BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kebiasaan Makan Kebiasaan makan adalah ekspresi setiap individu dalam memilih makanan
yang akan membentuk pola perilaku makan. Oleh karena itu, ekspresi setiap individu dalam memilih makanan akan berbeda satu dengan yang lain (Khomsan dkk, 2004). Menurut Hadi (2003) ketidakseimbangan asupan energi (energy intake) yang melebihi energi yang digunakan (energy expenditure) dapat menyebabkan obesitas. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan, antara lain (Lisdiana, 1998) : 1. Pengaruh Sosial Budaya Di dalam budaya masyarakat terdapat istilah makanan pantangan, misalnya anak gadis dilarang makan pisang ambon. Anak kecil dilarang makan ikan karena akan menyebabkan cacingan. Kedua kepercayaan tersebut akan berpengaruh terhadap keputusan seseorang dalam memilih makanan. Dipandang dari sudut nilai gizi, kedua contoh kepercayaan tersebut berlawanan dengan konsep-konsep nilai gizi. Dari segi kesehatan, pisang ambon dan ikan termasuk makanan yang bergizi tinggi. Nilai sosial budaya merupakan nilai yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat. Antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat lainnya bisa berbeda-beda, bahkan mungkin bertentangan. Oleh karena itu, nilainya tidak mutlak. Bisa jadi nilai budaya yang tadinya dipegang erat, akhirnya sedikit demi sedikit luntur oleh kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Universitas Sumatera Utara
Pada zaman globalisasi ini, berbagai macam menu makanan dari seluruh dunia semakin mudah dijumpai, seperti fast food yang makin marak ditawarkan kepada masyarakat. Sebagian orang, terutama yang muda-muda menjadi ketagihan fast food yang kebanyakan memiliki susunan yang tidak seimbang, yakni berkalori tinggi namun miskin serat. 2. Pengaruh Agama Masalah makanan termasuk salah satu hal yang termuat dalam ajaran agama Hindu melarang umatnya makan daging sapi. Ajaran agama Islam melarang umatnya makan daging babi, darah, dan minum khamr (minuman yang memabukkan). Oleh karena itu, nilai gizi tidak dapat dijadikan pertimbangan seandainya makanan tersebut dilarang dikonsumsi berdasarkan aturan agama. 3. Pengaruh Psikologis Sikap seseorang terhadap makanan banyak dipengaruhi oleh pengalaman dan respon yang diperlihatkan oleh orang lain terhadap makanan, sejak ia masih anakanak. Pengalaman yang diperoleh ada yang dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan. Hal ini menyebabkan setiap individu dapat mempunyai sikap suka dan tidak suka terhadap makanan. Sebagai contoh, seorang anak yang pada waktu kecilnya sering dipaksa makan telur, mungkin saja ketika besar tidak suka mengonsumsi telur. Pengalaman emosional pada masa kecilnya membuat dia bersikap negatif terhadap telur.
Universitas Sumatera Utara
2.2.
