BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Obat Tradisional Obat tradisional yang diperlukan oleh masyarakat adalah obat tradisional
yang mengandung bahan atau ramuan bahan yang dapat memelihara kesehatan, mengobati gangguan kesehatan, serta dapat memulihkan kesehatan. Bahan-bahan ramuan obat tradisional seperti bahan tumbuh-tumbuhan, bahan hewan, sedian sarian atau galenik yang memiliki fungsi, pengaruh serta khasiat sebagai obat, dalam pengertian umum kefarmasian bahan yang digunakan sebagai obat disebut simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995). Dalam pembuatan dan pengolahan obat tradisional biasanya ditambahkan zat tambahan atau eksipien agar obat tradisional yang dihasilkan memiliki penampakan atau rasa yang lebih menarik, lebih awet dalam penyimpanan, dan menstabilkan senyawa yang dikandungnya. Bahan tambahan yang biasa digunakan dapat dibedakan menjadi bahan tambahan alami dan bahan tambahan kimia. Bahan tambahan kimia pada umunya bersifat racun karena itu perlu ada pembatasan penggunaanya serta sejauh mungkin agar dihindari. Bahan tambahan yang biasa digunakan dalam obat tradisional antara lain bahan pengawet, pewarna, dan bahan pengisi (Wasito, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Untuk meningkatkan mutu suatu obat tradisional, maka pembuatan obat tradisional haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya mengikutkan pengawasan menyeluruh yang bertujuan untuk menyediakan obat tradisional yang senantiasa memenuhi persyaratan yang berlaku (Dirjen POM, 1994). 2.1.1
Jamu Jamu adalah obat tradisional berupa ramuan yang berasal dari bahan-
bahan alami, berupa bagian dari tumbuhan seperti rimpang (akar-akaran), daundaunan, kulit batang, dan buah. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing atau tangkur buaya (Suyono, 1996). Jamu harus memenuhi kriteria, yaitu aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku (Tjokronegoro, 1992). Jamu tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Di pasaran, kita bisa menjumpainya dalam herbal kering siap seduh atau siap rebus, juga dalam bentuk segar rebusan (jamu godok) sebagaimana dijajakan para penjual jamu gendong. Demi alasan kepraktisan, kini jamu juga diproduksi dalam kapsul dan dalam bentuk pil siap minum. Pada umumnya jamu dalam kelompok ini diracik berdasarkan resep peninggalan leluhur, yang belum diteliti secara ilmiah. Khasiat dan keamanannya dikenal secara empiris (berdasarkan pengalaman turun temurun) (Yuliarti, 2008). 2.2
Serbuk Obat Tradisional Menurut SK Menkes 1994 pengertian dari serbuk obat tradisonal adalah
sediaan obat tradisonal berupa butiran homogen dengan derajat halus yang cocok;
Universitas Sumatera Utara
bahan bakunya berupa simplisia sediaan galenik, atau campurannya. Sediaan serbuk ini penggunaannya dengan cara diseduh dalam air mendidih. Air seduhan diminum sesuai kebutuhan. Karena serbuk berbahankan dari bahan obat tumbuhtumbuhan yang dikeringkan secara alamiah ataupun merupakan campuran dua atau lebih unsur kimia murni yang dibuat menjadi serbuk dalam perbandingan tertentu, maka serbuk harus memiliki persyaratan agar layak edar. Adapun persyaratan serbuk yang akan diedarkan meliputi: Kadar air
: Tidak lebih dari 10%
Angka lempeng total
: Tidak lebih dari 106 kol/g
Angka kapang dan khamir
: Tidak lebih dari 104 kol/g
Mikroba patogen
: Negatif
Aflatoksin
: Tidak lebih dari 30 bpj.
Bahan tambahan
: Pengawet; serbuk dengan bahan baku simplisia dilarang ditambahkan bahan pengawet. Serbuk dengan bahan baku sediaan galenik dengan penyari
air
atau
campuran
etanol-air
bila
diperlukan dapat ditambahkan bahan pengawet. Pemanis; gula tebu (gula pasir), gula aren, gula kelapa, gula bit dan pemanis alam lainnya yang belum menjadi zat kimia murni. Pengisi; sesuai dengan pengisi yang diperlukan pada sediaan galenik.
