisasi dalam beberapa bulan. Namun, jaringan yang telah sembuh biasanya tidak memiliki daya elastisitas yang sama dengan jaringan sebelum mengalami luka. Serat kolagen mengalami remodeling dan reorganisasi sebelum mencapai bentuk normal (Potter & Perry, 2006). Pada luka ringan dengan penyembuhan luka spontan, luka biasanya akan memasuki fase penyembuhan primer dengan tahap penyembuhan luka dalam rentang waktu normal. Luka dikatakan sembuh apabila telah terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit sehingga mampu melakukan aktiitas yang normal (Smeltzer & Bare, 2002). Pada luka yang bersifat luas dan dalam, mungkin diperlukan waktu penyembuhan yang lebih lama dibandingkan dengan luka ringan. Luka luas cenderung lebih banyak mengeluarkan cairan dibandingkan luka tertutup. Pemanjangan fase inflamasi seringkali terjadi dan luka lebih banyak dipenuhi oleh jaringan granulasi rapuh dibandingkan serat kolagen. Diperlukan
23
perawatan luka yang lebih intensif jika luka mulai memasuki fase penyembuhan sekunder untuk menghindari kerusakan jaringan lebih luas dan kontraktur (Potter & Perry, 2006).
2.1.5
Penatalaksanaan Luka Bakar Secara
umum, terdapat
beberapa manajemen klinis yang dapat
memperbaiki prognosis pasien dengan luka bakar, yaitu: 1. Perawatan luka dengan balutan yang menciptakan suasana lembab pada luka 2. Penggunaan antimokrobial topikal 3. Resusitasi cairan yang adekuat 4. Elevasi daerah luka untuk mencegah edema 5. Manajemen penyakit sistemik yang menyertai (misalnya diabetes mellitus) (Kavanagh, 2012). Terdapat beberapa metode perawatan luka bakar yang biasa dilakukan yaitu perawatan luka umum dan pencangkokan kulit. Perawatan luka umum mencakup pembersihan luka, terapi topikal, pembalutan, dan debridement. Sedangkan pencangkokan kulit itu sendiri dibedakan menjadi autograft, homograft, dan heterograft. Dukungan nutrisi juga menjadi faktor penting dalam proses penyembuhan luka bakar mengingat pasien luka bakar akan mengalami proses hipermetabolisme (Smeltzer & Bare , 2002).
a. Perawatan Luka Umum
1. Pembersihan Luka
24
Untuk pasien dengan luka bakar yang luas, hydrotherapy dengan perendaman total dilakukan di beberapa rumah sakit sebagai upaya pembersihan luka. Teknik pelaksanaan hydrotherapy ini dengan menggunakan bak mandi rendam yang diisi dengan larutan antiseptik seperti betadine atau iodin cair, dapat juga diisi dengan larutan steril seperti normal saline. Suhu air rendaman dipertahankan pada 37,80 C dan suhu ruangan harus dijaga antara 26,60 C hingga 29,40 C. proses perendaman dibatasi 20 hingga 30 menit untuk menghindari gejala menggigil (Smeltzer & Bare , 2002). Penanganan luka bakar harus dilakukan dengan teliti. Ketika jaringan kulit yang terbakar diangkat, kondisi harus dijaga tetap steril. Kulit di area sekitar luka harus dibersihkan dari rambut untuk mencegah kontaminasi dari folikel rambut. Pembersihan luka biasanya dilakukan sehari sekali pada area yang tidak mengalami pembedahan. Namun saat jaringan nekrotik sudah mulai terpisah dengan jaringan kulit dibawahnya, pembersihan dan debridement harus lebih sering (Smeltzer & Bare , 2002).
