BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Pengertian Kewarisan Islam Istilah kewarisan berasal dari bahasa Arab al-irts
yang secara
leksikal berarti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Kata al-Irst merupakan bentuk mashdar dari kata waratsa, yaritsu, irtsa. Mashdar yang lain menurut ilmu sharaf masih ada beberapa bentuk, yaitu wirtsan, wiratsatan, mirats.1 Secara bahasa, kata waratsa memiliki beberapa arti: pertama, “mengganti”. Ini dapat dilihat dalam QS. AnNaml:16 sebagai berikut:
Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata". Maksud dari ayat tersebut adalah Nabi Sulaiman menggantikan kenabian serta mewarisi ilmu pengetahuannya. Kedua, “ memberi”. Ini dapat dilihat dalam QS.Az-Zumar: 74 sebagai berikut:
1
Ahmad Kuzari, Sistem Asabah (Dasar Perpindahan Hak Milik Atas Harta Peninggalan), (Jakarta: Rajawali Press,1996), hlm. 1.
8
9
Artinya:“ Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki." Maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal.” Dan ketiga adalah “mewarisi”. Ini dapat di lihat dalam QS. Maryam: 6 sebagai berikut:2
Artinya: “yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya`qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai". Berangkat dari makna dasar ini, maka dari segi makna yang lebih luas, kata al-irts mengandung arti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada seseorang atau perpindahan sesuatu dari suatu kaum kepada kaum lainnya, baik berupa harta, ilmu, atau kemuliaan.3 Sedangkan pengertian secara istilah hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.4 Dalam redaksi lain, Hasbi Ash-Shiddiqy
2
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press:1998), hlm. 355. Muhammad Ali Ash-Shabuni, al-Mawarits Fi Syari‟ah al Islamiyah, diterjemahkan oleh AM. Basalamah dengan Judul Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 33. 4 Muhammad AMin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 108. 3
10
mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapasiapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya.5 Berbeda dengan definisi diatas, wirjono Projodikoro menjelaskan warisan adalah soal apa bagaimana berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.6 Hukum kewarisan sering di kenal pula dengan istilah Faraid, bentuk jamak dari kata tunggal Faridah yang artinya ketentuan. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan dalam Al-Qur‟an.7 Menurut sejarah penggunaan kata faraid lebih dahulu daripada mawaris. Rasulullah SAW, menggunakan kata faraid an tidak menggunakan kata mawarits. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh ibnu mas‟ud, disebutkan demikian.
عن اىب مسعود فال قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم تعلمواالقران وعلموه الناس وتعلموالفرائض وعلموىا Artinya:“Dari ibnu Mas’ud dia berkata, Rasulullah SAW bersabda:” pelajari Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang, pelajari pula faraid dan ajarkanlah kepada orang-orang…”( HR.Ahmad)8 Mawarits bersinonim dengan faraid, tetapi mempunyai spesifikasi masing-masing, paling tidak dari segi sejarah dan perkembangannya sebagai cabang suatu ilmu.9 5 6
T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Fiqih Mawaris, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973), hlm. 18. Wirjono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1983), hlm.
13. 7
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press:1998), hlm. 356. Asy-Syaukani, Muhammad bin Muhammad, Nailul Author, (Beirut: Dar-el-jail, 1987), hlm. 168. 9 Ahmad Kuzari, Sistem Asabah (Dasar Perpindahan Hak Milik Atas Harta Peninggalan), (Jakarta: Rajawali Press,1996), hlm. 2 8
11
T.M. Hasby Ash-Shiddiqy menulis definisi ilmu mawarits sebagai berikut:
علم يعرف بو من يرث ومن اليرث ومقدر كل وارث وكيفية التوزيع Artinya: “Ilmu yang dengannya dapat diketahui tentang yang berhak dan yang tidak berhak untuk mendapatkan warisan, serta ketentuan yang berlaku bagi tiap-tiap ahli waris dan penyelesaian pembagiannya”.10 Sedangkan Hukum kewarisan sebagaimana yang tercantum dalam KHI pada pasal 171 ayat (a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak
pemilikan
harta
peninggalan
(tirkah)
pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.” Dari definisi tersebut tampak unsur-unsur pewarisan yaitu: pewaris (al-muwaris), ahli waris (al-waris) dan harta warisan (al-maurus). a. Pewaris (muwaris) Muwaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris.Kematian muwaris, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam11, yaitu: a) Mati haqiqy (sejati) Adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
10
T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Fiqih Mawaris, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973), hlm. 18 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, HUKUM KEWARISAN ISLAM Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, ( Jakarta:Sinar Grafika, 2009), hlm. 60 11
12
b) Mati hukmy (menurut putusan hakim) Adalah kematian yang disebabkan adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup maupun sudah mati. c) Mati taqdiry (menurut dugaan)` Adalah kematian yang didasarkan pada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati. b. Ahli waris Ahli waris adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si muwarris lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi.12
2. Dasar dan Sumber Kewarisan Dasar
dan sumber hukum Islam sebagai hukum agama (Islam)
adalah nash atau teks yang terdapat di dalam dan sunnah Nabi. Ayat-ayat Al-quran dan sunnah Nabi yang secara langsung mengatur kewarisan antara lain: 1) Dasar Hukum dari Al-Qur‟an a) Qs. An-Nisa‟ ayat 7
Artinya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” 12
Moh.Muhibbin dan Abdul Wahid, HUKUM KEWARISAN ISLAM Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, hlm. 61
