BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Uraian Tanaman Mahkota Dewa Mahkota dewa merupakan tanaman asli Indonesia tepatnya Papua dan
secara empiris dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tumbuh subur pada ketinggian 10-1.200 m di atas permukaan laut (Agoes, 2010). Tanaman ini memiliki batang utama yang bercabang-cabang setinggi 1,52,5 m, mengeluarkan bunga dan akan muncul buah setelah 9 – 12 bulan. Buahnya bulat dan berwarna merah tua jika matang. Memiliki daun tunggal bentuknya lonjong, memanjang, dan berujung lancip dengan letak daun berhadapan, bertangkai pendek, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan licin, warnanya hijau tua, panjang 7 – 10 cm dan lebar 2 – 5 cm (Agoes, 2010; Harmanto, 2001). 2.1.1 Sistematika Tanaman Menurut MEDA (2016), sistematika tanaman mahkota dewa adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Malvales
Suku
: Malvaceae
Genus
: Phaleria
Spesies
: Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.
Nama daerah : Makutadewa (Jawa), Si malakama (Melayu) (Depkes, 1999).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Kandungan kimia dan khasiat tanaman Daun mahkota dewa mengandung saponin, flavonoid, polifenol, dan tannin,
mempunyai aktivitas biologi sebagai antikanker, antiinflamasi,
antihistamin (Agoes, 2010). 2.2
Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu proses penarikan senyawa kimia dari jaringan
tanaman maupun hewan dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Hasil dari ekstraksi adalah ekstrak. Tujuan utama dilakukan ekstraksi adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan (Syamsuni, 2000). Menurut Depkes RI (2000), metode ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: a. Metode ekstraksi dengan cara dingin 1. Maserasi Maserasi adalah proses ekstraksi dengan cara melakukan perendaman pada simplisia menggunakan pelarut tertentu dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur kamar. 2. Perkolasi Perkolasi adalah proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan atau penampungan perkolat). b. Metode ekstraksi dengan cara panas 1. Refluks Refluks adalah proses ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didih-
Universitas Sumatera Utara
nya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan proses pengulangan pada residu sampai 3 – 5 kali sehingga proses ekstraksi sempurna. 2. Sokletasi Sokletasi adalah proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru dan dilakukan dengan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 3. Digesti Digesti adalah proses ekstraksi dengan cara maserasi kinetik (pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu 40– 50ºC 4. Infudansi Infudansi adalah proses ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 90ºC selama 15 menit. 5. Dekoktasi Dekoktasi adalah proses ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90ºC selama 30 menit.
2.3
Sistem Imun Sistem
imun
ialah
semua
mekanisme
yang
digunakan
untuk
mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Lingkungan hidup manusia yang tercemar berbagai bahan organik dan anorganik, baik yang hidup seperti bakteri, virus, jamur, parasit maupun yang mati. Debu dan polusi yang
Universitas Sumatera Utara
setiap saat dapat masuk ke dalam tubuh dapat menimbulkan kerusakan jaringan atau penyakit (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009). 2.3.1 Komponen sistem imun Sistem imun terdiri dari 2 komponen yaitu komponen humoral dan seluler. 2.3.1.1 Komponen Humoral Komponen ini meliputi komplemen, sitokin dan antibodi. a.
Komplemen Merupakan molekul dari sistem imun yang ditemukan di sirkulasi darah
dalam keadaan tidak aktif tetapi setiap waktu dapat diaktifkan oleh berbagai bahan seperti antigen. Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu menghancurkan zat-zat asing dengan cara opsonisasi. b.
Sitokin Sitokin merupakan protein yang dibentuk oleh sel yang berfungsi sebagai
isyarat antara sel-sel untuk mengatur respon dari sistem imun. Terutama dibentuk oleh makrofag (monokin) tetapi dapat juga dihasilkan oleh limfosit (limfokin). Sitokin terdiri dari Interferon, Interleukin, dan Tumor Necrosis Factor (TNF) (Subowo, 1993; Tjay dan Rahardja, 2007). i. Interferon (IFN) Interferon merupakan glikoprotein yang diproduksi leukosit atau berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Berdasarkan jenis sel yang memproduksinya, IFN dapat dibagi menjadi 2 tipe antara lain: Interferon tipe I terdiri dari IFN alfa (IFNα) yang dihasilkan oleh leukosit dan IFN beta (IFNβ) dihasilkan oleh fibroblast. Interferon tipe II yaitu IFN gamma (IFNγ) yang dihasilkan oleh limfosit. IFN juga dapat meningkatkan kemampuan makrofag dalam memproses dan
Universitas Sumatera Utara
menghancurkan antigen yaitu dengan cara meningkatkan sintesis dan sekresi enzim proteolitik (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009; Kresno, 1991). ii. Interleukin (IL) Interleukin merupakan sitokin yang dibentuk oleh leukosit (terutama limfosit dan monosit) dan terdapat beberapa tipe yang penting antara lain IL-1, IL-2, IL-4, dan IL-6. iii. Tumor Necrosis Factor (TNF) TNF merupakan polipeptida yang dibentuk oleh monosit, makrofag, dan limfosit sebagai reaksi terhadap stimulasi peradangan. TNF terdiri dari proradang dan anti radang (Tjay dan Rahardja, 2007). c.