Universitas Sumatera Utara
Wadah dan Penyimpanan
: Dalam wadah tertutup baik, disimpan pada suhu kamar, di tempat kering dan terlindung dari sinar matahari (Depkes RI, 1994).
2.3
Diabetes Diabetes melitus adalah istilah kedokteran untuk sebutan penyakit yang di
Indonesia kita kenal dengan nama penyakit gula atau kencing manis. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani. Diabetes artinya mengalir terus, melitus berarti madu atau manis. Jadi, istilah ini menunjukkan tentang keadaan tubuh penderita, yaitu adanya cairan manis yang mengalir terus (Dalimartha, 2007). Penyebabnya ialah kekurangan hormon insulin untuk pembakaran glukosa sebagai sumber energi dan untuk sintesa lemak; akibatnya terjadi hiperglikemik (meningkatnya kadar gula darah) (Anief, 2010). Diabetes melitus merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang, ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Penyakit ini bersifat menahun alias kronis. Penderitanya dari semua lapisan umur serta tidak membedakan orang kaya ataupun miskin (Dalimartha, 2007) Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat serta metabolismenya diganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Pada diabetes proses tersebut terganggu dimana glukosa tidak dapat masuk ke dalam
Universitas Sumatera Utara
sel, oleh karena itu energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak (Handoko dan Suharto, 1995). Gejala diabetes adalah adanya rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama di malam hari dan berat badan turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, dan luka sukar sembuh (Waspadji, dkk., 2002). Secara klinis diabetes melitus dibedakan menjadi 2 tipe yaitu: a. Diabetes melitus tipe 1 Penderita diabetes tipe 1 diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes (Depkes RI, 2005). Pada tipe ini terdapat destruksi dari sel beta pankreas, sehingga tidak dapat memproduksi insulin lagi dengan akibat sel-sel tidak bisa menyerap glukosa dari darah (Tjay dan Kirana, 2007). Penyakit ini ditandai dengan defisiensi insulin absolut yang disebabkan oleh lesi atau nekrosis sel beta berat. Hilangnya fungsi sel beta mungkin disebabkan oleh invasi virus, kerja toksin kimia atau karena proses destruksi autoimun. Akibat dari destruksi sel beta, pankreas gagal memberi respons terhadap masukan glukosa. Diabetes tipe 1 memerlukan insulin eksogen untuk menghindari keadaan hiperglikemia yang dapat mengancam kehidupan (Mycek, dkk., 2001). b. Diabetes melitus tipe 2 Penderita diabetes tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Penderita terutama yang berada pada tahap awal, umumnya
Universitas Sumatera Utara
masih terdapat jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi (Depkes RI, 2005). Pada tipe ini, pankreas masih mempunyai beberapa fungsi sel beta, yang menyebabkan kadar insulin bervariasi yang tidak cukup untuk memelihara homeostasis glukosa (Mycek, dkk., 2001). Di samping karena defisiensi fungsi insulin yang bersifat relatif, namun juga disebabkan sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin yaitu gangguan fungsi insulin yang ditandai dengan tidak responsifnya sel-sel tubuh walaupun kadar insulin cukup tinggi. Resistensi insulin banyak terjadi di negaranegara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas dan gaya hidup kurang gerak (Depkes RI, 2005). Bila tindakan umum (diet, gerak badan dan penurunan berat badan) tidak atau kurang efektif untuk menormalkan kadar glukosa darah, perlu digunakan antidiabetika oral (Tjay dan Kirana, 2007). Perbandingan perbedaan diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2 dapat dilihat pada tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Perbandingan Perbedaan DM Tipe 1 dan DM Tipe 2 DM Tipe 1 Umumnya masa kanakkanak dan remaja, walaupun ada juga pada masa dewasa < 40 tahun Berat