13
b) Qs. An-Nisa‟ ayat 11-12
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
14
ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari`at yang benarbenar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” c) Qs. An-Nisa‟ ayat 13-14
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya
15
Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” d) Qs. An-Nisa‟ ayat 176
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
16
2) Dasar Hukum dari As-Sunnah Dasar hukum kewarisan yang kedua, yaitu dasar hukum yang terdapat dalam hadits nabi Muhammad SAW. Dari sekian banyak hadits nabi yang menjadi landasan hokum kewarisan islam, penulis hanya mencantumkan beberapa dari hadits nabi, diantaranya sebagai berikut :
أحلقوا: عن إبن عباس رض اهلل عنو عن النيب صلى اهلل عليو و سلم الفراءض بأىلها فما بقيا فهو ألوىل رجل ذكر Artinya : Dari Ibnu Abbas R.A dari Nabi SAW berkata : “Berikanlah faraid ( bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan lakilaki yang dekat.”13 Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmizi, dan Ibn Majah. Abu Musa ditanya tentang pembagian harta warisan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Abu Musa berkata: “Untuk anak perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan seperdua. Datanglah kepada Ibnu Mas‟ud, tentu ia akan mengatakan seperti itu pula”. Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas‟ud dan ia menjawab : “Saya menetapkan atas dasar apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, yaitu untuk anak perempuan seperdua, untuk melengkapi dua pertiga cucu seperenam, dan selebihnya adalah untuk saudara perempuan”.14 3) Dasar Hukum dari Ijma‟ Ijma‟ yaitu kesepakatan para ulama atau sahabat sepeninggalan Rasulullah SAW, tentang ketentuan warisan yang terdapat dalam Al13
Imam Abi Abdullah Muhammad Bin Ismail, Shahih Bukhari,, (Beirut: Darul Kitab Al- Alamiah, 1992), hlm. 321. 14 Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia,( Jakarta : Sinar Grafika,2008), hal.40.
17
Qur‟an maupun Sunnah. Karena telah disepakati oleh para sahabat dan ulama, ia dapat dijadiakan referensi hukum.
15
sebagai contoh
adalahkesepakatan jumhur ulama tentang perbedaan agama menjadi sebab tidak mendapatkan hak waris, yakni seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh non muslim apapun agamanya. 4) Dasar Hukum dari Ijtihad Ijtihad yaitu pemikiran para sahabat atau ulama dalam menyelesaikan kasus-kasus pembagian warisan yang belum atau tidak disepakati. Misalnya terhadap masalah raad atau „aul, di dalamnya terdapat perbedaan pendapat sejalan dengan hasil ijtihad masingmasing sahabat, tabi‟in, atau ulama.16
3. Asas-asas Kewarisan Islam Hukum
kewarisan
islam
mengandung
berbagai
asas
yang
memperlihatkan bentuk dan karakteristik dari hukum kewarisan islam itu sendiri. Adapun asas-asas hukum kewarisan Islam tersebut adalah: 1) Asas Ijbari Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan islam mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. 15
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hlm. 381-382 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hlm. 382
16
18
Kata ijbari sendiri secara leksikal mengandung arti paksaan, dijalankannya asas ini dalam hokum kewarisan islam mengandung arti bahwa peralihan harta tersebut terjadi dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris ataupun permintaan dari ahli warisnya, sehingga tidak ada satu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak. 17 2) Asas Bilateral Hukum kewarisan Islam didasarkan kepada asas bilateral dengan maksud bahwa seseorang dapat menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu dari keturunan perempuan dan garis keturunan laki-laki.18 Asas bilateral ini dapat dilihat dalam Surat An-Nisa‟ ayat 7, 11, 12, dan 176 yang dengan tegas mengatakan bahwa hak kewarisan dalam seseorang menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal dunia bisa diperolehnya dari dua sumber, yaitu dari sumber garis keturunan bapak dan bisa juga dari garis keturunan ibunya. Dalam Surat An-Nisa‟ ayat 7 disebutkan, bahwa bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu, bapak, dan
17
Amir Syariffudin, Hukum Kewarisan Islam, hlm.18/ Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, HUKUM KEWARISAN ISLAM Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, hlm. 24. 18
19
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Asas dasar pemikiran ini, maka peralihan harta pewaris yang dianggap memenuhi rasa keadilan adalah memberikan harta pewaris kepada keluarganya yang paling dekat. Keluarga pewaris yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris adalah keturunannya (furu’), aswalnya (kakek ke atas) dan semua ashabah pewaris, tanpa mengesampingkan suami atau istri yang merupakan partner hidup pewaris dan sekaligus sebagai kongsi dalam mencari kebutuhan hidup bersama.19 3) Asas Individual Ketentuan kewarisan dalam syariat Islam adalah membagikan semua tirkah pewaris kepada seluruh kerabat dengan adil. Tidak dibenarkan seorang ahli waris memperoleh bagian lebih besar dari bagian yang telah ditetapkan oleh syara’. Harta waris yang diterima sebagai harta pusaka oleh seseorang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan bagian yang diperoleh saudaranya yang lain. Individu masing-masing ahli waris bebas menentukan (berhak penuh) atas bagian yang diperolehnya. Ketentuan ini sudah ditetapkan oleh al-Quran ayat 7 dalam Surat An-Nisa‟ yang mengemukakan bahwa bagian masing-masing ahli waris secara individu telah ditentukan. Sedangkan aturan yang telah ditetapkan oleh 19
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, HUKUM KEWARISAN ISLAM Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, hlm. 25.