Zat Gizi Zat gizi dapat didefinisikan sebagai zat/substansi yang diperoleh dari makanan
dan digunakan oleh tubuh untuk memacu pertumbuhan, pertahanan, dan atau perbaikan (Arisman, 2007). Dalam melaksanakan fungsinya di dalam tubuh, zat-zat gizi saling berhubungan erat, sehingga terdapat saling ketergantungan. Gangguan atau hambatan pada metabolisme suatu zat gizi akan memberikan pula gangguan atau hambatan pada metabolisme zat gizi lainnya. Sebagai contoh, zat-zat gizi yang merupakan penghasil utama energi, yaitu karbohidrat, lemak, dan protein. Dalam proses metabolisme ternyata diperlukan kerja sama zat-zat gizi vitamin dan mineral (Sediaoetama, 2008). Seseorang yang tidak mendapat zat gizi akan mengalami gangguan kesehatan seperti masalah gizi kurang. Sebaliknya seseorang yang mendapat zat gizi yang lebih tinggi akan memperoleh kalori yang lebih tinggi juga. Dengan kata lain, konsumsi yang melebihi kebutuhan akan menyebabkan gizi lebih sehingga dapat menimbulkan kegemukan. 2.2.1. Energi Menurut Rosdahl (1983) yang dikutip dari Nurachmah (2001), energi diartikan sebagai suatu kapasitas untuk melakukan pekerjaan. Jumlah energi yang dibutuhkan seseorang tergantung pada usia, jenis kelamin, berat badan, dan bentuk tubuh. Energi yang dibutuhkan oleh tubuh berasal dari zat-zat gizi yang merupakan sumber utama yaitu Karbohidrat, Lemak, dan Protein. Sumber energi berkonsentrasi tinggi adalah bahan makanan sumber lemak, seperti lemak dan minyak, kacang-
Universitas Sumatera Utara
kacangan, dan biji-bijian. Setelah itu bahan makanan seperti padi-padian, umbiumbian, dan gula murni merupakan sumber energi (Almatsier, 2004). Konsumsi energi yang tidak seimbang akan menyebabkan keseimbangan positif atau negatif. Kelebihan energi dari energi yang dikeluarkan akan diubah menjadi lemak tubuh sehingga berat badan berlebih atau kegemukan. Sebaliknya, bila asupan energi kurang dari yang dikeluarkan, terjadi keseimbangan negatif. Akibatnya, berat badan lebih rendah dari normal atau ideal (Apriadji, 1986 yang dikutip dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007 ). Kalori nutrisi digunakan untuk menghasilkan energi yang diperlukan ketika tubuh istirahat atau melakukan aktivitas fisik. Kebutuhan manusia terhadap energi sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Energi yang dibutuhkan seseorang ketika beristirahat disebut nilai metabolisme basal atau basal metabolic rate (BMR). Menurut Potter & Perry (1992) yang dikutip dari Nurachmah (2001), BMR adalah jumlah energi yang dibutuhkan seseorang pada tingkat terendah untuk memenuhi fungsi sel. Dengan kata lain, jumlah minimal energi yang diperlukan ketika tubuh dalam keadaan istirahat untuk menjaga dan memelihara berbagai fungsi vital tubuh, seperti : kerja jantung, aktivitas, pernafasan, aktivitas hormon, aktivitas otot, dan sistim saraf (Hui, 1985 yang dikutip dari Nurachmah, 2001). Banyak rumus telah dipublikasi untuk memprediksi besaran BMR. Rumus yang paling akurat, yaitu rumus yang hasil perhitungannya paling mendekati nilai sebenarnya, jelas harus mencantumkan usia, jenis kelamin, tinggi dan berat badan ke dalam perhitungan karena sangat berpengaruh terhadap BMR.
Universitas Sumatera Utara
Rumus yang paling cocok untuk memenuhi kriteria tersebut adalah rumus HarrisBennedict ( Arisman, 2007 ). Rumus Harris-Bennedict : Laki-laki Perempuan
: BMR = 66,42 + (13,75 BB) + (5,0 TB) – (6,78 U) : BMR = 655,1 + (9,65 BB) + (1,85 TB) – (4,68 U)
Keterangan : BMR = Basal Metabolic Rate (kkal) BB = Berat badan (dalam kilogram) TB = Tinggi badan (dalam meter) U = Usia (dalam tahun) 2.2.2. Protein Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena yang paling erat hubungannya dengan proses-proses kehidupan (Sediaoetama, 2008). Tersedianya protein dalam tubuh, mencukupi atau tidaknya bagi keperluan-keperluan yang harus dipenuhinya, adalah sangat tergantung dari susunan (komposisi) bahan makanan yang dikonsumsi seseorang setiap harinya. Secara garis besarnya fungsi protein dalam tubuh adalah sebagai berikut (Kartasapoetra & Marsetyo, 2008): 1. Sebagai zat pembangun bagi pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh. 2. Sebagai pengatur kelangsungan proses di dalam tubuh. 3. Sebagai pemberi tenaga dalam keadaan energi kurang tercukupi oleh karbohidrat dan lemak. Protein terbentuk dari unsur-unsur organik yang relatif sama dengan karbohidrat dan lemak yaitu sama-sama terdiri dari unsur- unsur karbon, hidrogen, dan oksigen, tetapi bagi protein unsur-unsur ini ditambah lagi dengan unsur
N
Universitas Sumatera Utara
(nitrogen) dan ditemukan pula unsur mineral (fosfor, belerang, besi). Protein merupakan zat pembentuk tubuh yang penting di samping air, lemak, mineral, karbohidrat, dan berbagai vitamin dan terdapat/ditemukan di sekujur tubuh pada otot, kulit, rambut, jantung, paru, otak, dan organ tubuh lainnya (Kartasapoetra & Marsetyo, 2008). 2.3.
