BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, DAN KONSTRUK ANALISIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Kajian Tematisasi Kajian tentang Tema atau struktur Tema sudah dimulai sejak abad ke-19. Pada
waktu itu pakar linguistik Weil (1818-1909) mengkaji titik awal sebuah ujaran yang diikuti dengan urutan pernyataan pesan yang mengikuti klausa dalam wacana. Pelopor dalam kajian tema yang terkenal adalah Vilem Mathesius (1882-1945) pakar linguistik aliran Praha. Kajian Mathesius dikenal sebagai kajian struktural tentang topik dan fokus yang maksudnya sama dengan Tema dan Rema. Tema merupakan topik yang dibicarakan dan rema adalah fokus penjelasan tentang Tema. (Sinar, 2009). Brown dan Yule (1983:133-134) juga mengungkapkan tentang tematisasi dalam linieritas pengorganisasian teks. Ia mengatakan “Thematization and Staging” dengan pernyataan sebagai berikut, “..............thematization as a discoursal rather than simply a sentential process. What the speaker or writer puts first will influence the interpretation of everything that follows.” Berdasarkan kutipan di atas dinyatakan bahwa tematisasi sebagai wacana lebih dari sekedar proses kalimat. Apa yang pembicara dan penulis letakkan pertama kali akan mempengaruhi interpretasi berikutnya. Sementara itu mengenai “Staging”, ia mengemukakan bahasa, “A more general, more inclusive term than thematization
Universitas Sumatera Utara
(which refers only to the linear organization of texts) is ‘Staging”. (Brown dan Yule, 1983:134). “Staging” merupakan istilah yang lebih umum dan inklusif daripada tematisasi (yang merujuk hanya pada susunan linear teks). Dalam penelitian ini, tematisasi yang dikaji adalah Tema dengan menggunakan teori Systemic Functional Linguistics yang diajukan oleh Halliday. Halliday (1994:38) mendefinisikan Tema sebagai berikut. The Theme is one element in a particular structural configuration which, taken as a whole, organized the clause as a message; this is the configuration of Theme + Rheme. A message consists of a Theme combined with a Rheme. Within that configuration, the Theme is the starting-point for the message; it is the ground from which the clause is taking off. (Tema adalah satu unsur di dalam konfigurasi struktural tertentu yang secara keseluruhan mengorganisir klausa sebagai pesan; Ini adalah konfigurasi Tema + Rema. Sebuah pesan terdiri atas sebuah Tema yang dikombinasikan dengan Rema. Di dalam konfigurasi ini, Tema sebagai titik awal keberangkatan pesan tersebut; Itu adalah dasar berlepasnya sebuah klausa) Kajian tematisasi ini muncul dari adanya pemahaman bahwa bahasa berfungsi untuk menyampaikan pesan. Pesan ini disampaikan secara bersistem. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa mempunyai aturan agar dapat menyampaikan pesan dengan susunan yang baik dan teratur. Fungsi bahasa ini disebut fungsi tekstual di mana Tema merupakan titik awal dari satu pesan (the starting point of the message) yang terealisasi dalam klausa. Di dalam bahasa Inggris dan Indonesia, Tema ditandai dengan posisi di awal klausa atau unsur paling depan dari klausa. Tema dinyatakan dengan unsur pertama klausa sedangkan unsur klausa sesudah Tema disebut Rema (Saragih, 2007:8).
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.1: Posisi Tema dan Rema dalam Teks Theme:
Rheme:
Point of departure of clause as a Non-Theme – where the presentation message; local context of clause as a moves after the point of departure, what piece of text is presented in the local context set up by theme Initial position in the clause
Position following initial position
Tema dari segi bentuknya dapat berupa partisipan, proses ataupun sirkumstan berbentuk kata, frasa, maupun kalimat. Jika hanya ada satu unsur dalam klausa yang berpotensi menjadi Tema maka unsur tersebut disebut Tema sederhana dan dilabeli dengan nama “Tema”. Sebaliknya, jika di dalam sebuah klausa terdapat lebih dari satu unsur yang berpotensi menjadi Tema, maka dikatakan Tema tersebut sebagai Tema kompleks. Menurut Saragih (2006:112-114), Tema kompleks dibagi atas tiga jenis yaitu (1) Tema Tekstual, (2) Tema Antarpersona dan (3) Tema Topikal. Tema Topikal adalah unsur pertama representasi pengalaman. Ini berarti bahwa Tema Topikal dapat berupa proses, partisipan, atau sirkumstan. Jika di dalam satu klausa hanya terdapat satu Tema atau Tema sederhana maka Tema itu cukup diberi label Tema bukan Tema Topikal. Selanjutnya, Saragih (2007:47) menjelaskan Tema dapat diidentifikasi berdasarkan kompleksitasnya dan kebermarkahannya. Kompleksitas terdiri dari Tunggal (single) dan Majemuk (multiple). Kebermarkahan terdiri dari Bermarkah (unmarked) dan tidak Bermarkah (marked), seperti terlihat di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.2: Klasifikasi Tema Berdasarkan Komplesitas dan Kebermarkahannya Kompleksitas Tunggal Kebermarkahan:
Bermarkah
Tunggal Bermarkah
Tidak Bermarkah
2.1.2
Tunggal Bermarkah
Majemuk – Majemuk
–
Bermarkah tidak Majemuk – tidak Bermarkah
Kajian Translasi dan Penerjemah Proses pengalihan pesan teks bahasa sumber dipengaruhi oleh budaya
penerjemah, yang tercermin dari cara seseorang dalam memahami, memandang, dan mengungkapkan pesan itu melalui bahasa yang digunakan. Pengalihan pesan dalam proses penerjemahan selalu ditandai oleh perbedaan budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan ini secara langsung akan menempatkan penerjemah pada posisi yang dilematis. Di satu sisi penerjemah harus mengalihkan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran secara akurat. Di sisi lain dan dalam banyak kasus penerjemah harus menemukan padanan yang tidak mungkin ada dalam bahasa sasaran. Pada hakekatnya, teori translasi sudah menyediakan pedoman untuk mengatasi masalah-masalah penerjemah. Namun, sebagai pedoman umum, teori translasi tidak selalu dapat diterapkan untuk memecahkan persoalan letak terjemahan yang timbul dalam peristiwa komunikasi interlingual tertentu. Bahkan, suatu padanan untuk suatu ungkapan dalam bahasa sumber yang sudah lazim digunakan, diterima dan dianggap
Universitas Sumatera Utara
benar oleh pembaca teks bahasa sasaran, apabila dianalisis secara mendalam, bukan merupakan padanan yang benar. Pada hakikatnya kajian translasi menitikberatkan proses menerjemahkan berarti mengalihkan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran sedemikian rupa sehingga orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa sasaran kesannya sama dengan orang yang membaca pesan itu dalam bahasa sumber (Nida, 1976). Sebelumnya, Nida (1964) juga menyatakan bahwa translasi yang sempurna adalah yang bisa menciptakan efek sebagaimana teks aslinya. Ahli lainnya (Catford,1974) menyatakan penerjemahan adalah pemindahan materi teks bahasa sumber yang berekuivalen dengan materi teks pada bahasa sasaran. Mohanty dalam Dollerup dan Lindegaard, (1994) menyatakan bahwa penerjemahan bukan hanya aktivitas bilingual tetapi juga pada saat yang bersamaan adalah aktivitas bikultural. Pernyataan ini mengandung perngertian bahwa penerjemahan bukan hanya menerjemahkan bahasa tetapi sekaligus transfer budaya. Al Zouby dan Al Asnawi (2001) mendefinisikan pergeseran (shift) sebagai tindakan wajib yang disebabkan oleh adanya perbedaan struktur dua bahasa yang terlibat dalam penerjemahan dan tindakan opsional yang ditentukan oleh preferensi personal dan stilistik yang dilakukan secara sadar untuk menghasilkan translasi yang alamiah dan komunikatif dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasraran. Mereka membedakan pergeeran ke dalam dua jenis yakni pergeseran mikro (micro shift) dan pergeseran makro (macro shift). Pergeseran mikro bisa berwujud pergeseran vertikal yang mengarah ke atas jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan unit yang lebih
Universitas Sumatera Utara
tinggi ‘rank’nya atau mengarah ke bawah jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan unit yang lebih rendah ‘rank’nya, sedangkan pergeseran horizontal adalah jika padanan dalam bahasa sumber berada pada ‘rank’ yang sama dengan bahasa sasaran. Pergeseran makro melibatkan semua variabel tekstur, budaya, gaya dan retorik yang memungkinkan terjadinya pergeseran pada tataran selain tataran sintaksis. Zellermeyer (1987) menjelaskan bahwa pergeseran (shift) dalam penerjemahan sebagai ‘metamessages’. Pergeseran dapat terjadi karena adanya penambahan (addition), penghilangan
(delition),
substitusi
(substitution)
dan
penyusunan
kembali
(reordering). Penerjemahan teks selalu terkait erat dengan masalah budaya. Pemahaman budaya agar dapat menerjemahkan teks sangat diperlukan. Masyarakat mempunyai budaya yang berbeda sehingga diperlukan pemahaman budaya masyakarat tersebut sehingga teks dapat diterjemahkan sesuai dengan makna yang terdapat dalam bahasa sumber. Penerjemah merupakan proses pengalihan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Tujuan praktis dari proses pengalihan pesan itu adalah untuk membantu pembaca teks bahasa sasaran dalam memahami pesan yang dimaksudkan oleh penuli asli teks bahasa sumber. Tugas pengalihan ini menempatkan penerjemah pada posisi yang sangat penting dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila ilmu pnegetahuan dan teknologi dipahami sebagai bagian dari budaya, secara tidak langsung penerjemah turut serta dalam proses alih budaya. Ada terjemahan yang sudah secara setia menyampaikan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, tetapi bahasa yang digunakan tidak bisa dipahami
Universitas Sumatera Utara
oleh pembaca dengan baik. Ada pula terjemahan yang tampak “cantik” dan wajar, tetapi pesannya menyimpang jauh dari pesan teks aslinya. Jika kasus seperti ini sering terjadi, tujuan praktis penerjemahan tidak tercapai dengan baik. Terjemahan yang demikian dianggap telah menghianati tidak hanya penulis teks asli tetapi juga pembaca teks terjemahan (Damono, 2003). Terjemahan merupakan alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, terjemahan mempunyai tujuan komunikatif, dan tujuan komunikatif itu ditetapkan oleh penulis teks bahasa sumber, penerjeman sebagai mediator, dan pembaca teks bahasa sasaran. Penetapan tujuan itu sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya serta ideologi penulis teks bahasa sumber, penerjemah, pembaca teks bahasa sasaran (Nababan, 2004). Apa yang dimaksud dengan budaya?
Dalam ruang lingkup Studi
Penerjemahan, budaya mempunyai pengertian yang sangat luas dan menyangkut semua aspek kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh aspek sosial (Snell-Hornby, 1995). Konsep budaya ini didefinisikan oleh Gohring (1977), dan Newmark (1988) sebagai berikut. As I see it, a society’s culture consists of whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage, must consist of the end product of learning : knowledge, in a most general, if relative, sense of the term. By this definition, we should note that culture is not a material phenomenon; it does not consists of things, people, behavior, or emotions. It is rather an organization of these things. It is the forms of things that people have in mind, their models fro perceiving, relating, and otherwisw interpreting them. As such, the things people say and do, their social arrangements and events, are products or by-products of their culture as they apply it to the task of perceiving and dealing with their circumstances. To one
Universitas Sumatera Utara
who knows their culture, these things and events are also signs signifying the cultural forms or models of which they are materail presentations.... (Goodenough, 1964). Culture is everything one needs to know, master and feel in order to judge where people’s behavior conforms to or deviates from what is expected from them in their social roles, and in order to make one’s own behavior conform to the expectations of the society concerned-unless one is prepared to take the consequences of deviant behavior. (Gohring dalam Snell-Hornby, 1995). The way of life and its manifestations that are perculiar to a community taht uses a particular language as its means of expressions. (Newmark, 1988) Dari definisi budaya di atas dapat ditarik empat hal pokok. Pertama, budaya merupakan totalitas pengetahuan, penguasaan dan persepsi. Kedua, budaya mempunyai hubungan yang erat dengan prilaku (tindakan) dan peristiwa atau kegiatan. Ketiga, budaya tergantung pada harapan dan norma yang berlaku dimasyarakat. Keempat, pengetahuan, penguasaan, persepsi, perilaku kita terhadap sesuatu diwujudkan melalui bahasa. Oleh karena itu, bahasa merupakan ungkapan tentang budaya dan diri penutur, yang memahami dunia melalui bahasa. Konsep bahwa bahasa adalah budaya dan budaya diwujudkan melalui perilaku kebahasaan dapat pula diterapkan dan dikaitkan pada bidang penerjemahan. House (2002) berpendapat bahwa seseorang tidak menerjemahkan bahasa tetapi budaya, dan dalam penerjemahan kita mengalihkan budaya bukan bahasa. Pendapat ini sejalan dengan pandangan bahwa budaya merupakan suatu terjemahan, bukan kata, frase, klausa, paragraf atau teks yang seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari penerjemah.
Universitas Sumatera Utara
2.2
Kerangka Teori “Teori bahasa memiliki cara yang beragam dalam melihat fenomena bahasa”
(Sinar, 2003:13). Di dalam penelitian ini, teori bahasa yang akan digunakan adalah teori Systemic Functional Linguistics dan teori translasi. Oleh karena itu, bab ini akan menjelaskan kedua teori tersebut, yaitu teori Translasi yang dikemukakan oleh Larson dan Catford dan teori Systemic Functional Linguistics yang dikemukakan oleh Halliday. Teori-teori itu dilengkapi oleh model-model penerjemahan yang relevan dengan penelitian ini. Secara sistematis, teori yang digunakan peneliti dalam translasi dwibahasa: Inggris-Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai-berikut. (1) Kerangka Teori (2) Teori Translasi dan Penerjemahan (3) Model-model Penerjemahan (4) Alasan Memilih Teori Translasi Larson dan Catford (5) Kerangka Konsep Pergeseran dalam Translasi (6) Teori Systemic Functional Linguistics (7) Alasan Memilih Teori Systemic Functional Linguistics (8) Berbagai Model Systemic Functional Linguistics (9) Kerangka Konsep Systemic Functional Linguistics (10) Metafungsi Bahasa (11) Orientasi Teoritis (12) Penelitian Sebelumnya
Universitas Sumatera Utara
(13) Konstruk Analisis
2.3
Teori Translasi dan Penerjemahan Pada penelitian ini perlu dibedakan antara kata ‘translasi’ dan ‘penerjemahan’.
Kata ‘penerjemahan’ mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata ‘translasi’ sebagai padanan kata ‘translation’ artinya hasil dari suatu penerjemahan (Nababan, 2003:18). Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah translasi untuk hasil penerjemahan dan istilah penerjemahan untuk proses alih pesan dalam translasi. Berdasarkan pengertian di atas, menerjemahan berarti mengalihkan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran sedemikian rupa sehingga orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa sasaran kesannya sama dengan orang yang membaca pesan itu dalam bahasa sumber. Hal ini sesuai dengan pendapat Nida (1976) dalam Hanafi (1986:25) yang mengatakan bahwa, “Translating consist in producing in the receptor language the closest natural equivalent to the message of the source language, fist in meaning and secondly in style.” Hal ini berarti, di dalam kajian translasi harus dicari padanan yang paling dekat dengan bahasa penerima terhadap bahasa sumber, baik dalam hal makna maupun gaya bahasanya. Sejalan dengan pendapat di atas, Catford (1965) dalam Nababan (2003:19) menyatakan penerjemahan adalah pemindahan materi teks bahasa sumber yang berekuivalen dengan materi teks pada bahasa sasaran. Di dalam proses alih pesan tersebut, terdapat faktor linguistik dan budaya. Steiner (1994:103) mengatakan,
Universitas Sumatera Utara
“Translation can be seen as (co) generation of text under specific contraints that is relative stability of some situasional factorand, therefore, register, and, classically, change of language and (context of) culture”. Di dalam hal ini, faktor situasi, budaya, dan perubahan bahasa sumber dan bahasa sasaran menjadi hal-hal yang menjadi perhatian penerjemah. Dengan demikian, penerjemahan bukan hanya aktivitas bilingual tetapi juga pada saat yang bersamaan adalah aktivitas bi-kultural. Pernyataan ini mengandung perngertian bahwa penerjemahan bukan hanya menerjemahkan bahasa tetapi sekaligus transfer budaya. Jacobson dalam artikelnya “On Linguistic Aspecct of Translation” (1959) dalam Shuttlewarth dan Cowie (1997:82-88), menyatakan translasi dapat dibagi menjadi tiga jenis berikut ini. a. Intralingual Translation (Translasi Intralingual) yaitu penerjemahan yang hanya melibatkan satu bahasa (bahasa yang sama) saja dalam prosesnya. b. Interlingual Tranlation (Translasi Interlingual) yaitu penerjemahan yang melibatkan dua bahasa yang berbeda. c. Intersemiotic Translation (Translasi Intersemiotik) yaitu penerjemahan suatu simbol yang mempunyai makna ke dalam simbol lain yang juga mempunyai makna yang sama. Esksistensi translasi yang dikemukakan oleh Jakobson (1959:232-239) di atas dapat diklasifikasikan pada konteks translasi bahasa Indonesia sebagaimana terlihat dalam figura berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.3: Klasifikasi Eksistensi Translasi Translasi
Kebahasaan
Intra-kebahasaan
Kebahasaan/ Non-kebahasaan
Nonkebahasaan
Inter-kebahasaan
Translasi ekabahasa
Translasi multibahasa
Translasi dwibahasa
Translasi Bahasa Indonesia-Belanda
Translasi Bahasa Indonesia-Inggris
dan sebagainya
Dari ketiga klasifikasi yang dinyatakan oleh Jacobson tersebut, penelitian ini berkonsentrasi pada jenis translasi kedua, yaitu interlingual translation, tepatnya antara dua bahasa yang berbeda yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa Indonesia
Universitas Sumatera Utara
merupakan bahasa regional penduduk terbesar di Asia Tenggara sedangkan bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang berasal dari kawasan Eropa Barat. Menurut Tou (1997:27) konsep penerjemahan dapat dibedakan atas tiga hal, yaitu (1) teori fenomena, (2) fenomena studi, dan (3) praktik atau kegiatan mengerjakan fenomena tersebut. Skema berikut diciptakan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang konsep yang diadopsi seorang peneliti. Sebagai fenomena studi, penerjemahan bisa diklasifikasikan ke dalam tiga kategori berbeda, yaitu penerjemahan sebagai fenomena bahasa, penerjemahan sebagai fenomena bukan bahasa, dan penerjemahan sebagai fenomena bahasa/bukan bahasa.