20
syariat Islam yang tidak menyamakan bagian laki-laki dengan bagian perempuan mengandung hikmah yang sangat jelas, yakni dapat dilihat dari kewajiban yang diemban oleh laki-laki sebagai kepala keluarga atau sebagai pelindung keluarga. Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata disebabkan oleh adanya kematian. Dengan perkataan lain, bahwa harta seseorang tidak dapat beralih dengan cara pewarisan yang sekiranya orang yang memiliki harta itu masih hidup.20 4) Asas Keadilan Berimbang Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Dipertegas, bahwa batasan keadilan bukan saja terbatas pada harta, tetapi termasuk hak dan kewajiban. Oleh karena itu, esensi keadilan adalah pertimbangan tanggung jawab, baik dari segi hak maupun dari segi kewajiban. Berdasarkan hal tersebut, maka keadilan dalam kewarisanterletak pada keseimbangan antara keperluan dan kegunaan. 5) Asas Semata-mata Akibat Kematian Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta pewaris kepada ahli waris menggunakan istilah kewarisan. Istilah ini hanya 20
Abdul Manan, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. I, 2006), hlm. 208-210.
21
berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Asas ini mengandung pengertian bahwa harta yang beralih selama pewaris masih hidup tidak dinamakan kewarisan. Asas kewarisan akibat kematian mempunyai kaitan erat dengan asas ijbari, karena pada hakikatnya seseorang yang memenuhi syarat sebagai subyek hokum dapat menggunakan harta secara penuh untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya sepanjang hidup, tetapi dengan terjadinya kematian yang secara otomatis harta beralih kepada ahli waris.21
4. Sebab-sebab dan Penghalang hak waris a) Sebab-sebab seseorang dapat menerima harta warisan dari seseorang yang telah meninggal yaitu: 1) Hubungan perkawinan perkawinan menurut syariat merupakan suatu ikatan yang abadi untuk
mempertemukan
seorang
laki-laki
dengan
seorang
perempuan. Perkawinan yang menjadi sebab timbulnya hubungan kewarisan antara suami dengan istri disadarkan dua syarat yaitu: a. perkawinan yang sah menurut syariat islam Artinya syarat dan rukun perkawinan itu terpenuhi, atau antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah, yaitu nikah yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi rukun dan
21
Moh.Muhibbin dan Abdul Wahid, HUKUM KEWARISAN ISLAM Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, hlm. 30-31.
22
syarat pernikahan serta terlepas dari semua halangan pernikahan walaupun belum kumpul.22 b. Perkawinannya masih utuh Artinya, suami istri masih terikat dalam tali perkawinan saat salah satu pihak meninggal dunia.Termasuk dalam ketentuan ini, apabila salah satu pihak meninggal dunia, sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj‟I dan perempuan masih dalam masa iddah.Seorang perempuan yang sedang menjalani iddah talak raj‟I masih berstatus sebagai istri.23 2) Hubungan Kekerabatan Salah satu sebab beralihnya harta, seorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturahim atau kekerabatan antara keduanya. Yaitu hubungan nasab yang disebabkan oleh kelahiran. Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut: a. Furu‟ yaitu anak turun dari si mati b. Ushul yaitu leluhur yang menyebabkan adanya si mati. c. Hawasyi
yaitu keluarga
yang dihubungkan dengan si
meninggal dunia melalui garis menyamping, seperti saudara,
22
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm.188 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm 191
23
23
paman, bibi, dan anak turunnya dengan tidak membedabedakan laki-laki atau perempuan.24 3) Ahli waris karena hubungan “wala” Yaitu seseorang yang telah membebaskan budak, berhak terhadap peninggalan budak itu, dan sebaliknya orang yang membebaskan budak, apabila tidak ada ahli waris yang lain.25
b) Penghalang Hak Waris Ada 3 hal yang menyebabkan seseorang tidak berhak mewarisi harta peninggalan si pewaris, yaitu: 1.