DM Tipe 2 Pada usia tua, umumnya > 40 tahun
Kadar Insulin darah
Rendah, tak ada
Cukup tinggi, normal
Berat badan
Biasanya kurus
Gemuk atau normal
Terapi Insulin, diet, olah raga
Diet, olah raga, hipoglikemik oral
Mula muncul
Keadaan diagnosis
klinis
Pengelolaan disarankan
saat
yang
Ringan
(Ditjen Bina Farmasi & ALKES, 2005) 2.3.1 Obat Hipoglikemik Oral Apabila perencanaan makan, latihan jasmani, dan penurunan berat badan tidak cukup berhasil menurunkan kadar glukosa darah sampai ke batas normal barulah penderita memerlukan obat. Obat untuk penderita diabetes mellitus dikenal sebagai obat hipoglikemik atau obat yang menurunkan kadar glukosa dalam darah. Walaupun efektif dan mudah dipakai tetapi harus digunakan sesuai petunjuk dokter. Tidak diperbolehkan mengubah dosis atau mengganti jenis obat tanpa berkonsultasi terlebih dahulu. Bahaya yang terjadi bila dosis obat terlalu rendah yaitu mengakibatkan timbulnya komplikasi kronis yang lebih dini. Dosis yang berlebih atau cara pemakaian yang salah dapat menimbulkan hipoglikemia. Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari penderita diabetes melitus. Hipoglikemia adalah kadar gula darah (true glucose) penderita yang sangat rendah, yakni kurang dari 50 mg/dl. Kadang-kadang gejala timbul pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi bila penurunan kadar glukosa darah terjadi sangat
Universitas Sumatera Utara
cepat. Keadaan ini terjadi mendadak dan dapat dipastikan dengan mengukur kadar glukosa darah. Hipoglikemia yang terjadi harus diatasi dengan segera, bila tidak akan cepat menjadi parah dan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang timbul dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dan kejang-kejang. Ada 2 macam obat hipoglikemik, yaitu berupa suntikan dan berupa tablet yang dapat diminum. Yang berupa tablet, biasa disebut juga obat hipoglikemik oral (OHO) atau oral antidiabetes (OAD). Pemakaian istilah obat antidiabetes (OAD) pada beberapa pustaka sudah mulai ditinggalkan, karena memang tidak ada obat yang dapat menyembuhkan diabetes mellitus. Obat ini sebaiknya tidak digunakan pada penderita diabetes mellitus yang disertai gangguan fungsi ginjal dan hati (Dalimartha, 2007). Untuk sediaan Obat Hipoglikemik Oral terbagi menjadi 2 golongan : 1. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin atau merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, meliputi obat hipoglikemik oral golongan sulfonylurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin). Contoh-contoh senyawa dari golongan
ini
Glimepirida,
adalah Glikuidon,
Gliburida/Glibenklamid, Repaglinide,
Glipizida,
Nateglinide,
Glikazida,
Tolbutamid,
dan
Klorpropamid. 2. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin),
meliputi
obat-obat
hipoglikemik
golongan
biguanida
dan
tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara efektif. Contoh-contoh senyawa dari golongan ini adalah Metformin, Rosiglitazone, Troglitazone, dan Pioglitazone.