Figura 2.4: Skema Penerjemahan (Adaptasi dari Choliludin, 2007:21) TEORI FENOMENA - teori penerjemahan - translatologi - ilmu penerjemahan - translatik - kajian penerjemahan
PENERJEMAHAN
FENOMENA STUDI Fenomena bahasa Intralingual - penerjemahan monolingual Penerjemahan Interlingual - penerjemahan bilingual - penrjemahan multilingual Penerjemahan Intersemiotik - fenomena bukan bahasa - fenomena bahasa/bukan bahasa KEGIATAN MENGKAJI FENOMENA
Universitas Sumatera Utara
Pada hakikatnya, penerjemahan mencakup pemakaian dua bahasa dengan ide atau makna yang sama (Beekman dan Callow, 1974:58-59). Oleh karena itu, penerjemahan yang benar adalah penerjemahan yang dapat mentransfer makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Kemampuan menerjemah selain berkaitan dengan kemampuan menguasai kosa kata, struktur bahasa juga harus dapat memahami situasi komunikasi dan konteks budaya bahasa sumber, sehingga dapat mentransfer ke dalam kosa kata, struktur, dan konteks budaya bahasa sasaran (Larson, 1984:15). Sejalan dengan pendapat di atas, translasi dan penerjemahan berhubungan erat dengan cara memahami bahasa. Menurut Halliday dan Hasan (1985:5-8), cara memahami bahasa terletak pada kajian sebuah teks yang memiliki konteks di dalamnya. Maka dalam proses yang sama, konteks dan teks adalah aspek. Gagasan tentang sesuatu yang menyertai teks yang melewati batas, yang dikatakan dan ditulis meliputi nonverbal lain yang muncul dalam lingkungan total yang diungkap. Maka, lingkungan total yang berlaku sebagai penghubung antara teks dan situasi yaitu tempat teks yang sebenarnya itu muncul dan ini disebut konteks situasi. Setiap teks, baik lisan maupun tulisan, mengungkap makna dalam konteks penggunaannya. Oleh karena itu, bahasa dalam hubungannya dengan struktur sosial menimbulkan konsekuensi untuk menggambarkan konteks yang diperankan bahasa. Contoh fenomena ini sering dialami oleh Bronislaw Malinowski. Malinowski menghadapi masalah cara menerjemahkan atau menyampaikan pikirannya tentang bahasa dan budaya Kariwian di Pulau Trobriand pada para pembaca penutur bahasa Inggris. Budaya yang dia pelajari berbeda dengan budaya orang inggris. Malinowski
Universitas Sumatera Utara
kemudian mengadopsi berbagai metode. Pada tahap ini, dia memperkenalkan konsep konteks situasi dan konteks budaya; dan dia menganggap bahwa keduanya sama-sama penting bagi pemahaman terhadap sebuah teks sebelum menerjemahkannnya Di dalam proses penerjemahan, penerjemah hanyalah seorang komunikator yang menjembatani alur informasi dari penulis dan pembaca yang semestinya bisa menghilangkan sedemikian rupa campur tangan atau subyektivitas. Untuk itu setiap penerjemah perlu memiliki suatu pedoman dalam pemadanan dan pengubahan (Machali, 2000:104). Newmark (1988:4) menilai bahwa sebuah teks yang akan ditranslasikan dapat ditarik ke sepuluh arah dalam analisis sebelum dialihkan. Dinamika penerjemahan ini digambarkan sebagai berikut.
Figura 2.5 Dinamika Translation (Newmark, 1988:4) 9 The truth (the facts of the matter)
1 SL writer
5 TL relationship
2 SL norm
6 TL norm
TEXT 3 SL culture
7 TL culture
4 SL setting and tradition
8 TL setting and tradition 10 Translator Universitas Sumatera Utara
Terlepas dari berbagai kemungkinan keputusan yang bisa diambil oleh penerjemah dalam proses penerjemahan sebagai akibat dari keragaman faktor penentu tersebut di atas, Machali (2000:105) memberikan suatu pegangan dasar dalam proses penerjemahan. Machali menilai bahwa gambar dinamika penerjemahan Newmark tersebut menunjukkan, bahwa yang terletak paling atas adalah ‘truth’ kebenaran berupa fakta atau substansi permasalahan yang akan diterjemahkan yang dibahas dalam teks atau ‘field’ menurut Halliday. Sejauh perubahan yang ada tidak menyebabkan perubahan truth (tetap mempertahankan makna referensial) maka kesepadanan masih dapat berterima. Perubahan atau pergeseran lain yang menyangkut kaidah bahasa (nomor 2 dan 6 dalam dinamika translasi tersebut) tidak membuat bergesernya ‘truth’ sehingga masih berterima. Dinamika tersebut di atas memberi peluang terjadinya campur tangan penerjemah. Machali (2000:106) mengungkapkan bahwa campur tangan penerjemah dalam proses penerjemahan disebabkan oleh: (1) merupakan terjemahan manusia (human translation) bukan terjemahan mesin (machine translation); (2) bahasa bukanlah sebuah “jaket pengaman” yang mengikat pemakainya (penerjemah) untuk hanya memilih satu bentuk tertentu; dan, (3) penerjemah (manusia) mempunyai keunikan (pandangan, prasangka, dll.)
2.3.1
Model-model Translasi Larson (1984:17) menyatakan bahwa saat menerjemahkan sebuah teks, tujuan
penerjemah adalah mencapai translasi idiomatik yang sedemikian rupa, berusaha
Universitas Sumatera Utara
untuk mengkomunikasikan makna teks bahasa sumber ke dalam bentuk alami dari bahasa sasaran. Oleh karena itu, penerjemahan merupakan kegiatan yang berkenaan dengan studi tentang leksikon, struktur tata bahasa, situasi komunikasi, dan konteks budaya teks bahasa sumber yang dianalisis dengan maksud untuk menentukan maknanya. Makna yang ditemukan kemudian diungkapkan dan dikonstruksikan kembali dengan menggunakan leksikon dan struktur tata bahasa dan konteks budayanya. Di dalam hal ini, Larson (1984:4) secara sederhana menampilkan diagram proses menerjemah suatu bahasa.
Figura 2.6 Proses Translasi Model Larson (Diadaptasi dari Choliludin, 2007:31)
Teks yang Diterjemahkan
Translasi
Makna yang Diekspresikan Kembali
Menemukan Makna
MAKNA
Universitas Sumatera Utara
Di samping itu, Johannes (1979) membagi bahasa penerjemahan atas dua bagian, yaitu bahasa keilmuan dan bahasa sastra. Menurutnya penerjemahan bahasa keilmuan harus mempunyai kriteria-kriteria denotatif sebagai berikut. (1) bahasa yang dipergunakan adalah bahasa resmi bukan bahasa pergaulan (2) mempunyai sifat formal dan objektif (3) mempunyai nada yang tidak emosional (4) perlu memperhatikan keindahan bahasa (5) menghindari kemubaziran (redundancy) (6) mempunyai isi yang lengkap, jelas, ringkas, meyakinkan, tepat dan padat. Bahasa sastra berbeda dalam pemakaian ungkapan dan kiasan, yang tidak dijumpai dalam bahasa ilmu. Kriteria-kriteria bahasa sastra ialah sebagai berikut: (1) bahasa sastra bersifat konotatif (2) bahasa sastra mengutamakan keindahan sedangkan bahasa ilmu tidak. (3) bahasa sastra bersifat elastis merupakan dasar karya-karya sastra, sementara karya-karya ilmiah mengutamakan kepadatan isi.
2.3.2
Alasan Memilih Teori Translasi Larson dan Cadford Teori translasi mempunyai kelebihan, yaitu dapat memenuhi keinginan peneliti
dalam penyelesaian masalah budaya di dalam penerjemahan. Budaya di sini mencakup segala sesuatu yang secara historis tercipta karena pola berpikir suatu masyarakat baik tersurat maupun tersirat, baik yang rasional maupun irrasional. Secara garis besar kesulitan-kesulitan dalam penerjemahan dapat dibedakan menjadi dua kategori besar.
Universitas Sumatera Utara
Kedua kategori ini adalah kesulitan yang berkaitan dengan kebahasaan ‘linguistic problems’ dan kesulitan yang bersifat non kebahasaan ‘nonlinguistic problems.’ Selanjutnya, dalam penerjemahan adanya perbedaan antara sistem bahasa sumber dan sistem bahasa sasaran juga ditunjukkan oleh perbedaan struktur baik tataran kata, frasa, klausa, dan kalimat. Dalam bahasa Inggris, inconceivable ditulis sebagai satu kata tetapi terdiri atas tiga morfem: in, conceive, dan able. Jika kata itu dialihkan ke dalam bahasa Indonesia, translasinya akan berbunyi: tidak dapat dipikirkan atau tidak dapat dibayangkan. Persoalan-persoalan seperti ini dapat dicari solusinya dengan menggunakan teori penerjemahan yang berorientasi pada penetapan tema dan rema dalam teks bahasa sumber dan translasinya. Berdasarkan penjelasan di atas, proses translasi adalah proses mengekspresikan kembali makna teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran tanpa mengubah makna bahasa sumber tersebut. Untuk itu, penelitian ini menerapkan teori translasi Larson dan Cadford. Hal ini disebabkan di dalam penerjemahan ada kesulitan yang disebutkan kesulitan bahasa ‘linguistik’ dan kesulitan budaya. Catford (1965) mengatakan kesulitan ialah kesulitan yang berkaitan dengan unsur-unsur budaya. Hal yang sama juga disebutkan oleh Larson (1984) bahwa salah satu masalah yang paling sulit dalam penerjemahan ialah perbedaan antara budaya. Penerjemahan adalah masalah latar belakang budaya dari penerjemah. Walaupun kemampuan menerjemah seseorang baik karena menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran dengan kuantitas yang sama artinya, orang tersebut mengetahui perbedaan persepsi linguistik bahasa sumber dan sasaran. Si penerjemah juga diminta
Universitas Sumatera Utara
meguasai konteks estetika dan budaya bahasa sumber dan sasaran sehingga dengan pengetahuan materinya yang memadai, ia melakukan mampu penerjemahan. Menurut Halliday (1985) langkah pertama dalam menerjemah adalah menemukan makna yang terkandung melalui analisis makna. Menganalisis teks dengan
menggunakan
seperangkat
framework
akan
memberikan
gagasan
komprehensif pada para pembaca untuk menghasilkan sebuah hasil translasi. Setiap teks baik lisan maupun tulisan mengungkap makna dalam konteks penggunannya. Jadi, dengan konteks di sekitar teks, teks menciptakan makna. Untuk dapat memahami makna teks dapat dilakukan dengan menggunakan framework seperti berikut ini.
Figura 2.7: Kedudukan Teks, Konteks, dan Makna dalam Wacana
TEKS Metafungsi bahasa - fungsi ideasional - fungsi antarpersona - fungsi tekstual
KONTEKS Konteks Situasi - medan wacana - pelibat wacana - sarana wacana Konteks Budaya - institusional - ideasional Intertekstual - teks yang berkaitan Intratekstual - koherensi - kohesi
MAKNA
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan figura di atas dapat dipahami bahwa teks, konteks dan makna adalah tiga unsur yang salig berkaitan erat. Makna teks terealisasi melalui fungsi ideasional, antarpersona, tekstual, dan konteks berperan mempengaruhi makna yang disampaikan oleh teks. Dengan demikian, teks mengungkapkan maknanya dalam kaitanya dengan konteks yang terdapat di dalam teks tersebut.
2.3.3
Kerangka Konsep Pergeseran dalam Translasi Catford (1965:20) menegaskan konsep pergeseran bisa dilihat dari dua
perspektif yang berbeda tentang translasi: (1) translasi sebagai produk, (2) translasi sebagai suatu proses. Sebagai produk, konsep pergeseran formal identik dengan konsep pergeseran yang mengacu pada suatu peristiwa atau keadaan di mana sebuah padanan di seleksi dari bahasa sasaran dalam proses penerjemahan tidak menunjukkan kesejajaran bentuk teks (unit, struktur, ataupun kelas) dalam bahasa sumber. Sebagai suatu proses, pengertian pergeseran formal sejajar dengan istilah transposisi (transposition) yang dikemukakan oleh Newmark (1988) yaitu suatu cara atau prosedur penerjemahan melalui perubahan bentuk gramatikal dari bahasa sumber ke dalam bahasa target. Catford (1965:73-82) membedakan pergeseran dalam translasi ke dalam dua jenis sebagai-berikut. (1)
level shift yang muncul di permukaan dalam bentuk item bahasa sumber pada level linguistik tertentu mempunyai padanan dalam level yang berbeda. Misalnya, tataran gramatika berpadanan dengan leksis.
Universitas Sumatera Utara
(2) category shift yaitu suatu istilah generik yang mengacu pada pergeseran yang mencakup empat kategori sebagai berikut. a.
structure-shifts, yakni pergeseran struktur yang menyangkut perubahan gramatikal antara struktur bahasa sumber dan sasaran.
b.
class-shifts, yakni pergeseran kelas bila kata dalam bahasa sumber dipadankan dengan bahasa sasaran mempunyai kelas gramatikal yang berbeda.
c.
unit-shifts, yakni pergeseran unit yang menyangkut perubahan ‘rank’ misalnya dari kata diterjemahkan menjadi frasa.
d.
intra-system-shifts, yakni pergeseran intra sistem yang terjadi bila secara formal bahasa sumber dan target mempunyai kondisi yang kelihatannya sejajar tetapi secara konstituen mempunyai perbedaan. Misalnya, bentuk tunggal dalam bahasa sumber menjadi bentuk jamak dalam bahasa sasaran.
Al Zouby dan Al Asnawi (2001) mendefinisikan pergeseran (shift) sebagai tindakan wajib yang disebabkan oleh adanya perbedaan struktur dua bahasa yang terlibat dalam penerjemahan dan tindakan operasional yang ditentukan oleh preferensi personal dan stilistik yang dilakukan secara sadar untuk menghasilkan translasi yang alamiah dan komunikatif dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Mereka membedakan pergeseran ke dalam dua jenis yakni pergeseran mikro (micro shift) dan pergeseran makro (macro shift). Pergeseran mikro bisa berwujud pergeseran vertikal yang mengarah ke atas jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan unit yang lebih
Universitas Sumatera Utara
tinggi ‘rank’nya atau mengarah ke bawah jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan unit yang lebih rendah ‘rank’nya, sedangkan pergeseran horizontal adalah jika padanan dalam bahasa sumber berada pada ‘rank’ yang sama dengan bahasa sasaran. Pergeseran makro melibatkan semua variabel tekstur, budaya, gaya, dan retorik yang memungkinkan terjadinya pergeseran pada tataran selain tataran sintaksis. Berdasarkan penjelasan di atas, pergeseran dalam penerjemahan terjadi karena berbagai aspek, bergantung pada konteksnya. Di dalam hal ini, Zellermeyer (1987) menjelaskan bahwa pergeseran (shift) dalam penerjemahan sebagai ‘metamessages’. Pergeseran dapat terjadi karena adanya penambahan (addition), penghilangan (delition), substitusi (substitution), dan penyusunan kembali (reordering).
2.4
Teori Systemic Functional Linguistics Penelitian ini menggunakan teori Systemic Functional Linguistics yang
dikemukakan oleh Halliday. Teori Systemic Functional Linguistics ini di Indonesia memperoleh dua penerjemahan yang menjadi rujukan teks berbahasa Indonesia dalam penelitian ini. Terjemahan pertama adalah Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) oleh Tengku Silvana Sinar dalam bukunya Teori dan Analisis Wacana: Pendekatan Sistemik-Fungsional (terbit 2003 dan dicetak ulang 2008). Terjemahan kedua Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) oleh Amrin Saragih dalam bukunya Bahasa dalam Konteks Sosial: Pendekatan Lunguistik Fungsional Sistemik terhadap Tata Bahasa dan Wacana (2006) dan Fungsi Tekstual dalam Wacana: Panduan Menulis Rema dan Tema (2007).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sinar (2008:14), teori ini meyakini bahwa bahasa atau teks selalu berada pada konteks pemakaiannya. Secara historis, menurut Saragih (2007:1), teori ini dikembangkan oleh Halliday (2004) dan para pakar lainnya, seperti Martin (2003), Halliday dan Matthiessen (2001), Kress (2002). Teori ini berkembang di Inggris, tetapi perkembangannya sangat pesat terutama di Universiy of Sydney, Australia sejak Linguistics Department dibuka di universitas itu pada 1976. Sinar (2003:14) menjelaskan istilah ‘Teori Linguistik’ mempunyai dua implikasi. Implikasinya, analisis wacana harus menggunakan teori bahasa yang memiliki kerangka penelitian analisis wacana dalam konteks linguistik dengan mengikuti prinsip-prinsip teori Systemic Functional Linguistics. Kemudian, investigasi fenemona analisis wacana mengisyaratkan pemilihan pendekatan bahasa yang secara interpretatif bersifat semiotik, tematis, dan antardisiplin. Selanjutnya, Sinar (2003:15) bersepakat bahwa istilah ‘Sistemik’ berimplikasi kepada tiga hal. Ketiga hal itu mengisyaratkan bahwa analisis bahasa untuk memperhatikan hubungan sistem(ik) dalam berbagai kemungkinan pada jaringan sistem hubungan dan dapat memulai pilihan dari dari fitur umum ke spesifik, yang vertikal atau paradigmatik. Di samping itu, fenomena yang diinvestigasi melibatkan sistem-sistem makna. Sistem-sistem makna tersebut mendasari analisis bahasa, baik berada di belakangnya, di bawahnya, di atasnya, di sekelilingnya, atau di seberang fenomena yang sedang diinvestigasi. Sebaliknya, istilah ‘Fungsional’ mengimplikasikan tiga hal. Ketiga hal tersebut menekankan bahwa analisis wacana memberi perhatian pada realisasi fungsional
Universitas Sumatera Utara
sistem dalam struktur-struktur dan pola-pola yang secara struktur bersifat horizontal dan sintagmatis. Perhatian juga ditujukan pada fungsi-fungsi atau makna-makna yang ada dalam bahasa tersebut dan fungsi-fungsi atau makna-makna yang beroperasi di dalam tingkat dan dimensi bervariasi dalam bahasa yang bersangkutan. Menurut Saragih (2007:1-6), pendekatan fungsional memiliki tiga pengertian, yang saling bertaut. Pertama, pendekatan fungsional berpendapat bahwa bahasa terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, bahasa terstruktur berdasarkan tujuan penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan untuk suatu fungsi atau tujuan disebut teks (text). Oleh karena itu, teks yang digunakan untuk menceritakan peristiwa (narasi) terstuktur berbeda dengan teks yang digunakan untuk melaporkan satu peristiwa (laporan), kecenderungan tata bahasa dalam teks sejarah berbeda dengan teks fisika, dan struktur teks politik berbeda dengan teks kesastraan. Dengan pengertian fungsional yang pertama ini, teks dinterpretasikan berdasarkan konteks sosial, yakni segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata lain, konteks sosial memotivasi pengguna atau pemakai bahasa menggunakan struktur tertentu. Konteks sosial yang mempengaruhi bahasa ini dalam teori Systemic Functional Linguistics terdiri atas konteks situasi (register) dan budaya (culture) yang di dalamnya termasuk ideologi (ideology). Konteks situasi mengacu kepada kondisi dan lingkungan yang mendampingi atau sedang berlangsung ketika penggunaan bahasa berlangsung atau ketika interaksi antarpemakai bahasa terjadi. Menurut Halliday dan Hasan (1985) dalam Butt, dkk.