Perbudakan Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris, karena dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak itu statusnya sebagai harta milik tuannya. Dia tidak dapat mewariskan harta peninggalan, sebab ia sendiri dan segala harta yang ada pada dirinya adalah milik tuannya. Dia tidak memiliki harta.26
2.
Pembunuhan Para ahli hukum Islam sepakat tindakan pembunuhan yang dilakukan olehahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya
24
Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1975), hlm.116 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan Agama dan Kewarisan menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm. 113 26 A. Hasan, Al-Faraid,( Jakarta: Pustaka Progresif, 1996), hlm. 43 25
24
menjadi penghalang baginya mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya.27 Rasulullah SAW bersabda: “Dari Ibnu Abbas ra. Rasulullah SAW bersabda:” Barangsiapa membunuh seseorang maka ia tidak dapat mewarisi orang itu, sekalipun ia tidak punya ahli waris selainnya.” (HR. Ahmad, Baihaqi) 3.
Berlainan Agama Berlainan
agama adalah adanya perbedaan agama yang
menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan.28
5. Para ahli waris beserta hak-haknya 1.
Ahli Waris Ahli waris adalah
orang-orang yang berhak menerima harta
peninggalan (mawarisi) orang yang meninggal, baik karena hubungan keluarga, pernikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya. 29
Ahli waris dapat digolongkan atas dasar tinjauan menurur jenis
kelamin. Yaitu jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan, dan dari segi haknya atas harta warisan, ahli waris dibagi menjadi tiga (3) golongan: yaitu Zawi al-furud, Ashabah, dan Zawi al-Arham. Adapun ahli waris menurut jenis kelamin antara lain sebagai berikut:
27
Moh.Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, hlm. 76 28 Fatkhurrahman, Ilmu Waris, hlm. 98 29 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, cet-ke-1, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hlm 43-44
25
a) Ahli waris laki-laki terdiri dari 15 orang.30 1) Anak laki-laki 2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah 3) Ayah 4) Kakek shoheh (bapaknya bapak) dan seterusnya keatas. 5) Saudara laki-laki sekandung 6) Saudara laki-laki seayah 7) Saudara laki-laki seibu 8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 9) Anak laki-laki dari saudara seayah 10) Paman sekandung (saudara laki-laki ayah sekandung) 11) Paman seayah (saudara ayah laki-laki seayah) 12) Anak laki-laki dari paman sekandung 13) Anak laki-laki dari paman seayah 14) Suami 15) Orang laki-laki yang memerdekakan budak. Jika mereka semuanya ada maka mereka tidak mewarisi harta warisan kecuali 3 orang, yaitu: ayah, anak laki-laki, dan suami b) Ahli waris perempuan terdiri dari 10 orang, yaitu:31 1) Anak perempuan
30 31
hlm. 25
Ali Ash-Shabbuni, Pembagian Waris Menurut Islam, hlm 47 Ahmad Azhar Bashir, Hukum Waris Islam, cet ke-3, (Yogyakarta:Ekonisia, 2001),
26
2) Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki 3) Ibu 4) Nenek (ibunya bapak) dan seterusnya ke atas dari pihak perempuan. 5) Nenek (ibunya ibu) dan seterusnya ke atsa dari garis perempuan 6) Saudara sekandung 7) Saudara seayah 8) Saudara seibu 9) Istri 10) Perempuan yang memerdekakan budak Jika mereka semuanya ada maka mereka tidak mewarisi harta warisan kecuali 5 orang, yaitu: istri, anak perempuan, cucu perempuan (dari nak laki-laki), ibu, dan saudara kandung. Apabila semua ahli waris yang disebut di atas baik ahli waris dari laki-laki maupun ahli waris perempuan, maka yang berhak memperoleh bagian dari harta peninggalan hanya 5 orang, yaitu: suami/istri, bapak, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan. Dilihat dari segi haknya ahli waris dikelompokkan menjadi 3 golongan, antara lain sebagai berkut:
27
a) Dzawi al-furud Dzawi al- furud adalah ahli waris yang sudah ditentukan di dalam al-qur‟an yang mesti selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak berubah-ubah.