Aktivitas Fisik Aktivitas fisik atau disebut juga aktivitas eksternal adalah sesuatu yang
menggunakan tenaga atau energi untuk melakukan berbagai kegiatan fisik, seperti : berjalan, berlari, berolahraga, dan lain-lain (Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007). Selama aktivitas fisik, otot membutuhkan energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan. Seorang yang gemuk menggunakan lebih banyak energi untuk melakukan suatu pekerjaan daripada seorang yang kurus, karena orang gemuk membutuhkan usaha lebih besar untuk menggerakkan berat badan tambahan (Almatsier, 2004). Aktivitas fisik dibagi menjadi aktivitas ringan, sedang, dan berat. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa rendahnya dan menurunnya aktivitas fisik merupakan faktor yang paling bertanggung jawab terjadinya obesitas. Dalam penelitian Hadi (2003) menunjukkan bahwa penurunan aktivitas fisik dan atau peningkatan perilaku hidup sedentarian (kurang gerak) mempunyai peranan penting dalam peningkatan berat badan dan terjadinya obesitas.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menghitung kebutuhan kalori seseorang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara rinci dan cara sederhana (Hardinsyah, 1989). 1. Cara Rinci Informasi yang penting diketahui untuk menghitung angka kecukupan energi bagi orang dewasa dengan cara rinci adalah umur (tahun), jenis kelamin, berat badan (kg), EMB (Energi Metabolisme Basal), jenis kegiatan dan alokasi waktunya (jam). Pengeluaran energi dikelompokkan menurut jenis kegiatan, yaitu: tidur, pekerjaan (ringan, sedang, berat), santai dan kegiatan lainnya (kegiatan rumah tangga, sosial, dan olah raga atau kesegaran jasmani). Tabel 2.1. Kebutuhan kalori bagi orang dewasa ≥20)( berdasarkan tingkat aktivitas menurut janis kelamin (cara rinci) Jenis kegiatan Waktu Jumlah Energi (Kal) (jam) Pria Wanita 1. Tidur W1 1,0 W1 / 24 x EMB 1,0 W1 / 24 x EMB 2. Pekerjaan: W2 - Ringan 1,7 W2 / 24 x EMB 1,7 W2 / 24 x EMB W3 2,7 W3 / 24 x EMB 1,2 W3 / 24 x EMB - Sedang 3,8 W 2,8 W4 / 24 x EMB - Berat W4 4 / 24 x EMB 3. Santai W5 1,4 W5 / 24 x EMB 1,4 W5 / 24 x EMB Sumber : FAO/WHO/UNU (1985) dengan penyesuaian berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (LIPI, 1988).
Universitas Sumatera Utara
2. Cara Sederhana Menghitung angka kecukupan energi bagi orang dewasa dengan cara ini dilakukan bila tidak tersedia informasi tentang jenis-jenis kegiatan dan rincian alokasi waktunya. Tingkat kegiatannya didekati dengan analogi atau asumsi. Tabel 2.2. Kebutuhan kalori bagi orang dewasa ≥ 20) ( berdasarkan tingkat aktivitas menurut jenis kelamin (cara sederhana) Tingkat kegiatan Pria Wanita Ringan 1,55 x EMB 1,56 x EMB Sedang 1,78 x EMB 1,64 x EMB Berat 2,10 x EMB 2,00 x EMB Sumber : FAO/WHO/UNU (1985) dengan penyesuaian berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (LIPI, 1988). 2.4.