Antibodi Antibodi merupakan protein imunoglobilin (Ig) yang dibentuk oleh sel
plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen. Antibodi mengikat antigen yang menimbulkannya secara spesifik. Menurut perbedaan struktur dan aktivitasnya, antibodi dibedakan menjadi 5 yaitu IgM, IgG, IgE, IgA, dan IgD (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009). 2.3.1.2 Komponen Seluler Dalam komponen seluler (pertahanan seluler) ada beberapa sel yang terlibat dalam menjaga sistem imun yaitu sel fagosit dan sel limfoid. a.
Sel fagosit Sel fagosit terdiri dari fagosit mononuklear dan fagosit polimorfonuklear
yang berperan dalam respon imun non spesifik. i. Fagosit mononuklear Fagosit mononuklear dihasilkan oleh sel induk di dalam sumsum tulang dan
Universitas Sumatera Utara
mempunyai 2 fungsi yaitu sebagai fagosit professional dengan fungsi utama menghancurkan antigen dan antigen presenting cells (APC) yang fungsinya menyajikan antigen kepada limfosit. Di dalam sumsum tulang mengalami fase monoblast – fase promonosit – fase monosit, kemudian di lepaskan ke dalam darah dalam bentuk monosit. Monosit tersebut masuk ke dalam jaringan kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag (Bellanti dan Josef, 1993; Kresno, 1991). Makrofag mempunyai peranan penting dalam sistem imun yaitu sebagai sel efektor, menghancurkan atau mikroorganisme dan benda-benda asing atau fagositosis. ii. Fagosit polimorfonuklear (PMN) Fagosit polimorfonuklear atau leukosit neutrofil berjumlah 60-70% dari jumlah leukosit dalam darah. PMN merupakan garis pertahanan terdepan dan melindungi tubuh dengan menyingkirkan mikroorganisme yang masuk. Yang termasuk dalam golongan PMN adalah neutrofil, eosinofil dan basofil. Neutrofil memiliki peranan sebagai fagositik (Bellanti dan Josef, 1993; Kresno, 1991). b.
Sel Limfoid Sel limfoid bertugas untuk mengenali antigen. Limfosit T, limfosit B dan sel
NK (Natural Killer) merupakan sel limfoid tetapi hanya sel limfosit yang dilengkapi dengan molekul reseptor yang bertugas untuk mengenali antigen (Kresno, 1991). Limfosit B bertanggungjawab memproduksi antibodi dan sel T bekerja sama dengan sel B untuk memproduksi antibodi (Underwood, 1999). 2.3.2 Respon Imun Respon imun adalah tanggapan sistem imun terhadap benda asing. Sistem imun yang terpapar oleh zat asing akan memberikan 2 respon imun yaitu respon
Universitas Sumatera Utara
imun alami atau non spesifik dan respon imun adaptif atau respon imun spesifik Respon imun non spesifik merupakan respon terhadap zat asing walaupun sebelumnya tubuh tidak pernah terpapar oleh zat tersebut, sedangkan respon imun spesifik merupakan respon imun didapat (Kresno, 1991). 2.3.2.1 Respon Imun Non Spesifik Respon imun non spesifik (innate immunity) merupakan mekanisme pertahanan tubuh terdepan apabila ada zat yang dianggap asing masuk ke dalam tubuh. Respon imun ini mendeteksi adanya zat asing tetapi tidak mampu mengenali zat asing tersebut. Proses yang terjadi dalam respon ini adalah fagositosis dan reaksi inflamasi. Fagositosis merupakan peristiwa penelanan suatu antigen melalui reseptor pada permukaan membran sel makrofag. Proses fagositosis dapat terjadi apabila sel-sel fagosit berada dalam jarak dekat dengan antigen atau antigen tersebut harus melekat pada permukaan sel fagosit. Proses fagositosis meliputi pengenalan (recognition) terhadap benda asing yang akan dicerna, gerakan ke arah objek (kemotaksis), perlekatan, penelanan (ingestion), dan pencernaan (digestion). Dalam respon ini terdapat beberapa komponen yaitu pertahanan fisis dan mekanis meliputi kulit, silia pada saluran pernapasan, selaput lendir yang dapat mencegah berbagai zat asing masuk ke dalam tubuh. Batuk, bersin dan muntah juga dapat membuang zat-zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Pertahanan biokimia meliputi lisozim dalam air mata, asam lambung, laktoferin dalam ASI (Air Susu Ibu) yang dapat mencegah atau membunuh zat-zat asing. Pertahanan humoral dan seluler meliputi komplemen, interferon, C-Reactive Protein, sel NK, sel fagosit, sel mediator (basofil, mastosit dan trombosit) (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009; Bellanti dan Josef, 1993; Underwood, 1999).