32
Kelompok ahli waris ini tercantum
secara jelas di dalam Q.S An-Nisa‟ (4): 7, 11 , 12, 33, dan 176. Mereka yang mendapatkan jelas bagian tertentu ini sebanyak delapan orang, ditambah denga empat orang yang disebut dalam hadis Rasulullah , sehingga menjadi dua belas, mereka itu ialah: 1) Anak perempuan 2) Cucu perempuan 3) Bapak 4) Ibu 5) Kakek 6) Nenek (ibu dari ibu/ ibu dari ayah) 7) Saudara perempuan sekandung 8) Saudara perempuan seayah 9) Saudara laki-laki seibu 10) Saudara perempuan seibu 11) Suami 12) Istri b) Ashabah Ashabah adalah ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya, kadangkala mendapat bagian sisa (kalau ada dzawi al-furud) 32
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Tinta Mas, 1968), hlm. 38.
28
kadangkala tidak menerima sama sekali (kalau tidak ada sisa) tetapi kadang-kadang menerima seluruh harta (kalau tidak ada dzawi al-furud). Ahli waris yang termasuk dalam kelompok ashabah ini dapat digolongkan menjadi tiga macam, antara lain: 1) Ashabah bi Nafsihi Ashabah bi nafsi (menjadi ahli waris dengan sendirinya) adalah ahli waris laki-laki yang ketika dia mewaris tidak ada ahli waris perempuan, dan mereka menghabiskan semua sisa harta.33Ashabah bi nafsi adalah seluruhnya laki-laki, yang secara urut adalah: a) Anak laki-laki b) Cucu laki-laki c) Ayah d) Kakek e) Saudara sekandung f) Saudara seayah g) Anak saudara sekandung h) Anak saudara seayah i) Paman sekandung dengan ayah j) Paman seayah dengan ayah k) Anak lak-laki paman sekandung 33
M. Ashary MK, HUKUM KEWARISAN ISLAM INDONESIA DInamika Pemikiran Dari Fiqh Klasik Ke Fiqh Indonesia Modern, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2013), hlm. 35.
29
l) Anak laki-laki paman seayah 2) Ashabah bil Ghairi Ashabah bil ghairi (menjadi ashobah karena ada ahli waris yang lain) ialah ahli perempuan yang berkedudukan sebagai ahli waris dzawil furud, apabila mewaris bersama-sama ahli waris
laki-laki
maka
mereka
menjadi
ashabah
dan
menghabiskan sisa harta, besarnya bagian mereka adalah ahli waris
laki-lakimendapat
dua
kali
bagian
ahli
waris
perempuan.34 Mereka yang termasuk ashabah bil ghairi antara lain: a) Anak perempuan ketika bersama anak laki-laki b) Cucu perempuan ketika bersama cucu laki-laki c) Saudara perempuan sekandung ketika bersama saudara laki-laki seknadung d) Saudara perempuan seayah ketika bersama saudara laki-laki seayah. 3) Ashabah ma’al ghairi Ashabah ma’al ghairi adalah asobah karena bersama dengan orang lain. Orang yang menjadi ashabah ma’al ghairi itu sebenarnya bukan ashabah, tetapi karena kebetulan bersamanya ada ahli waris yang juga bukan ashabah, ia dinyatakan sebagai
34
M. Ashary MK, HUKUM KEWARISAN ISLAM INDONESIA DInamika Pemikiran Dari Fiqh Klasik Ke Fiqh Indonesia Modern, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2013), hlm 37
30
ashabah sedangkan orang yang menyebabkannya menjadi ashabah itu tetap bukan ashabah. Ashabah ma’al ghair khusus berlaku untuk saudara perempuan, kandung atau seayah pada saat bersamanya ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.Anak perempuan atau cucu perempuan tersebut menjadi ahli waris dzawi al- furudh sedangkan saudara perempuan menjadi ashabah.35 c) Dzawil Arham Ahli waris dzawil arham secara etimologi diartikan ahli waris dalam hubungan kerabat.Namun pengertian hubungan kerabat itu begitu luas dan tidak semuanya tertampung dalam kelompok orang yang berhak menerima warisan sebagaimana dirinci sebelumnya. Sebelum ini sudah dirinci ahli waris yang berhak menerima sebagai dzawil furudh dan ahli waris ashabah, dengan cara pembagian mula-mula diberikan kepada dzawil furudh kemudian harta yang selebihnya diberikan kepada ahli waris ashabah.36 Apabila dalam pembagian tidak ada ahli waris dzawil furudh dan ahli waris ashabah maka yang berhak menerima harta warisan adalah ahli waris dzawil arham. Hazairin dalam bukunya “Hukum Kewarisan Bilateral” memberikan perincian mengenai dzawi al-
35
Amir Syarifuddin, HUKUM KEWARISAN ISLAM, (Jakarta:PRENADA MEDIA, 2005) Hlm. 247 36 Amir Syarifuddin, HUKUM KEWARISAN ISLAM, (Jakarta:PRENADA MEDIA, 2005), hlm. 247.