2. Terapi Antibiotik Topikal Terapi antibiotik topikal yang bersifat lokal tidak menciptakan suasana yang steril pada luka tetapi hanya mengurangi koloni bakteri sehingga sistem kekebalan tubuh pasien yang mengendalikan keseluruhan koloni. Kriteria untuk pemilihan preparat topikal mencakup hal berikut ini: preparat harus efektif terhadap mikroorganisme gram negatif seperti
Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus, bahkan jamur; preparat harus efektif secara klinis; preparat harus mampu menembus eskar namun tidak bersifat racun secara
25
sistemik; penggunaan preparat tidak membutuhkan biaya yang besar, dan mudah dipakai. Beberapa preparat yang sering digunakan diantaranya silver sulfadiazine, silver nitrat, dan mafenide asetat (Smeltzer & Bare , 2002).
3. Penggantian Balutan Idealnya, perawat harus menggunakan masker, penutup rambut, apron plastik sekali pakai, dan sarung tangan steril untuk mencegah kontaminasi pada luka. Pelepasan balutan kasa yang menempel pada luka dapat didahului dengan membasahi kasa dengan normal salin sehingga kasa dapat terlepas dengan mudah dan rasa nyeri dapat berkurang. Pelepasan kasa juga dapat dilakukan setelah proses perendaman. Balutan kasa yang tersisa dapat dibersihkan dengan perlahan menggunakan forcep atau tangan yang telah menggunakan sarung tangan steril. Setelah balutan lama diangkat, perawat dapat melakukan pembersihan luka dan pemotongan jaringan. Pemotongan jaringan harus dilakukan untuk mengangkat eskar dan kulit yang sudah mati. Setelah prosedur pembersihan luka selesai dilakukan, kulit dapat diolesi preparat topikal yang telah diresepkan kemudian dapat ditutup kembali menggunakan kasa steril (Smeltzer & Bare , 2002).
4. Debridement Debridement delakukan dengan tujuan untuk menghilangkan jaringan yang terkontaminasi bakteri sehingga pasien terhindar dari infeksi dan untuk menghilangkan jaringan yang sudah mati atau eskar.
a) Debridement Alami
26
Pada proses alami, jaringan mati dan jaringan sehat dibawahnya akan terpisah secara spontan. Bakteri yang terdapat di antara jaringan mati dan jaringan sehat akan mencairkan serabut kolagen yang menahan eskar sehingga eskar akan terpisah dengan jaringan dibawahnya. Proses pemberian preparat antibiotik akan memperlambat proses alami ini. Debridement mekanis dan debridement bedah adalah cara untuk mempercepat proses ini (Smeltzer & Bare , 2002).
b) Debridement Mekanis Debridement ini menggunakan gunting dan forcep untuk menghilangkan eskar. Debridement mekanis biasa dilakukan setiap penggantian balutan luka. Pemotongan jaringan dilakukan hingga area yang terasa sakit dan mengeluarkan darah. Kasa balutan juga dapat digunakan sebagai debridement. Kasa basah yang ditempel pada luka hingga mengering akan membersihkan luka dari eksudat dan eskar terutama saat kasa diangkat. Ada pula preparat debridement enzimatik topikal yang merupakan enzim proteolitik yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis. Karena preparat ini tidak bersifat antibakteri, maka penggunaannya harus dikombinasikan dengan antibiotik topikal (Smeltzer & Bare , 2002).
c) Debridement Bedah Merupakan proses pembedahan yang melibatkan eksisi primer seluruh kulit hingga mencapai fascia, atau dengan mengupas lapisan kulit hingga mencapai jaringan sehat. Setelah eksisi, luka kemudian ditutup dengan graft kulit atau balutan tergantung indikasi. Prosedur ini membawa resiko perdarahan lebih
27
besar, waktu pembiusan dan pembedahan yang lama. Namun proses ini dapat mempercepat proses perawatan di rumah sakit (Smeltzer & Bare , 2002). Adapun faktor lain yang mempengaruhi proses penyembuhan luka bakar diantaranya nutrisi, infeksi, dan penyakit penyerta. Pasien harus diberi asupan nutrisi tinggi protein untuk membantu proses penyembuhan luka (Kavanagh, 2012).
