7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka pertama yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari jurnal karya Reed Wood tahun 2014 dengan judul Aiding Labor: Foreign Aid and the Promotion of Labor Rights in LDCs. Menurut Wood, hubungan antara bantuan luar negeri dengan organisasi ketenagakerjaan (labor organizations) telah ada sejak masa Perang Dingin. Disamping itu, sejak berakhirnya Perang Dingin, negaranegara pendonor Barat secara signifikan meningkatkan anggaran negaranya untuk program-program bantuan yang ditujukan kepada negara-negara kurang berkembang (Less Developed Countries/LDCs). Selain ditujukan kepada negara penerima (recipient), bantuan yang diberikan juga ditujukan langsung untuk mendukung program-program yang dijalankan oleh masyarakat sipil dan NGO, khususnya pada program yang berorientasi mempromosikan hak asasi manusia. Wood menjelaskan bahwa program-program yang memperoleh dukungan bantuan luar negeri tersebut berfokus pada masalah ketenagakerjaan seperti, masalah pekerja anak, diskriminasi di tempat kerja, pekerja paksa, hak untuk berasosiasi dan berkumpul, dan lain sebagainya. Bantuan luar negeri yang diberikan diharapkan berpengaruh terhadap peningkatan standar ketenagakerjaan di negaranegara kurang berkembang tersebut. Bantuan yang ditujukan langsung pada masyarakat sipil dan NGO diharapkan mampu meningkatkan kekuatan tawar 7
8
pekerja (bargaining power) dengan jalan meningkatkan kapasitas pekerja, meningkatkan solidaritas pekerja, memperkuat persatuan pekerja, aktivis hak asasi manusia, serta mengembangkan jaringan antara organisasi pekerja domestik dan internasional. Menurut Wood, dengan meningkatkan kekuatan tawar pekerja akan membuat asosiasi pekerja memiliki kapasitas untuk mempengaruhi pemerintah atau pembuat kebijakan untuk mengimplementasikan dan menegakkan peraturan ketenagakerjaan yang sesuai dengan standar internasional. Persamaan penelitian Wood dengan penelitian ini adalah dalam penggunaan bantuan luar negeri, khususnya bantuan yang bersifat humanitarian development sebagai kerangka konseptual untuk menganalisis topik bahasan yang diangkat. Namun penelitian Wood memfokuskan pada pengaruh bantuan luar negeri yang diberikan untuk meningkatkan kapasitas pekerja di negara kurang berkembang, sehingga meningkatkan kekuatan tawar pekerja. Hal ini diharapkan agar pemerintah menetapkan legislasi ketenagakerjaan nasional yang sejalan dengan standar internasional, sehingga hak-hak pekerja akan dapat terpenuhi. Sedangkan penelitian ini akan mengkaji bantuan luar negeri sebagai upaya organisasi internasional (ILO), berkolaborasi dengan pemerintah Ghana, NGO-NGO serta komunitas-komunitas lokal untuk mengeliminasi dan mencegah masalah pekerja anak di Ghana. Meskipun demikian, pemaparan Wood tentang bantuan luar negeri yang diberikan oleh negara-negara pendonor atau organisasi internasional akan membantu penelitian ini dalam memetakan fokus bahasan penelitian. Wood menjelaskan motif pemberian bantuan luar negeri begitu beragam, seperti motif
9
ekonomi, keamanan, kemanusiaan dan lain sebagainya. Penelitian ini, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk dikaji dari beragam perspektif, akan memfokuskan bahasan pada bantuan luar negeri dalam menangani masalah kemanusiaan (humaniter) yang menyangkut pelanggaran terhadap hak anak. Kajian pustaka kedua dalam penelitian ini diambil dari bab kesepuluh dalam buku Hazardous Child Labour in Latin America, karya G.K Lieten (2010). Bab sepuluh pada buku tersebut berjudul Children on Bolivian Sugar Cane Plantations karya Laura Baas. Bab tersebut dipilih sebagai kajian pustaka karena sama-sama mengkaji persoalan pekerja anak yang bekerja dalam kondisi berbahaya di sektor agrikultur. Meskipun berbeda dalam sektor agrikultur yang diambil (perkebunan tebu dengan kakao) dan fokus negara (Bolivia dengan Ghana), namun skema pembahasan masalah pekerja anak dari Baas hampir mirip dengan penelitian ini. Upaya untuk mengeliminasi dan mencegah pekerja anak pada perkebuan tebu di Bolivia dilakukan oleh beragam aktor, baik organisasi internasional seperti ILO, UNICEF, dan beberapa NGO seperti LABOR dan OASI dengan program intervensinya masing-masing. Aktor-aktor tersebut dalam melakukan program intervensi juga berkoordinasi dengan pemerintah nasional. Oleh karena itu penelitian Baas dan penelitian ini memiliki kesamaan dalam mengkaji upaya aktor internasional melalui pemberian bantuan luar negeri dalam bentuk programprogram intervensi untuk mengeliminasi dan mencegah pekerja anak yang bekerja pada kondisi berbahaya. Penelitian Baas cukup membantu penelitian ini untuk melihat masalah pekerja anak yang terjadi di berbagai belahan dunia memiliki pola yang hampir
10
serupa. Misalnya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pekerja anak baik di Bolivia dan Ghana disebabkan karena faktor kemiskinan dan minimnya fasilitas pendidikan.