Universitas Sumatera Utara
(2003:4) konteks situasi terdiri atas tiga unsur, yaitu field, tenor, dan mode of discourse. Ketiga unsur tersebut mengandung arti (1) medan (field), yakni apa—what yang dibicarakan dalam interaksi, (2) pelibat (tenor), yakni siapa—who yang terkait atau terlibat dalam interaksi, dan (3) cara (mode), yakni bagaimana—how interaksi dilakukan. Lebih lanjut, Halliday (1974) dalam Saragih (2007:2) menegaskan bahwa bahasa adalah fenomena antarmanusia yang disebut sebagai interorganism, yang berbeda dengan pendapat para pakar linguistik formal, misalnya Chomsky yang berpendapat bahasa sebagai fenomena intraorganism atau hal yang terjadi di dalam diri manusia. Dengan kata lain, secara spesifik para pakar Systemic Functional Linguistics mengamati, bahwa struktur teks ditentukan oleh unsur yang ada di luar teks, yakni konteks sosial. Hubungan antara teks dan konteks sosial adalah hubungan construal, yakni saling menentukan, konteks sosial menentukan teks dan teks menentukan konteks sosial. Dengan kata lain, pada suatu saat konteks sosial terbentuk dan konteks sosial ini mempengaruhi teks. Pada saat berikutnya, teks yang wujud itu merujuk dan membentuk konteks sosialnya. Kedua, berkaitan dengan pengertian fungsional pertama, fungsi bahasa dalam kehidupan manusia mencakup tiga hal, yaitu (1) memaparkan atau menggambarkan (ideational function), (2) mempertukarkan (interpersonal function), dan (3) merangkai (textual function) pengalaman manusia. Ketiga fungsi ini disebut metafungsi bahasa (metafunction), yakni fungsi bahasa untuk penggunaan bahasa. Masing-masing fungsi direalisasikan oleh tata bahasa yang berbeda sifatnya dan tidak saling berhubungan.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, dalam perspektif Systemic Functional Linguistics, tata bahasa (lexicogrammar) merupakan teori tentang pengalaman manusia, yakni teori yang mencakupi paparan, pertukaran, dan organisasi pengalaman manusia. Dari ketiga fungsi itu, kajian ini berkaitan dengan fungsi tekstual. Akan tetapi, karena uraian mengenai pemakaian bahasa mencakup metafungsi bahasa, maka uraian tentang fungsi tekstual akan dikaitkan dengan dua fungsi yang lain secara parsial atau jika fungsi eksperiensia atau antarpersona menambah kejelasan uraian fungsi tekstual. Pengertian fungsional ketiga adalah setiap unit bahasa adalah fungsional terhadap unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan pengertian ini ditetapkan bahwa morfem adalah fungsional di dalam kata, kata adalah fungsional dalam grup atau frase, grup atau frase adalah fungsional dalam klausa, dan klausa menjadi unsur fungsional dalam klausa kompleks. Dengan pandangan ini, para pakar Systemic Functional Linguistics berpendapat bahwa dalam mengkaji satu unit linguistik, unit linguistik itu dikaji dari tiga posisi, yakni dari (1) unit yang lebih besar di atasnya yang di dalam unit di atasnya itu unit linguistik itu menjadi elemen/ konstituen, (2) unit yang lebih kecil di bawahnya yang menjadi elemen/konstituen dan membangun unit bahasa yang dikaji, dan (3) unit yang setara atau sama posisinya dengan unit kajian. Fungsi tekstual bahasa menunjukkan bagaimana pesan dalam bahasa dirangkai agar menjadi teks yang padu. Secara struktural, untuk merangkai pesan dalam klausa, dua aspek tata bahasa digunakan, yaitu Tema dan Rema. Struktur Tema di dalam klausa, menurut teori Systemic Functional Linguistics, ditentukan oleh konteks sosial.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai bagian dari konteks situasi, unsur cara berkait dengan struktur Tema. Dengan kata lain, cara berkaitan langsung atau mempengaruhi stuktur Tema dan Rema. Selanjutnya, cara sebagai bagian dari konteks situasi atau register merupakan realisasi ideologi. Sebagai unsur semiotik sosial di atas register, terdapat konteks budaya yang menjadi penentu cara. Dengan kata lain, budaya secara parsial menentukan struktur Tema dan Rema. Menurut Saragih (2007:5-6), bahasa digunakan untuk menyampaikan pesan. Dalam menyampaikan pesan secara berpola, bahasa memiliki aturan bahwa pesan yang disampaikan tersebut disusun atau dirangkai dengan baik. Dengan demikian, bahasa berfungsi untuk merangkai pengalaman yang di dalam rangkaian itu terbentuk keterkaitan, satu (unit) pengalaman (dalam experiential meaning dan interpersonal meaning) relevan dengan pengalaman yang telah dan akan disampaikan sebelum dan sesudahnya. Dengan tugasnya membentuk
kerelevanan
pengalaman
dengan
pengalaman lain agar membentuk satu kesatuan (oneness), fungsi tekstual berkaitan dengan lingkungan atau konteks satu pengalaman linguistik. Dalam satu situasi atau kesempatan, sumber daya (resources) bahasa (kata, frase, dan klausa) memiliki kemampuan yang sama untuk (pertama kali) muncul dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, menurut Saragih (2006:106), ”Semua sumber daya bahasa memiliki probabilitas yang sama untuk muncul pertama kali. Akan tetapi, pada saat satu sumber daya muncul pertama sekali, pemunculannya telah menghalangi atau mengurangi kemungkinan pemunculan sumber daya lain.”
Universitas Sumatera Utara
Contohnya, apabila penutur telah mengucapkan klausa Banjir di desa itu telah membawa korban jiwa, pemunculan klausa Ketegangan di Bangkok antara kelompok baju merah dan pemerintah meningkat tidak relevan lagi. Sebagai akibat pemunculan banjir di desa itu, klausa yang lebih relevan adalah Regu penolong dan bantuan pangan telah didatangkan. Ini berarti, pemunculan sumber daya bahasa pertama sekali memegang peran penting dalam pemunculan sumber daya yang lain. Sumber daya bahasa yang pertama disampaikan, yang disebabkan oleh pengaruh konteks pemakaian bahasa, memiliki fungsi yang berbeda bagi penutur (addresser) dan mitra tutur (addressee). Bagi penutur unsur pertama ini merupakan unsur penting. Unsur pertama inilah yang akan diuraikan dalam sumber daya berikutnya atau yang menjadi tumpuan dalam pemunculan sumber daya berikutnya. Sumber daya pertama dalam satu unit pengalaman atau klausa dalam perspektif penutur disebut Tema (Theme) dan sumber daya bahasa berikutnya setelah tema disebut Rema (Rheme). Bagi mitra tutur, unsur pertama menjadi tidak jelas atau hilang karena sudah terlalu lama terdengar dalam bahasa lisan. Sementara itu, unsur yang terakhir menjadi jelas karena terakhir disampaikan dan masih dapat disimak dalam proses penuturan. Dengan demikian, dari perspektif pendengar atau mitra tutur, unsur pertama disebut Lama (Given), sementara unsur terakhir disebut Baru (New).
2.4.1
Alasan Memilih Teori Systemic Functional Linguistics Teori Systemic Functional Linguistics adalah teori yang memandang bahwa
kajian bahasa tidak terlepas dari konteksnya. Berkaitan dengan penelitian ini, kajian
Universitas Sumatera Utara
translasi tidak lepas dari kajian terhadap teks dan konteks. Dalam hal ini, baik teks dan hasil translasi merupakan produk teks yang baru dan itu merupakan unit bahasa yang fungsional dalam konteks sosial. Artinya, teks sumber dan teks sasaran adalah unit arti atau unit semantik dan dapat direalisasikan oleh berbagai unit tata bahasa. Teori Systemic Functional Linguistics sangat potensial dengan berbagai dimensi analisis dalam teks dan wacana. Dalam dimensi bahasa, analisis dapat dilakukan terhadap tiga strata bahasa yaitu semantik, leksikogramatika, dan fonologi atau ortografi. Ketiga strata ini mempunyai pengertian bahwa suatu makna direalisasikan ke dalam tata bahasa atau disebut leksikogramatika dan akhirnya direalisasikan ke dalam bunyi bahasa ataupun tulisan. Selaras dengan penjelasan di atas, analisis juga dapat diterapkan kepada teks sumber dan teks sasaran translasi. Analisis kedua teks tersebut dapat diterapkan dari dimensi rangkaian teks (cohesion) dan dimensi koherensi yang merupakan susunan tata cara yang terjalin erat dan teratur satu sama lain. Pendekatan Systemic Functional Linguistics terhadap analisis teks juga mencakup analisis konteks. Konteks atau konteks sosial (context) selalu menyertai teks dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Halliday mengistilahkan construal yaitu adanya hubungan konstrual bahwa konteks sosial yang menentukan dan ditentukan oleh teks. Menurut Halliday (1978) dalam Saragih (2007:2), konteks sosial terbagi tiga yaitu konteks situasi (register), konteks budaya (genre), dan konteks ideologi. Konteks situasi merupakan unsur yang penting dalam bahasa karena manusia berbicara atau menulis harus disesuaikan dengan konteks situasinya.
Universitas Sumatera Utara
Kelebihan lainnya teori Systemic Functional Linguistics adalah pada analisis konteks budaya teks sebagai aktivitas sosial bertahap untuk mencapai suatu tujuan keberhasilan teks mencapai sasarannya. Teori ini memandang teks mempunyai ciri budaya yang memberi karakteristik atau fitur pada teks tersebut. Dalam suatu interaksi sosial teks, ia harus melalui suatu tahapan untuk menghasilkan tujuan yang tepat sasaran dan setiap teks membawa misi yang berbeda sehingga dengan demikian teks ini juga menghasilkan karakteristik tahapan yang berbeda-beda. Konteks budaya disebut juga dengan genre yaitu kegiatan berbahasa yang bertahap, bermatlamat sebagai aktivitas yang berorientasi pada tujuan di mana penulis/penutur melibatkan diri sebagai anggota-anggota dari budaya itu sendiri (Sinar, 2003:68). Selanjutnya, konteks teks mempunyai ideologi yang merujuk sikap, nilai yang dikontruksikan secara sosial menjadi konsep yang diyakini oleh masyarakat. Dengan demikian, bahasa yang terdiri atas unsur makna (semantik, tata bahasa (leksikogrammar) dan bunyi (fonologi) mempunyai konteks situasi budaya di atasnya. Ketiga jenis konteks ini direalisasikan oleh bahasa seperti terdapat dalam diagram berikut.
Figura 2.8: Hubungan Teks dan Konteks (Saragih, 2006:3)
Ideologi Budaya Situasi Semantik
Tata Bahasa
Fonologi
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu semua, maka peneliti akhirnya memilih teori Systemic Functional Linguistics. Hal ini dimaksudkan agar di dalam perjalanan panjang penelitian ini dapat mengeksplorasi teks dengan memahami dan mengkaji unsur-unsur yang terdapat di dalam bahasa, yaitu analisis tekstual dan di luar bahasa yaitu konteks sosial bahasa yang mencakup konteks situasi (register). Hal itu disebabkan bahasa tidak dapat dipisahkan dari konteksnya. Dengan kata lain, untuk memahami bahasa maka sebaiknya memahami konteks.
2.4.2
Berbagai Model Systemic Functional Linguistics Berbagai model Systemic Functional Linguistics telah dikembangkan oleh
Halliday di Universitas Sydney dan para pengikut teori ini. Di antaranya, model Systemic Functional Linguistics telah dirancang dan dikembangkan oleh Fawcet di Universitas Cardiff, Gregory di Universitas York, yang kemudian diterapkan oleh Young di Universitas Leuven Catholic, model Martin di Universitas Sydney, dan model Halliday yang dikembangkan oleh Matthiessen di Universitas Macquarie. Model Systemic Functional Linguistics dirancang dan dikembangkan oleh para pengikut teori ini dengan didasarkan pada hubungan bahasa dan konteksnya. Bahasa dibangun atas unsur makna yang dirangkaikan atau disusun menurut strukturnya (lexicogrammar) yang pada akhirnya direalisasikan ke dalam bunyi (fonologi) ataupun tulisan (grafologi). Halliday (1991:8) menganggap bahwa terdapat hubungan yang erat antara bahasa dan konteks sebagaimana terlihat dalam figuru berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.9: Bahasa dan Konteks (Adaptasi dari Halliday, 1991:8) sistem (potensi) konteks fungsi bahasa
instan
BUDAYA (ranah budaya)
bahasa Note:
SISTEM
SITUASI (Jenis situasi)
TEKS
kiri – kanan = instansiasi [cf. iklim cuaca] atas– bawah = realisasasi [dalam bahasa, leksikogramatika, fonologi]
Selanjutnya, Martin (1993) dalam Sinar (2008:8-9) menjelaskan dalam rancangannya bahwa bahasa berada di dalam konteks sosial. Konsekuansinya, untuk memahami bahasa harus memahami konteks sosialnya juga karena bahasa sebagai sistem semiotik merealisasikan konteks sosial sebagai sebuah sistem sosial.
Figura 2.10: Bahasa sebagai Realisasi Konteks Sosial (Adaptasi dari Martin, 1993:142)
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, Matthiessen (1993) dalam Sinar (2008:17) merancang stratifikasi bahasa dalam konteks. Ia berpendapat bahwa di dalam bahasa terdapat makna (semantik), di dalam makna terdapat leksikogrammar dan di dalam leksikogrammar terdapat fonologi. dengan demikian bahasa meliputi tiga unsur sekaligus yaitu semantik, leksikogrammar, dan semantik.
Figura 2.11: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks (Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227)
Konteks: sistem makna tingkat lebih tinggi
semantik
leksikogramatika
bahasa Isi Fonologi ekspresi
Berikut ini adalah perbandingan enam model konteks dalam kerangka teori Systemic Functional Linguistics oleh beberapa pakar.
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.12: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks (Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227; lihat juga Sinar, 2008:55)
Konteks Budaya Situasi
Halliday (1964)
Gregory (1967)
Ure & Elis (1977)
Halliday (1978)
Medan Wacana Pelibat Wacana
Medan Wacana Pelibat Wacana personal Pelibat Wacana fungsional Sarana Wacana
Medan Wacana Formalitas
Medan Wacana Pelibat Wacana
Sarana Wacana
Peran Sarana Wacana
Fawcett (1980)
Martin (1992) Genre Pokok Medan Persoalan Wacana Tujuan Pelibat Hubungan Wacana Tujuan pragmatik
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Berdasarkan perbandingan di atas dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan konteks situasi. Halliday membagi konteks situasi menjadi tiga, yaitu medan wacana, pelibat wacana dan sarana wacana. Sedangkan Martin menggunakan genre sebagai rujukan untuk konteks budaya. Berbeda dengan Halliday dan Martin, Gregory membagi pelibat wacana menjadi dua bagian pelibat wacana personal dan fungsional, sedangkan Ure dan Elis membagi pelibat wacana ke dalam dua bagian formalitas dan peran. Fawcet membagi pelibat wacana berdasarkan tujuan hubungan dan pragmatik.
2.4.3
Kerangka Konsep Systemic Functional Linguistics Di dalam konsep Systemic Functional Linguistics dijelaskan bahwa (1) bahasa
merupakan sistem semiotik dan (2) bahasa juga bersifat fungsional (3) bahasa berfungsi untuk membuat makna dan bahasa mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi memaparkan
pengalaman
yang
disebut
dengan
fungsi
ideasional,
fungsi
Universitas Sumatera Utara
mempertukarkan pengalaman atau fungsi antarpersona dan fungsi merangkaikan pengalaman atau fungsi tekstual, dan (4) bahasa bersifat kontekstual.
2.4.3.1 Bahasa adalah Sistem Semiotik Sosial Systemic Functional Linguistics berbeda dengan aliran linguistik lain karena berdasarkan teori ini, bahasa dipandang sebagai fenomena sosial yang wujudnya sebagai semiotik sosial. Konsep semiotik pada mulanya berasal dari konsep tanda yang berhubungan dengan istilah ‘semainon’ (penanda). Oleh karena itu, Fawcett (1984:xiii) mengatakan bahwa semiotik merupakan kajian tentang sistem tanda dan penggunaannya. Dengan demikian, semiotik bukan sebagai kajian tentang tanda melainkan sebagai kajian tentang sistem tanda. Dengan kata lain, semiotik sebagai suatu kajian tentang ‘makna’ yang paling umum. Sejalan dengan pengertian semiotik di atas, kajian makna suatu bahasa harus ditempatkan pada konteks sosial. Hal ini membawa implikasi bahasa bertautan dengan makna dalam budaya. Sudah pasti dalam budaya mana pun banyak cara yang berkenaan dengan makna yang berada di luar bidang bahasa. Cara-cara tersebut meliputi baik bentuk-bentuk seni seperti lukisan, ukiran bunyi-bunyian, tarian, dan lainnya, maupun bentuk-bentuk tingkah laku budaya lainnya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup seni, misalnya ragam pertukaran, pakaian, susunan keluarga dan seterusnya. Ini semua pembawa makna dalam budaya. Pada hakikatnya, dalam konteks ini budaya didefinisikan sebagai seperangkat sistem semiotik, sistem makna yang semuanya saling berhubungan. Pengertian umum tentang semiotik ini tidak dapat
Universitas Sumatera Utara
dijelaskan melalui konsep tanda sebagai suatu kesatuan lahiriah, tetapi semiotik sebagai sistem-sistem makna, yang dapat dipandang sebagai tatanan yang bekerja melalui semacam bentuk luar keluaran (output) yang disebut tanda, tetapi tatanantatanan itu sendiri bukan perangkat benda tersendiri, melainkan merupakan jaringanjaringan hubungan. Dalam arti inilah istilah ‘semiotik’ digunakan untuk melihat bahasa, yaitu bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia. Istilah sosial dalam konteks bahasa adalah sistem semiotik sosial bersinonim dengan kebudayaan. Menurut Sinar (2008:21), “Konsep semiotik sosial adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti ini dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan lingkungan arti tersebut.” Jadi, semiotik sosial yang dimaksudkan adalah batasan sistem sosial atau kebudayaan sebagai suatu sistem makna. Istilah ‘sosial’ juga digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan bahasa dengan struktur sosial, dengan memandang struktur sosial sebagai satu segi dari sistem sosial. Jadi dalam pengertian ini, bahasa dijelaskan dengan menggunakan pandangan sosial karena dimensi sosial sangatlah signifikan dan yang selama ini paling diabaikan dalam pembahasan-pembahasan bahasa dalam pendidikan. Bahasa dipandang dari perspektif pendidikan suatu proses sosial. Lingkungan tempat belajar itu berlangsung dalam suatu lembaga sosial, seperti ruangan kelas atau sekolah dengan struktur sosialnya yang digariskan dengan lebih jelas atau yang lebih abstrak, menyangkut sistem sekolah atau jalannya kependidikan. Ilmu pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
disampaikan dalam konteks sosial melalui hubungan-hubungan seperti orang tua dengan anak, guru dengan murid atau antarteman sekelas yang digariskan dalam tata nilai dan ideologi kebudayaan yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, menurut Halliday (1975) dalam Sinar (2008:20-21), belajar bahasa adalah belajar memaknai yang mempunyai konsekuensi pada proses belajar mengajar. Dengan demikian, seseorang dalam aksinya belajar berbahasa sekaligus mempelajari budaya melalui bahasa yang dipelajari dalam sistem sosial kehidupannya.
2.4.3.2 Bahasa adalah Fungsional Halliday dan Hasan (1985:10) mendefinisikan teks sebagai bahasa yang fungsional. Fungsional diartikan sebagai bahasa yang melakukan perkerjaan yang sama dalam suatu konteks. Di dalam konteks ini, bahasa yang fungsional bukan katakata atau kalimat yang terisolir yang mungkin dituliskan seseorang di atas papan tulis. Dengan demikian, hakekat teks adalah sebagai entitas semantik, sehingga sebuah teks harus dipertimbangkan dari dua perspektif sekaligus, baik sebuah produk maupun sebagai sebuah proses. Menurut Saragih (2006:3) terdapat tiga pengertian dalam konsep fungsional di dalam konteks sosial. (1) Bahasa terstruktur sesuai dengan kebutuhan manusia akan bahasa. (2) Bahasa berfungsi untuk memaparkan, mempertukarkan dan merangkai pengalaman. Ketiga fungsi ini disebut dengan metafungsi bahasa.
Universitas Sumatera Utara
(3) Satu unit bahasa fungsional terhadap unit lain yang lebih besar. Artinya satu unit bahasa dapat menjadi unit bahasa yang lebih besar misalnya kata, frase dan klausa. Bahasa dalam analisis wacana dengan pendekatan linguistik fungsional sistemik mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi memaparkan, mempertukarkan dan merangkai pengalaman.
2.4.3.3 Fungsi Bahasa Membuat Makna Bahasa berfungsi membuat makna. Hal ini dapat dibuktikan ketika manusia mengekspresikan keperluan-keperluan mereka melalui bahasa, mereka membuat makna dalam teks. Halliday (1975) dalam Sinar (2008:20) berpendapat bahwa belajar bahasa adalah belajar memaknai yang mempunyai konsekuensi pada proses belajarmengajar. Di dalam hal ini, Halliday (1975:37) memandang pembelajaran bahasa sebagai belajar memaknai atau mempelajari cara membuat makna. Dengan demikian, teori Systemic Functional Linguisticsi mempunyai kekuatan pada nilai pendidikan linguistik. Fokus Systemic Functional Linguistics terhadap bahasa sebagai institusi sosial memberi makna khusus teks dan konteks. Hal ini memunculkan pandangan bahwa bahasa adalah sebuah sistem atau sistem pilihan yang relevan dengan pendidikan linguistik. Bagi praktisi pendidikan merupakan sesuatu yang penting untuk memahami perspektif bahwa seseorang belajar dalam proses sosial dan potensinya sangat erat hubungannya dengan bagaimana seorang anak membuat makna dengan menggunakan bahasa. Di dalam fungsi bahasa ini, seorang anak dalam aksinya belajar berbahasa, ia
Universitas Sumatera Utara
sekaligus mempelajari budaya melalui bahasa yang dipelajarinya. Sistem semiotik yang dikonstruksikan oleh anak tersebut menjadi sarana utama bagi transmisi budaya.