Kegemukan Kegemukan adalah kondisi berat tubuh melebihi berat tubuh normal
(Rimbawan & Albiner, 2004 ). Kondisi ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dan kebutuhan energi, dimana konsumsi terlalu berlebih dibandingkan dengan kebutuhan atau pemakaian energi (energy expenditure). Kelebihan energi di dalam tubuh disimpan dalam bentuk jaringan lemak (Sediaoetama, 2008). Dalam penelitian Mardiani (2000) tentang hubungan beberapa komponen gaya hidup dengan kejadian obesitas menyatakan bahwa gaya hidup dihubungkan dengan kejadian obesitas, dimana gaya hidup dibagi menjadi beberapa variabel yaitu aktivitas fisik, kegiatan rumah tangga, serta kebiasaan makan sehari-hari dan fast food. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa variabel aktivitas fisik, kegiatan rumah tangga, serta kebiasaan makan berhubungan dengan kejadian obesitas. Dimana semakin ringan aktivitas fisik dan tugas rumah tangga maka resiko untuk obesitas
Universitas Sumatera Utara
makin bertambah. Dalam penelitian Meiningtias (2003) menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola makan karbohidrat dengan kegemukan, pola makan lemak dengan kegemukan, dan ada hubungan aktivitas fisik dengan kegemukan. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan antara konsumsi dan pengeluaran energi, serta aktivitas fisik yang kurang sehingga terjadi penumpukan lemak dan akhirnya mengakibatkan kegemukan. Dalam penelitian Hadi (2003), menyatakan bahwa asupan energi bagi obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan yang non obesitas. Yang menarik ialah bahwa yang obesitas 2-3 kali lebih sering mengkonsumsi fastfood. Seseorang yang asupan energinya tinggi (≥ 2200 kkal/hari) dan mempunyai wakt u menonton TV ≥ 3 jam/hari mempunyai risiko menderita obesitas 12,3 kali lebih tinggi dibandingkan seseorang yang asupan energi < 2200 kkal/hari dan waktu menonton TV < 3 jam/hari. Studi ini menunjukkan adanya interaksi antara gaya hidup sedentarian (perilaku hidup kurang gerak) dan diet tinggi kalori. Berdasarkan penelitian Hudha (2006) tentang hubungan antara pola makan dan aktivitas fisik terhadap obesitas, menunjukkan bahwa obesitas disebabkan karena pola makan yang tergolong kategori baik dan aktivitas fisik yang tergolong aktivitas fisik ringan sehingga energi yang dikeluarkan tidak sesuai dengan asupan pangan. Jika hal ini terjadi dalam kurun waktu yang lama dapat mengakibatkan terjadinya penumpukan lemak di bawah kulit yang akhirnya terjadi obesitas. Faktor-faktor diet dan pola aktivitas fisik mempunyai pengaruh yang kuat terhadap keseimbangan energi dan dapat dikatakan sebagai faktor-faktor utama yang memicu pertambahan berat badan. Lebih jelasnya, diet tinggi lemak dan tinggi kalori
Universitas Sumatera Utara
dan pola hidup kurang gerak (sedentary lifestyles) adalah dua karakteristik yang sangat berkaitan dengan peningkatan prevalensi obesitas di seluruh dunia (WHO, 2000 yang dikutip dari Hadi, 2003). Kegemukan (Obesity) lebih banyak terkait dengan jenis atau apa yang dimakan daripada jumlah atau berapa banyak yang dimakan. Sebagai contoh, ratarata konsumsi energi penduduk Cina lebih tinggi daripada rata-rata konsumsi energi penduduk Amerika. Namun, yang mengalami obese 25% lebih banyak di Amerika. Perbedaannya ternyata pada sumber energi. Sumber energi orang Cina lebih banyak dari Karbohidrat (dua kali lipat) dan lebih sedikit dari Lemak (hanya sepertiga) dari pola makan orang Amerika (Khomsan, dkk, 2004). Orang yang kegemukan lebih banyak mengonsumsi makanan yang berlemak tinggi dibandingkan orang yang berat tubuhnya normal. Hal ini membuktikan bahwa asupan lemak yang lebih tinggi, bukan pangan yang kaya karbohidrat, erat kaitannya dengan kegemukan dan obesitas. Bertambahnya berat tubuh seseorang akibat mengkonsumsi makanan tertentu sebenarnya tergantung pada banyaknya pangan tersebut menyumbang asupan energi total dan banyaknya yang terbakar (Rimbawan & Albiner, 2004). 2.5.