Meskipun
penyebab-penyebab
tersebut
telah
diidentifikasi,
menemukan solusi yang tepat dan memiliki prospek keberhasilan yang tinggi adalah persoalan lain yang tidak mudah. Pekerja anak yang dipandang sebagai pekerjaan yang lumrah dan telah mengakar sejak lama, memiliki tantangan tersendiri bagi pihak-pihak yang menginisiasi bantuan luar negeri untuk menangani permasalahan tersebut. Disamping itu, pandangan Baas yang relevan dengan penelitian ini bahwasanya keterlibatan serta kerjasama dengan pemerintah nasional dan komunitas lokal sangat penting dalam upaya menanggulangi isu pekerja anak. Penelitan Baas memang menjelaskan keterlibatan pemerintah Bolivia, khususnya Kementerian Tenaga Kerja dan aktor-aktor internasional lainnya. Meskipun demikian, upaya yang dilakukan masing-masing aktor internasional melalui program intervensinya merupakan kegiatan yang saling terpisah. Baas sendiri menyebutkan dalam penelitiannya, strategi intervensi yang dilakukan masing-masing aktor memang memberikan dampak pada eliminasi pekerja anak, namun belum signifikan. Intervensi yang akan memberikan hasil lebih baik adalah kombinasi intervensi dari kolaborasi aktor-aktor internasional dan pemerintah nasional. Pada penelitian ini hal tersebutlah yang akan lebih ditekankan, yaitu kerjasama ILO-IPEC dengan pemerintah Ghana, NGO dan komunitas lokal dalam mengeliminasi dan mencegah pekerja anak pada perkebunan kakao di Ghana.
11
2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian ini menggunakan teori bantuan luar negeri (theory of foreign aid) dengan dua konsep turunannya yang akan digunakan untuk menganalisis upaya ILO-IPEC dalam mengeliminasi dan mencegah masalah pekerja anak pada perkebunan kakao di Ghana. Dua konsep tersebut yaitu: bantuan pembangunan humaniter (humanitarian development aid) dan technical assistance of foreign aid. 2.2.1 Bantuan Luar Negeri Bantuan internasional atau bantuan luar negeri menurut Goldstein (2003) merupakan bantuan berupa dana atau dalam bentuk lainnya yang ditujukan untuk negara-negara dunia ketiga dalam rangka membantu mereka meningkatkan pembangunan ekonomi atau berkaitan dengan misi kemanusiaan/humaniter. Selain untuk membantu negara bersangkutan, bantuan internasional juga ditujukan untuk meningkatkan hubungan antara negara, organisasi atau agen multilateral yang memberikan bantuan (pendonor) dengan negara penerima (recipient) baik dalam hal politik, kultural maupun ekonomi. Goldstein juga mengungkapkan bahwa bantuan luar negeri juga merupakan bentuk kekuasaan (power) dari pihak pendonor untuk mempengaruhi pihak penerima, atau bantuan luar negeri juga dapat merupakan bentuk dari interdependence antara donor dan recipient. Menurut General Assembly Security Council (2014), terdapat lima prinsip umum dalam pemberian bantuan luar negeri/internasional, diantaranya: 1. Menjamin Kepemilikan Nasional (Ensure National Ownership) Hal yang dimaksud disini adalah aktor-aktor nasional biasanya lebih mengetahui kondisi dalam negerinya. Oleh karena itu mereka adalah aktor yang paling tepat
12
untuk mengidentifikasi masalah serta resiko dari masalah tersebut, sehingga dapat