2.4.3.4 Bahasa adalah Kontekstual Secara historis, bahasa terikat dengan penutur dan situasi penuturannya. Situasi penggunaan bahasa seperti ini bersifat kontekstual, sehingga pemahaman makna bahasa tersebut terikat pada konteks pemakaiannya (Sinar, 2008:23). Konsep konteks ini merujuk pada hubungan linguistik dengan konteks budaya yang disebabkan oleh ketergantungan makna linguistik terhadap konteks budaya. Hal ini disebabkan bahasa merupakan ungkapan ekspresi seseorang dalam merespon kondisi sosial budayanya, sehingga makna dari setiap kata dalam tingkat tertentu sangat tergantung pada konteks pembicaraan seseorang. Halliday dan Hasan (1985) dalam Saragih (2006:4) bahasa adalah kontekstual karena pemahaman tentang bahasa terletak dalam kajian teks. Ada teks dan ada teks lain yang menyertainya: teks yang menyertai teks itu disebut konteks. Namun, pengertian mengenai hal yang menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan atau ditulis, tetapi juga meliputi kejadian-kejadian yang nonverbal lainnya pada keseluruhan lingkungan teks itu. Bahkan, menurut Saragih (2006:4), “Dengan pengertian konstrual ini, dalam satu konteks sosial tertentu hanya teks tertentu yang dihasilkan. Sebaliknya, dengan teks tertentu hanya konteks sosial tertentu pula yang (dapat) dirujuk.”
Universitas Sumatera Utara
Dalam teori Systemic Functional Linguistics, konteks terbagi atas konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks linguistik merujuk pada bahasa itu sendiri sedangkan kontek sosial terbagi atas tiga yaitu (1) konteks situasi yang mencakup ‘field’, ‘tenor’ dan ‘mode’, (2) konteks budaya, dan (3) konteks ideologi. Konteks situasi diperlukan untuk memahami jenis teks. Konteks situasi yaitu konteks yang memiliki teks yang mengungkap dan mewakili lingkungan tempat makna itu dipertukarkan. Konteks situasi dijabarkan oleh Halliday dan Hasan (1985) dalam Sinar (2008:56-59) melalui tiga cirinya, yaitu (1) Medan Wacana (Field of Discourse), (2) Pelibat Wacana (Tenor of Discourse), dan (3) Sarana Wacana (Mode of Discourse). Ketiga ciri tersebut dijelaskan oleh Halliday dan Hasan (1985) dalam Choliludin (2007:10-13) berikut ini. (1) Field of discourse adalah istilah abstrak bagi pernyataan ‘apa yang sedang terjadi’ yang mengacu pada pilihan substansi linguistik si pembicara. Pilihan linguistik yang berbeda dibuat oleh pembicara yang berbeda tergantung pada jenis tindakannya, selain tindakan berbicara langsung yang mereka pandang sendiri saat ikut andil di dalamnya. Misalnya, pilihan linguistik akan beragam menurut andil pembicara masing-masing, apakah ikut dalam pertandingan sepak bola, berpidato politik, melakukan operasi atau membahas tentang obatobatan. (2) Tenor of discourse adalah istilah abstrak untuk hubungan antara orang-orang yang ikut andil dalam berbicara.bahasa yang digunakan orang beragam tergantung pada jenis hubungannya, seperti hubungan interpersonal antara ibu dan anak, dokter dan pasien, atau derajat orang atas dan yang rendah seorang pasien tidak akan memakai kata sumpah serapah untuk menyebut seorang dokter di hadapannya dan seorang ibu tidak akan memulai permintaan kepada anaknya dengan mengatakan, “Maaf apakah bisa kalau kamu...” menerjemahkan tenor of discourse secara benar dalam translasi bisa cukup menyulitkan. Hal ini tergantung pada apakah seseorang itu memandang tingkat formalitas teretntu sebagai hal yang ‘benar’ dari sudut pandang budaya bahasa sumber atau dari sudut pandang budaya bahasa sasaran. Misalnya, seorang remaja Amerika boleh menggunakan tenor yang sangat
Universitas Sumatera Utara
informal dengan dengan orang tuanya dengan menggunakan nama depan dan bukan dengan panggilan ibu atau ayah. Tingkat formalitas ini akan sangat tidak bisa diterima oleh kebanyakan kebudayaan lain. Seorang penerjemah harus memilih antara mengganti tenornya untuk disesuaikan dengan budaya pembaca sasaran atau tetap seperti aslinya, yaitu mentransfer tenor informalnya untuk memberikan kesan jenis hubungan yang biasa dilakukan oleh para remaja dengan orang tuanya di masyarakat Amerika. Apa yang dipilih penerjemah pada situasi teretntu tentunya akan bergantung pada apa yang dia lihat sebagai tujuan penerjemahan secara menyeluruh. (3) Mode of discourse mengacu pada jenis peran yang dimainkan bahasa (bicara/pidato, esai, kuliah, instruksi), yaitu jenis peran yang diharapkan partispian terhadap bahasa dalam suatu situasi: organisasi teks yang simbolik, status yang dimiliki dan fungsinya dalam konteks termasuk alat penghubung (lisan/tulisan atau gabungan dari keduanya), dan juga mode retorika, apa yang sedang dicapai oleh teks dalam kondisi kategori berikut ini yaitu persuasif, paparan, didaktis, dan hal senada. Misalnya, seperti ‘re’ adalah kata yang diterima dalam bahasa surat bisnis tetapi sangat jarang digunakan dalam bahasa lisan.
2.4.4
Metafungsi Bahasa Makna metafungsional adalah makna yang secara simultan terbangun dari tiga
fungsi bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi ideasional mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan dengan interpretasi dan representasi pengalaman. Fungsi interpersonal mengungkapkan realitas sosial dan berkenaan dengan interaksi antara penutur/penulis dengan pendengar/pembaca. Sementara itu, fungsi tekstual mengungkapkan realitas semiotis dan berkenaan dengan cara penciptaan teks dalam konteks (Matthiessen, 1995:6; Halliday & Martin, 1993:29; Halliday & Matthiessen, 1999:7-8). Berdasarkan penjelasan di atas, makna metafungsional melingkupi tiga jenis makna, dan realisasinya di dalam teks dapat dilihat dari unsur-unsur leksikogramatika (lexicogrammar), yaitu cara kata-kata disusun beserta segala akibat maknanya dalam
Universitas Sumatera Utara
membentuk registernya. Sebagai salah satu wilayah makna metafungsional, makna tekstual tercipta dari gabungan antara fungsi ideasional dan fungsi interpersonal. Makna tekstual adalah makna sebagai hasil dari realisasi unsur-unsur leksikogramatika yang menjadi media terwujudnya sebuah teks, tertulis atau lisan, yang runtut dan yang sesuai dengan situasi tertentu pada saat bahasa itu dipakai dengan struktur yang bersifat periodik (Martin, 1992:10,13,21). Pada tataran kelompok kata dan klausa, makna tekstual diungkapkan dengan tematisasi, hubungan makna secara repetisi, sinonimi, antonimi, hiponimi, kohiponimi, meronimi, dan komeronimi untuk mengungkapkan kohesi leksikal. Pada tataran wacana, makna tekstual diungkapkan dengan rajutan leksikal, jalinan referensi, akumulasi penataan Tema-Rema pada tingkat klausa, Hiper-tema/Hiper-rema pada paragraf, dan struktur teks. Makna tekstual pada tingkat wacana sesungguhnya adalah persoalan bagaimana sebuah teks itu ditata dan dimediakan sehingga tercipta sebagaimana wujudnya. Dalam hal tematisasi pada tataran klausa, Tema yang paling dominan pada teks-teks tersebut adalah Tema Topikal Tak Bermarkah, disusul Tema Tekstual dan Tema Topikal Bermarkah yang kesemuanya mengungkapkan kekohesifan yang cukup tinggi pada tataran klausa. Pada tataran wacana, tematisasi direalisasikan oleh pola pengembangan topik (dalam hubungan Tema Rema dan Hiper-tema Hiper-rema). Dalam hal rajutan leksikal, terbukti bahwa rajutan leksikal merealisasikan makna tekstual melalui berbagai variasi hubungan makna (yang meliputi repetisi, sinonimi, antonimi, hiponimi, kohiponimi, meronimi, dan komeronimi). Hubungan
Universitas Sumatera Utara
tersebut menunjukkan tidak saja cakupan pokok persoalan yang disajikan secara ideasional tetapi juga kerekatan di antara leksis-leksis tersebut secara tekstual. Kerekatan leksis dalam berbagai variasi hubungan semantis tersebut menunjukkan bahwa teks-teks tersebut memiliki derajat kohesi leksikal yang cukup tinggi pada tataran wacana. Di dalam hal jalinan referensi, terbukti bahwa jalinan referensi berfungsi untuk mengidentifikasi partisipan yang ada di dalam teks menurut sistem pengacuan. Secara tekstual, pengacuan pada jalinan referensi dapat mencerminkan derajat kekohesifan teks. Sebagian besar partisipan pada teks-teks tersebut adalah partisipan benda umum, bukan partisipan benda manusia. Selain itu, benda yang disebut sesudahnya bukan selalu merupakan benda yang disebut sebelumnya. Hal ini menunjukkan makna bahwa benda-benda yang dimaksud adalah benda-benda yang memenuhi konsep generalitas, yaitu benda-benda yang sudah diabstrakkan untuk menyatakan generalisasi, bukan benda-benda yang secara eksperiensial berada di sekitar manusia. Secara tekstual, cara pengacuan di atas lebih berorientasi kepada makna tekstual pada tataran wacana.
2.4.4.1 Fungsi Ideasional 2.4.4.1.1 Fungsi Eksperensial Di dalam fungsi eksperensial, bahasa terdiri dari enam proses yaitu proses material, verbal, mental, relasional, perilaku, dan wujud. Setiap proses didampingi oleh partisipan yang direalisasi oleh nomina atau grup nomina. (Sinar, 2008:31-37; dan lihat juga, Saragih, 2006:28-41).
Universitas Sumatera Utara
(1) Proses material adalah proses yang melibatkan kegiatan fisik, seperti mendorong, mengangkat dan berlari. Proses material didampingi oleh dua partisipan utama yaitu aktor dan gol. Partisipan lain yang dapat mendampingi proses material adalah jangkauan dan penerima. Contohnya: Pemerintah Aktor
membangun Proses Material
gedung sekolah ini. Gol
(2) Proses verbal berada di antara proses mental dan realsional dan proses ini melibatkan informasi misalnya berkata, bertanya, menyapa. Partisipan dalam proses verbal adalah penyampai, pesan, target, dan penerima. Contohnya: Turis itu Penyampai
bertanya kepada saya suatu alamat proses verbal penerima target
(3) Proses mental adalah proses yang berkaitan dengan indera, kognisi, emosi dan persepsi misalnya melihat, mencintai, dan berpikir. Partisipan dalam proses mental adalah pengindera dan fenomenon. Contohnya: Para ilmuwan tersebut mengamati kelinci percobaan tersebut Pengidera proses mental fenomenon (4) Proses relasional adalah proses hubungan antarunit bahasa yang terbagi atas hubungan intensif, hubungan sirkumstan, dan hubungan posesif. Ketiga hubungan ini dibagi atas mode intensif (posisi kedua entitas dapat saling dipertukarkan) dan atribut (posisi kedua entitas tidak dapat saling dipertukarkan). Partisipan dalam proses relasional terdiri atas bentuk, nilai, penyandang, dan atribut. Hubungan intensif menunjukkan hubungan satu entitas dengan entitas yang lain, seperti: ayahnya (adalah) Penyandang proses relasional
seorang dokter atribut
Universitas Sumatera Utara
Hubungan sirkumstan menunjukkan hubungan satu entitas dengan lingkungan yang terdiri atas lokasi (waktu, tempat, urut), sifat, peran atau fungsi, penyerta dan sudut pandang, seperti: Ulang tahunnya (adalah) Penanda proses relasional
tanggal 15 Februari nilai (sirkumstan: waktu)
Hubungan posesif menunjukkan kepunyaan, misalnya: Tanah itu (adalah) Milik proses relasional
milik kami pemilik
(5) Proses perilaku (behavioural) merupakan aktivitas atau kegiatan fisiologis yang menyatakan tingkah laku fisik manusia. Secara semantik, proses tingkah laku terletak di antara proses material dan mental. Partisipan dalam proses ini adalah petingkah laku. Proses ini ditandai dengan verba bernafas, batuk, pingsan, tidur, tertawa, dan sebagainya. Contohnya: Anak itu Petingkah laku
telah tidur proses tingkah laku
dengan nyenyak sirkumstan
(6) Proses wujud (eksistensial) menunjukkan keberadaan satu entitas. Secara semantik proses wujud berada di antara proses material dan relasional. Partisipan dalam proses wujud (eksistensial) ini adalah maujud (eksisten) Proses ini ditandai oleh verba ada, berada, muncul, terjadi, bertahan, tumbuh, dan tersebar. Contohnya: Ada Proses wujud
banyak nasabah maujud
di bank itu. sirkumstan
2.4.4.1.2 Fungsi Logika Selain fungsi eksperensial, juga terdapat fungsi logika di dalam fungsi ideasional. Fungsi logika yang dimaksudkan di sini yaitu bahwa bahasa memiliki satu
Universitas Sumatera Utara
atau lebih dari satu klausa yang disusun berdasarkan hubungan logis berdasarkan posisi antarklausa dan makna antarklausa. Posisi antarklausa mengacu pada status satu klausa dengan klausa lainnya yang disebut taksis. Sedangkan makna antarklausa menunjukkan arti atau fungsi satu klausa dengan klausa yang mendahuluinya yang dimaksud dengan hubungan logis semantik. Taksis terbagi atas parataksis (hubungan klausa yang setara ditandai dengan angka 1,2,3.....n) dan hipotaksis (hubungan klausa yang tidak setara yang ditandai dengan α, β, χ, δ ). Hubungan logis semantik menunjukkan makna yang timbul antar klausa dan dibagi dua yaitu ekspansi dan proyeksi. Ekspansi menunjukkan bahwa klausa kedua memperluas makna klausa pertama dengan tiga cara yaitu elaborasi, ekstensi, dan ganda sedangkan proyeksi merupakan representasi kembali pengalaman linguistik ke pengalaman linguistik lain. Dari tabel berikut ini dapat diketahui bahwa parataksis menunjukkan kesetaraan hubungan dua klausa. Sebaliknya, hipotaksis menunjukkan ketidaksetaraan hubungan dua klausa. Elaborasi menunjukkan makna klausa pertama sejajar/setara dengan makna klausa kedua. Ekstensi berarti makna klausa kedua menambah makna yang ada pada klausa pertama. Ganda berarti makna klausa kedua melipatgandakan makna yang ada pada klausa pertama. Proyeksi lokusi menunjukkan proyeksi kata sedangkan proyeksi ide menunjukkan proyeksi makna.
Figura 2.13: Hubungan Logis dan Taksis (Adaptasi dari Halliday, 1994:216-220) Hubungan Logis
Taksis
Universitas Sumatera Utara
Semantik Ekspansi
Parataksis
Elaborasi (=)
Ekstensi (+)
Anak itu buta; dia tidak Anak
Proyeksi
Lokusi
Ide
(x)
(“)
(‘ )
itu
buta,
yang
bisa melihat apa-apa.
sangat menyusahkan kami
1=2
α= β
Ayahnya Medan
Ganda
Hipotaksis
bekerja dan
di Ayahnya
bekerja
di
ibunya Medan sedangkan ibunya
bekerja di Surabaya
bekerja di Surabaya
1+2
α+β
Dia sedang marah dan Dia karena itu dia pergi
marah
1x 2
αxβ
pergi
karena
dia
Dia berkata, “aku akan Dia mengatakan bahwa pergi.”
dia akan pergi
1”2
α”β
He
thought,
“I’ll
go Dia berpendapat dia harus
now.”
pergi
1’2
α’β
2.4.4.2 Fungsi Antarpersona Setelah dijelaskan fungsi memaparkan (fungsi ideasional) yang mencakup fungsi eksperensial dan logika, maka berikut ini dijelaskan fungsi kedua bahasa yaitu memaparkan pengalaman atau disebut fungsi antarpersona. Fungsi antarpersona adalah fungsi bahasa yang mampu mempertukarkan pengalaman dalam interaksi sosial. Fungsi antarpersona merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik. Dengan kemampuan berinteraksi sosial, maka manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam melakukan suatu aksi maka dari segi
Universitas Sumatera Utara
semantik, aksi terbagi dalam empat aksi dasar yang disebut dengan protoaksi yaitu pernyataan (memberi informasi), pertanyaan (meminta informasi), tawaran (memberi barang dan jasa), dan perintah (meminta barang dan jasa). Keempat aksi dasar atau protoaksi tersebut kemudian direalisasikan ke dalam tingkat tata bahasa yang disebut modus. Aksi pernyataan biasanya direalisasikan ke dalam modus deklaratif. Aksi pertanyaan biasanya direalisasikan oleh modus interogatif dan aksi perintah direalisasikan oleh modus imperatif. Namun, aksi tawaran tidak mempunyai modus karena tidak mempunyai modus yang Bermarkah sebagai realisasinya. Dengan demikian, tawaran dapat direalisasikan oleh salah satu dari ketiga modus. Modus itu dibangun oleh lima unsur yaitu subjek, finit, predikator, komplemen, dan adjunct.
Figura 2.14: Posisi Subjek, Finit, Predikator, Komplemen, dan Adjuct dalam Teks Kami
akan
mengadakan
Rapat
besok pagi
Subjek
Finit
Predikator
Komplemen
Adjunct
Mood
Residue
2.4.4.3 Fungsi Tekstual Fungsi ketiga dari bahasa adalah merangkai pengalaman yang disebut dengan fungsi tekstual. Fungsi tekstual bahasa adalah sebuah interpretasi bahasa dalam fungsinya sebagai pesan. Hal ini diinterpretasikan sebagai sebuah fungsi intrinsik
Universitas Sumatera Utara
kepada bahasa itu sendiri, dalam arti bahwa bahasa berkaitan dnegan aspek situasional dimana bahasa atau teks terdapat di dalamnya. Dengan kata lain, fungsi titik temu membuat bahasa atau teks relevan secara internal ke dalam bahasa itu sendiri demikian juga secara eksternal kepada konteks atau situasi di mana bahasa itu digunakan. Fungsi ini memberi kemampuan kepada seseorang untuk membedakan sebuah teks sebagai bahasa yang termotivasi secara fungsional dan kontekstual dan pada sisi yang lain dari yang bukan teks sebagai bahasa terpisah dari yang lain.
2.5
Teks Translasi Teks sebagai sarana untuk menyatakan suatu makna, gagasan, ide, pikiran
dalam bentuk bahasa yang tersusun atas kata, frase sampai pada klausa dan paragraf perlu mendapat perhatian bagaimana makna teks tersebut dapat diekspresikan melalui struktur atau tata bahasa sampai akhirnya dapat didengar atau dibaca orang lain. Pengekspresian makna dari satu bahasa tentulah tidak sama cara atau srukturnya dengan bahasa lain. Perbedaan struktur bahasa ini tidak hanya berkaitan dengan masalah linguistik namun juga non linguistik seperti masalah budaya. Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan teks maka di bawah ini dibahas pengertian teks.