Universitas Sumatera Utara
2.3.2.2 Respon Imun Spesifik Respon
imun
spesifik
(Adaptive
immunity)
memerlukan proses
pengenalan terlebih dahulu atau pada antigen tertentu hingga penghancuran antigen tersebut. Sel limfosit memiliki peranan penting dalam respon imun ini karena sel ini mampu mengenali setiap antigen yang masuk ke dalam tubuh. Secara umum, limfosit dibedakan menjadi limfosit T dan limfosit B. Di dalam tubuh sel B dan T menjadi aktif apabila terpapar oleh suatu antigen (Corwin, 2009).
2.4
Imunomodulator Imunomodulator adalah suatu bahan yang dapat meningkatkan fungsi dan
aktivitas sistem imun baik dengan cara merangsang, memperbaiki atau mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun. Penggunaan imunomodulator merupakan upaya yang sangat penting untuk mempertahankan sistem imun tetap bekerja
dengan
maksimal.
Imunomodulator
memiliki
fungsi
sebagai
imunostimulator dan imunosupresor (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009). 2.4.1 Imunostimulator Imunostimulator adalah substansi khusus yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan perlawanan terhadap infeksi terutama oleh sistem fagositik, mengurangi infeksi, mengatasi imunodefisiensi dan merangsang sel pertahanan tubuh sehingga dapat meningkatkan respon imun. Bekerja dengan meningkatkan jumlah dan aktivitas sel T, sel NK, makrofag dan melepaskan interferon dan interleukin. Contoh imunostimulator seperti: vaksin BCG, levamisol, isoprenosin (Nafrialdi, 2007; Tjay dan Rahardja, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Imunosupresor Imunosupresor adalah senyawa atau obat yang digunakan untuk menekan respon imun, mampu menghambat transkripsi dari sitokin dan memusnahkan sel T. Imunosupresor digunakan untuk reaksi penolakan transplantasi, penyakit autoimun dan contoh imunosupresan seperti siklofosfamid dan metrotreksat (Nafrialdi, 2007).
2.5
Pengujian efek Imunomodulator Ada
beberapa
metode
yang
digunakan
dalam
pengujian
efek
imunomodulator antara lain uji bersihan karbon (carbon clearance), respon hipersensitivitas tipe lambat, dan pengukuran antibodi (titer antibodi). 2.5.1 Uji bersihan karbon Uji bersihan karbon merupakan standar uji eliminasi partikel asing di dalam darah dan merupakan gambaran umum yang terjadi pada proses fagositosis terhadap partikel asing. Uji bersihan karbon dilakukan dengan cara menyuntikkan karbon tinta secara intravena, selanjutnya karbon akan difagositosis oleh makrofag (Wagner dan Jurcic, 1991). 2.5.2 Uji respon hipersentivitas tipe lambat Uji respon hipersensitivitas merupakan pengujian efek imunomodulator terkait dengan respon imun spesifik. Respon hipersensitivitas tipe lambat merupakan respon imun seluler yang melibatkan aktivasi sel Th yang akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi dan meningkatkan aktivitas makrofag yang ditandai dengan pembengkakan kaki hewan uji (Roitt, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.5.3 Uji titer antibodi Uji ini merupakan pengujian terhadap respon imun humoral yang melibatkan pembentukan antibodi. Peningkatan nilai titer antibodi terjadi karena peningkatan aktivitas sel Th yang menstimulasi sel B untuk pembentukan antibodi dan peningkatan aktivitas sel B dalam pembentukan antibodi (Roitt, 2002).
Universitas Sumatera Utara