Universitas Sumatera Utara
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM Tipe 2. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung kepada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina Farmasi & ALKES, 2005). 2.3.2
Golongan Sulfonilurea Obat yang termasuk golongan ini dapat menurunkan kadar glukosa darah
yang tinggi dengan cara merangsang keluarnya insulin dari sel ß pankreas. Bila pankreas sudah rusak sehingga tidak dapat memproduksi insulin lagi maka obat ini tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah. Itulah sebabnya obat golongan ini tidak berguna bila diberikan pada penderita DM tipe I. Namun, akan berkhasiat bila diberikan pada pasien DM tipe II yang mempunyai berat badan normal (Dalimartha, 2007). 2.3.3
Glibenklamid Glibenklamid adalah 1-[4-[2-(5-kloro-2-metoksobenzamido)etil]benzen
sulfonil]-3-sikloheksilurea. Glibenklamid juga dikenal sebagai 5-kloro-N-[2-[4{{{(sikloheksilamino)karbonil}amino}sulfonil}-fenil]
etil]-2-metoksibenzamida
dan sebagai 1-[[p-[2-(5-kloro-o-anisamido)etil]fenil]sulfonil]-3-sikloheksilurea. Sinonim glibenklamid adalah gliburid (Depkes RI, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Struktur Kimia Glibenklamid Berat Molekul : 494,0 Pemerian
: Serbuk hablur, putih atau hampir putih; tidak berbau atau hampir tidak berbau.
Kelarutan
: Praktis tidak larut dalam air dan dalam eter; sukar larut dalam etanol dan dalam methanol; larut sebagian dalam kloroform (Depkes RI, 1995).
Cara kerjanya sama dengan sulfonilurea lainnya. Obat ini 200 kali lebih kuat dari Tolbutamid, tetapi efek hipoglikemia maksimal mirip sulfonilurea lainnya. Gliburid/Glibenklamid dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit diekskresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan tinja. Gliburid/Glibenklamid efektif dengan pemberian dosis tunggal pagi hari. Efek biologi Gliburid/Glibenklamid jelas menetap 24 jam setelah dosis tunggal pagi hari pada pasien diabetes. Dosis awal yang biasa 2,5 mg/hari dan dosis pemeliharaan rata-rata 5-10 mg/hari yang diberiikan sebagai dosis tunggal pagi hari, dosis pemeliharaan yang lebih dari 20 mg/hari tidak direkomendasikan. Bila pemberian dihentikan obat akan bersih dari serum sesudah 36 jam (Handoko dan Suharto, 1995).
Universitas Sumatera Utara
2.4 Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam) ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (titik awal). Setelah plat atau lapisan ditaruh dalam bejana ditutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Depkes RI, 1995). Kromatografi
lapis
tipis
mempunyai
keuntungan
yaitu,
dalam
pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan bahwa hampir semua laboratorium dapat melaksanakannya setiap saat secara cepat. Mengidentifikasi komponen dalam kromatografi lapis tipis dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar ultra violet. (Rohman, 2009). Senyawa-senyawa yang terpisah pada lapisan tipis diidentifikasi dengan melihat florosensi dalam sinar ultraviolet. Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam kromatografi lapis tipis yang juga mempengaruhi harga Rf, yaitu: 1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan 2. Sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan penyerap akan memberikan perbedaan yang besar terhadap hargaharga Rf meskipun menggunakan fase gerak dalam larutan yang sama, tetapi hasil akan dapat diperoleh jika menggunakan penyerap yang sama juga ukuran partikel tetap dan jika pengikat (kalau ada) dicampur hingga homogen. 3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap Meskipun dalam prakteknya tebal dan lapisan tidak dapat dilihat pengaruhnya, tetapi perlu diusahakan tebal lapisan yang rata. Ketidakrataan akan menyebabkan aliran pelarut menjadi tak rata pula dalam daerah yang kecil dari plat. 4. Pelarut (dan derajat kemurniannya) fase gerak Kemurnian dari pelarut yang digunakan sebagai fasa bergerak dalam kromatografi lapisan tipis adalah sangat penting dan bila campuran pelarut digunakan maka perbandingan yang dipakai harus betul-betul diperhatikan. 5. Derajat kejenuhan dari uap dalam bejana pengembangan yang digunakan 6. Teknik percobaan Arah gerakan pelarut di atas plat (metode aliran penaikan yang hanya diperhatikan, karena cara ini yang paling umum meskipun teknik aliran penurunan dan mendatar juga digunakan). 7. Jumlah cuplikan yang digunakan Penetesan cuplikan dalam jumlah yang berlebihan memberikan tendensi penyebaran noda-noda dengan kemungkinan terbentuknya ekor dan efek tak kesetimbangan lainnya hingga akan mengakibatkan kesalahan-kesalahan pada harga-harga Rf.