2.5.1
Pengertian Teks Saragih (2002) memberikan pengertian teks sebagai unit bahasa tertulis yang
diawali dengan huruf besar dan diakhiri dengan tanda baca. Kridalaksana (2001)
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan teks adalah (1) satuan bahasa terlengkap yang bersifat abstrak; (2) deretan, kata, kalimat, dsb.; (3) bentuk bahasa tertulis, naskah. Halliday dan Hassan (1976:1) menyatakan bahwa: A text is a unit of language in use. It is not a grammatical unit, like a clause or sentences; and it is not defined by its size. A text is sometimes envisaged to be some kond of super-sentence, a grammatical unit that is larger than a sentence but it is related to a sentence in the same way that a is relateed to a clause, a clause to a group and so on. Sebuah teks adalah terdiri dari unit-unit bahasa dalam penggunannya. Unit-unit bahasa tersebut adalah merupakan unit gramatikal seperti klausa atau kalimat namun tidak pula didefenisikan berdasarkan ukuran panjang kalimatnya. Teks terkadang pula digambarkan sebagai sejenis kalimat yang super yaitu sebuah unit grammatikal yang lebih panjang daripada sebuah kalimat yang saling berhubungan satu sama lain. Jadi sebuah teks terdiri dari beberapa kalimat sehingga hal itulah yang membedakannya dengan pengertian kalimat tunggal. Selain itu, sebuah teks dianggap sebagai unit semantik yaitu unit bahasa yang berhubungan dengan klausa yaitu satuan bahasa yang terdiri atas subyek dan predikat dan apabila diberi intonasi final akan menjadi sebuah kalimat. Singkatnya, sebuah teks adalah sesuatu yang dihasilkan secara lisan atau tulisan yang mempunyai makna. Sebuah rangkaian kata tidak menghasilkan teks. Teks lebih dari itu. Sebuah teks bisa panjang atau pendek tapi teks diciptakan atau dihasilkan untuk membuat makna. Berdasarkan definisi tersebut, apakah isi tabel di bawah ini adalah –Teks A, B, dan C?
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.15: Perbandingan Teks Berdasarkan Ukuran Panjang Kalimat A Ouch
B
C
Cow mouse sweet It was in the middle of June when they first started house were sea anger to work on the house. It is now late November and the house still looks like it did before. Nothing seems to have progressed.
Teks ‘A’ bisa menjadi sebuah teks atau bisa juga hanya serangkaian huruf. Teks A dapat dimaksudkan untuk membawa makna - bunyi atau ekspresi rasa sakit bagi sebagian orang. Teks A bisa juga menjadi kata “Touch” dengan alfabet ‘T’ yang hilang dan karena itu sekarang tak bermakna atau hanya huruf yang tertera tanpa makna yang dimaksudkan. Pendapat yang sama juga terhadap teks B dan C. Selanjutnya, untuk memberikan makna, sebuah teks dihasilkan untuk melakukan fungsi tertentu. Ide teks ini sejalan dengan Teori Fungsional Bahasa yang diajukan oleh Halliday dan Buhler. Apakah kita menulis untuk fungsi atau alasan tertentu? Kita menulis untuk menuangkan pikiran kita di atas kertas, untuk menyatakan kepada orang lain tentang norma-norma dan aturan-aturan, untuk mengajar orang lain suatu perihal tertentu, untuk mengeksplorasi berita tertentu, untuk mengekspresikan perasaan, untuk menyatakan kesulitan-kesulitan kita dan membuat kreativitas kita mengalir dan untuk tujuan-tujuan lainnya. Kita menulis ketika kita tidak cukup mampu mengutarakannya secara lisan. Terkadang, kita menulis dengan beberapa tujuan. Misalnya, kita bisa menulis untuk mempromosikan sebuah produk yang kita inginkan pelanggan beli dan mengkonsumsinya. Pada saat yang sama, kita memberikan mereka informasi sehingga mereka dapat membuat pilihan yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
Sebuah contoh iklan minuman kesehatan menampilkan gambar segelas minuman jus berwarna yang bagus dan bersama dengan tulisan tentang manfaat apa yang dapat diberikan minuman tersebut kepada pelanggan yang meminumnya. Pada teks yang sama, penghasil minuman tersebut bisa memasukkan komposisi minuman dan tulisan tentang kebaikan komposisinya. Penulis teks berusaha membujuk pembaca untuk membeli minuman itu dan terakhir, penghasil minuman memberikan informasi, walaupun informasi itu bisa membantu untuk membujuk para pembaca. Sebuah
buku
teks
sains
yang
ditulis
untuk
mengajarkan
atau
menginformasikan pembaca tentang suatu ilmu pengetahuan bisa berisi ilustrasi visual yang “cerah” dengan tulisan di bawah gambar sebagai tambahan charts, grafik dan diagram. Apakah kartun tersebut menampilkan hal yang lucu dan tidak serius? Penulis dan penerbit bisa menyatukan tayangan visual tersebut untuk membujuk pembaca sehingga merasa mudah memahami ilmu pengetahuan atau untuk menunjukkan ilmu pengetahuan tidak berarti membosankan (Mahanji dan Moidjie, 2006).
2.5.2
Pengorganisasian Teks Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa teks adalah unit semantik yang
mempunyai makna. Pada umumnya, konstruksi makna dalam teks diakibatkan oleh dua level: Struktur Makro dan Mikro. Bagaimana penulis teks merangkaikan kata-kata dan visual dan menyatakan ide, pesan, informasi, emosi dan lain-lain direfleksikan dalam teks. Dengan kata lan ada banyak komponen yang membantu memberikan makna kepada teks; sebagian komponen tidak beraturan dan sebagian lagi sifatnya
Universitas Sumatera Utara
lebih beraturan. Di sini dijelaskan makna apa yang dimasukkan ke dalam teks pada tiap-tiap dua level Struktur Makro dan Mikro. Struktur Makro teks menggunakan susunan ideasional dan format. Struktur Makro dapat dilihat dengan menjawab pertanyaan, “Bagaimana penulis teks menyusun idenya?” Sebaliknya, Struktur Mikro menggunakan struktur gramatikal dan kalimat dalam uraiannya. Struktur Mikro dapat dilihat dengan menjawab pertanyaan “jenis struktur kalimat, gramatikal dan kata apa yang digunakan penulis?’.
2.5.2.1 Struktur Makro Teks Struktur Makro Teks dapat dianalisis dengan cara pertama dengan memahami susunan ideasionalnya. Ketika tahap ini telah dilakukan maka akan dianalisis format dalam teks dan implikasinya terhadap penerjemahan. Dari perspektif ideasional, teks apapun disusun secara deduktif atau induktif. Jika teks disusun secara deduktif, urutannya bergerak dari umum ke khusus, misalnya teks berikut ini. Many countries have become aware that tourism is the best resource for boosting economy and employment. Economist find it an excellent and easy means to assure the welfare and wellbeing for a country population; it allows tourist in general and the rich in particular to come in the country and spend their money in return for piece of mind, happiness, fun, amenity, healthy environment, good service or safe exploration. It has become an important resource for developed countries such as United State of America, United Kingdom, France, Spain, etc.; and developing countries like China, Egypt, Thailand, Malaysia, etc. Paragraf di atas memberikan pembaca ide utama tentang keseluruhan teks yakni ide utama seluruh peristiwa dinyatakan di awal; dan yang mengikuti setelahnya
Universitas Sumatera Utara
adalah rincian penjelas yang menjelaskan lebih khusus dan rinci ide utama. Inilah yang disebut dengan susunan deduktif. Penulis bisa berpindah dari ide umum penjelasan dan ilustrasi melalui penambahan, kontras, contoh, dan lain-lain. Cara lain menulis teks yakni memulainya dengan penjelasan khusus dan kemudian bergeser ke penjelasan umum. Inilah yang dimaksudkan dengan susunan teks yang induktif dimana penulis memberikan penjelasan khusus tentang observasi yang menuntun pada penjelasan umum, misalnya teks induktif berikut ini. Zainul had a dream to become a gynaecologist or pilot from childhood. Although he did well in schools in science and mathematics in the secondary certificate exam, he was offered a scholarship to study asian studies in University of Paris. Poor that his family was, he was compelled to accept the offer. Now he has graduated and become a brilliant lecturer in University of Malaya. Therefore, he understands that life is not what you want to be, it is what it is. Teks ini dimulai dengan penjelasan khusus tapi berakhir dengan penjalasan umum atau ide utama. Apakah teks bergerak dari penjelasan umum ke khusus atau dari penjelasan khusus ke umum akan tergantung pada penulis dan maksud mereka. Ada beberapa cara menulis yang diterima oleh kelompok-kelompok tertentu (kelompok yang dikategorikan menurut daerah geografis, suku bangsa, profesi, suai dan sebagainya). Terdapat norma-norma tertentu bagi kelompok tertentu. “Budaya’ tiap-tiap kelompok masyarakat bisa menjadi faktor penentu bagaimana tiap-tiap kelompok mengutarakan ide dan pikiran mereka. Anggota-anggota kelompok tertentu mengutarakan maksud mereka dengan cara yang sama baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Universitas Sumatera Utara
Cara berbahasa yang sama baik dalam bentuk lisan maupun tulisan dapat dibuktikan dengan mengamati masyarakat Melayu, dan cara berfikir mereka dan cara mereka berbahasa. Misalnya penutur Melayu dari Penang mengenali contoh komunikasi berikut ini. Ketika Mengunjungi Rumah Melayu di Penang Tuan Rumah : Dudok sat nah. Nak buat kopi. (Duduklah sebentar. Mau membuat kopi) Tamu
: Tak payahlah susah-susah. Dah minum dah tadi.
Tuan Rumah : Tak pa. Bukan ada apa-apa, air kosong saja. Tamu
: (Diam)
Ketika tuan rumah kembali dengan kopi, percakapan berlanjut dengan perlahan, dimulai dengan tamu mengutarakan maksudnya, seringkali dengan cara berbasa-basi (tidak langsung ke maksud utama). Tamu bisa memulai pembicaraan dengan pertanyaan tentang keluarga, cuaca, lingkungan/tetangga, pekerjaan, dan lainlain. Komunikasi fatis ini bisa memakan waktu sebentar sebelum tamu mengutarakan maksudnya-untuk meminjam sesuatu, atau meminta rekomendasi pekerjaan atau meminjam mobil tuan rumah atau hanya sekedar berkunjung. Contoh di atas bertujuan untuk menunjukkan budaya orang Melayu (secara umum), melihat mereka menghindari “bahasa yang kasar”. Tergantung pada hubungan kedekatan tamu dengan tuan rumah. Tuan rumah dapat memprediksi bahwa percakapan dibangun untuk sesuatu. Bagian percakapan ini disebut “Percakapan fatis” oleh sebagian sosiolinguis. Untuk tujuan apa pun suatu percakapan dipakai, susunan
Universitas Sumatera Utara
ide, maksud, rencana dan perasaan digunakan sebagai hal yang umum oleh orang Melayu. Oleh karena itu, jika dua orang Melayu melakukan percakapan, mereka tidak menemukan kesalahan memahami maksud tujuan mitra bicaranya. Namun jika salah seorang diantaranya adalah orang Melayu dan satu lagi adalah orang asing yang tidak berbagi pemahaman yang sama. Komunikasi ini akan berakhir dengan cara yang berbeda. Orang asing tersebut bisa mengakhiri percakapan dengan merasa tersinggung karena dibiarkan sendiri oleh orang Melayu sebagai Tuan rumah, sementara tuan rumah mengira orang asing ini tidak mempunyai sopan-santun jika merespon dengan mengatakan, “Ya, Saya nak kopi.” Atau dengan mengatakan, “Saya tak mau kopi, saya perlu berbicara dengan anda. Cara teks tertulis Melayu disusun seperti cara teks lisan Melayu disusun, karena itu bisa beraneka ragam teks bahasa Inggrisnya. Contoh lainnya keberanekaragaman tersebut adalah bukti pada teks yang dihasilkan oleh para praktisioner yang sah dan novelis, dan pratisioner medis dan orang-orang di periklanan (Mahadi dan Moindie, 2006).
2.5.2.2 Struktur Mikro Teks Selain struktur makro, memperhatikan struktur mikro juga penting dalam terjemahan. Pada dasarnya, analisis mikro struktur melibatkan pengujian sintaksis dan leksis teks. Seringkali terdapat jenis teks yang menggunakan struktur sintaktis ke arah akhir tertentu. Misalnya legislasi mengandung banyak pernyataan dalam kalimat pasif. Dalam legislasi,
orang yang merancang peraturan atau undang-undang tidak lah
Universitas Sumatera Utara
sepenting peraturan atau undang-undang yang harus dipatuhi masyarakat atau pembaca. Bentuk imperatif, misalnya, digunakan dalam teks sains misalnya lembaran dokumen keselamatan penggunaan suatu materi yan bertujuan untuk menginstruksi pembaca tentang cara penggunaan bahan kimia yang
benar. Bentuk imperatif
menyampaikan pesan /instruksi dengan cara yang cepat, tepat dan ringkas. Singkatnya, dalam iklan kata-kata dan pemakaian kata adalah suatu norma. Struktur kalimat bisa dirubah dan kata-kata bisa bervariasi atau diubah untuk memberi makna yang berbeda, untuk membuat nada bahasa yang berbeda dan untuk melakukan fungsi yang berbeda. Meminta seseorang untuk duduk bisa menggunakan bentuk-bentuk bahasa seperti berikut ini: 1) Please take a seat. 2) Please have a seat. 3) Have a seat. 4) Sit! 5) Would you like to sit?/ Would you like to take a seat? 6) Take a seat. Bentuk pertama “peraturan atau undang-undang” digunakan dalam dialog pada suasana resmi tapi terlalu resmi jika digunakan di antara Teman-Teman, juga bersifat terlalu instruktif . Bagaimanakah “Have a seat” diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu? Haruskah “Silahkan duduk?” atau “Duduklah” atau “duduk” atau secara literal “Ambillah kursi” atau “Ada kursi?”. Jika kita menerjemahkan teks lisan, kita bisa
Universitas Sumatera Utara
menentukanpilihan dengan lebih mudah karena petunjuknya bisa didapat dari intonasi, titinada suara pembicara. Dalam teks tertulis, maka analisis struktur makro berkaitan dan sejalan dengan analisis struktur mikro. Dalam penerjemahan, jika tidak menggunakan aspek sintaksis dan lesikal ini maka akan membuat terjemahan kurang efektif. Penerjemah dapat membuat terjemahan yang maknanya kurang atau berlebih dari teks bahasa sumber (disebut undertranslation dan overtranslation), bahkan lebih buruk lagi yaitu salah menerjemahkan. Analisis leksis penting disesuaikan dengan struktur makro untuk memastikan teks bahasa target sama koherensi dan kohesif nya dengan teks bahasa sumber. Konsep koherensi dan kohesi dijelaskan sedikit lebih banyak.
2.5.3
Jenis Teks Di samping keberanekaragaman menurut “kelompok partisipan komunikasi”,
susunan teks beraneka ragam menurut fungsi teksnya. Dalam konteks ini, variasi ini melahirkan adanya jenis teks. Banyak linguis menyatakan bahwa ada banyak jenis – jenis teks yang melakukan berbagai fungsi dan untuk berbagai jenis pembaca bahasa target. Tiap-tiap linguis bisa mengkategorikan teks ini dengan cara yang berbeda. Misalnya menurut fungsi teks, menurut tujuan komunikasi, dan partisipan dalam komunikasi. Mereka menggunakan istilah misalnya “genre”, “register”, dan “style” yang berbeda dengan jenis teks atau untuk memperluasnya, dan penggunaan teks tersebut bisa bermacam-
Universitas Sumatera Utara
macam satu dengan yang lain karena perbedaan konsep-konsep yang dicakup dalam ide teks tersebut atau disebabkan apa yang dilihat linguis sebagai istilah yag tepat. Apapun istilah dan cara yang dipakai linguis untuk mengklasifiksaikan teks, para penerjemah tidak perlu terlalu atau sangat memperhatikannya. Apa yang lebih penting bagi para penerjemah adalah pengetahuan bahwasanya penulis menulis untuk tujuan yang berbeda dan untuk pembaca bahasa target yang berbeda. Dengan demikian, penulis melakukan cara tertentu dalam menulis untuk mencapai tujuan mereka. Sebagai penerjemah, perlu diperhatikan ciri-ciri teks tertentu untuk membuat kita mampu mentransfer pesan yang dikodekan dalam teks bahasa sumber. Jenis teks adalah salah satu yang menjadi perhatian penerjemahan dengan pengertian bahwa kata, struktur dan wacananya tergantung pada medan dan status tersebut digunakan. Halliday dan Hasan (1976) menegaskan bahwa teks bisa secara lisan maupun tulisan. Kata ‘Teks’ dalam linguistik merujuk pada “teks apapun, yang secara keseluruhan sebagai satu kesatuan.” Newmark (1981) menyatakan teks dibagi ke dalam (1) Teks Ekspresif, (2) Teks Informatif, (3) Teks Vokatif. Teks Ekpresif mencakup tulisan kesusastraan misalnya: puisi, drama, novel, cerita pendek, dan lainlain; Teks Informatif mencakup laporan sains, dan teknis, buku teks; dan Teks Vokatif berkaitan dengan tulisan polemik misalnya: publisitas, pemberitahuan, hukum dan peraturan, propaganda, dll. Walaupun demikian, Newmark menegaskan bahwa teks apapun itu apakah ekspresif, informatif, atau vokatif bisa masuk ke dalam bahasa standard dan tidak standard, dimana hal in harus diperhatikan oleh penerjemah.
Universitas Sumatera Utara
Seperti halnya Newmark (1981), Reiss (2001) mengklasifikasikan jenis teks dari perspektif penerjemahan komunikatif. Reiss mengkategorikan jenis teks ke dalam (1) informatif, (2) ekspresif, dan (3) Operatif. Teks Informatif merepresentasikan objek dan fakta; Teks Ekspresif mengekspresikan sikap atau perilaku pengirim; dan Teks Operatif membuat suatu seruan/permohonan kepada penerima teks. Crystal dan Davy (1969) menyatakan bahwa gaya bahasa (style) tergantung pada jenis teks. Bagi mereka, jenis teks tergantung pada bidang wewenang mereka mengklasifikasikan teks ke dalam teks percakapan, jurnalistik, agama, sain, dan sebagainya. Hal penting lainnya yang perlu diingat dalam penerjemahan adalah bahwa biasa ditemukan teks yang mempunyai fungsi dominan, tujuan dan beberapa subfungsi lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam iklan kesehatan sebelumnya teks bisa bersifat persuasif, tapi juga sekaligus informatif. Juga terdapat teks yang mempunyai subfungsi, misalnya ditemukan dalam teks legal yang mencakup teks yang berkaitan dengan praktek hukum. Halliday (1978) memahami teks mempunyai medan makna, pelibat dan diaktualisasikan ke dalam modus. Analisis struktur makro akan dipandu dengan baik dengan menggunakan ketiga konsep ini. Medan makna adalah lokasi atau tempat teks ini dihasilkan dan digunakan, pelibat tergantung pada pembaca dan konsumen teks dan jarak yang penulis ciptakan antara dirinya dan pembacanya. Dengan istilah pelibat, komunikasi dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk formal, atau semi-formal, non-formal atau koloqial. Modus adalah bentuk teks tersebut misalnya apakah teks
Universitas Sumatera Utara
tersebut ditulis untuk dibaca atau teks lisan yang dibuat ke dalam tulisan sebagai referensi atau ditulis untuk diujarkan, dan sebagainya. Aspek-aspek ini menjadi bukti yang lebih banyak, ketika analisis mikrostruktur dilakukan yang membantu kita untuk membuat dan menyesuaikan jenis teks, untuk menentukan prosedur penerjemahan yang paling tepat sehingga aspek-aspek ini dapat dipindahkan dalam bahasa terjemahan. Setelah selesai dengan analisis struktur makro, maka dapat dilanjutkan aspek teknis dan konkret struktur makro. Komponen-komponen teks sebaiknya diperiksa apakah terdapat unsur-unsur berikut ini. (1) Teks terdiri dari daftar isi, kata pengantar, lampiran, bibliografi, ucapan terima kasih, diagram, uraian singkat isi buku dan sampul depan. (2) Dituliskan dalam bab, paragraf, menggunakan bentuk visual seperti gambar, tabel, dan sebagainya. (3) Jika teks diketik apakah ukuran dan jenis huruf teks semuanya sama dalam teks dan dipakai secara konsisten. (4) Apakah unsur-unsur tertentu yang digunakan dalam teks berulang dalam seluruh isi teks – kutipan? Analogi? Puisi? Latihan? Kartun ? dan sebagainya. Seluruh komponen ini menghasilkan susunan ideasional dan format, penerjemah bisa mnggabungkan semua jenis informasi –penulis, tahun buku diterbitkan, pembaca yang dituju (apakah khusus atau tersirat), tujuan teks, tahun cetak ulang, informasi tentang penerbit, dan sebagainya. Pembaca bisa menanyakan
Universitas Sumatera Utara
apakah manfaat informasi teks ini baginya karena ada sebagian informasi yang mungkin tidak berguna baginya. Sebagai contoh berikut ini. Di suatu program iklan, “Old Spice” salah diterjemahkan karena penerjemah gagal memahami dua hal yaitu konteks dan budaya. Finally, I decided to give my father Old Spice. Akhirnya saya berikan ayah saya rempah lama. Tanpa konteks, terjemahan menjadi salah. Apakah terjemahan tersebut kedengaran ganjil? Mengapa anda memberikan ayah anda rempah lama? Apakah tujuannya? Apakah rempah lama bermakna khusus? Sekarang jika anda mempunyai konteks seperti di bawah ini, bagaimanakah terjemahannya? I didn’t know what to give him. What would be good for him? I gave him a wallet the year before. I thought and thought. Finally, i decided to give him Old Spice. Dengan konteks ini, bisakah teks diterjemahkan dengan lebih tepat? Berdasarkan konteks dan petunjuk ekstra linguistik yang belum disebutkan di atas, terjemahan yang paling memungkinkan untuk “Old Spice” adalah minyak wangi Old Spice (Old spice perfume). Dari konteks yang diberikan dapat diduga orang yang berbicara sedang mencari hadiah untuk ayahnya. Bisa kemungkinan hadiah atau hadiah natal atau hadiah khusus untuk suatu kesempatan yang dirayakan setiap tahun. Anda juga tidak akan berfikir bahwa seorang pria menginginkan rempah-rempah untuk ulang tahunnya, apakah lama atau baru, kecuali ia adalah pria yang suka memasak atau seorang koki.