f. Pengkajian Luka Pengkajian luka dilakukan oleh perawat untuk mengobservasi proses penyembuhan luka. Pengkajian tidak hanya dilakukan pada saat pasien masuk ke instalasi terkait, namun juga harus dilakukan setiap kali dilakukan perawatan luka. Beberapa poin yang harus diobservasi dalam proses pengkajian luka yaitu:
1. Tipe Luka Tipe luka menentukan proses penyembuhan yang akan terjadi dan menjadi patokan dalam menentukan jenis perawatan luka yang dilakukan oleh perawat. Secara umum, luka dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu: a) Luka akut : merupakan luka yang terjadi dalam waktu kurang dari enam bulan. Biasanya luka akut mengalami proses penyembuhan primer seperti yang dijelaskan sebelumnya. b) Luka kronis: terjadi jika proses normal penyembuhan luka dihambat baik oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik, sehingga proses penyembuhan mengalami pemanjangan periode yang mengarah pada proses penyembuhan sekunder (Carville, 2005)
28
2. Etiologi Pengkajian etiologi luka diperlukan untuk menentukan manajemen perawatan luka (Carville, 2005)
3. Klasifikasi Luka Untuk luka bakar klasifikasi luka yang digunakan yaitu superficial partialthickness, deep partial-thickness, full-thickness.
4. Luas Luka Bakar Persentase luas luka bakar ditentukan dengan metode Wallace’s rule of nines yang mengestimasi setiap bagian tubuh ke dalam area 9% luka bakar, pengecualian untuk leher dan genitoperineal yang diestimasi menjadi 1%. Estimasi luas luka bakar berdasarkan metode Wallace adalah kepala 9%, leher 1%, lengan kanan 9%, lengan kiri 9%, badan bagian depan 18%, badan bagian belakang 18%, kaki kanan 9%, kaki kiri 9%, genitoperineal 1% (Carville, 2005).
5. Penampilan Klinis Aspek ini dikaji melalui inspeksi pada luka dengan menilai warna dasar luka. Penilaian warna dasar luka dilakukan setelah irigasi luka dengan interpretasi sebagai berikut: hitam menunjukkan terdapat jaringan nekrotik, merah menunjukkan jaringan granulasi, merah muda menunjukkan jaringan epitelisasi, putih kehijauan menunjukkan terjadinya infeksi yang diikuti dengan tanda-tanda inflamasi yaitu rubor, kalor, tumor, nyeri, dan eksudat (Carville, 2005).
6. Lokasi Luka
29
Luka pada area yang melakukan pergerakan aktif seperti ekstremitas dan sendi membutuhkan waktu penyembuhan yang lebih lama karena regenerasi dan migrasi sel dirusak oleh adanya pergerakan. Area yang mengalami penekanan konsisten seperti pinggul dan bokong juga mengalami proses penyembuhan yang lebih lambat. Proses penyembuhan pada area dengan vaskularisasi yang baik seperti wajah mengalami penyembuhan luka yang lebih cepat. Pengkajian lokasi luka digunakan untuk menentukan landmark untuk prosedur lanjutan (Carville, 2005).
7. Dimensi Luka Dimensi luka yang diukur yaitu lebar luka, panjang luka, diameter luka (jika luka berbentuk lingkaran), dan kedalaman luka. Pengukuran dilakukan menggunakan penggaris atau lidi kapas jika terdapat goa (Carville, 2005).
8. Eksudat Tipe, jumlah, warna, konsistensi, dan bau eksudat harus dikaji dan didokumentasikan oleh perawat. Tipe eksudat dbagi menjadi 4 tipe yaitu: a) Serosa: merupakan eksudat berwarna bening, tidak berbau. Eksudat jenis ini merupakan sekresi normal pada proses inflamasi. b) Haemoserosa: eksudat serosa yang mengandung bercak darah. c) Sanguineous: eksudat yang banyak mengandung darah, warna darah mendominasi dalam eksudat jenis ini.