mengembangkan strategi intervensi yang efektif untuk memitigasi permasalahan, bersama dengan aktor-aktor internasional lainnya. Upaya untuk mencegah atau merespon masalah tersebut hanya akan berhasil jika upaya yang direncanakan merupakan hasil dari proses inklusif yang selain melibatkan aktor-aktor internasional, juga melibatkan pemerintah nasional dan lokal, masyarakat sipil, organisasi HAM, hingga pemimpin-pemimpin tradisional/desa. 2. Membangun Komitmen Bersama (Build Mutual Commitment) Keberhasilan upaya suatu negara dalam upaya pencegahan terhadap masalah humaniter bergantung pada komitmen aktor-aktor nasional. Ketika tidak adanya keinginan yang kuat atau persetujuan dari pemerintah nasional terhadap bantuan internasional yang hendak dilakukan, potensi aktor-aktor luar untuk memberikan bantuan tersebut
akan
menjadi
upaya
yang sangat
terbatas dalam
implementasinya. Disaat yang sama, aktor-aktor internasional juga harus memikirkan cara untuk menyediakan bantuan yang koheren dan terkoordinasi, yang dapat mendukung upaya aktor nasional, serta berkomitmen untuk membantu upaya tersebut secara berkelanjutan (sustainability). 3. Bantuan yang Dilakukan Tidak Membahayakan (Do No Harm) Bantuan internasional yang dirancang secara tidak matang akan memperburuk masalah yang hendak ditangani dan justru berpotensi mengakibatkan perpecahan sosial. Bantuan internasional atau saran teknis yang harus dihindari adalah yang dapat berkontribusi pada diskriminasi atau perpecahan dan menyebabkan kelompok-kelompok dalam negara bersaing memperebutkan
13
sumber pendapatan. Maka dari itu, aktor-aktor internasional harus membuat upaya yang dilakukan tidak mengarah pada hal-hal yang dapat memperburuk keadaan. Hal ini dapat dilakukan dengan melengkapi upaya pencegahan dengan melakukan penilaian (assessment), perencanaan (planning) dan proses monitoring (monitoring process), yang mana akan memandu aktor-aktor tersebut dalam memberikan bantuan yang lebih efektif. 4. Memprioritaskan Pencegahan (Prioritize Prevention) Paragraf 139 dalam hasil World Summit berisikan tentang komitmen komunitas internasional untuk membantu negara yang mengalami kesulitan melindungi rakyatnya dari masalah kemanusiaan atau berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Menanggapinya dengan pencegahan (tindakan lebih awal) tidak hanya mengurangi eskalasi masalah menjadi beresiko laten tapi juga akan menghemat biaya yang dikeluarkan. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya komunitas internasional seringkali baru menanggapi masalah tersebut dan melakukan aksi pencegahan saat masalah telah terjadi dan menarik perhatian masyarakat global. 5. Mempertahankan Fleksibilitas (Retain Flexibility) Resiko masalah pelanggaran hak asasi manusia atau masalah kemanusiaan bisa bervariasi dan berubah seiring berjalannya waktu. Maka dari itu bantuan internasional harus dirancang untuk dapat menanggapi masalah yang sedang
berlangsung dan juga dapat menyesuaikan terhadap kebutuhan yang terus berkembang. Fleksibilitas dalam pemberian bantuan memerlukan kesediaan aktor-aktor untuk menyesuaikan program-program yang dijalankan agar berkesinambungan dan mampu memberikan dampak yang ingin dicapai, serta untuk meninjau keefektifan bantuan selama bantuan tersebut disediakan.