Universitas Sumatera Utara
Agar tidak salah menerjemah, penerjemah sebaiknya memahami bahwa Old Spice adalah minyak wangi pria. Berdasarkan pengetahuan dunia dan ekstra linguistik, kita yakin Old Spice merujuk pada nama minyak wangi. Pada tahun 60-an dan 70-an dulu terdapat minyak wangi yang dinamakan Old Spice yang sangat populer. Singkatnya penerjemahan yang tepat tidak akan dapat dilakukan tanpa analisis struktur makro teks, konteks situasi, konteks budaya yang terdapat di dalam struktur makro.
2.5.4
Konteks Situasi Teks Halliday, McIntosh dan Stevens (1964) menyatakan bahwa konteks situasi
(register), ditinjau dari kerangka konseptual mempunyai tiga pokok bahasan yaitu medan makna (Field), pelibat (Tenor) dan sarana (Mode). Menurut Halliday, dan kawan-kawan (1964), medan, sarana, dan pelibat wacana adalah prinsip-prinsip yang digunakan untuk memberi tafsiran konteks situasi teks atau wacana: (1)
Medan wacana adalah seluruh kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang termasuk di dalamnya topik yang sedang dibicarakan, tujuan kegiatan tersebut sehingga perlu dilakukan.
(2)
Sarana Wacana adalah media yang dipilih partisipan untuk mengadakan interaksi baik dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan, secara spontan ataupun terencana, dan jenis genre atau sarana retoris dapat sebagai narasi, didaktis, persuasif, basa-basi, dan lain-lain.
(3)
Pelibat Wacana adalah jenis peran interaksi antara partisipan ketika berhubungan dengan lawan bicara di dalam hubungan sosial, jenis-jenis
Universitas Sumatera Utara
hubungan dapat berupa permanen atau sementara tuturan yang dilakukan antar-pelibat.
2.5.5
Kohesi dan Koheren
2.5.5.1 Kohesi Kohesi adalah salah satu standard tekstualitas yang berkaitan dengan struktur luar teks. Baker (1992) menjelaskan bahwa kohesi adalah rangkaian leksikal, hubungan tata bahasa atau hubungan lainnya yang terjalin secara logis dalam struktur luar. Hoed (1991) dan Swales (1990) menjelaskan kohesi sebagai properti teks yang membantu pembaca atau pendengar memahami teks. Karena itu, papan arah penunjuk jalan dalam teks berperan penting. Charolles (1978) menyatakan bahwa kohesi adalah aspek yangsaling berkaitan dengan koherensi dalam pembuatan teks. Jadi kohesi dan koherensi tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling membantu untuk dapat mencapai logika dan keterhubungan. Dalam penerjemahan, perlu menangani kohesi dengan hati-hati karena tiap-tiap bahasa mempunyai sarana kohesifnya masing-masing (Callow, 1975). Halliday dan Hasan (1976) menjelaskan bahwa kohesi adalah aspek tekstual non-struktural dan dikategorikan ke dalam referensi, substitusi, elipsis, conjungsi dan leksikal. Kohesi dibuat berdasarkan kriteria-kriteria tersebut untuk menunjukkan hubungan semantik eksternal antara pranggapan (presupposition) dan diperanggapan (presupposed) di antara kalimat-kalimat teks, contohnya:
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.16: Teks dan Kategori Kohesi Teks
Kategori Kohesi
My daughter does physical exercises Referensi Kohesif : “she” merujuk pada every day. She wants to reduce her “my daughter”. weight. Does
the
minister
speak
French Substitusi
Kohesif
:
“so”
adalah
language? Yes, he does so.
substitusi dari kata kerja “speak”.
You have said that. No, I haven’t.......
Elipsis Kohesif : elipsis kata kerja leksikal “said”.
The spread of nuclear in the world poses Konjungsi
Kohesif
:
menunjukkan
a danger to human being, the fauna and hubungan semantik kausalitas “thus” dan flora. Thus many people have raised pertentangan “but” their voices to stop it. But to no avail since superpowers avail themselves the right of possessing it. Of course you know Nurhaliza. She was Leksikal : “student” dan ‘candidate the best student of our school. Now she berpraanggapan “Nurliza” ; “university” is a PhD candidate in medicine at the berkolokasi dengan “school”. University of London.
Saragih (2003) menjelaskan satu unit pengalaman dalam klausa dapat dihubungkan dengan klausa lain sebagai unit pengalaman dengan hubungan makna. Keterkaitan ini membentuk satu kesatuan yang disebut kohesi. Kohesi adalah ciri satu
Universitas Sumatera Utara
teks. Kohesi terbentuk dengan tautan makna antarklausa. Tautan ini direalisasikan oleh empat alat kohesi (cohesive device), yaitu: (1) perujuk (reference) (2) elipsis/substitusi (3) konjungsi (conjunction) (4) kohesi leksikal (lexical cohesion) Pautan makna antarklausa membentuk kesatuan yang disebut teks atau wacana. Tautan dalam teks semakin erat jika semakin banyak alat kohesi yang digunakan dalam teks. Dengan kata lain, teks yang padu ditandai dengan eksistensitas dan intensitas variasi alat kohesi yang digunakan. Kohesi juga merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Dengan itu kohesi adalah ‘organisasi sintaktik’. Organisasi sintaktik itu adalah merupakan wadah ayatayat yang disusun secara padu dan juga padat. Dengan susunan demikian organisasi tersebut adalah untuk menghasilkan tuturan. Ini bermaksud bahwa kohesi adalah hubungan di antara kalimat di dalam sebuah wacana, baik dari segi tingkat gramatikal maupun daro segi tingkat leksikal tertentu. Dengan penguasaan dan juga pengetahuan kohesi yang baik, seorang penulis akan dapat menghasilkan wacana yang baik. (1) Perujuk Perujuk sebagai alat kohesi terdiri dari pronomina (pronoun), penunjuk (demonstrative), dan perbandingan (comparatives). Pronomina adalah kata ganti diri untuk orang seperti kamu, engkau, saya. Penunjuk menyatakan posisi partisipan atau sirkumstan relatif kepada pemakai bahasa seperti ini, itu, di sini, di situ. Perbandingan
Universitas Sumatera Utara
meletkkan dua proses, partisipan atau sirkumstan atau lebih pada perspektif pemakai bahasa dengan mendapat proses, partisipan, sirkumstan tertentu sama dalam, lebih dalam kualitas dari yang lain, atau paling dalam kualitas dari sejumlah proses, partisipan, sirkumstan yang lain, seperti besar, lebih besar, paling besar. Perujukan merujuk kepada unsur sebelum atau selepas yang berkaitan dengan hubungan semantik. Perujukan dapat dilihat dari dua sudut, yaitu perujukan eksoforik dan perujukan endoforik. Perujukan eksoforik berasal dari kata “ekso” yaitu “keluar” yang berarti apabila kita tidak dapat menemukan rujukan dalam teks maka kita akan keluar dari teks agar dapat memahami teks tersebut. Selain itu perujukan eksoforik ini digunakan untuk merujuk kepada hal-hala yang mempunyai kaitan dengan situasi yang berkembang di depan penutur ataupun pendengar yang menerima pesan ataupun informasi yang telah disampaikan kepadanya. Halliday dan Hasan (1976) mengatakan bahwa perujukan eksoforik ini menerangkan tentang situasi yang merujuk kepada sesuatu yang telah didentifikasi dalam sesuatu konteks bagi sebuah situasi. Sedangkan Harimurti Kridalaksana (1982) memberikan pengertian bahwa perujukan eksoforik ini adalah fungsi yang menunjukkan kembali kepada sesuatu yang ada di luar daripada sebuah situasi. Hal ini berarti bahwa perujukan eksoforik ini adalah merujuk kepada hal-hal yang di luar daripada konteks. Menurut Azmi Abdullah (2005) perujukan eksoforik terbagi ke dalam tiga jenis yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Konteks Segera Dalam konteks segera atau dikenal dengan Immediate Context, kita dapat langsung memahami maksud kalimat itu melalui pemahaman yang berdasarkan dua hal. Pertama, pengetahuan shared knowledge dalam contoh kalimat, “Keadaan ekonomi dunia sekarang gawat. Oleh karena itu, pemerintah mengambil beberapa langkah yang praktis untuk menangani masalah tersebut.“ Kedua, pengetahuan dunia wacana dalam contoh kalimat, “Terlihat dari kelakuannya, Pangeran Charles marah kepada Putri Diana”. Dari contoh kalimat tersebut dapat dilihat bahwa ada kalimat atau wacana yang tidak segera memberikan pemahaman atau maksud kalimat tersebut sehingga memerlukan rujukan terhadap konteks sebelumnya. b. Perujukan Endoforik Perujukan endoforik ini merujuk kepada apa yang hanya ada di dalam sebuah teks. Seperti apa yang telah dijelaskan oleh Halliday dan Hasan (1976) yang mengatakan bahwa perujukan endoforik ini merujuk hanya kepada teks. Harimurti Kridalaksana (1982) memberikan pendapat bahwa perujukan endoforik ini adalah hal atau fungsi yang menunjukkan kembali pada hal-hal yang ada dalam wacana, termasuk pada perujukan anaforik dan perujukan kataforik. c. Perujukan Anaforik Perbedaan antara perujukan anaforik dan kataforik dilihat dari letak perujuk dan penganjur. Letak “perujuk” dalam perujukan anaforik adalah di belakang “penganjur”.
Universitas Sumatera Utara
(2) Elipsis/ Substitusi Pertautan yang erat antar klausa terbentuk dengan pelesapan dan penggantian unsur klausa. Elipsis menunjukkan penghilangan atau pelesapan bnetuk linguistik dengan bentuk linguistik yang hilang itu dapat ditemukan atau dijajagi dari konteks. Dalam klausa Amin membeli buku dan pensil untuk anaknya sesungguhnya dilesapkan sejumlah bentuk linguistik. Bentuk lengkap teks itu adalah Amin membeli buku untuk anaknya dan Amin membeli pensil untuk anaknya. Dengan demikian, bentuk linguistik yang dilesapkan atau benyuk elipsis adalah “untuk anaknya” dan “Amin membeli.” Sama dengan elipsis, substitusi juga menunjukkan penghilangan atau pelesapan bnetuk linguistik. Perbedaannya adalah bentuk linguistik yang hilang itu diganti dengan bentuk linguistik lain. Dalam teks Kami membeli buku; Ali juga membeli itu yang dilesapkan dalam klausa kedua adalah buku; tetapi kata buku diganti dengan itu. Sesungguhnya bentuk lengkap teks itu adalah Kami membeli buku; Ali juga membeli buku. (3) Konjungsi Konjungsi berfungsi menghubungkan dua klausa atau lebih. Dalam sistemnya konjungsi dapat dirinci berdasarkan makna, wujud dan fungsinya. Menurut maknanya, konjungsi terdiri dari konjungsi tambahan, perbandingan, waktu dan akibat atau konsekuensi yang masing-masing masih dapat dirinci lebih lanjut, seperti dalam bagan berikut. Secara rinci, makna logis konjungsi masih dapat dibagi ke berbagai sub bagian, seperti diringkas dalam bagan dengan kata, grup, atau frase sebagai realisasinya.
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.17: Konjungsi dalam bahasa Indonesia No. 1
2
Makna
Submakna
Realisasi Konjungsi
Tambahan
Penambahan
Dan, lagi pula, di samping itu
Pilihan
Atau, sebagai ganti, jika tidak..lalu..
Kesamaan
Sama dengan, yakni, seperti,.......
Perbedaan
Tetapi, kecuali, berbeda dengan.....
Bersamaan
Ketika, pada saat yang sama, sementara
Perbandingan Waktu
itu,......
Konsekuensi
Berurutan
Lalu, akhirnya,sesudah itu.
Tujuan
Sampai, sehingga, supaya,......
Kondisi
Lalu, jika, kalau tidak,............
Akibat
Jadi, sebagai simpulan, sebab,..
Pengecualian Namun
demikian,
bagaimanapun,
tetapi,.... Cara
Dengan cara ini, dengan, (dan) lalu,.
Konklusif
Jadi,
dengan
demikian,
sebagai
simpulan,...
(4) Kohesi Leksikal Tautan antar- atau intra klausa kompleks dapat terjadi oleh ikatan makna unsur leksikal. Tautan berdasarkan makna leksikal ini disebut kohesi leksikal yang terdiri atas ulangan, sinonim, antonim, hiponim, meronim, dan kolokasi.
Universitas Sumatera Utara
a. Ulangan Dua klausa atau lebih akan bertaut jika satu kata dalam klausa pertama diulang dalam klausa kedua dan seterusnya. Pengulangan leksikal dapat dibedakan atas dua jenis yaitu ulangan penuh atau sempurna dan ulangan sebagian atau variasi. Ulangan penuh menunjukkan bahwa unsur leksikal diulang sepenuhnya sebagaimana ditampilkan pertama sekali atau diperkenalkan, seperti buku diulang sebagai buku lagi. Berbeda dengan ulangan penuh, ulangan sebagian, variasi, atau turunan menunjukkan bahwa satu kata yang ditampilkan pertama sekali atau saat diperkenalkan diulang kembali dengan variasi bentuk. Dengan kata lain, ulangan sebagian merupakan penampilan bentuk lain dari satu kata sebagai turunan dari kata itu. Dengan pengertian ini, kata “menulis” dipandang sebagai diulang dengan pemmunculan leksis seperti “ditulis, penulis, tulisan, menulisi, menuliskan, penulisan, dan kepenulisan. Berikut adalah teks dengan contoh pemakaian ulangan. Ali membeli rumah. Rumah itu disewakannya kepada udin (rumah: ulangan penuh) Ali membeli rumah. Pembelian itu mengecewakan isterinya karena lingkungan perumahan itu tidak baik. (membeli-pembelian, rumah-perumahan: ulangan sebagian atau variasi) b. Sinonim Pemakaian dua kata yang bersinonim dalam dua klausa membuat kedua klausa bertaut. Sinonim dibatasi sebagai dua kata yang mempunyai sejumlah hal (pemakaian) sama. Batasan ini mengisyaratkan bahwa dua kata yang bersinonim juga mempunyai
Universitas Sumatera Utara
perbedaan. Pada dasarnya, tidak ada dua kata yang identik dalam arti. Jika dua kata berbeda dalam bentuk (tulisan atau ucapan), kedua kata itu tidak identik dalam arti. Walaupun kata ‘kawin” dan “nikah” bersinonim dengan tes sederhana dapat ditunjukkan bahwa mas kawin berterima sementara *mas nikah tidak berterima; demikian juga “akad nikah’ berterima, sedangkan *akad kawin tidak berterima. c. Antonim Dua unsur leksikal dikatakan berlawanan atau antonim jika makna pertentangan atau perlawanan wujud di dalam kedua kata itu. Dengan dua kata berlawanan dua klausa atau lebih dapat bertaut. Antonim terbagi atas dua bagian berdasarkan sifat perlawanannya, yaitu berlawanan dalam dua hala (binary atau categorical) dan dalam rentang (cline atau continuum). Berlawanan dua hala adalah unsur leksikal yang hanya memiliki satu unsur leksikal lain sebagai lawannya. Kata seperti itu disebut juga kata yang berlawanan secara kategorikal. Dengan sifatnya yang dua hala atau kategorikal apabila sesuatu berada dalam sifat kata tertentu sesuatu itu tidak berada dalam sifat kata lain yang menjadi lawannya. Sebaliknya bila sesuatu tidak berada dalam sifat kata itu sesuatu itu berada dalam sifat kata yang menjadi lawannnya. Misalnya lawan mati adalah hidup. Seorang yang mati harus tidak hidup, sebaliknya seorang yang hidup harus tidak mati. Berlawanan dalam rentang menunjukkan bahwa satu unsur leksikal memiliki sejumlah kata sebagai lawannya. Sebagai contoh, lawan dari panas tidak selamanya dingin. Beberapa kemungkinan dapat menjadi lawan kata itu seperti sejuk, beku.
Universitas Sumatera Utara
d. Hiponim Hiponim menunjukkan hubungan ‘anggota-kelompok.’ Dua kata atau lebih merupakan hiponim jika satu kata merupakan anggota dari kata yang menjadi grup atau kelompoknya. Dengan kata lain, hiponim merupakan rincian atau anggota dari satu kelompok, misalnya hubungan antara bunga dengan ros, dahlia, mawar, atau kana.
Dengan pengertian yang sama, kata hewan mencakup anggota sebagai
hiponimnya seperti kutu, kecoa, semut, ikan, ular, tenggiling, kera, beruang, kuda, harimau dan gajah. Hubungan sesama anggota hiponim merupakan hubungan horizontal yang disebut kohiponim. e. Meronim Kata dengan pertautan meronim dengan yang lain menunjukkan bahwa kata itu adalah bagian atau unsur dari kata yang lain yang lebih luas cakupannya. Dengan kata lain, dalam meronim terdapat hubungan ‘bahagian-keseluruhan’, seperti hubungan antara tanaman dan hiponimnya akar, batang daun, cabang dan bunga. Hubungan meronim ini adalah hubungan vertikal. Hubungan sesama bahagian atau unsur, seperti dalam tanaman: d. Kolokasi Kolokasi merupakan hubungan probabilitas dalam pemunculan antara dua kata atau lebih. Berbeda dengan hubungan arti dalam sinonim, antonim, hiponim dan sinonim, kolokasi menunjukkan kemungkinan pemunculan satu kata dengan kata lain. Dengan demikian, jika satu kata muncul dalam satu klausa, kata lain sangat besar kemungkinannya untuk muncul di klausa kedua atau berikutnya.