Tipe Kegemukan Kegemukan dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu (Purwati, dkk, 2007) :
1. Kegemukan menurut timbunan lemak Berdasarkan timbunan lemak dalam tubuh, kegemukan dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a) Tipe android (tipe buah apel) Tubuh gemuk tipe android ditandai dengan penumpukan lemak yang berlebihan di bagian tubuh sebelah atas, yaitu di sekitar dada, pundak, leher, dan muka. Akibatnya, tubuh bagian atas terkesan lebih besar bila dibandingkan dengan tubuh bagian bawah sehingga menyerupai buah apel. Kegemukan tipe ini lebih banyak terjadi pada pria dan wanita yang sudah mengalami menopause. Tipe android potensial berisiko lebih tinggi terhadap serangan penyakit yang berhubungan dengan metabolisme lemak dan glukosa seperti penyakit gula (diabetes mellitus), penyakit jantung koroner, stroke, pendarahan otak, dan tekanan darah tinggi. Selain itu, kemungkinan untuk terserang kanker payudara enam kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang mempunyai berat tubuh normal. Namun, penderita kegemukan tipe ini lebih mudah menurunkan berat tubuh dibanding tipe ginoid. Proses penurunan tersebut dapat terlihat nyata bila diikuti dengan diet dan olahraga yang tepat. b) Tipe ginoid (tipe buah pir) Gemuk tipe ginoid ditandai dengan penimbunan lemak di bagian tubuh sebelah bawah, yaitu sekitar perut, pinggul, paha, dan bokong. Kegemukan tipe ini banyak terjadi pada wanita. Dari segi kesehatan tipe ini lebih aman bila dibandingkan dengan tipe android karena risiko kemungkinan terkena penyakit degeneratif lebih kecil. Akan tetapi, lebih sukar menurunkan kelebihan berat tubuh pada tipe ini.
Universitas Sumatera Utara
2. Kegemukan menurut kondisi sel Berdasarkan kondisi sel, kegemukan dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu : a) Tipe Hiperlastik Tipe hiperlastik merupakan kegemukan yang disebabkan oleh jumlah sel lemak lebih banyak dibandingkan dengan kondisi normal. Akan tetapi, ukuran sel lemak tersebut masih sesuai dengan ukuran sel yang normal. Kegemukan tipe hiperlastik biasanya terjadi sejak masa anak-anak dan sulit untuk diturunkan ke berat badan normal. Bila terjadi penurunan berat tubuh, sifatnya hanya sementara dan kondisi tubuh akan mudah kembali ke keadaan semula. b) Tipe hipertropik Kegemukan yang termasuk dalam tipe hipertropik mempunyai jumlah sel yang normal, tetapi ukuran sel lebih besar dari ukuran normal. Kegemukan ini biasa terjadi pada dewasa dan relatif lebih mudah menurunkan berat tubuh dibanding tipe hiperlastik. Namun, kegemukan tipe ini mempunyai risiko lebih mudah terserang penyakit gula dan atau tekanan darah tinggi. c) Tipe hiperlastik-hipertropik Pada kegemukan tipe ini jumlah maupun ukuran sel yang terdapat pada tubuh seseorang melebihi ukuran normal. Proses kegemukan dimulai sejak masa anak-anak dan berlangsung terus hingga dewasa. Mereka yang mengalami kegemukan tipe ini paling sukar menurunkan berat tubuh. Dengan demikian, seseorang dengan tipe kegemukan seperti ini paling mudah terserang berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit gula atau tekanan darah tinggi.