Universitas Sumatera Utara
8. Suhu Pemisahan-pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini terutama untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang disebabkan oleh penguapan atau perubahan-perubahan fase. 9. Kesetimbangan Kesetimbangan dalam lapisan tipis lebih penting dalam kromatografi kertas, hingga perlu mengusahakan atmosfer dalam bejana jenuh dengan uap pelarut. Suatu gejala bila atmosfer dalam bejana tidak jenuh dengan uap pelarut, bila digunakan pelarut campuran, akan terjadi pengembangan dengan permukaan pelarut yang terbentuk cekung dan fase bergerak lebih cepat pada bagian tepitepi dari pada bagian tengah, keadaan ini harus dicegah. Alat kromatografi lapis tipis yaitu lempengan kaca, dengan tebal serba rata dengan ukuran yang sesuai, umumnya 20 x 20 cm. Bejana kromatografi yang dapat memuat satu atau lebih lempeng kaca dan dapat ditutup seperti tertera pada kromatografi menaik (Sastromidjojo, 1985). 2.4.1 Komponen Kromatografi Lapis Tipis 2.4.1.1 Fase Diam Fase diam yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensinya dan resolusinya (Rohman, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Sifat-sifat umum dari penyerap-penyerap untuk kromatografi lapisan tipis adalah mirip dengan sifat-sifat penyerap untuk kromatografi kolom. Dua sifat yang penting dari penyerap adalah besar partikel dan homogenitasnya. Kebanyakan penyerap yang digunakan adalah silika gel. Silika gel yang digunakan kebanyakan diberi pengikat (binder) yang dimaksud untuk memberikan kekuatan pada lapisan dan menambah adhesi pada gelas penyokong. Pengikat yang digunakan kebanyakan kalsium sulfat. Tetapi biasanya dalam perdangangan silika gel telah diberi pengikat. Jadi tidak perlu mencampur sendiri, dan diberi nama dengan kode silika gel G (Sastrohamidjojo, 1985). 2.4.1.2 Fase Gerak Fase gerak adalah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Ia bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada gaya kapiler. Yang digunakan hanya pelarut bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan digunakan sistem pelarut multi komponen ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum 3 komponen. Angka banding campuran yang dinyatakan dalam bagian volume sedemikian rupa, sehingga volume tetap 100, misalnya: benzen: kloroform: asam asetat 96% (50 : 40 : 10). 2.4.1.3 Bejana Pemisah dan Penjenuhan Bejana harus dapat menampung plat 200×200 mm dan harus tertutup rapat. Untuk kromatografi dalam bejana yang jenuh, secarik kertas saring bersih yang lebarnya 18–20 cm dan panjangnya 45 cm ditaruh pada dinding sebelah
Universitas Sumatera Utara
dalam bejana dengan uap pelarut pengembangan mempunyai pengaruh yang nyata pada pemisahan dan letak bercak pada kromatogram (Stahl, 1985). 2.4.1.4 Penotolan Sampel Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih dari pada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 μl. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda. 2.4.1.5 Deteksi Bercak Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak bewarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Kadang-kadang lempeng dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensitas warna bercak. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan fluoresensi sinar ultraviolet. Lapisan tipis sering mengandung indikator fluoresensi yang ditambahkan untuk membantu penampakan bercak berwarna pada lapisan yang telah dikembangkan. Indikator fluoresensi ialah senyawa yang memancarkan sinar tampak jika disinari dengan sinar berpanjang gelombang lain, biasanya sinar ultraviolet. Indikator fluoresensi yang paling berguna ialah sulfida anorganik yang memancarkan cahaya jika disinari pada 254 nm. Indikator fluoresensi terdapat
Universitas Sumatera Utara
dalam penjerap niaga dan lapisan siap pakai sekitar 1% dan tampaknya tidak berperan dalam proses kromatografi (Rohman, 2009).
Universitas Sumatera Utara