Universitas Sumatera Utara
Di dalam bahasa Inggris kata ‘snow’ dikatakan berkolokasi dengan ‘white’ karena begitu kata ‘snow’ muncul di dalam klausa pertama dalam satu teks, kata ‘white’ besar kemungkinannya untuk muncul di klausa berikutnya. Kata ‘ice’ berkolokasi dengan kata ‘cold’ demikian juga ‘friend’ berkolokasi dengan kata ‘relation’, dan kata ‘family’ dengan ‘neighbourhood.’ Di dalam bahasa Indonesia dapat diasumsikan bahwa kata ‘darah’ berkolokasi dengan kata ‘merah’. Demikian juga kata ‘hujan’ berkolokasi dengan kata ‘deras’ atau ‘gerimis.’ Dalam pola hubungan yang sangat erat, satu kata langsung dengan yang lain dengan membentuk satu kesatuan, seperti antara ‘pertumpahan’ dan ‘darah’ menjadi ‘pertumpahan darah’; demikian juga ‘naik daun’, ‘di atas angin’, ‘sanak saudara’, ‘beranak pinak’, ‘maju mundur’ dan ‘hidup mati.’
2.5.5.2 Koherensi Koherensi adalah peristiwa yang tersusun secara logis dalam teks. Susunan logis dapat digunakan untuk membuat makna dalam bahasa. Baker (1992) menyatakan bahwa koherensi berkaitan dengan hubungan konseptual dan diberi makna melalui pengetahuan intrinsik teks dan pengetahuan ekstrinsik yaitu pengetahuan encyclopedia pembaca. Hoey (1991)
menyatakan koherensi adalah properti teks yang dapat
dievaluasi oleh pembaca. Charolles (1979) menjelaskan bahwa koherensi berhubungan dengan teks yang menggunakan struktur makro dan mikro. Misalnya: My father went to the Bumiputera bank. He was fishing there. Then he turned off the light and slept.
Universitas Sumatera Utara
Teks di atas tidak koheren karena tidak ada kelogisan dalam rangkaian peristiwa atau proposisi-proposisinya. Tidak ada hubungan antara bank dan fishing (memancing). Juga tidak ada hubungan antara ‘fishing’ (memancing) dan ‘turning off the light’ (mematikan lampu). Masalah tersebut adalah aspek-aspek yang tergantung pada kelogisan proposisi. Tetapi jika penerjemah tidak mempunyai pengetahuan duniawi yakni dia bukan orang malaysia dan belum pernah ke Malaysia, maka ia bisa mengira bank Bumiputera adalah nama sungai dan jadi ayahnya memancing di sana. Konsep yang salah tersebut terjadi ketika penerjemah tidak mempunyai pengetahuan yang baik tentang dunia bahasa sumber. Karena itu penerjemah harus berhati-hati dengan hal tersebut karena bisa menyebabkan tidak koheren. Enkvist (1990) mengklasifikasikan koherensi ke dalam tujuh kategori yaitu : (1) Hubungan antara koherensi dan kohesi (struktur dalam dan luar teks dan tekstur). (2) Pesan dan metapesan (pesan tentang peasn yang diekspresikan oleh sarana paralinguistik dan interaksi). (3) Pengaruh interpretasi (pengetahuan yang sama antara penulis, interpreter, dan situasi) (4) Relevansi konteks situasional (konteks dan interpretasi) (5) Pengetahuan dan interpretabilitas reseptor (pengetahuan linguistik dan empiris) (6) Strategi teks dan kategori (jenis teks), dan (7) Strategi, struktur dan proses (gaya bahasa tulisan).
Universitas Sumatera Utara
2.6 Budaya dalam Penerjemahan Budaya, yang bertentangan dengan barbarisme, adalah cara pandang, berfikir dan persepsi yang beradab dan berbudi dalam suatu masyarakat. Karena itu budaya adalah sarana bagi bahasa apapun. Perusakan menara Babel telah telah menyebabkan perbedaan bahasa dan budaya. Derrida (1985) menyatakan bahwa suku Semetic yang ingin memaksakan bahasa mereka kepada semua suku, tapi dekonstruksi menara tersebut merusak impian ini sehingga menambah kebingungan dan perbedaan bahasa mereka disebabkab oleh kurangnya komunikasi dengan menggunakan budaya dan leksis. Perbedaan bahasa dan budaya bisa menjadi masalah kajian dan penelitian dalam penerjemahan. Budaya merupakan unsur yang penting dalam penerjemahan. Misalnya: “Let’s make a toast!” Terjemahan (mari kita bakar roti!) Apakah terjemahan “Let’s make a toast!” adalah Mari kita bakar roti (Literal: Let us toat bread) atau Mari kita minum merayakannya (Literal: Let us drink to celebrate it) akan sangat tergantung pada konteks ujaran tersebut. Dalam film dimana satu cuplikan menampilkan sekelompok orang berkumpul bersama, sambil memegang gelas dan salah seorang diantaranya menuangkan sebotol minuman, subjudul yang dibaca “Mari kita bakar roti” sangatlah diluar dari konteks peristiwa tersebut. Jika penerjemah belum menonton film tersebut, membuat terjemahan yang salah ini sangat dapat dimengerti. Dengan kata lain, penerjemah hanya melihat baris kalimat pada
Universitas Sumatera Utara
skrip tanpa melihat filmnya, dia dapat membuat kesalahan ini dalam terjemahan. Dengan adanya adegan film yang ditayangkan kepada penerjemah tersebut, akan ada sedikit keraguan bahwa sekelompok orang diminta mengangkat gelasnya untuk minum bersama dan karena ini terjemahan “mari kita bakar roti” adalah terjemahan yang salah. Jika terdapat keraguan, maka tayangan sebaikanya disaksikan sehingga memungkinkan penerjemah mengenali dan menyesuaikan makna situasi tayangan tersbut. Dengan demikian, dapat diperoleh terjemahan yang benar dan tepat.
2.6.1
Pengertian Budaya Penerjemah Setiap penerjemah mempunyai budaya. Budaya yang dimiliki penerjemah akan
mempengaruhi cara pemahaman makna teks yang akan diterjemahkan, sehingga penerjemah perlu memahami budaya teks yang akan diterjemahkan. Jika penerjemah tersebut adalah orang Indonesia dan akan menerjemahkan sebuah teks bahasa Indonesia ke dalam teks bahasa Inggris maka diperlukan pemahaman budaya bahasa Inggris. Dalam hal ini penerjemah tidak dapat memaksakan budaya penerjemah sebagai orang Indonesia ke dalam teks bahasa Inggris karena kedua bahasa Indonesia dan Inggris adalah dua bahasa yang berbeda budaya. Sebaliknya, jika ia seorang Indonesia yang ingin menerjemahkan teks bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia maka tetap diperlukan pemahaman budaya bahasa Inggris dengan tujuan teks bahasa Inggris tersebut dapat dipahami dengan baik sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulis teks bahasa Inggris tersebut. Dengan memahami makna teks bahasa Inggris tersebut tergantung pada budayanya maka
Universitas Sumatera Utara
penerjemah akan dapat mentransfer makna yang ada dalam teks bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan budaya Indonesia. Dengan demikian, tidak dapat dipahami dengan baik suatu teks jika budaya teks tersebut tidak ikut serta dipahami dan setiap teks dengan bahasa yang berbeda maka akan mempunyai budaya yang berbeda sehingga penerjemah perlu menyesuaikan teks tersebut sesuai dengan budayanya masing-masing.
2.6.2
Aspek Budaya Penterjemah Ada
delapan
aspek
budaya
yang
harus
diperhatikan
saat
hendak
menterjemahkan. Berikut ini adalah dua belas aspek tersebut: (1) Perangkat Mental Kata ‘house’ dalam bahasa Inggris seringkali dipadankan dengan kata ‘rumah’ dalam bahasa Indonesia meskipun kedua padanan itu tidak sama persis maknanya. (2) Ungkapan-ungkapan Steriotip Ungkapan steriotip ialah ungkapan-ungkapan seperti Good Morning, Good Afternoon, Good Evening, atau Good Night. Padanan untuk ungkapan-ungkapan semacam ini tampaknya mudah dan sederhana. Good Morning (bahasa Inggris) biasanya dipadankan dengan selamat pagi. Tetapi sesungguhnya konsep morning dalam bahasa Inggris tidak sama dengan konsep pagi dalam bahasa Indonesia. Ihwal semacam ini kadang-kadang menimbulkan kesulitan bagi penerjemah.
Universitas Sumatera Utara
(3) Peristiwa Budaya Tiap-tiap negara mempunyai apa yang disebut dengan Peristiwa Budaya. Di Amerika Serikat orang mengenal apa yang disebut dengan Thanksgiving Day. Di Jawa, terutama di Surakarta dan Yogyakarta, orang mengenal peristiwa-peristiwa budaya seperti, Sekaten, Tedhak Siti, Kenduren dan sebagainya. Dalam peristiwa – peristiwa budaya semacam itu penerjemah juga akan menjumpai banyak kesulitankesulitan dalam menerjemahkannya karena dalam peristiwa-peristiwa budaya seperti itu akan ditemukan istilah-istilah budaya yang tidak akan dapat ditemukan di negara lain. (4) Bangunan Tradisional Biasanya di setiap negara sekarang ini banyak bangunan yang sama dengan bangunan yang terdapat di negara lain. Fenomena semacam ini barangkali karena adanya film-film di T.V. Namun demikian di masing-masing negara masih banyak terdapat bangunan yang mempunyai ciri khas lokal, dan tidak terdapat di negara atau di daerah lain. Misalnya di Cina terdapat apa yang disebut Tembok Cina, Kota Larangan, sedang di Thailand terdapat apa yang disebut Pagoda, di Mesir dapat ditemui Pyramid. Di Sumatera Barat ada rumah yang disebut Rumah Gadang, dan di Jawa, khususnya di Sala dan Yogyakarta, ada bangunan atau bagian dari bangunan yang disebut Pendhopo Agung, Gandhok, Gadri dan sebagainya. Bangunan seperti itu dalam penerjemah menimbulkan banyak kesulitan.
Universitas Sumatera Utara
(5) Kekerabatan Setiap bangsa di suatu negara mempunyai sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan ini tampaknya sederhana bagi yang memilikinya. Tetapi yang tampaknya sederhana itu ternyata menimbulkan banyak kesulitan bagi seorang penerjemah karena sistem kekerabatan ini berbeda daro bangsa atau etnik yang satu dengan yang lain. Di sistem kekerabatan orang Jawa dikenal istilah Bapak dan Ibu. Penyebutan Bapak dan Ibu tidak menimbulkan masalah dalam penerjemahan karena penyebutan Bapak dan Ibu itu tampaknya bersifat universal. Tetapi di dalam sistem kekerabatan etnis Jawa sangat rumit karena di atas Bapak dan Ibu, ada Pak/Bu-gedhe, Mbah/Eyang, Mbah/ Eyang Buyut, Mbah/Eyang Canggah, Mbah/Eyang Wareng, Mbah/Eyang UdhegUdheg Siwor, dan sebagainya. Di bawah Bapak/Ibu terdapat Bu/Pak Cilik. Masih ada lagi sebutan Ipe dan Pripean. Sedangkan dalam Bahasa Inggris kita hanya mengenal kata-kata Father, Mother, Aunt, Uncle, Brother, Sister, Grandfather/mother dan sebagainya yang tentu saja sistem kekerabatan antara kedua bangsa itu tidak sama. Ini jelas akan menimbulkan banyak kesulitan bagi seorang penerjemah. (6) Kata Ganti Kata-kata seperti I, You, He, She, It, We, dan They tampaknya juga tidak menimbulkan masalah dalam penerjemahan. Tetapi kata ganti he dan she sering juga menimbulkan masalah. Kata ganti he dan she menunjukkan jenis seks yang berbeda, ialah jenis seks laki-laki dan perempuan, sedangkan perbedaan itu tidak terdapat dalam sistem bahasa Indonesia. Fenomena ini juga kadang-kadang menimbulkan kesulitan bagi seorang penerjemah meskipun tidak begitu serius. Dalam bahasa
Universitas Sumatera Utara
Indonesia kata he, dan she dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi dia/ia, beliau, bapak. Kesulitan akan timbul manakala seorang penerjemah harus menerjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Masalah seperti ini akan timbul apabila seorang penerjemah harus menerjemahkan kata you dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia apalagi ke dalam bahasa Jawa karena kata you mempunyai padanan (equivalent) dengan engkau, kamu, anda, saudara, dan bapak (Soemarsono, 1988) sedangkan kata itu mempunyai padanan dengan kowe, sliramu, sampeyan, panjenengan, dan panjengan dalem yang penerapannya lebih rumi terutama apabila ditinjau dari kepantasannya atau status dari lawan bicaranya. (7) Undha-Usuk Basa (Speech levels) Bahasa Jawa khususnya mempunyai apa yang disebut dengan Undah Usuk Basa. Menurut Sudaryanto Bahasa Jawa memiliki empat varian yaitu ngoko, krama, ngoko alus, atau krama alus. Sedangkan Sriyasa menyatakan bahwa di kota Sala dan Yogyakarta orang Jawa menggunakan tiga varian dalam kehidupan berbahasa seharihari, ialah basa ngoko, basa madya, dan basa krama. Masih menurut Sriyoso (1991) dalam bahasa Jawa sebenarnya terdapat kurang lebih ada 13 varian. Penggunaan varian-varian bahasa ini sangat rumit sehingga pada jaman sekarang banyak orang Jawa sendiri, terutama yang muda, tidak dapat menggunakannya dengan benar. (8) Idiom Idiom juga sarat dengan muatan budaya dan vatiasi idiom sangat luas. Feare (1980) mengatakan, idiom is an expression which has a special meaning, and this meaning cannot be understood completely by looking at the individual words in the idioms. (Feare ,1980)
Universitas Sumatera Utara
Feare memberikan contoh idiom seperti go over, die down, break in, dan sebagainya. Orang lain mungkin memasukkan ungkapan seperti to burry the hatchet, dan to beat about the bush sebagai idiom. Menerjemahkan idiom bukanlah pekerjaan yang mudah. Pertama-tama seorang penerjemah harus mampu mengenali atau menentukan apakah suatu ungkapan tertentu itu adalah sebuah idiom atau bukan. Kemudian setelah seorang penerjemah dapat mengenali bahwa ungkapan itu dapat dikategorikan sebagai idiom barulah mampu menentukan makna idiom itu. Kemudian mencari padanan yang tepat.
2.6.2.1 Budaya Universal Budaya universal sebagian besar muncul dari negara kolonial dan adikuasa dan berpengaruh secara universal karena kekuasaan mereka dan memonopoli media dan investasi yang menyebarkannya ke seluruh dunia. Setiap orang di dunia mengetahui: apa artinya jazz, tenis, pizza, dan lain-lain; tapi kungfu, grillot, sepak raga, dan lainlain perlu dijelaskan ke bangsa-bangsa lainnya yang berbeda budaya.
2.6.2.2 Budaya Agamis dan Budaya Sosial Munculnya ide seperti humanisme dan revolusi industri telah memarjinalkan agama sebagai faktor penentu kehidupan sehari-hari di Eropa. Agama telah menjadi masalah pilihan dan bukan sistem atau kode kehidupan, telah dibuat tunduk terhadap ide dan budaya. Namun di negara islam, agama menentukan budaya dan pandangan hidup manusia.
Universitas Sumatera Utara
Di Perancis, Inggris, Jerman, Amerika dan lain-lain, budaya, aksi seperti bermesraan di depan umum diterima, namun hal ini tidak diterima oleh masyarakat di negara islam. Demikian juga halnya dalam memberi salam di Eropa termasuk Perancis biasa dengan ciuman namun tidak sama dengan di negara Islam. Contohnya kalimat: Le Professeur a embrasse la secretaire le Matin. Jika kalimat ini diterjemahkan: “Guru mencium sekertarisnya pagi tadi” tanpa memperhatikan keberagaman budaya akan memberikan makna konotatif perlokusi yang berbeda misalnya perselingkuhan atau tidak bermoral kepada pembaca muslim, sehingga lebih baik menerjemahkannya “Guru memberi salam kepada sekertaris tadi pagi. Memberi nama putra anda Jesuis atau Jesus tidak berterima di negara Islam tapi menamainya Isa yaitu nama Jesus dalam bahasa Arab akan berterima. Masalahnya adalah orang Arab yang Kristen bisa menamai anaknya Isa. Itulah yang Nida maksudkan dengan budaya linguistik karena semua nama yang disebut merujuk pada satu orang yang sama, sedangkan masyarakat memahami nama-nama tersebut berbeda menurut budaya bahasanya. Demikian juga halnya dalam rasa anggur di Eropa adalah bagian dari budaya Eropa. Pembaca Eropa tidak akan melihat hal yang buruk dengan anggur misalnya : John used to wine and dine his girlfriend. Pembaca Eropa akan mengerti bahwa dulunya John memberi makanan mahal kepada pacarnya. Jika diterjemahkan kata per kata : John biasanya memberi arak dan makan-makan dengan kekasihnya. Membaca terjemahan ini, pembaca muslim bisa memahami perbuatan John berdosa, maka untuk
Universitas Sumatera Utara
masyarakat muslim lebih baik menerjemahkannya: John makan dan minum bersama kekasihnya. Dari contoh-contoh tersebut maka dapat diketahui bahwa melakukan penerjemahan ditentukan dan disesuaikan dengan budaya agamis dan budaya sosialnya. Sesuatu aksi yang diterima atau lazim di masyarakat tertentu, belum tentu di terima oleh masyarakat lain dengan agama yang berbeda karena setiap aksi masyarakat juga dipengaruhi oleh agama yang dianutnya.
2.6.2.3 Budaya Akademis Budaya akademik adalah kategori lainnya yang perlu dikaji dalam bahasabahasa. Di Eropa, mahasiswa masuk universitas di usia 17 atau 18 dan juga di Malaysia. Masalah yang sebagian besar terjadi ada pada gelar Diploma dan Profesor. Sebagian besar negara di dunia mengikuti atau dipengaruhi oleh sistem Akedemik Inggris, tapi akademik Perancis dan Jerman mempunyai sistem hirarki yang berbeda dan telah mempengaruhi beberapa negara. Negara Arabofon mengikuti keduanya sistem Akademik Inggris dan Perancis. Masalah yang timbul dari budaya akademik adalah khusushya antara negaranegara Fransofon, Jermanofon dan Anglofon dan negara-negara berbahasa Melayu adalah banyak Diploma seperti DEA, DESS, Agregation, CAPES, dan EUG tidak berequivalen dengan sistem akademik Melayu. DEA, DESS, dan CAPES adalah kuliah singkat satu tahun setelah gelar Magister. Yang mengejutkan adalah menurut sistem akademik Perancis, mahasiswa tidak diperbolehkan program Ph.D tanpa
Universitas Sumatera Utara
mempunyai salah satu dari tiga gelar DEA, DESS, atau CAPES. Gelar “Agregation misalnya di Perancis sangat dihargai di Perancis dan mempunyai makna diploma yang sangat pintar. Untuk menerjemahkan diploma tersebut ke dalam budaya akademik Melayu, penerjemah harus memberikan tambahan catatan kaki untuk menjelaskan isi dan hirarki diploma tersebut. Terlebih lagi, nama profesi mengajar mempunyai konotasi yang berbeda. Misalnya Professeur adalah nama umum untuk guru dari sekolah menengah sampai universitas. Di melayu, dalam budaya akademik terdapat hirarki. Untuk sekolah menengah guru sekolah disebut Guru tapi di tingkat universitas disebut pensyarah, professor madya atau profesor. Karena itu penerjemah harus berhati-hati dalam menerjemahkan istilah atau kata yang berkaitan dengan sistem akademik.
2.6.2.4 Budaya Legalisasi Dhuic dan Frison (1993) menjelaskan ada masalah yang berkaitan dengan teks resmi Perancis dan Inggris karena sistem resmi Inggris tergantung pada doktrin dan kode sedangkan sistem resmi Inggris tergantung pada hukum umum dan keadilan. Karena sistem resmi Malaysia dipengaruhi oleh sistem resmi Inggris, maka ada masalah dalam menerjemahkan teks resmi Perancis ke dalam bahasa Malaysia. Karena itu penerjemah harus memperhatikan kekhususan dua dunia yang berbeda tersebut. Misalnya: tribunaux correctionnels
(criminal courts)
cour de cassation
(court of cassation)
Universitas Sumatera Utara
communeaute de bien
(communal estate)
cour de la surete de l’etat
(state security court)
certificat de concubinage
(certificate of concubinage), dan lain-lain.