Universitas Sumatera Utara
3. Kegemukan menurut umur Kondisi gemuk tidak memandang umur seseorang, mulai dari bayi hingga tua dapat mengalami kegemukan. Berdasarkan hal tersebut, penggolongan kegemukan dapat dilakukan berdasarkan umur seseorang. a) Kegemukan saat bayi Kegemukan pada masa bayi disebabkan kurangnya pengetahuan orang tua, terutama tentang kebutuhan konsumsi makanan. Pihak orang tua harus paham benar akan waktu dan menu yang tepat untuk memberi makan terhadap bayinya. Seorang bayi yang menangis belum tentu merasa lapar, mungkin merasa sakit pada bagian tubuh tertentu atau pakaiannya basah. Oleh karena itu, kurang tepat bila setiap bayi menangis selalu diberi makan. Kegemukan pada masa bayi perlu dihindari karena jumlah bayi yang menderita kegemukan pada umur enam bulan pertama ternyata lebih dari sepertiganya menjadi gemuk pada saat dewasa. Bayi gemuk belum tentu sehat, bahkan dapat berakibat negatif dan membawa berbagai kesulitan seperti tingginya risiko kejang. b) Kegemukan saat anak - anak. Kegemukan pada masa anak-anak disebabkan oleh pola makan yang salah disertai aktivitas fisik yang rendah. Aktivitas fisik sangat diperlukan dalam proses pembakaran kelebihan lemak dalam tubuh. Namun, dengan adanya acara televisi yang memukau, kemudahan-kemudahan transportasi, dan perkembangan teknologi membuat anak-anak enggan melakukan kegiatan yang banyak mengeluarkan energi. Selain itu, siaran televisi dan media massa umumnya memberikan informasi dalam bentuk iklan yang di antaranya menawarkan produk-produk makanan yang berkadar
Universitas Sumatera Utara
kalori dan lemak tinggi. Iklan-iklan tersebut sangat menarik sehingga banyak mempengaruhi perilaku maupun pola makan anak-anak. c) Kegemukan saat dewasa Kegemukan sering terjadi pada masa dewasa karena lemak tubuh mulai menumpuk. Umur 30 tahun merupakan umur saat seseorang mulai mantap dalam kariernya, ditandai dengan tanggung jawab makin besar, ambisi tinggi, dan pekerjaan menumpuk. Pada kondisi seperti itu, seseorang menjadi sering terlibat dalam pertemuan-pertemuan seperti makan siang, makan malam bersama, pesta, dan rapatrapat yang tidak luput dari soal makanan lezat. Kesibukan-kesibukan tersebut menjadi penyebab kekurangan waktu untuk berolahraga. Oleh karena itu, bila kurang hati-hati dalam menjaga tubuh, perlahan-lahan kegemukan mulai mengintai. Bila dibiarkan, pada umur 45 - 60 tahun dapat terserang beberapa penyakit-penyakit seperti jantung koroner, diabetes, dan penyakit lainnya, terutama pada orang-orang yang kegemukan. 2.6.
Faktor-Faktor Penyebab Kegemukan Sebagian besar penyebab kegemukan adalah tingginya konsumsi kalori tanpa
dibarengi oleh aktifitas fisik yang memadai (Anonim, 2009). Beberapa faktor utama penyebab kegemukan adalah genetik, psikologis, makanan, dan perilaku/ gaya hidup (Rimbawan & Albiner, 2004). 2.6.1. Faktor Konsumsi Penyebab utama terjadinya kegemukan adalah konsumsi energi yang berlebihan. Contoh makanan yang mengandung energi tinggi adalah makanan pokok dan makanan berlemak. Beberapa makanan jajanan yang dikenal dengan istilah fast
Universitas Sumatera Utara
food juga memiliki komposisi gizi yang tidak seimbang, yakni tinggi lemak, rendah serat (Lisdiana, 1998). Konsumsi makanan yang berlebihan terutama yang mengandung karbohidrat dan lemak akan menyebabkan jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh tidak seimbang dengan kebutuhan energi. Kelebihan energi ini di dalam tubuh akan disimpan dalam bentuk jaringan lemak yang lama kelamaan akan mengakibatkan obesitas. Ditambah kebiasaan yang tidak benar sehingga memacu seseorang dapat menjadi gemuk. Kebiasaan ini antara lain sering mengkonsumsi makanan kecil yang tinggi kalori atau sering diberi istilah “ngemil”. 2.6.2. Faktor Genetik Selain faktor konsumsi, kegemukan dapat disebabkan oleh faktor keturunan. Faktor genetik (faktor keturunan) adalah faktor bawaan yang berasal dari orang tua. Faktor genetik dapat mempengaruhi terjadinya kegemukan. Bila bapak dan ibu tidak gemuk, kemungkinan anak menjadi gemuk adalah 9%. Bila bapak atau ibu gemuk (salah satu orang tua gemuk), kemungkinan anak menjadi gemuk adalah 41 – 50%, sedangkan bila bapak dan ibu gemuk, kemungkinan anak menjadi gemuk adalah 66 – 80% (Lisdiana, 1998). Menurut William Bennet dan Joel Gurin (1982) yang dikutip dari Katahn (1995), orang yang mempunyai bawaan gemuk, secara alami ia akan menjadi gemuk. Sedangkan orang yang mempunyai bawaan kurus maka secara alami ia akan menjadi kurus. Dan keadaan ini tidak akan berubah bila tidak ada upaya-upaya kontinu untuk mengubah keadaan tersebut. Bennet dan Gurin menyarankan bahwa satu-satunya cara untuk mengubah faktor genetik yaitu dengan aktivitas fisik.