31
Arham yaitu semua orang yang bukan termasuk dzawi al-furudh dan bukan ashabah, umumnya terdiri dari orang yang termasuk anggota keluarga patrilineal pihak menantu laki-laki atau anggota pihak menantu laki-laki atau anggota-anggota keluarga pihak ayah atau ibu.37
2. Bagian masing-masing ahli waris Bagian warisan ahli waris dapat dibedakan dari bentuk penerimaannya
menjadi
dua,
pertamaAshab
al-Furudh
Al-
Muqaddarah yaitu ahli waris yang menerima bagian tertentu yang telah ditentukan dalam al-Qur‟an.Mereka ini umumnya ahli waris perempuan.Adapun besarnya bagian mulai dari ½, ¼, 1/3, 1/6, 1/8, dan 2/3.Kedua ashab al-usubah yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah diambil oleh ashabal-Furudh Al-Muqaddarah.Ahli waris penerima sisa kebanyakan laki-laki.38 Ahli waris yang telah ditentukan bagiannya oleh Al-Qur‟an diantaranya terdapat dalam surat an-Nisa‟ ayat 11 yaitu:
37
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Qur’an,(Jakarta:Tinta Mas, 1959), hlm. 14. 38 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Qur‟an,(Jakarta:Tinta Mas, 1959), hlm. 15.
32
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anakanakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Ayat ini mengandung beberapa garis hokum kewarisan islam, diantaranya: a) Perolehan antara seorang anak laki-laki dengan seorang anak perempuan, yaitu dua berbanding satu (2:1) b) Perolehan dua orang anak perempuan atau lebih, mereka mendapat 2/3 dari harta peninggalan c) Perolehan seorang nak perempuan, yaitu ½ dari harta peninggalan d) Perolehan ibu/bapak, yang masing-masing memperoleh 1/6 dari harta peninggalan kalau si pewaris mempunyai anak
33
e) Besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu/bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak atau saudara, maka perolehan ibu 1/3 dari harta peninggalan. f) Besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu/bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak tetap mempunyai saudara, g) maka perolehan ibu 1/6 dari harta peninggalan. Ahli waris yang telah ditentukan bagiannya oleh Al-Qur‟an diantaranya terdapat dalam surat an-Nisa‟ ayat 12 yaitu:
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteriisterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
34
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benarbenar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. Ayat ini mengandung beberapa garis hokum kewarisan islam, diantaranya: a) Suami mendapat bagian ½ dari harta peninggalan istrinya kalau si istri tidak meninggalkan anak b) Suami mendapat bagian 1/4 dari harta peninggalan istrinya kalau si istri meninggalkan anak c) Istri mendapat bagian 1/4 dari harta peninggalan suaminya kalau si suami tidak meninggalkan anak d) Istri mendapat bagian 1/8 dari harta peninggalan suaminya kalau si suami meninggalkan anak e) Jika ada seorang laki-laki atau perempuan diwarisi secara punah (kalalah), sedangkan baginya ada seorang saudara laki-laki atau saudara perempuan, maka masing-masing dari mereka iru memperoleh 1/6. f) Jika ada seorang laki-laki atau perempuan diwarisi secara punah (kalalah), sedangkan baginya ada seorang saudara-saudara yang jumlahnya lebih dari dua orang, maka mereka bersekutu atau berbagi sama rata atas 1/3 dari harta peninggalan.
35
g) Pelaksanaan pembagian harta warisan sesudah dibayarkan wasiat dan utang-utang pewaris.