14
2.2.1.1 Bantuan Pembangunan Humaniter (Humanitarian Development Aid) Bantuan pembangunan humaniter merupakan bantuan yang diberikan kepada negara yang memerlukan (recipient) oleh pemberi bantuan (donor) untuk mencapai tujuan kemanusian. Dengan kata lain, maksud dari pemberian bantuan pembangunan humaniter tidak untuk mencapai kepentingan politik pendonor, namun untuk memenuhi kebutuhan humaniter negara recipient. Bantuan tersebut diberikan dengan jalan mengimplementasikan beberapa program yang menunjang misi pemberian bantuan (Tisch dan Wallace, 1994). Program tersebut misalnya menyediakan pelatihan-pelatihan bagi komunitas mengenai peningkatan kapasitas, menyediakan
fasilitas
perlindungan
sosial,
melakukan
sosialisasi
untuk
meningkatkan kesadaran mengenai masalah pekerja anak, dan lain sebagainya. Bantuan luar negeri dapat berupa bantuan bilateral atau multilateral. Menurut Tisch dan Wallace (1994) bantuan pembangunan humaniter diberikan oleh agen multilateral yang terdiri dari beberapa aktor, seperti negara, organisasi internasional, NGO yang mengusung tujuan jangka panjang dalam ranah pembangunan ekonomi dan perubahan sosial. Tujuan tersebut berkaitan dengan aspek yang akan dibahas dalam penelitian ini. Pertama, menyangkut tujuan kemanusiaan yang mengarah pada masalah pelanggaran terhadap hak anak. Kedua, yaitu tujuan yang berkaitan dengan mengeliminasi dan mencegah pekerja anak dan meningkatkan taraf hidup keluarga mereka. Menurut General Assembly Security Council (2014), dukungan/bantuan yang diberikan oleh pendonor bisa terdiri atas tiga bentuk, yaitu: dorongan (encouragement), pengembangan kapasitas (capacity-building) dan bantuan
15
perlindungan (protection assistance). Jika bantuan tersebut disusun dan dijalankan dengan konsisten, maka akan mampu membantu negara bersangkutan dalam menangani masalah yang dihadapi. Dalam pemberian bantuan internasional, begitu pula dengan humanitarian development aid, pendonor harus mendapatkan izin dari pihak otoritas negara penerima untuk beroperasi di negara tersebut. Hal ini berkaitan dengan prinsip kedaulatan negara, yang mana pemerintah nasional berhak mengontrol distribusi bantuan serta kehadiran pihak asing di teritori negara tersebut (Goldstein, 2003). Meskipun kehadiran pihak asing atau pelaksanaan program intervensi (bantuan humaniter) tidak dapat mempengaruhi kedaulatan negara, konvensi internasional terkait hak asasi manusia yang telah diratifikasi negara bersangkutanlah yang dapat mempengaruhi kedaulatan negara tersebut (Barkin, 2006). Maka dari itu, jika suatu negara melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, negara tersebut harus bersedia bekerjasama dengan pihak pemberi bantuan untuk menangani masalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia tersebut. Keberhasilan dari memberian humanitarian development aid ini tidak hanya ditentukan oleh program-program intervensi yang diusung pihak pendonor dan implementator, namun juga dengan aktor-aktor lain yang bekerjasama dengan pendonor dalam menjalankan program dengan misi humaniter tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Tisch dan Wallace (1994) bahwasanya: “Even though humanitarian aid is less ideological than politically motivated aid, its success often depends on friendly relations between non-governmental implementors and host country government agencies.”
16
Maka dari itu ILO-IPEC pun dalam mengimplementasikan WACAP tidak hanya bergerak sendiri, namun juga melakukan kolaborasi dengan pihak-pihak yang akan memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan program, seperti pemerintah Ghana dan beberapa NGO lokal dan internasional.
2.2.2.2 Technical Assistance of Foreign Aid Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tipe bantuan internasional/luar negeri ada dua jenis; bilateral dan multilateral. Menurut Radelet (2006), dalam pemberian bantuan luar negeri yang bersifat multilateral (pendonor berasal dari beberapa agen seperti negara-negara, PBB atau organisasi dibawah naungan PBB), salah satu bantuan yang diberikan adalah berupa technical assistance (bantuan teknis). Technical assistance berkaitan dengan pembentukan technical cooperation (kerjasama teknis) antara pendonor dan negara penerima. Kerjasama bantuan teknis merupakan
bantuan
yang
melibatkan
para
ahli
dalam
merancang
dan
mengimplementasikan program-program intervensi yang bertujuan untuk menangani masalah di lapangan, serta bertujuan untuk meningkatkan atau mempromosikan pembangunan.