Universitas Sumatera Utara
2.6.3. Faktor Psikologis Apa yang ada di dalam pikiran seseorang bisa mempengaruhi kebiasaan makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makan. Salah satu bentuk gangguan emosi adalah persepsi diri yang negatif. Gangguan ini merupakan masalah yang serius pada banyak wanita muda yang menderita obesitas, dan bisa menimbulkan kesadaran yang berlebihan tentang kegemukannya serta rasa tidak nyaman dalam pergaulan sosial. Ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu makan dalam jumlah sangat banyak (binge) dan makan di malam hari (sindroma makan pada malam hari). Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh stres dan kekecewaan. Binge mirip dengan bulimia nervosa, dimana seseorang makan dalam jumlah sangat banyak, bedanya pada binge hal ini tidak diikuti dengan memuntahkan kembali apa yang telah dimakan. Sebagai akibatnya kalori yang dikonsumsi sangat banyak. Pada sindroma makan pada malam hari, adalah berkurangnya nafsu makan di pagi hari dan diikuti dengan makan yang berlebihan, agitasi dan insomnia pada malam hari (Anonim, 2009). 2.6.4. Faktor Perilaku / Gaya Hidup Era globalisasi yang dicirikan oleh pesatnya perdagangan, industri pengolahan pangan, jasa, dan informasi akan mengubah gaya hidup dan pola
konsumsi
masyarakat, terutama di perkotaan. Melalui rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi maka selera terhadap produk teknologi pangan tidak lagi bersifat lokal, tetapi menjadi global (Khomsan,dkk, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa perilaku / gaya hidup yang kurang tepat dapat menimbulkan kegemukan, seperti (Purwati, dkk, 2007): 1. Makan Berlebihan Mempunyai nafsu makan yang berlebihan merupakan kebiasaan yang buruk, baik dilakukan di rumah, restoran, pertemuan-pertemuan, maupun pesta. Apabila sudah kenyang, jangan sekali-kali menambah porsi makanan meskipun makanan yang tersedia sangat lezat dan merupakan makanan favorit. 2. Makan terburu-buru Kebiasaan makan secara terburu-buru (tergesa-gesa) akan menyebabkan efek kurang menguntungkan bagi pencernaan dan dapat mengakibatkan cepat merasa lapar kembali. Padahal jika makan dikunyah lebih lama selain kelezatan makanan dapat dinikmati, juga dapat membuat lama waktu makan. Dengan demikian tanpa disadari makanan yang masuk ke mulut relatif lebih sedikit, tetapi rasa kenyang dapat terpenuhi. 3. Menghindari Makan Pagi Banyak orang yang menggantikan makan pagi dengan makan siang yang berlebih atau memakan makanan kecil yang tinggi lemak dan kalori dalam jumlah yang relatif banyak. Dengan kondisi ini, jika dihitung jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak jika dibandingkan kalau makan pagi. 4. Waktu Makan Tidak Teratur Jika jarak antara dua waktu makan terlalu panjang, ada kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan secara berlebihan. Jika keadaan tersebut berlangsung relatif lama maka akan mengakibatkan kegemukan.