B. Penelitian yang Relevan Sejauh pengetahuan penulis, buku-buku yang membahas tentang kewarisan sudah banyak. Buku-buku tersebut kebanyakan membahas teoriteori tentang kewarisan, baik kewarisan menurut hukum islam, hukum adat, maupun KUHPerdata. Padahal jika melihat dilapangan, ada praktik-praktik yang tidak sesuai dengan teori mengingat kemajuan masyarakat Indonesia. Seperti halnya buku “Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan pendekatan Ushuliyyah” karya Prof. Dr. H. Satria Effendi M.Zein, MA. Didalam buku ini berisi tentang problematikaproblematika hukum keluarga islam. Dimana terdapat pula problematika hukum waris. Di dalam buku ini di kemukakan adanya sebuah problem dalam pembagian harta waris. Yaitu pembagian harta waris di lakukan secara kekeluargaan, dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Dimana pembagian harta warisan secara kekeluargaan itu sah, dengan ketentuan memenuhi syarat-syaratnya, yaitu adanya kecakapan bertindak secara hukum yang didasarkan atas kerelaan penuh dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembagian warisan. Akan tetapi jika adanya pemaksaan dari
36
salah satu ahli waristidak rela, maka pembagian itu tidak sah dan harus di ulang kembali.39 Prof. Dr. Amir Syarifuddin, didalam bukunya Hukum Kewarisan Islam. Di Dalam bukuini menguraikan tentang kewarisan Islam dan wacana tentang hokum kewarisan islam serta penerapan hokum tersebut di Indonesia. Dalam bukunya tersebut dikemukakan: meskipun kewarisan merupakan ajaran agama, namun tidak semua umat islam mengetahuinya. Alasannya ialah pertama karena peristiwa kematian yang menimbulkan adanya kewarisan itu dalam suatu keluarga merupakan peristiwa yang jarang terjadi. Kedua, tidak semua orang yang mati itu meninggalkan harta yang patut menjadi urusan, karena tidak semua orang Islam itu kaya. Ketiga, ajaran tentang kewarisan itu membicarakan angka yang bersifat sistematis yang tidak semua orang tertarik kepadanya.40 Selain buku-buku tentang kewarisan, sepengetahuan penulis skripsiskripsi yang membahas tentang kewarisan tidak banyak, dan belum ada yang membahas tentang pemberian rumah peninggalan kepada anak ragil sebagai bagian kewarisan, antara lain: Muhammad Masrur dalam skripsi yang berjudul : “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat (Studi Kasus di Bidang Munakahat, Mawaris, dan Muamalat).41 Di dalamnya membahas tentang keberadaan dan kekuatan adat,
39
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan pendekatan Ushuliyyah, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 343. 40 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, ( Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 322. 41 Skripsi Muhammad Masrur, Tinjauan Hukum Islam terhadap Adat (Studi Kasus di Bidang Ibadah, Munakahat, Mawaris dan Mu’amalat, (Prodi Akhwalus Syakhsiyyah STAIN PEKALONGAN: 2007)
37
juga membahas kasus-kasus hokum berdasarkan adat baik dibidang munakahat, mawaris, maupun muamalat. Sebagai contoh kasus di bidang munakahat yaitu masalah harta bersama (gono-gini) dalam perkawinan menurut hokum islam dikategorikan ke dalam syirkah abdan mufawadlah yaitu perkongsian tenaga dan perkongsian tak terbatas. Nurjanah dalam skripsi yang berjudul “ Studi Komparatif tentang Kedudukan Anak Angkat terhadap Harta Warisan dalam hokum adat Jawa dan KHI”. Di dalamnya membahas tentang perbandingan pemberian harta warisan terhadap anak angkat menurut hokum adat jawa dan KHI. Dimana antara sistem kewarisan adat Jawa dan Hukum Islam di Indonesia (KHI) terdapat suatu kesamaan dan juga terdapat perbedaan yang sangat kontras. Kesamaannya yaitu dalam hal sistem kekerabatan dan asas kewarisannya. Keduanya menganut sistem kekerabatan bilateral atau parental dan menggunakan asas kewarisan individual.Sedangkan perbedaannya yaitu: 1). Pada adat Jawa proses pewarisan dapat dilakukan sebelum dan sesudah kematian, sedangkan dalam KHI hanya dapat di lakukan setelah adanya kematian. 2) pada adat Jawa anak angkat diakui sebagai ahli waris, karena anak angkat tidak mempunyai hubungan darah dengan pewaris. 3) dalam adat Jawa terdapat ahli waris utama dan menggunakan system pembagian bertingkat, sehingga apabila ahli waris utama ada maka ahli waris lain akan terhalang. Sedangkan dalam KHI tidak menganut adanya ahli waris utama. Semua ahli waris yang memang tidak berhalangan mewaris mendapat kesempatan yang sama sesuai dengan bagiannya. Penelitian ini membahas
38
tentang Kedudukan Anak Angkat terhadap Harta Warisan dalam hukum adat Jawa dan KHI, tetapi bukan tentang pemberian rumah peninggalan kepada anak ragil sebagai bagian kewarisan sehingga berbeda dengan yang penulis teliti.42 Choirur Roziqin dalam Skripsi yang berjudul “Pelaksanaaan Pembagian Harta Waris menurut Hukum Islam dalam Persepsi Masyarakat Desa Pasirsari” didalamnya membahas tentang pelaksanaan pembagian harta warisan di Desa Pasirsari. Adapun pelaksanaan pembagiannya menggunakan hukum waris adat, dimana tidak membedakan pembagian antara laki-laki dan perempuan. Semuanya mendapatkan bagian yang sama rata di dalam pembagian harta waris.43 Berbeda dengan penelitian sebelumnya, Nurkhalimah yang berjudul Praktik Pembagian Harta Warisan berdasarkan Kesepakatan (Kasus di desa Jatibogor Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal).44Di dalamnya membahas tentang pembagian harta warisan di desa Jatibogor Kecamatan Surodadi Kabupaten Tegal, yang mana pembagiannya yaitu melalui kesepakatan antara ahli waris. Alasan mereka menggunakan sistem ini karena sistem kewarisan islam di nilai kurang membawa maslahat dan sistem pembagian harta warisan berdasarkan kesepakatan di nilai lebih memberi maslahat. Skripsi ini mencoba 42
Skripsi Nurjanah, Studi Komparatif Tentang Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan dalam Hukum Adat Jawa dan Kompilasi Hukum Islam, (Prodi Akhwalus SyakhsiyyahSTAIN PEKALONGAN: 2011) 43 Skripsi Choirur Rozikin, Pelaksanaan Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Islam dalam Persepsi Masyarakat Desa Pasirsari, (Prodi Akhwalus SyakhsiyyahSTAIN PEKALONGAN: 2011) 44 Skripsi Nurkhalimah, Praktik Pembagian Harta Warisan berdasarkan Kesepakatan (Kasus di desa Jatibogor Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal, (Prodi Akhwalus SyakhsiyyahSTAIN PEKALONGAN: 2011)
39
menganalisis praktik pembagian harta warisan berdasarkan kesepakatan, tetapi bukan tentang pemberian rumah peninggalan kepada anak ragil sebagai bagian dari kewarisan.Sehingga berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis.