30
d) Purulent: berwarna putih kekuningan kadang kehijauan, mengandung sel darah putih, kadang berbau, merupakan tanda terjadinya infeksi pada luka (Carville, 2005). Untuk jumlah eksudat bisa diidentifikasi melalui keadaan balutan luka. Balutan lama ditimbang kemudian beratnya dibandingkan dengan balutan kering sehingga didapatkan berat eksudat di dalam balutan. Satu gram diestimasi sama dengan 1 ml cairan eksudat. Warna eksudat terkait dengan tipe eksudat dan tipe patogen penyebab infeksi. Sedangkan bau berhubungan dengan adanya kematian jaringan dan infeksi patogen tertentu (Carville, 2005).
9. Kulit Di Sekitar Luka Perlu dikaji apakah terjadi perubahan pada warna kulit di sekitar luka menjadi kemerahan, rasa gatal, nyeri, maupun peningkatan suhu. Semua tanda tersebut mengarah pada kejadian infeksi (Carville, 2005).
10. Nyeri Nyeri
merupakan
indikator
penting
untuk
menilai
abnormalitas
penyembuhan luka. Sangat penting bagi perawat untuk mengkaji lebih dalam apakah nyeri disebabkan oleh proses penyembuhan luka, trauma, benda asing, atau infeksi. Pengkajian nyeri dapat dilakukan menggunakan pengkajian verbal dengan menanyakan langsung pada pasien maupun secara nonverbal yaitu menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) (Carville, 2005).
2.4 Efek Farmakologis Ekstrak Daun Pisang terhadap Proses Penyembuhan Luka Bakar
31
Daun pisang (Musa paradisiaca) memiliki berbagai senyawa yang bermanfaat dalam proses penyembuhan luka. Beberapa kandungan daun pisang (Musa paradisiaca) yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka adalah:
2.4.1. Flavonoid Flavonoid berperan sebagai antibakteri karena diperkirakan mampu menghambat sintesis asam nukleat, menghambat fungsi membran sitoplasma dengan mengganggu keseimbangan membran dalam dan luar, dan mengganggu metabolisme bakteri. Dengan terhambatnya sintesis asam nukleat, maka replikasi dan perkembangan bakteri akan terhambat. Flavonoid juga mengganggu kestabilan membran dalam dan luar bakteri dan menghambat konsumsi oksigen pada bakteri aerob sehingga metabolisme bakteri tersebut terhambat (Kumar, 2012). Isoflavon yang merupakan senyawa turunan dari flavonoid yang diketahui memiliki fungsi sebagai fitoalexin yaitu sebagai antimokroba baik untuk bakteri maupun jamur sehingga menghambat penyebaran patogen (Hastari, 2012).
2.4.2. Tannin Tannin menghambat perkembangan bakteri dengan mengganggu stabilisasi sitoplasma dan membran plasma, menghambat metabolisme dan sintesis enzim (Puupponen, 2005). Selain itu, tannin juga mempu menginaktifasi mekanisme adhesion bakteri sehingga menghambat perlekatan bakteri pada jaringan (Min, 2008).
2.4.3. Alkaloid
32
Alkaloid dapat mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada dinding sel bakteri yang menyebabkan tidak sempurnanya lapisan dinding sel sehingga terjadi kematian sel. Mekanisme ini diduga terkait dengan aktivitas antibakteri yang dimiliki oleh alkaloid (Min, 2008).