Dengan demikian, budaya akademik, budaya resmi harus diberi catatan kaki. Pada akhirnya, budaya adalah cara yang berbeda dalam hal melihat segala sesuatu dan tergantung pada persepsi tertentu tentang dunia tertentu. Persepsi tersebut tidak dapat saling dipertukarkan di antara bahasa-bahasa. Bahasa tergantung pada budayanya. Karena itu, bahasa tidak menentukan budaya tetapi budaya yang menentukan bahasa.
2.7
Orientasi Teoritis Penelitian ini memfokuskan pembahasan pada penemaan yang terdapat di
dalam analisis tekstual disebut Tema dan Rema dalam teks. Tema dan Rema diteliti berdasarkan teori Systemic Functional Linguistics yang diajukan oleh Halliday. Kajian Tema dan Rema dilakukan dalam tiap-tiap klausa tunggal. Dengan demikian, jika ditemukan ide dalam bentuk kalimat, maka kalimat tersebut dipisahkan ke dalam klausa-klausa tunggal terlebih dahulu sebelum diidentifikasi Tema dan Remanya. Hal ini disebabkan klausa dipandang sebagai unit yang tertinggi di dalam bahasa karena klausa mampu membawa tiga fungsi bahasa sekaligus, yaitu memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman. Tema ditandai melalui unit bahasa yang terletak di awal kalimat dan Rema adalah unsur yang terdapat setelah Tema. Jadi, dalam mengidentifikasi Tema dapat diketahui, bahwa unit bahasa yang terletak di awal klausa adalah Tema. Menurut
Universitas Sumatera Utara
Saragih (2006:112-113), Tema dalam teori Systemic Functional Linguistics dibedakan menjadi Tema sederhana dan Tema kompleks. Tema sederhana adalah jika terdapat satu unit bahasa yang berfungsi sebagai Tema, tetapi jika lebih dari satu unit bahasa yang berfungsi sebagai Tema maka disebut sebagai Tema kompleks. Dalam kajiannya, Tema Kompleks juga terbagi menjadi tiga jenis, yaitu Tema Tekstual, Tema Antarpersona, dan Tema Topikal. (2) Tema Tekstual dapat diidentifikasi jika Tema tersebut berupa, a. kata ganti relatif (misalnya: who, which, that, whom, whose); b. penerus (misalnya: ee..., mmm,...well..); c. konjungsi (misalnya: dan, atau tetapi); d. penghubung (misalnya: dengan demikian, oleh sebab itu). (3) Tema Antarpersona dapat diidentifikasi melalui unit bahasa yang berupa, b. vokatif yaitu nama oranng atau objek yang ditujukan padanya; c. keterangan modus yaitu pendapat, ide pribadi, misalnya: seharusnya, sebaiknya; d. pemarkah pertanyaan, misalnya: apakah; e. kata tanya pertanyaan informasi, misalnya: mengapa, siapakah, di manakah. (4) Tema Topikal terdapat pada unit bahasa yang berfungsi sebagai partisipan, proses ataupun sirkumstan. Selain itu, Tema juga dapat dibedakan berdasarkan Tema Tunggal dan Tema Majemuk, Tema Bermarkah, dan Tema tak Bermarkah. Tema Bermarkah dapat
Universitas Sumatera Utara
diidentifikasi jika yang menjadi Tema tersebut adalah kata benda atau kata ganti benda ataupun frasa kata benda yang berfungsi sebagai subjek. Namun, jika terdapat komplemen, frase adverba atapun frase preposisi yang terletak di awal klausa maka unit-unit bahasa tersebut adalah Tema tak Bermarkah. Dengan demikian, berbagai jenis Tema ini, yang mencakup Tema Tekstual, Tema Antarpersona, Tema Topikal, Tema Tunggal, Tema Majemuk, dan Tema Bermarkah-Tema tak Bermarkah, keseluruhannya akan dikaji dalam klausa-klausa yang ditemukan di dalam teks translasi penelitian ini.
2.8
Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai Tema dan Rema pernah dilakukan sebelumnya di
antaranya berjudul “Theme and Rheme in The Thematic Organization of Text: Implications for Teaching Academic Writing” oleh Lixia Wang seorang master pendidikan (TESOL) dari University of South Australia dan juga sebagai dosen di Jurusan Sastra Inggris di Nanjing University of Finance and Economics di China. Penelitiannya adalah tentang Tema dan Rema dengan menggunakan teori Systemic Functional Linguistics dengan tujuan untuk memperbaiki kohesi dalam teks akademik. Melalui penelitiannya, beliau menyatakan bahwa dengan menganalisis Tema dan Rema dalam teks, mahasiswa dapat belajar melakukan analisis yang sama dalam tulisan mereka sehingga akan memperbaiki kohesi dalam tulisan mereka. Dalam penelitian ini juga dibahas masalah umum yang menyebabkan kesalahan dalam menggunakan Tema dan Rema dengan menggunakan tulisan mahasiswa sebagai
Universitas Sumatera Utara
contoh kesalahan. Karena itu penelitian ini menunjukkan bagaimana mahasiswa memperbaiki kemampuan kohesi tekstual dalam tulisan khususnya tulisan akademik. Selain itu, penelitian Tema-Rema juga dilakukan oleh Arif Budiman dan Kristianto dengan judul “How Much Shift on Theme-Rheme Construction Affect on the Meaning of Translation”. Penelitian ini memfokuskan pada pidato pelantikan Obama dengan tujuan untuk menjelaskan kontsruksi Tema bahasa Inggris dan Indonesia, memperlihatkan konstruksi Tema menurut kategori dan konstituen dalam kedua versi bahasa tersebut dan untuk menemukan efek pergeseran struktur Tema pada makna ataupun ketepatan penerjemahan. Penemuan penelitian ini adalah (1) variasi Tema dalam kedua teks mencakup Tema Topikal Antarpersona dan Tekstual, dengan Tema Topikal lazim yang paling dominan, (2) pergeseran struktur Tema antara bahasa Indonesia dan Inggris dapat dibagi ke dalam pergeseran kategori dan perubahan konstituen Tema, dan (3)
secara umum pergeseran struktur Tema tidak banyak
mempengaruhi makna dan tidak mempengaruhi makna secara keseluruhan pada klausa atau tekstur teks. Penelitian pergeseran dalam translasi bahasa Indonesia dan Inggris telah dilakukan sebelumnya oleh Putra Yadna dan Resen (1986) dengan studi kasus “Pergeseran Formal Fase Kata Benda dalam Penerjemahan Bahasa Inggris-Indonesia.” Hasil temuan dari analisis ini adalah adanya pergeseran unit, struktur, dan kelas kata. Selain itu, Yadnya dalam disertasinya mengkaji, “Pemadanan Makna Berkonteks Budaya: Sebuah Kajian Translasi Indonesia-Inggris.” Hasil temuannya adalah translasi dapat tercapai dalam berbagai tataran (level), juga terdapat pergeseran mikro (vertikal
Universitas Sumatera Utara
dan horizontal) dan pergeseran makro. Perbedaan sistem bahasa Indonesia dan Inggris telah mengakibatkan pergeseran formal menjadi wajib dan otomatis faktor perbedaan sistem makna kata antar bahasa Inggris dan Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran semantik yang bersifat wajib. Selain itu, penelitian penerjemahan dwibahasa pernah dilakukan oleh Diana Chitra Hasan dengan judul “Penerjemahan Informasi Implisit dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia”. Penelitian ini memberikan informasi implisit dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia yang dikategorikan sebagai penelitian dengan metode deskriptif karena dalam penelitian ini dipaparkan informasi implisit dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, yang selanjutnya dilakukan analisis terhadap kesepadanan antara unsur bahasa sumber dan terjemahannya dalam bahasa sasaran sehingga faktor-faktor yang menyebabkan tercapai atau tidaknya kesepadanan dalam penerjemahan tersebut. Data dalam penelitian ini diambil dari tiga buah novel dan terjemahannya, yaitu (1) 4,50 from Paddington karya Agatha Christie yang diterbitkan oleh Fontana Books pada tahun 1979 dan diterjemahkan oleh Lily Wibisono dengan judul Kereta 4,50 dari Paddington terbitan Gramedia, Jakarta pada tahun 1987; (2) Absolute Power karya David Baldacci (1996) dan diterjemahkan oleh Hidayat Saleh dengan judul Kekuasaan Absolut diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 1997; (3) Bloodline karya Sidney Sheldon (1977) dan diterjemahkan oleh Threes Sulastuti Garis Darah diterbitkan oleh Gramedia (1991). Dari penelitian terhadap informasi implisit dalam bentuk elipsis dan bahasa figuratif ditemukan beberapa jenis prosedur penerjemahan yang dapat mengalihkan pesan bahasa sumber antara lain adalah
Universitas Sumatera Utara
modulasi bebas berupa pergeseran sudut pandang dan eksplisitasi serta pergeseran tataran dari tataran gramatikal ke tataran leksikal. Jenis prosedur penerjemahannya dapat mengalihkan pesan yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan tepat. Sedangkan penerjemahan harfiah terhadap sebagian unsur figuratif, seperti metafora, tidak dapat mengalihkan informasi implisit dengan baik. Penelitian tentang terjemahan dilakukan oleh Roswita Silalahi dalam disertasinya dengan judul “Dampak Teknik, Metode, dan Ideologi Penerjemahan Pada Kualitas Terjemahan Teks Medical-Surgical Nursing dalam Bahasa Indonesia”. Ada dua pendekatan penerjemahan yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu: pendekatan bawah-atas (bottom-up approach) dan pendekatan atas-bawah (top-down approach) (Baker, 1992; Newmark, 1988). Jika penerjemah mulai dengan satuan lingual yang lebih kecil dari teks (misalnya kata, frasa, klausa, dan kalimat), dia menerapkan pendekatan bawah-atas. Sebaliknya, jika penerjemah mulai dari tataran yang paling tinggi, yaitu teks, dan dilanjutkan pada tataran yang lebih rendah, dia menerapkan pendekatan atas-bawah. Temuan dalam penelitian ini adalah: Pertama, delapan teknik penerjemahan diterapkan dalam menerjemahkan teks Medical-Surgical Nursing yaitu teknik harfiah (literal), peminjaman murni, peminjaman alamiah, calque, transposisi, modulasi, penghilangan, dan penambahan. Berdasarkan frekuensi penggunaannya, teknik harfiah menempati urutan pertama (489), yang diikuti oleh peminjaman murni (224), peminjaman alamiah, transposisi (68), calque (67), modulasi (25), penghilangan (16), dan teknik penambahan (9). Kedua, secara teori, teknik harfiah, peminjaman murni dan peminjaman alamiah, dan teknik calque berorientasi pada bahasa sumber
Universitas Sumatera Utara
sedangkan teknik transposisi, modulasi, penghilangan, dan teknik penambahan berorientasi pada bahasa sasaran. Dengan demikian, metode penerjemahan yang dipilih penerjemah adalah metode penerjemah literal, setia, dan semantik. Ketiga, penggunaan teknik penerjemahan dan pemilihan metode penerjemahan lebih dilandasi oleh ideologi foreignisasi dalam menerjemahkan teks sumber data penelitian. Keempat, dalam hal kualitas terjemahan, didapatkan 338 (64,75%) diterjemahkan secara akurat, 136 (26,05%) kurang akurat, dan 48 (9,20%) tidak akurat. Dari aspek keberterimaannya, 396 (75,86%) berterima, 91 (17,44%) kurang berterima dan 35 (6,70%) tidak berterima. Sementara itu, 493 (96,29%) data sasaran mempunyai tingkat keterbacaan tinggi dan 19 (3,71%) mempunyai tingkat keterbacaan sedang. Kemudian, teknik peminjaman murni, teknik peminjaman alamiah, calque, dan juga harfiah memberikan dampak yang sangat positif terhadap keakuratan terjemahan, sementara kekurang akuratan dan ketidak akuratan yang terjadi pada terjemahan lebih disebabkan oleh penerapan teknik penghilangan, penambahan, modulasi, dan teknik transposisi. Kekurang berterimaan dan ketidak berterimaan cenderung disebabkan oleh penggunaan kalimat yang tidak gramatikal, dan masalah yang menghambat pemahaman pembaca sasaran cenderung disebabkan oleh penggunaan istilah asing yang tampaknya belum akrab bagi pembaca, kolokasi yang tidak tepat, kata bahasa Indonesia yang belum lazim bagi pembaca dan kesalahan ketik. Penelitian juga dilakukan oleh Syahron Lubis dalam disertasinya yang berjudul “Penerjemahan Teks Mangupa Dari Bahasa Mandailing ke Dalam Bahasa Inggris”. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa bahasa Mandailing dan bahasa Inggris
Universitas Sumatera Utara
memiliki lebih banyak perbedaan daripada persamaan dalam struktur bahasa seperti afiksasi, pemajemukan, reduplikasi, pemenggalan kata, sistem pronomina, struktur frasa, pola-pola kalimat, komponen makna, polisemi, sinonim dan antonim, makna generik dan spesifik, metafora, idiom dan eufisme. Juga ditemukan bahwa masyarakat Mandailing dan Inggris berbeda luas dalam sejumlah aspek kultural seperti agama dan kepercayaan, keluarga dan perkawinan, tipe masyarakat, ketimpangan gender, pemakaian bahasa dan sopan santun sosial. Adanya perbedaan struktur kedua bahasa, menerjemahkan frase, kata majemuk dan kalimat dari teks sumber ke dalam teks sasaran menghadapi masalah. Subjek kalimat, jumlah dan konjungsi yang sering implisit dalam teks sumber juga menyebabkan masalah penerjemahan. Pemakaian banyak kata arkais juga membuat kesulitan penerjemahan dan karena bahasa Mandailing tidak memiliki tenses, hal itu juga menyebabkan masalah penerjemahan ke dalam bahasa Inggris yang memiliki tenses. Oleh sebab itu penerjemahan teks mangupa tidak hanya menghadapi masalah-masalah kebahasaan tetapi juga masalahmasalah budaya dan berbagai teknik penerjemahan diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut ssupaya tercapai terjemahan yang akurat, terbaca dan dapat diterima penutur asli bahasa sasaran. Persoalan tentang pergeseran dalam terjemahan juga disinggung dalam penelitian Abdul Munif. Melalui penelitiannya yang berjudul “Pergeseran Dalam Penerjemahan Klausa Pasif Dari Novel The Lord of The Rings: The Return of The King Karya JRR Tolkien yang Diterjemahkan oleh Gita Yuliani K.” Penelitian Abdul Munif berorientasi pada (1) Pendeskripsian pergeseran bentuk dalam penerjemahan
Universitas Sumatera Utara
klausa pasif, (2) Pendeskripsian pergeseran makna dalam penerjemahan klausa pasif, (3) Ketepatan penerjemahan klausa pasif yang mengalami pergeseran bentuk dan makna. Data penelitian ini klausa pasif yang mengalami pergeseran dalam penerjemahan. Teknik sampling yang digunakan adalah sampling purposif. Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah klausa pasif yang berbentuk be + past participle dan terjemahannya yang mengalami pergeseran bentuk dan makna. Adapun hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) bentuk-bentuk pergeseran dalam penerjemahan klausa pasif meliputi; pergeseran tataran ada 12 data (14%), pergeseran struktur ada 43 data (60%), dan pergeseran kelas kata ada 4 data (6%), (2) pergeseran makna dalam penerjemahan klausa pasif meliputi; pergeseran pasif-aktif ada 20 data (26%), pergeseran topik-komen ada 15 data (19%), pergeseran makna leksikal ada 23 data (30%), dan pergeseran makna gramatikal ada 11 data (14%), dan (3) ketepatan makna pada pergeseran dalam penerjemahan klausa pasif meliputi; kategori terjemahan tidak tepat ada 2 data (3%). Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh bahwa untuk mendapatkan terjemahan yang wajar dan setia makna khususnya penerjemahan klausa pasif dapat dapat digunakan salah satu teknik atau strategi dalam penerjemahan yang disebut dengan pergeseran (translation shift). Masalah pergeseran juga diteliti oleh Lydia K. Sitompul. Penelitiannya berjudul “Pergeseran Penerjemahan Teks Beregister Popular Pada Serial Komedi Friends Episode “The Last One”. Penelitian ini berorientasi pada pergeseran yang terjadi pada penerjemahan teks film atau subtitle pada serial komedi televisi Friends episode terakhir yang berjudul “The Last One”. Pergeseran yang ditemukan dapat
Universitas Sumatera Utara
dikelompokkan berdasarkan bentuk, penyebab, dan efeknya. Bentuk pergeseran pada tataran morfem, pergeseran pada tataran sintaksis, pergeseran kategori kata, pergeseran pada tataran semantik, dan pergeseran karena perbedaan sudut pandang budaya. Kelima bentuk pergeseran tersebut ditemukan pada data, yang kemudian dianalisis secara deskriptif. Analisis dilakukan untuk mendapatkan sebab-sebab terjadinya pergeseran. Karakteristik data sebagai transkip dan subtitle dari sebuah moving picture berperan penting sebagai penentu sebab terjadinya pergeseran. Karakteristik tersebut adalah data yang bergenre komedi dengan ragam bahasa lisan. Dialog pada tayangan bergenre komedi memiliki kaitan erat dengan konteks adegan yang melingkupinya. Konteks tersebut berperan dalam mendeskripsikan kejenakaan pada setiap adegan, sehingga penerjemahan utuh tidak diperlukan. Ciri bahasa popular dengan ragam lisan pada data yang eksprefis dinilai sebagai dialog minor. Ciri tersebut bertentangan dengan ciri subtitle film yang singkat dan padat. Pergeseran yang terjadi yaitu pengurangan atau reduksi. Reduksi pada penerjemahan tayangan bergenre komedi mengakibatkan terjadinya reduksi pemahaman pemirsa terhadap kejenakaan yang terjadi. Reduksi kejenakaan sebagai efek dari pergeseran dikelompokkan menjadi reduksi kejenakaan ringan dan reduksi kejenakaan fatal.
2.9
Konstruk Analisis Penelitian ini menggunakan model penelitian yang menitikberatkan pada
penggabungan teori translasi Larson dan Cadford dengan teori Systemic Functional Linguistics dengan pusat perhatian pada analisis Tema dan Rema.
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.18: Model Penelitian
PENELITI
Analisis Tema dan Rema
Teks yang Diterjemahkan
Menemukan Makna
Tema Dominan MAKNA
Konteks Situasi Konteks Budaya
Makna yang Diekspresikan Kembali
Konteks Ideologi
Jenis Pergeresan Tema Translasi
Sebab Pergeseran Tema dan Rema
Universitas Sumatera Utara
Model penelitian yang didesain sedemikian rupa untuk mengaplikasikan teori translasi Larson dan Cadford serta penerapan LSF menempatkan peneliti pada dua sisi. Sisi pertama, peneliti bekerja secara objektif untuk membaca, meneliti, dan menerjemahkan teks bahasa sumber agar menjadi teks translasi dalam bahasa sasaran. Sisi kedua, peneliti harus bekerja secara objektif dan ilmiah dalam mengdentifikasi dan menganalisis Tema-Rema dalam teks translasi dwibahasa Indonesia-Inggris. Di antara dua sisi, sisi translasi dengan sisi Tema-Rema terdapat perangkat bahasa dan konteksnya dalam analisis Systemic Functional Linguistics. Di dalam hal ini, konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi yang melatarbelakangi tata bahasa sumber dan tata bahasa sasaran menjadi bahan pertimbangan sekaligus penentu ketepatan pemahaman terhadap teks bahasa sumber dan teks translasi dalam bahasa sasaran. Dengan kata lain, untuk menemukan makna teks bahasa sumber harus diperhatikan konteks yang melatarbelakangi bahasa tersebut, sehingga makna tersebut dapat diekspresikan kembali dengan relatif sama dalam translasi bahasa sasaran. Kedua teks tersebut (bahasa sumber dan bahasa sasaran) sama-sama bergantung pada konteks pemakaian bahasa dalam kajian Tema dan Rema yang menjadi fokus penelitian ini. Hasil kajian ini, peneliti akan menemukan Tema dominan, jenis pergeseran Tema, dan faktor yang menyebabkan persegeran Tema.
Universitas Sumatera Utara