C. Kerangka Berfikir Bagi
setiap
pribadi
muslim
adalah
kewajiban
baginya
untuk
melaksanakan kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan yang ditunjuk oleh peraturan-peraturan yang jelas (nash-nash sharih). Selama peratura-peraturan tersebut ditunjukkan oleh peraturan atau ketentuan lain yang menyebutkan ketidakwajibannya, maksudnya setiap ketentuan hukum agama islam wajib dilaksanakan selama tidak ada ketentuan lain. (yang datang kemudian sesudah ketentuan terdahulu) yang menyatakan ketentuan terdahulu tidak wajib. Demikian pula mengenai hukum faraid tidak ada satu ketentuan pun (nash) yang menyatakan bahwa membagi harta warisan menurut ketentuan faraidh itu tidak wajib. Bahwa sebaliknya di dalam surat An-Nisa‟ ayat 13dan 14 Allah SWT menetapkan:45
Artinya: (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
45
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Wrisan Islam Lengkap & Praktis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 3
40
memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. Hukum islam sebagaimana hukum-hukum yang lain mempunyai asas dan tiang pokok. Yang mana asas dan tiang pokok tersebut mempunyai peranan yang sangat penting terhadap keberlangsungan suatu masyarakatat Asas-asas hukum tersebut antara lain adalah: 1. Seiring dengan kemaslahatan manusia Hukum islam dihadapkan kepada bermacam-macam jenis manusia dan ke seluruh dunia. Maka tentulah pembina hukum memperhatikan kemaslahatan masing-masing mereka sesuai dengan adat dan kebudayaan mereka
serta
iklim
yang
menyelubunginya.
Jika
kemaslahatan-
kemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka pada saat itu didahulukan maslahat umum atas maslahat khusus dan diharuskan kita menolak kemadharatan yang lebih besar dengan jalan mengajak mengerjakan kemadhorotan yang kecil.46 2. Mewujudkan keadilan yang merata Nash-nash al-qur‟an tidaklah membatasi keadilan kepada sesuatu golongan manusia. Keadilan di dalam islam diterapkan kepada semua manusia. Muhammad Abduh di dalam kitabnya Al- Islam wa Nasraniyah mengatakan bahwa hampir seluruh umat islam berpendapat bahwa apabila
46
TM Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), Cet ke II, hlm. 80
41
berlawanan antara akal dengan naqal, ambilah yang ditunjuki akal. Dalam menghadapi naqal, kita mempunyai dua jalan: Pertama: mengakui keshalihan naqal itu, kita tidak sanggup memahaminya, dan mnyerahkan urusan pemahamannya kepada Allah. Kedua: kita takwil dengan memperhatikan aturan bahasa agar maksudnya sesuai dengan ketentuan akal.47 Tujuan hukum hanyalah mewujudkan kemaslahatan masyarakat, baik didunia maupun di akhirat, menolak kemadharatan dan kemafsadatan, serta mewujudkan keadilan yang mutlak.48 Keadilan dalam islam merupakan perpaduan yang menyenangkan antara hukum dan moralitas. Islam tidak bermaksud untuk menghancurkan kebebasab individu tetapi mengontrolnya demi kepentingan masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri, dan karenanya juga melindungi kepentingan yang sah. Hukum memainkan perannya dalam mendamaikan kepentingan dengan kepentingan masyarakat dan bukan sebaliknya individu diperbolehkan mengembangkan hak pribadinya dengan syarat tidak mengganggu kepentingan masyarakat. Ini mengakhiri perselisihan dan memenuhi tuntutan keadilan. Karena itu, berlaku adil berarti hidup menurut prinsip-prinsip Islam.49
47
TM Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), Cet ke II, hlm. 83-86. 48 TM Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), Cet ke II, hlm. 123. 49 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Orientasi Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm. 83.