Program-program technical assistance atau technical cooperation, selain sebagai bantuan atau alat untuk merespon masalah humaniter dan sosial-ekonomi, arah program-program yang dirancang juga berkaitan dengan advokasi pembentukan atau peningkatan pelaksanaan kebijakan terkait pendidikan, regulasi keamanan untuk pekerja, hasil produksi dan lain sebagainya (Van der Veen, 2011). Sejalan dengan
penjelasan tersebut, konsep technical assistance of foreign aid dipandang relevan digunakan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan bantuan dari ILO-IPEC melalui
17
WACAP, yang dalam pelaksanaannya juga bekerjasama dengan pemerintah Ghana dan agen-agen lainnya, berisi serangkaian program intervensi yang dirancang oleh tim ahli untuk mengeliminasi dan mencegah masalah pekerja anak.
Goldstein (2003) juga menambahkan bahwa program kerjasama teknis oleh agen multilateral juga mencangkup ranah multi-sektor. Berkaitan dengan hal tersebut ILO-IPEC dalam upayanya untuk mengeliminasi dan mencegah masalah pekerja anak memerlukan intervensi yang meliputi beragam sektor seperti peningkatan kesadaran, peningkatan kapasitas, pengumpulan data dan monitoring. Selain keterlibatan para ahli, pelaksanaan program intervensi juga melibatkan kolaborasi dengan pemerintah
nasional dan lokal dari negara dimana bantuan tersebut diberikan. Gambar 2.1 Faktor-faktor yang Berkontribusi Terhadap Eliminasi dan Penurunan Tingkat Pekerja Anak Elimination or decreases in child labour
Interventions stimulated or carried out by ILO-IPEC
Interventions of partners and others coordinated in some way with ILO-IPEC Full range of intervention
Sumber: diolah dari Burt Perrin & Peter Wichmand, Evaluating Complex Strategic Development Interventions: The challenge of child labour. Dalam Kim Forss, Marra Mita dan Robert
Schwartz (Eds). Evaluating the Complex: Attribution, contribution and beyond (2011), hal.253.
Skema diatas menunjukkan bahwa eliminasi atau penurunan tingkat pekerja anak dapat dihasilkan atau dicapai melalui kombinasi intervensi (the full range of intervention), yaitu berbagai macam intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah pekerja anak oleh ILO-IPEC atau aktor-aktor lainnya yang bekerjasama atau
18
terkoordinir dalam pengawasan ILO-IPEC (Perrin & Wichmand, 2011). Aktor-aktor lain tersebut seperti pemerintah nasional, NGO, komunitas-komunitas lokal dan pihakpihak terkait lainnya. Intervensi melalui program bantuan kerjasama teknis terdiri dari dua jenis intervensi yang harus mendapat porsi pelaksanaan yang seimbang agar memperoleh
pencapaian yang maksimal. Pertama, intervensi jangka pendek yang bertujuan untuk mengeliminasi atau menarik sebanyak-banyaknya pekerja anak dari kondisi pekerjaan yang berbahaya atau bersifat eksploitatif dan memberikan rehabilitasi atau perlindungan sosial setelahnya. Kedua, intervensi yang dirancang untuk mempengaruhi faktor-faktor ekonomi dan sosio-kultural yang menyebabkan peningkatan masalah pekerja anak. Intervensi yang kedua ini diperoleh dari pembentukan legislasi atau kebijakan terkait atau upaya lainnya untuk meningkatkan kapasitas nasional yang akan memberikan pengaruh jangka panjang terhadap upaya menanggulangi pekerja anak (ILO, 1997). Intervensi jenis ini lebih mengarah pada pencegahan (prevention) agar pekerja anak yang telah ditarik tidak kembali bekerja sebagai pekerja anak. Secara garis besar, technical assistance yang dilakukan ILO-IPEC melalui WACAP mencangkup program intervensi yang berkaitan dengan: 1) social awareness,
2) capacity building, 3) social protection, 4) child labour monitoring system dan 5) knowledge base and information (ILO, 2005). Lima program intervensi ini akan dielaborasi lebih lanjut dalam bab pembahasan sebagai bentuk upaya ILO-IPEC dalam mengeliminasi dan mencegah pekerja anak di Ghana.