2.5 Mencit Mencit merupakan hewan yang paling umum digunakan pada penelitian laboratorium sebagai hewan percobaan, yaitu sekitar 40-80%. Mencit memiliki banyak keunggulan sebagai hewan percobaan, yaitu siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganannya. Mencit (Mus muculus) merupakan omnivora alami, sehat, dan kuat, profilik, kecil, dan jinak. Selain itu, hewan ini juga mudah didapat dengan harga yang relatif murah dan biaya ransum yang rendah (Tahani, 2013). Mencit putih memiliki bulu pendek halus berwarna putih serta ekor berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang dari pada badan dan kepala. Mencit memiliki warna bulu yang berbeda disebabkan perbedaan dalam proporsi darah mencit liar dan memiliki kelenturan pada sifat-sifat produksi dan reproduksinya. Usia 2-4 bulan merupakan usia dewasa bagi mencit sehingga diharapkan proses absorpsi, metabolism, dan ekskresi berjalan dengan optimal pada usia ini (Tahani, 2013). Mencit memiliki taksonomi sebagai berikut (Tahani, 2013): Kingdom : Animalia Filum : Chordata Klas : Mamalia
33
Ordo : Rotentia Famili : Muridae Genus : Mus Spesies : Mus musculus Mencit harus diberikan makan dengan kualitas tetap karena perubahan kualitas dapat menyebabkan penurunan berat badan dan tenaga. Seekor mencit dewasa dapat mengkonsumsi pakan 3 gram-5 gram setiap hari. Mencit yang bunting dan menyusui memerlukan pakan yang lebih banyak. Jenis ransum yang dapat diberikan untuk mencit adalah ransum ayam komersial (Smith, 1988). Kandungan protein ransum yang diberikan minimal 16%. Kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan untuk pemeliharaan mencit adalah protein kasar 20%25%, kadar lemak 10%-12%, kadar pati 44-55%, kadar serat kasar maksimal 4% dan kadar abu 5%-6% . Berat badan ideal untuk mencit berkisar antara 15-30 gram (Tahani, 2013). Air minum yang diperlukan oleh setiap ekor mencit untuk sehari berkisar antara 4 ml-8 ml. Seekor mencit mudah sekali kehilangan air sebab evaporasi tubuhnya tinggi. Konsumsi air minum yang cukup akan digunakan untuk menjadi stabilitas suhu tubuh dan untuk melumasi pakan yang dicerna. Air minum juga dibutuhkan untuk menekan stress pada mencit yang dapat memicu kanibalisme (Tahani, 2013). Hewan percobaan yang dipelihara untuk tujuan penelitian, umumnya berada dalam suatu lingkungan yang sempit dan terawasi. Walaupun kehidupannya diawasi, namun diusahakan agar proses fisiologis dan reproduksi termasuk
34
makan, minum, bergerak dan istirahat tidak terganggu. Hewan percobaan ditempatkan dalam kandang-kandang yang disusun pada rak-rak didalam suatu ruangan khusus. Kandang harus dirancang untuk dapat memberikan kenyamanan dan kesejahteraan bagi hewan tersebut (Tahani, 2013). Mencit-mencit yang dipergunakan untuk penelitian yang lama ditempatkan dalam kandang yang berukuran 22,5 cm X 10 cm untuk tiga ekor mencit (Tahani, 2013). Penutup lantai kandang atau bedding, merupakan penyerap untuk menampung kotoran termasuk air kencing dan sisa-sisa makanan. Pemakaian bedding mempunyai tiga tujuan, yaitu untuk menyerap kotoran, melengkapi bahan sarang dan untuk isolasi panas. Bahan untuk bedding ini dapat berasal dari bahan-bahan limbah industri atau hasil pasca panen, seperti serbuk gergaji kayu, tatal kayu, sekam padi, potongan jerami kering, tongkol jagung, ampas bit gula kering dan butiran tanah liat (Tahani, 2013). Bak makanan berbentuk mangkok atau anyaman kawat yang disediakan dalam masing-masing kandang. Tempat minum berupa botol dengan ukuran tertentu diletakkan terbalik dengan mulut botol dipasang selang karet dan ujungnya disamping dengan pipa kaca (Tahani, 2013). Penjagaan kesehatan dan kebersihan merupakan tindakan yang sangat penting dalam
suatu
pemeliharaan hewan laboratorium
dan
saran fisik
yang
menunjangnya. Ruangan, kandang serta kelengkapannya harus secara rutin dipelihara. Berbagai macam cara dapat diterapkan, tergantung kepada keperluan, materi dan biaya (Tahani, 2013).
35
Cara ideal memegang mencit yaitu dengan memegang bagian tengah ekor mencit. Leher dipegang dengan tangan kanan dan jangan terlalu ditekan, jari telunjuk dan ibu jari memegang kuduk dan jari kelingking mengempit ekor (Tahani, 2013).