Universitas Sumatera Utara
5. Salah Memilih dan Mengolah Makanan Ada berbagai sebab atau karena ketidaktahuan dimana seseorang salah memilih makanan. Sementara itu banyak juga orang memilih makanan hanya karena prestise atau gengsi semata. Makanan cepat saji yang banyak ditawarkan sekarang banyak mengandung lemak, kalori, dan gula berlebih. 6. Kebiasaan Mengemil Makanan Ringan Mengemil merupakan kegiatan makan diluar waktu makan. Biasanya makanan yang dikonsumsi berupa makanan kecil (makanan ringan) yang rasanya gurih, manis, dan digoreng. Bila tidak dikontrol, hal ini akan mengakibatkan kegemukan karena jenis makanan tersebut adalah makanan tinggi kalori. 2.6.5. Faktor Lain Yang Berhubungan Dengan Kegemukan Selain faktor diatas, masih ada faktor lain yang berhubungan dengan kegemukan, yaitu:
a.
Ras
b.
Berat badan saat anak-anak
c.
Hormon
2.7. Cara Penentuan Kegemukan Kegemukan dan obesitas terjadi apabila total asupan kalori yang terkandung dalam makanan melebihi jumlah total kalori yang dibakar dalam proses metabolisme. Kriteria kegemukan dapat ditentukan berdasarkan berat badan ideal (BBI) dan Indeks Massa Tubuh (IMT).
Universitas Sumatera Utara
Penentuan Berat Badan Ideal (BBI) menggunakan standart Brocca : BBI (kg) = {TB (cm) – 100} – 10% (TB - 100) Keterangan :BBI = Berat Badan Ideal TB = Tinggi Badan Berat badan ideal tersebut tergantung dari besar kerangka dan komposisi tubuh yang ditentukan otot dan lemak. Seseorang dengan kerangka besar atau memiliki komposisi otot relatif lebih besar akan mempunyai berat ideal yang lebih besar. Oleh karena itu, perhitungan Berat Badan Ideal (BBI) diberi kelonggaran kurang lebih 10 – 20% (Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007). IMT ditentukan berdasarkan rumus berikut: IMT= Berat badan (kg)/ kuadrat tinggi badan (meter)
Tabel 2.3. Kurus
Batas Ambang IMT di Indonesia Kategori Kekurangan berat badan tingkat berat Kekurangan berat badan tingkat ringan
Normal Gemuk
IMT < 17 17,0 – 18,5 18,5 – 25,0
Kelebihan berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat berat
>25,0 – 27,0 >27,0
Sumber : Depkes (2002)
Universitas Sumatera Utara
2.8. Kerangka Konsep
Kebiasaan Makan : - Susunan Makanan - Frekuensi Makan - Jumlah Energi dan Protein Kegemukan pada Pedagang Sayur di Lingkungan XIII Kelurahan Kwala Bekala Aktivitas fisik
Keterangan : kerangka konsep diatas menjelaskan apakah ada hubungan kebiasaan makan yang terdiri dari susunan makanan, frekuensi makan, serta jumlah energi dan protein dan juga aktivitas fisik dengan kegemukan pada pedagang sayur di Lingkungan XIII Kelurahan Kwala Bekala. 2.9. Hipotesa Penelitian 1. Ho : Tidak ada hubungan kebiasaan makan dengan tingkat kegemukan pada pedagang sayur di Lingkungan XIII Kelurahan Kwala Bekala. Ha : Ada hubungan kebiasaan makan dengan tingkat kegemukan pada pedagang sayur di Lingkungan XIII Kelurahan Kwala Bekala. 2. Ho : Tidak ada hubungan aktivitas fisik dengan tingkat kegemukan pada pedagang sayur di Lingkungan XIII Kelurahan Kwala Bekala. Ha : Ada hubungan aktivitas fisik dengan tingkat kegemukan pada pedagang sayur di Lingkungan XIII Kelurahan Kwala Bekala
Universitas Sumatera Utara